• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI, KONSEP DAN KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI, KONSEP DAN KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORI, KONSEP DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori

Pembentukan kata yang dilakukan dalam penelitian ini bertolak dari ancangan teori Morfologi Generatif. Teori ini dicetuskan oleh Chomsky (1965) kemudian dikembangkan oleh Halle (1973) dan Aronoff (1976). Selanjutnya teori ini dimodifikasi oleh Dardjowidjojo (1988) dan disesuaikannya dengan sistem bahasa Indonesia.

Menurut Chomsky (1965: 3-9) prinsip-prinsip atau asumsi-asumsi yang mendasari tata bahasa generatif transformasional pada umumnya dan morfologi generatif pada khususnya adalah sebagai berikut:

Pertama, TGT adalah teori tentang kompetensi. Chomsky membedakan antara kompetensi dan performansi. Kompetensi adalah pengetahuan penutur asli mengenai bahasanya, yaitu sistem kaidah yang telah dikuasainya sehingga ia mampu menghasilkan dan memahami sejumlah kalimat yang terbatas, serta mengenal kesalahan-kesalahan dan ambiguitas-ambiguitas gramatikal, sedang performansi adalah penggunaan bahasa yang sesungguhnya oleh penutur asli dalam situasi nyata.

TGT bertolak dari kompetensi. Sehubungan dengan hal ini, Chomsky menegaskan bahwa teori linguistik bersifat mentalistik karena teori ini berusaha menemukan realitas mental yang mendasari tingkah laku yang sesungguhnya. Performansi tidak dapat dijadikan sebagai landasan karena rekaman dari bahasa lisan yang alamiah menunjukkan awal yang salah, penyimpangan dari kaidah, perubahan rencana sementara pembicaraan berlangsung dsb.

Selanjutnya dikemukakan, linguistik adalah telaah kompetensi. Objek sesungguhnya dari telaah linguistik adalah masyarakat yang homogen yang di dalamnya semua orang menggunakan bahasa yang sama serta mempelajari bahasa

(2)

itu secara wajar. Data linguistik bukanlah ujaran oleh individu yang harus ditelaah, melainkan intuisinya tentang bahasanya, utamanya pertimbangannya menyangkut kalimat mana yang gramatikal dan yang mana yang tidak gramatikal, serta pertimbangannya tentang keterkaitan kalimat, artinya kalimat mana yang mengandung makna yang sama. Teori bahasa hendaknya dibentuk untuk menerangkan intuisi ini.

Kedua, bahasa memiliki sifat kreatif dan inovatif. Kreativitas bahasa adalah kemampuan penutur asli untuk menghasilkan kalimat-kalimat baru, yaitu kalimat-kalimat yang tidak mempunyai persamaan dengan kalimat-kalimat yang biasa. Penutur asli mampu menghasilkan dan memahami kalimat-kalimat baru atau mampu membuat pertimbangan mengenai keberterimaannya. Selanjutnya Chomsky (1972:11-12) menegaskan bahwa pemakaian bahasa yang normal bersifat inovatif, dengan pengertian bahwa kebanyakan yang kita katakan sama sekali baru, bukan ulangan dari apa yang telah kita dengarkan sebelumnya, bahkan tidak mempunyai pola yang sama dengan kalimat-kalimat atau wacana yang kita dengar di waktu lampau. Sangat sedikit yang kita hasilkan atau dengar merupakan ulangan dari ujaran-ujaran sebelumnya.

Ketiga, TGT adalah seperangkat kaidah yang memberikan pemerian struktural kepada kalimat. Tujuan linguis yang berusaha untuk menjelaskan aspek kreatif dari kompetensi gramatikal ialah memformulasikan seperangkat kaidah pembentukan kalimat (kaidah sintaksis), kaidah penafsiran kalimat (kaidah semantis), dan kaidah pengucapan (kaidah fonologis). Jadi, mempelajari suatu bahasa berarti mempelajari seperangkat kaidah sintaksis, kaidah semantis, dan kaidah fonologis.

Keempat, bahasa adalah cermin fikiran. Chomsky (1972:103) menyatakan bahwa terdapat sejumlah pertanyaan yang menyebabkan seseorang mempelajari bahasa. Ciri-ciri inheren dari pikiran manusia dapat diketahui setelah menelaah bahasa secara rinci. Maksudnya, dapat dicapai pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana pikiran manusia menghasilkan dan memproses bahasa .

(3)

Pertama, bahasa manusia pada semua tingkatan dikuasai oleh kaidah. Setiap bahasa yang kita ketahui mempunyai kaidah sistematis yang menguasai pengucapan, pembentukan kata, dan konstruksi gramatikal. Selanjutnya, cara mengasosiasikan makna dengan frasa suatu bahasa ditandai oleh kaidah yang teratur. Terakhir, penggunaan bahasa untuk berkomunikasi dikuasai oleh generalisasi penting yang dapat kita ungkapkan dengan kaidah. Kaidah yang dimaksudkan di sini adalah kaidah-kaidah deskriptif, yaitu kaidah-kaidah yang memerikan bahasa yang sesungguhnya dari kelompok penutur tertentu. Kaidah-kaidah deskriptif sebenarnya mengungkapkan generalisasi dan keteraturan tentang berbagai aspek bahasa.

Kedua, bahasa manusia yang beraneka ragam itu membentuk fenomena yang menyatu. Para linguis mengasumsikan bahwa adalah mungkin menelaah bahasa manusia pada umumnya dan bahasa-bahasa tertentu untuk mengungkapkan ciri-ciri bahasa yang universal.

Secara lahiriah, bahasa manusia sangat berbeda antara satu dengan lainnya, namun secara batiniah, bahasa-bahasa tersebut memiliki ciri-ciri kesemestaan. Semua bahasa yang kita ketahui memiliki tingkat kerumitan dan rincian yang sama. Tidak ada bahasa yang bersahaja. Semua bahasa memiliki cara untuk menyatakan pertanyaan dan membuat permintaan. Apa yang dapat diungkapkan dalam satu bahasa juga dapat diungkapkan dalam bahasa lain.

Selanjutnya akan dikemukakan asumsi-asumsi yang mendasari morfologi generatif sebagai berikut:

Pertama, morfologi adalah bagian integral dari komponen sintaksis. Dalam TGT standar, morfologi tidak merupakan suatu komponen yang otonom, melainkan bagian dari komponen sintaksis. Namun demikian, telah ada usaha-usaha untuk menjadikan komponen morfologi sebagai suatu komponen yang otonom. Scalise (1984) menyatakan bahwa pembentukan kata terjadi seluruhnya dalam leksikon dan ditangani oleh suatu mekanisme khusus yang disebut Kaidah Pembentukan Kata (KPK). Linguis pertama yang berusaha ke arah itu adalah Morris Halle.

(4)

Kedua, analisis morfologis dilakukan dalam dua tingkatan, yaitu tingkatan struktur batin dan tingkatan struktur lahir. Berdasarkan asumsi ini, maka pertama-tama kita perlu menelusuri struktur batin atau representasi asal suatu konstruksi morfologis, kemudian melihat proses proses apa yang terjadi terhadap bentuk asal tersebut untuk dapat menetapkan bentuk turunannya atau bentuk lahirnya.

Secara umum penilitian ini akan dianalisis dengan menggunakan teori morfologi generatif. Teori morfologi generatif memiliki perangkat kaidah untuk membentuk kata-kata baru atau kalimat-kalimat baru dengan kaidah transformasi. Pemilihan kepada teori morfologi generatif dilakukan mengingat teori yang ada sebelumnya yaitu teori struktural dianggap tidak mampu lagi mengakomodasi fenomena kebahasaan bagi pembentukan kata bahasa Indonesia yang ada pada saat ini. Dikatakan demikian karena banyak kata potencial yang merupakan serapan dari bahasa Arab telah menjadi kata actual dan digunakan oleh penutur bahasa Indonesia tetapi tidak mendapat perhatian di dalam kajian struktural. Padahal salah satu tujuan ilmu morfologi seperti yang dikatakan oleh Katamba tidak hanya memahami dan membentuk kata yang ada (real) di dalam bahasa mereka tetapi juga membentuk kata potencial yang belum digunakan pada saat mereka berujar. Jadi, morfologi generatif memiliki predictive power yaitu dapat membentuk kata potensial yang belum digunakan oleh penuturnya.

Menurut morfologi struktural pembentukan kata terdiri dari empat komponen yaitu, (1) Daftar Morfem (2) Pembentukan Kata (3) Proses Morfofonologis dan (4) Kamus.

1. Daftar Morfem

Dalam daftar morfem, semua morfem baik morfem bebas maupun morfem terikat diidentifikasi. Adapun teknik identifikasi morfem menurut Bickford dkk (1991: 2-3) dapat diketahui dengan cara menemukan bagian-bagian yang berulang

(5)

tatabahasa struktural seperti Hocket (1970:123) menyatakan bahwa morfem adalah elemen terkecil yang secara individual mengandung arti sementara Bloomfield (1933: 161) menyatakan bahwa morfem adalah bentuk linguistik terkecil yang tidak mengandung kesamaan sebagian bunyi dan arti dengan bentuk linguistik lainnya. Kedua definisi ini memberi pengertian bahwa setiap bentuk yang mengandung arti yang berbeda harus dianggap sebagai morfem yang berdiri sendiri. Akibatnya pendapat ini sulit diterapkan untuk penentuan morfem di dalam bahasa Indonesia. Di dalam bahasa Indonesia ditemukan morfem yang dapat memiliki lebih dari satu arti bergantung kepada bentuk dasar yang dilekatinya. Sebaliknya satu arti dapat dinyatakan oleh lebih dari satu morfem. Misalnya sufiks {-an} di dalam bahasa Indonesia dapat memiliki makna ‘tiap-tiap’ dalam bulanan; ‘yang ada di’ dalam bawahan; ‘hasil’ dalam pikiran; ‘alat’ dalam saringan; ‘tempat’ dalam kuburan dan ‘yang di’ dalam makanan. Contoh-contoh yang ada ini menunjukkan bahwa sufiks {-an} di dalam bahasa Indonesia memiliki enam makna yang berbeda.

Aanya contoh sufiks {-an} yang memiliki makna yang berbeda-beda ini Uhlenbeck (1978: 326) berpendapat bahwa morfem (afiks) tidak memiliki makna yang berdiri sendiri. Arti morfem bergantung kepada kata (morfem akar) yang menjadi bentuk dasarnya. Bertentangan dengan kata, morfem bukanlah kesatuan linguistis, melainkan hanya momen dalam sebuah kata. Sebagai konsekuensinya Uhlenbeck selalu mengambil kesatuan kata sebagai keterangan linguistis yang diungkapkannya.

Selanjutnya morfem dapat dibagi menjadi (1) morfem akar yang juga disebut sebagai morfem dasar (morfem leksikal) (2) morfem inflektif atau variasi paradigmatis (morfem gramatikal) dan (3) morfem derivatif (morfem gramatikal) (Fawler dalam Muhajir, 1984:18). Dengan memperhitungkan pihak morfem akar bersama dengan morfem non akar membentuk kata, segera akan tampak bahwa keenam perbedaan makna sufiks {-an} yang terdapat pada contoh di atas disebabkan oleh perbedaan keanggotaan kategorial morfem akar yang menjadi bentuk dasarnya.

(6)

Berdasarkan kebebasannya morfem dapat dibagi menjadi (1) morfem bebas dan (2) morfem terikat. Morfem bebas ádalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan misalnya, pulang, makan, rumah sedangkan morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabungkan lebih dahulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan, seperti semua afiks dalam bahasa Indonesia dan bentuk-bentuk terikat seperti juang, henti, dan gaul.

Menurut Sibarani (2002:37-39) morfem dibagi menjadi (1) morfem derivasional yaitu morfem yang dapat membentuk kata baru dengan cara mengubah baik makna atau kelas kata maupun kedua-duanya. Misalnya, bentuk happy dapat berubah menjadi unhappy (dalam hal ini terjadi perubahan makna) dan ripe (Adj) berubah menjadi ripen (verb) (2) morfem infleksional yaitu morfem yang dapat mengubah seluruh bentuk yang berbeda yang berasal dari bentuk yang sama dengan tidak mengubah kelas kata dan makna tetapi hanya mengubah informasi gramatikal tambahan tentang makna kata yang sudah ada. Misalnya cat dan cats. Keduanya ádalah nomina dan menunjuk kepada benda yang sama tetapi cats bentuk plural berisi informasi tambahan bahwa ada lebih dari satu kucing.

Senada dengan pendapat di atas Booij (1988:39) menyatakan bahwa afiks-afiks derivasional merupakan morfem terikat yang digabungkan dengan base untuk mengubah kelas katanya (part of speech) seperti teach dan sweep adalah verba, jika ditambahkan afiks derivasional {-er} akan menjadi nomina teacher dan sweeper. Jenis kata ini kadang-kadang juga tidak berubah disebabkan afiks derivasional tersebut, seperti like yang berubah menjadi dislike, keduanya berjenis verba. Adapun afiks-afiks infleksional adalah afiks-afiks yang menghasilkan bentuk kata yang berbeda dari sebuah leksem yang sama.

2. Pembentukan Kata

Menurut Bauer (1983: 201) pembentukan kata baru dapat dibagi menjadi 10 yaitu (1) compounding (2) prefixation (3) suffixation (4) conversion (5) back

(7)

mixed formation, sementara Sibarani (2002:55) mengatakan bahwa proses pembentukan kata baru di dalam morfologi berjumlah 14 buah yang terdiri dari: a. Kata majemuk (Compounding) merupakan gabungan dua bentuk dasar secara

bersama-sama membentuk kata baru. Kata majemuk itu antara lain ada yang terdiri dari noun + noun seperti, woman doctor dan skinhead; verb + noun seperti, breakfast dan play pit; dan noun + verb seperti sunshine dan birth control .

b. Afiksasi (Affixation) adalah penambambahan morfem terikat ke bentuk dasar untuk membentuk sebuah kata. Penambahan bentuk terikat itu ada yang berupa prefiks a-, seperti asleep; be-, seperti befriend; sufiks –dom, seperti kingdom; -ess, seperti stewardess; infiks –um-, seperti sumulat (bahasa Batak).

c. Reduplikasi (Reduplication) adalah pengulangan sukukata, morfem atau kata untuk membentuk sebuah kata. Misalnya goody-goody dan wishy-washy.

d. Modifikasi Internal (Internal Modification) yaitu perubahan internal dari base untuk membentuk kata, dengan menambahkan afiks ke morfem (afiksasi) atau dengan menyalin semua bagian dari morfem untuk membuat perbedaan morfologis. Misalnya:

man - men

break - broke - broken

e. Suplesi (Suppletion) adalah suatu ketidakmungkinan yang dapat dijadikan aturan umum atau hubungan yang teratur antara bentuk dasar dan kata derivasinya. Misalnya:

good - better - best

bad - worse - worst

f. Akronim (Acronyms) adalah sesuatu kependekan yang berupa gabungan huruf atau sukukata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang sesuai dengan kaidah fonotaktik bahasa yang bersangkutan. Misalnya:

RADAR = Radio Detection and Ranging BIMAS = Bimbingan Masyarakat

g. Back Formation yaitu penghapusan afiks dari kata yang ada untuk membentuk kata baru. Misalnya:

(8)

edit - editor

donate - donation

h. Blending yaitu menggabungkan dua kata atau lebih untuk membentuk satu kata. Misalnya:

brunch (breakfast + lunch) telex (teleprinter + exchange)

i. Clipping yaitu pengambilan suku kata khusus dalam kata yang selanjutnya dianggap sebagai kata baru. Misalnya:

ad (advertisement) exam (examination)

j. Coinage yaitu pembentukan kata yang tidak kelihatan prosesnya. Misalnya: Xerox

Kodak

k. Konversi (Conversion) yaitu proses pembentukan kata dari sebuah bentuk dasar berkategori tertentu menjadi kata berkategori lain tanpa mengubah bentuk fisik dari bentuk dasar tersebut. Misalnya:

Bentuk laugh, run dan buy bisa dikategorikan sebagai nomina dan verba sementara bentuk dirty, lower, better bisa dikategorikan sebagai adjektiva dan verba.

l. Kesalahan etimologi (False Etymology) yakni salah menganalisis sebuah kata dan menambahkan bagian kata ke bentuk dasar lain untuk membentuk kata baru. Misalnya, sufiks –burger menghasilkan salah analisis bahwa hamburger berasal dari ham plus burger (humberger merupakan clipping dari humberger steak). Bentuk burger sudah ditambahkan ke tipe makanan lain, seperti cheeseburger, pizzaburger, salmonburger, dan steakburger.

m. Pelesetan (Deviating) yakni proses pembentukan suatu kata baru dengan mempelesetkan morfem yang ada atau kata dari makna yang terdahulu. Kata yang ada itu dianggap sebagai akronim dari bentuk panjang yang menghasilkan makna baru. Misalnya, kata Soeharto dipelesetkan menjadi SUka HARTa Orang dan SUMUT dipelesetkan menjadi Semua Urusan Mesti Uang Tunai.

(9)

n. Nama diri (Proper name) yaitu nama benda, tempat, aktivitas, dan penemuan yang dikaitkan dengan sesuatu atau orang. Contohnya, Washington D.C. (untuk George Washington dan District of Colombia untuk Christoper Colombus)

Sesuai dengan jenis data yang ditemukan pada penelitian ini maka pembentukan kata yang dilakukan hanya dibatasi pada afiksasi, reduplikasi, komposisi dan difokuskan pada afiksasi saja. Afiksasi yaitu proses pembubuhan afiks pada suatu satuan baik satuan tersebut berbentuk tunggal atau kompleks. Di dalam bahasa Indonesia jenis-jenis afiks dapat diklasifikasikan menjadi (1) prefiks, seperti {me-}, {di-}, {ber-}, {ter-}, {se-}, dsb. (2) infiks, seperti {–el-}, {-em-}, {-er-}, dsb. (3) sufiks, seperti {–an}, {-kan}, dan {-i} , dsb. (4) konfiks, seperti {ke-an}, {per-an}, {pe-an}, dsb. (5) kombinasi afiks , yaitu kombinasi dari dua afiks atau lebih yang bergabung dengan bentuk dasarnya seperti {me-kan}, {me-i} dan {ber-kan}. Gabungan afiks dengan bentuk dasarnya dapat menimbulkan perubahan bentuk dan perubahan makna. Misalnya kata pakaian yang berkategori nomina apabila dilekatkan kepada afiks ber- maka kata tersebut berubah menjadi berpakaian yang berkategori verba dan maknanya berubah menjadi ’melakukan sesuatu sesuai bentuk dasar’.

Reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatik baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak (Ramlan, 1985:57). Hasil pengulangan itu disebut kata ulang sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasar.Berdasarkan bentuk dasar kata yang diulang reduplikasi di dalam bahasa Indonesia dibagi menjadi empat jenis yaitu (1) pengulangan seluruh, seperti batu-batu (2) pengulangan sebagian, seperti berkata-kata , terguling-guling (3) pengulangan yang berkombinasi dengan pembubuhan afiks, seperti rumah-rumahan, kekuning-kuningan dan (4) pengulangan dengan perubahan fonem, seperti gerak gerik, bolak balik.

Pemajemukan yaitu gabungan dua kata yang menimbulkan suatu kata baru. Kata majemuk ada yang terdiri dari dua kata sebagai unsurnya seperti meja makan, kamar gelap dan ada pula yang terdiri dari kata dan pokok kata seperti daya juang dan ruang baca.

(10)

Berdasarkan status komponen-komponen pembentuk kata majemuk, kata majemuk dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu (1) kata majemuk subordinatif substantif yaitu komponen yang pembentuknya berlainan, tidak sederajat seperti, anak tangga, alih bahasa dan tanam paksa (2) kata majemuk subordinatif atributif yaitu kata majemuk yang komponen pembentuknya juga tidak sederajat seperti, hidung belang, kepala dingin dan mulut manis (3) kata majemuk koordinatif, yaitu kata majemuk yang unsurnya tetap, tidak dapat dibalikkan atau ditukar posisinya, seperti lebih besar, putih bersih dan tua bangka.

3. Proses Morfofononologis

Morfofonologi (morfofonemik) adalah terjadinya perubahan bunyi atau perubahan fonem sebagai akibat dari adanya proses morfologi, baik proses afiksasi, proses reduplikasi maupun proses komposisi. Misalnya, morfem{ber-} ketika digabungkan dengan morfem ajar menghasilkan kata belajar.

Ada beberapa jenis perubahan fonem yang terjadi akibat proses morfologis di dalam bahasa Indonesia, yaitu (a) pemunculan fonem, yakni munculnya fonem (bunyi) dalam proses morfologis yang pada mulanya tidak ada. Misalnya, dalam proses pengimbuhan sufiks {–an} pada bentuk dasar hari akan memunculkan bunyi semi vokal [y]. Misalnya kata /hari/ + {-an} = /harian/ [hariyan] (b) pelesapan fonem, yakni hilangnya fonem dalam statu proses morfologis. Misalnya dalam proses pengimbuhan prefiks {ber-} pada bentuk dasar renang , maka bunyi /r/ yang ada pada prefiks {ber-} dilesapkan. Misalnya {ber-}+ /renang/ = /berenang/ (c) peluluhan fonem, yakni luluhnya sebuah fonem serta disenyawakan dengan fonem lain dalam suatu proses morfologis. Misalnya, pengimbuhan prefiks {me-}pada bentuk dasar sikat, maka fonem /s/ pada kata sikat itu diluluhkan dan disenyawakan dengan fonem nasal /ny/ yang ada pada

(11)

yaitu berubahnya sebuah fonem atau bunyi sebagai akibat terjadinya proses morfologis. Misalnya, pengimbuhan afiks {ber-}pada bentuk dasar ajar yang menyebabkan terjadinya perubahan bunyi, yaitu fonem /r/ berubah menjadi fonem /l/. Misalnya (4) {ber-}+ /ajar/ = /belajar/.

4. Kamus

Semua kata yang telah diproses melalui komponen ke tiga, yaitu proses morfofonologis dan tidak mendapat halangan maka kata-kata tersebut langsung masuk ke kamus dan diberi maknanya. Misalnya (1) Ajal ‘ batas hidup yang telah ditentukan Tuhan, saat mati, janji akan mati’ (2) Ajnas ‘jenis, rupa, macam’.

Adapun pembentukan kata menurut morfologi generatif terdiri dari empat komponen, yaitu (1) Daftar Morfem (2) kaidah pembentukan kata (3) saringan (filter) dan (4) kamus.

1. Daftar Morfem (DM)

Morfologi generatif memiliki prinsip-prinsip dan teknik identifikasi morfem yang sama dengan teknik identifikasi morfem yang dilakukan di dalam morfologi struktural. Semua morfem yang telah diidentifikasi, dikelompokkan ke dalam dua kategori atau kelas utama yaitu kata pangkal (Kp) dan afiks. Kata pangkal dapat dibagi lagi ke dalam dua kelas, yaitu kata pangkal bebas ( base) dan kata pangkal terikat (ítems). Semua kata pangkal dikelompokkan ke dalam kategori-kategori leksikal mayor tertentu seperti nomina pangkal (Np) ikan, laut, rumah, Verba pangkal (Vp) ikat, potong, Adjektiva pangkal (Adj.p) berani, benar, Adverbia pangkal (Adv.p) depan, belakang dan numeralia pangkal (Num.p) seperti, satu, dua dan tiga.

Kata pangkal terikat berupa afiks. Afiks terdiri atas prefiks, sufiks dan infiks. Semua kata pangkal dan afiks didaftarkan dalam daftar morfem dengan menggunakan kurung berlabel disertai nama kategorinya. Jadi di dalam DM

(12)

ditampilkan sbb: [ikan] np, [pukul] vp, [berani] Adj.p, [meng-]pref., [-kan]suf. Dan [-el-]inf.

Selanjutnya karena pertemuan morfem dengan unit-unit lainnya dapat mengubah bentuk katanya maka kajian morfem dikaitkan dengan proses derivasi dan infleksi. Katamba (1993:92-100) menjelaskan bahwa infleksi berkaitan dengan kaídah-kaidah sintaktik yang dapat diramalkan, otomatis, sistematik, bersifat konsisten, dan tidak mengubah identitas leksikal, sedangkan derivasi lebih bersifat tidak bisa diramalkan, berdasarkan kaídah sintaktik, tidak otomatis, tidak sistematik, dan mengubah identitas leksikal. Selanjutnya Bauer (1988:12-13) berpendapat bahwa derivasi adalah proses morfologis yang menghasilkan morfem baru, sedangkan infleksi adalah proses morfologis yang menghasilkan bentuk-bentuk kata yang berbeda dari sebuah leksem yang sama. Bauer juga merumuskan bahwa pembentukan infleksional dapat, diramalkan, sedangkan pembentukan derivasional tidak dapat diramalkan. Misalnya, verba work, otomatis akan dikenali bentuk Works, worked, working atau worker menjadi workers ( bentukan infleksional yang teramalkan); berbeda dengan work yang berubah menjadi worker.

2. Kaidah Pembentukan Kata

Tugas berikutnya setelah semua morfem didaftarkan dalam DM adalah merumuskan seperangkat kaidah pembentukan kata (KPK) yang meliputi kaidah pembentukan nomina, kaidah pembentukan verba, kaidah pembentukan adjektiva dan kaidah pembentukan adverbia. Setiap kaidah yang dirumuskan disertai makna atau semantiknya. Misalnya untuk membentuk nomina di dalam bahasa Indonesia dapat dibentuk kaidah sebagai berikut: [[pəη-] pref + [X] vp]N.

Maknanya ‘orang atau alat untuk melakukan X’.

Kaidah ini menyatakan bahwa nomina dapat dibentuk dengan menambahkan prefiks [pəη-] kepada verba pangkal (Vp) yang dinyatakan dengan X dengan makna ‘orang atau alat untuk melakukan X’. Penambahan prefiks [pəη-]

(13)

kepadaVp, seperti gerak, dengar, bantu, lempar menghasilkan struktur asal atau representasi asal sebagai berikut:

[#[pəη-] pref + [gərak] vp #] N

*[#[pəη-] pref + [dəηar] vp#] N

*[#[pəη-] pref + [bantu] vp#] N

*[#[pəη-] pref + [pukul] vp#] N

*[#[pəη-] pref + [lempar]vp#] N

Struktur asal yang ada di atas ini ada yang berterima dan ada pula yang tidak berterima. Struktur asal yang berterima langsung masuk ke dalam kamus, sedangkan struktur asal yang tidak berterima harus melalui proses morfofonologis.

3. Saringan (Filter)

Struktur asal yang berterima langsung dapat masuk ke kamus sedangkan struktur asal yang tidak berterima seperti:

*[#[pəη-] pref + [dəηar] vp#] N

*[#[pəη-] pref + [bantu] vp#] N

*[#[pəη-] pref + [pukul] vp#] N

masuk ke saringan dan belum dapat dimasukkan ke dalam kamus karena harus melalui beberapa proses morfofonologis antara lain: asimilasi, yaitu penyesuaian fonem nasal /η/ dari prefiks [pəη-] dengan fonem awal Kp, serta pelesapan fonem nasal /η/ dari prefiks [pəη-] dan fonem hambat /p/ dari kata /pukul/. Struktur-struktur asal itu berubah menjadi Struktur-struktur lahir yang dapat masuk ke dalam kamus setelah melalui proses morfofonologis.

1. Kaidah-kaidah morfofonologis meliputi: (a) kaidah asimilasi fonem nasal /η/ seperti:

/η/ Æ /η/ sebelum fonem hambat velar bersuara /g/. /η/ Æ /n/ sebelum fonem hambat alveolar bersuara /d/ /η/ Æ /m/ sebelum fonem hambat bilabial bersuara /b/

(14)

/ koronal anterior K koronal -anterior -nasal K ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ → ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ + β α ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ koronal anterior K β α

Kaidah ini menyatakan bahwa ruas dengan ciri-ciri [+nasal, -anterior, -koronal] berubah menjadi ruas [+konsonantal] yang sesuai dengan ciri-ciri [anterior] dan [koronal] yang mengikutinya.

(b) Kaidah pelesapan fonem nasal velar / η/

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ + koronal -anterior -nasal K Ø/ + ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ +lateral K

Kaidah ini menyatakan bahwa fonem nasal dengan ciriciri [+nasal, -anterior dan – koronal, yaitu fonem nasal /η/, dilesapkan apabila diikuti oleh Vp yang berawal dengan fonem lateral /l/.

(c) kaidah pelesapan fonem hambat bilabial tak bersuara /p/

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ + malar -bersuara -koronal -anterior K Ø/ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ + + + belakang tinggi nasal K +

Kaidah ini menyatakan bahwa fonem hambat bilabial tak bersuara /p/ dilesapkan apabila didahului oleh fonem nasal velar /η/.

2. Representasi struktur lahir setelah kaidah morfofonologis dirumuskan dan selanjutnya dapat disajikan semua struktur lahir dari struktur nasal N yang telah diperoleh dalam penerapan kaidah pembentukan kata (KPK), khususnya struktur N yang tidak berterima. Perhatikan struktur nasal N berikut.

*[#[pəη-] pref + [dəηar] vp#] N

(15)

Struktur nasal ini belum berterima sehingga belum dapat dimasukkan ke dalam kamus. Untuk dapat dimasukkan ke dalam kamus harus diterapkan kaidah asimilasi fonem nasal *[#[pəη-] pref + [dəηar] vp#] N

*[#[pəη-] pref + [bantu] vp#] N

sehingga diperoleh struktur lahir sebagai berikut: SA: *[#[pəη-] pref + [dəηar] vp#] N

Asimilasi /η/: *[#[pəη-] pref + [dəηar] vp#] N

SL: Pendengar

SA: *[#[pəη-] pref + [bantu] vp#]N

Asimilasi /η/: *[#[pəm-] pref + [bantu] vp#] N

SL: Pembantu

Komponen filter juga suatu mekanisme yang menangani idiosinkresi yang terdapat dalam suatu bahasa. Tidak semua kata dapat diturunkan dengan menggunakan KPK. KPK dapat membentuk kata-kata yang secara fonologis, morfologis, dan semantis berterima tetapi tidak pernah muncul pada struktur lahir. Kata-kata yang diberi idiosinkresi itu ada yang bersifat fonologis, leksikal maupun semantik. Kata yang mengalami idiosinkresi fonologis, misalnya mempunyai dan pegolf. Menurut KPK bahasa Indonesia fonem /p/ akan luluh apabila berkolokasi dengan afiks {meN-}, tetapi kata dasar punya tidak mematuhi aturan umum ini. Kata dasar golf juga melanggar aturan umum yang berkaitan dengan afiks {peN-}. Idiosinkresi semacam ini ditangani di filter sehingga keluaran dari komponen saringan tidak akan berwujud *memunyai atau *penggolf. Idiosinkresi semantik terdapat pada kata perjuangan yang bermakna ‘suatu kegiatan yang bertaraf (paling tidak) nasional ataupun dalam kehidupan’. Idiosinkresi leksikal merujuk pada tidak adanya kata dalam kenyataan, meskipun sebenarnya kata tersebut adalah potensial seperti *berian, *berbis, dan *mempersedikit.

4. Kamus

Keluaran dari komponen saringan disimpan dalam suatu komponen ke empat yang dinamakan kamus. Semua kata pangkal (Kp) maupun kata turunan

(16)

yang dibentuk melalui kaidah pembentukan kata dan telah melewati saringan (filter), dimasukkan ke dalam kamus. Semua kata disertai dengan arti dan ciri-cirinya. Hal yang seperti ini diperlukan dalam pemilihan dan pemakaian kata dalam kalimat sehingga kita menghasilkan kalimat yang menyimpang (ungrammatical). Misalnya:

1. Penggerak ‘orang yang melakukan pekerjaan seperti dinyatakan oleh Kp’ + N

+ bernyawa + manusia - abstrak + terbilang

2.Pelempar ‘alat untuk melakukan pekerjaan seperti dinyatakan oleh Kp’ + N

- bernyawa - manusia - abstrak + terbilang

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa kata-kata yang telah dibentuk di pembentukan kata (KPK) ada yang mengalami proses morfofonologis. Uraian metode struktural tentang morfofonologis diakhiri dengan penemuan kaidah yang berupa penambahan fonem, pelesapan fonem, peluluhan fonem, sementara dalam morfologi generatif proses morfofonologis dimasukkan ke dalam komponen filter dengan kaidah struktur asal (SA), proses asimilasi dan struktur lahir (SL). Selain itu kata-kata yang potensial ada yang diberi idiosinkresi baik idiosinkresi fonologi, leksikal maupun semantik. Kata-kata tersebut dibentuk dan (akan) dipakai oleh masyarakat pemakai bahasa sebagai alat komunikasi. Jadi bentuk bunyi apapun yang digunakan manusia sebagai pengguna bahasa itulah kenyataan bahasa. Hal lain yang menunjukkan perbedaan antara morfologi generatif dan struktural dapat dilihat pada adanya komponen ciri-ciri pembeda (distinctive fitures) untuk membedakan kata-kata yang ditemukan di dalam kamus.

(17)

Berdasarkan uraian di atas, teori struktural tidak digunakan di penelitian ini karena dianggap tidak mampu lagi mengakomodasi fenomena kebahasaan pembentukan kata pada saat ini. Hal ini sesuai dengan tujuan morfologi yang dikatakan oleh Katamba bahwa salah satu tujuan morfologi tidak hanya memahami dan membentuk kata yang ada (real) dalam bahasa mereka tetapi juga membentuk kata-kata potensial yang belum digunakan pada saat mereka berujar. Untuk lebih jelasnya pembentukan kata menurut teori struktural dan teori morfologi generatif dapat dilihat diagram di bawah ini.

Diagram 1: Pembentukan Kata Morfologi Struktural

Daftar Morfem Pembentukan kata Proses Morfofonemis Kamus Terikat Bebas Afiks Morfem Dasar Afiksasi Reduplikasi Komposisi Penambahan Fonem Pelesapan Fonem Peluluhan Fonem Perubahan Fonem Kata Makna Kata

(18)

Diagram 2: Pembentukan Kata Morfologi Generatif Modifikasi dari Halle (1973)

Tata bahasa transformasi berbicara dalam dua terminologi, yaitu struktur batin (deep structure) dan struktur lahir (surface structure), oleh karena semua bahasa dilihat dari struktur dalamnya sama yaitu menunjukkan atau melambangkan tingkat pikiran. Perbedaannya terletak pada struktur luar yaitu tulisan atau ujaran yang sesungguhnya.

Menurut Halle dalam Scalise (1984:43) studi morfologi generatif terdiri dari empat komponen yang terpisah yaitu (1) daftar morfem (list of morphemes)

Daftar Morfem Kaidah pembentukan kata Filter Kamus Kata pangkal (Kp) Afiks Kp Bebas Kp Terikat KPN KPV KPAdj KP Adv Berterima Tdk Berterima Proses Morfofonemik Struktur Asal Asimilasi Struktur Lahir Idiosinkresi

(Bentuk-bentuk potensial) 1. Fonologi 2. Leksikal 3. Semantik Kata

(19)

kamus (dictionary). Komponen pertama adalah DM yang terdiri dari dua macam anggota yaitu morfem dan bermacam-macam afiks, baik yang derivasional maupun yang infleksional. Butir leksikal dalam DM tidak cukup diberikan dalam bentuk urutan segmen fonetik tetapi harus pula dibubuhi dengan keterangan-keterangan gramatikal yang relevan. Contohnya dalam bahasa Inggris ditemukan morfem write yang harus dijelaskan sebagai kata verbal, tidak berasal dari bahasa Latin dan konjugasinya bukan konjugasi yang umum.

Ia menjelaskan satuan-satuan dasar leksikon adalah morfem. Daftar Morfem berisi morfem yang dinyatakan sebagai suatu gugus ruas fonologis dan diberikan kurung berlabel representasi nomina, verba, dan sufiks, misalnya dapat dinyatakan dengan a. [home]n, b.[discuss]v. dan c. [-ity]suf.

Menurutnya, kata transformasional terdiri dari lima morfem, yakni trans-form-at-ion dan al. Kata vacant terdiri dari dua morfem yaitu morfem va dan cant. Pembagian morfem dengan cara seperti ini tidak dapat diterapkan dalam pembagian kata BI yang berasal dari BA, misalnya kata mahkamah tidak dapat diuraikan menjadi morfem mah-ka-mah. Selain itu ia juga mengatakan bahwa afiks infleksional tidak perlu dipisahkan dari afiks derivasional

Komponen kedua adalah KPK yaitu bersama-sama dengan morfem yang termuat dalam DM membentuk kata-kata, baik kata-kata yang benar-benar ada maupun bentuk “kata potensial” yaitu bentuk satuan lingual yang belum ada dalam realitas tetapi mungkin akan ada karena memenuhi persyaratan KPK. Misalnya kata derivation dan *derival dalam bahasa Inggris serta kata pemberian dan *berian, *berlayar dan *berbis untuk bahasa Indonesia yang dihasilkan oleh KPK karena bentuk-bentuk berbintang ini pun memenuhi semua aturan dalam kedua bahasa ini, tetapi dalam kenyataan kata-kata berbintang itu tidak muncul. Pencegatan terhadap kata-kata seperti ini dilakukan oleh komponen saringan (Dardjowidjojo,1988:58). Katamba (1993:83-84) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk potensial itu memang ada dan uraiannya sebagai berikut: “One of the goals of morphological theorizing is to account for the ways in which speakers both understands and form on only ‘real’ words that occur in their language, but also potential words which are not instantiated in use in utterances”.

(20)

Komponen ketiga adalah komponen saringan yang bertugas menempelkan segala macam idiosinkresi yang terdapat dalam kata baik bersifat fonologis, semantik maupun leksikal. Idiosinkresi yang bersifat fonologis misalnya terdapat pada kata mempunyai. Menurut kaidah yang terdapat di dalam bahasa Indonesia fonem /p/ seharusnya lesap apabila terletak setelah afiks {meN-}, bandingkan dengan bentuk memilih dari bentuk dasar pilih. Idiosinkresi semantik misalnya terdapat pada kata perjuangan yang bermakna ‘suatu kegiatan yang bertaraf nasional ataupun kehidupan’. Demikian pula pada kata wafat, mangkat, dan gugur dalam bahasa Indonesia.. Idiosinkresi leksikal adalah kata bentukan melalui KPK yang dalam kenyataan tidak ada tetapi secara potensial ada seperti *mencantik, *tanyaan, *mempersedikit dalam bahasa Indonesia. Kata *zikiran ‘berzikir’, *membadalhajikan ‘melaksanakan haji untuk orang lain’ dan *noktahkan ‘beri titik’ adalah bentuk potensial dalam BI dari BA.

Komponen ke empat adalah kamus yang memiliki peranan dalam pembentukan kata untuk menampung bentuk-bentuk yang gramatikal dan berterima dalam suatu bahasa serta bentuk-bentuk potensial yang dihasilkan oleh KPK (Dardjowidjojo,1988:57). Kamus menampung kata dasar bebas, kata dasar turunan yang diproses melalui KPK dan tidak dibendung dalam saringan. Hal ini berarti tidak semua bentukan oleh KPK dapat lolos ke kamus. Kata yang telah terdaftar dalam kamus dapat menjadi masukan KPK untuk diproses lebih lanjut untuk memperoleh kata bentukan baru dan menjadi anggota kamus kembali. Dengan demikian terdapat saluran yang menghubungkan timbal balik antara KPK dengan kamus. Bentukan dan kata bentukan melalui proses afiksasi yang telah termuat dalam kamus inilah menjadi bahan dalam pembentukan sintaksis. Struktur permukaan tampil mengikuti aturan fonologis yang telah mengalami proses di KPK dan KPK mempunyai saluran masuk ke fonologi dan kamus. Misalnya, kata azab menjadi mengazab telah lulus melewati saringan (filter) kemudian kata ini dapat dimasukkan ke komponen kamus. Selanjutnya kata mengazab ini menjadi dasar pembentukan kata berikutnya yaitu pengazab. Uraiannya menunjukkan bahwa kamus merupakan unit yang sama pentingnya dengan ketiga komponen

(21)

yang mendahuluinya dan Halle memberikan gambaran diagram pembentukan katanya sebagai berikut:

Diagram 3 model pembentukan kata oleh Halle (1973)

Berbeda dengan Halle, Aronoff (1976:48) berpendapat bahwa morfem tidak memiliki makna tetap dan dalam keadaan tertentu morfem tidak memiliki makna sama sekali. Semua proses pembentukan kata yang beraturan didasarkan pada kata. Lebih jauh ia mengatakan kaidah pembentukan kata adalah kaidah yang beraturan yang hanya menurunkan kata yang bermakna. Oleh karena itu hanya kata yang dapat dijadikan unit dasar dalam pembentukan kata (word-based approach). Istilah kata yang dimaksud di sini adalah leksem (lexeme-based). Aronoff juga mengatakan kata dasar (lexem) yang digunakan dalam pembentukan kata memiliki kriteria sebagai berikut:

1. Dasar pembentukan kata adalah kata.

2. Kata-kata yang menjadi unit dasar (input) dalam proses pembentukan kata (KPK) adalah kata yang benar-benar ada, kata yang potensial tidak dapat menjadi unit dasar KPK.

3. KPK hanya berlaku untuk kata tunggal, bukan kata kompleks atau lebih kecil dari kata.

4. Input dan output dari KPK harus termasuk dalam kategori sintaktik utama seperti nomina, verba dan sebagainya.

Uraian yang di atas ini menunjukkan bahwa pembentukan kata menurut Aronoff terdiri dari komponen leksikal sehingga aksesnya hanya kepada apapun

Daftar morfem KPK Saringan Kamus

Sintaksis Fonologi

(22)

yang ada pada leksikon dan tidak kepada komponen fonologi maupun komponen sintaktik. Pendapat seperti yang dikemukakan Aronoff di atas ini tidak dapat diterapkan pada data BI yang berasal dari BA, sebab dalam BI yang berasal dari BA ditemukan kata tunggal, bentuk terikat dan kata berafiks sebagai dasar pembentukan kata, karenanya konsep Aronoff tentang ihwal pembentukan kata tidak dapat diacu sepenuhnya dalam penelitian ini.

Konsep Halle tentang unit dasar pembentukan kata seperti dijelaskan sebelumnya juga tidak dapat diterapkan dalam penelitian ini karena ia berpendapat morfem sebagai unit dasar pembentuk kata sedangkan Aronoff berpendapat kata sebagai unit dasar pembentukan kata. Walaupun kedua pakar ini berbeda pendapat tentang pembentukan kata tetapi mereka memiliki kesamaan pendapat bahwa morfem dapat dilihat melalui wujudnya dan bukan arti (prinsip recognizability).

Perbedaan lain yang ditemukan adalah Aronoff menempatkan kata pada tempat yang berbeda. Kata terdaftar pada leksikon (kamus) sedangkan afiks terdapat pada komponen KPK. Kamus memiliki informasi kategorial (seperti nomina, verba) sedangkan afiks hanya memiliki informasi relasional. Misalnya dalam bahasa Inggris ditemukan afiks {–able} yang dapat bergabung dengan verba seperti readable tetapi afiks tersebut tidak dapat bergabung dengan nomina atau adjektiva seperti *paperable atau *sickable. Penjelasan tentang afiks hanya memiliki informasi relasional dan kata harus memiliki informasi kategorial menunjukkan keduanya (afiks dan kata) ditempatkan dalam dua komponen yakni list of morphemes (Daftar Morfem = DM) dan word formation rules (Kaidah Pembentukan Kata = KPK). Begitu pula halnya dengan afiks infleksional dan afiks derivasional, keduanya tidak dapat dimasukkan ke dalam satu komponen karena keduanya memiliki representasi yang berbeda dalam membentuk kata. . KPK yang diajukan Aronoff ini juga sangat peka terhadap ciri sintaktis dan ciri fonologis. Kepekaan ini dapat ditemukan pada setiap morfem/kata yang berakhir dengan vokal /i/. Dardjowidjojo (1988:55) memberi contoh dengan adanya kata dasar kali di dalam bahasa Indonesia yang jika dilekatkan dengan

(23)

membendung (blocking) dengan maksud mencegah munculnya suatu kata karena sudah ada kata lain yang mewakilinya. Sewaktu terjadinya proses pembentukan kata di KPK, bentuk dasarnya tidak harus selalu berasal dari DM, tetapi bentuk dasar itu dapat pula berasal dari kamus yang berupa bentuk kompleks setelah lulus dari komponen KPK dan komponen saringan. Misalnya, ziarah diproses di KPK menjadi menziarahi. Bentuk ini setelah lulus melewati saringan dapat dimasukkan kembali ke dalam kamus dan menjadi dasar pembetukan kata berikutnya menjadi penziarah.

Pendapat Aronoff ini tidak menunjukkan adanya komponen khusus untuk menangani kata-kata yang potensial dalam bahasa tetapi ia memiliki mekanisme blocking yakni suatu mekanisme yang mencegah munculnya suatu kata karena telah ada kata lain yang mewakilinya dan ia memberi contoh dengan adanya bentuk adjektiva yang memiliki afiks {-ous} dalam bahasa Inggris yang terdapat pada kata furious dan glorious yang sudah memiliki nomina abstrak fury dan glory. Melalui kedua kata itu tidak mungkin dapat dibentuk lagi nomina lain dengan menggunakan afiks {-ity} menjadi *furiosity dan *gloriousity. Kata-kata yang sewaktu terjadi penambahan afiks mengalami perubahan wujud dengan kata dasar harus ditampung dengan aturan yang disebutnya Aturan Penyesuaian (AP) atau adjusment rule. Misalnya dalam bahasa Inggris ditemukan kata dasar nominate dan di dalam bahasa Indonesia ditemukan kata punya. Kedua kata ini tidak berubah menjadi *nominatee dan memunyai tetapi berubah menjadi nominee dan mempunyai. AP memiliki dua aturan, yang digunakan untuk menghapus morfem akhir dari suatu kata dasar apabila suatu akhiran tertentu ditambahkan pada kata dasar ini, yaitu (1) aturan pemenggalan (truncation rule) dan (2) aturan alomorf (allomorph rule). Misalnya:

[[akar kata + A] X + B] Y

1 2 3 1 ∅ 3

dimana X danY adalah kategori leksikal utama.

Kata nominee misalnya diturunkan melalui langkah-langkah Kamus : [nomin + ate]

(24)

A.Pemenggalan: Keluaran: [nominee]

Aturan pemenggalan yang tertera di atas ini adalah aturan pemenggalan yang proses kondisi pembentukan katanya adalah morfologis (Morphological Conditioned).

Dardjowidjojo (1988:57) juga mengusulkan adanya empat komponen yang integral dalam morfologi generatif, yaitu (1) daftar morfem (2) kaidah pembentukan kata (KPK) (3) saringan dan (4) kamus. Ia memodifikasi model Halle yang digambarkan oleh Scalise dalam komponen DM. Dardjowidjojo memisahkan bentuk bebas dan bentuk terikat yang keduanya dapat dipakai sebagai dasar penurunan kata. Tujuannya adalah untuk menampung bentuk terikat seperti morfem prakategorial. Pemisahan kedua bentuk ini mempunyai konsekuensi morfologis dan sintaktik Maksudnya hanya bentuk bebaslah yang memiliki kategori dan subkategori sintaktik. Bentuk terikat dapat memiliki kategori sintaktik apabila telah mengalami proses afikasasi. Hal itu terbukti dengan adanya bentuk dasar di dalam bahasa Indonesia yang statusnya belum jelas seperti bentuk temu, selenggara dan juang. Bentuk-bentuk tersebut statusnya belum jelas dan akan memiliki status sebagai kata setelah mendapat afiks tetapi dapat masuk dalam DM. Kata tersebut setelah mendapat imbuhan statusnya jelas, apakah menjadi kata kerja atau kata benda. Misalnya bertemu, menemui, menemukan, mempertemukan, pertemuan, penemuan, penemu, penyelenggara, menyelenggarakan dan sebagainya. Adapun model yang diusulkan oleh Dardjowidjojo sebagai berikut:

DM APK Saringan Kamus Kata Dasar a b c d g Bebas Terikat

(25)

Diagram 4 : Model Alur Pembentukan Kata Dardjowidjojo

Melalui jalur A setiap bentuk bebas dapat langsung diproses langsung ke kamus. Bentuk-bentuk bebas yang mengalami proses di KPK ditempatkan di jalur B. Bentuk kata yang terkena idiosinkresi ditempatkan di jalur C. Misalnya kata permandian dan mengawini. Kata permandian merujuk pada suatu ucapan keagamaan dimana ada air terlibat dalam pengguyuran tetapi tidak benar-benar dalam wujud mandi, sedangkan kata mengawini dalam budaya kita pada umumnya dilakukan oleh pelaku pria. Bentuk potensial yang tidak ada dalam pemakaian bahasa sehar-hari tetapi suatu saat mungkin akan terpakai maka dilakukan melalui jalur d -g kemudian disimpan di dalam kamus dengan memberikan tanda *.

Bentuk-bentuk yang tidak berterima seperti * berjalani dan * melukisan melalui jalur d-h tidak dapat masuk ke dalam kamus tetapi tertahan pada komponen saringan. Bentuk e -i berisi kata turunan yang berasal dari bentuk terikat, seperti juang .dan tertahan di saringan. Jalur f dipecah menjadi dua yaitu f-j dan f-k. jalur f-j digunakan untuk kata yang tidak memiliki idiosinkresi dan jalur f- k digunakan untuk bentuk yang mengalami idiosinkresi seperti pegolf yang tertahan di saringan karena alasan fonologi dan berjuang yang tertahan di saringan karena alasan semantik.

Uraian di atas menunjukkan bahwa Dardjowidjojo tidak hanya menggunakan unsur linguistik sebagai alat untuk menyaring kata di saringan,

A f i k s

(26)

tetapi ia juga menggunakan unsur budaya dan agama. Saringan bertugas untuk meluluskan bentuk yang nyata ada (real word) dan bertugas untuk membendung bentuk-bentuk yang tidak nyata dan menyalahi KPK.

Berbicara tentang bentuk-bentuk potensial ( potensial word), berarti kita juga berbicara tentang pembentukan kata-kata baru. Katamba (1993: 69-72) menjelaskan dalam kaitannya dengan produktivitas pembentukan kata sebagai berikut: “suatu proses dikatakan produktif jika proses yang dimaksud terjadi secara umum yang mencakup banyak kata dan membentuk kata baru, dalam hal ini tidak diberikan konsep semi produktif yang layak diakui karena dalam prakteknya sulit sekali untuk menentukan proses pembentukan kata mana yang tergolong semi produktif.

Adapun Mathews (dalam Katamba, 1993:71) mengakui adanya kategori khusus terkait dengan ikhwal pembentukan kata ini. Mathews memberi label kategori khusus terkait dengan istilah semi produktif yang mencakup idiosinkresi afiks-afiks yang tidak dapat dijelaskan atau tidak bisa dipahami secara pasti terhadap kemunculan bentuk yang dapat dipilih. Lebih jauh afiks-afiks yang digunakan pada proses pembentukan kata tersebut, memiliki makna yang tidak dapat diprediksi. Hal-hal yang berkaitan dengan kreativitas pembentukan kata-kata baru dalam tulisan ini merujuk pada Katamba, sebab konsep Mathews sulit dipahami. Artinya Mathews sendiri tidak membuat konsep yang pasti memgenai semi produktif tersebut.

Selanjutnya dalam hal yang berkaitan dengan bentuk-bentuk potensial Katamba (1993:65) memberitahukan bahwa satu tujuan morfologi adalah tidak hanya memahami dan membentuk kata yang ada (real) dalam bahasa mereka tetapi bagaimana juga mereka membentuk kata-kata potensial yang tidak mereka gunakan pada saat mereka berujar. Secara tipikal, penutur suatu bahasa tidak semata-mata mengembalikan (recycle) kalimat-kalimat yang sudah dihapal dari percakapan sebelumnya, tetapi lebih dari itu yakin mereka cenderung untuk membentuk kalimat baru (fresh sentences) dengan maksud mengarahkan peristiwa percakapan. Misalnya sebagai berikut:

(27)

1. …Oleh karena itu dalam mabhas majalah dipaparkan sejumlah perbedaan antara asuransi konvensional dan taawun. (Majalah As-Sunnah, Hal.1, Edisi 08/tahun XII/1428 H/2007 M).

2. …Zakat dapat mentaharahkan diri dan harta. (Republika, 15 September 2009).

3. …Marhabanan itu akan dilaksanakan di Masjid Agung. (Waspada, 26 Desember 2009).

Kata mabhas (contoh 1), mentaharahkan (contoh2), dan marhabanan (contoh 3) adalah bentuk-bentuk potensial dan telah menjadi kata-kata aktual yang terbukti telah digunakan oleh penutur bahasa Indonesia yang digunakan secara tertulis dalam majalah As-Sunnah, surat kabar Republika dan Waspada. Hal ini membuktikan bahwa apa yang dikatakan Katamba memang benar bahwa salah satu tujuan teori morfologi adalah tidak hanya memahami dan membentuk kata yang ada (real) dalam bahasa mereka, tetapi bagaimana juga mereka membentuk kata-kata potensial yang tidak mereka gunakan pada saat mereka berujar.

Ia menambahkan bagaimanapun penutur suatu bahasa memiliki kemampuan untuk memperluas jumlah stok kata-kata secara idiomatik dengan menyusun kata-kata tanpa mengikuti dengan cermat aturan standart pembentukan kata. Misalnya dalam bahasa Inggris ditemukan kata stool pigeon’ informan polisi’. Kata bentukan ini secara semantis tidak bisa diprediksi maknanya. Artinya, penutur suatu bahasa tertentu bisa saja membentuk / menambah jumlah kata secara idiomatik tanpa harus terjebak atau mengikuti aturan standard pembentukan kata. Suatu hal yang perlu disadari oleh linguis adalah bahwa bahasa memiliki keistimewaan cara tersendiri yang diperantarai oleh penuturnya (misalnya bahasa Indonesia), tetapi besar kemungkinannya terdapat pula pada bahasa-bahasa besar di dunia lainnya adalah fakta pemakaian unsur-unsur kebahasaan yang sifatnya campuran (mix typed). Dikatakan demikian karena unsur-unsur di dalamnya merupakan campuran antara aspek-aspek kebahasaan sebagai warga bangsa tertentu dengan bangsa lain yang memang bertemu dan terus bercampur. Jadi kata-kata yang ada di dalamnya bisa bercampur, bunyi bahasanya bercampur dan pada akhirnya kaidah ketatabahasaannya bisa bercampur pula.

(28)

Sejalan dengan uraian di atas, maka salah satu usaha untuk mengembangkan dan membina bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa ilmu pengetahuan seiring dengan perkembangan dan kebutuhan pemakaian bahasa diusulkan bentuk-bentuk potensial BI yang berasal dari BA yang akan diluluskan di saringan sebagai berikut:

1. bertaawun ‘tolong menolong’, dalam kalimat: Kita harus bertaawun untuk mencapai kesuksesan bersama.

2. bermuhasabah ‘berintrospeksi diri’, dalam kalimat: Mari kita bermuhasabah agar menjadi lebih baik di tahun yang akan datang.

3. bertaawuz ‘minta perlindungan’, dalam kalimat: Mari kita bertaawuz kepada Allah dari segala macam cobaan’

4.. berjaulah ‘berjalan berkeliling melawat dari rumah ke rumah untuk mendengar pengajian’, dalam kalimat: Anggota pengajian itu berjaulah sesama mereka seminggu sekali.

5. mengumrahkan ‘memberi biaya umrah’, dalam kalimat: Mantan calon gubernur itu sering mengumrahkan ibu-ibu pengajian

6. membadalhajikan ‘menggantikan melakukan ibadah haji untuk orang lain’, dalam kalimat: Dia membadalhajikan ibunya yang telah meninggal dunia. 7. mentabayunkan ‘mengkonfirmasi’, dalam kalimat: Sehari sebelum

keberangkatan, para penumpang pesawat harus mentabayunkan keberangkatannya.

8.Tartilan ‘kumpulan orang yang membaca Alquran dengan bagus secara berganti-ganti’, dalam kalimat: Siswa pesantren itu tartilan di sore hari.

9. Tausiahan ‘Pelaksanaan tausiahan atau memberi pesan keagamaan yang disampaikan oleh seseorang (da‘i) ’, dalam kalimat: Tausiahan oleh Da’i Zainudin MZ sedang berlangsung di Majid Raya Medan.

10. marhabanan ‘pelaksanaan acara marhaban’, dalam kalimat: Marhabanan di Asrama Haji itu dihadiri juga oleh pejabat-pejabat penting.

Kata bertaawun, bermuhasabah, bertaawuz, berjaulah, mengumrahkan, membadalhajikan, mentabayunkan, tartilan, tausiahan, dan marhabanan

(29)

Indonesia karena berdasarkan pada KPK (Kaidah Pembentukan Kata). Kata-kata tersebut memenuhi syarat yang dikriteriakan oleh kaidah pembentukan. Hanya saja mungkin kata-kata ini belum banyak dipakai di kalangan penutur bahasa Indonesia. Fakta-fakta kebahasaan di atas ini terlahir secara sepontan melalui media bahasa tulis dan lisan dan sebagian dari kata-kata tersebut kedengarannya lebih santun. Hal ini memang sudah menjadi sifat bahasa yakni selalu berkembang. Ini juga membuktikan bahwa apa yang dikatakan oleh Katamba memang benar bahwa salah satu tujuan teori morfologi adalah tidak hanya memahami dan membentuk kata yang ada (real) dalam bahasa mereka tetapi bagaimana juga mereka membentuk kata-kata potensial yang tidak mereka gunakan pada saat mereka berujar. Secara tipikal, penutur suatu bahasa tidak semata-mata mengembalikan kalimat-kalimat yang sudah dihapal dari percakapan sebelumnya, tetapi lebih dari itu mereka cenderung untuk membentuk kalimat baru dengan maksud menyetel / mengarahkan peristiwa percakapan.

Berbicara tentang bentuk-bentuk potensial, produktivitas dan kreativitas kata, Katamba (1993:84) mengatakan, bagaimanapun penutur suatu bahasa memiliki kemampuan untuk memperluas stok kata-kata secara idiomatik dengan menyusun kata-kata tanpa mengikuti dengan cermat aturan standar pembentukan kata. Dia memberi contoh dengan adanya kata stool pigeon dalam bahasa Inggris yang artinya ‘informan polisi ’ dan redlegs ‘orang kulit putih miskin’ di Tobago. Kata majemuk seperti stool pigeon merupakan kata bentukan yang secara semantis tidak bisa diprediksi maknanya. Artinya, penutur suatu bahasa tertentu bisa saja membentuk / menambah jumlah kata secara idiomatik tanpa harus terjebak aturan standar pembentukan kata.

Berdasarkan uraian yang ada, penulis merujuk ke teori yang dimodifikasi oleh Dardjowidjojo (1988) dari teori Halle (1973) dan Aronoff (1976) dan akan disesuaikan dengan penelitian ini. Selain itu digunakan pula Chaiyanara (2006). Pemilihan kepada teori yang dimodifikasi oleh Dardjowidjojo dkk tersebut dilakukan dengan alasan pemenggalan morfem yang dilakukan oleh Halle tidak sesuai dengan kenyataan morfem yang ada di dalam BI yang berasal dari BA dan Aronoff yang berpendapat bahwa dasar pembentukan kata adalah kata sementara

(30)

keduanya berpendapat bahwa morfem tidak memiliki makna, dengan demikian diagram model pembentukan kata oleh Halle (1973) dan Aronoff (1976) di atas akan disesuaikan menurut kepentingan penelitian ini menjadi diagram 5 berikut ini.

Diagram 5: Revisi Model Pembentukan Kata Halle & Aronoff mengikut Sukri (2007:85)

Revisi model pembentukan kata di atas disesuaikan dengan sifat penelitian ini selanjutnya dibuat kerangka teoritis pembentukan kata BI yang berasal dari BA seperti terlihat dalam diagram 5 berikut ini.

Penyesuaian diagram di atas ini dilakukan dengan alasan sebagai berikut: 1. Daftar morfem berisi bentuk bebas, bentuk terikat dan afiks. KPK memeroses

bentuk–bentuk tersebut sehingga menghasilkan kata kompleks dan lulus di saringan lalu masuk ke kamus. Bentukan yang lulus menjadi anggota kamus dapat diproses kembali dalam KPK dan menjadi angggota kamus kembali serta menjadi emberio dalam pembentukan sintaksis. Misalnya kata /khatam/ yang berubah menjadi /khataman/ telah lulus melewati saringan (filter) dapat masuk ke kamus, kemudian diproses kembali di KPK menjadi dasar pembentukan kata berikutnya menjadi [[pəN- + [khatam]] → [pəηΧataman], dalam hubungan ini pembentukan kata melalui mekanisme morfosintaksis terjadi karena persinggungan antar morfem dapat mempengaruhi kategori sintaksis suatu bentuk.

2. Bentuk dasar dari KPK adalah kata seperti yang dikemukakan Aronoff tidak dapat digunakan sepenuhnya di sini karena bentuk dasar BI dari BA ada yang

BP Daftar

Morfem KPK Filter Kamus

Sintaksis Fonologi

Keluaran

(31)

pula bentuk dasar yang terdiri dari bentuk terikat seperti /silah/ dan /rabiu/. Bentuk /silah/ hanya dapat bermakna apabila dilekatkan pada bentuk /rahim/ menjadi /silaturahim/, sementara bentuk /rabiu/ dapat bermakna apabila dilekatkan pada kata /awal/ menjadi /rabiulawal/.

3. Afiks di dalam BI dari BA dimasukkan ke dalam DM sebagai sub kelompok tersendiri, sementara afiks baik derivasional maupun infleksional secara sejajar dimasukkan ke dalam DM menurut Halle dan menurut Aronoff dimasukkan ke dalam KPK dengan fungsi relasional.

4. Garis putus-putus yang terdapat pada bentuk potensial dari arah filter menuju kamus menunjukkan bahwa bentuk potensial (BP) itu suatu saat akan muncul di dalam fenomena kebahasaan misalnya, kata /marhabanan/ ‘pelaksanaan acara marhabanan’, /syawalan/ ‘menghadiri acara hari raya syawalan’ dan /mentaharahkan/ ‘mensucikan atau membersihkan’

(32)

Diagram 6: Kerangka Teoretis Pembentukan Kata BI dari BA Modifikasi Halle dan Dardjowidjojo

PEMBENTUKAN KATA BI DARI BA Reduplikasi

Tipologi Morfologis BI dari BA Afiksasi

Bebas, terikat, afiks

Komposisi

Pembentukan Kata BI dari BA (Morfologi Generatif) Daftar Morfem Kata Pangka (Kp) Afiks Kp Bebas Kp Terikat KPN, KPV, KPAdj, KPAdv Berterima Tak Berterima Proses Morfofonemik Struktur Asal

Asimilasi Struktur Lahir Idiosinkresi (Btk-btk Potensial) Fonologi Leksikal Semantik Kata, Makna dan

Ciri-cirinya

Output : Temuan Penelitian dan Simpulan Kaidah

Pembentukan Kata

Saringan

Kamus

(33)

Lanjutan diagram : 6

2.2 Konsep Dasar

Yang dimaksud dengan konsep dasar di sini adalah konsep dasar yang memberikan penegasan atas beberapa ide yang terkait dalam penelitian ini. Konsep-konsep yang dimaksud dijadikan sebagai definisi operasional dan juga dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap beberapa ide yang terkait dengan penelitian ini.

2.2.1 Morfem

Berbagai pendapat tentang morfem telah diberikan oleh pakar bahasa. Morfem adalah bentuk terkecil yang bermakna yang tidak dapat dibagi atas bagian yang lebih kecil lagi (Keraf:1984:70, Kridalaksana:1985:110, Alwasilah:1994:150-162 dan Kusno:1985:20). Kelihatannya beberapa pendapat pakar ini tentang morfem berbeda dengan pandangan Ramlan (1990: 10) yang

Fonologi Leksikal Semantik

/mensirkan/ ‘merahasiakan, menyembunyikan’ /meraswah/ ‘memberi uang suap (menyogok)’

/sekaten/ (berasal dari bahasa Arab syahadatain) ‘upacara yang dilakukan pada bulan maulid dalam rangka memperingati maulid nabi dan bentuk acaranya mengeluarkan serta memainkan gamelan peninggalan kraton Jogjakarta di halaman Mesjid Raya Jogjakarta disertai acara pasar malam’

(34)

mengatakan bahwa morfem adalah bentuk tunggal baik bebas maupun terikat. Perbedaan ini tampak pada adanya kekhususan bagi morfem itu sendiri yaitu bentuk bebas dan bentuk terikat. Sementara Samsuri (1981:170) mengatakan morfem sebagai komposit bentuk pengertian terkecil yang sama atau mirip yang berulang. Pendapat ini juga berbeda dengan pendapat tentang morfem yang ada di atas karena morfem ini dikaitkan dengan adanya aspek mirip dan berulang.

Pernyataan yang hampir sama dinyatakan oleh Katamba (1993:24-44) bahwa morfem adalah perbedaan terkecil mengenai bentuk kata yang berhubungan dengan perbedaan terkecil mengenai makna kata atau makna kalimat atau dalam struktur gramatikal. Ia menambahkan suatu morf merupakan bentuk fisik yang mewakili beberapa morfem dalam suatu bahasa. Adapun O’ Grady dan Dobrovolsky (1989:91) mengatakan bahwa morfem adalah satuan-satuan bahasa terkecil yang bermakna yang bersifat arbitrer dan berarti hubungan antara bunyi dari suatu morfem dengan maknanya sama sekali bersifat konvensional, bukan pada obyek yang diwakilinya.

Definisi morfem yang lain juga dikemukakan oleh Nida (1962:6) yang mengatakan ” morphemes are the minimal meaningful units which may constitute word or part of word” dan Hocket (1970:123) memberi batasan morfem dengan “ morphemes are the smallest individually meaningful elements in the utterances of a language”. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia sbb:”morfem adalah unsure atau satuan terkecil yang memiliki arti yang dapat berwujud kata atau bagian kata”. Masih mengenai definisi morfem, Verhaar (2000: 97-98) membagi morfem ke dalam dua jenis yakni morfem bebas dan morfem terikat. Lebih jauh Verhaar membagi morfem menurut bentuknya secara linear ke dalam dua macam, yakni morfem segmental dan morfem suprasegmental. Morfem segmental seperti pengafiksasian, pengklitikan, pemajemukan, dan pengulangan. Morfem segmental hanya dicontohkan dengan kata bahasa Inggris tak teratur untuk jamak foot adalah feet. Data ini dikatakan sebagai morfem ganda atau polimorfemis, akan tetapi, morfem jamak tidak tampak secara segmental, yang ada hanyalah morfem segmental foot dan perubahan fonem /u – i/. Adapun Bauer (1988: 13-17)

(35)

Jadi, inti pernyataan Bauer adalah bentuk itu dapat dipilah-pilah (take a part) untuk memperlihatkan unsur-unsur konstituennya. Beberapa pendapat pakar tentang definisi morfem di atas menunjukkan prinsip yang sama, hanya cara penyampaian dan sudut pandang yang digunakan berbeda. Jadi batasan-batasan tersebut dapat saling melengkapi antara satu dengan yang lain.

Senada dengan hal di atas Lyons (1971:182) menjelaskan bahwa morfem akar merupakan hal yang menjadi dasar bagi pembentukan kata dengan kategori lain sementara Nida (1962:99-100) mengatakan akar merupakan inti sebuah kata. Adapun Elson dan Pickett (1983:69) mengatakan “ in general, roots are single morphemes which carry the ‘basic meaning’ of the words; a root the core of a word’. Keduanya menambahkan, “ Another trem for the core part of the word is stem. At this stage we use the term root and stem interchangeably when they refer to single morphemes. The difference is that a root always refers to a single morpheme while a stem may be either a root (single morpheme) or consist of several morphemes. “Lain halnya dengan Palmer (1996:55) dalam membahas akar kata, ia membedakan morfem dasar, bentuk dasar dan pangkal. Morfem dasar biasanya digunakan sebagai dikotomi dengan morfem afiks. Jadi, bentuk seperti {juang}, {meja} dan {kaki} adalah morfem dasar. Morfem dasar pun ada yang berupa morfem terikat seperti {henti} dan {abai}dan ada pula yang termasuk morfem bebas seperti {datang} dan {pulang}. Adapun morfem afiks semuanya termasuk morfem terikat.

Katamba (1993:45) menjelaskan bahwa stem adalah bagian dari kata yang kemunculannya sebelum adanya tambahan afiks infleksi. Misalnya kata cats memiliki sufiks {-s} penanda jamak sebagai sufiks yang bersifat inflektif. Sufiks {-s} ini dilekatkan pada stem cat yang merupakan bare root (inti kata yang tidak bisa diurai lagi), sedangkan kata yang lain seperti worker terdiri dari work sebagai root dan worker sebagai stem, dengan kata lain semua root adalah base. Uraian Katamba ini menunjukkan bahwa stem dapat muncul dengan satu kondisi bahwa kata yang akan dilekati oleh stem tersebut belum mendapat afiks infleksi apabila kata yang dimaksud sudah mendapat tambahan afiks infleksi maka kehadiran ataupun kelakatan stem tidak diizinkan. Senada dengan hal ini Sibarani (2002:7-8)

(36)

menjelaskan bahwa root, stem, dan base adalah istilah-istilah yang digunakan di dalam literatur untuk menunjukkan bagian kata yang tetap tinggal pada saat semua afiks dibuang.

Afiksasi atau pengimbuhan merupakan pembentukan kata dengan membubuhkan afiks atau imbuhan pada morfem dasar, baik morfem dasar bebas maupun morfem dasar terikat. Samsuri (1981:188) menyebut morfem dasar bebas dengan istilah akar dan pangkal atau pokok.

Dilihat dari distribusinya, afiks dapat dibagi menjadi prefiks, infiks, sufiks dan berdasarkan cara melekatnya afiks tersebut, apakah afiks itu dilekatkan secara bersama-sama atau tidak bersama-sama disebut dengan konfiks dan kombinasi afiks (Pateda: 2002:54); prefiks, infiks , sufiks, konfiks (ambifiks-simulfiks) (Verhaar:2000:61), prefiks, infiks, sufiks, konfiks, dan transfiks (Matthews:1978:77). Berikutnya ada juga istilah ambifiks, sirkumfiks, simulfiks, superfiks atau suprafiks, dan kombinasi afiks (Kridalaksana:1996:28-31).

Selain membagi afiks dari distribusinya, pembagian afiks dalam penelitian ini juga dilakukan dengan cara melihat bagaimana unit-unit lain dapat berfungsi untuk mengubah bentuk katanya. Pembagian afiks juga dikaitkan dengan proses infleksi dan derivasinya. Afiks infleksi adalah afiks yang mampu menghasilkan bentuk-bentuk kata yang baru dari leksem dasarnya sedangkan afiks derivasional adalah afiks yang menghasilkan leksem baru dari leksem dasar. Misalnya kata recreates dapat dianalisis terdiri atas sebuah prefiks re-, sebuah akar create, dan sebuah sufiks –s. Prefiks re- membentuk leksem baru recreate dari bentuk dasar create, sedangkan sufiks -s membentuk kata yang lain dari leksem recreate. Jadi prefiks re-bersifat derivasional, sedangkan sufiks –s bersifat infleksional.

Perbedaan antara pembentukan secara derivasional dan infleksional diuraikan oleh Nida dalam Subroto (1985:269) yang mengatakan bahwa pembentukan derivasional termasuk jenis kata yang sama dengan kata yang tunggal (yang termasuk sistem jenis kata tertentu) seperti singer ‘penyanyi’ (nomina) yang berasal dari verba to sing ‘menyanyi’; sedangkan pembentukan infleksional tidak, misalnya verba polimorfemis walked tidak termasuk

(37)

morfologi bahasa Inggris. Secara statistik afiks derivasional lebih beragam misalnya dalam bahasa Inggris terdapat afiks-afiks pembentuk nomina: -er, -ment, -ion, -ation, -ness, sedangkan afiks infleksional dalam bahasa Inggris kurang beragam {-s} dengan segala variasinya, {-ed1}, {-ed2}, dan {-ing}. Afiks derivasional dapat mengubah kelas kata sedangkan afiks infleksional tidak. Samsuri (1981:199) mengungkapkan bahwa di dalam bahasa Eropa utamanya Inggris pengertian derivasi dan infleksi dapat dikenakan secara konsisten. Berbeda halnya di dalam bahasa Indonesia, kata menggunting termasuk derivasi, sedangkan membaca dan mendengar adalah infleksi, oleh sebab itu pengertian derivasi dan infleksi tidak dapat diterapkan secara konsisten di dalam bahasa Indonesia. Hal ini sejalan dengan pendapat Subroto (1985:268) yang mengatakan pembedaan afiks derivasi dan infleksi tersebut tampaknya masih meragukan untuk diterapkan pada bahasa Indonesia yang tergolong bahasa aglutinasi. Selanjutnya Sibarani (2002:38-39) mengatakan bahwa morfem derivasional dapat menciptakan kata-kata baru dari kata-kata yang ada dengan dua cara. Pertama, morfem derivasional tersebut dapat mengubah kelas kata seperti kata ripe (adj) yang berubah menjadi ripen (verb) dan kedua morfem derivasional tersebut dapat mengubah makna kata seperti happy menjadi unhappy (bandingkan dengan Chaer, 1994:194 dan Walley 1997:96). Morfem infleksional adalah morfem terikat yang menciptakan bentuk lain dari kata yang sama dengan cara tidak mengubah kelas kata dan maknanya tetapi hanya memberikan informasi gramatikal tambahan tentang makna kata yang sudah ada, seperti cat dan cats. Morfem plural S berisi informasi tambahan bahwa ada lebih dari satu kucing. Ia juga mengatakan dalam bentuk nominal morfem infleksional berfungsi menandakan fungsi gramatikal seperti jumlah dan milik sedangkan dalam bentuk verba menandakan kala sementara pada bentuk adjektiva menunjukkan kepada tingkatan.

Selanjutnya pengkajian afiks juga digolongkan ke dalam morfem produktif dan yang tidak produktif. Menurut Pateda (2002:54) afiks produktif adalah afiks yang memiliki kesanggupan besar untuk dilekatkan pada morfem yang lain yang menghasilkan kata yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dan afiks

(38)

inproduktif adalah afiks yang tidak memiliki kesanggupan untuk dilekatkan pada morfem yang lain untuk membentuk kata yang berfungsi dalam ujaran. Bauer (1983:87) menjelaskan produktivitas melalui pola pembentukan kata yang secara sistematis dapat digunakan oleh pemakai bahasa untuk membentuk kata-kata baru yang jumlahnya tidak terbatas dan kata-kata baru tersebut diterima dan dipakai oleh para pemakai bahasa lainnya secara sepontan tanpa kesukaran. Sementara Subroto (1985:95) mengemukakan bahwa cara untuk menentukan prosedur produktif ialah jumlah. Selanjutnya Katamba (1993:65-72) memberikan gambaran tentang masalah produktivitas menyangkut perluasan leksikon yang tiada henti-hentinya.

2.2.2 Kata

Berbagai pendapat tentang kata dapat dilihat pada uraian di bawah ini. Lyons (1971:197) menyatakan bahwa kata mengacu ke unit-unit bahasa terkecil yang sifatnya fonologis atau ortografis. Lebih lanjut Halliday, sebagaimana dikutip Kridalaksana (1996:36) menyebutkan bahwa kata dipandang sebagai satuaan yang lebih konkrit.

Crystal (1980:383-385) mengemukakan bahwa kata adalah satuan ujaran yang mempunyai pengenalan intuitif universal oleh penutur asli, baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Ada beberapa kesulitan untuk sampai kepada pemakaian yang konsisten dari istilah itu dalam kaitannnya dengan kategori-kategori lain dari pemerian linguistik, dan dalam perbandingan, bahasa-bahasa yang mempunyai tipe struktural yang berbeda. Masalah ini terutama yang berhubungan dengan identifikasi dan definisi kata, ketentuan-ketentuan batas kata maupun status. Definisi kata yang umum sebagai satuan makna adalah gagasan yang tidak membantu karena kesamaran konsep. Selanjutnya ia membuat perbedaan teoretis tentang makna utama kata sebagai berikut.

Kata adalah satuan yang dapat didefinisikan secara fisik yang dijumpai dalam suatu rentang tulisan (yang dibatasi oleh spasi) atau bicara (dimana

(39)

mengidentifikasi batas-batas, seperti kesenyapan atau ciri-ciri jeda). Kata dalam makna ini dirujuk sebagai kata ortografis (untuk tulisan) atau kata fonologis (untuk bicara). Istilah netral yang sering digunakan bagi keduanya adalah bentuk kata (word form).

Ada suatu makna yang lebih abstrak, yang merujuk kepada faktor umum yang mendasari himpunan bentuk yang sama, seperti walk, walks, walking dan walked. Satuan kata mendasar itu sering dirujuk sebagai suatu leksem. Leksem adalah satuan kosakata yang didaftarkan dalam kamus. Hal ini mengharuskan penetapan bagi suatu satuan yang abstrak untuk memperhatikan bagaimana kata-kata beroperasi dalam tatabahasa suatu bahasa, dan kata-kata, tanda modifikasi, biasanya disiapkan untuk peran ini. Kata adalah satuan gramatikal dari jenis teoretis yang sama seperti morfem dan kalimat. Menurut model analisis hierarkis kalimat (klausa) terdiri atas kata dan kata terdiri atas morfem.

Sejalan dengan hal di atas Subroto (dalam Dardjowidjojo, 1981:268) mengemukakan bahwa ada kekaburan mengenai istilah kata, akibatnya dibuat beberapa perbedaan teoretis yang pada akhirnya kata mempunyai tiga pengertian makna seperti yang dikemukakan oleh Mathews (1978:22-30) seperti di bawah ini: (a) kata adalah apa yang disebut kata fonologis atau ortografis, maksudnya adalah bahwa kata semata-mata didasarkan atas wujud fonologis atau wujud ortografisnya. Ia memberi contoh dengan kalimat pembuka syair Yeats : That is no country for old men. Kalimat dalam syair ini terdiri dari tujuh kata, yakni that, is, no, country, for, old, dan men. Setiap kata dibangun dari sejumlah variasi huruf atau fonem. Misalnya, kata that terdiri atas huruf t, h, a, t, dst. Kata country secara fonetik dapat dibagi menjadi [k^N] dan [tri] dengan penekanan pada silabe pertama. Pembagian-pembagian seperti inilah yang disebut kata dalam istilah unit fonologis (word in terms of phonological units), (b) kata adalah apa yang disebut leksem dan (c) kata adalah apa yang disebut dengan kata gramatikal dan Subroto menjelaskan kata menurut pengertian (b) dan (c) ini berhubungan dengan konsep derivasi dan infleksi, sehingga apabila kita berbicara mengenai konsep leksem tidak dapat dipisahkan dari konsep derivasi dan infleksi.

(40)

Kata dalam pengertian (b) juga bermakna unit abstrak, maksudnya kata bukan dalam bentuk realisasinya atau bentuk nyatanya. Misalnya, kata “try”, dalam realisasinya kata ini dapat berbentuk “ try” dalam kalimat I try to do it, tries, dalam kalimat he tries to do it dan tried dalam kalimat He tried to do it yesterday. Dalam bahasa Latin, kata amo ‘love’ dapat direalisasikan sebagai amo ‘I love’, omas ‘you love’, amot ‘he loves’, dan amawi ‘I have loved’. Kata try dan amo serta realisasinya disebut dengan leksem. Salah satu di antara definisi tentang leksem adalah sebagai berikut :

“leksem adalah unit abstrak. Leksem dapat muncul dalam banyak bentuk yang berbeda di dalam tuturan atau bahasa tulisan, dan dianggap sebagai leksem yang sama meskipun dalam infleksif. Misalnya dalam bahasa Inggris, semua bentuk-bentuk infleksif seperti give, gives, given, giving, gave, termasuk ke dalam satu leksem give. Demikian pula halnya dengan ungkapan-ungkapan burry the hatchet, hammer and tongs, give up, and white paper dianggap sebgai leksem tunggal. Dalam kamus, setiap leksem hendaknya merupakan entri tersendiri”. (Richards dalam Parera, 1988 : 117).

Berkaitan dengan hal di atas, sebuah morfem dapat menjadi sebuah leksem, sebuah kata dapat menjadi sebuah leksem, dan sebuah frasa yang telah menjadi ungkapan yang idiomatispun dapat menjadi sebuah leksem. Leksem dapat dikatakan sebagai bentuk bahasa terkecil pendukung makna yang erat kaitannya dengan ide dan rujukan yang ada dalam alam pikir manusia pemakainya.

Leksem dapat memiliki bentuk yang sama, seperti pada pengertian (a) misalnya kata trying (adjektif) dan kata trying (verb) dalam frasa kalimat berikut ini “a trying day” dan “they are trying hard”. Kedua kata trying menurut pengertian (a) adalah sama, baik secara fonetik maupun secara fonemik. Apabila ditinjau dari pengertian (b) kedua kata itu berbeda. Kata trying (adjektiva) berasal dari leksem trying, sedangkan kata trying (verba) berasal dari leksem try. Kedua kata yang dalam pengertian (a) sama, tetapi dalam pengertian (b) berbeda disebut dengan homonimi. Selain itu ada pula kata-kata yang berasal dari leksem yang sama dan bentuknya sama, tetapi penggunaannya berbeda. Misalnya kata tried (bentuk lampau) dan kata tried (bentuk partisip) dalam kalimat : I tried hard dan I

Gambar

Diagram 1: Pembentukan Kata  Morfologi Struktural Daftar Morfem Pembentukan kataProses MorfofonemisKamus Terikat Bebas  Afiks Morfem Dasar AfiksasiReduplikasiKomposisiPenambahan Fonem Pelesapan Fonem Peluluhan Fonem Perubahan Fonem Kata MaknaKata
Diagram 2: Pembentukan Kata Morfologi Generatif Modifikasi dari Halle  (1973)
Diagram 3 model pembentukan kata oleh Halle (1973)
Diagram 4 : Model Alur Pembentukan Kata Dardjowidjojo
+3

Referensi

Dokumen terkait

MEDIA CENTER & SINGLE BOARD COMPUTER Dalam merancang sistem yang dibutuhkan untuk implementasi sistem informasi kuliner berbasis Single Board Computer ini,

Dokumen Rencana Strategis (RENSTRA) Dinas Pertanian Perkebunan Peternakan dan Perikanan Kabupaten Blora Tahun 2016-2021 ini akan menjadi acuan dalam penyusunan

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

mengacu pada rata-rata 3 (tiga) Harga Patokan Batubara terakhir pada bulan dimana dilakukan kesepakatan harga batubara, dengan fakor pengali 50% untuk Harga Patokan

Sedangkan anggota pencinta alam yang kurang bahkan tidak berinisiatif (tidak langsung melakukan pemaknaan atas situasi lingkungan sebagai situasi yang memerlukan bantuan, tanpa

Analisis regresi linear berganda bertujuan untuk menghitung seberapa besar pengaruh veriabel terikat dalam penelitian ini. Untuk mengetahui besarnya koefisien regresi

Dibawah ini manakah yang tidak termasuk diet penurunan berat yang sehata. dan dianjurkan oleh

Merupakan kegiatan penelitian bagi Dosen/Asisten Dosen di STPP Bogor dalam rangka pengayaan matakuliah yang diampunya.Penelitian dilaksanakan selama satu tahun dan meliputi