BAB IV PEMBAHASAN
4.1.2 Makna Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan makna refensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidaknya referen dari kata – kata itu. Bila kata – kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang diacu oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata – kata itu tidak mempunyai referen maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan “kursi”.Sebaliknya kata karena dan tetapi mempunyai referen.Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna referensial dan makna referensial. Contohnya seperti berikut:
11. Pecah cawan ku!
„Pecah gelas saya!‟
Kata cawan pada kalimat ini artinya „gelas‟ yang tentunya sebuah gelas memiliki referen atau asal.
12. Kelape siape ni mak?
„Kelapa siapa ini bu?‟
Kata kelape pada kalimat ini artinya buah „kelapa‟, yang makna kelapa adalah termasuk salah satu buah-buahan yang jelas bentuk maupun rasanya, dan tentunya juga memiliki referen.
13. Mane pingganku tadi?
„Dimana piring saya tadi?‟
Kata pinggan pada kalimat ini artinya sebuah „piring‟, yang mana piring termasuk salah satu barang pecah belah yang ada wujud ataupun referennya.
14. Ambekkan dulu sudu tu untuk ku!.
„Ambilkan sendok itu untuk saya!.‟
Kata sudu pada kalimat ini artinya sebuah „sendok‟, yang mana sendok termasuk salah satu perlengkapan makan yang ada wujud ataupun referennya.
15. Udah magerib, tutup tingkap tu!.
„Sudah maghrib, tutup jendela itu!.‟
Kata tingkap pada kalimat ini artinya sebuah „jendela‟, yang mana jendela termasuk salah satu bagian dari sebuah rumah yang ada wujud ataupun referennya.
Contoh (11) (12) (13) (14) dan (15) termasuk kepada makna referensial. Adapun contoh makna nonreferensial sebagai berikut:
16. Cube ko tengok budak tu, lagak die kan?
„Coba kamu lihat anak itu, rupawankan?‟
17. Lagak betul jaka tu!
„Tampan sekali pria itu!‟
Kata lagak artinya sebuah ungkapan bagi wajah seseorang yang tampan atau cantik.Kata lagak hanya bisa dilihat tetapi tidak dapat disentuh dan tidak ada wujud bendanya, maka kata lagak termasuk kepada makna nonreferensial.
18. Peralang betol atok tu!
„Kikir sekali kakek itu!‟
19. Mang hatinye taba ia.
„Geli hatinya tertawa dia.‟
20. Amba ne ndak kelek anak kemun kejap.
„Saya mau melihat keponakan sebentar.‟
Kata Peralang pada contoh kalimat (18) artinya sifat seseorang yang kikir sedangkan kata taba pada contoh kalimat (19) artinya tertawa. Kata peralang dan taba hanya bisa dirasakan tetapi tidak bisa disentuh dan tidak ada wujud bendanya,
kata kelek artinya melihat keadaan seseorang atau sesuatu Maka kata peralang, kelek dan taba termasuk pada kepada makna nonrefrensial.
4.1.3 Makna denotatif dan makna konotatif
Pembedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidak adanya “nilai rasa” ( istilah dari Slametmulyana, 1964 ) pada sebuah kata. Setiap kata, terutama yang disebut kata penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif.
Sebuah kata disebut mempunyai kata konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa” baik positif maupun negatif.Jika tidak memiliki nilai rasa maka tidak memiliki konotasi.Tetapi dapat juga berkonotasi netral.
Makna denotatif (sering juga disebut makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut pandang lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Lalu karena itu denotasi sering disebut sebagai “makna sebenarnya”
Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna denotatif dan makna konotatif. Contohnya sebagai berikut:
21. Biseng betul budak-budak ni!
„Ribut sekali anak-anak ini!‟.
22. Mane budak tu? Dah pulang sekolah ke?
„Dimana anakmu? Sudah pulang sekolah atau belum?‟
Contoh (21) dan (22) menerangkan bahwa kata budak pada mulanya bermakna anak kandung. Tetapi kata budak sekrang di tujukan untuk anak-anak yang bukan anak kandung.
23. Yang lagaknya la anak dara nye tu.
Cantik sekali anak gadis itu.
24. Udah kawin anak dara engko?
Sudah menikah anak gadis mu?
25. Kembang desa anak daranye.
„Kembang desa anak perempuannya.‟
Contoh (23), (24) dan (25) menerangkan bahwa kata anak dara adalah seorang remaja perempuan dewasa yang belum berumah tangga. Kata anak dara termasuk ke dalam makna denotasi. Lantas bagaimana dengan contoh makna konotasi? Berikut contoh dan penjelasannya :
26. Dasar kau budak tak tau diri!
Kamu pembantu yang tidak tahu malu!
27. Budak pemalas!
„Pembantu yang malas!‟
28. Lagaknya dia bawa mobil tu!
„Sombongnya dia bawa mobil!‟
29. Perangainya lagak sekarang.
„Tingkahnya angkuh sekarang.‟
30. Cakapnya lagak betul.
„Omongannya sombong sekali.‟
Pada contoh (26), (27) kata budak bukanlah lagi berada pada posisi anak anak, melainkan sudah kata makian yang kasar pada masyarakat Pulau Kampai, kata budak pada konteks ini bermakna sebagai pembantu sedangkan kata lagak pada
contoh kalimat (28), (29) dan (30) berati sombong atau angkuh dan bukan lagi kata yang bermakna cantik/tampan.. Kata budak dan lagak berperan sebagai makna konotatif.
4.1.4 Makna kata dan makna istilah
Pembedaan adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaan katanya secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum sering kali kata-kata itu sering digunakan secara tidak cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjadi tepat.
Makna sebuah kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat bersifat umum. Makna kata itu menjadi jelas kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur.
Adapun contoh makna kata dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai sebagai berikut :
31. Sah ko lari, kele timbun!
„Jangan kau lari, nanti jatuh!‟
Kata sah artinya resmi, dalam bahasa Melayu kata sah berati jangan.
32. Ko ambe patek datang.
„Ya saya pasti datang.‟
33. Nak kemane ko?
Mau kemana kau?
Kata ko pada contoh kalimat (32) artinya ya, tetapi bisa juga memiliki arti kau seperti pada contoh kalimat (33).
34. Engko carikkan dulu pucuk oru, aku nak hias pelaminan kakakmu!
Carilah pucuk pohon oru, saya ingin menghias pelaminan kakakmu!
35. Udah layu betol ku tengok pucuk oru tu!
Sudah sangat layu pucuk pohon oru itu!
Kata pucuk oru pada contoh (34) dan (35) adalah sejenis tanaman, yang mana biasanya digunakan masyarakat Pulau Kampai untuk acara pernikahan seseorang.
Kata pucuk oru disini berperan sebagai makna kata.
36. Pas la kau macam pucuk oru!
Kau benar-benar tidak konsisten!
Pucuk oru pada kalimat (36) tidak lagi bermakna tanaman, melainkan
berperan sebagai makna istilah dari seorang yang tidak berpendirian tetap atau tidak konsisten.
37. Macam ulat bulu ko ku tengok!
„Tidak bisa diam kau ku lihat!‟
Ulat bulu pada kalimat (37) tidak lagi bermakna hewan, melainkan berperan sebagai tingkah laku manusia.
4.1.5 Makna konseptual dan makna asosiatif
Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tidaknya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain.
Secara garis besar Leech (dalam Chaer, 2009:73) membedakan makna atas makna konseptual dan makna asosiatif, dalam makna asosiatif termasuk makna konotatif, stilistika, afektif, refleki, dan kolokatif.
Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan refrennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun.
Jadi, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna refrensial, makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan diluar bahasa.
Adapun contoh makna konseptual dalam bahasa Melayu dialek Pulau kampai adalah sebagai berikut :
38. Bila ko balek ke Pangkalan Susu?
„Kapan kau pulang ke Pangkalan Susu?‟
39. Janganlah ko balek badan dari masalah ni!
„Janganlah kau tidak bertanggung jawab dari masalah ini!
Kata balek pada contoh kalimat (38) bermakna „pulang‟ sedangkan pada contoh kalimat (39) bermakna „tidak bertanggung jawab‟.
40. Petang ni kite main congkak yok!
„Sore ini kita main congkak yok!‟
41. Congkak betul tingkah anak ni.
„Sombong sekali sifat anak ini.‟
Kata congkak pada contoh kalimat (40) bermakna „sejenis permainan yang tempatnya terbuat dari kayu‟ sedangkan pada contoh kalimat (41) kata congkak bermakna „sombong‟.
42. Empuan kasim tu jadi buah biber.
„Istri si kasim itu jadi pembicaraan.‟
43. Jantong hatiku dah besar sekarang.
„Anak kesayanganku sudah besar sekarang.‟
Kata buah biber pada contoh (42) artinya pokok pembahasan. Sedangkan kata jantong hati pada contoh (43) artinya anak kesayangan.
44. Due hati dia hantarkan anaknya buat merantau.
Ragu-ragu dia mengantarkan anaknya untuk merantau.
45. Nak kejekan sesuatu jangan due hati!
Ingin mengerjakan sesuatu jangan ragu-ragu.
Kata due hati pada contoh kalimat (44) dan (45) artinya ragu-ragu yang mana kata tersebut merupakan makna asosiatif.
4.1.6. Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (kata, frase atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Sedangkan peribahasa ini bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan maka lazim juga disebut dengan naman perumpamaan. Kata-kata seperti, bagai, bak, laksana, dan umpama lazim digunakan dalam peribahasa.
Adapun contoh makna Idiomatikal dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai sebagai berikut :
46. Te tentu haluannya, kesana kemari saje kerjenye!
„Tak tentu tujuannya, kesana kemari saja kerjanya!‟
47. Die bejalan ke haluan kapal.
„Dia berjalan ke bagian depan kapal.‟
Kata haluan pada contoh kalimat (46) bermakna „tujuan‟ sedangkan pada contoh kalimat (47) bermakna „bagian perahu yang sebelah muka atau ujung perahu‟.
48. Betul-betul ia anak manja maya dikatakannya terbole disanggah.
„Benar-benar dia anak manja, apa yang dikatakannya tidak boleh disangkal.‟
49. Tolong ambekkan penyanggah tu.
„Tolong ambilkan topang kayu itu.‟
Kata sanggah dalam kalimat (48) bermakna sangkal artinya tidak boleh dibantah, sedangkan kata penyanggah pada kalimat (49) bermakna penopang dari kayu.
Dalam bahasa Melayu terdapat banyak peribahasa yang bisa dijumpai adalah sebagai berikut :
50. Katak hendak menjadi lembu.
Artinya: ingin melakukan sesuatu yang melebihi kesanggupan sendiri, hendak menyamai orang besar, orang kaya dan sebagainya.
51. Yang lama dikelek, yang baharu didukung
Artinya: adat yang lama tetap diamalkan di samping budaya hidup yang baru.
52. Kalau takut dilambung ombak, jangan berumah ditepi pantai.
Artinya: kalau takut berhadapan dengan penderitaan, lebih baik jangan melakukan sesuatu yang susah.
53. Bagai belacan dikerat dua, yang pegi busuk yang tinggal hanyir.
Artinya: Perkara yang mendatangkan aib kepada kedua-dua belah] pihak.
54. Seperti kecek ular.
Artinya: Menceritakan berlebih-lebihan daripada keadaan yang sebenarnya.
4.1.7. Makna Kias
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta ada digunakan istilah arti kiasan. Tampaknya penggunaan istilah arti kiasan ini sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (kata, frase, kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Misalnya, kata putri malam yang berati
„bulan‟, kata raja siang dalam arti „matahari‟, dsb.
Adapun contoh kalimat makna kias dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai sebagai berikut :
55. Janganlah ko bermuka dua macam tu!
„Janganlah kau tidak berpendirian seperti itu!‟
Pada contoh kalimat (55) kata bermuka dua diartikan sebagai orang yang tidak berpendirian atau sekarang dikenal sebagai kata munafik.
56. Tebal muka betul anak tu!
„Tidak tahu malu sekali anak itu!‟
Pada contoh kalimat (56) kata tebal muka diartikan sebagai orang yang tidak tau malu.
57. Hamzah dah jadi tangan kanannya Pak Kepala Desa.
„Hamzah sudah menjadi orang kepercayaan Pak Kepala Desa.‟
Pada contoh kalimat (57) kata tangan kanan mempunyai makna „orang kepercayaan‟.
58. Padeh hati ambe tengok ia di siksa lakiknya.
„Sedih saya melihat dia disiksa suaminya.‟
Pada contoh kalimat (58) kata padeh hati mempunyai arti yaitu „sedih atau pilu‟ .
59. Ada saje batu penghalang kita yang nak buat kenduri ni.
„Ada saja halangan kita yang ingin buat syukuran ini.‟
Pada contoh kalimat (59) kata batu penghalang mempunyai arti yaitu
„halangan.‟
60. merantau jauh-jauh pulang tangan kosong.
Merantau jauh-jauh pulang dengan tangan hampa.
Pada contoh kalimat (60) kata tangan kosong memiliki arti „hampa‟.
4.1.8. Makna Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya. Sedangkan makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh pendengar. Sebaliknya, makna perlokusi adalah makna seperti yang diinginkan oleh penutur.
Adapun contoh makna lokusi, ilokusi dan perlokusi dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai sebagai berikut :
61. Bukan mainlah kedektunya orang kaya itu!
„Pelit sekali orang kaya itu!‟
62. Karena lamanye ia berendam di sungai, jarinye tangannya kecut sebab kedinginan.
„Karena lamanya dia berendam disungai, jari-jari tangannya keriput karena kedinginan.‟
63. Dipalarnya lalu, karena nak mengeleh kejadian itu.
„Dipaksanya pergi, karena mau melihat kejadian itu.‟
Kata kedekut pada kalimat (61) bermakna „pelit‟ sedangkan kata kecut pada kalimat (62) bermakna „keriput‟ dan kata palar pada kalimat (63) bermakna paksa.
Dalam contoh kalimat di atas menunjukkan bahwa kata-kata tersebut mempunyai makna lokusi, karena makna (61), (62), (63) adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya.
64. Sabas aku negok tabiatnya yang mendai sama orang tuanya.
„Puas aku melihat tabiat yang sopan itu terhadap orang tuanya.‟
65. Tide paham ambe soal te.
„Tidak mengerti saya soal itu.‟
66. Udah ko jerang ke nasi te nan?
„Udah kau masakkan nasi tadi?‟
67. Jepratan motor tenan kena celanaku.
„Percikan motor tadi mengenai celanaku.‟
Kata sabas pada kalimat (64) bermakna „puas‟ sedangkan kata paham pada kalimat (65) bermakna „mengerti‟ dan kata jerang pada kalimat (66) bermakna masak sedangkan kata jeprat pada kalimat (67) bermakna percik. Contoh-contoh (65), (66), (67) di atas menunjukkan bahwa kata tersebut adalah ilokus, karena makna-makna tersebut adalah makna yang seperti dipahami pendengar.
68. Kecikkan suara tvmu itu!
„Pelankan suara tvmu itu!‟
69. So lame ia tak menjengok ke mari.
„Sudah lama dia tidak berkunjung ke mari.‟
70. Baru-baru ne aku menjengok keluarganye yang sakit.
„baru-baru ini aku melihat keluarganya yang sakit.‟
Pada kalimat (68) saat seseorang yang mempunyai televisi tersebut mendengar kalimat di atas, maka orang tersebut akan langsung mengecilkan volume televisinya, sedangkan pada kalimat (69) dan (70) kata jengok artinya melihat atau kunjung. Kalimat tersebut termasuk dalam makna perlokusi, karena makna (68) (69) dan (70) adalah makna yang seperti di inginkan oleh penutur.
4.2.Jenis Perubahan Makna
Perubahan mempunyai sifat, ada yang sifatnya menyempit atau mengkhusus, ada perubahan sifat yang halus, ada perubahan sifat mengasar, dan ada juga perubahan sifat total.
4.2.1 Meluas
Perubahan meluas atau perluasan makna adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah „makna‟, tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain. Meluas juga merupakan proses perubahan makna kata diri makna yang khusus (sempit) menjadi makna yang luas (umum).
Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna meluas. Contohnya sebagai berikut:
71. Kacaukan santan tu jangan sampai pecah
„Kacaukan santan itu jangan sampai pecah‟
Kata kacaukan berasa dari kata kacau, dalam masyarakat Melayu Pulau Kampai kata Kacau digunakan untuk kegiatan memasak, tetapi kata Kacaukan terjadi perluasan makna yang memiliki makna mengganggu dan menyatakan orang sedang kebingungan adapun contoh kalimatnya seperti berikut ini:
72. Engko ni datang mengacau saje!
„Kau ini datang mngganggu saja‟.
73. Kenape ko ni mengacau-ngacau je.
„Kenapa kau ini seperti mengacau-ngacau‟
Peluasan makna kata mengacau yang terjadi pada contoh kalimat (69) bermaksud untuk menyatakan orang yang mengganggu dan kata mengacau mengalami perluasan makna yang terdapat pada contoh kalimat (70) menyatakan orang yang sedang kebingungan.
74. Awak malas hiraukannya!
„Aku malas memperdulikannya‟
Kata awakdalam bahasa Melayu Dialek Pulau Kampai mulanya memiliki makna „aku‟, tetapi sekarang kata awak mengalami perubahan makna secara meluas yaitu seperti awak kapal, awak pesawat, adapun contohnya sebagai berikut :
75. Awak kapal ni bejumlah tige orang.
„Awak kapal itu berjumlah tiga orang.‟
76. Sungguh ramah awak pesawat ni.
„Sungguh ramah awak pesawat ini.‟
Kata awak pada kalimat di atas bukan lagi bermakna aku, tetapi kata awak yang terdapat pada contoh kalimat pertama menyatakan „anak buah kapal (ABK)‟ dan pada contoh kalimat kedua kata awak memiliki makna menyatakan „petugas penerbangan yang ada di dalam pesawat‟ tersebut.
77. Aku nak pinang si Lela esok.
„Aku ingin lamar si Lela besok.‟
78. Tumbang pokok pinang tu tadi malam.
„Jatuh pohon pinang itu tadi mlam.‟
Kata pinang pada kalimat (77) bermakna lamar atau ingin menjadikan istri, sedangkan pada contoh (78) bermakna pohon atau buah pinang.
4.2.2 Menyempit
Perubahan menyempit atau penyempitan makna adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulannya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja.
Dalam bahasa melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna menyempit contohnya sebagai berikut:
79. Jangan endak dicekau dengan jantan.
„Jangan mau dipegang sama laki-laki.‟
80. Sambal ni jangan di cekau kang basi, endak ambek elok-elok.
„Sambal ini jangan dicolek nanti basi, kalau mau ambil baik-baik.‟
Kata cekau pada mulanya memiliki banyak makna seperti „pegang‟ dan
„colek‟, tetapi pada zaman sekarang kata cekau terjadi penyempitan makna yang sekarang hanya dikenal dengan makna „pegang‟ seperti contoh pada kalimat dibawah ini:
81. Tolong cekau kan sekejab tali ni.
„Tolong pegangkan sebentar tali ini‟.
82. Saban nak lalu dipinjamne kasut ambe.
„Tiap mau pergi dipinjamnya sendal saya.‟
83. Saban hari ia datang.
„Setiap hari dia datang.‟
Kata saban mempunyai makna penyempitan yaitu setiap atau kerap kali.
4.2.3 Perubahan Total
Perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dan makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal, tetapi sangkut pautnya ini tampaknya sudah jauh sekali.
84. Hampinkan tolong lampin budak ni.
„Tolong jemurkan popok anak.‟
Kata lampin dulunya memiliki makna popok yang terbuat dari kain, tetapi karna minimnya saat ini masyarakat Pulau Kampai menggunakan lampin sebagai
popok bayi maka kata tersebut tidak lagi digunakan bahkan kata tersebut mengalami perubahan makna secara total yang pada mulanya bermakna popok bayi kini memiliki makna pukulan/pukul, seperti kalimat pada contoh seperti berikut :
85. Ku pelampinkan budak ni!
„Aku pukul nanti anak ini!‟
Kini kata lampin bermakna „pukulan/pukul‟ untuk anak-anak yang berperilaku nakal seperti pada contoh di atas.
86. Tak genah ko campak kan baju sekolah tu.
„Tidak bagus kau lemparkan baju sekolah begitu.‟
87. Dah lama ie kenak campak.
„Sudah lama dia kena penyakit campak.‟
Pada kalimat (86) dan (87) kata campak mengalami perubahan total pada kalimat (86) bermakna lempar dan kalimat (87) bermakna penyakit.
4.2.4 Penghalusan (Eufimia)
Perubahan penghalusan ini berhadapan dengan gejala ditampilkan kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna lebih halus, atau lebih sopan daripada yang di artikan. Kecendrungan untuk menghaluskan makna kata tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat Indonesia.
Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai penghalusan.
Contohnya sebagai berikut :
88. Tengah utan masih ade datuk belang merayau!
„Di dalam hutan itu masih ada harimau!‟
Kata datuk belang pada masyarakat Pulau Kampai adalah penghalusan kata yang bermakna sebagai harimau.
89. Bisi sekali yo si Upik sekarang.
„Genit sekali si Upik sekarang.‟
Kata bisi pada masyarakat Pulau Kampai yaitu penghalusan dari suatu kata yang bermakna genit.
90. Laboh ko kela, usah ko manjat-manjat!
„Jatuh kau nanti, jangan kau manjat-manjat!‟
Kata laboh pada masyarakat Pulau kampai yaitu penghalusan dari suatu kata yang bermakna jatuh.
91. Terlena amba mendengar lagu khasidah tu.
„Asyik sekali saya mendengar lagu khasidah itu.‟
Kata lena pada kalimat di atas memiliki makna „asik atau terbuai‟.
4.2.5 Pengasaran (Disfemia)
Perubahan pengasaran yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan.
Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai pengasaran. Contohnya seperti berikut :
92. Ape tak dapat, nak mengangkang dirumah ni!
„Tidak ada yang bisa diperbuat, mau bersantai saja dirumah ini!‟
Kata mengangkang memiliki makna yang ingin bersantai atau bersenang-senang, kata mengangkang apabila diungkapkan oleh masyarakat Melayu untuk
Kata mengangkang memiliki makna yang ingin bersantai atau bersenang-senang, kata mengangkang apabila diungkapkan oleh masyarakat Melayu untuk