BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Teori yang Digunakan
2.2.2 Jenis Perubahan Makna
Perubahan mempunyai sifat, ada yang sifatnya menyempit atau mengkhusus, ada perubahan sifat yang halus , ada perubahan sifatnya mengasar, dan ada juga perubahan yang sifatnya total.
1. Meluas
Perubahan meluas atau perluasan makna adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah „makna‟, tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain. Meluas juga merupakan proses perubahan makna kata dari makna yang khusus (sempit) menjadi makna yang luas (umum). Misalnya kata “Bapak” makna sempit “Ayah” sedangkan makna luasnya „Semua lelaki yang berkedudukan lebih tinggi dari penyapa‟.
2. Menyempit
Perubahan menyempit atau penyempitan makna adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya kata “Sarjana”
bermaknakan luas yauitu “Cendekiawan” dan berubah kemakna sempit menjadi
„Gelar Universitas, Lulusan perguruan tinggi‟.
3. Perubahan Total
perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dan makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal, tetapi sangkut pautnya ini tampaknya sudah jauh sekali.Misalnya kata “Ceramah” pada mulanya berarti “Cerewet atau banyak cakap”
kini berbah menjadi „Pidato mengenai suatu hal yang disampaikan di depan orang banyak‟.
4. Penghalusan (Eufimia)
perubahan penghalusan ini berhadapan dengan gejala ditampilkan kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna lebih halus, atau lebih sopan daripada yang akan diartikan. Kecenderungan untuk menghaluskan makna kata tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat Indonesia. Misalnya kata
“Penjara” atau “Bui” diganti dengan kata yang lebih halus yaitu „Lembaga pemasyarakatan‟, kata “Korupsi” diganti menjadi „Penyalahgunakan jabatan‟.
5. Pengasaran (Disfemia)
Perubahan pengasaran yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan. Misalnya kata “Menjebloskan” untuk menggantikan kata
“Dimasukkan” seperti dalam kalimat „Polisi menjebloskannya ke dalam sel‟.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Dasar
Metode dasar penelitian adalah metode deskriftif kualitatif. Penulis memilih metode deskriftif kualitatif karena sangat tepat untuk menggambarkan atau mendeskripsikan keadaan yang sebenarnya dilapangan. Penelitian deskriftif menurut sudaryanto (1992 : 62) menyatakan metode deskriftif merupakan suatu metode yang secara empiris hidup pada penuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicari berupa pemberian bahasa yang sifatnya seperti potret, paparan, seperti apa adanya.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi peneltian tentang semantik ini ada di daerah yang ditempati suku Melayu Langkat yaitu Desa Pulau Kampai, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat.
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang penulis gunakan dalam pengumpulan data, tujuan agar pengumpulaan data dapat lebih cermat, sistematis, dan tentunya agar lebih aktual. Adapun beberapa alat dan media pembantu yang penulis gunakan diantaranya:
1. Alat tulis, beberapa buku catatan dan pulpen umtuk mencatat data-data yang diperlukan.
2. Alat rekam yang digunakan untuk merekam wawancara dengan informan, sehingga mempermudah penulisa pada saat pengolahan data.
3.4 Sumber Data
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan beberapa metode yaitu:
a. Metode kepustakaan (library research) adalah teknik pengumpulan bahan atau data dengan membaca buku-buku yang berkaitan dan berhubungan dengan semantik.
b. Metode observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang sangat lazim dalam metode penelitian kualitatif. Observasi hakikatnya merupakan kegiatan degan menggunakan pancaindra, bisa penglihatan, penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau suatu kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian.
c. Metode wawancara yaitu mengumpulkan data dengan mengajukan pernyataan kepada informan yang memahami bahasa Melayu.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Metode analisis data merupakan suatu langkah dalam penelitian karena tahap dalam menyelesaikan masalah dengan menganalisis data yang telah dikumpulkan.
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif.
Metode analisis data yang digunakan bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai subjek penelitian berdasarkan informasi yang diperoleh berdasarkan informasi dan fakta yang ada. Metode analisis data adalah metode atau cara-cara si peneliti dalam mengolah data yang mentah sehingga menjadi data yang cermat, atau akurat dan ilmiah.
Langkah-langkah yang harus dilakukan penulis dalam menganalisi data adalah:
1. Data yang sudah terkumpul diklarifikasi sesuai dengan pokok permasalahan objek kajian.
2. Setelah data yang sudah diklarifikasikan dianalisis berdasarkan landasan teori.
3. Mengaitkan prinsip kesantunan Leech pada objek kajian.
4. Hasil analisis ditulis secara sistematis sehingga semua data yang sudah terkumpul tidak tumpang tindih.
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Jenis – Jenis Makna
Makna dapat dibedakan berdasarkan kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis makna semantik dapat dibedakan sebagai berikut :
4.1.1 Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosa kata atau perbendarahan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata.
Dengan demikian makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.
Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna leksikal dan makna gramatikal. Makna leksikal ini dapat juga diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon. Contohnya sebagai berikut :
1. Lembik betul kutengok kueh ni.
„Lembut sekali saya lihat kue ini.‟
2. Lembik kali itu!
„Lembut sekali itu!‟
Kata lembik pada contoh (1) dan (2) bermakna sebagai kata „lembut‟.
3. Baham saja taumu, lalu tida ko tau!
„Makan saja yang kau ketahui, yang lain tidak tau kau!
4. Tak da baham aku seharian ni.
„Tidak makan aku hari ini.‟
5. Ngape tak ko baham lauk tu?
„Kenapa tidak kau makan lauk itu?‟
Kata baham pada contoh (3), (4) dan (5) bermakna sebagai kata ‟makan‟.
Contoh (1), (2), (3) ,(4) dan (5) menunjukkan makna leksikal.
Berikutnya dalam Bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna gramatikal, yaitu makna yang tidak merajuk kepada makna yang sebenarnya.
6. Jangan pala kau tunjukkan betul kaparanoan kau nak!
„Janganlah kau berperilaku seperti preman anakku!‟
7. Mamparanoi botul kau kutengok jang!
„Saya merasa perilakumu seperti preman!‟
8. Memang lembik anaknye tu!
„Anaknya memang tidak cekatan!‟
9. Yang lembiknya kau nak!
„Kamu benar-benar tidak cekatan anakku!‟
10. Terlembik betul ko.
„paling lambat sekali kau‟
Kata parano pada contoh (6) dan (7) ialah sebuah nasehat dari seseorang yang menyampaikan agar jangan berperilaku seperti orang pasaran yang tidak sama sekali tidak mengetahui akan sikap sopan santun, bukan kepada seorang remaja laki – laki. Sedangkan kata lembik pada pada contoh (8), (9) dan (10) ialah sebuah sifat dari seseorang yang tidak cekatan atau cenderung pemalas.Contoh (6), (7), (8), (9) dan (10) menunjukkan makna gramatikal.
4.1.2.Makna Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan makna refensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidaknya referen dari kata – kata itu. Bila kata – kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang diacu oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata – kata itu tidak mempunyai referen maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan “kursi”.Sebaliknya kata karena dan tetapi mempunyai referen.Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna referensial dan makna referensial. Contohnya seperti berikut:
11. Pecah cawan ku!
„Pecah gelas saya!‟
Kata cawan pada kalimat ini artinya „gelas‟ yang tentunya sebuah gelas memiliki referen atau asal.
12. Kelape siape ni mak?
„Kelapa siapa ini bu?‟
Kata kelape pada kalimat ini artinya buah „kelapa‟, yang makna kelapa adalah termasuk salah satu buah-buahan yang jelas bentuk maupun rasanya, dan tentunya juga memiliki referen.
13. Mane pingganku tadi?
„Dimana piring saya tadi?‟
Kata pinggan pada kalimat ini artinya sebuah „piring‟, yang mana piring termasuk salah satu barang pecah belah yang ada wujud ataupun referennya.
14. Ambekkan dulu sudu tu untuk ku!.
„Ambilkan sendok itu untuk saya!.‟
Kata sudu pada kalimat ini artinya sebuah „sendok‟, yang mana sendok termasuk salah satu perlengkapan makan yang ada wujud ataupun referennya.
15. Udah magerib, tutup tingkap tu!.
„Sudah maghrib, tutup jendela itu!.‟
Kata tingkap pada kalimat ini artinya sebuah „jendela‟, yang mana jendela termasuk salah satu bagian dari sebuah rumah yang ada wujud ataupun referennya.
Contoh (11) (12) (13) (14) dan (15) termasuk kepada makna referensial. Adapun contoh makna nonreferensial sebagai berikut:
16. Cube ko tengok budak tu, lagak die kan?
„Coba kamu lihat anak itu, rupawankan?‟
17. Lagak betul jaka tu!
„Tampan sekali pria itu!‟
Kata lagak artinya sebuah ungkapan bagi wajah seseorang yang tampan atau cantik.Kata lagak hanya bisa dilihat tetapi tidak dapat disentuh dan tidak ada wujud bendanya, maka kata lagak termasuk kepada makna nonreferensial.
18. Peralang betol atok tu!
„Kikir sekali kakek itu!‟
19. Mang hatinye taba ia.
„Geli hatinya tertawa dia.‟
20. Amba ne ndak kelek anak kemun kejap.
„Saya mau melihat keponakan sebentar.‟
Kata Peralang pada contoh kalimat (18) artinya sifat seseorang yang kikir sedangkan kata taba pada contoh kalimat (19) artinya tertawa. Kata peralang dan taba hanya bisa dirasakan tetapi tidak bisa disentuh dan tidak ada wujud bendanya,
kata kelek artinya melihat keadaan seseorang atau sesuatu Maka kata peralang, kelek dan taba termasuk pada kepada makna nonrefrensial.
4.1.3 Makna denotatif dan makna konotatif
Pembedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidak adanya “nilai rasa” ( istilah dari Slametmulyana, 1964 ) pada sebuah kata. Setiap kata, terutama yang disebut kata penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif.
Sebuah kata disebut mempunyai kata konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa” baik positif maupun negatif.Jika tidak memiliki nilai rasa maka tidak memiliki konotasi.Tetapi dapat juga berkonotasi netral.
Makna denotatif (sering juga disebut makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut pandang lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Lalu karena itu denotasi sering disebut sebagai “makna sebenarnya”
Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna denotatif dan makna konotatif. Contohnya sebagai berikut:
21. Biseng betul budak-budak ni!
„Ribut sekali anak-anak ini!‟.
22. Mane budak tu? Dah pulang sekolah ke?
„Dimana anakmu? Sudah pulang sekolah atau belum?‟
Contoh (21) dan (22) menerangkan bahwa kata budak pada mulanya bermakna anak kandung. Tetapi kata budak sekrang di tujukan untuk anak-anak yang bukan anak kandung.
23. Yang lagaknya la anak dara nye tu.
Cantik sekali anak gadis itu.
24. Udah kawin anak dara engko?
Sudah menikah anak gadis mu?
25. Kembang desa anak daranye.
„Kembang desa anak perempuannya.‟
Contoh (23), (24) dan (25) menerangkan bahwa kata anak dara adalah seorang remaja perempuan dewasa yang belum berumah tangga. Kata anak dara termasuk ke dalam makna denotasi. Lantas bagaimana dengan contoh makna konotasi? Berikut contoh dan penjelasannya :
26. Dasar kau budak tak tau diri!
Kamu pembantu yang tidak tahu malu!
27. Budak pemalas!
„Pembantu yang malas!‟
28. Lagaknya dia bawa mobil tu!
„Sombongnya dia bawa mobil!‟
29. Perangainya lagak sekarang.
„Tingkahnya angkuh sekarang.‟
30. Cakapnya lagak betul.
„Omongannya sombong sekali.‟
Pada contoh (26), (27) kata budak bukanlah lagi berada pada posisi anak anak, melainkan sudah kata makian yang kasar pada masyarakat Pulau Kampai, kata budak pada konteks ini bermakna sebagai pembantu sedangkan kata lagak pada
contoh kalimat (28), (29) dan (30) berati sombong atau angkuh dan bukan lagi kata yang bermakna cantik/tampan.. Kata budak dan lagak berperan sebagai makna konotatif.
4.1.4 Makna kata dan makna istilah
Pembedaan adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaan katanya secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum sering kali kata-kata itu sering digunakan secara tidak cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjadi tepat.
Makna sebuah kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat bersifat umum. Makna kata itu menjadi jelas kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur.
Adapun contoh makna kata dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai sebagai berikut :
31. Sah ko lari, kele timbun!
„Jangan kau lari, nanti jatuh!‟
Kata sah artinya resmi, dalam bahasa Melayu kata sah berati jangan.
32. Ko ambe patek datang.
„Ya saya pasti datang.‟
33. Nak kemane ko?
Mau kemana kau?
Kata ko pada contoh kalimat (32) artinya ya, tetapi bisa juga memiliki arti kau seperti pada contoh kalimat (33).
34. Engko carikkan dulu pucuk oru, aku nak hias pelaminan kakakmu!
Carilah pucuk pohon oru, saya ingin menghias pelaminan kakakmu!
35. Udah layu betol ku tengok pucuk oru tu!
Sudah sangat layu pucuk pohon oru itu!
Kata pucuk oru pada contoh (34) dan (35) adalah sejenis tanaman, yang mana biasanya digunakan masyarakat Pulau Kampai untuk acara pernikahan seseorang.
Kata pucuk oru disini berperan sebagai makna kata.
36. Pas la kau macam pucuk oru!
Kau benar-benar tidak konsisten!
Pucuk oru pada kalimat (36) tidak lagi bermakna tanaman, melainkan
berperan sebagai makna istilah dari seorang yang tidak berpendirian tetap atau tidak konsisten.
37. Macam ulat bulu ko ku tengok!
„Tidak bisa diam kau ku lihat!‟
Ulat bulu pada kalimat (37) tidak lagi bermakna hewan, melainkan berperan sebagai tingkah laku manusia.
4.1.5 Makna konseptual dan makna asosiatif
Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tidaknya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain.
Secara garis besar Leech (dalam Chaer, 2009:73) membedakan makna atas makna konseptual dan makna asosiatif, dalam makna asosiatif termasuk makna konotatif, stilistika, afektif, refleki, dan kolokatif.
Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan refrennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun.
Jadi, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna refrensial, makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan diluar bahasa.
Adapun contoh makna konseptual dalam bahasa Melayu dialek Pulau kampai adalah sebagai berikut :
38. Bila ko balek ke Pangkalan Susu?
„Kapan kau pulang ke Pangkalan Susu?‟
39. Janganlah ko balek badan dari masalah ni!
„Janganlah kau tidak bertanggung jawab dari masalah ini!
Kata balek pada contoh kalimat (38) bermakna „pulang‟ sedangkan pada contoh kalimat (39) bermakna „tidak bertanggung jawab‟.
40. Petang ni kite main congkak yok!
„Sore ini kita main congkak yok!‟
41. Congkak betul tingkah anak ni.
„Sombong sekali sifat anak ini.‟
Kata congkak pada contoh kalimat (40) bermakna „sejenis permainan yang tempatnya terbuat dari kayu‟ sedangkan pada contoh kalimat (41) kata congkak bermakna „sombong‟.
42. Empuan kasim tu jadi buah biber.
„Istri si kasim itu jadi pembicaraan.‟
43. Jantong hatiku dah besar sekarang.
„Anak kesayanganku sudah besar sekarang.‟
Kata buah biber pada contoh (42) artinya pokok pembahasan. Sedangkan kata jantong hati pada contoh (43) artinya anak kesayangan.
44. Due hati dia hantarkan anaknya buat merantau.
Ragu-ragu dia mengantarkan anaknya untuk merantau.
45. Nak kejekan sesuatu jangan due hati!
Ingin mengerjakan sesuatu jangan ragu-ragu.
Kata due hati pada contoh kalimat (44) dan (45) artinya ragu-ragu yang mana kata tersebut merupakan makna asosiatif.
4.1.6. Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (kata, frase atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Sedangkan peribahasa ini bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan maka lazim juga disebut dengan naman perumpamaan. Kata-kata seperti, bagai, bak, laksana, dan umpama lazim digunakan dalam peribahasa.
Adapun contoh makna Idiomatikal dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai sebagai berikut :
46. Te tentu haluannya, kesana kemari saje kerjenye!
„Tak tentu tujuannya, kesana kemari saja kerjanya!‟
47. Die bejalan ke haluan kapal.
„Dia berjalan ke bagian depan kapal.‟
Kata haluan pada contoh kalimat (46) bermakna „tujuan‟ sedangkan pada contoh kalimat (47) bermakna „bagian perahu yang sebelah muka atau ujung perahu‟.
48. Betul-betul ia anak manja maya dikatakannya terbole disanggah.
„Benar-benar dia anak manja, apa yang dikatakannya tidak boleh disangkal.‟
49. Tolong ambekkan penyanggah tu.
„Tolong ambilkan topang kayu itu.‟
Kata sanggah dalam kalimat (48) bermakna sangkal artinya tidak boleh dibantah, sedangkan kata penyanggah pada kalimat (49) bermakna penopang dari kayu.
Dalam bahasa Melayu terdapat banyak peribahasa yang bisa dijumpai adalah sebagai berikut :
50. Katak hendak menjadi lembu.
Artinya: ingin melakukan sesuatu yang melebihi kesanggupan sendiri, hendak menyamai orang besar, orang kaya dan sebagainya.
51. Yang lama dikelek, yang baharu didukung
Artinya: adat yang lama tetap diamalkan di samping budaya hidup yang baru.
52. Kalau takut dilambung ombak, jangan berumah ditepi pantai.
Artinya: kalau takut berhadapan dengan penderitaan, lebih baik jangan melakukan sesuatu yang susah.
53. Bagai belacan dikerat dua, yang pegi busuk yang tinggal hanyir.
Artinya: Perkara yang mendatangkan aib kepada kedua-dua belah] pihak.
54. Seperti kecek ular.
Artinya: Menceritakan berlebih-lebihan daripada keadaan yang sebenarnya.
4.1.7. Makna Kias
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta ada digunakan istilah arti kiasan. Tampaknya penggunaan istilah arti kiasan ini sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (kata, frase, kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Misalnya, kata putri malam yang berati
„bulan‟, kata raja siang dalam arti „matahari‟, dsb.
Adapun contoh kalimat makna kias dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai sebagai berikut :
55. Janganlah ko bermuka dua macam tu!
„Janganlah kau tidak berpendirian seperti itu!‟
Pada contoh kalimat (55) kata bermuka dua diartikan sebagai orang yang tidak berpendirian atau sekarang dikenal sebagai kata munafik.
56. Tebal muka betul anak tu!
„Tidak tahu malu sekali anak itu!‟
Pada contoh kalimat (56) kata tebal muka diartikan sebagai orang yang tidak tau malu.
57. Hamzah dah jadi tangan kanannya Pak Kepala Desa.
„Hamzah sudah menjadi orang kepercayaan Pak Kepala Desa.‟
Pada contoh kalimat (57) kata tangan kanan mempunyai makna „orang kepercayaan‟.
58. Padeh hati ambe tengok ia di siksa lakiknya.
„Sedih saya melihat dia disiksa suaminya.‟
Pada contoh kalimat (58) kata padeh hati mempunyai arti yaitu „sedih atau pilu‟ .
59. Ada saje batu penghalang kita yang nak buat kenduri ni.
„Ada saja halangan kita yang ingin buat syukuran ini.‟
Pada contoh kalimat (59) kata batu penghalang mempunyai arti yaitu
„halangan.‟
60. merantau jauh-jauh pulang tangan kosong.
Merantau jauh-jauh pulang dengan tangan hampa.
Pada contoh kalimat (60) kata tangan kosong memiliki arti „hampa‟.
4.1.8. Makna Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya. Sedangkan makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh pendengar. Sebaliknya, makna perlokusi adalah makna seperti yang diinginkan oleh penutur.
Adapun contoh makna lokusi, ilokusi dan perlokusi dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai sebagai berikut :
61. Bukan mainlah kedektunya orang kaya itu!
„Pelit sekali orang kaya itu!‟
62. Karena lamanye ia berendam di sungai, jarinye tangannya kecut sebab kedinginan.
„Karena lamanya dia berendam disungai, jari-jari tangannya keriput karena kedinginan.‟
63. Dipalarnya lalu, karena nak mengeleh kejadian itu.
„Dipaksanya pergi, karena mau melihat kejadian itu.‟
Kata kedekut pada kalimat (61) bermakna „pelit‟ sedangkan kata kecut pada kalimat (62) bermakna „keriput‟ dan kata palar pada kalimat (63) bermakna paksa.
Dalam contoh kalimat di atas menunjukkan bahwa kata-kata tersebut mempunyai makna lokusi, karena makna (61), (62), (63) adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya.
64. Sabas aku negok tabiatnya yang mendai sama orang tuanya.
„Puas aku melihat tabiat yang sopan itu terhadap orang tuanya.‟
65. Tide paham ambe soal te.
65. Tide paham ambe soal te.