• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manfaat Penelitian

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

Seperti yang telah dipaparkan pada bagian tujuan penelitian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam upaya melestarikan dan pengembangan penegtahuan bagi masyarakat pada umumnya. Lebih khusus manfaat penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah kajian tentang bahasa, terutama dalam bidang semantik.

2. Menambah bahan bacaan dan kepustakaan di Program Studi Sastra Melayu, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

3. Penelitian ini diharapkan mampu menyempurnakan bahasa Melayu dialek Pulau Kampai, serta sebagai informasi kepada para peneliti yang akan mengkaji tentang semantik dalam bahasa lain.

4. Menambah wawasan pengetahuan dan informasi tentang bahasa Melayu dialek Pulau Kampai,

5. Untuk melengkapi salah satu syarat ujian dalam menempuh sarjana strata di Fakulltas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan

Menulis suatu karya ilmiah merupakan suatu rangkaian yang semuanya selalu berkaitan dengan menggunakan referensi yang berhubungan sehingga penulis tidak terepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan objek yang dikaji. Untuk itu, mempertahankan suatu karya ilmiah secara objektif digunakan sumber-sumber yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, baik berupa buku acuan yang relevan maupun dengan pemahaman-pemahaman teoritis dan pemaparan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh di lapangan.

Dalam kepustakaan yang relevan ini, penulis mengutip beberapa tulisan tentang semantik.

Chaer (2009) dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Semantik”

mengemukakan bahwa semantik merupakan ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran bahasa : fonologi, gramatika, dan semantik.

Secara etimologi istilah semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda yang berati “tanda” atau “lambang”). Kata kerjanya adalah semaino yang berati “menandai” atau “melambangkan”. (Chaer 2009 : 2)

Menurut Verhaar (1981 : 9) semantik bahasa terbagi menjadi 4, yaitu tata bahasa (gramatika), fonologi (fonemik), fonetik, dan leksikon. Berdasarkan jenis tersebut memperlihatkan kedudukan serta objek studi semantik, yaitu makna dalam keseluruhan sistematika bahasa.

Menurut Aminuddin (2011 : 53) menyebutkan bahwa semantik mengandung pengertian “studi tentang makna” bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik.

Menurut Keraf (1980 : 16) semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya dan perubahannya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa semantik adalah bagian tata bahasa atau bidang ilmu bahasa yang menganalisi makna secara umum.

2.2 Teori Yang Digunakan

Adapun teori yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teori Semantik oleh Chaer (2009), berikut pemaparannya :

Menurut Chaer (2009:59), jenis makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara

makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus.

Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya dan perubahannya.

Pada tataran leksikon dari bahasa itu maka jenis semantiknya disebut semantik leksikal. Dalam semantik leksikal ini diselidiki makna yang ada pada leksem-leksem

dari bahasa tersebut. Oleh karena itu, makna yang ada pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal. Leksem adalah istilah lazim yang digunakan dalam studi semantik untuk menyebut satuan bahasa bermakna.

Menurut Chaer (2009:130) pernyataan bahwa makna sebuah kata secara sinkronis dapat berubah menyiratkan pula pengertian bahwa tidak setiap kata maknanya harus atau akan berubah secara diakronis. Banyak kata yang maknanya sejak dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Malah jumlahnya mungkin lebih banyak dari pada yang yang berubah atau pernah berubah.

2.2.1 Jenis Makna

Makna dapat dibedakan berdasarkan kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis makna semantik dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Misalnya kata “tikus”

makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tipus.

Makna gramatikal bermacam-macam setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu untuk menyatakan makna-makna, atau nuansa-nuansa makna gramatikal itu. Untuk menyatakan makna „jamak‟ bahasa Indonesia menggunakan proses reduplikasi. Makna gramatikal adalah makna struktural yang muncul akibat hubungan antara unsur-unsur gramatikal dalam satuan gramatikal yang lebih besar.

Misalnya, hubungan morfem dengan morfem dalam kata, kata dengan kata lain dalam frasa atau klausa, dan frasa dengan frasa dalam klausa atau kalimat.

Contoh makna gramatikal dalam tataran morfologi :

(1) Morfem ter- + tabrak tertabrak „tak sengaja‟

(2) Mofem (R)-an + daun daun-daunan „imitatif‟

2. Makna Referensial dan Nonreferensial

Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang di acu oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial.

Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referansial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan

“kursi”. Sebaliknya karena dan tetapi tidak termasuk referen. Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

Bagaimana dengan referen kata kaki, misalnya, pada frase kaki gunung dan kaki langit? Kata kaki pada frase itu diterapkan secara salah. Referen kata kaki tetap

mengacu pada anggota tubuh manusia. Referen itu tidak berpindah dari manusia kepada gunung atau langit. Yang sebenarnya terjadi adalah kata kaki pada kedua frase itu digunakan secara metaforis, perbandingan. Yang diperbandingkan adalah kaki sebagai anggota tubuh manusia sebelah bawah dengan bagian bawah dari gunung atau langit itu.

3. Makna Denotatif dan Konotatif

Pembedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan ada atau tidak adanya

“nilai rasa” (istilah dari Slametmulyana, 1964) pada sebuah kata. Setiap kata,

terutama yang disebut kata penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif.

Makna denotatif (sering juga disebut makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut yang lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sbagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Lalu karena itu makna denotasi sering disebut sebagai

“makna sebenarnya”. Miasalnya kata perempuan dan wanita keduanya mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu manusia dewasa yang belum bersuami.

Dalam beberapa buku pelajaran, makna denotasi sering juga disebut makna dasar, makna asli, atau makna pusat; dan makna konotasi disebut sebagai makna tambahan.

Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu.

4. Makna Kata dan Makna Istilah

Pembedaan adanya makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaannya secara umum dan secara khusus. Dalam

penggunaan bahasa secara umum acapkali kata-kata itu digunakan secara tidak cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjadi tepat.

Makna sebuah kata, walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan di dalam suatu kalimat. Kalau lepas konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur.

Makna istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketetapan dan kepastian makna istilah itu karena istilah hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna istilah sudah pasti.

5. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif

Makna konseptual adalah makna yang sessuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan diluar bahasa.Misalnya kata melati berasosiasi dengan makna „suci, atau „kesucian‟; kata merah berasosiasi dengan makna „berani‟; kata cendrawasih berasosiasi dengan makna „indah‟.

6. Makna Idiomatikal dan Peribahasa

Makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (kata, frase atau

kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Sedangkan peribahasa ini bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan maka lazim juga disebut dengan naman perumpamaan. Kata-kata seperti, bagai, bak, laksana, dan umpama lazim digunakan dalam peribahasa.

7. Makna Kias

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta ada digunakan istilah arti kiasan. Tampaknya penggunaan istilah arti kiasan ini sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (kata, frase, kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Misalnya, kata putri malam yang berati

„bulan‟, kata raja siang dalam arti „matahari‟, dsb.

8. Makna Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi

Makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya. Sedangkan makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh pendengar. Sebaliknya, makna perlokusi adalah makna seperti yang diinginkan oleh penutur.

Menurut Chaer (2009) makna sebuah kata secara sinkronis dapat berubah menyiratkan pula pengertian bahwa tidak setiap kata maknanya harus berubah secara diakronis. Banyak kata yang maknanya sejak dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Dan jumlahnya lebih banyak daripada yang berubah atau pernah berubah.

2.2.2 Jenis Perubahan Makna

Perubahan mempunyai sifat, ada yang sifatnya menyempit atau mengkhusus, ada perubahan sifat yang halus , ada perubahan sifatnya mengasar, dan ada juga perubahan yang sifatnya total.

1. Meluas

Perubahan meluas atau perluasan makna adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah „makna‟, tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain. Meluas juga merupakan proses perubahan makna kata dari makna yang khusus (sempit) menjadi makna yang luas (umum). Misalnya kata “Bapak” makna sempit “Ayah” sedangkan makna luasnya „Semua lelaki yang berkedudukan lebih tinggi dari penyapa‟.

2. Menyempit

Perubahan menyempit atau penyempitan makna adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya kata “Sarjana”

bermaknakan luas yauitu “Cendekiawan” dan berubah kemakna sempit menjadi

„Gelar Universitas, Lulusan perguruan tinggi‟.

3. Perubahan Total

perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dan makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal, tetapi sangkut pautnya ini tampaknya sudah jauh sekali.Misalnya kata “Ceramah” pada mulanya berarti “Cerewet atau banyak cakap”

kini berbah menjadi „Pidato mengenai suatu hal yang disampaikan di depan orang banyak‟.

4. Penghalusan (Eufimia)

perubahan penghalusan ini berhadapan dengan gejala ditampilkan kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna lebih halus, atau lebih sopan daripada yang akan diartikan. Kecenderungan untuk menghaluskan makna kata tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat Indonesia. Misalnya kata

“Penjara” atau “Bui” diganti dengan kata yang lebih halus yaitu „Lembaga pemasyarakatan‟, kata “Korupsi” diganti menjadi „Penyalahgunakan jabatan‟.

5. Pengasaran (Disfemia)

Perubahan pengasaran yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan. Misalnya kata “Menjebloskan” untuk menggantikan kata

“Dimasukkan” seperti dalam kalimat „Polisi menjebloskannya ke dalam sel‟.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Dasar

Metode dasar penelitian adalah metode deskriftif kualitatif. Penulis memilih metode deskriftif kualitatif karena sangat tepat untuk menggambarkan atau mendeskripsikan keadaan yang sebenarnya dilapangan. Penelitian deskriftif menurut sudaryanto (1992 : 62) menyatakan metode deskriftif merupakan suatu metode yang secara empiris hidup pada penuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicari berupa pemberian bahasa yang sifatnya seperti potret, paparan, seperti apa adanya.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi peneltian tentang semantik ini ada di daerah yang ditempati suku Melayu Langkat yaitu Desa Pulau Kampai, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat.

3.3 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang penulis gunakan dalam pengumpulan data, tujuan agar pengumpulaan data dapat lebih cermat, sistematis, dan tentunya agar lebih aktual. Adapun beberapa alat dan media pembantu yang penulis gunakan diantaranya:

1. Alat tulis, beberapa buku catatan dan pulpen umtuk mencatat data-data yang diperlukan.

2. Alat rekam yang digunakan untuk merekam wawancara dengan informan, sehingga mempermudah penulisa pada saat pengolahan data.

3.4 Sumber Data

Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan beberapa metode yaitu:

a. Metode kepustakaan (library research) adalah teknik pengumpulan bahan atau data dengan membaca buku-buku yang berkaitan dan berhubungan dengan semantik.

b. Metode observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang sangat lazim dalam metode penelitian kualitatif. Observasi hakikatnya merupakan kegiatan degan menggunakan pancaindra, bisa penglihatan, penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau suatu kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian.

c. Metode wawancara yaitu mengumpulkan data dengan mengajukan pernyataan kepada informan yang memahami bahasa Melayu.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Metode analisis data merupakan suatu langkah dalam penelitian karena tahap dalam menyelesaikan masalah dengan menganalisis data yang telah dikumpulkan.

Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif.

Metode analisis data yang digunakan bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai subjek penelitian berdasarkan informasi yang diperoleh berdasarkan informasi dan fakta yang ada. Metode analisis data adalah metode atau cara-cara si peneliti dalam mengolah data yang mentah sehingga menjadi data yang cermat, atau akurat dan ilmiah.

Langkah-langkah yang harus dilakukan penulis dalam menganalisi data adalah:

1. Data yang sudah terkumpul diklarifikasi sesuai dengan pokok permasalahan objek kajian.

2. Setelah data yang sudah diklarifikasikan dianalisis berdasarkan landasan teori.

3. Mengaitkan prinsip kesantunan Leech pada objek kajian.

4. Hasil analisis ditulis secara sistematis sehingga semua data yang sudah terkumpul tidak tumpang tindih.

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Jenis – Jenis Makna

Makna dapat dibedakan berdasarkan kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis makna semantik dapat dibedakan sebagai berikut :

4.1.1 Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosa kata atau perbendarahan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata.

Dengan demikian makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.

Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna leksikal dan makna gramatikal. Makna leksikal ini dapat juga diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon. Contohnya sebagai berikut :

1. Lembik betul kutengok kueh ni.

„Lembut sekali saya lihat kue ini.‟

2. Lembik kali itu!

„Lembut sekali itu!‟

Kata lembik pada contoh (1) dan (2) bermakna sebagai kata „lembut‟.

3. Baham saja taumu, lalu tida ko tau!

„Makan saja yang kau ketahui, yang lain tidak tau kau!

4. Tak da baham aku seharian ni.

„Tidak makan aku hari ini.‟

5. Ngape tak ko baham lauk tu?

„Kenapa tidak kau makan lauk itu?‟

Kata baham pada contoh (3), (4) dan (5) bermakna sebagai kata ‟makan‟.

Contoh (1), (2), (3) ,(4) dan (5) menunjukkan makna leksikal.

Berikutnya dalam Bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna gramatikal, yaitu makna yang tidak merajuk kepada makna yang sebenarnya.

6. Jangan pala kau tunjukkan betul kaparanoan kau nak!

„Janganlah kau berperilaku seperti preman anakku!‟

7. Mamparanoi botul kau kutengok jang!

„Saya merasa perilakumu seperti preman!‟

8. Memang lembik anaknye tu!

„Anaknya memang tidak cekatan!‟

9. Yang lembiknya kau nak!

„Kamu benar-benar tidak cekatan anakku!‟

10. Terlembik betul ko.

„paling lambat sekali kau‟

Kata parano pada contoh (6) dan (7) ialah sebuah nasehat dari seseorang yang menyampaikan agar jangan berperilaku seperti orang pasaran yang tidak sama sekali tidak mengetahui akan sikap sopan santun, bukan kepada seorang remaja laki – laki. Sedangkan kata lembik pada pada contoh (8), (9) dan (10) ialah sebuah sifat dari seseorang yang tidak cekatan atau cenderung pemalas.Contoh (6), (7), (8), (9) dan (10) menunjukkan makna gramatikal.

4.1.2.Makna Referensial dan Nonreferensial

Perbedaan makna refensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidaknya referen dari kata – kata itu. Bila kata – kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang diacu oleh kata itu maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata – kata itu tidak mempunyai referen maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan “kursi”.Sebaliknya kata karena dan tetapi mempunyai referen.Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

Dalam bahasa Melayu dialek Pulau Kampai dijumpai makna referensial dan makna referensial. Contohnya seperti berikut:

11. Pecah cawan ku!

„Pecah gelas saya!‟

Kata cawan pada kalimat ini artinya „gelas‟ yang tentunya sebuah gelas memiliki referen atau asal.

12. Kelape siape ni mak?

„Kelapa siapa ini bu?‟

Kata kelape pada kalimat ini artinya buah „kelapa‟, yang makna kelapa adalah termasuk salah satu buah-buahan yang jelas bentuk maupun rasanya, dan tentunya juga memiliki referen.

13. Mane pingganku tadi?

„Dimana piring saya tadi?‟

Kata pinggan pada kalimat ini artinya sebuah „piring‟, yang mana piring termasuk salah satu barang pecah belah yang ada wujud ataupun referennya.

14. Ambekkan dulu sudu tu untuk ku!.

„Ambilkan sendok itu untuk saya!.‟

Kata sudu pada kalimat ini artinya sebuah „sendok‟, yang mana sendok termasuk salah satu perlengkapan makan yang ada wujud ataupun referennya.

15. Udah magerib, tutup tingkap tu!.

„Sudah maghrib, tutup jendela itu!.‟

Kata tingkap pada kalimat ini artinya sebuah „jendela‟, yang mana jendela termasuk salah satu bagian dari sebuah rumah yang ada wujud ataupun referennya.

Contoh (11) (12) (13) (14) dan (15) termasuk kepada makna referensial. Adapun contoh makna nonreferensial sebagai berikut:

16. Cube ko tengok budak tu, lagak die kan?

„Coba kamu lihat anak itu, rupawankan?‟

17. Lagak betul jaka tu!

„Tampan sekali pria itu!‟

Kata lagak artinya sebuah ungkapan bagi wajah seseorang yang tampan atau cantik.Kata lagak hanya bisa dilihat tetapi tidak dapat disentuh dan tidak ada wujud bendanya, maka kata lagak termasuk kepada makna nonreferensial.

18. Peralang betol atok tu!

„Kikir sekali kakek itu!‟

19. Mang hatinye taba ia.

„Geli hatinya tertawa dia.‟

20. Amba ne ndak kelek anak kemun kejap.

„Saya mau melihat keponakan sebentar.‟

Kata Peralang pada contoh kalimat (18) artinya sifat seseorang yang kikir sedangkan kata taba pada contoh kalimat (19) artinya tertawa. Kata peralang dan taba hanya bisa dirasakan tetapi tidak bisa disentuh dan tidak ada wujud bendanya,

kata kelek artinya melihat keadaan seseorang atau sesuatu Maka kata peralang, kelek dan taba termasuk pada kepada makna nonrefrensial.

4.1.3 Makna denotatif dan makna konotatif

Pembedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidak adanya “nilai rasa” ( istilah dari Slametmulyana, 1964 ) pada sebuah kata. Setiap kata, terutama yang disebut kata penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna konotatif.

Sebuah kata disebut mempunyai kata konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa” baik positif maupun negatif.Jika tidak memiliki nilai rasa maka tidak memiliki konotasi.Tetapi dapat juga berkonotasi netral.

Makna denotatif (sering juga disebut makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut pandang lain) pada dasarnya sama

Makna denotatif (sering juga disebut makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut pandang lain) pada dasarnya sama

Dokumen terkait