• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Keadaan Umum Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Pada Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini merupakan lokasi yang terletak di dua desa pada dua

kecamatan dan provinsi yang berbeda yaitu di Desa Ujung Padang Kecamatan

Bakongan Kabupaten Aceh Selatan dan di Desa Sei Serdang Kecamatan Padang

Tualang Kabupaten Langkat. Lokasi penelitian ini merupakan lokasi yang sering

terjadi konflik. Hal ini dikarenakan batas kawasan dekat dengan kawasan Taman

Nasional Gunung Leuser (TNGL). Sehinggs sangat memungkinkan orangutan

masuk ke kawasan pemukiman dan perladangan penduduk. Informasi yang

didapatkan dari OIC bahwa dari hasil survei dan penanganan langsung mitigasi

konflik orangutan yang pernah dilakukan tim OIC menunjukkan kedua lokasi

penelitian ini terdapat orangutan yang sudah cukup lama terfragmentasi sehingga

orangutan akan sering memasuki perladangan penduduk jika kehabisan pakan dari

habitat asli orangutan dan ketika pakannya habis orangutan tersebut memakan

tanaman milik masyarakat bahkan pucuk daun sawit yang masih muda juga

dimakan orangutan, sehingga hal tersebut menimbulkan konflik dan keresahan

bagi penduduk sekitar kawasan.

Menurut BPS Kabupaten Langkat (2015) Kecamatan Batang Serangan

merupakan sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Langkat yang berada di

daerah langkat hilir letaknya diapit oleh 6 kecamatan dan 1 provinsi. Sedangkan,

Kecamatan Bakongan merupakan salah satu kecamatan di Aceh Selatan yang

terdiri dari 7 desa (gampong) yaitu Ujung Mangki, Kuede Bakongan, Kampung

(2)

Masing-masing setiap desa (gampong) memiliki 3 dusun. Ibukota Kecamatan Bakongan

berada di desa Keude Bakongan (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kondisi Fisik Lokasi Penelitian Letak dan Geografis

Kabupaten Aceh Selatan terletak antara 02023’24” – 03036’24” Lintang

Utara dan 96054’26” – 97051’24” Bujur Timur, dengan ketinggian wilayah rata-rata

sebesar 25 meter diatas permukaan laut (mdpl). Hingga tahun 2015 Kabupaten

Aceh Selatan terdiri dari 18 kecamatan. 260 desa, 43 mukim. Pusat pemerintahan

Kabupaten Aceh Selatan berada di Kecamatan Tapaktuan. Batas-batas wilayah

Kabupaten Aceh Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Barat Daya, sebelah

selatan berbatasan dengan Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil,

sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia, dan sebelah timur berbatasan

dengan Kabupaten Aceh Tenggara. Luas Kabupaten Aceh Selatan adalah

4.0005,10 km2(BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kabupaten Langkat sebagai salah satu kabupaten di ujung barat Provinsi

Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Provinsi Aceh dibagian utara

dan barat, serta berbatasan dengan Selat Malaka di bagian utara. Sedangkan, di

sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo, Kota Binjai dan Kabupaten

Deli Serdang di sebelah timur. Secara geografis berada antara 03014’00’’ dan

04013’00’’ Lintang Utara dan antara 97052’00’’ dan 98045’00’’ Bujur Timur. Luas

wilayah Kabupaten Langkat 6.236,29 km2 atau 8,47 persen dari total luas Provinsi

(3)

Topografi

Kondisi topografi sangat bervariasi, terdiri dari dataran rendah,

bergelombang, berbukit, hingga pegunungan dengan tingkat kemiringan sangat

curam/terjal. Dari data yang diperoleh, kondisi topografi dengan tingkat

kemiringan sangat curam/terjal mencapai 63,45%, sedangkan berupa dataran

hanya sekitar 34,66% dengan kemiringan dominan adalah pada

kemiringan-kemiringan 40% dengan luas 254.138,39 ha dan terkecil kemiringan-kemiringan 8-15% seluas

175,04 ha, selebihnya tersebar pada berbagai tingkat kemiringan. Dilihat dari

ketinggian tempat (diatas permukaan laut) ketinggian 0-25 meter memiliki luas

terbesar yaitu 152.648 ha (38,11%) dan terkecil adalah ketinggian 25-100 meter

seluas 39.720 ha (9,92%) (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kabupatenn Langkat dibedakan atas 3 bagian. Bagian-bagian tersebut

antara lain : pesisir pantai dengan ketinggian 0-4 meter diatas permukaa n laut

(mdpl), dataran rendah dengan ketinggian 0-30 meter diatas permukaan laut

(mdpl), dataran tinggi dengan ketinggian 30-1200 meter permukaan laut (mdpl)

(BPS Kabupaten Langkat, 2015).

Iklim

Kondisi iklim di Aceh hampir seluruhnya tropis. Pada wilayah pesisir

pantai suhu udara rata-rata 26,90C, suhu udara maksimum mencapai 32,50C dan

minimum 22,90C. Kelembaban relatif daerah ini berkisar antara 7 dan persen.

Antara bulan Maret sampai Agustus Aceh mengalami fase musim kemarau,

kondisi ini dipengaruhi oleh massa udara benua Australia. Sementara musim

hujan berlangsung antara bulan September hingga Februari yang dihasilkan dari

(4)

bervariasi pada setiap daerah-daerah yang berada di Aceh, berkisar antara

1.500-2.500 mm per tahun (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kabupaten Langkat termasuk daerah yang beriklim tropis, sehingga daerah

ini memiliki 2 musim yaitu musim kemarau yang terjadi pada bulan Februari

sampai dengan bulan Agustus dan musim hujan terjadi pada bulan September

sampai dengan bulan Januari. Musim kemarau dan musim hujan biasanya ditandai

dengan sedikit banyaknya hari hujan dan volume curah hujan pada bulan

terjadinya musim (BPS Kabupaten Langkat 2015).

Tanah

Sebagian besar jenis tanah di Kabupaten Aceh Selatan adalah podzolik

merah kuning seluas 161,022 ha dan yang paling sedikit adalah jenis tanah regosol

hanya 5,213 ha (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015). Jenis-jenis tanah yang

berada di Kabupaten Langkat antara lain : sepanjang pantai pesisir dari jenis tanah

Aluvial yang sesuai untuk jenis tanaman pertanian pangan, dataran rendah dengan

jenis tanah glei humus rendah, hidromofil kelabu dan plarosal, dataran tinggi jenis

tanah podsolid berwarna merah kuning (BPS Kabupaten Langkat, 2015).

Sosial Ekonomi

Kecamatan Bakongan yang berada di Kabupaten Aceh Selatan memiliki

luas wilayah sebesar 27.415 ha, dan memiliki 7 desa (gampong). Luas

masing-masing kampung menurut penggunaan lahan pada tahun 2013 berupa lahan sawah

seluas 290,00 ha, ladang seluas 675,00 ha, perkebunan seluas 445,00 ha,

bangunan seluas 142,00 ha, lainnya seluas 6.281,00 ha, dan luas seluruh 7

kampung seluas 7.833,00 ha. Kepadatan penduduk dan jumlah rumah tangga pada

(5)

jiwa/km, jumlah rumah tangga 1.362 jiwa yang terdiri atas 2.751 jiwa laki-laki

dan 2.850 jiwa perempuan. Dari jumlah penduduk yang ada sebagian besar

penduduk bekerja sebagai petani sebanyak 266 jiwa, nelayan sebanyak 540 jiwa,

pedagang sebanyak 187 jiwa, bidang indusri RT sebanyak 11 jiwa, PNS sebanyak

187 jiwa, dan buruh/pegawai swasta sebanyak 171 jiwa. Adapun jumlah bangunan

sekolah pada tahun 2014 di Kecamatan Bakongan yaitu SD ada 5, SMP ada 1,

MTs ada 1, SMA ada 1, dan MAN ada 1 (BPS Kabupaten Aceh Selatan, 2015).

Kecamatan Batang Serangan yang terletak di Kabupaten Langkat memiliki

luas wilayah 89.938 ha dan memiliki 8 desa/kelurahan. Luas lahan pertanian

terbagi atas luas sawah sebesar 118 ha, dan luas bukan sawah sebesar 88.552 ha.

Luas lahan non pertanian sebesar 1.298 ha. Jumlah Penduduk di kecamatan ini

sebanyak 36.375 jiwa, yang terdiri atas 18.561 jiwa laki-laki dan 17.814 jiwa

perempuan. Adapun jumlah rumah tangga sebanyak 8.953 kepala keluarga di

antaranya bekerja pada bidang pertanian, industri/kerajinan, PNS dan ABRI,

Pedagang dan Buruh. Terdapat 21 sekolah berstatus negeri, dan 12 sekolah

berstatus swasta. Dilihat dari jumlah penduduk yang bekerja dan memiliki

penghasilan sesuai pekerjaannya Kecamatan Batang serangan dapat dikategorikan

masyarakat yang berpenghasilan rendah dan masih tergolong miskin dilihat dari

angka penduduk keluarga sejahtera (BPS Kabupaten Langkat, 2015).

Taman Nasional Gunung Leuser

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di Provinsi Sumatera

Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Area seluas 1.094.692 ha ini ditetapkan

oleh Pemerintah Indonesia sebagai taman nasional pada tahun 1980. Nama TNGL

(6)

ketinggian mencapai 3.404 meter (m) diatas permukaan laut (dpl). Bersama

dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Kerinci

Sebiat, TNGL ditetapkan UNESCO pada tahun 2004 sebagai situs warisan dunia,

Tropical Rainforest Heritage of Sumatera pada tahun 2004. Sebelumnya, TNGL

juga telah ditetapkan UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981, dan

ASEAN Heritage Park pada tahun 1984. TNGL berada di dalam Kawasan

Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2.6 juta ha dan dianggap sebagai

rumah terakhir bagi orangutan Sumatera yang sangat terancam punah. KEL

merupakan habitat yang kompleks dengan keanekaragaman hayati yang tinggi,

namun sekaligus rentan (OIC, 2009).

Kawasan TNGL Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang

yang luasnya ± 126.000 ha berada di wilayah Kabupaten Langkat terletak di

Kecamatan Besitang, Sei Lepan, dan Batang Serangan dan sebagian di Kabupaten

Aceh Tamiang. Untuk pemangkuan wilayah kerja dibagi dalam 6 (enam) Resort,

yaitu Resort Trenggulun, Sei Betung, Sekoci, Sei Lepan, Cinta Raja, dan

Tangkahan. Pengelolaan kawasan TNGL di SPTN VI Besitang menghadapi

permasalahan yang sangat kompleks bermuara pada terjadinya kerusakan kawasan

TNGL. Untuk data luas kerusakan kawasan TNGL di wilayah Kabupaten Langkat

sendiri menurut hasil penafsiran Citra Landsat tahun 2002 menunjukkan

kerusakan seluas 43.623 ha termasuk kawasan bukan berupa hutan seluas 20.688

ha. Sedangkan menurut pantauan Yayasan Leuser Internasional (YLI)

menunjukkan kerusakan seluas 22.000 ha, tanpa menyebutkan luas kawasan tak

berhutan. Penyelesaian secara menyeluruh terhadap permasalahan kerusakan

(7)

TNGL bekerja sama dengan semua pihak terkait dan pelibatan masyarakat

(OIC, 2015).

Seperempat abad sejak Leuser ditunjuk sebagai Taman Nasional, telah

banyak terjadi perubahan-perubahan geopolitik dan tata guna lahan akibat

intervensi pembangunan diseluruh kabupaten sekitar Leuser. Di wilayah Sumatera

Utara Leuser dikepung oleh perkebunan kelapa sawit. Peningkatan luas

perkebunan sawit tersebut cukup signifikan. Pada tahun 1992, luas perkebunan

sawit rakyat, swasta dan milik pemerintah tersebut 513.101 ha dan meningkat

pada tahun 1998 menjadi seluas 697.553 ha, dengan demikian peningkatannya

rata-rata 30.742 ha pertahun (Balai TNGL, 2006).

Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

Menurut Groves (1972) klasifikasi dari Orangutan Sumatera adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Primata

Famili : Pongoidea

Genus : Pongo

(8)

Morfologi

Ciri fisik famili Pongoidea adalah lengannya 200% dari panjang tubuh,

kaki pendek hanya 116% dari panjang tubuh. Jari telunjuk lebih kecil daripada ibu

jari. Ukuran rata-rata kepala dan tubuh jantan 956 mm serta betina 776 mm.

Tinggi saat berdiri tegak adalah 1.366 mm pada jantan dan 1.149 mm pada betina.

Berat badan rata-rata adalah 75 kg pada jantan dan 37 kg pada betina (Maple,

1980).

Menurut Supriatna dan Edy (2000), jika dibandingkan dengan orangutan

di Kalimantan, rambut Orangutan Sumatera lebih terang yaitu berwarna coklat

kekuningan serta lebih tebal dan panjang. Berat badan rata-rata Orangutan jantan

di alam yaitu berkisar antara 50-90 kg. Orangutan jantan memiliki kantung suara

untuk mengeluarkan suara yang berupa seruan panjang.

Habitat

Orangutan di Sumatera hidup di dalam hutan yang daunnya lebih rindang

daripada Orangutan yang hidup di hutan Kalimantan (van Schaik, 2004).

Orangutan mampu beradaptasi pada berbagai tipe hutan primer, mulai dari hutan

rawa, hutan dataran rendah/hutan Dipterocarpaceae sampai pada tipe hutan

pegunungan dengan batas ketinggian 1.800 m dpl. Namun ada pendapat lain yang

menyatakan bahwa Orangutan Sumatera hidup di dataran rendah aluvial (lowland

aluvial plains), daerah rawa dan daerah lereng perbukitan. Kepadatan Orangutan

yang ada di daerah pada ketinggian 1.000 sampai 1.200 m dpl terus menurun

(Singleton et. al., 2004).

Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, yaitu hutan dataran

(9)

bakau dan nipah, serta pada hutan pegunungan. Hoeve (1996) menyatakan bahwa

habitat Orangutan Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada

ketinggian 1.000 mdpl.

Hutan hujan tropis di Sumatera memiliki sejarah, iklim dan ekologi yang

unik. Kekayaan spesies tertinggi adalah di hutan dataran rendah Dipterocarpaceae

yang memang didominasi oleh pohon-pohon dari keluarga Dipterocarpaceae

(Ashton, dkk, 1998 dalam Pujiyani, 2009). Pohon-pohon Dipterocarpaceae

menyediakan buah yang secara bersamaan pada setiap dua atau lima tahun sekali.

Hal tersebut mengakibatkan pada masa tertentu buah tersedia sangat banyak

namun pada waktu yang lainnya buah tersebut sama sekali tidak tersedia. Hal

yang berbeda terjadi pada hutan gambut Sumatera yang memiliki sedikit jenis

tumbuhan endemik namun memiliki kepadatan yang tinggi, sehingga buah akan

tersedia setiap tahun. Orangutan berperan penting dalam ekosistem, baik pada

hutan dataran rendah Dipterocarpaceae ataupun di hutan gambut. Kebiasaan

orangutan dalam makan dan pola pergerakannya menyebabkan orangutan

merupakan penyebar biji/benih tumbuhan hutan yang sangat baik

(Nellemann et. al., 2007).

Hasil survei Singleton dan Wich (2011) melaporkan bahwa di sepanjang

transek blok timur dan blok barat TNGL, termasuk di areal dengan ketinggian

sekitar 1.500 mdpl ditemukan sarang orangutan. Hal ini menunjukkan pada areal

TNGL yang lebih tinggi, kehadiran Orangutan Sumatera lebih sering

dibandingkan dengan laporan survei sebelumnya. Selain itu, daerah yang sudah

ditebangi, ketika survey menunjukkan kecenderungan memiliki kepadatan

(10)

populasinya masih mendukung baik dari segi kelayakan kepadatan populasi

maupun dari jumlah keseluruhan orangutannya.

Syukur (2000) menyatakan bahwa kepadatan orangutan dipengaruhi oleh

ketinggian wilayah yang menjadi habitat orangutan, tipe hutan dan tingkat

gangguan atau ancaman. Kepadatan orangutan semakin menurun dengan

meningkatnya ketinggian suatu tempat. Rata-rata kepadatan orangutan untuk

setiap tipe hutan adalah sebagai berikut : 5 indvidu/km2 pada hutan rawa

(ketinggian sekitar 30 mdpl), 2,5 individu/km2 pada ketinggian ˂ 500 mdpl, 1,85

individu/km2 pada ketinggian 500-1000 mdpl dan akan jarang atau sama sekali

tidak ditemukan pada ketinggian ˃ 1.800 mdpl.

Perilaku

Kera besar memiliki otak yang lebih besar daripada primata lain. Pada

umumnya kera besar lebih banyak yang hidup secara terestrial namun pada

Orangutan hidupnya arboreal (Rowe, 1996). Kehidupan Orangutan dihabiskan

diatas pohon dan jarang sekali turun ke lantai hutan, kecuali untuk memakan

rayap. Orangutan berpindah dengan menggunakan keempat anggota tubuhnya,

berpindah dari cabang ke cabang lain. Daerah jelajah Orangutan adalah berkisar

antara 2-10 km dengan luas wilayah jelajah hariannya berkisar antara 800-1200

m2 (Supriatna & Edy, 2000). Rijksen (1978) menyatakan bahwa ada 13 vokalisasi

Orangutan sedangkan Nowak (1999) vokalisasi Orangutan terdiri dari 15 suara.

Orangutan relatif lebih pendiam dibandingkan dengan primata besar lainnya.

Suara yang paling banyak tercatat adalah berupa panggilan panjang (long call)

(11)

mungkin merupakan mekanisme dalam mengatur jarak bagi antar individunya

(Pujiyani, 2009).

Pada saat melakukan aktifitas orangutan dipengaruhi oleh faktor musim

berbuah dan cuaca. MacKinnon (1974) telah menjumpai saat buah sedang sulit

didapat di hutan, Orangutan akan menghabiskan waktu menjelajah lebih banyak

daripada waktu untuk makan. Demikian pula saat hari sedang kering (panas)

orangutan akan lebih banyak beristirahat pada siang hari. Pembagian penggunaan

waktu oleh orangutan adalah pada pagi hari digunakan untuk makan, siang hari

untuk menjelajah dengan diselingi waktu istirahat siang. Orangutan akan mulai

istirahat malam antara pukul 15.00-18.00 dengan aktivitas malam hari yang sangat

sedikit. Persentase aktivitas harian orangutan menurut Rijksen (1978) adalah 47 %

untuk makan, 40% untuk istirahat, 12 % untuk menjelajah dan sisa waktunya

untuk aktivitas sosial.

Penggunaan ruang bagi aktivitas orangutan yaitu pada lapisan antara 15-25

m diatas permukaan tanah hampir 70% dari waktu aktivitas hariannya, Orangutan

menggunakan 20% waktu aktivitas hariannya pada lapisan lebih dari 25 m dan

pada lapisan dibawah 15 m Orangutan hanya menggunakan kurang dari 10%

waktu aktivitas hariannya. Orangutan biasanya selalu membuat sarang tidur di tepi

sungai pada ketinggian 20-40 m diatas tanah (Pardede, 2000 dalam Ginting,

2006). Populasi Orangutan Sumatera sebagian besar sebarannya terbatas pada

hutan hujan dataran rendah, sebagian besar Orangutan Sumatera berada di daerah

yang memiliki ketinggian di bawah 500 m dpl dan jarang menjelajah ke tempat

(12)

Orangutan Sumatera sangat bervariasi dalam pemilihan jenis makanan.

Secara alami orangutan adalah pemakan buah, tetapi juga memakan berbagai jenis

makanan lain seperti daun, tunas, bunga, epifit, liana, zat pati kayu, dan kulit

kayu. Sebagai sumber protein orangutan juga mengkonsumsi serangga dan telur

burung (Supriatna dan Edy, 2000). Orangutan memiliki kebiasaan mencoba

memakan segala sesuatu yang ia temui untuk dirasakan dan kemudian

menentukan benda tersebut dapat dijadikan makanan atau tidak. Persentase jenis

makanan orangutan adalah 53,8% berupa buah, 29% berupa daun, 14,2% kulit

kayu, 2,2% bunga, dan 0,8% adalah serangga (Maple, 1980).

Fragmentasi Habitat

Fragmentasi habitat adalah pengurangan luas atau terbaginya habitat

menjadi areal-areal yang sempit (MENLH, 2008). Salah satunya kondisi

Orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang berada di ladang masyarakat. Satwaliar

memiliki pola pergerakan tertentu dalam usaha individu maupun populasi untuk

mendapatan sumber daya yang diperlukan agar dapat bertahan hidup dan

berkembang biak (Alikodra, 2002).

Menurut (Elisa, 2000) Dampak fragmentasi pada satwaliar, khususnya

spesies adalah : pengurangan jumlah individu, pengurangan ukuran populasi

karena individu terbatas fragmen kecil, isolasi spasial populasi sisa. Sedangkan

dampak genetik dari fragmentasi adalah kehilangan diversitas genetik, perubahan

dalam struktur antarpopulasi, peningkatan kawin kerabat (inbreeding).

Fragmentasi menyebabkan kepunahan spesies didalam populasi lokal. Oleh

karena itu usaha untuk menjaga atau memulihkan spesies pada batang alam

(13)

atau meningkatkan kesempatan untuk rekolonisasi dengan peningkatan dan

perluasan habitat populasi lokal.

Faktor Penyebab Konflik Manusia dengan Orangutan

Konflik antara manusia dan satwa liar adalah fenomena yang umum.

Konflik antara manusia dan kera besar (Human-Great Apes Conflict) yang

kemudian disingkat HGAC adalah salah satu bagian dari konflik antara manusia

dan satwa liar. Secara luas dapat didefinisikan sebagai segala interaksi antara

manusia dan kera besar yang mengakibatkan pengaruh negatif pada kondisi sosial,

ekonomi atau budaya manusia, serta kondisi sosial, ekologi atau budaya kera

besar atau konservasi kera besar dan lingkungannya.

HGAC sering kali melibatkan konflik diantara masyarakat yang memiliki

sasaran, persepsi dan tingkat penguasaan yang berbeda. Saat ini kerusakan dan

fragmentasi habitat di Afrika dan Asia Tenggara telah berada pada kondisi yang

memprihatinkan, sehingga meningkatkan jumlah populasi kera besar yang

terdesak mendekati pemukiman manusia. Sumber gangguan terhadap hutan

disebabkan oleh berbagai macam hal, namun kebanyakan ditimbulkan oleh

pertanian tanaman subsistem dan pertanian komersial berskala kecil maupun

besar, perkebunan dan industri ekstraktif seperti industri pembalakan kayu dan

pertambangan, yang secara sigifikan mengancam hutan tropis

(Collishaw dan Dunbar, 2000).

Konflik antara kera besar dan manusia dilatar belakangi oleh banyak hal

dan sangat bervariasi disetiap lokasinya. Konflik yang secara langsung

ditimbulkan oleh perilaku manusia meliputi: perusakan dan pencemaran sumber

(14)

(misalnya: pohon buah-buahan dan air), penularan penyakit secara kebetulan

(misalnya: dari feses, sisa makanan maupun makanan yang dicuri dari manusia),

pencederaan ataupun pembunuhan kera besar dengan jerat dan perangkap

(Hockings dan Humle, 2010).

Prinsip Dasar Penanganan Konflik Orangutan dengan Masyarakat

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :

P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa

Liar, prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam kegiatan ini adalah :

1. Manusia dan orangutan merupakan bagian kepentingan manusia

Konflik manusia dan orangutan menempatkan kedua pihak pada situasi

yang dirugikan. Dalam memilih solusi alternatif konflik yang akan diterapkan,

pertimbangan langkah untuk mengurangi resiko kerugian yang diderita oleh

manusia, secara bersamaan harus didasari pertimbangan terbaik untuk kelestarian

orangutan yang terlibat konflik. Prinsip ini terutama digunakan pada saat proses

evakuasi orangutan dari pihak perkebunan masyarakat. Satu sisi, kerugian dari

pihak masyarakat menganggap orangutan sebagai hama perkebunan dari sisi lain

kerugian dari pihak orangutan adalah terbatasnya ruang gerak bahkan sampai

dengan ancaman terhadap hidup orangutan apabila orangutan diburu oleh

masyarakat. Sehingga proses evakuasi merupakan solusi yang dapat mengurangi

resiko kerugian terhadap kedua pihak.

2. Site specific

Secara umum konflik muncul antara lain karena ruskan atau

menyempitnya habitat orangutan yang disebabkan aktivitas manusia atau bencana

(15)

kawasan hutan atau kegiatan yang bersifat illegal atau tanpa ijin. Karakteristik

habitat, kondisi populasi orangutan, dan faktor ekologi lain menuntut intensitas

dan solusi penanganan konflik bervariasi di masing-masing wilayah. Kombinasi

solusi untuk masing-masing wilayah konflik sangat mungkin terjadi. Solusi yang

efektif disuatu lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada situasi konflik di daerah

lain, demikian pula sebaliknya. Prinsip ini digunakan dalam pertimbangan

penentuan lokasi reintroduksi dan pelepasliaran. Penilaian terhadap habitat asal

serta potensi habitat pada lokasi reintroduksi dilakukan untuk penetapan lokasi

pelepasliaran (dikembalikan ke habitat asal atau harus dipindahkan ke lokasi lain

yang berpotensi sebagai habitat orangutan).

3. Tidak ada solusi tunggal

Konflik manusia – orangutan dan tindakan penanggulangannya merupakan

sesuatu yang kompleks karena menuntut rangkaian kombinasi berbagai solusi

potensial yang tergabung dalam sebuah proses penanggulangan konflik yang

menyeluruh. Prinsip ini diterapkan pada saat penentuan mekanisme

penanggulangan konflik. Beberapa solusi diusulkan dalam pertemuan teknis dan

dibahas tentang kelebihan dan kekurangan dari masing-masing solusi, kemudian

ditetapkan satu kombinasi solusi penanggulangan konflik yang efektif dan efisien.

4. Skala habitat

Upaya menanggulangan konflik yang komperhensif harus berdasarkan

penilaian yang menyeluruh dari keseluruhan daerah jelajahnya

(home range based mitigation). Untuk kasus penanggulangan konflik orangutan

dengan manusia, prinsip ini digunakan dalam penilaian calon lokasi introduksi

(16)

diantaranya kondisi cuaca, ketersediaan pakan, ketersediaan tempat bersarang,

ancaman predator, resiko gangguan dari aktivitas manusia serta kapasitas populasi

orangutan pada potensi habitat

5. Tanggungjawab multi pihak

Selain sebagai sebuah isu konservasi, konflik juga mempengaruhi dan

memiliki dampak solusi dan ekonomi didaerah konflik. Sehingga penanggulangan

konflik manusia – orangutan harus melibatkan sebagai pihak yang terkait. Prinsip

ini digunakan dalam penentuan personil yang terlibat dalam kegiatan

penanggulangan konflik. Para personil yang terlibat dalam kegiatan ini adalah

Petugas Balai Besar TNGL, dokter hewan dari YEL-Program Konservasi

Orangutan Sumatera, Pemerhati orangutan dari Yayasan Orangutan Sumatera

Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL – OIC) serta masyarakat sekitar

kawasan TNGL.

Jenis-jenis Mitigasi

Mitigasi adalah upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak dari

bencana baik bencana alam, bencana karena ulah manusia maupun gabungan dari

keduanya dalam suatu negara atau masyarakat. Seperti yang terjadi di Taman

Nasional Gunung Leuser, dimana adanya konflik antara manusia dengan

orangutan. Aspek mitigasi ini sangat perlu dilakukan karena hampir seluruh

perkebunan dan perladangan masyarakat berbatasan langsung dengan kawasan

Taman Nasional Gunung Leuser (Departemen Kehutanan, 2007).

Secara umum langkah-langkah ini dibedakan atas masyarakat yang tinggal

di sekitar kawasan konservasi dan yang hidup berdampingan dengan kera besar

(17)

negara. Langkah mitigasi yang ada adalah langkah netralisasi yang dibagi

kedalam beberapa metode:

1) Langkah Netralisasi Tradisional

Penjagaan pada hasil-hasil pertanian adalah langkah yang biasa diambil di

perbatasan antara kawasan pertanian dan habitat satwa liar (Salafsky, 1993; Hill,

2005; Byamukama dan Asuma, 2006); akan tetapi, data khusus yang membahas

kera besar khususnya orangutan masih sangat kurang.

2) Pemagaran Tradisional

Pemagaran tradisional terbukti tidak efektif untuk melindungi lahan-lahan

pertanian dari kera besar. Di beberapa daerah, pemagaran seringkali

dikombinasikan dengan tali jerat yang diletakkan diantaa tiang pagar untuk

menangkap tikus, namun tali jerat ini juga berbahaya bagi kera besar (Hill, 2005).

3) Penghalang Fisik

Pemagaran dan pembuatan penghalang digunakan secara luas untuk

melindungi di kawasan-kawasan pertanian dari gangguan satwa

(Osborn dan Hill 2005; Yuwono et al, 2007). Namun, penelitian pada orangutan

menunjukkan bahwa pagar listrik pun menjadi tidak efektif, karena kera besar

mampu mengatasi masalah tersebut, dan ketika kera besar menyadari bahwa pagar

listrik tersebut tidak akan membahayakan mereka, maka tingkat efektivitas

menjadi menururn.

4) Kanal batas

Kanal batas yang berisi air merupakan penghalang yang efektif, namun

(18)

dalam dan cukup lebar untuk mencegah kera busur menyebrang dan tidak semua

kera besar takut dengan air (Yuwono et al, 2007).

5) Lembaran seng bergelombang

Bekas pusat rehabilitasi orangutan di Bahorok, Sumatera Utara dan

Kinabatangan, Malaysia. Lembaran seng yang bergelombang terbukti efektif

sebagai penghalang untuk mencegah orangutan mendatangi pohon buah, dengan

cara meletakkannya disekeliling pohon buah yang kanopi pohonnya tidak

terhubung dengan kanopi pohon lain (Marchal, 2005).

6). Pemasangan jaring

Merupakan metode penghalang yang murah namun dapat padat karya

untuk petani subsistem, akan tetapi metode ini perlu diuji lebih lanjut apabila akan

diterapkan di perkebunan komersial berskala besar. Pada kondisi tertentu, jaring

ikan juga cukup efektif digunakan untuk melindungi pohon yang berbuah ataupun

kawasan pertanian dari orangutan (Campbell-Smith, 2007).

7) Pagar hidup

Pagar hidup yang terdiri dari semak berduri Mauritius

(Caesalpinia secapetala) telah digunakan untuk mencegah konflik antara primata

dan manusia di Uganda (Fortunate, 2004).

8) Kawasan penyangga

Kawasan penyangga adalah kawasan yang terletak diantara hutan alami

dan kawasan hutan pertanian yang dimaksudkan untuk mencegah satwa liar untuk

menyerang. Kawasan penyangga juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang

(19)

pentingnya untuk tidak menanam tanaman yang dapat menarik perhatian kera

besar (Salafsky, 1993; Goldsmith, 2005; Byamukama dan Asuma, 2006).

9) Penghalau eksperimental

Terdapat tiga dasar penghalau: Visual, Akustik, Kimia. Sampai sekarang

belum diketahui apakah penghalau visual tak bergerak akan efektif untuk

menangkal primata yang mengambil hasil tanaman pertanian, walaupun primata

tersebut kemungkinan akan mudah terhabitusi dengan penghalau ini. Penelitian

mengenai penghalau akustik pada prilaku pengambilan hasil tanaman pertanian

primata sangat jarang, namun mengingat sangat mudahnya primata terhabituasi

dengan efek visual, maka kemungkinan besar primata akan mudah terhabituasi

pada suara apabila suara tersebut mudah diprediksi. Hasil pengujian penghalau

kimia pada primata menunjukkan tingkat keberhasilan yang terbatas (Chalise,

2001). Selain itu pemberian minyak cabai pada jarak pelindung tanaman juga

berhasil menghalau orangutan (Campbell-Smith, 2007).

10) Koridor

Koridor dapat mengatasi degradasi keanekaragaman gen pada kera besar

dengan mengurangi isolasi antar subpopulasi, sekaligus menyediakan sumber

pakan tambahan bagi mereka. Namun untuk mewujudkan sebuah koridor pasti

akan menyiapkan proses yang kompleks, serta berpotensi menurunkan populasi

kera besar yang berpindah ke kawasan yang sering dikunjungi manusia

(Byakmukama dan Asuma, 2006).

11). Penangkapan dan Translokasi

Pertimbangan translokasi orangutan “Bermasalah” harus menjadi langkah

(20)

menyebabkan stress, berbahaya dan berpotensi menyebabkan kematian,

disamping membutuhkan biaya dan tenaga yang besar (Goossens et al, 2005;

Beck et al, 2007).

Degradasi Hutan

Degradasi hutan memiliki arti yang berbeda tergantung pada suatu

kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti

degradasi. Sebagian mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan

yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu point/titik dimana

penebangan kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi

tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan

hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi ekologis, ekonomis

dan sosial hutan tidak terpenuhi (Lamb, 1994).

Kepadatan Penduduk

FORINA (2014) menyatakan Habitat orangutan juga terancam oleh

maraknya kegiatan perambahan hutan dan penebangan kayu liar oleh masyarakat

yang hidup di sekitar hutan. Perambahan hutan terjadi karena adanya kebutuhan

ekonomi atau pendapatan yang tinggi akibat dari populasi penduduk yang terus

bertambah. Habitat orangutan yang berada di wilayah dengan kepadatan

penduduk tinggi diasumsikan memiliki tingkat keterancaman tinggi. Kepadatan

penduduk merupakan salah satu proxy yang dipakai untuk menggambarkan

tekanan manusia terhadap kelestarian habitat orangutan. Data kepadatan penduduk

yang dipakai dalam analisis ini bersumber dari Population Density of Indonesia

(21)

Network (CIESIN), Columbia University dan Centro Internacional de Agricultura

Tropical (CIAT) tahun 2005.

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System

(GIS) merupakan gabungan dari tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi dan

geografis. SIG lebih menekankan pada unsur informasi geografis yaitu suatu

kesatuan formal yang terdiri dari berbagai sumber daya fisik dan logika yang

berkenaan dengan objek-objek yang terdapat di permukaan bumi. SIG dapat juga

dikatakan sebagai sejenis perangkat lunak yang dapat digunakan untuk

pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan dan keluaran informasi

geografis berikut atribut-atributnya (Bafdal, 2011).

Sistem informasi geografis merupakan sebuah sistem yang terdiri dari

perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), data, manusia

(brainware) dan lembaga-lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan,

menyimpan, menganalisa dan menyebarkan data-data dan informasi-informasi

mengenai daerah-daerah di permukaan bumi. SIG sebagai sistem informasi

berbasis komputer memiliki empat kemampuan dasar (subsistem)

(Prahasta, 2002):

a. Data input: subsistem ini memiliki tugas mengumpulkan dan mempersiapkan

data spasial beserta atributnya dari berbagai sumber. Subsistem ini juga

bertanggung jawab mengkonversi atau mentransformasikan format asli sebuah

(22)

b. Data output: subsistem ini menampilkan atau menghasilkan seluruh atau sebagian keluaran basis data baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy

seperti tabel, grafik, dan peta,

c. Data management: subsistem ini mengkoordinasikan data spasial dan

atributnya kedalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah

dipanggil, di update dan di edit,

d. Data manipulation dan analysis: subsistem ini menentukan

informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu juga melakukan

manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang

diharapkan.

Komponen SIG

SIG merupakan sistem operasi yang komplek yang terintegrasi dengan

lingkungan sistem komputer (Batubara dan Hasibuan, 2000):

a. Perangkat keras: Terdiri atas PC dekstop, workstation, hingga multiuser host

yang dapat digunakan secara bersamaan, harddisk, dan mempunyai kapasitas

memori serta RAM yang besar.

b. Perangkat lunak: Software GIS menyediakan fungsi-fungsi dan alat-alat yang

diperlukan untuk menyimpan, menganalisis, dan memperagakan informasi

geografi. Komponen-komponen software adalah alat untuk memasukkan &

memanipulasi informasi geografik, DBMS (sebuah database untuk sistem

pengelolaan), Alat untuk menyokong pertanyaan-pertanyaan geografik,

menganalis dan Memvisualisasikan GUI (Graphical User Interface) untuk

(23)

c. Data: merupakan komponen yang amat penting dalam GIS. Data geografik dan

tabulasi data yang berhubungan akan dikumpulkan dalam suatu tempat khusus

yang dapat dibeli dari penyedia data komersial. GIS akan menggabungkan ruang

data dengan sumber-sumber data lainnya dan menggunakan DBMS untuk

mengorganisasikan dan memelihara serta mengatur data.

d. Manusia: Teknologi GIS memerlukan orang untuk mengatur sistem dan

membangun rencana- rencana supaya teraplikasi dalam hal yang nyata. Pemakai

GIS adalah teknikal khas yang medesain dan memelihara sistem dan pemakai

untuk meningkatkan nilai kerja yang mereka lakukan sehari-hari.

e. Metoda: Kesuksesan GIS beroperasi tergantung pada perencanaan desain yang

baik dan metoda- metoda bisnis, yang merupakan model dan beroperasi khusus

untuk tiap-tiap organisasi. Sumber-sumber data geospasial adalah foto udara, citra

satelit, tabel statistik, dan dokumen lain yang berhubungan. Data geospasial dapat

dibedakan menjadi data grafis (data geometris) dan data atribut (data tematik).

Data grafis terdiri atas tiga elemen yaitu: titik (node), garis (arc) dan luasan atau

bidang (polygon) dalam bentuk vektor ataupun raster yang mewakili geometri

topologi, ukuran, bentuk, posisi, dan arah. Fungsi pengguna adalah untuk memilih

informasi yang diperlukan, membuat standar, membuat jadwal pemutakhiran,

menganalisis hasil yang dikeluarkan untuk kegunaan sesuai keinginan dan

merencanakannya (Prayitno, 2002).

Aplikasi SIG

Dasar pendekatan SIG terdiri dari berbagai tahapan, termasuk menyimpan,

menampilkan dan menganalisa bermacam jenis data yang tersimpan dalam data,

(24)

species, kawasan yang dillindungi, pemukiman manusia dan pola ekstraksi

sumber daya alam. Pendekatan SIG dapat mengungkapkan berbagai hubungan

(kolerasi) antara faktor biotik dan abiotik dari suatu bentang alam, serta

membantu proses perancangan kawasan agar memiliki komunitas hayati yang ada,

bahkan menampilkan kawasan-kawasan yang berpotensi untuk mencari spesies

langkah maupun dilindungi (Turner et al., 2003).

Penilaian Sumber Daya Hutan

Menurut Davis et al, (1987) dalam Alam, dkk (2009) Penilaian merupakan

upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk

kepentingan tertentu masyarakat. Penilaian mancakup kegiatan untuk

pengembangan konsep dan metodologi untuk menduga nilai total manfaat

sumberdaya hutan. Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu objek

bagi orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut berpadu

dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau

masyarakat. Selanjutnya dikemukakan bahwa besarnya nilai manfaat sumberdaya

hutan, sangat tergantung pada sistem penilaian yang dianut. Sistem nilai tersebut

antara lain mencakup : apa yang dinilai, kapan dinilai, dimana dan bagaimana

menilainya.

Penilaian ekonomi merupakan suatu peralatan ekonomi yang

menggunakan teknik penilaian sumber daya untuk mengestimasi nilai uang dari

barang dan jasa yang diberikan oleh suatu kawasan. Bahruni (1999) dalam Latifah

(2004) menjelaskan penilaian hutan bukan berusaha untuk mengadakan nilai yang

(25)

yang dimiliki oleh hutan, yang secara nyata dirasakan manfaatnya oleh individu

atau masyarakat, yang oleh berbagai sebab besar nilai tersebut belum diketahui.

Konsep Penilaian Ekonomi

Penilaian ekonomi sumber daya mencakup identifikasi

perubahan-perubahan dalam biaya dan manfaat ekonomi akibat perubahan-perubahan dampak

lingkungan. Nilai dinyatakan dalam satuan moneter sehingga tercipta tolak ukur

untuk membandingkan nilai relatif manfaat komponen ekosistem dan kegiatan

ekonomi (Alam, dkk. 2009).

Nilai dapat diamati atas dasar pilihan orang dalam pasar. Seberapa banyak

individu-individu bersedia membayar barang atau jasa dapat dianggap sebagai

petunjuk tentang nilai pada komoditi yang bersangkutan. Tetapi apa yang

benar-benar dibayar sering kurang dari kebersediaan individu membayarnya bagi barang

dan jasa yang dikonsumsinya. Perbedaan antara kebersediaan membayar dan apa

yang benar-benar dibayarkan disebut surplus konsumer, dan digunakan sebagai

indikator dari nilai suatu komoditi. Kebersediaan membayar sering digunakan

dimana harga pasar tidak ada atau tidak dapat diamati. Berdasarkan landasan

konsep ekonomi, bahwa nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan

atau kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada

barang dan jasa yang diperoleh dari jual beli, tetapi semua barang dan jasa yang

dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Baik barang publik

maupun privat akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian

manfaat fungsi ekologis pada hakekatnya juga nilai ekonomi, karena jika fungsi

ekologis terganggu maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan (disutility) atau

(26)

Cara penilaian yang lazim, mengelompokkan nilai menjadi tiga kelompok

besar (McNelly,1993 dan Fakultas Kehutanan IPB, 1999) meliputi :

1) Nilai pasar (market value)

Nilai pasar merupakan nilai yang diperoleh dari harga pasar hasil suatu proses

transaksi. Pada pasar bersaing sempurna, harga ini mencerminkan kesediaan

membayar setiap orang (willingnes to pay). Nilai yang diperoleh dari pasar

persaingan sempurna merupakan nilai baku karena memenuhi keinginan penjual

dan pembeli serta memberikan surplus kesejahteraan yang maksimal.

2) Nilai kegunaan (value in use) Penggunaan sumberdaya oleh seseorang atau

individu merupakan nilai kegunaan sumberdaya. Nilai kegunaan sumberdaya

dapat digunakan oleh penjual maupun pembeli untuk memberikan nilai kegunaan

lahan dan potensi tegakan hutan.

3) Nilai sosial (social value) Nilai sosial adalah nilai yang ditentukan oleh

individu atau seseorang atau masyarakat berdasarkan suatu kesepakatan secara

sosial. Bentuk-bentuk nilai sosial ini dijabarkan dalam berbagai hal seperti

undang-undang, regulasi, anggaran dll yang menetapkan bobot atau nilai sosial.

Teknik dan Metode Penilaian Penilaian Ekonomi Sumber Daya Hutan

Menurut Alam, dkk (2009), Penilaian Berdasarkan Biaya (Cost-Based

Valuation), Teknik ini menaksir nilai sumberdaya berdasarkan biaya yang

diperlukan untuk memelihara manfaat barang atau jasa lingkungan yang dinilai.

a) Indirect Opportunity Cost Metode Indirect Opportunity Cost (IOC) digunakan

untuk menghitung nilai barang lingkungan yang tidak mempunyai nilai pasar,

melalui penilaian alternatif penggunaan sumberdaya. Sebagai contoh adalah biaya

(27)

lingkungan, digunakan untuk menilai barang yang dikumpulkan tersebut. Metode

IOC telah digunakan untuk menghitung nilai kayu bakar yang dikumpulkan dari

hutan di Nepal.

b) Restoration Cost, Restoration cost didasarkan pada pemikiran bahwa untuk

mengembalikan manfaat dari fungsi eksosistem yang hilang sebagai akibat dari

penggunan alternatif sumberdaya diperlukan sejumlah biaya. Nilai sumberdaya

dihitung dengan menaksir sejumlah biaya yang diperlukan untuk mengembalikan

manfaat ekosistem yang hilang. Asumsi metode ini adalah bahwa dengan

perbaikan (restoring) ekosistem ke fungsi yang asli, maka manfaat eksositem

yang hilang dapat dikembalikan. Pada kasus di hutan primer, metode ini meliputi

biaya rehabilitasi hutan.

c. Replacement Cost, Teknik ini menghitung nilai sumber daya yang hilang

berdasarkan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk membangun asset buatan yang

akan mengganti (replacing) fungsi ekosistem yang hilang. Penggunaan teknik ini

tergantung pada ketersediaan alternatif barang atau jasa yang dapat memberikan

fungsi yang sama dengan sumberdaya yang hilang. Misalnya erosi tanah didekati

dengan biaya pembuatan prasarana untuk pencegahan erosi.

d. Relocation cost, Teknik ini menghitung nilai sumber daya berdasarkan pada

biaya yang harus dikeluarkan untuk resetlemen penduduk yang bermukim di

hutan, agar hutan tersebut dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya. Biaya ini

dapat berupa biaya resetlemen atau biaya untuk membangun areal perlindungan.

e. Preventive/defensive Expenditure Teknik ini menaksir manfaat lingkungan

berdasarkan pada besarnya biaya pencegahan (preventive expenditure) agar

Referensi

Dokumen terkait

[r]

SEKRETARIAT JENDERAL UNIT LAYANAN PENGADAAN. KELOMPOK

Keempat peristiwa itu adalah pertanda bagi Pangeran Siddharta yang dilakukan oleh para dewa dalam rangka membantu Pangeran meninggalkan istana untuk menjadi petapa agar

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) Nomor:BA-127/ULPD/WI.2/2016 Tanggal 16 Juli 2016 dan Penetapan Pemenang oleh Kelompok Kerja (Pokja) ULPD Kementerian Keuangan

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan Bidang Jasa Periklanan dengan terlebih dahulu melakukan registrasi pada Layanan

Panitia ULP/ Panitia Pengadaan pada Satker Direktorat Advokasi dan KIE akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa ketrampilan menyimak cerita pendek perlu ditingkatkan lagi, karena pada hasil yang dicapai pada pembelajaran yang telah

Windmill Water Flow Top benefited from the force of gravity to the ater entering the turbine blade, so that power is generated not only from the kinetic energy comes