Belajar dari Malaysia:
Pemertahanan Budaya Lisan melalui Teknologi Animasi
Asep Wawan Jatnika, Tri Sulistyaningtyas, Jejen Jaelani, Yani Suryani, Ferry Fauzi Hermawan, Linda Handayani Sukaemi
Kelompok Keahlian Ilmu Kemanusiaan,
Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 40132, Jawa Barat, Indonesia
langitshabrina@gmail.com
Abstrak
Tradisi menulis fable sudah sangat tua ada di India dan Yunani Kuno. Di masyarakat Melayu, termasuk Malaysia dan Indonesia fabel disampaikan melalui tradisi lisan. Di Indonesia fabel berupa cerita kancil sangat popular terutama dalam kebudayaan Melayu dan Jawa. Di Malaysia cerita kancil dipertahankan melalui film animasi berjudul “Pada Zaman Dahulu” yang dapat dinikmati oleh anak-anak Malaysia-Indonesia sebagai sebuah hiburan televisi berseri. Di Indonesia cerita kancil dipublikasikan secara mandiri melalui media serupa dengan tajuk “Kartun Anak – Si Kancil yang Cerdik” dan dapat disaksikan oleh anak-anak Indonesia melalui laman Youtube. Penelitian ini menganalisis perbandingan dua film animasi tersebut menggunakan pendekatan objektif dengan teori struktural. Hasil analisis menunjukkan bahwa film animasi “Pada Zaman Dahulu” menghadirkan Ara dan Aris sebagai representasi penonton dan Aki sebagai pendongeng. Kelisanan cerita kancil tetap bertahan dengan kehadiran tokoh Aki. Pada akhir cerita, pendongeng yang merupakan kakek dari Ara dan Aris menyampaikan hikmah dari setiap cerita. Pada film animasi “Kartun Anak – Si Kancil yang Cerdik” tidak terdapat tokoh anak sehingga anak sebagai penonton tidak dilibatkan langsung dalam kisah tersebut. Hal ini membuat anak-anak berjarak dengan cerita. Kedekatan penonton dengan cerita dalam film animasi “Pada Zaman Dahulu” adalah bagian yang menjadi pelajaran dalam pemertahanan budaya lisan melalui teknologi animasi.