• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerasan struktural dan personal dalam naskah drama Tumirah Sang Mucikari karya Seno Gumira Ajidarma : tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Kekerasan struktural dan personal dalam naskah drama Tumirah Sang Mucikari karya Seno Gumira Ajidarma : tinjauan sosiologi sastra - USD Repository"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

KEKERASAN STRUKTURAL DAN PERSONAL

DALAM NASKAH DRAMA TUMIRAH SANG MUCIKARI

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

Tugas Akhir

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Valentinus Ola Beding NIM: 044114005

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

One Love, One Heart

Satu Cinta, Satu Hati

(Bob Marley)

Non Scholae Set Vitae Discimus

Kita belajar bukan untuk mencari nilai semata

tetapi untuk menghadapi hidup

Kemenangan yang seindah

indahnya dan sesukar

sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah

menundukan diri sendiri.

(Ibu Kartini )

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Sang Mahakasih

Bapak dan Ibu

Chris dan Robert

Serta semua orang yang kukasihi

(5)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akhir dalam menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yaitu: 1. S.E. Peni Adji, S.S, M.Hum. sebagai dosen pembimbing I, terima kasih

atas segala bimbingan dan masukan kepada saya untuk meyelesaikan skripsi ini.

2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. sebagai dosen pembimbing II, terima kasih telah meluangkan banyak waktu untuk memberi masukan dan membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Seluruh dosen Jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia. 4. Kedua orang tua saya Bapak Rafael Suban Beding dan Ibu Lusia

Hubung yang telah memberi dukungan secara material dan spiritual kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat selesai.

(6)

6. Teman-teman komunitas Bengkel Sastra tempat penulis membongkar pasang onderdil kehidupan yang telah membantu penulis mewujudkan penulisan skripsi ini.

7. Teman-teman FKPMKS, HMKK, SEKBER J.C Oevaang Oerray, dan anak-anak Kalimantan yang ada di Yogyakarta, terimakasih atas kebersamaannya, terimakasih atas pengalamannya.

8. Teman-teman main bola Hendra, Parji, Bob, Davis, Lui, Rico, Lingga, Tommy, dan teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah meluangkan waktu untuk bermain bola “BRAVO BARCELONA”.

9. Hendra, terimakasih atas obrolan ringan pada penulis.

10.Teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia 2004, terima kasih atas kebersamaannya selama di bangku perkuliahan.

11.Yulia terimakasih atas semangatnya.

12.Teman-teman bermain Cheos, Domex, Bitbit, Angoro, dll. Terima kasih atas kebersamaannya, gurauannya, canda dan tawanya.

13.Teman-teman kos Grinjing 6B, Bang Kadir, Daniel, Bram, Diana, Bapak dan Ibu kos, dll. terimakasih atas persinggahannya, tempat penulis berteduh dan bermain.

(7)
(8)
(9)
(10)

ABSTRAK

Ola Beding, Valentinus. 2011. “Kekerasan Struktural dan Personal Dalam Naskah Drama Tumirah Sang Mucikari Karya Seno Gumira Ajidarma : Tinjauan Sosiologi Sastra.” Skripsi Strata (S-1). Yogyakarta. : Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji tentang kekerasan struktural dan personal dalam naskah drama Tumirah Sang Mucikari Karya Seno Gumira Ajidarma. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis unsur intrinsik yang dititikberatkan pada unsur alur dan tokoh dalam drama Tumirah Sang Mucikari untuk mengetahui kekerasan yang terjadi di dalamnya.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra, yaitu pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode pengumpulan data, metode analisis data, metode penyajian hasil analisis data. Metode pengumpulan

data didapat melalui studi pustaka. metode tersebut dipakai untuk mendapatkan data yang ada, yaitu sebuah naskah drama berjudul Tumirah Sang Mucikari, buku-buku referensi, dan artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek tersebut. Metode analisis data dalam penelitian ini penulis menggunakan metode analisis isi yang menganalisis isi laten dari sebuah naskah drama. Metode penyajian hasil analisis data penulis mengunakan metode deskritif. melalui metode ini penulis memaparkan fakta-fakta kekerasan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

(11)
(12)

ABSTRACT

Ola Beding, Valentinus. 2011. "Structural Violence and Personal In Drama Scripts Tumirah Sang Mucikari of Work Seno Gumira Ajidarma: Review of Sociology of Literature." Thesis Strata (S-1). Yogyakarta. : Indonesian Literary Studies Program, Department of Indonesian Literature, Faculty of Letters, University of Sanata Dharma.

This study examines the structural and personal violence in drama Tumirah the Work Pimps Seno Gumira Ajidarma. The purpose of this study is to analyze the intrinsic elements that focus on plot elements and characters in the play The Pimps Tumirah to know the violence that happens in it.

The approach used in this study is the sociological approach to literature, namely the opposite approach from the assumption that literature is a reflection of community life.

The method used in this study include data collection methods, data analysis methods, methods of presenting the results of data analysis. Methods of data collection obtained through a literature study. The method used to obtain the data, which is a play titled Tumirah The Pimps, reference books, and articles or writings relating to that object. Methods of data analysis in this study the authors used content analysis method that analyzes the contents of a latent drama. Method of presenting the results of data analysis the authors use the method deskritif. through this method the authors describe the facts of violence related to the problem under study.

(13)
(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN... iv

KATA PENGANTAR……….. v

PERYATAAN KEASLIAN KARYA... vii

PERYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………... ix

ABSTRAK... x

ABSTRACT... xii

DAFTAR ISI... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah... 6

1.3 Tujuan Penelitian... 6

1.4 Manfaat Penelitian... 7

1.5 Tinjauan Pustaka... 7

1.6 Landasan Teori... 8

1.6.1 Teori Struktural... 8

(15)

1.6.1.3 Tokoh... 11

1.6.2 Sosiologi Sastra... 12

1.6.3 Kekerasan Struktural dan Personal... 14

1.7 Metodologi Penelitian... 16

1.7.1 Pendekatan... 16

1.7.2 Metode Penelitian... 17

1.8 Sistematika Penyajian... 20

BAB II STRUKTUR ALUR DAN TOKOH DRAMA TUMIRAH SANG MUCIKARI KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA 2.1 Alur... 21

2.1.1 Bagian Awal: Pemaparan dan Penggawatan... 22

2.1.2 Bagian Tengah: Klimaks dan Peleraian... 22

2.1.3 Bagian Akhir: Penyelesaian... 32

2.2 Tokoh dan Penokohan... 33

2.2.1 Tumirah... 33

2.2.2 Minah... 38

2.2.3 Tumini... 38

2.2.4 Lastri... 40

(16)

2.2.6 Mahmud... 41

2.2.7 Ninja-Ninja... 42

2.2.8 Para Peronda... 45

2.2.9 Hakim... 46

2.3 Rangkuman... 46

BAB III ANALISIS KEKERASAN STRUKTURAL DAN PERSONAL DALAM NASKAH DRAMA TUMIRAH SANG MUCIKARI KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA 3.1 Kekerasan Struktural... 48

3.2 Kekerasan Personal... 53

3.3 Rangkuman... 59

BAB IV PENUTUP... 61

4.1 Kesimpulan... 61

4.2 Saran... 63

(17)

BAB I

KEKERASAN STRUKTURAL DAN PERSONAL

DALAM NASKAH DRAMA TUMIRAH SANG MUCIKARI

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

1.1Latar Belakang Masalah

Pengarang membuat karya sastra berdasarkan kenyataan yang terjadi oleh manusia. Karya sastra dibuat sesuai dengan pengalaman kehidupan pengarang di masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra dapat diartikan sebagai suatu gambaran mengenai kehidupan sehari-hari di masyarakat. Suharianto (1982:11) menyatakan bahwa karya sastra merupakan rekaan pengarang berdasarkan pengamatannya atas kehidupan masyarakat sehari-hari.

Hal ini juga dijelaskan oleh Jakob Sumardjo (1979:65) yang mengatakan bahwa karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Lebih jauh lagi, Sumardjo menjelaskan bahwa penciptaan sebuah karya sastra dipengaruhi oleh latar belakang pengarang, lingkungan serta kepribadian pengarang itu sendiri. Dengan kata lain, karya sastra mempunyai kaitan yang erat dengan pengalaman jiwa pengarangnya, sebab sebuah karya sastra merupakan suatu seleksi dari kehidupan dan juga merupakan suatu refleksi terhadap kehidupan itu sendiri yang direncanakan dengan tujuan tertentu.

(18)

sastra tidak begitu saja lahir tanpa adanya pengorbanan, tetapi dengan belajar dari masyarakat. Selain sebagai karya seni yang memiliki imajinasi dan sosial, sesungguhnya secara sederhana sastra itu dapat dikatakan sebagai ungkapan rasa estetis manusia dengan memakai bahasa “indah” sebagai alat ekspresinya.

Berdasarkan pendapat di atas, karya sastra membicarakan masalah kehidupan di masyarakat. Dengan membaca karya sastra, pembaca akan mendapat informasi tentang keadaan sosial yang belum pernah kita alami, sehingga kita dapat mengetahui masalah-masalah sosial melalui karya sastra. Di samping itu, pengarang juga mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati kehidupan di dunia ini seperti yang dirasakan pengarang melalui karyanya.

Salah satu genre karya sastra adalah drama. Drama diciptakan tidak untuk dibaca saja, namun juga harus memiliki kemungkinan untuk dipentaskan. Istilah drama berasal dari bahasa Yunani yang berarti action dalam bahasa Inggris, dan gerak dalam bahasa Indonesia. Jadi, drama dapat diartikan sebagai bentuk seni yang berusaha mengungkapkan prihal kehidupan manusia melalui gerak dan percakapan (Tjahjono, 1988:186)

(19)

TUMIRAH :

Semuanya sudah berlalu, berlalu, seperti angin yang berlalu. Para pelacur terindah yang paling layak dicintai dan paling bersemangat dalam hidup ini telah hancur. Tapi inilah kehancuran yang dikehendaki. Inilah kehancuran yang bisa dijual. Kemaksiatan terlalu pantas dikorbankan. Apalah artinya para pelacur di dunia ini? Mereka boleh dihina dan dihancurkan, boleh diinjak-injak dan dilecehkan, seolah-olah mereka begitu pantas dan layak diperkosa. Kekejaman, oh, kekejaman darimana kata itu datang kalau tidak dari kekejaman itu sendiri? Apakah karena kami hanya pelacur maka kehormatan kami boleh diinjak-injak? Apakah karena kami pelacur maka kami tidak boleh memperjuangkan harga diri kami? Tapi nyatanya kehancuran kami ini dijual. Menghancurkan kemaksiatan adalah jualan yang paling laris belakangan ini. Hueeek! Aku mau muntah memikirkan ulah para politisi. Mereka itulah para pelacur dalam arti yang sebenarnya. Mending kalau menjual barangnya sendiri, politisi itu paling pinter menjual bukan cuma barang, tapi juga bangkai orang lain. Dasar pemakan bangkai! (Ajidarma, 2001:24-25)

Drama Tumirah Sang Mucikari mengisahkan bagaimana kehidupan para pelacur saat pemberontakan antara pasukan pemerintahan dengan pasukan gerilyawan. Pelacur-pelacur itu mendiami rumah-rumah bordir yang tidak jauh letaknya, di tepi hutan dari tempat dua pasukan itu berperang. Pasukan pemerintah maupun para gerilyawan menjadi langganan di rumah bordir.

Suatu hari Tumirah berserta para pelacurnya kedatangan rombongan penari dan kaum ninja. Ketika sedang asyik berjoget, tiba-tiba rombongan ninja datang menyusup. Mereka ikut joget dan para pelacur melayani meskipun mengalami kebingungan. Setelah lagu berakhir, tiba-tiba sejumlah ninja mengacau. Ninja 1 menembakkan senapan mesin ke udara, ninja-ninja lain segera mengacau, mengobrak-abrik bangunan bordir dan membakarnya, seperti pada kutipan berikut.

NINJA 2 :

(20)

Habiskan! NINJA 4 : Ganyang! NINJA 5 : Kerjain!

(Ajidarma, 2001:21)

Para ninja memperkosa para pelacur. Rombongan yang mencoba membela dihajar dan ditendangi, sebagian ada yang dibunuh. Para pelacur juga ada yang dibunuh karena terlalu sulit diperkosa. Akhirnya kerusuhan selesai, ninja menghilang, sedangkan para pelacur sudah terkapar penuh penderitaan. Mereka berpikir, walaupun bekerja sebagai pelacur tetapi bila diperkosa harga diri mereka terasa diinjak-injak. Mereka merasakan kepedihan yang mendalam.

Pada saat Sukab (pacar Tumirah) berada di rumah bordir bersama Tumirah, tiba-tiba rombongan ninja datang dan menculik Sukab. Ternyata rencana menculik Sukab bertujuan untuk memperalat Sukab agar dia dikira ninja yang telah membuat kerusuhan di desa itu. Sukab didandani seperti ninja kemudian dia disuruh datang ke desa itu. Melihat ada ninja, para peronda menangkap dan mengadilinya. Saat pengadilan Sukab, orang kampung dan para pelacur ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Orang kampung pun membuat hakim dan jaksa gadungan agar ada keadilan dalam memberi hukuman.

(21)

Tumirah. Semua orang di situ kaget. Mereka marah sekali karena telah ditipu oleh ninja biadab itu. Tumirah menangisi mayat Sukab. Di lain pihak, para ninja tertawa penuh kemenangan, dan rencana mereka telah berjalan dengan mulus. Para ninja sepakat akan terus melakukan teror, menciptakan keresahan dan mengadu domba warga agar semua orang saling bertarung dan saling mencurigai. Mereka menginginkan pasukan pemerintah dan pasukan gerilyawan bertempur terus, karena para ninja membenci perdamaian.

(22)

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan pendekatan sosiologi, untuk mengungkapkan kekerasan yang terdapat dalam naskah drama Tumirah Sang Mucikari. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial (Wellek & Warren, dalam Budianta, 1990:109). Oleh karena itu, teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra.

Sesungguhnya unsur dalam drama tidak jauh berbeda dengan unsur yang terdapat dalam prosa fiksi. Unsur-unsur intrinsik drama adalah unsur-unsur pembangunan struktur yang ada di dalam drama itu sendiri. Langkah awal dalam penelitian ini diambil oleh penulis dengan maksud untuk memahami karya sastra yang dilakukan penulis menganalisis unsur-unsur intrinsik drama khususnya alur. Hal ini disebabkan alurlah yang dapat menggambarkan kekerasan yang terjadi dalam setiap peristiwa dalam naskah.

1.2 Rumusan masalah

Berkaitan dengan latar belakang tersebut, peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimanakah struktur alur dan tokoh drama Tumirah Sang Mucikari

karya Seno Gumira Ajidarma?

1.2.2 Bagaimanakah kekerasan struktural dan personal dalam naskah drama

Tumirah Sang Mucikari karya Seno Gumira Ajidarma?

1.3 Tujuan Penelitian

(23)

1.3.1 mendeskripsikan dan menganalisis struktur alur dan tokoh Drama

Tumirah Sang Mucikari karya Seno Gumira Ajidarma yang terdiri dari alur dan tokoh,

1.3.2 mendeskripsikan dan menganalisis kekerasan struktural dan personal dalam naskah drama Tumirah Sang Mucikari karya Seno Gumira Ajidarma.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Dari segi praktis, penulisan ini bermanfaat untuk meningkatkan apresiasi kesusastraan Indonesia, khususnya drama Tumirah Sang Mucikari karya Seno Gumira Ajidarma.

1.4.2 Dalam bidang sastra, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah kritik sastra, khususnya bidang sosiologi sastra.

1.4.3 Dalam bidang sosiologi, hasil penelitian ini dapat menambah studi kemasyarakatan atau sosiologi.

1.5 Tinjauan Pustaka

(24)

Sejauh pengamatan penulis, belum ada yang menganalisis naskah drama

Tumirah Sang Mucikari dengan kekerasan struktural dan personal sebagai objek kajiannya. Hal inilah yang membuat penulis menganalisis kekerasan struktural dan personal dalam naskah drama Tumirah Sang Mucikari.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Teori Struktural

Menurut Pradopo (1987:18) struktur adalah unsur-unsur yang bersistem. Unsur-unsur tersebut terdiri dari tokoh dan penokohan, alur, tema dan sudut pandang. Sedangkan menurut Nurgiyantoro (1995:36), struktur karya sastra adalah hubungan antara unsur intrinsik yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk kesatuan yang utuh.

Seperti halnya cerpen dan novel, teks drama pun memiliki unsur pembangunnya yang datang dari dalam teks drama itu sendiri dan yang sering disebut sebagai unsur intrinsik, yaitu unsur alur, tokoh, latar, tema dan amanat, dan unsur lain yang menunjang satu dengan lainnya. Akan tetapi, sedikit berbeda dengan cerpen dan novel unsur alurlah yang paling utama bagi drama (Rahmanto dan Adji, 2007:3.13).

(25)

Menurut Dewojati unsur karakter yang dalam drama bisa disebut tokoh, sangat erat hubunganya dengan alur. Lewat penokohan ini, pengarang dapat mengungkapkan alasan logis terhadap tingkah laku tokoh. Tokoh-tokoh inilah yang akan membawakan tema dalam keseluruhan rangkaian latar dan alur. Di samping itu penokohan itulah yang menjadi inti lakon. Hal ini disebabkan tokoh menjalin alurnya sendiri (Dewojati, 2010:169).

Dalam analisis struktur dari naskah drama Tumirah Sang Mucikari, penulis memfokuskan penelitiannya hanya pada analisis alur dan tokoh yang ada dalam naskah drama Tumirah Sang Mucikari. Hal ini dikarenakan alur dan tokoh ceritalah yang sangat potensial menggambarkan peristiwa kekerasan.

1.6.1.2 Alur atau Plot

Asmara (1983:51) menjelaskan bahwa plot adalah aspek yang terpenting dari semua drama, sebab drama utamanya berhubungan dengan apa yang terjadi. Plot pada dasarnya adalah istilah lain untuk struktur, perbedaanya adalah apa bila kita mendiskusikan segala masalah yang terjadi dalam drama itu. Suatu drama disusun sebenarnya terdiri dari beberapa seri insiden atau episode yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan sesuai dengan beberapa rencana dari penulis drama tersebut.

(26)

Secara kongkret, gambaran tentang intensitas plot itu terlihat pada saat penikmat dikondisikan terperangkap pada berbagai peristiwa sejak pada bagian awal, tengah, dan akhir drama. Lebih dari itu, penonton dan pembaca pun akan diseret dari krisis ke krisis, baik pada saat ketegangan muncul maupun saat relaksasi. Selanjutnya, penikmat akan merasa terdorong ke tataran klimaks oleh kekuatan yang tak dapat ditahan, dan akhirnya, dibiarkan dalam ketegangan karena seolah-olah mereka baru saja mengalami sebuah pengalaman besar (Dewojati, 2010:161)

(27)

1.6.1.3 Tokoh

Menurut Dewojati unsur karakter dalam drama bisa disebut tokoh, sangat erat hubunganya dengan alur. Lewat penokohan ini, pengarang dapat mengungkapakan alasan logis terhadap tingkah laku tokoh. Tokoh-tokoh inilah yang akan membawakan tema dalam keseluruhan rangkaian latar dan alur. Di samping itu penokohan itulah yang menjadi inti lakon. Hal ini disebabkan tokoh menjalin alurnya sendiri (Dewojati, 2010:169).

Selain itu, unsur penokohan atau perwatakan itu juga dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni watak datar dan watak bulat. Watak datar adalah watak tokoh-tokoh cerita yang bersifat statis, tidak bergerak, tidak aktif, tidak berubah keadaannya, sedangkan watak bulat mengacu pada sifat-sifat tokoh cerita yang bermacam-macam, karena tokoh tersebut terlihat segala segi wataknya, kelemahan ataupun kekuatanya sehingga tidak menimbulkan kesan hitam putih (Dewojati, 2010:169).

Jika plot atau alur adalah “apa yang terjadi”, maka tokoh adalah “mengapa

(28)

1.6.2 Sosiologi Sastra

Sapardi Djoko Damono menyatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Lagi pula karya sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia (dalam Budianta, 1990 : 109).

Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan tersebut disebut sosiologi sastra (Damono, 1979: 2). Menurut Damono ada dua cara kecenderungan utama dalam sosiologi sastra, pertama pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra, untuk membicarakan sastra, sastra hanya berharga dalam hubungan dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Jelas dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap sebagai yang utama. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelahaan. Metode yang digunakan dalam sosiologi ini adalah teks sastra untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami gejala sosial budaya yang ada (Damono, 1979: 2).

(29)

dalam kumpulan naskah drama ini yaitu adanya pemerkosaan, penculikan, penganiayaan masyarakat Jakarta yang dilakukan oleh orang yang ingin menguasai negara Indonesia.

Menurut Damono ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka. Pendekatan itu bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra; sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Jelas bahwa dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap utama, hanya dianggap

ephinomenon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya. Kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di luar sastra (Damono, 1979: 2-3). Jadi, penulis dalam menganalisis aspek sosiologi terhadap karya sastra

Tumirah Sang Mucikari mengunakan pendekatan yang kedua dikarenakan teks sebagai bahan penelahan untuk mengetahui strukturnya.

1.6.3 Kekerasan Struktural dan Personal

(30)

Kekerasan menurut Galtung adalah hal yang biasa diterjemahkan dari kata

violence (dalam Windhu, 1992:62). Violence berkaitan erat dengan gabungan kata Latin “vis” yang artinya daya, kekuatan dan “latus” (yang berasal dari ferre, „membawa‟) yang artinya membawa sehingga violence berarti membawa kekuatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, kekerasan diartikan sebagi perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain (KBBI, 2003:550). Audi (dalam Windhu, 1992:63) merumuskan

violence sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang, serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik orang lain. Menurut Hobbes (dalam Windhu 1992:63), kekerasan merupakan keadaan alamiah manusia state of nature karena pada dasarnya manusia memiliki sisi sebagai makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irrasional dan anarkistis serta mekanistis yang saling mengiri dan membenci sehingga menjadi kasar, jahat, buas, pendek pikir. Kekerasan menurut Galtung (dalam Windhu, 1992:64) terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya (nyata) berada di bawah realisasi potensialnya (mungkin). Dengan kata lain, bila yang potensial lebih tinggi dari yang aktual, terjadilah kekerasan. Jadi, hal ini lebih disebabkan oleh perbedaan antara yang pontensial dan yang aktual.

(31)

personal bersifat dinamis, mudah diamati. Kekerasan struktural bertitik berat pada ketidaksamaan dalam struktur sosial. Struktur sosial dipengaruhi oleh pelaku, sistem, struktur, kedudukan dan tingkat dalam masyarakat. Sedangkan kekerasan personal bertitik berat pada realisasi jasmani aktual. Dalam memahami kekerasan personal ini, Galtung menggunakan tiga pendekatan yaitu pertama, cara-cara yang diperggunakan senjata mutakhir. Kedua, kekerasan dengan menggunakan bentuk organisasi massa. Ketiga, sasaran dari pendekatan itu yaitu manusia, sebuah kekerasan organisasi masa yang ditujukan kepada tindak kekerasan anatomis dan fisiologis.

Menurut Galtung (dalam Windhu, 1992:74), kekerasan yang berpusat pada anatomis berupa tindakan menghancurkan, merobek (menggantung, menarik, memotong), menembus (pisau atau peluru), membakar, meracuni, dan penguapan (ledakan nuklir), sedangkan kekerasan yang berpusat pada fisiologis seperti meniadakan udara (mencekik), meniadakan air, meniadakan makanan (kelaparan), meniadakan gerak dengan pembatasan badan (rantai, gas) pembatasan ruang (penjara, tahanan, dibuang) serta pengendalian otak (cuci otak).

Berdasarkan analisis Galtung yang membagi kekerasan menjadi dua yaitu kekerasan struktural dan kekerasan personal inilah, peneliti akan mengkaji dua bentuk kekerasan tersebut yang terjadi pada para tokoh, dalam naskah drama

Tumirah Sang Mucikari karya Seno Gumira Ajidarma.

1.7 Metode Penelitian

Pada bagian ini akan dikemukakan mengenai pendekatan dan metode.

(32)

Dalam penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan sosiologi sastra yang menelaah secara objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra menganalisis manusia dalam masyarakat dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu (Ratna, 2004:45). Dari hal ini, dapat diperoleh gambaran tentang cara manusia menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang menempatkan anggota masyarakat di tempat masing-masing (Damono, 1979:7).

1.7.2 Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Suatu metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek yang bersangkutan (Yudiono, 1986: 14).

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi metode pengumpulan data, metode analisis data, metode hasil analisis data. Berikut diuraikan masing-masing tahap penelitian tersebut.

1.7.2.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data didapat melalui studi pustaka dengan maksud untuk menghimpun informasi. Metode tersebut dipakai untuk mendapatkan data yang ada, yaitu sebuah naskah drama berjudul Tumirah Sang Mucikari, buku-buku referensi, dan artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek tersebut.

(33)

dianggap sesuai dan mendukung penulis dalam memecahkan rumusan masalah. Teknik catat merupakan tindak lanjut dari teknik simak (Sudaryanto, 1993: 133-135).

1.7.2.2 Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis isi untuk menganalisis data-data yang telah dikumpulkan. Metode analisis isi adalah metode yang digunakan untuk mengkaji isi dari suatu hal. Isi tersebut yang menjadi objek prioritas yang akan dianalisis, misalnya, karya sastra, maka yang akan dianalisis adalah isi karya tersebut secara utuh dan pesan-pesan yang ada dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra.

Isi dalam metode analisis ini terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen atau naskah, sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis, sedangkan isi komunikasi adalah isi sebagaimana terwujud dalam hubungan naskah dengan konsumen Analisis isi laten akan menghadirkan arti, sedangkan analisis isi komunikasi akan melahirkan makna. Dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran. Dasar penafsiran dalam analisis isi adalah menitikberatkannya pada isi dan pesan. Oleh karena itu, metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi (Ratna, 2004: 48).

(34)

melihat isi komunikasi (pesan yang diterima oleh pembaca) dari naskah tersebut. Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan tujuan untuk memaparkan secara tepat bagaimana alur dan tokoh cerita serta kekerasan struktural dan personal dalam naskah drama Tumirah Sang Mucikari.

Adapun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah, pertama menganalisis struktur naskah drama Tumirah Sang Mucikari

yang berupa analisis alur ceritanya. Kedua, bentuk-bentuk kekerasan struktural dan personal dalam naskah drama Tumirah Sang Mucikari. Hal ini dilakukan agar pemahaman kekerasan merupakaan cermin proses sosial.

17.2.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

(35)

1.7.2.1.1 Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Judul Buku : Mengapa Kau Culik Anak Kami?

Pengarang : Seno Gumira Ajidarma

Tahun Terbit : 2001

Penerbit : Galang Press

Halaman : 77 halaman

1.8 Sistematika Penyajian

(36)

B AB II

STRUKTUR ALUR DAN TOKOH DRAMA TUMIRAH SANG MUCIKARI

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

Pada bab berikut, akan dianalisis unsur intrinsik dalam naskah drama

Tumirah Sang Mucikari karya Seno Gumira Ajidarma. Dalam analisis ini, unsur intrinsik dititikberatkan pada unsur alur dan tokoh. Hal ini karena alur dan tokoh ceritalah yang sangat potensial menggambarkan peristiwa kekerasan.

Peneliti tertarik untuk meneliti unsur tersebut karena alur dan tokoh berpengaruh terhadap perjalanan hidup dan tindak kekerasan para tokoh. Dengan meneliti kedua unsur tersebut, diharapkan makna keseluruhan naskah drama

Tumirah Sang Mucikari karya Seno Gumira Ajidarma dapat dipahami. Kedua unsur tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

2.1 Alur

(37)

2.1.1 Bagian Awal: Pemaparan dan Penggawatan

Pada bagian awal, alur mendeskripsikan tentang pengenalan tokoh dan latar. Pada tahap ini juga dideskripsikan awal terjadinya konflik hingga ke tahap penggawatan. Dalam naskah Tumirah Sang Mucikari, tahap awal alur dimulai dari deskripsi panggung. Panggung adalah rumah bordil di tepi hutan. Rumah bordil itu terletak di sebuah medan tempur. Rumah-rumah bordil itu hanya berpintu kain dan beratap rumbia, dindingnya kombinasi gedek dan kayu. Meskipun sederhana, rumah-rumah bordil itu romantis dan artistik, mungkin karena lampunya remang-remang. Segalanya remang-remang di rumah bordil. Di samping kamar-kamar, terdapat juga ruang untuk makan, minum, dan ajojing. Sayup-sayup terdengar lagu dangdut dari radio (Ajidarma, 2001:11).

Kemudian, alur menggambarkan kehadiran tokoh para pelacur, termasuk Tumirah. Deskripsi fisik para pelacur tergambarkan bagaimana dandanan mereka menor, busana mereka semuanya kain dan kebaya atau kutang, dengan rambut tidak disanggul, rambut mereka terurai rata-rata panjang. Mereka semua eksotik, cantik dan langsing (Ajidarma, 2001:11).

(38)

Tahap ini berlanjut pada deskripsi suasana cerita. Suasana digambarkan terdengar suara tembak-menembak dari kejauhan. Para pelacur itu saling memandang, meskipun tampak tidak terlalu terkejut (Ajidarma, 2001:11).

Selanjutnya, tahapan awal ini mulai mengenalkan tokoh-tokoh yang berkonflik melalui tokoh Minah, diketahui para gerilyawan berperang melawan pasukan pemerintah. Ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(1) MINAH :

Di bukit-bukit sebelah timur, Mbak. Gerilyawan memancing pasukan pemerintah yang berpatroli di dalam hutan, sampai di bukit-bukit itu mereka dikepung.

TUMIRAH :

Kemarin mereka bertempur di bukit-bukit sebelah barat, kan? (Ajidarma, 2001:12).

Deskripsi berlanjut pada penokohan Tumirah. Tumirah dideskripsikan seperti seseorang yang berpikiran kritis. Ia mengkritisi pertempuran. Ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(2) TUMIRAH

Heran. Senang sekali sih saling tembak begitu ? mendingan kalau masih anak-anak. Ini sudah besar-besar. Komandannya malah sudah beruban. Yang pasukan pemerintah, yang gerilyawan, sama saja, menganggap perang adalah sesuatau yang benar, hebat, wajib, tugas ksatria taik kucinglah. Bertempur terus hampir setiap hari. Katanya zaman semakin maju, kok manusia tidak tambah pinter, masih terus saling membunuh seperti orang primitif. Heran. Kodok saja tidak begitu (Ajidarma, 2001:12).

Deskripsi berlanjut pada pengenalan tokoh baru, yaitu Mahmud. Tokoh Mahmud diperkenalkan melalui ucapan tokoh Lastri. Mahmud dideskripsikan

(39)

keok. Kadang-kadang begitu lama, sampai waktu pasukan pemerintah datang, dia baru selesai (Ajidarma, 2001:13).

Alur berlanjut pada pengenalan identitas tokoh Tumirah. Ia seorang germo. Ini terlihat pada kutipan berikut.

(3) TUMIRAH :

Hahahahaha! Hahahahaha!

(menghadap kepenonton)

Yeah. Tumirah namaku. Germo pekerjaanku. Mucikari kata Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sudah tua aku sebenarnya. Empat puluh tahun. Cukup layak untuk pensiun. Dan aku memang sudah pensiun sejak beberapa tahun lalu. Badanku tidak kuat lagi rasanya. Melayani laki-laki bernafsu sampai empat atau enam kali sehari. Dulu malah sampai delapan sepuluh kali. Sekarang tidak kuat lagi aku. Boyokku pegel linu. Untung tahu sedikit-sedikit soal pergermoan. Tidak ada lagi yang bisa kukerjakan sekarang jadi germo. Kuajari anak-anakku cara memikat dan mengikat laki-laki. Sehingga meskipun sudah punya pacar dan anak istri, siapapun jumlah tentara yang makin bertambah, deskripsi suasana kembali dideskripsikan. Suasana tembak-menembak berlangsung terus, terdengar sayup-sayup di kejauhan. Kadang-kadang mendekat, tapi segera menjauh (Ajidarma, 2001:18).

(40)

terdengar musik dangdut “hidupku untuk cinta”, dinyanyikan Tumirah, dan semuanya ajojing. Ketika mereka ajojing sejumlah Ninja datang menyusup. Mereka ikut ajojing, dan para pelacur melayani meski agak bingung (Ajidarma, 2001:21).

Konflik mulai muncul ketika para Ninja menyusup di antara rombongan penari. Mereka ikut ajojing, dan para pelacur melayani mereka meski masih terlihat bingung. Setelah kejadian ini, para Ninja pun mengacaukan tempat tersebut. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(4) setelah lagu berakhir, tiba-tiba sejumlah ninja ini mengacau. Ninja 1 menembakkan senapan mesin ke udara. Ninja-ninja lain segera mengacau, mengobrak-abrik bangunan bordil, menendang, melempar, dan membakarnya (Ajidarma, 2001:21).

Para ninja mulai mengacaukan rumah bordil tersebut. Mereka membakar rumah bordil. Mereka juga memperkosa pelacur, memukuli dan menghajar rombongan yang ingin menolong para pelacur. Ninja pun tak segan-segan membunuh orang-orang yang hendak menolong. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(5) NINJA 2 :

Bakar semua! Bakar! NINJA 3 :

(41)

Para ninja itu memperkosa para pelacur rombongan yang mencoba membela dihajar dan ditendangi, sebagian malah dibunuh. Para pelacur pun ada yang dibunuh karena terlalu sulit diperkosa. Tumirah menggebuki para ninja, namun ninja lain menyeret dan menggebukinya pula. Sementara kerusuhan berlangsung, ninja orator berbicara di sebuah podium. Musik kerusuhan bertalu-talu (Ajidarma, 2001:21-22).

Pasca kekacauan yang dilakukan oleh para ninja, suasana kembali menurun. Kerusuhan selesai. Musik kerusuhan selesai. Ninja-ninja hilang, panggung gelap. Lampu menyorot tumirah, yang merayap di antara puing-puing reruntuhan. Para pelacur terkapar penuh penderitaan (Ajidarma, 2001:23).

Alur dideskripsikan pada suasana dan keadaan fisik para pelacur pasca serangan Ninja, dan mereka digambarkan penuh luka, penuh derita, dan kesakitan. Tumirah pun mulai mencari anak-anaknya.

Pada babak pertama ini, alur masih berada pada tahapan awal. Babak I mendeskripsikan bagaimana pengenalan tokoh dan latarnya konflik mulai terjadi ketika kawanan Ninja menyusup dalam rombongan penari. Mereka pun mulai mengacau, dan mengobrak-abrik rumah bordil tersebut. Babak I berakhir pada suasana rumah bordil yang penuh dengan rintihan sakit para pelacur.

Masih dalam tahapan awal alur. Tahapan awal ini berlanjut lagi pada babak II. Pada awal babak II dideskripsikan bagaimana pergeseran latar. Latar dimulai dengan tempat kediaman para ninja. Para ninja dideskripsikan secara fisik mereka para ninja berpakaian hitam-hitam dan berbentuk wajah hitam hanya kelihatan mata dan mulutnya.

(42)

pemerkosa dan penculik. Suasana ini pun ditambah dengan suasana rasa kemenangan para ninja. Mereka sukses melakukan tugasnya. Latar kembali berubah. Latar selanjutnya mendeskripsikan lampu padam. Ninja-ninja menghilang. Lampunya nyala. Tumirah duduk sendirian di level yang tinggi. Masuk pengacara (Ajidarma, 2001:32).

Cerita berlanjut pada interogasi oleh pengacara kepada Tumirah. Deskripsi pengenalan tokoh baru pun terjadi, yaitu seorang pegacara. Pengacara menginterogasi Tumirah dan menawarkan bantuan untuk pembelaan. Ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(6) PENGACARA :

Kami tidak datang untuk ngamar, Mbak Tumirah. Kami datang karena kami tahu bencana ini.

TUMIRAH : Loh kok bisa tahu? PENGACARA :

Berita cepat sekali tersebar. Saya datang untuk menawarkan pembelaan. Jika Mbak Tumirah menuntut, kami akan membantu.

TUMIRAH :

Membantu bagaimana? PENGACARA :

(43)

(7) TUMIRAH :

Wahai pengacara, dengarlah, kami sedang berduka di sini, tolong, jangan jual kami, tinggalkan kami. Kami bukan tokoh oposisi, bukan pula selebriti. Nyahlah. Pergilah. Cari bangkai-bangkai yang lain.

PENGACARA :

Saya datang hanya untuk membantu. TUMIRAH :

Terima kasih. Pergilah (Ajidarma, 2001:33).

Cerita berlanjut pada wawancara wartawan dengan Tumirah. Tetapi, Tumirah kembali menolak wawancara tersebut. Pasca kedatangan wartawan, polisi datang mengitrogasi Tumirah. Tetapi Tumirah kembali menolaknya. Cerita pun berlanjut pada peleraian tokoh Sukab. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

(8) Setelah lagu selesai, para pelacur menghilang. Muncul Sukab. TUMIRAH :

Sukab! SUKAB : Tumirah!

Mereka berpelukan, setelah lepas, mereka saling mengambil jarak. SUKAB :

Kamu makin cantik saja Tumirah. Makin montok (Ajidarma, 2001:39).

(44)

oleh para ninja inilah yang menandakan jika konflik mulai masuk pada fase penggawatan.

Cerita masih terus berlanjut pasca penculikan Sukab. Latar berubah menjadi jalanan pada malam hari di awal babak III. Pada babak II belum ada peningkatan alur. Alur masih berada pada tahapan awal. Yang meningkat hanyalah konflik cerita yang mulai mencapai fase penggawatan, yaitu penculikan Sukab.

Pada babak III setting ada di jalanan di malam sepi. Para peronda menemukan sosok ninja yang terkulai tidak berdaya. Mereka pun mencoba mengintrogasi ninja tersebut, bahkan sebagian ingin memukulinya. Para peronda pun menjerat dan mengantukan ninja tersebut pada sebuah jaring. Munculah sekelompok orang-orang. Orang-orang ini mulai membentuk dirinya seolah menjadi para pelaku persidangan. Mereka membentuk pengadilan. Ini tampak pada kutipan berikut.

(9) Mereka membentuk komposisi persidangan. Hakim dan jaksa di atas level bersebrangan. Orang-orang bagaikan pengunjung pengadilan, berbaris tertib. Di antara orang-orang ini nampak pula para pelacur yang berwajah sayu penampilan mereka bagaikan bunga yang layu. Sosok ninja masih tergantung-gantung di dalam jaring. Berusaha bergerak-gerak dengan suara tidak jelas (Ajidarma, 2001:49).

Persidangan pun terjadi. Hakim memutuskan hukuman ninja. Yaitu, hukuman picis. Ninja tersebut pun dipukuli masa. Ini terlihat pada kutipan berikut.

(45)

pada sebuah tiang. Orang-orang antri seperti tak habis-habisnya melakukan hukuman picis. Setiap kali disilet sosok ninja itu meregang-regang. Cara orang-orang menyilet itu kadang-kadang atraktif. Ada yang pakai ancang-ancang segala. Musik memberi aksentuasi. Tapi kemudian menjadi sangat rutin. Orang-orang antri menyilet seperti antri beras. Sosok ninja pun geliatnnya makin lama makin lemah. Musik sangat sunyi. Ketika orang-orang pergi. Layar putih terangkat. Sosok ninja itu masih dalam seragam ninja, tapi yang sudah hancur serba kiwir-kiwir. Hanya wajahnya yang masih tertutup. Tumirah masuk (Ajidarma, 2001:52-53).

Pasca pemukulan, Tumirah dan para pelacur melepaskan tali ikatan ninja. Ninja pun dibawa ke suatu tempat.

(46)

2.1.2 Bagian Tengah: Klimaks dan Peleraian

Deskripsi tokoh telah diawali dalam tahapan awal dan berlanjut pada tahapan munculnya konflik. Konflik ini diakibatkan oleh suatu peristiwa yang mengacaukan. Pada bagian tengah muncullah klimaks sebagai titik puncak cerita. Munculnya klimaks pada tahapan ini diikuti dengan tahapan peleraian. Dalam naskah Tumirah Sang Mucikari tahap klimaks cerita terjadi pada peristiwa tewasnya Sukab. Ini menjadi puncak kejadian dari segala yang terjadi dalam

Tumirah Sang Mucikari. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(11) Selubung itu terbuka, para pelacur terkejut. Mereka mundur. Tumirah turun dari level yang tinggi. Setelah dekat, ia pun mundur. Membalikkan tubuh. Menegok lagi. Lantas mendekat lagi. Ia jatuh pada lututnya di depan mayat sosok ninja itu. Lantas berteriak sambil memeluknya.

TUMIRAH : Sukaaaabbbb!!!!

Para pelacur mendekat. Tumirah menaggisi mayat sukab. Tangisnnya seperti rintihan. Para pelacur mematung di dekat Tumirah. Para ninja masuk dan menyebar (Ajidarma, 2001:58).

Kejadian ini menjadi klimaks yang berujung pada tewasnya tokoh Sukab. Sukab yang ditokohkan sebagai orang yang spesial di mata Tumirah, dihadirkan pengarang sebagai perwakilan tokoh para pelacur dan Tumirah yang diposisikan sebagai tumbal dari provokasi para Ninja. Kematian Sukab menjadi peristiwa lanjutan dari peristiwa pengeroyokan Sukab oleh para peronda. Peristiwa inilah yang merangkum pada sebuah klimaks.

(47)

yang dideskripisikan adalah perayaan para ninja atas berhasilnya provokasi mereka. Para ninja bersukacita merayakan kemenangan mereka. Peristiwa ini juga ditambahi dengan niat mereka untuk terus melakukan provokasi. Peristiwa-peristiwa inilah yang merupakan peleraian, atau antiklimaks dari tewasnya Sukab.

2.1.3 Bagian Akhir: Penyelesaian

Ujung dari klimaks cerita adalah peleraian yang menunjukkan perkembangan lakuan ke arah pemecahan konflik. Dalam tahap ini ketegangan menjadi menurun, dan diakhiri dengan bagian akhir yang disebut penyelesaian. Dalam drama Tumirah Sang Mucikari, pasca peleraian, pengarang mendeskripsikan lakuan para tokohnya sebagai peristiwa tambahan. Peristiwa-peristiwa inilah yang diposisikan sebagai tahap penyelesaian atau tahap akhir. Peristiwa ini dimualai dari peristiwa wawancara Intel dan Tumirah, sebagai bahan pembelajaran mengenai kejahatan ninja. Dialog-dialog yang tidak mengesankan peristiwa yang akan berkembang lagi, dipaparkan dalam bagian ini. Wawancara Intel dan Tumirah menjadi sarana bagi pengarang untuk meneruskan alur pemikirannya pada sosok tokoh Tumirah.

Cerita berakhir pada masuknya rombongan dangdut. Ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(48)

2.2 Tokoh dan Penokohan

Menurut Dewojati unsur karakter yang dalam drama bisa disebut tokoh, sangat erat hubunganya dengan alur. Lewat penokohan ini, pengarang dapat mengungkapkan alasan logis terhadap tingkah laku tokoh. Tokoh-tokoh inilah yang akan membawakan tema dalam keseluruhan rangkaian latar dan alur. Di samping itu, penokohan itulah yang menjadi inti lakon. Hal ini disebabkan tokoh menjalin alurnya sendiri (Dewojati, 2010:169). Pada bagian ini, penulis akan meneliti tentang penokohan yang terdapat dalam naskah drama Tumirah sang Mucikari karya Seno Gumira Ajidarma.

Tokoh-tokoh dalam naskah drama yang akan diteliti dalam Tumirah Sang Mucikari meliputi Tumirah, Minah, Tumini, Lastri, Mahmud, Sukab, Ninja-Ninja, Para Peronda, dan Hakim. Karena dengan karakter tokoh-tokoh tersebut akan bisa menghidupkan jalan cerita drama dan dapat mempengaruhi alur. Ini dapat diuraikan sebagai berikut.

2.2.1 Tumirah

Tumirah dalam naskah drama ini, dideskripsikan oleh pengarang sebagai wanita tua berumur 40 tahun. Di awal pengenalan tokoh, deskripsi pengenalan fisik Tumirah digambarkan berkebaya warna merah dengan rambut yang sering terurai. Ia bekerja sebagai germo.

(49)

Tumirah mengkritisi tindakan pertempuran itu. Ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(13) TUMIRAH :

Heran. Senang sekali sih saling tembak begitu ? Mendingan kalu masih anak-anak. Ini sudah besar-besar. Komandannya malah sudah beruban. Yang pasukan pemerintah, yang gerilyawan, sama saja, menganggap perang adalah sesuatau yang benar, hebat, wajib, tugas ksatria, taik kucinglah. Bertempur terus hampir setiap hari. Katanya zaman semakin maju, kok manusia tidak tambah pinter, masih terus saling membunuh seperti orang primitif. Heran. Kodok saja tidak begitu (Ajidarma, 2001:12).

Dalam kutipan (13), Tumirah mengkritisi perang antara pemerintah dan gerilyawan. Bagi Tumirah, perang bukanlah ajang penentuan ksatria. Tumirah heran dengan kemajuan manusia yang malah terus saling membunuh seperti orang primitif. Ia membandingkan jika seekor kodok pun tidak berperang seperti manusia.

Selain itu Tumirah merupakan sosok wanita germo yang cerdas. Ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(14) TUMIRAH :

Hahahahaha! Hahahahaha!

(menghadap kepenonton)

(50)

membutuhkan pelacur. Profesi yang tertua, kata orang. Aku bukan ahli sejarah, tapi aku setuju, selama manusia lahir masih masih dengan alat kelamin akan tetap ada (Ajidarma, 2001:16).

Tumirah seorang yang cerdas. Walupun Tumirah lulusan SMP dia dapat berpikir secara luas. Melarang tindakan membunuh atas nama kehormatan. Ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(15) TUMIRAH :

Sudah bertahun-tahun aku hidup di medan perang ini, dan aku tahu kalau orang-orang yang saling bertempur itu sebenarnya juga punya cinta. Aku tidak bisa mengerti, bagaimana caranya akal manusia menerima bahwa pembunuhan itu boleh. Ini perang, kata mereka kalau kutanya. Ini perang, aku tahu. Barangkali aku bodoh, maklumlah aku cuma lulusan SMP. Tapi apakah pertanyaanku ini masih bodoh? Apa betul manusia itu begitu pintarnya sehingga bisa membenarkan pembunuhan atas nama kehormatan? Apa iya sih perang itu betul-betul soal kehormatan? Yeah. Perang saja terus sampai mampus (Ajidarma, 2001:20).

Tumirah sosok wanita yang kritis. Tumirah mencerminkan wanita yang anti terhadap pemerintah dan politik. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(16) TUMIRAH :

Wahai pengecara, dengarlah, kami sedang berduka di sini, tolong, jangan jual kami, tinggalkan kami. Kami bukan tokoh oposisi, bukan pula selebriti, nyahlah. Pergilah. Cari bangkai-bangkai lain (Ajidarma, 2001:33).

(51)

Tumirah terlihat kritis lagi kepada polisi yang malas dan tidak siap melayani masyarakat. Mereka datang ketika kerusuhan selesai. Tumirah kritis karena polisi tidak menjalani tanggung jawabnya. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(18) TUMIRAH :

Nah! Baru datang polisi sekarang! Kalau ada kerusuhan mereka pergi! Kerusuhan selesai, baru muncul lagi! Apa maunya pak polisi? Mau ngamar atau introgasi (Ajidarma, 2001:35).

Tumirah juga dideskripsikan sebagai sosok yang rendah hati. Kepada para pelacur, Tumirah merupakan sosok yang tidak sombong. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(19) TUMIRAH :

Iyalah, kalian pakar, aku tidak tahu apa-apa tentang seks (Ajidarma, 2001:15)

Kutipan (19) mendeskripsikan watak Tumirah yang rendah diri. Ia mengaku tidak mengerti apa-apa soal seks, padahal ia telah berpengalaman sebagai pelacur dan germo. Ini berbanding terbalik dengan para pelacur muda lainnya yang mengaku pakar seks karena telah melayani banyak pelanggannya persoalan seksual.

Tumirah sosok wanita yang mempunyai rasa cinta. Dia wanita yang sangat penyayang, terutama kepada keluarganya. Ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(20) TUMIRAH :

(52)

dan apakah mungkin sorang manusia itu tidak mencintai ibunya sendiri? Aku dulu seorang pelacur. Sekarang kadang-kadang juga masih melacur

kalau masih ada yang mau pake’, tapi aku juga seorang perempuan. Aku tidak bisa membayangngkan seorang perempuan tanpa cinta. Aku dulu punya keluarga, punya suami, dua kali malah, punya anak- aku tahu apa itu cinta, kangen, rindu, aku tahu (Ajidarma, 2001:18).

(53)

2.2.2 Minah

Minah salah satu pelacur yang berkerja di rumah bordil Tumirah, Minah termasuk anak yang pandai, bersikap sopan, patuh kepada majikanya dan sedikit nakal. Dia sangat mengetahui apa yang dilakukan para pasukan, dari kedatanganya, seperti apa yang mereka perbuat dan mau ke mana. Ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(22) TUMIRAH :

Mereka mulai lagi. Di mana sih mereka bertempur? MINAH :

Di bukit-bukit sebelah timur Mbak. Gerilyawan memancing pasukan pemerintah yang berpatroli di dalam hutan, sampai di bukit-bukit itu mereka di kepung (Ajidarma, 2001:12).

MINAH :

Tentara-tentara makin banyak sekarang. Mereka banyak sekali, didatangkan langsung dari pusat (Ajidarma, 2001:17).

Ketika para Ninja selesai mengusik para pelacur, para pelacur didatangi wartawan dan polisi para pelacur merasa terganggu sampai- sampai merasa takut termasuk Minah dan para pelacur lainnya (Ajidarma, 2001:38).

2.2.3 Tumini

Tumini adalah seorang pelacur yang berkerja di rumah bordilnya Tumirah. Tumini digambarkan sebagai seorang wanita yang genit. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(23) TUMINI :

(54)

Eh, mau eksperimen kamu? Sudah. Sama laki-laki sajalah. TUMINI :

Ah, laki-laki membosankan. Mau pasukan pemerintah. Mau pasukan pemerintah, mau gerilyawan, cepat sekali mereka keok (Ajidarma, 2001:13).

Tumini juga digambarkan sebagai sosok pelacur yang sombong. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(24) TUMINI :

Oh, mbak Tumirah, saya pikir kita semua lebih pinter ketimbang seksolog.

TUMIRAH : Oya?

TUMINI :

Kita bukan Cuma tahu. Kita mengerti, kita merasakan, kita mengalami, dengan seribu satu laki-laki (Ajidarma, 2001:15).

Kutipan (24) mendeskripsikan sosok Tumini yang merasa dirinya lebih pintar dibanding seorang seksolog jika berbicara soal seks. Tumini merasa pengalamannya lebih banyak mengetahui persoalan seks dibanding para seksolog.

Tumini juga dideskripsikan sebagai tokoh yang pendendam, susah untuk memaafkan kesalahan orang, berpikiran sempit dan susah untuk menolong. Ini terlihat ketika orang yang mirip ninja memerlukan pertolongan. Tumini hanya bertanya. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(25) TUMINI :

Apakah kami tidak berhak mendendam? TUMINI :

(55)

2.2.4 Lastri

Lastri merupakan pelacur lulusan SD. Lastri merupakan gadis cantik tapi sombong. Lastri menjadi primadona di antara tamu-tamunya, baik dari pemerintah maupun gerilyawan. Dia pernah mempunyai pengalaman berpacaran dengan pasukan gerilyawan. Lastri juga pernah melayani laki-laki bernafsu, salah satu dari pasukan tentara. Hal ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(26) LASTRI :

Ah, orgasme pura-pura! Mana bisa orgasme sama pasukan pemerintah! Hanya sama Mahmud aku bisa orgasme!

LASTRI :

Tapi sedikit-sedikit tahulah Mbak. Jelek-jelek juga pekerja seks, masa tidak tahu apa-apa tentang seks? (Ajidarma, 2001:15).

Lastri adalah salah satu pelacur lulusan SD. Dia mempunyai pikiran dan sifat yang sedikit arogan dan kolot. Ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(27) LASTRI :

Mbak Tumirah, kami ini cuma para pelacur. Cuma lulusan SD. Mana kami tahu jawabannya kenapa. Kami hanya tahu, hutang darah harus dibayar dengan darah (Ajidarma, 2001:56).

Tokoh Minah, Tumini, dan Lastri dalam drama Tumirah Sang Mucikari

(56)

suka terhadap tingkah Tumini sedangkan Lastri merupakan pelacur lulusan SD merupakan gadis cantik tapi berwatak sombong, sedikit arogan dan kolot.

2.2.5 Sukab

Sukab merupakan sahabat Tumirah yang sangat baik dan perhatian dia bekerja sebagai penjual obat. Sukab dikenal sebagai pria yang berjiwa besar meski Sukab hanya penjual obat terbukti ketika datang ke rumah bordil Tumirah. Ketika itu, Tumirah dan para pelacur lainnya telah mengalami kekerasan. Dapat terlihat pada kutipan berikut.

(28) SUKAB :

Jangan pernah kehilangan harapan Tumirah. Jangan pernah. TUMIRAH :

Tapi bisa apa kamu Sukab? Kamu Cuma tukang jual obat. SUKAB :

Tidak. Aku tidak marah. Kamu benar. Bisa apa aku? Aku Cuma tukang jual obat (Ajidarma, 2001:41).

2.2.6 Mahmud

Mahmud salah satu seorang dari pasukan pemerintah. Mahmud adalah langganan tetap para pelacur di rumah bordil Tumirah terutama kepada Lastri. Lastri sangat senang main di atas ranjang dengan Mahmud karena Mahmud sangat kuat dan tidak lemah. Dia sangat perhatian kepada Lastri ketika mengalami musibah dia datang. Ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

(29) LASTRI :

(57)

Aku tidak pernah melihat kamu sebagai pelacur Lastri, aku melihat kamu sebagai bidadari. Perempuan yang selalu kurindukan dan kucintai (Ajidarma, 2001:64).

Mahmud merupakan pacar Lastri. Ini dapat terlihat pada kutipan berikut. (30) MAHMUD :

Astaga! Lastri! Sudah berapa tahun kita pacaran? Masa’ sampai

sekarang kamu belum kenal aku juga? meskipun aku ini tidak sekolah dan hidupku hanya berisi pertempuran, aku bukan jenis orang tolol yang menganggap keperawanan itu penting, dan mengukur kesucian seorang hanya dari tubuhnya. Apalah artinya jadi pelacur, apalah artinya perkosaan, kalau aku mencintai kamu dan kamu mencintai aku. Aku tahu kita semua menderita atas penghinaan itu, tapi kita sudah pasti tidak menjadi betul-betul hina karena sebuah penghinaan. Orang yang paling hina adalah orang yang menghina. Hal ini jelas. Orang yang dihina selalu lebih mulia dari orang yang menghinanya. Ini juga jelas. Anak kecil saja tahu. Janganlah terlalu meragukan aku Lastri. Jangan terseret semua kebodohan itu. Jangan terjebak perangkap kehormatan yang tolol. Ini memang sebuah luka, tapi tidak perlu hancur karenanya. Kita punya cinta, dan cinta akan menyelamatkan kita (Ajidarma, 2001:66-67).

Tokoh Sukab dan Mahmud merupakan tokoh datar. Dalam drama Tumirah Sang Mucikari tokoh Sukab dan Mahmud termasuk tokoh yang tidak banyak mengalami perubahan, merupakan tokoh yang bersifat statis tidak bergerak. Tokoh Sukab dan Mahmud dalam drama tidak mempunyai pengambaran karakter yang kuat, jadi tokoh Sukab dan Mahmud hanya diperkenalkan sedikit saja.

2.2.7 Ninja-ninja

(58)

akan menghalalkan segala cara bertindak kejam serta anarkis jika musuhnya melawan. Ninja-ninja tidak segan membunuh lawan dan merebut kekuasaan. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(31) NINJA 1 :

Semuanya memang tersembunyi di balik seragam ini. Mereka semua akan menjadi bingung, siapa yang melakukan semua ini?

NINJA 2 :

Tugas kita memang membikin bingung, kan? NINJA 5 :

Bukan. Tugas kita itu mengadu domba. NINJA 6 :

Orang-orang akan mengira ninja-ninja ini pasukan pemerintah? NINJA 5 :

Yes. NINJA 6 :

Sedangkaan pasukan pemerintah akan mengira pelakunya gerilyawan?

Semua orang bingung dan baku hantam! NINJA 4 :

Wow! Keren! NINJA 1 :

(59)

Ninja 3 dikarakterkan sebagai salah satu pasukan ninja yang burik. Ninja 3 dideskripsikan memiliki ciri fisik penuh dengan kudis bernanah. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(32) NINJA 3 :

Aku sih mau diperkosa. NINJA 4 :

Masalahnya siapa yang mau memperkosa kamu! Ninja Burik! NINJA 3 :

(60)

memperkosa. Kita hanyalah alat politik. Biarlah mereka yang menugaskan kita dengan dingin tanpa perasaan itu menanggung akibatnya (Ajidarma, 2001:32).

Selain itu ninja dideskripsikan sebagai ninja yang otoriter. Ninja sosok yang menakutakan. Ninja pemimpin yang berkuasa sendiri, bertindak dengan sewenang-wenagnya. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(35) NINJA ORATOR :

Dengarlah kalian para pendosa! Dengarlah kata-kataku ini! Sudah tiba waktunya bagi kami untuk mengambil alih kekuasaan! Dan dengarlah bahwa dalam kekuasaan kami segalanya harus berlangsung secara tertib dan serba terkendali ! kami tidak sudi ada noda-noda hitam dalam kekuasaan kami yang serba putih, bersih, dan murni! Kami tidak menerima perbedaan pendapat, karena perbedaan itu, seperti telah terbukti, hanya bikin kacau! Kami menawarkan sebuah dunia yang seragam, tertib, dan teratur, sebuah tawaran yang harus kami paksakan demi kepentingan ketertiban dan keamanan negara! Mau jadi apa bangsa ini kalu Cuma saling gebuk? Sudahlah! Serahkan kepad kami! Selam ini kami toh sudah membuktikan pengabdian kami dengan darah! Dengan darah, saudara-saudara! Dengan darah! Bukan dengan bacot! Apa boleh buat! Kekuasaan harus berada di tangan kami! Selama ini kami masih stel kendo! Tapi coba lihat! Dengan kerusuhan seperti ini tiap hari, siapa lagi yang bisa mengatasinya kalau bukan kami? Jangan sok! Kalian semua belum layak ikut campur dalam pemerintahan! Apa boleh buat! Kalu perlu kekuasaan kami ambil dengan jalan kekerasan! (Ajidarma, 2001:21-22).

2.2.8 Para Peronda

Para peronda merupakan sosok penjaga keamaanan. Mereka mencurigai siapa saja orang asing yang lewat di hadapan mereka. Ini diakibatkan situasi lingkungan mereka yang tidak kondusif karena perang. Para peronda tidak segan untuk memukuli orang-orang yang mencurigakan bagi mereka. Peronda 2 adalah salah satu para peronda yang baik. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(36) PERONDA 2 :

(61)

Periksa dulu! Jangan main embat begitu! PERONDA 2 :

Kamu siapa? Dari mana asalmu? Kenapa bisa sampai di sini? Tolong jawab! Sekarang keadaan sedang gawat. Kami selalu memeriksa orang-orang asing. Belakangan ini terjadi banyaj pembunuhan. Kami tidak tahu siapa yang membunuh. Tapi mereka berpakaian hitam-hitam seperti kamu. Pandai melompat tembok, pandai lari di atas genteng, dan mudah meloloskan diri dari kepungan. Persisi seperti ninja. Apakah kamu ninja? (Ajidarma, 2001:46).

2.2.9 Hakim

Hakim adalah sosok pemimpin persidangan yang dibentuk oleh seseorang untuk mengadili sosok ninja. Hakim dideskripsikan sebagai sosok yang kejam. Dapat terlihat pada kutipan berikut.

(37) HAKIM :

Saudara-saudara yang terhormat! Dengan restu saudara-saudara sekalian, saya sebagai hakim pengadilan rakyat ini memutuskan : Ninja sialan pengganggu keamanan ini dihukum picis! Seret dia keluar kota. Ikat ke tiang. Setiap orang harus menyiletnya lantas membubuhi garam (Ajidarma, 2001:52).

Tokoh Ninja, Peronda, dan Hakim berwatak datar, artinya mereka tidak terlalu terlihat watak yang begitu dominan. Dalam drama Tumirah Sang Mucikari

Sifat-sifat mereka hanya statis, diam, dan tidak bergerak. Pengambaran cerita sifat dan karakter pada tokoh Ninja, Peronda, dan Hakim hanya sedikit saja.

2.3 Rangkuman

(62)

pengenalan para tokoh. Kemudian awal konflik mulai terjadi ketika kedatangan para ninja yang memperkosa para pelacur. Alur berlanjut pada munculnya Sukab, Sukab merupakan teman dekat Tumirah. Alur diteruskan pada penculikan Sukab oleh ninja dan penampilanya dibuat persis seperti ninja. Sukab ditangkap oleh para peronda. Para peronda mengeroyok Sukab. Kemudian datang Tumirah dan para pelacur, mereka tidak mengetahui siapa sosok ninja itu. Pengeroyokan ini berimbas pada tewasnya Sukab. Ninja-ninja pun bersenang-senang. Inilah akhir dari tahap awal pada drama Tumirah Sang Mucikari.

Bagian tengah tahapan klimaks ini berlanjut dengan peristiwa yang termasuk pada tahap peleraian. Tahapan ini mendeskripsikan peristiwa pasca tewasnya Sukab. Peristiwa ketika para ninja merayakan kemenangan mereka atas provokasi mereka. Peristiwa ini juga ditambahi dengan niat mereka untuk terus melakukan provokasi.

Pada bagian akhir ujung dari klimaks cerita adalah peleraian yang menunjukkan perkembangan lakuan ke arah pemecahan konflik. Dalam tahap ini ketegangan menjadi menurun, dan diakhiri dengan bagian akhir yang disebut penyelesaian. Peristiwa ini terjadi pada saat wawancara intel dan Tumirah.

(63)

penyayang. Tokoh Minah adalah pelacur yang berwatak pandai, sopan, dan penurut. Tumini berwatak genit, disukai para lelaki pembeli nafsu, sedangkan Lastri gadis cantik berwatak sombong.

(64)

BAB III

ANALISIS KEKERASAN STRUKTURAL DAN PERSONAL

DALAM NASKAH DRAMA TUMIRAH SANG MUCIKARI

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

Dari analisis Bab II, tercermin adanya permasalahan kekerasan dalam naskah drama Tumirah Sang Mucikari karya Seno Gumira Ajidarma. Dalam Bab III, permasalahan kekerasan tersebut akan dianalisis lebih dalam lagi. Analisis kekerasan berikut ini meliputi analisis kekerasan struktural dan kekerasan personal, peneliti akan mengkaji dua bentuk kekerasan tersebut yang terjadi pada para tokoh.

3.1 Kekerasan Struktural

Menurut Galtung (via Windhu, 1992: 73) kekerasan struktural itu bersifat statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak. Dalam kekerasan struktural itu sulit untuk menemukan pelaku manusia secara konkret. Dalam kasus ini, berarti kekerasan sudah menjadi bagian dari struktur itu (tidak baik) dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama (Galtung via Windhu, 1992:70).

(65)

saja. Idealnya bahwa setiap orang, khususnya dari massa bawah, mempunyai akses yang sama untuk menentukan kehidupan bersama. Masalahnya menjadi serius karena massa bawah yang miskin tidak memiliki “start awal” (segi “ada”

dan “memiliki”) yang mengakibatkan miskin dalam bidang pendapatan,

kesehatan, produktivitas, pendidikan, dan kekuasaan.

Jadi kekerasan struktural adalah tidak samanya struktur sosial. Untuk melihat faktor-faktor yang mendukung ketidaksamaan tersebut, Galtung via Windhu (1992:75) menjelaskan struktur sosial seperti gagasan tentang pelaku, sistem, struktur, kedudukan. Galtung menyebut enam faktor yang mendukung mekanisme kekerasan struktural, yaitu urutan kedudukan yang tidak sama, pola interaksi yang tidak seimbang, korelasi antara kedudukan dan sentralitas, persesuaian antar-sistem, keselarasan antar-kedudukan dan perangkapan yang tinggi antar-tingkat. Dapat disimpulkan bahwa kekerasan struktural itu tidak dapat terlihat, namun dapat dirasakan oleh pihak yang dirugikan karena mendapatkan perlakuan semena-mena. Artinya, kekerasan struktural itu tidak terlihat melainkan menimbulkan dampak atau pengaruh.

(66)

menyudutkan para pelacur. Para pelacur dianggap provokator. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

(1) NINJA ORATOR :

(67)

(2) TUMIRAH :

Semuanya sudah berlalu, berlalu, seperti angin yang berlalu. Para pelacur terindah yang paling layak dicintai dan paling bersemangat dalam hidup ini telah hancur. Tapi inilah kehancuran yang dikehendaki. Inilah kehancuran yang bisa dijual. Kemaksiatan pantas dikorbankan. Apalah artinya para pelacur di dunia ini? Mereka boleh dihina dan dihancurkan, boleh diinjak-injak dan dilecehkan, seolah-olah mereka begitu pantas dan layak diperkosa. Kekejaman, oh, kekejaman. Dari mana kata itu datang kalu tidak dari kekejaman itu sendiri? Apakah karena kami hanya pelacur maka kehormatan kami boleh diinjak-injak? Apakah karena kami pelacur maka kami tidak boleh memperjuangkan harga diri kami? Tapi nyatanya kehancuran kami ini dijual. Menghancurkan kemaksiatan adalah jualan yang paling laris belakangan ini. Hueeek! Aku mau muntah memikirkan ulah para politisi. Mereka itulah para pelacur dalam arti yang sebenarnya. Mending kalau menjual barangnya sendiri, para politisi itu paling pinter menjual bukan Cuma barang, tapi juga bangkai orang lain. Dasar pemakan bangkai! (Ajidarma, 2001:24-25).

Kekerasan struktural yang terjadi dikarenakan ketidaksamaan serta kesederajatan dalam struktur sosial. Jika pemerintah tidak melupakan para pelacur bagian dari masyarakat dan tidak membiarakan para pelacur tertindas dan hanya dianggap sebagai kotoran, maka mereka tidak akan tertindas lagi. Akan tetapi, di sini terjadi diskriminasi. Kehadiran mereka tidak dianggap dan dibiarkan begitu saja. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(3) TUMIRAH :

Apa yang harus kukatakan kepada anak-anakku? Apa yang harus kukatakan kepada siapapun di muka bumi ini? Apa yang bisa diucapkan oleh seorang wanita korban pemerkosaan? Mereka memang punya mulut, tapi apakah bahasa akan pernah cukup mewakili? Kalu sudah begini, siapa yang akan peduli kepada kami? (Ajidarma, 2001:38).

Referensi

Dokumen terkait

Dapat disimpulkan bahwa Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan

Penelitian ini terdiri dari 3 variabel eksogen yaitu jumlah penduduk, angka harapan hidup dan rata-rata lama sekolah, satu variabel intervening PDRB Per kapita dan satu variabel

Hasil penelitian Sudaryono (2004) yang menguji pengaruh computer anxiety dari 254 dosen akuntansi Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta di wilayah Jakarta, Semarang,

Gejalanya adalah Anemia karena kekurangan zat besi dan rendahnya kadar protein di dalam darah bisa terjadi akibat perdarahan usus.penularanmelalui larva cacing yang terdapat di

Pembatasan fokus penelitian ini adalah dengan metode menggunakan buku cerita bergambar untuk meningkatkan kebiasaan berbicara sopan pada anak kelompok B PAUD

Mengingat permasalahan tersebut adalah masalah yang bermuara dari dan dirasakan oleh guru kelas, maka peneliti berupaya mencoba cara yang paling efektif dalam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dosis FMA sebanyak 15 g/tanaman pada media tanah ultisol memperlihatkan pengaruh yang nyata pada pertambahan jumlah

Dalam skripsi ini akan dijelaskan integral Henstock dengan Moore-Smith limit yang dikenal Integral 1 , sifat-sifat integral 1 seperti: sifat perkalian dengan