KARANA TOURISM AWARDS & ACCREDITATION
UNTUK MENDUKUNG PROGRAM
PARIWISATA BERTANGGUNG JAWAB DI BALI
I Dewa Ayu Hendrawathy Putri
Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Bali
�
ayuhendra_1975@yahoo.co.idPendahuluan
Sebagaimana kita ketahui, perkembangan pariwisata Indonesia tidak lepas dari tumbuh kembang pariwisata Bali. Pariwisata Bali telah tumbuh lebih dulu pada abad ke-17 pada masa penjajahan Belanda. Tidak hanya orang Belanda tetapi wisatawan Inggris dan lainnya juga berkunjung ke Pulau Dewata ini sehingga Bali sering disebut sebagai
the Island of Paradise, the Island of Gods, dan sebagainya. Tahun 1930 di Bali sudah didirikan Bali Hotel, selanjutnya tahun 1950-an kesenian Bali sudah tampil di pertunjukan internasional di gedung kesenian Belanda, sementara daerah lain di Indonesia belum melakukannya. Meskipun pengaruh budaya sangat kuat di masyarakat, pariwisata Bali tetap berproses setiap harinya sampai sekarang ini. Selain itu masyarakat Bali sadar betul kekuatan tradisi budayanya (Malik, 2016).
Program Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards & Accreditations
lahir karena dorongan rasa bangga bercampur galau dan prihatin. Bangga karena sektor pariwisata berkembang menjadi lokomotif pembangunan Bali dan penyumbang terbesar dalam pembentukan produk domestik regional bruto (PDRB), memperluas lapangan usaha dan kesempatan kerja. Di balik itu, muncul juga kegalauan dan keprihatinan karena pariwisata kian menyuburkan sikap mental eksploitatif, individualistis, dan materialistis dengan kecenderungan merusak subsistem ekologis, sosiokultural, dan estetika (gatra pendukung perwujudan tiga unsur yaitu Palemahan, Pawongan, dan
Karana (THK) yang mengedepankan prinsip-prinsip kebersamaan, keseimbangan dan keberlanjutan jauh panggang dari api. Semboyan ‘Pariwisata untuk Bali’ pun melenceng ke arah ‘Bali untuk Pariwisata’.
Dengan demikian, bukan keseimbangan dan keberlanjutan yang tercipta. Bukan pula mempersiapkan orang Bali sebagai pelaku utama bisnis pariwisata di Bali. Yang tercipta justru kerusakan lingkungan dan kemerosotan budaya. Orang Bali pun kian terpental dari pentas pariwisata. Hal itulah, kelihatannya, sebagai pemicu munculnya konlik-konlik sosial di masyarakat, khususnya pada kawasan-kawasan yang sedang dan akan dikembangkan sebagai kawasan pariwisata. Mulai saat itu, krama (warga) Bali dapat predikat warga yang terlibat konlik. Predikat ini jelas sangat merugikan Bali sebagai destinasi pariwisata, yang semestinya inklusif serta memberikan kesempatankepada siapa dan dari mana saja yang mau berwisata ke Pulau Dewata. Konlik sosial budaya yang sering juga bercampur politik, sejatinya, merupakan representasi ketidakpuasan masyarakat, karena merasa dijadikan objek belaka di tengah-tengah hingar-bingarnya pariwisata. Sementara orang asing dan pendatang makin dominan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan arah bisnis kepariwisataan. Dominasi orang asing di Bali ini, tak terbatas hanya di lingkungan hotel, tetapi merambah juga ke sektor lain, sehingga “orang Bali” hanya menjadi penonton dari hiruk-pikuknya pembangunan pulau ini.
Sekitar tahun 1970-an Bali sudah membuat Perda/peraturan daerah bahwa tinggi bangunan hotel tidak lebih dari 15 meter. Hal ini berproses secara alamiah dan menjadi bagian pencitraan. Ini tidak terjadi pada daerah-daerah lain di Indonesia. Perda tersebut memuat kearifan lokal yang kuat yang memang berasal dari kehidupan asli masyarakatnya.
Tri Hita Karana (THK) merupakan ajaran ilosoi agama Hindu yang selalu ada dalam setiap aspek kehidupan masyarakatnya. Kebudayaan Bali berproses di masyarakatnya, menampilkan citra/brand image
ukiran menarik dan bernilai seni tinggi setelah diolah tangan kreatif pemuda-pemudi Bali (Malik, 2016).
Hal ini memberi masukan kepada daerah-daerah lain dan memperlihatkan bagaimana Bali dapat mempertahankan budayanya dalam beradaptasi dengan jumlah kunjungan wisatawan asing yang tinggi. Selain itu, hal ini juga menjadi bahan evaluasi apakah yang dilakukan Bali sudah tepat atau perlu perbaikan dalam mengelola pencitraan pariwisatanya sendiri. Manfaat lainnya adalah memberikan masukan atau pertimbangan untuk penguatan budaya lokal yang mempunyai ciri ke Indonesian dan identitas budaya yang kuat seperti Bali. Pembentukan integritas dan jati diri ini yang dibentuk dari seni kebudayaan dan keagamaan yang ada dalam kesehariaan keluarga, masyarakat, dan pemerintah daerah yang juga berperan mendirikannya. Keseharian aktivitas masyarakat di Bali tidak berbeda dengan keseharian yang dilihat oleh wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara ketika berkunjung ke Bali. Daya tarik ini secara langsung tanpa disadari terus menerus berproses mempengaruhi pikiran setiap wisatawan sebelum, saat, ataupun setelah wisatawan berkunjung sehingga terbentuklah sebuah pencitraan yang positif bagi pariwisata Bali. Penelitian ini diharapkan dapat memberi beberapa saran khusus untuk Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Industri Pariwisata agar penguatan branding yang dilakukan Bali dapat menjadi bahan pembanding dalam mempertahankan budaya maupun pencitraan pariwisatanya (Malik, 2016).
Kajian Teori
salah satunya adalah dengan menggunakan metode komunikasi persuasi. Cara persuasif adalah dengan menggunakan pendekatan kepada masyarakat, pendidikan dan musyawarah untuk melibatkan masyarakat. Komunikasi persuasif secara umum mengandung arti suatu komunikasi untuk mempengaruhi orang lain agar mau mengikuti kehendak penyampai pesan (Larson, 1999:65). Di dalam persuasi digunakan cara-cara tertentu sehingga orang mau melakukan sesuatu dengan senang hati tanpa paksaan. Kesediaan itu timbul dari dalam dirinya sebagai akibat adanya dorongan atau rangsangan tertentu yang menyenangkan.
Metodologi
Untuk menjawab permasalahan yang terjadi menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik penentuan informan menggunakan
purposive sampling dan pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, serta dokumentasi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa, pelaksanaan pembangunan di Bali akan selalu menjunjung tinggi harmoni dan kebersamaan. Salah satu wujud nyata yang diharapkan dalam penerapan Tri Hita Karana (THK) ini adalah tidak terjadinya konlik dalam proses pembangunan, baik di lingkungan internal stakeholders maupun eksternal.
Analisis Dan Pembahasan
Kronologi Event Tri Hita Karana (THK) Award & Accreditation Berdasarkan pengalaman yang “menyedihkan” antara pelaku pariwisata lokal dengan para praktisi pariwisata “asing” tersebut memperlihatkan betapa masyarakat lokal secara sistematik “disingkirkan” dari perhelatan pariwisata, sehingga akhirnya memicu disharmoni hubungan antarpelaku pariwisata dan masyarakat Bali yang menjadi penyangga pariwisata. Hal inilah yang mendorong, para intelektual Bali, tokoh-tokoh budaya, dan pemerhati pariwisata pada tahun 2000 memprakarsai penyelenggaraan Event Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards & Accreditations, sebuah penghargaan bagi hotel yang manajemennya telah menerapkan konsep Tri Hita Karana,
ini merupakan sinergi antar tim leader studi kumulatif mengenai dampak lingkungan (study on commulative environmental impact - SOCEI) dengan tim Pusat Kajian Bali (PUSAKA Bali) dan staf dosen di perguruan tinggi di Bali, para pemerhati, dan praktisi pariwisata dan lingkungan hidup. Kemudian, sejak tahun 2001, Pemerintah Provinsi Bali secara terus menerus memberikan dukungan kepada penyelenggaran akredisasi lembaga berwawasan Tri Hita Karana
ini secara konsisten. Pelaksanaan penganugrahan Tri Hita Karana
setiap tahun dibantu oleh Paguyuban Pemerhati dan Pelaksana Tri Hita Karana, Assosiasi Chef Indonesia, Food & Beverage Manajemen Association, dan lembaga lainnya yang memiliki kepedulian terhadap implementasi Tri Hita Karana dalam aspek kehidupan.1
Secara sederhana logo Tri Hita Karana (THK) Awards & Accreditations dapat dipopulerkan sebagai Patra Trisula karena merupakan sosialisasi dari bentuk dasar Tri Sula dengan Pepatran
dan Kekarangan yang mencirikan dunia lora dan fauna dalam ragam hias Bali. Sebagai sebuah lambang/simbol Patra Trisula sekurang-kurangnya mempunyai dua kelompok penjelasan:
1. Pendekatan Ikonograis (ilmu tanda-tanda) :
a) Kata Tri pada Tri Hita Karana (THK) berarti juga, sehingga bentuk dasarnya dapat digambarkan dengan segitiga. Terdapat hubungan analogi dengan simbol Tri Kona (utpeti /lahir; stiti / hidup; dan pralina/mati ), seperti Sanggah Cukcuk atau Sanggah Penjor yang berbentuk dasar segitiga sama sisi;
b) Dari aspek teknis-teknologis, bentuk segitiga, apalagi segitiga sama sisi berarti rigid, kuat, seimbang, dapat menyalurkan
beban yang sama ke semua sisi. Hal ini bersesuaian dengan hakikat konsep Tri Hita Karana (THK) yakni keseimbangan (balanced) dan harmoni (harmony);
c) Sosialisasi bentuk dasar segitiga sama sisi, menjadi Tri Sula
adalah karena bentukan Tri Sula merupakan interseksi dari tiga konsep dasar yang menempatkan sebuah ‘intisari’ di tengah-tengahnya;
d) Tri Sula merupakan senjata Dewa Sambu, yang berstana di arah Ersanya (Timur Laut) dalam pengider-ideran (Dewata Nawa Sanggha). Arah mana dalam kosmologi orang Hindu (Bali) adalah arah Utamaning utama. Tempat dimana Sanggah/ Pamerajan berlokasi atau tempat Pura Besakih dalam konsepsi
Padma Bhuwana;
e) Di tengah-tengah Sula dari masing-masing Trisula yang ada digambarkan dengan “sinar” untuk Sula yang menghadap ke atas, sebagai areal Parhyangan; gambar “pallus” untuk Sula yang mengarah ke kanan sebagai simbol kehidupan (sosial, Pawongan); dan gambar pohon “kalpataru” untuk Sula yang menghadap ke kiri sebagai simbul lingkungan alam (Palemahan).
2. Pendekatan semiotika (ilmu lambang dan makna-makna) :
a) Logo Tri Hita Karana (THK) ini bernuansa ‘egosentris’ yakni paham yang menganggap manusia adalah pokok, pusat segala hal. Asumsi dasarnya adalah Tuhan dan alam telah membentuk ‘keseimbangan’ dan ‘keserasian’ sendiri dengan hukum alamnya. Manusialah yang dapat menyebabkan segala sesuatu itu berjalan secara kurang seimbang dan serasi;
b) Secara universal bentukkan lambang ini menggambarkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya dan hubungan horizontal manusia dengan sesamanya dan alam lingkungannya. Hal ini sekaligus merupakan cerminan dari tujuan hidup manusia Bali (Hindu) adalah Moksartam Jagadhita ya ca iti dharma, yang berarti mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia (Jagadhita) dan kemudian bersatu kembali dengan Tuhan (Moksa); c) Bentukan Tri Sula merupakan interseksi dari dimensi teologi
dimensi ekologi (Palemahan) dari tiga unsur Tri Hita Karana (THK) dan sekaligus menempatkan konsep Tri Hita Karana (THK) sebagai intisarinya;
d) Nilai universal konsep Tri Hita Karana (THK) yang tercermin dalam Patra Trisula tersebut dapat secara kreatif direaktualisasikan dan implementasikan pada (misalnya) ranah tata ruang sebagai aspek spiritual ruang (sakral dan profan), aspek sosio-kultural spatsial dan aspek teritorial.2
Strategi Komunikasi
Strategi komunikasi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajemen (management) untuk mencapai satu tujuan. Strategi komunikasi merupakan paduan dari perencanaan komunikasi dan manajemen komunikasi untuk mencapai suatu tujuan (Efendy, 2003:301).
Strategi komunikasi harus didukung oleh teori karena teori merupakan pengetahuan berdasarkan pengalaman (empiris) yang sudah diuji kebenarannya.
Harold D. Lasswell menyatakan, cara yang terbaik untuk menerangkan kegiatan komunikasi adalah menjawab pertanyaan “Who Says what which Channel To whom With What Efect”? Untuk mempertegas strategi komunikasi, maka semua harus terintegrasi dengan komponen-komponen yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan dalam rumus atau formula Lasswell; (1) Who? (Siapakan Komunikatornya); (2) Says What? ( pesan apa yang dinyatakannya); (3) In Which Channel? (media apa yang digunakannya); (4) To Whom? (siapa komunikannya); (5) With What Efect? (efek apa yang diharapkan).
Strategi komunikasi yang digunakan dalam mewujudkan pariwisata bertanggung jawab yaitu penggunaan media dan pesan-pesan yang disampaikan. Adapun strategi komunikasi tersebut akan dipaparkan sebagi berikut :
1. Perencanaan Pesan
Ketika ingin melakukan pengembangan strategi penyusunan pesan dalam perencanaan pesan dan media komunikasi, ada tiga faktor dalam pesan yang perlu dikaji, yakni: kode pesan, isi pesan, dan pengolahan pesan. Menurut Berlo (1960:57), suatu kode dapat dideinisikan sebagai kelompok
symbol yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung arti bagi banyak orang. Bahasa terdiri dari kode-kode; bahasa Indonesia adalah suatu kode yang di dalamnya terkandung: unsur-unsur (bunyi, huruf, kata, kalimat, dsb) yang tersusun dalam urutan tertentu yang mengandung arti. Sebagai lambang verbal, bahasa adalah kumpulan kata-kata dan kumpulan kalimat. Sebagai lambing nonverbal, bahasa adalah sekumpulan isyarat tertentu. Hal-hal yang diungkapkan di atas menegaskan bahwa pesan pada dasarnya merupakan sesuatu bentuk yang dikode (disandi). Prosen penyandian pesan dalam suatu proses komunikasi dilakukan demi mencapai kondisi isomorik. Isomorik adalah kondisi kesamaan penafsiran pada perilaku yang sama dalam pikiran komunikator maupun komunikan (George A. Borden dalam Fisher, 1978:370). Proses penyandian pesan yakni proses penuangan ide atau gagasan ke dalam lambang-lambang yang berarti oleh sumber agar dapat ditafserkan sama oleh penerima dan selanjutnya agar dapat menghasilkan efek berupa perilaku yang sesuai dengan yang diharapkan, memerlukan suatu perencanaan yang matang.
Isi pesan adalah materi yang dipilih oleh sumber untuk menyatakan maksudnya. Seperti halnya kode pesan, isi pesan pun mempunyai unsur dan struktur. Perencanaan isi pesan, harus mempertimbangkan kondisi sasaran, siapa sasaran kita adalah patokan yang harus diutamakan jika kita akan menentukan isi pesan yang akan kita sampaikan. Isi pesan yang sama mungkin harus berbeda struktur penyampaiannya jika ingin disampaikan pada sasaran yang berbeda. Perencanaan isi pesan merupakan upaya untuk menginventarisasikan pesan-pesan yang telah disandi dan menyusunnya ke dalam urutan-urutan tertentu hingga ketika pesan tersebut kita sampaikan dapat benar-benar dipahami oleh penerima sesuai dengan tujuan komunikasi kita. Penyusunan isi pesan, selain harus mempertimbangkan kondisi khalayak sasaran, harus merujuk pada tujuan komunikasi kita. Untuk komunikasi persuasif, Wayne N. hompson (Rakmat, 1992:115-118) menyarankan bahwa isi pesan harus: (1) Menarik Perhatian. Memuat bahan-bahan yang menarik perhatian; (2) Menyentuh dan Menggerakkan. Pesan-pesan yang mempunyai pengaruh psikologis.
2. Penyusunan Pesan
Pesan adalah segala sesuatu yang disampaikan oleh seseorang dalam bentuk simbol yang dipersepsi dan diterima oleh khalayak dalam serangkaian makna (Cangara, 2013:113). Pada EventTri Hita Karana (THK) Tourism Awards & Accreditations ini, pesan disampaikan melalui perantara media sosial, yaitu Facebook dan Twitter.
Dalam hal ini metode penyusunan pesan, yang dapat dilihat dari dua aspek yakni; menurut cara pelaksanaannya dan menurut bentuk isinya. Menurut cara pelaksanaannya, dapat diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu; metode redundancy (repetition) dan canalizing. Sedangkan yang kedua menurut bentuk isinya dikenal metode-metode: informatif; persuasif; edukatif; koersif. Metode redundancy adalah cara mempengaruhi khalayak dengan jalan mengulang-ulang pesan pada khalayak. Metode canalizing
yaitu mempengaruhi khalayak untuk menerima pesan yang disampaikan, kemudian secara perlahan-lahan merubah sikap dan pola pemikirannya ke arah yang kita kehendaki. Metode informatif, lebih ditujukan pada penggunaan akal pikiran khalayak, dan dilakukan dalam bentuk pernyataan berupa; keterangan, penerangan, berita, dan sebagainya. Metode persuasif, yaitu mempengaruhi khalayak dengan jalan membujuk. Dalam hal ini khalayak digugah baik pikiran maupun perasaannya. Metode edukatif, yaitu memberikan sesuatu idea kepada khalayak berdasarkan fakta-fakta, pendapat dan pengalaman yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi kebenarannya dengan disengaja, teratur dan berencana, dengan tujuan mengubah tingkah laku manusia ke arah yang diinginkan. Metode koersif, yaitu mempengaruhi khalayak dengan jalan memaksa tanpa memberi kesempatan berpikir untuk menerima gagasan-gagasan yang dilontarkan, dimanifestasikan dalam bentuk peraturan-peraturan, intimidasi dan biasanya dibelakangnya berdiri kekuatan tangguh.
3. Pemilihan Media
Komunikator dapat memilih salah satu atau gabungan dari beberapa media, tergantung pada tujuan yang akan dicapai, pesan yang disampaikan dan teknik yang dipergunakan, karena masing-masing medium mempunyai kelemahan-kelemahannya tersendiri sebagai alat. Memilih media komunikasi harus mempertimbangkan karakteristik isi dan tujuan isi pesan yang ingin disampaikan, dan jenis media yang dimiliki oleh khalayak (Cangara, 2013:120). Sejalan dengan pemaparan Cangara, pemilihan media dalam penyelenggaraan Event Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards & Accreditations memang mempertimbangkan karakteristik dan tujuan isi pesan, mulai dari kebutuhan, kemudahan penggunaan, biaya murah, sampai media apa yang banyak digunakan oleh orang lain.
Dengan mempertimbangkan beberapa faktor tersebut akhirnya penyelenggaraan Event Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards & Accreditations memilih menggunakan media sosial setelah sebelumnya sempat menggunakan SMS (Short Message Service) dan website.
Media sosial adalah “medium di internet yang memungkinkan pengguna merepresentasikan dirinya maupun berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lain dan membentuk ikatan sosial secara virtual” (Nasrullah, 2015:11). Dengan media sosial yang digunakan, EventTri Hita Karana (THK) Tourism Awards & Accreditations mampu membentuk sebuah ikatan sosial secara
virtual, dimana para peserta Event Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards & Accreditations dan pada media sosial ini lah mereka dapat saling berinteraksi antara pihak penyelenggara dan peserta Event Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards & Accreditations.
Keberlanjutan EventTri Hita Karana (THK) Awards & Accreditations Ada berbagai permasalahan di Bali yang mendorong Tim
Tri Hita Karana (THK) Awards & Accreditations berkomitmen agar Tri Hita Karana (THK) diterapkan dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembangunan. Seperti diketahui, sejak 1970-an hingga kini, pembangunan Bali didominasi oleh sektor pariwisata. Karena itu, concern Tim Tri Hita Karana (THK) Awards & Accreditations
Dengan demikian, sistem ekonomi Bali tidak mengalami goncangan yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pelaksanaan Tri Hita Karana (THK), selain dapat menumbuhkan harmoni dalam kehidupan, mampu juga menjamin pelaksanaan seluruh sektor pembangunan, termasuk keberlanjutan pariwisata. Sebaliknya disharmoni, selain dapat menimbulkan kegoncangan pembangunan pariwisata, sekaligus juga mengganggu seluruh aspek kehidupan.
Disharmoni pembangunan Bali di sektor pariwisata, menurut hasil survei Bali Travel News bekerja sama dengan Art Tourism of Bali (ATB, 1998-1999), memunculkan 8 (delapan) kesan buruk turis terhadap Bali, yaitu: (1) Bali kotor, (2) penipuan oleh pedagang valuta asing dan sopir taksi yang curang, (3) kemacetan lalu-lintas, (4) kerusakan alam dan pemandangan, (5) terlalu banyak pembangunan gaya Barat, (6) terlalu banyak hotel/ bangunan besar dan restoran gaya Barat, (7) tak cukup informasi yang benar tentang Bali, dan (8) makin sulit menemukan budaya Bali di Bali.
Di samping itu, tercatat juga beberapa konlik sosial budaya yang mencuat di Bali akibat lemahnya penerapan prinsip harmoni dan kebersamaan dalam pelaksanaan pembangunan. Konlik sosial budaya tersebut, baik yang terjadi di lingkungan internal lembaga tertentu (utamanya di perusahaan kepariwisataan), maupun antarlembaga dengan lingkungan sosial di sekitarnya membawa akibat luas bagi pembangunan kepariwisataan dan kehidupan masyarakat Bali. Semua konl ik sosial yang dipicu oleh disharmoni seperti disebutkan di atas, tentu saja, sangat tidak menguntungkan. Hal ini terjadi karena sejak awal proses pembangunan kepariwisataan di Bali tidak di design untuk menerapkan Tri Hita Karana (THK) sehingga konlik sosial yang terlanjur muncul tak ubahnya penyakit menahun yang membutuhkan waktu lama dan biaya mahal untuk menyembuhkannya. Dalam upaya ikut berpartisipasi ’menyembuhkan’ penyakit menahun itu, Tim Tri Hita Karana (THK) Awards & Accreditations memandang sangat penting mengembangkan visi dan misi pembangunan yang mengedepankan pendekatan integratiholistik, yang tidak hanya mereduksi aspek material-ekonomis, tetapi memperhatikan juga dimensi lingkungan isik, sosial budaya, estetika/spiritual sebagaimana diamanatkan dalam konsep Tri Hita Karana (THK).3
Matrik Program
Untuk mempertegas program kegiatan dalam penyelenggaraan
EventTri Hita Karana (THK) Tourism Awards & Accreditations, berikut ini disajikan Matrik Program untuk menjabarkan secara lebih rinci semua misi yang ingin dicapai melalui program Tri Hita Karana (THK)
Awards & Accreditations.
No. Misi Program Kegiatan Indikator
1 Mendorong
3 Mendorong konsep reduce,
reuse dan recycling
dalam pengelolaan
l ora-fauna, air, tanah, dan
ei siensi pemakaian energi.
Terciptanya pertamanan yang sesuai dengan nilai
budaya Bali.
(Sumber: Buku Panduan Tri Hita Karana Awards & Accreditation 2017)
Komitmen Yayasan Tri Hita Karana Sebagai Penyelenggara Event Tri Hita Karana Awards & Accreditation
Event Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards & Accreditations
yang dilaksanakan oleh Yayasan Tri Hita Karana Bali, sebagaimana telah diakui secara resmi oleh Organisasi Pariwisata Dunia-Perserikatan Bangsa Bangsa (UN-WTO) adalah sebuah contoh yang baik bagaimana Kode Etik dapat diterapkan di tingkat lokal serta diintegrasikan ke dalam konteks yang sebenarnya. Pengakuan tersebut diberikan secara resmi oleh Pascal Lamy, Ketua UN-WTO, setelah laporan “Event Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards & Accreditations: Sebuah Pendekatan Berkelanjutan” yang dipandu oleh I Gede Ardika pada pertemuan ke-15 Komite Dunia untuk Etika Pariwisata di Rovinj, Kroasia, pada tanggal 26-27 Mei 2015.4
Kode Etik Global untuk Pariwisata, yang terdiri dari 10 pasal diadopsi oleh resolusi A / RES / 406 (XIII) di Majelis Umum WTO
ketigabelas (Santiago, Chile, 1999). Anggota WTO dengan sungguh-sungguh mengadopsi prinsip-prinsip tersebut dengan tujuan untuk menegaskan “keinginan mereka untuk mempromosikan tatanan dunia nyata yang adil, bertanggungjawab dan berkelanjutan, yang manfaatnya akan dibagi oleh semua sektor masyarakat dalam konteks ekonomi internasional yang terbuka dan diliberalisasi.”
Konsep hidup Tri Hita Karana (THK) sudah ada sejak berabad-abad yang lalu dan diintegrasikan ke dalam kehidupan masyarakat Bali. Desa tradisional (desa pakraman) dan sistem irigasi tradisional (subak) sudah lama mempraktekkan ilsafat THK tersebut. Berasal dari bahasa Sanskerta,
Tri Hita Karana (THK) melambangkan tiga aspek yang membawa kesejahteraan, keseimbangan hidup dan kebahagiaan: menjaga harmoni dan keseimbangan manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan sesama manusia (pawongan) dan manusia dengan lingkungannya (palemahan). Meskipun THK dideinisikan sebagai konsep pembangunan Bali sejak tahun 1969, baru sejak tahun 2000 konsep ini mulai dievaluasi di industri pariwisata melalui EventTri Hita Karana (THK) Tourism Awards & Accreditations yang merupakan inisiatif lokal yang diangkat oleh para jurnalis, dosen dan profesional lainnya dari industri pariwisata, yang menunjukkan kepedulian terhadap pariwisata yang berkembang di Bali, yang meningkatkan sikap eksploitatif, individualistis dan materialistis, dengan kecenderungan destruktif terhadap aspek ekologi, sosial budaya, dan subsistem estetika (terkait dengan unsur konsep THK: palemahan, pawongan dan parhyangan).5
“Event Tri Hita Karana (THK) Tourism Awards & Accreditations” berfokus pada semangat Bali, kepedulian terhadap masyarakat dan konservasi alam. Hotel dan institusi sektor pariwisata (lembaga, sekolah, universitas, dan lain-lain) dinilai setiap tahun dengan kuesioner yang mengukur tiga dimensi, terkait dengan konsep THK, yaitu spiritual (parhyangan), manusia (pawongan) dan lingkungan (palemahan). Sesuai dengan nilai yang diperoleh, hotel / institusi akan menerima penghargaan (perunggu, perak, emas, zamrud atau platina).
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa sebanyak 8 pasal (22 paragraf) yang tercantum dalam Kode Etik Global untuk Pariwisata sesuai dengan lebih dari 95 persen kriteria yang digunakan oleh penyelenggara
EventTri Hita Karana (THK) Tourism Awards & Accreditations selama penilaian: 14 dari 15 kriteria digunakan dalam dimensi ‘spiritual,’ dan semua kriteria yang digunakan untuk dimensi ‘manusia’ dan ‘lingkungan’ (masing-masing 5 dan 9 kriteria). Melihat dari item kuesioner penilaian tersebut, 59 item (94%) dari 63 item menunjukkan kesesuaian; Khususnya: 14 dari 15 item dimensi ‘spiritual’; 27 dari 30 item yang digunakan dalam dimensi ‘manusia’; dan semua dari 18 item yang digunakan dalam dimensi ‘lingkungan.’ Ketiga pasal dari Kode Global yang sesuai dengan jumlah kriteria / item yang lebih tinggi, dalam urutan menurun, adalah: Pasal 1: Kontribusi pariwisata terhadap saling pengertian dan penghargaan antara orang-orang dan masyarakat (Paragraf 1, 2, 3 dan 4); Pasal 3: Pariwisata, sebuah faktor pembangunan berkelanjutan (Paragraf 1, 2, 4 dan 5); dan Pasal 9: Hak pekerja dan pengusaha di industri pariwisata (Paragraf 2, 5 dan 6). Pasal tambahan yang sesuiai adalah: Pasal 2: Pariwisata sebagai wahana pemenuhan individual dan kolektif; Pasal4: Pariwisata, pengguna warisan budaya umat manusia dan penyumbang kepada peningkatannya; Pasal 5: Pariwisata, kegiatan yang menguntungkan negara tuan rumah dan masyarakat; Pasal 6: Kewajibankewajiban pemangku kepentingan dalam pengembangan pariwisata; dan Pasal 7: Hak atas pariwisata. Kesesuaian antara pasal-pasal Kode Global dan kriteria / item penilaian Penghargaan THK memiliki implikasi yang berharga. Tidak hanya menunjukkan pendekatan berkelanjutan dari program ini dan bagaimana prinsip Kode Etik dapat digabungkan menjadi proyek nyata, namun juga yang terpenting, bahwa i losoi hidup leluhur Tri Hita Karana-bagi manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan-menunjukkannya sudah mendunia, yang mengekspresikan nilai-nilai yang dibagi secara global (Wisnu Wardana dan Claudia Morales Manrique, 2015).
Data Peserta Tri Hita Karana Tourism Awards And Accreditation
Tahun 2000-2016
No. Kategori Jumlah
1 Kategori Hotel / Villa / Boutique / Pondok Wisata 331
2 Kategori Daya Tarik Wisata (Dtw) 34
3 Kategori Instansi/Kantor Pemerintahan 17
4 Kategori Perguruan Tinggi / Kampus 9
5 Kategori Sekolah 36
Kesimpulan
Datar Pustaka
Abdullah, I. A. (2009). Manajemen Konferensi dan Event. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Allen, J., O’Toole, W., Harris, R., & McDonnell, I. (2011). Festival and Special Event Management. Australia: John Wiley & Sons.
Buku Panduan Tri Hita Karana Awards & Accreditation 2012, Bali Travel Newspaper Denpasar
Buku Panduan Tri Hita Karana Awards & Accreditation 2017, Bali Travel Newspaper Denpasar
Laporan Evaluasi Branding Pariwisata Indonesia. (2010). Puslitbang Pariwisata BPSD Kemenbudpar
Malik, Farmawati. 2016. Peranan Kebudayaan dalam Pencitraan Pariwisata Bali Jurnal Kepariwisataan Indonesia Vol. 11 No. 1 Juni 2016 ISSN 1907 - 9419
Pitana, IG. (1999), Pelangi Pariwisata Bali. Bali Post