• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK AGAMA DAN KONTESTASI KEKUASAAN N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLITIK AGAMA DAN KONTESTASI KEKUASAAN N"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Hlm. 130 – 147

POLITIK, AGAMA DAN KONTESTASI KEKUASAAN NAHDLATUL

WATHAN DI ERA OTONOMI DAERAH LOMBOK, NTB

Saipul Hamdi

Staf Pengajar Prodi Manajemen Lingkungan, Politeknik Pertanian Negeri Samarinda

ABSTRACT

This article explores the changes on political orientation in the conflict-prone Nahdlatul Wathan organization since the onset of decentralization and regional autonomy. Regional autonomy has given rise to changes not only at structural level, but also at cultural level, and consequently is demanding a more visible role of local religious and traditional leaders in the process of democratization and development in the region. The article examines the role of Nahdlatul Wathan’s figures in local and national politics since regional autonomy has been implemented. By looking at how they managed to win strategic positions in the local government elections in 2008, the article asks what factors led to their success and what media were used. The fragile internal politics in Nahdlatul Wathan are examined to assess how the influence of power can resolve internal and external conflicts currently facing the organization. The Data is based on field work using qualitative approaches including interviews, focus-group discussions and participant-observation conducted in Lombok during 2008-2010.

Kata Kunci : Nahdlatul Wathan, regional autonomy, political re-orientation, and religious-political figures

PENDAHULUAN

Penerapan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah melahirkan perubahan besar di daerah baik dalam bidang politik, demokrasi, pembangunan, dan ekonomi (Avonious, 2004: 2-3). Meskipun terdapat banyak kendala dan persoalan yang timbul dalam proses pelaksanaan otonomi daerah, namun partisipasi masyarakat di bidang-bidang tersebut semakin meningkat. Agen-agen lokal seperti tokoh agama dan tokoh adat yang dulunya

mengalami marginalisasi dan diskriminasi politik oleh kelompok „penguasa‟ kini telah

memperoleh kembali hak-hak politiknya (Haris, 2007:19-20).

(2)

131

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

(Woodward, 2011:27). Organisasi Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Nahdaltul Wathan (selanjutnya disebut NW) adalah sederet Ormas Islam yang menggapai kesuksesan khususnya di bidang politik dan pembangunan. NW misalnya akhir-akhir ini sangat dominan di ranah politik setelah berhasil mengantarkan para tokohnya pada posisi-posisi strategis di pemerintahan seperti posisi gubernur, bupati, dan lain sebagainya. Keberhasilan ini berdampak positif terhadap NW dan sekaligus menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi terbesar di Lombok yang dapat memainkan peran penting di daerah.

NW merupakan organisasi sosial keagamaan lokal terbesar di Lombok. NW didirikan oleh Tuan Guru Haji (TGH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid atau yang lebih dikenal Maulana

Syaikh di Pancor, Lombok Timur 1953 (Nu‟man, 1999:47; Baharuddin, 2007:105). Secara

ideologi NW lebih dekat dengan NU daripada Muhammadiyah. NW yang bergerak pada tiga bidang (pendidikan, sosial dan dakwah), tidak menutup diri dengan hiruk pikuk dunia politik. Fakta sejarah menunjukkan bahwa politik sangat kental mewarnai perjalanan NW. Para tokoh NW terjun ke dunia politik sejak masa Orde Lama (Noor et al, 2004:245; Baharuddin&Rasmianto, 2004:91; Hamdi, 2011:145).

Pada masa Orde Lama TGH. Zainuddin berafiliasi dengan partai Masyumi, dan setelah partai ini dibubarkan Sukarno dia bergabung di Parmusi. Ketika Suharto mengambil kendali kepemimpinan, TGH. Zainuddin mengubah orientasi politiknya dengan ikut bergabung ke Golkar. Perubahan orientasi politik dari religius ke nasionalis yang dilakukan TGH. Zainuddin pada masa transisi Orde Lama ke Orde Baru memperlihatkan kelonggaran dan fleksibilitas visi dan konstruksi identitas politik NW. Hubungan NW dengan partai Golkar di awal-awal cukup mesra, tetapi dalam perjalanannya ketegangan dan konflik mewarnai hubungan mereka. Konflik NW dengan Golkar memuncak pada pemilu 1982 ketika NW secara simbolik mendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) (Hamdi, 2011:146).

Sejak kasus NW yang mendukung PPP di Pemilu 1982, diskriminasi politik terhadap tokoh-tokoh NW terus berlangsung hingga masa reformasi 1998. Pada masa reformasi inilah perubahan besar terjadi. NW kembali memiliki kebebasan menentukan pilihan afiliasi politiknya, tanpa ada tekanan dari luar. NW mengalami konflik dan perpecahan karena perebutan kekuasaan yang melibatkan keluarga TGH. Zainuddin setelah dia wafat tahun 1997 (Hadi, 2010:65-66; Hamdi, 2011:167). Konflik NW telah melahirkan dualisme kepemimpinan yaitu NW Pancor dan NW Anjani. Perpecahan dan konflik ini juga ikut mempengaruhi perubahan orientasi politik NW yang berafiliasi ke partai politik yang berbeda. Pada Pemilu 1999 NW Anjani bergabung bersama Golkar, sedangkan NW Pancor bergabung dengan Partai Daulat Rakyat (PDR). Pada Pemilu 2004 dan 2009 NW Pancor berafiliasi dengan PBB, dan NW Anjani bergabung dengan PBR (Hamdi, 2011:148).

(3)

132

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

politik adalah memenangkan kursi gubernur NTB dan bupati Lombok Timur pada Pilkada 2008. Keberhasilan NW ini menunjukkan bagaimana NW memainkan peran penting di bidang politik pada tingkat lokal dan nasional. Khususnya pada tingkat lokal pasca kemenangan pada Pilkada 2008 dominasi NW semakin kuat. Terkait dengan tingkat partisipasi dan kesuksesan elit-elit NW, artikel ini akan fokus melihat peran dan partisipasi tokoh-tokoh NW di bidang politik dan faktor serta media apa saja yang digunakan sehingga mampu berhasil memenangkan Pilkada 2008 untuk dua posisi sekaligus yaitu gubernur NTB dan bupati Lombok Timur. Artikel ini juga akan menginvestigasi pengaruh kekuasaan NW terhadap proses rekonsiliasi konflik.

Selayang Pandang Organisasi Nahdlatul Wathan

NW merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di Lombok yang menganut ideologi

ahlussunnah wal jamaah. Meskipun tidak ada data statistik mengenai jumlah warga NW, namun diperkirakan mencapai 60-80% dari penduduk Lombok. Sedangkan ummat Islam yang lain

berafiliasi ke NU, Muhammadiyah, Wahabi, Salafi, Tariqat Ta‟limat, Ahmadiyah, dan Tariqat

Qadiriyah wa Naqshabandiyah (Hamdi & Smith, 2011: 4-5). Terdapat perbedaan dengan NU dan Muhammadiyah yang telah menasional, NW didirikan khusus untuk pemberdayaan masyarakat lokal suku Sasak.

NW didirikan oleh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pada 1 Maret 1953 di desa Pancor, Selong, Lombok Timur. Istilah NW bukan pertama kali datang dari TGH. Zainuddin. Istilah ini pernah dipopulerkan oleh Kyai Wahab Hasbullah dan Kiai Mansur sebagai nama sebuah pergerakan melawan penjajah Belanda pada 1916 (Ridwan, 2010: 6). Walaupun nama kedua organisasi ini sama tetapi secara organisatoris tidak ada ikatan sejarah. Kata NW diambil dari penggalan nama madrasah yang beliau dirikan tahun 1937 yaitu Madarasah Nahdlatul

Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) (Nu‟man, 1999:48; Yusuf, 1967:31). Pada tahun 1934 TGH.

Zainuddin kembali dari Mekkah dan mendirikan Ponpes Al-Mujahidin yang menjadi cikal bakal organisasi NW (Noor et al., 2004:180).

NW bergerak dalam tiga bidang yaitu pendidikan, sosial dan dakwah. Di bidang pendidikan NW telah mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Sekarang NW telah memiliki lebih dari 800 cabang madrasah yang tersebar di berbagai penjuru desa di pulau Lombok. NW juga memiliki tujuh perguruan tinggi yaitu 1 buah di Mataram dan 6 buah di

Lombok Timur (Nu‟man, 1999:87). Pasca wafatnya TGH. Zainuddin pada tahun 1997, NW

(4)

133

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

berseberangan dalam kebijakan politiknya sehingga konflik mengalami perluasan ruang ke ranah politik.

Perubahan (Re)-orientasi Politik NW Pasca Otonomi Daerah

Kejatuhan Suharto pada tahun 1998 yang disertai dengan perubahan sistem pemerintahan ke desentralisasi dan otonomi daerah menjadi berkah tersendiri bagi Ormas-ormas Islam yang memiliki basis massa besar seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan termasuk NW. Mereka dapat berpartisipasi kembali pada ranah politik dan memainkan peran penting karena memiliki berbagai modal (ekonomi, sosial kultural dan simbolik). Sebagian besar tokoh Ormas berperan sebagai pendiri atau pengurus partai politik (Ridwan, 2010:335; Abdillah, 1999:14-15).

Ikatan sejarah yang begitu kuat antara Ormas Islam dengan dunia politik praktis sejak masa Orde Lama telah melahirkan tradisi dan budaya politik praktis di lingkungan Ormas. Sulit untuk

memisahkan dengan jelas „batasan‟ antara Ormas dengan politik praktis. Lahirnya partai Masyumi,

Parmusi, PNU, dan lain-lain di era 1950-an dan PKB, PAN, PKS, PBB, PBR dan PKNU di era reformasi merupakan representasi dari Ormas-ormas Islam (Mujani, 1999:195-196). Partai-partai ini lahir dari gagasan para tokoh Ormas.

Di internal NW sendiri tidak ada upaya para tokohnya untuk mendirikan sebuah partai politik. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor misalnya, munculnya konflik di tubuh NW ketika masa transisi kepemimpinan setelah pendiri NW wafat tahun 1997 (Saprudin, 2005:1; Smith&Hamdi, 2009:16-17; Hadi, 2010:65). Selain itu faktor sumber daya manusia yang masih minim dan keterbatasan jumlah massa yang relatif kecil jika ditarik ke level nasional. Begitu juga dengan akses kekuasaan yang begitu jauh membuat NW kesulitan berkembang di tingkat nasional, ia lebih dominan di tingkat lokal (Hamdi, 2011:2). Sebagai kelompok mayoritas di Lombok bisa saja tokoh NW membentuk partai lokal seperti di Aceh.

Meski tidak mendirikan partai politik, tokoh-tokoh NW berperan aktif pada politik praktis. Mereka berafiliasi ke partai politik yang sesuai dengan platform dan visi-misi organisasi. Seperti yang sudah disinggung pada latar belakang di atas bahwa keterlibatan NW di dunia politik telah berlangsung lama sejak masa Sukarno. Pendiri NW, TGH. Zainuddin menduduki posisi penting di partai Masyumi dan Parmusi, kemudian di Golkar setelah Suharto memegang kendali pemerintahan (Noor et al, 2004:245). Perubahan iklim sosial-politik di era reformasi dan otonomi daerah mendorong NW mengkaji kembali pilihan afiliasi partai politik sebelumnya. Sebelum membahas lebih jauh perubahan orientasi politik NW pasca otonomi daerah, terlebih dahulu akan dikupas sejarah hubungan NW dengan politik pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Ini sangat penting dalam rangka memahami keterlibatan NW dan pilihan-pilihan ideologis kepartaiannya. Menurut penulis, TGH. Zainuddin tidak pernah mempersoalkan antara ideologi Islam dengan nasionalis di dalam berpartai, sebaliknya dia mampu beradaptasi dengan kedua ideologi itu.

(5)

134

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

dia diangkat sebagai ketua Badan Penasehat Masyumi untuk daerah Lombok Pada 1952 (Noor et al., 2004:246). Dia tetap bertahan di Masyumi walaupun NU menyatakan keluar dari Masyumi karena konflik kepentingan. Pada 1955 dia terpilih menjadi anggota Konstituante RI hasil pemilihan umum pertama periode 1955-1959. Setelah Sukarno membubarkan Masyumi 1960 karena dinilai terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), TGH. Zainuddin beralih ke Parmusi (Noor et al, 2004:247).

Ketika Suharto muncul di pentas politik nasional, NW ikut mengubah haluan politiknya yakni bergabung dengan Sektariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Sekber Golkar yang terdiri dari 7 Kino yakni Kosgoro, Soski, MKGR, Hankam, Gakari, Organisasi Profesi dan Gerakan Pembangunan untuk Menghadapi Pemilu 1971 sepakat melebur menjadi partai politik (Ricklef, 2005:545). Dukungan NW ke Golkar setidaknya dilatarbelakangi oleh dua faktor:

pertama, Golkar merupakan partai Orde Baru yang dinilai berjasa menumpas gerakan komunisme di Indonesia. Keberhasilan ini paling tidak bagi NW adalah sebuah kemaslahatan bagi kaum Muslimin sehingga perlu didukung. Kedua, Golkar dapat mengakomodir aspirasi politik NW pada waktu itu. Pada Pemilu 1971 TGH. Zainuddin terpilih sebagai anggota MPR dari Golkar dan di Pemilu 1982 terpilih sebagai anggota MPR RI dari Fraksi Utusan Daerah (Noor et al, : 2004:247-248).

Hubungan NW dengan Golkar tidak selalu harmonis, gesekan-gesekan antara elit kerap terjadi. Tokoh NW seringkali dikecewakan oleh petinggi Golkar karena tidak menepati janji politiknya. Akan tetapi NW tidak pernah secara tegas menyatakan keluar dari partai Golkar. Pada Pemilu 1982 misalnya, NW secara simbolik tidak lagi mendukung Golkar dan cenderung ke PPP (Hamdi, 2011:131). Sikap politik tokoh NW menuai kecaman dari Golkar. Selain itu kebijakan ini juga menimbulkan konflik di kalangan internal elit-elit NW karena mereka dihadapkan pada pilihan yang dilematis yaitu, tetap di Golkar atau keluar dengan konsekuensi mereka akan di-recall

(6)

135

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

Pada Pemilu 1999 kubu NW Pancor bergabung ke Partai Daulat Rakyat (PDR) pimpinan Adi Sasono, sementara kubu NW Anjani tetap bersama Golkar (Hadi, 2010:81; Hamdi, 2011:135-136). Pada Pemilu 2004 kedua kubu mengubah haluan politiknya, kubu NW Pancor berafiliasi ke PBB pimpinan Yuzril Ihza Mahendra, sedangkan kubu Anjani bergabung ke PBR yang didirikan oleh KH. Zainuddin, MZ (Hadi, 2010:81; Hamdi, 2011:135-136).

Adapun hasil kedua kubu dalam perolehan suara pada Pemilu 2004 hampir berimbang. Kedua kubu berhasil mengantarkan kadernya sebagai anggota DPR RI di pusat. Kubu NW Pancor mengantarkan TGKH. Zainul Majdi atau yang dikenal dengan Tuan Guru Bajang atau

„Bajang‟, sedangkan NW Anjani diwakili oleh Lalu Gede Syamsul Mujahidin. Berikut adalah tabel

suara sah partai politik di NTB,

Tabel 1.

Perolehan Suara Sah Partai Politik Peserta Pemilu 2004 di Provinsi NTB

No. Partai Politik

Suara Sah

DPRD II Kabupaten

DPRD I Provinsi

DPRD Pusat 1. Partai Golongan Karya 103.008 71.374 94.060 2. Partai Bulan Bintang 96.848 81.397 112.278 3. Partai Bintang Reformasi 68.802 59.098 69.300 4. Partai Persatuan Pembangunan 45.823 38.216 44.323 5. PDI Perjuangan 32.775 24.120 30.223

Sumber:BPS Lombok Timur, 2006.

Pada Pemilu 2009 kubu NW Pancor jauh lebih dominan daripada Anjani baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Di tingkat provinsi PBB (7.06%), dan PBR (3.95%). Adapun di urutan pertama adalah Golkar (15.72%), Demokrat (11.75%), dna PKS (7.22%). Sedangkan di tingkat kabupaten Lombok Timur kedua kubu NW masih cukup dominan PBB (11.11%), dan PBR (8.61%). Mereka masih di bawah Demokrat (15.81%) dan Golkar (13.97%) ( Http://kpud-ntbprov.go.id, diakses tanggal 1 November 2001). Meskipun meraih suara yang signifikan namun

kedua partai afiliasi politik NW (PBB dan PBR) tidak mencapai batas minimal „parliamentary

threshold‟ 2.5%. Dengan demikian mereka tidak memiliki wakil di DPR RI. Persoalan baru ini mendorong tokoh kedua kubu NW bergabung dengan partai besar.

(7)

136

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

dua alasan kenapa dia memilih pindah ke Demokrat yaitu, visi partai Demokrat yang nasionalis dan religius. Bajang mengatakan, visi ini sangat cocok bagi NTB dan Indonesia ke depan. Selain itu budaya politik sopan santun yang dikembangkan Demokrat. Bajang apresiatif dengan politik santun dan hal itulah yang paling mendasar mengapa dirinya meninggalkan PBB dan merapat ke Demokrat.

Tarik ulur justru terjadi di kubu NW Anjani yang berencana bergabung dengan partai Gerindra. Rencana ini ditentang oleh pengurus pusat PBR yang lebih memilih bergabung dengan PAN. Pengurus pusat PBR mengancam untuk me-recall anggota dewan dari NW Anjani yang menyeberang ke partai selain PAN. Sementara kubu NW Anjani merasa berat ke PAN karena dinilai partai Muhammadiyah. Ideologi NW yang berbeda dengan Muhammadiyah menjadi kendala utama kubu NW Anjani bergabung ke PAN. Hingga sekarang masih terjadi proses negosiasi antara pengurus pusat dengan pengurus wilayah yang didominasi oleh tokoh-tokoh NW Anjani.

Membangun Kekuasaan di Tengah Konflik Internal: Kasus Pilkada 2008

Kesuksesan NW dalam bidang politik pasca otonomi daerah tidak hanya pada wilayah legislatif, tetapi juga eksekutif. Pada tataran eksekutif NW telah mencetak sejarah baru memenangkan kontestasi politik pada Pilkada 2008 untuk posisi gubernur dan bupati (Hamdi, 2011:136; Hamdi, 2011:10). Kemenangan ini memiliki makna khusus bagi tokoh dan jamaah NW karena diperoleh dengan perjuangan yang tidak kenal lelah. Tidak banyak orang yang memprediksi jika NW mampu melewati tantangan yang berat ini, dimana mereka harus berhadapan dengan rival kuat dari eksternal dan internal. Musuh terbesar berasal dari internal NW, kubu NW Anjani mendukung salah satu calon dari luar NW. Pilkada 2008 sarat dengan muatan konflik NW karena isu ini dijadikan komoditas politik oleh tokoh-tokoh NW dan para calon lainnya (Hamdi, 2011:150).

Sebelum menganut sistem Pilkada langsung NW belum pernah mencalonkan kadernya sebagai kepala daerah. Pemerintahan selama ini dipegang oleh orang dari luar NW. Jamaah NW lebih banyak dimanfaatkan oleh kelompok luar untuk kepentingan politik. Pemerintah lokal (gubernur dan bupati) tidak pernah netral di dalam melihat persoalan konflik NW, malah menjadikan konflik NW sebagai alat melanggengkan kekuasaan. Salah satu tokoh NW Najmul

Akhyar mengatakan, ada ketakutan dari „tokoh luar NW‟ melihat NW bersatu karena dapat

(8)

137

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

Pada tahun 2008 untuk pertama kali provinsi NTB melaksanakan Pilkada langsung untuk mengisi kursi gubernur NTB dan Bupati Lombok Timur. NW yang memiliki basis massa besar ibarat gadis yang sangat laku. Banyak calon yang berusaha meminang dan menawarkan koalisi baik di kubu Pancor maupun di Anjani. Merespon tawaran-tawaran itu langkah lebih maju diambil kubu NW Pancor dengan mencalonkan salah satu tokoh terbaik mereka yaitu ketua umum PB NW Pancor, TGKH. Zainul Majdi atau Bajang sebagai calon gubernur NTB dan Sukiman Azmi sebagai bupati Lombok Timur. Pencalonan Bajang dilakukan melalui negosiasi yang panjang penuh pertimbangan karena terkait dengan posisinya sebagai Tuan Guru dan Ketua Umum PB NW. Sebagian jamaah NW khawatir ketika Bajang masuk di ranah politik praktis sebagai Cagub akan merusak namanya sebagai tokoh agama, dan tentunya akan berpengaruh pada esksistensi NW. Kekhawatiran lain adalah ketika Bajang mengahadapi suatu kasus dan didemo

dengan cacian, hinaan dan cibiran, maka berpotensi menimbulkan konflik dengan „jamaah NW‟

karena ketidaksiapan mereka melihat Bajang diperlakukan seperti itu.

Pada awalnya Bajang tidak mau dicalonkan sebagai Cagub karena merasa tidak mempunyai cukup pengalaman mengelola birokrasi di pemerintahan. Dorongan dan dukungan yang besar dari berbagai pihak kepada Bajang dan izin restu dari ibunda Ummi Siti Rauhun memantapkan langkah Bajang sebagai Cagub. Pencalonan Bajang sebagai gubernur dan Azmi sebagai bupati Lombok Timur didukung oleh dua partai yaitu PBB dan PKS. PKS menetapkan Bajang sebagai calon mereka dan kader PKS sebagai calon wakilnya yaitu Badrul Munir. Begitu juga dengan Cabup Lombok Timur Azmi (calon dari NW Pancor) juga didukung oleh PKS berpasangan dengan Syamsul Lutfi (kakak kandung Bajang) (Hamdi, 2011:150).

Kubu NW Anjani mendukung calon dari luar NW yaitu Lalu Srinata berpasangan dengan Husni Jibril sebagai Cagub dan Cawagub, sedangkan Moch. Ali Bin Dahlan berpasangan dengan Gaffar Ismail sebagai Cabup dan Cawabup Lombok Timur. Kedua calon ini adalah incumbent. Srinata berasal dari golongan aristokrat sedangkan Ali adalah kader NU yang dikenal dekat dengan NW Anjani. Srinata didukung oleh koalisi partai besar yaitu Golkar, PDIP, PBR, dan partai Patriot. Sedangkan Ali didukung oleh Golkar, PBR, Patriot, PKB, dan PPP (Hamdi, 2011: 150). Beberapa alasan kubu NW Anjani mendukung calon ini atau luar NW yaitu, pertama,

persoalan konflik internal NW. NW Anjani tidak mengakui eksistensi kepengurusan NW Pancor. Jika mendukung calon mereka sama artinya dengan mendukung keberadaan mereka. Kedua,

trauma kekerasan yang dialami oleh elit dan jamaah NW Anjani ketika berhadapan dengan elit dan jamaah NW Pancor. Ketiga, sebagai calon incumbent Srinata dan Ali adalah calon kuat sehingga tidak sulit untuk mengalahkan calon lain. Selain alasan tersebut NW Anjani juga mempunyai misi khusus mengalahkan calon NW Pancor supaya tidak naik. Upaya-upaya tersebut dapat dilihat dari

black campaign oleh tokoh NW Anjani terhadap Bajang.

(9)

138

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

atau harus memilih sesuai dengan hati nurani. Terdapat dua kecenderungan yang muncul di kalangan jamaah NW yaitu sebagian mengikuti kebijakan organisasi dan sebagian memilih independen. Adapun wacana yang berkembang di kalangan jamaah NW terkait dengan Cagub dan Cabup dari NW terbagi menjadi tiga kelompok; kelompok pertama, mendukung kedua calon baik Cagub dan Cabup. Kelompok kedua, medukung Cagub saja dan tidak Cabup karena mereka menilai Cabup incumbent Ali Bin Dachlan sudah memimpin dengan baik. Kelompok ketiga,

mendukung Cabup saja, tetapi tidak Cagub karena adanya kekhawatiran jika Bajang naik akan merusak reputasinya.

Jadwal Pilkada Cagub dan Cabup dilaksanakan secara serentak yaitu bulan Juli 2008. Begitu juga dengan jadwal kampanye dilaksanakan bersamaan walaupun tempat dan harinya berbeda. Karena didukung oleh partai yang sama maka calon dari kedua kubu NW seringkali melakukan kampanye gabungan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengorganisiran massa. Situasi

kampanye calon NW selalu „panas‟ karena kuatnya gesekan dan aura konflik. Terlebih jika

keduanya berkampanye melewati kantor pusat masing-masing, di mana massa saling berhadap-hadapan. Aksi saling ejek, saling lempar dan perkelahian tidak dapat dihindari.

Kampanye calon dari NW termasuk kampanye yang paling ramai, emosional dan atraktif karena kedua kubu NW menggunakan media agama yaitu pengajian sebagai alat kampanye. Penggunaan media agama pengajian sebagai alat kampanye karena dinilai sangat efektif untuk melakukan indoktrinisasi dan pengajian telah menjadi salah satu tradisi dakwah dan media silaturrahmi di antara warga NW. Biasanya pengajian dilakukan secara harian, mingguan, bulanan dan tahunan keliling ke tempat-tempat jamaah di seluruh penjuru desa pulau Lombok. Pengajian inilah yang menjadi investasi besar Bajang sebelum terpilih jadi gubernur, dia sangat terkenal melalui pengajian-pengajiannya di masyarakat. Penulis melihat adanya peran politik agama yang dimainkan oleh semua calon termasuk calon dari kubu NW.

Kubu NW Anjani menggunakan wacana konflik dan kekerasan di setiap kampanye, berbeda dengan kubu NW Pancor yang justeru mengembangkan wacana islah atau rekonsiliasi di kampanye mereka. Elit-elit NW Anjani lebih banyak mencela, menghina dan menjelekkan calon dari NW Pancor ketika berkampanye di pengajian, sementara kubu NW Pancor lebih memilih politik santun mengajak pada perdamaian, persatuan, solidaritas dan kekompakan. Pilihan wacana kampanye yang dilakukan oleh kubu NW Pancor berdampak positif bagi perolehan suara dan jamaah NW. Secara umum kesadaran mulai tumbuh di kalangan elit dan jamaah NW, banyak tokoh-tokoh NW Anjani menyatakan dukungannya terhadap pencalonan Bajang (Cagub) dan Azmi (Cabup). Bajang dipandang mampu memimpin NTB dan menyelesaikan konflik NW. Dia juga dianggap orang yang tepat menggantikan tokoh kharismatik TGH. Zainuddin yang tidak lain adalah kakeknya. Bajang dikenal memiliki gaya orasi dan ceramah agama yang sangat bagus dan berpikir progresif, moderat, inklusif tanpa harus meninggalkan ideologi NW.

(10)

139

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

raihan suara mutlak. Dari empat pasang Cagub, Bajang memperoleh suara 847.976 (38.84%), dan urutan kedua adalah calon dari kubu NW Anjani sebanyak 581.123 (27.395), dari total suara sah 2.187.893. Sedangkan pasangan Cabup Lombok Timur, Azmi memenangkan kursi bupati dengan raihan suara 278. 355 (49. 91%) dan di urutan kedua juga dari kubu NW Anjani Ali Bin Dahlan dengan prolehan suara 255.962 (45,90) (Http://www.kpudntbprov.go.id, diakses tanggal 1 November 2011). Untuk lebih detailnya lihat tabel perolehan Cagub berikut ini,

Tabel 2.

Daftar Nama Calon dan Hasil Pilkada Gubernur NTB 2008

No. Urut Nama Calon Gubernur Jumlah Suara

1. Ir. H. Nanang Samodra KA., M.Sc. Muhammad Jabir, SH., MH.

370.919

2. KH. M. Zainul Madjdi, MA. Ir. H. Badrul Munir, MM.

847.976

3. Drs. H. Lalu Serinata H.M. Husni Djibril, B.Sc.

581.123

4. DR. H. Zaini Arony, M.Pd. Nurdin Ranggabarani, SH., MH

387.875

Jumlah suara sah 2.187.893 Suara tidak sah 84.235

Sumber: KPU Provinsi NTB

Membuka Tabir Keberhasilan Politik NW Pada Pilkada 2008: Kontestasi Wacana, Legitimasi Agama dan Kharisma Kepemimpinan

Keberhasilan NW pada Pilkada Cagub dan Cabup Lombok Timur 2008 menyimpan banyak rahasia dan teka-teki yang perlu ditafsirkan dan diesksplorasi secara ilmiah. Masyarakat bertanya-tanya bagaimana kubu NW Pancor memenangkan Pilkada 2008 di dua kategori sekaligus yaitu Cagub NTB dan Cabup Lombok Timur. Padahal kandidat lawan mereka adalah calon-calon kuat berasal dari incumbent yang memiliki pengalaman politik jauh lebih matang. Apalagi mereka didukung oleh partai-partai besar hasil koalisi.

Kontestasi politik yang anggun namun penuh emosional menguras energi yang cukup dalam telah diperlihatkan oleh para kontestan khususnya calon-calon dari kedua kubu NW yang sama-sama kuat. NW Anjani dan Pancor tidak memiliki perbedaan yang mendasar, hanya faktor kekuasaanlah yang memaksa mereka untuk berpisah. Oleh karena itu pola-pola kampanye dan media yang mereka gunakan hampir sama yaitu media agama, namun kenapa hasilnya berbeda?

(11)

140

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

fakta dan data di lapangan penulis melihat banyak faktor yang ikut mempengaruhi kemenangan kubu NW Pancor di antaranya adalah, Pertama, konstruksi wacana sebagai materi kampanye. Kubu NW Pancor menggunakan wacana islah atau rekonsiliasi sebagai materi kampanye, sedangkan kubu NW Anjani menggunakan wacana konflik dan kekerasan. Di setiap kampanye Bajang selalu mewacanakan islah dan pentingnya persatuan kembali elit dan jamaah NW seperti zaman TGH. Zainuddin. Bajang mengajak kubu NW Anjani dan orang-orang yang tidak menginginkan keluarga TGH. Zainuddin dan organisasi NW bersatu harus mengoreksi diri dan membuka jalan dialog mencari solusi permasalahan yang ada. Bagi Bajang konflik dan perpecahan NW adalah kecelakaan sejarah bagi kaum nahdliyin yang tidak perlu terjadi kedua kalinya.

Berbeda dengan elit-elit NW dari kubu Anjani yang menggunakan wacana konflik di dalam kampanye. Konflik NW dijadikan sebagai komoditas politik oleh tokoh NW Anjani dengan tujuan supaya masyarakat tidak mendukung dan memilih Bajang yang dinilai bertanggung jawab atas konflik dan perpecahan NW. Penulis menilai bahwa pilihan wacana konflik oleh NW Anjani tidak lagi relevan dengan kondisi lapangan di masyarakat, dimana masyarakat sedang dalam proses rekonsiliasi terutama di tingkat keluarga. Sebagai catatan konflik dan kekerasan antara jamaah NW mengalami puncak pada tahun 2002 yang menelah korban jiwa dan harta dari kedua belah pihak. Masyarakat sangat trauma dengan konflik tersebut, bahkan banyak di antara mereka harus berpisah dengan keluarga, kerabat, teman dan kolega karena berbeda mazhab NW-nya. Di sinilah letak kelemahan elit-elit NW Anjani yang tidak jeli dan tidak mampu mengakomodir

aspirasi jamaah NW yang menginginkan kehidupan harmonis dan „normal‟ supaya dapat

memenuhi kebutuhan ekonomi mereka dengan cara menyatukan kembali jamaah NW.

Kedua,pengaruh keturunan „TGH. Zainuddin‟. Bajang adalah keturunan langsung dan darah daging pendiri NW TGH. Zainuddin, yaitu cucu dari anak pertamanya Siti Rauhun. Keturunan TGH. Zainuddin mendapat tempat khusus di kalangan jamaah NW. Mereka sangat dihormati, dihargai dan dikeramatkan seperti keluarga Nabi karena faktor kekeramatan TGH. Zainuddin. Artinya keluarga TGH. Zainuddin memiliki stratifikasi sosial yang lebih tinggi, dan paling tinggi di komunitas NW. Jika diberi pilihan untuk memilih keluarga TGH. Zainuddin dengan orang lain maka masyarakat akan mendukung keturunan TGH. Zainuddin meskipun dia biasa-biasa saja, apalagi jika dia mampu maka sulit bagi calon lain bersaing merebut hati jamaah NW. Kesuksesan Cabup Lombok Timur misalnya dari kubu NW Pancor tidak lepas dari faktor Syamsul Lutfi yang menjadi Cawabup yang tidak lain adalah kakak kandung Bajang.

Ketiga, kharisma. Bajang termasuk salah satu pemimpin agama yang dikenal kharismatik. Dia diyakini orang yang tepat menggantikan kakeknya sebagai pemimpin NW dibanding dengan saudara sepupunya yang lain dan dialah yang mewarisi keilmuan dan kharisma kakeknya. Bagi jamaah NW melihat Bajang sama dengan melihat TGH. Zainuddin. Keempat, modal agama dan modal budaya yang dimiliki Bajang. Bajang adalah sosok yang memiliki pengetahuan agama yang luas. Dia menghabiskan waktu studi di Universitas Al-Azhar Kairo hingga memperoleh gelar S3

(12)

141

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

Lombok. Modal inilah yang mendorong orang kagum dan mencintainya. Kelima, keterbukaan dengan kelompok lain. Kehadiran Bajang telah membawa perubahan besar di kalangan jamaah NW karena membawa wacana-wacana baru yang lebih moderat, inklusif, dialogis dan toleran. Wacana ini sangat ‘taboo’ bagi jamaah NW. Dampaknya hubungan NW dengan organisasi lain sangat terbatas bahkan seringkali menimbulkan gesekan-gesekan. Bajang yang hadir dengan sosok baru tersebut lebih diterima oleh kelompok luar termasuk dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Ketika Pilkada dukungan lintas organisasi dan lintas agama sangat membantu Bajang meraih kesuksesan. Keenam, popularitas. Jauh sebelum Pilkada 2008 Bajang sangat populer tidak hanya di kalangan jamaah NW tetapi juga di Lombok melalui dakwah dan pengajian-pengajian keagamaan.

Ketujuh, kerja keras partai pendukung, PKS dan PBB. Faktor PKS sangat penting di dalam pemenangan Bajang dan Cabup Lombok Timur. PKS mensosialisasikan Cagub dan Cabup secara

door to door, meskipun di basis massa pendukung calon lain. PKS juga sangat antisipasitf dengan

money politic dan serangan fajar yang dilakukan calon lain. Kedelapan, salah satu rival berat Bajang terkena kasus korupsi. Lalu Srinata yang didukung oleh kubu NW Anjani dan partai-partai besar sedang tersandung kasus korupsi sehingga menurunkan tingkat elektabilitasnya.

Dampak Kekuasaan ‘ NW Bajang’ terhadap Rekonsiliasi NW

Setelah memenangkan Pilkada Cagub dan Cabup 2008, nama NW semakin populer dan sangat dipertimbangkan di ranah politik khususunya di Lombok, NTB. Kemenangan ini menjadi titik awal dan modal penting bagi kader-kader NW untuk lebih percaya diri ikut bertarung dan berpartisipasi di dalam pemerintahan. Realitas politik lokal menunjukkan bahwa langkah dan kesuksesan Bajang di dalam kontestasi kekuasaan diikuti oleh kader-kader NW lain. Misalnya, pada Pilkada 2009 di Lombok Barat, tokoh NW Zaini Arony berhasil memenangkan kursi bupati priode 2009-2014. Arony tercatat sebagai salah satu pengurus di jajaran struktural PB NW pro Pancor. Najmul Akhyar, salah satu tokoh NW juga berhasil menjadi pemenang pada Pilkada 2010 di Lombok Utara untuk posisi wakil bupati.

(13)

142

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

Janji politik Bajang selama kampanye untuk menyatukan NW terus dilakukan, walaupun hasilnya belum kelihatan selama dua tahun kepemimpinannya sebagai gubernur. Berbagai pendekatan telah dilakukan termasuk pendekatan kekeluargaan, agama dan pendekatan politik untuk mencapai resolusi dan mendialogkan akar persoalan yang memicu konflik NW (Hamdi, 2011:352-354; Hamdi dan Smith, 2011:10-11). Pendekatan kekeluargaan misalnya belum mampu menggugah kesadaran para aktor yang terlibat konflik untuk duduk bersama membicarakan

langkah dan strategi penyatuan kembali NW. Justru „keluarga‟ dijadikan sebagai pangkal persoalan

NW karena gagal melakukan sharing kekuasaan khususnya di kalangan keturunan TGH. Zainuddin. (Hamdi, 2011:11). Begitu juga dengan pendekatan politik selalu kandas karena kuatnya kepentingan pribadi dan kelompok di masing-masing kubu NW. Ketika mencalonkan Bajang sebagai Cagub dan Sukiman sebagai Cabup Lombok Timur, kubu NW Pancor mewacanakan koalisi dengan NW Anjani dalam sharing kekuasaan di pemerintahan. Asal mendukung Bajang, NW Anjani ditawari posisi bupati atau wakil bupati Lombok Timur. Tawaran ini tidak pernah direspon oleh kubu NW Anjani, mereka lebih tertarik mencalonkan orang lain di luar NW. Segala yang berbau NW Pancor tidak pernah ditanggapi serius oleh kubu NW Anjani dan mereka mencoba menutup segala peluang dan akses kubu Pancor termasuk dalam bidang politik dan kekuasaan.

Upaya rekonsiliasi atau islah tidak pernah berhenti dilakukan oleh Bajang meskipun kenyataanya islah NW mendekati hukum „mustahil‟. Di tengah kebuntuan jalan islah NW, secara mengejutkan pada tahun 2010 tiba-tiba kedua tokoh NW mengumumkan adanya kesepakatan

islah (Hamdi, 2011:10-12). Proses islah NW diinisiasi oleh para elit NW dari kedua kubu melihat adanya peluang besar untuk bekerja sama dalam bidang politik. NW Pancor menawarkan bantuan politik kepada NW Anjani yang mencalonkan putra Raihanun yaitu TGH. Lalu Gede Muhammad Ali Wira Sakti Amir Murni sebagai Cabup Lombok Tengah. Tawaran bantuan dan kerja sama politik oleh kubu NW Pancor akhirnya diterima oleh kubu NW Anjani demi kesuksesan Sakti. Kubu NW Anjani membutuhkan suara NW untuk memenangkan Pilkada tersebut. Jika suara NW pecah sulit bagi Sakti untuk meraih kemenangan karena harus berhadapan dengan dua lawan politik ekternal dan internal NW.

(14)

143

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

Pertemuan kedua cucu TGH. Zainuddin ditindak lanjuti dengan pertemuan kedua putrinya; Siti Rauhun dan Siti Raihanun. Keduanya merupakan tokoh kunci di dalam konflik NW, mereka terlibat konflik pasca ayah mereka wafat tahun 1997. Keduanya tidak pernah bertemu selama 13 tahun sejak 1997-2010 setelah terlibat konflik dan perpecahan. Mereka bertemu di makam TGH. Zainuddin di Pancor yang didampingi oleh anak-anak mereka dan elit-elit NW. Setelah berzikir dan berdoa di depan makam, mereka selanjutnya berkunjung ke rumah Rauhun. Mereka kembali berzikir dan berdoa sebagai ucapan rasa syukur. Mereka kemudian pergi berbicara di dalam kamar yang diikuti hanya oleh keluarga TGH. Zainuddin.

Pertemuan keluarga ini disosialisasikan dan dipublikasikan oleh berbagai media cetak dan elektronik. Kubu NW Pancor membuat baliho besar yang berisi foto keluarga TGH. Zainuddin yang di pajang di depan lingkungan pesantren NW Pancor. Bajang juga mengadakan pawai islah

keliling dari Lombok Timur hingga Mataram sebagai bagian dari sosialisasi islah (Hamdi, 2011:10-12). Selain itu mereka juga mengundang keluarga NW Anjani dan tokoh yang lain untuk melakukan hiziban dan zikir bersama di pesantren Pancor. Secara bergantian kubu Anjani juga mengundang tokoh-tokoh NW Pancor berkunjung ke Anjani (Hamdi, 2011:10-12). Bersatunya keluarga besar TGH. Zainuddin memiliki makna simbolik bahwa NW telah bersatu karena akar persoalannya adalah konflik keluarga. Jika keluarga TGH. Zainuddin bersatu kembali, maka para pendukungnya secara otomatis akan mengikutinya, meskipun dalam pertemuan itu mereka tidak membahas mekanisme islah organisasi.

Pada putaran pertama Pilkada 2010 Lombok Tengah Sakti mampu mengungguli enam calon bupati yang lain dengan prolehan suara 24.71%, disusul urutan kedua adalah Maiq Meres dengan suara 21.83%, Jari 19.94%, Suke 19.33%, Sudi 5.38 dan Tarzan 0.57%. Karena tidak ada pasangan yang memperoleh suara di atas 30%, maka pertarungan dilanjutkan dengan putaran kedua untuk dua calon yang memperoleh 20% ke atas yaitu Sakti dan Maiq Meres. Kemenangan Sakti membuat heboh masyarakat karena dia tidak diunggulkan. Pada Pilkada sebelumnya di tahun 2005 Sakti pernah mencalonkan diri sebagai Cawabup dan berada di posisi paling buncit. Penulis melihat bahwa pengaruh islah NW memiliki peran yang sangat penting mendongkrak perolehan suara Sakti. Di beberapa kesempatan kampanye Sakti kedua putri TGH. Zainuddin (Rauhun dan Raihanun) ikut berkampanye untuk menarik massa supaya memilih Sakti. Bahkan pada acara Hultah yang ke 75 di tahun 2010 di Pancor Bajang mengundang Raihanun selaku ketua umum PB NW Anjani dan anaknya Sakti untuk hadir. Itulah momen bersejarah lain selama proses islah NW dan untuk pertama kalinya kubu NW Anjani hadir. Bajang dalam ceramahnya

mengatakan „Tidak ada salahnya saya mendukung saudara saya untuk terus maju, kalau sudah

maju, tidak ada kata-kata mundur‟.

(15)

144

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

islah tersendat-sendat, bahkan tidak ada gaung islah yang muncul di kalangan elit-elit NW. Kedua kubu NW segan untuk membicarakan islah secara organisasi karena masih larut dalam kesedihan pasca kekalahan Pilkada. Kedua kubu NW menjalankan organisasi seperti biasa, tetap memakai dualisme kepemimpinan. Informasi yang kurang bagus muncul terkait dengan kekalahan sakti, dimana sebagian elit NW Anjani mengklaim kubu Pancor tidak serius dan tidak maksimal membantu pemenangan Sakti. Berbeda dengan kubu NW Pancor yang merasa telah berbuat maksimal membantu kesuksesan sakti, bahkan mereka membatu secara finansial. Kubu Pancor tidak dapat memendam kekecewaan mereka setelah mengetahui kekalahan Sakti, meskipun demikian mereka bisa menerima kekalahan tersebut.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa Bajang pada dasarnya telah berhasil memenuhi janjinya untuk mewujudkan islah NW setelah menjadi gubernur. Apapun alasan dan momentum yang digunakan, bersatunya kedua putri TGH. Zainuddin yaitu Rauhun dan Raihanun adalah prestasi terbesar yang dilakukan Bajang dalam sejarah NW. Setelah Bajang berkuasa NW Anjani tidak pernah lagi melakukan diskrimiansi terhadap dirinya, bahkan dia sangat diterima di komunitas NW Anjani. Walaupun hingga sekarang belum sempat terjadi proses komunikasi lanjutan rekonsilaisi NW secara struktural, namun secara kultural dan simbolik NW telah bersatu. Penulis memandang bahwa rekonsiliasi NW secara struktural hanya tinggal menunggu waktu seiring berkembangnya komunikasi yang lebih terbuka dan intens antara jamaah NW.

KESIMPULAN

Nahdlatul Wathan merupakan salah satu Ormas Islam lokal di Lombok yang memiliki tradisi dan budaya politik yang sangat kuat. Keterlibatan NW dalam bidang politik telah lama terbangun sejak kemunculannya di awal-awal masa kejayaan partai Masyumi. Identitas politik NW selalu berubah-ubah sesuai dengan perubahan arus politik nasional, terkadang religius dan terkadang nasionalis. NW sangat fleksibel dan terbuka dengan perubahan-perubahan yang terjadi sehingga NW tidak memiliki identitas politik yang jelas.

Perubahan orientasi politik NW dapat dilihat dalam beberapa kasus mulai dari pembubaran Masyumi oleh Sukarno, dimana NW beralih ke Parmusi. Setelah Suharto berkuasa NW ikut bergabung ke partai Golkar. Di era otonomi daerah perubahan besar terjadi di internal NW dengan terus melakukan re-orientasi politik dengan berafiliasi ke partai-partai baru yang lebih menjanjikan. Situasi NW yang mengalami konflik dan perpecahan pasca wafatnya TGH. Zainuddin tahun 1997 memiliki pengaruh besar terhadap arah kebijkan politik NW. NW yang terbagi menjadi dua kubu (NW Pancor dan Anjani) memilih afiliasi partai politik yang berbeda-beda. Segragasi dan perpecahan ini memperluas wilayah konflik tidak hanya terkait status kepemimpinan, tetapi juga ranah politik.

(16)

145

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

NW karena berhasil melewati tantangan yang ekstra berat berhadapan unsur internal dan eksternal. NW Anjani mendukung calon dari luar NW dan berusaha menjegal langkah politik Bajang dengan membawa-bawa isu konflik NW ke ranah politik praktis. Tentu banyak faktor yang ikut memberikan kontribusi kemenangan Bajang seperti faktor keturunan, kharisma, politik agama, modal sosial, modal budaya dan lain-lain.

Keberhasilan ini juga memperkuat identitas politik NW sebagai kelompok mayoritas di Lombok yang perlu dipertimbangkan kekuatannya. NW secara pelan-pelan dapat menjadi penguasa di seluruh daerah di Lombok dengan terpilihnya kader-kader NW sebagai kepala daerah. Meskipun kekuasaan Bajang belum mampu menyatukan NW secara struktural keorganisasian, tetapi secara kultural dia telah berhasil.

SARAN

Penulis menyarankan bahwa satu-satunya jalan menyelesaikan konflik NW adalah dengan

sharing kekuasaan yang lebih besar di luar NW. Kenapa tokoh-tokoh NW harus sibuk dengan kekuasaan yang terbatas di NW, sementara kekuasaan yang lebih besar di luar NW dapat dicapai melalui kerja sama-kerja sama politik. Apa yang telah dilakukan Bajang dan tokoh-tokoh NW yang menjadikan Pilkada Lombok Tengah sebagai media rekonsiliasi NW semestinya harus dilanjutkan pada momentum-momentum politik yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri. 1999. Islam Politik dan Islam Struktural. Dalam Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (ed), http//www.books.google.co.id, Tokoh Ormas Islam Mendirikan Partai Politik di Indonesia, diunduh pada tanggal 1 November 2011.

Avonius, Leena. 2004. Reforming Wetu Telu: Islam, Adat and the Promises of Regionalism in Post-New Order Lombok. Yliopistopaino: Helsinki.

Baharuddin. 2007. Nahdlatul Wathan & Perubahan Sosial. Yogyakarta: Genta Press.

Baharuddin dan Rasmianto. 2004. Maulana Lentera Kehidupan Umat. Malang: Mintra Insan Cendekia.

BPS Provinsi NTB. 2008. NTB dalam Angka. Mataram: BPS NTB

BPS Lombok Timur. 2006. Lombok Timur dalam Angka. BPS Lombok Timur

Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima. Yogyakarta: LKiS.

(17)

146

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

Nahdlatul Wathan. Master Tesis. Australian National University.

Hamdi, S. & Bianca J. Smith. 2011. Sisters, Civilian Armies and Islam in Conflict: Questioning

„reconciliation‟ in Nahdlatul Wathan, Lombok. Contemporary Islam: Dynamics of Muslim Life.

DOI: 10.1007/s11562-011-0168-5.

Hamdi, Saipul. 2011. Reproduksi Konflik dan Kekuasaan dalam Organisasi Nahdlatul Wathan (NW) di Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Disertasi S3. Universitas Gadjah Mada

--- 2011. Politik Islah: Re-Negosiasi Islah, Konflik dan Kekuasaan dalam Nahdlatul Wathan di Lombok Timur. Kawistara, vol 1, No 1: 1-14.

Haris, Syamsuddin. 2007. Desentralisasi & Otonomi Daerah. Jakarta: Lippi Press

Mujani, Saiful. 1999. Fraksi Reformasi. Dalam Hamid Basyaid dan Hamid Abidin (eds) http://www. books.google.co.id, diunduh tanggal 1 November 2011.

Noor, Mohammad et al. 2004. Visi Kebangsaan Religius: Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu bekerjasama dengan Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Jakarta.

Nu‟man, Hayyi. 1999. Maulana TGH. Zainuddin TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid:

Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Mataram: Pengurus Besar Nahdlatul Wathan.

Picard, Michel. 2005. Otonomi Daerah Bali: The Call for Special Autonomy Status in the Name of Kebalian. Dalam Sulistiyanto, Priyambudi, Faucher, Carole dan Erb, Maribeth,

Regionalism in Post-Suharto Indonesai”. New York: Routledge Curzon.

Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Alih bahasa oleh Wahono, S, Bilfagih, B, Huda, H, Helmi, M, Sutrisno, J, Manadi, H. Jakarta: Serambi.

Ridwan, Nur Khalik. 2010. NU & Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Saprudin. 2005. Konflik Kekuasaan di Tubuh Organisasi Nahdlatul Wathan Antara Kubu Hajjah Siti Rauhun dengan Kubu Hajjah Siti Raihanun. Tesis belum diterbitkan di Program Magister Jurusan Sosiologi, Universitas Gadjah Mada.

Smith, Bianca J. dan Hamdi, Saipul. 2009. The Politics of Female Leadership in Nahdlatul Wathan Pesantren, Lombok, Eastern Indonesia. International Journal of Pesantren Studies,

volume 3, No. 1: 1-25.

(18)

147

Jurnal Review Politik

Volume 01, Nomor 02, Agustus 2011

Yusuf, M. 1976. Sejarah Ringkas Perguruan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah & Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah. Selong: PB NW.

Sumber Internet

Anonim, http://www.demokrat.or.id, Gubernur Termuda Pimpin Demokrat NTB, Diunduh pada tanggal 1 November 2011.

Anonim, http://www. berita-lampung.blogspot.com, Hasil Pilkada Lombok Tengah, diunduh pada tanggal 1 November 2011.

Gambar

Tabel 2.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai ibukota dari Provinsi Gorontalo, Kota Gorontalo memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan kontribusi untuk memiliki pusat penelitian kelautan, agar

Tugas mandiri Mendengarkan, diskusi & mencatat Mengerjakan tugas Mandiri Penilaian Individu mengenai Tugas Mandiri Nilai Tugas 10 % 6 Mahasiswa memahami dan

“Di sini banyak sekali sampah–sampah yang sudah menahun, ada di dalam tanah–tanah," ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Isnawa Adji di kawasan Cilincing,

(6) Dalam rangka meningkatkan Mutu Profesi setiap kelompok keperawatan dapat menyelenggarakan pendidikan berkelanjutan baik yang merupakan program Rumah Sakit maupun

Doktrin atau prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati – hati dalam meproduksi dan menyalurkan produk, baik barang dan/atau jasa.

Pengumpulan data dilakukan de- ngan cara: (1) pembacaan secara cermat atas satuan cerita yang terdapat dalam novel: (2) mengidentifikasi bagian-ba- gian cerita yang

Sebagaimana konsep pengeringan dimana setiap penambahan tegangan air pori negatip menimbulkan suatu beban, maka akibat adanya dewatering tanah dibawah pondasi

1) Terjadinya fluktuasi produktivitas kerja yamg di tunjukkan dari hasil panen tanaman hias yang dialami oleh kelompok petani tanaman hias Tunas Mekar Sari Desa Petiga. 2) Kurang