• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lingkup Agraria

Seperti kita ketahui bahwa konsep agraria tidak hanya sebatas pada tanah atau tanah pertanian saja. Secara etimologis, istilah “agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa Latin, “ager” yang artinya: (a) lapangan; (b) wilayah; (c) tanah negara. Dari pengertian-pengertian tersebut nampak jelas bahwa yang dicakup oleh istilah “agraria” itu bukanlah sekedar “tanah” atau “pertanian” saja. Kata-kata “wilayah”, “tanah negara” itu jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Kata “tanah negara”, misalnya, di situ ada tumbuh-tumbuhan, ada air, ada sungai, mungkin ada tambang, ada hewan, dan sudah barang tentu ada masyarakat manusia (Wiradi, 2009a).

Menurut Sitorus (2002), subyek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga subyek tersebut memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan. Dalam perjalanannya, hubungan ini akan menimbulkan bentuk-bentuk dari kepentingan sosial-ekonomi masing-masing subyek berkenaan dengan pengusaaan dan pemilikan atas sumber-sumber agraria tersebut.

(2)

Gambar 2.1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Sitorus, 2002) Keterangan:

Hubungan Teknis Agraria Hubungan Sosio Agraria 2.2. Reforma Agraria

Menurut Wiradi (2009a) makna reforma agraria merupakan penataan kembali (atau pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/ wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruhtani tak bertanah. Dalam hal ini reforma

agraria memiliki dua tujuan utama, yaitu: pertama, mengusahakan terjadinya

transformasi sosial, dan kedua, menangani konflik sosial serta mengurangi peluang konflik di masa depan.

Oleh karena itu, Soetarto dan Shohibuddin (2006) menyatakan bahwa inti dari reforma agraria adalah upaya politik sistematis untuk melakukan perubahan struktur penguasaan tanah dan perbaikan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya, dan yang diikuti pula oleh perbaikan sistem produksi melalui penyediaan fasilitas teknis dan kredit pertanian, perbaikan metode bertani, hingga infrastruktur lainnya.

Agenda landreform (digunakan secara bergantian dengan Reforma Agraria) di Indonesia memiliki perjalanan yang panjang. Secara umum, program pelaksanaan landreform di Indonesia meliputi ketentuan: (a) larangan menguasai tanah pertanian

Pemerintah

Masyarakat Swasta

(3)

yang melampaui batas; (b) larangan pemilikan tanah absentee; (c) redistribusi tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum serta tanah-tanah-tanah-tanah yang terkena larangan absentee; (d) pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan; (e) pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan; (f) penerapan batas minimum pemilikan tanah pertanian dengan disertai larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan tanah menjadi bagian-bagian yang terlalu kecil1.

2.2.1. Prasyarat Reforma Agraria

Menurut Wiradi (2009a), berdasar pengamatan berbagai pakar dari FAO yang melakukan studi tentang Reforma Agraria di berbagai negara di dunia, agar suatu program Reforma Agraria mempunyai peluang untuk berhasil, ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi, antara lain:

1. Kemauan politik dari elit penguasa

2. Elit pemerintahan/birokrasi harus terpisah dari elit bisnis

3. Partisipasi aktif dari semua kelompok sosial harus ada. Organisasi Rakyat/Tani yang pro-reform harus ada

4. Data dasar masalah agraria yang lengkap dan teliti harus ada

Seperti tertulis di atas, salah satu prasyarat yang harus dipenuhi adalah partisipasi aktif dari semua kelompok sosial, yaitu organisasi rakyat/tani yang pro-reform. Organisasi rakyat ini merupakan organisasi rakyat (tani) yang kuat dan mandiri, dipacu cita-cita luhur-jelas, diarahkan oleh program nyata-terukur, ditopang oleh kader terdidik yang militan, dan didukung massa sadar-luas. Organisasi inilah yang menjadi

1

Harsono dalam Andi Achdian. 2009. Tanah Bagi yang Tak Bertanah; Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965. Bogor: KEKAL PRESS bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, hal 72.

(4)

pendorong perubahan sosial yang maha dahsyat. Oleh karena itu, organisasi rakyat, terutama yang menghimpun petani kecil, buruh tani, dan petani penggarap yang sudah menduduki dan menggarap tanah-tanah (bekas) perkebunan, hendaknya berperan dalam (Setiawan dalam Alfurqon, 2006):

1. Melakukan pendataan (ulang) tanah-tanah yang sudah diduduki, digarap dan dijadikan sumber penghidupan penduduk setempat.

2. Mendaftar nama-nama dan jumlah penduduk yang menduduki, menggarap, dan

menjadikan tanah tersebut sebagai sumber penghidupan.

3. Menyiapkan aturan main internal organisasi untuk memastikan terhindarnya

konflik horizontal dan untuk memastikan legalisasi ini tepat sasaran kepada mereka yang paling membutuhkan.

4. Memastikan adanya komunikasi dan koordinasi yang baik dengan kalangan

Ornop “pendamping” untuk mendapatkan masukan-masukan dalam memperkuat organisasi maupun kelancaran proses legalisasi.

5. Menyiapkan diri untuk siap bernegosiasi dan lobby dalam rangka meyakinkan pejabat dan aparat yang terkait dengan pelaksanaan legalisasi hak atas tanah maupun proses produksi, distribusi, dan penyediaan berbagai sarana pendukung. 2.2.2. Perspektif Reforma Agraria

Dalam model implementasinya berdasarkan cara bagaimana landreform

dijalankan, umumnya telah dibedakan pelaksanaan landreform tiga tipe ideal berdasar

pelaku utama yang melakukannya, yakni: StateLed Land Reform, MarketLed Land

Reform, dan PeasantLed Land Reform. Namun, dengan sangat menarik, setelah

menyelidiki secara empiris praktek-praktek ketiga model itu, Borras dan Mckinley

(5)

upaya mewujudkan ProPoor Landreform yang realistis dengan 4 (empat) pilar pokok (lihat Tabel 2.1), yakni:

Tabel 2.1. Fitur Kunci Beragam Perspektif dalam Reforma Agraria

Perspektif Fitur

Market-Led Landreform Pertimbangan utamanya adalah pencapaian

efisiensi/produktivitas secara ekonomis; Memberi peran sekunder pada negara; Petani yang seharusnya menjadi ‘supir’ dalam reforma pada kenyataannya

berada di bawah dominasi aktor-aktor pasar; Pada kenyataannya, ‘terpusat pada dasar’ artinya ‘terpusat pada tuan tanah/pedagang/TNC’ di banyak penataan agraria masa kini.

State-Led Landreform Pertimbangan utamanya biasanya berhubungan dengan

mengamankan/menjaga legitimasi politik, meskipun agendaagenda pembangunan juga penting; ‘Kehendak politik yang kuat’ sangat dibutuhkan untuk membawa agenda land reform; Biasanya memperlakukan petani sebagai pelaku yang dibutuhkan secara administratif; Aktor-aktor pasar tingkat rendah, atau yang terpilih berhubungan dengan aktor-aktor pasar bergantung pada aktor-aktor mana yang lebih memiliki pengaruh dalam negara.

Peasant-Led Landreform Asumsi utamanya adalah bahwa ‘negara terlalu terbelenggu oleh kepentingan elit secara sosial’, sementara kekuatan pasar secara mendasar didominasi oleh kepentingan elit = dengan demikian, satu-satunya cara untuk mencapai reforma-agraria yang pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandiri mengambil insiatif untuk menerapkan reforma agraria.

Pro-Poor Landreform Asumsi utama: tidak meromantisasi ‘kemahakuasaan’ petani dan organisasi mereka; Tidak menetapkan peran pemerintah pada negara; Tidak mementingkan isu peningkatan produktivitas secara ekonomis = meskipun mengenali keberkaitan antara perspektifperspektif tersebut; Menganalisa negara, gerakan-gerakan petani dan kekuatan pasar bukan sebagai kelompok-kelompok yang terpisah-pisah, namun sebagai aktor yang secara inheren

terhubung satu sama lain oleh penyatuan mereka pada sumberdaya tanah secara politis dan ekonomis; Memiliki tiga ciri kunci: ‘terpusat pada petani’, ‘didorong oleh negara’, dan ‘meningkatkan produktivitas secara ekonomis’.

(6)

2.3. Gerakan Reforma Agraria

Dilihat dari sudat pandang ilmu sosial, yang dimaksud dengan gerakan (movement) adalah gerakan sosial (social movement), yaitu suatu usaha, upaya, dan langkah kolektif untuk menciptakan perubahan keadaan tertentu yang ada dalam masyarkat (Hoult, 1969)2. Dari uraian tersebut, Wiradi (2009a) merumuskan bahwa gerakan agraria adalah sebagai berikut:

“suatu usaha, upaya, dan kegiatan yang dilakukan secara kolektif atau bersama, dengan tujuan untuk merombak tata sosial di bidang agraria, karena tata yang ada dianggap tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat”

2.3.1. Landreform By Leverage

Gagasan mengenai reforma agraria ini sudah banyak dibahas oleh para ahli.

Beberapa menyebutnya sebagai land governance, semuanya ditujukan untuk

mewujudkan tanah untuk kesejahteraan rakyat. Ada beberapa macam tipe reforma agraria, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu mobilisasi massa dari atas (by grace), dari tengah, dan dari bawah (by leverage)3.

Konsep landreform dari bawah (by leverage) ini untuk pertama kalinya ditawarkan pada Munas Pertama Konsorsium Pembaruan Agraria, pada Desember 1995, dengan menerjemahkannya sebagai “Pembaruan Agraria Berbasis Rakyat” (PABR). PABR ini merupakan gerakan pembaruan agraria yang didasarkan atas kekuatan dan kemampuan kaum tani atau rakyat pedesaan sendiri. Namun ini sama sekali tidak berarti melawan wewenang pemerintah ataupun hendak menghilangkan

2

Hoult dalam Gunawan Wiradi. 2009. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Bandung, Jakarta, Bogor: AKATIGA, KPA, SAINS., hal 142

3 Lihat Saturnino M. Borras Jr dan Jennifer C. Franco tentang Demokra c Land Gor ver nance and Some

(7)

peran negara. Dalam hal ini kekuatan dan kemampuan kaum tani justru befungsi sebagai “dongkrak”, sebagai pendorong yang kuat, untuk menggerakkan peran aktif dari pemerintah (Wiradi, 2009b).

Berdasar moda gerakan reklaim tanah yang dilakukan masyarakat petani, Sitorus (2006) mengembangkan tipologi landreform dari bawah ini menjadi tiga tipe, yaitu tipe aneksasi, tipe kultivasi, dan tipe integrasi. Tipe Aneksasi adalah tipe reforma agraria dari bawah yang merujuk pada tindakan kolektif penduduk untuk secara paksa dan illegal membuka, bercocok tanam, dan sekaligus bermukim di sebidang tanah hutan Negara. Tipe integrasi merupakan kebalikan dari tipe aneksasi, yaitu tipe reforma agraria yang merujuk pada kolaborasi Negara dan komunitas lokal dalam manajemen sumberdaya agraria. Sedangkan tipe kultivasi merujuk pada ambiguitas status tanah yang direklaim; di satu sisi ia di reklaim dan secara faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk, tetapi di sisi lain ia masih di klaim dan juga secara faktual dikelola oleh pihak lain.

2.3.2. Arah Transfer Kesejahteraan dan Kekuasaan Berbasis Tanah

Mengacu pada Borras dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010) mengenai kualifikasi pro-poor policy menjadi penting untuk diperhatikan dalam kaitan dengan diferensiasi agraria. Kebijakan transfer kemakmuran dan transfer kekuasaan politik berbasis tanah harus didasari atas kesadaran pelapisan kelas serta sensitif terhadap perbedaan gender dan etnis, historical dalam arti memiliki perspektif mengenai penciptaan kemakmuran, transfer kekuasaan politik, dan penentuan penerima manfaat dalam suatu tinjauan historis sehingga kerangka “keadilan sosial” yang utuh dapat dikembangkan.

(8)

Aliran Struktur Agraria juga menekankan pentingnya rute transformasi. Borras

dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010), misalnya, membedakan kemungkinan

empat arah transformasi yang bisa ditimbulkan oleh kebijakan land reform, yaitu (1) redistribusi, (2) distribusi, (3) non-(re)distribusi, dan (4) (re)konsentrasi (lihat tabel di bawah). Empat arah ini bisa diadaptasi untuk menyediakan kerangka bagi kebijakan pertanahan, khususnya dalam memastikan sejauh mana transfer kesejahteraan dan kekuasaan politik berbasis tanah benar-benar dapat mewujudkan dampak redistribusi atau distribusi dan bukannya non-(re)distribusi, atau apalagi (re)konsentrasi4.

Tabel 2.2. Dinamika Perubahan dan Pembaruan dalam Kebijakan Pertanahan Trajectory Arah Transfer Kesejahteraan dan

Kekuasaan Berbasis Tanah Dinamika Perubahan dan Pembaruan Redistribusi Transfer kesejahteraan dan kekuasaan

berbasis tanah dari kelas tuan tanah atau negara atau komunitas kepada petani miskin gurem atau tuna kisma

Pembaruan dapat terjadi di tanah private atau tanah negara; dapat mencakup transfer kepemilikan penuh maupun dak; dapat diterima oleh individu ataupun kelompok

Distribusi Kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah diterima oleh petani miskin gurem atau tuna kisma, namun kelas tuan tanah dak kehi langan apapun dalam proses ini; transfer oleh negara

Pembaruan biasanya terjadi di tanah milik negara; dapat mencakup transfer hak untuk mengalienasi ataupun dak; dapat di ter ima oleh individu maupun kelompok

Non-(Re)Distribusi Kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah tetap berada di tangan segelin r kelas tuan tanah atau negara atau komunitas; yaitu tetap bertahannya status quo yang bersifat mengeksklusi petani miskin

“Tiadanya kebijakan pertanahan adalah satu kebijakan”; termasuk di sini juga kebijakan-kebijakan pertanahan yang melegalisasikan klaim-klaim/hak-hak yang mengeksklusi dari kelas tuan tanah atau elit kaya, termasuk negara atau kelompok-kelompok komunitas (Re)konsentrasi Transfer kesejahteraan dan kekuasaan

berbasis tanah dari negara, komunitas atau petani gurem kepada tuan tanah, badan-badan perusahaan, negara atau kelompok-kelompok komunitas

Dinamika perubahan dapat terjadi dalam tanah private atau tanah negara; dapat mencakup transfer sepenuhnya maupun kepemilikan penuh atau dak; d apat diterima oleh individu, kelompok atau badan-badan perusahaan

Borras dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010)

4 Lihat juga Saturnino M. Borras Jr. and Jennifer C. Franco (2008).

How Land Policies Impact Land-Based Wealth and Power. Oslo Governance Centre Brief, No. 3, May 2008.

(9)

2.4. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: Proses

: Mempengaruhi : Aktor yang berperan

: Proses yang belum terlaksana

Arah Transfer Manfaat (

Land-Based Wealth and Power

) antar Anggota

Organisasi Tani Lokal

Perubahan Struktur Pemilikan dan Penguasaan Tanah Kesejahteraan Kesejahteraan Program Pemberdayaan Pasca Reklaiming Program Pemberdayaan Pasca Reklaiming Access Reforn PPAN BPN

Struktur Agraria Sebelum Landreform di OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II

Reklaiming OTL Pasawahan II di tanah perkebunan

Reklaiming OTL Banjaranyar II di tanah perkebunan OTL Pasawahan II OTL Banjaranyar II SPP Aktor Lainnya Aktor Lainnya

(10)

Permasalahan utama dalam bidang agraria di Indonesia adalah adanya

ketimpangan struktur agraria diantara subyek-subyeknya. Ketimpangan ini

menimbulkan efek yang sangat luas diantaranya adalah ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah serta timbulnya masalah kesejahteraan bagi masyarakat tani yang tidak mempunyai tanah. Masalah ini dapat dilihat secara umum pada struktur agrarianya.

Upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan landreform.

Terdapat dua tipe landreform yang dikenal secara luas, keduanya yaitu landreform by grace dan landreform dari bawah (by leverage). Tipe yang pertama secara umum dikenal dengan landreform yang diinisiasi oleh pemerintah. Dalam hal ini landreform dapat dilaksanakan atas dasar ”kedermawanan” pemerintah. Sedangkan tipe kedua merupakan landreform yang diinisiasi oleh masyarakat tani sendiri. Di sini, petani

berperan sebagai dongkrak agar pemerintah melaksanakan landreform.

Salah satu contoh pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) adalah pelaksanaan reklaiming yang dilakukan oleh Serikat Petani Pasundan (SPP). Dalam penelitian ini, gerakan yang menjadi sorotan utama adalah gerakan yang terjadi di Kabupaten Ciamis khususnya yang dilakukan oleh Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar II, Desa Banjaranyar, dan OTL Pasawahan II, Desa Pasawahan. Di kedua tempat tersebut petani melakukan upaya reklaiming (landreform) pada kisaran tahun 2000-2002. Pelaksanaan landreform ini tidak dapat dilepaskan dari peran aktor-aktor yang berkepentingan. Antara lain, SPP dan OTL itu sendiri juga aktor-aktor lainnya.

Proses selanjutnya setelah pelaksanaan landreform by leverage (reklaiming) ini

adalah program-program pemberdayaan. Kemudian, baik landreform by leverage

(11)

terhadap struktur pemilikan dan penguasaan tanah serta kesejahteraan masyarakat di

kedua OTL tersebut. Selain program pemberdayaan pasca landreform, setelah

pelaksanaan landreform by leverage adalah adanya PPAN. Di OTL Banjaranyar II

PPAN ini sudah dilaksanakan sedangkan di OTL Pasawahan II PPAN masih dalam proses.

Peran SPP sangat dominan dalam upaya mendampingi OTL dalam melakukan landreform, sehingga peran SPP ini terus melekat dalam proses-proses selanjutnya seperti upaya untuk memperoleh pengakuan hak atas tanah melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) serta upaya untuk melakukan program pemberdayaan pasca landreform di kedua tempat tersebut, walaupun program pemberdayaan ini belum berhasil dilakukan. Begitu juga dengan aktor-aktor lain seperti pendamping LBH, SAINS dan lainnya dalam membantu proses pelaksanaan landreform di kedua tempat tersebut.

2.5. Hipotesis Pengarah

Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini akan memfokuskan pada pengaruh partisipasi gerakan tani dalam pelaksanaan Reforma Agraria. Untuk memandu penggalian data mengenai fokus penelitian tersebut, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Diduga terdapat konflik pertanahan sepanjang sejarah penguasaan tanah yang terjadi di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;

2. Diduga perbedaan perlawanan petani dan proses pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;

(12)

3. Diduga pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Ciamis dapat merespon inisiatif landreform dari bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;

4. Diduga terdapat faktor-faktor yang melatarbelakangi pelaksanaan kebijakan

Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di OTL Banjaranyar II dan tidak di OTL Pasawahan II;

5. Diduga terdapat perbedaan dampak antara pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) dan PPAN terhadap perubahan struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan kesejahteraan di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;

2.6. Definisi Konseptual

1. Landreform dari bawah (landreform by leverage) adalah gerakan pembaruan agraria yang berfungsi sebagai dorongan dari petani untuk menggugah peran aktif pemerintah. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif melalui penelusuran alur sejarah.

a. People/peasant led landreform adalah pandangan yang menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mencapai Reforma Agraria yang pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandiri mengambil inisiatif untuk menerapkan Reforma Agraria.

2. Landasan hukum adalah perangkat aturan-aturan perundang-undangan yang

digunakan sebagai dasar pemberian sertifikat melalui Program Pembaruan Agraria Nasional. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. 3. Pemberdayaan pasca landreform oleh berbagai pihak adalah usaha-usaha yang

(13)

Proses ini mencakup kegiatan access reform. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.

4. Reklaiming adalah proses perebutan kembali tanah oleh masyarakat dari

pihak-pihak yang dianggap sebagai ”lawan” oleh organisasi SPP

a. Pra Reklaim adalah fase di mana masyarakat belum melakukan proses reklaiming lahan.

b. Pasca Reklaim adalah fase di mana masyarakat sudah melakukan proses

reklaiming lahan sampai sebelum proses sertifikasi dilakukan.

5. Okupasi adalah proses perebutan tanah perkebunan yang dilakukan oleh

masyarakat petani dari pihak perkebunan.

a. Pra Okupasi adalah fase di mana masyarakat belum melakukan proses okupasi lahan.

b. Pasca Okupasi adalah fase di mana masyarakat sudah melakukan proses

okupasi lahan sampai sebelum proses sertifikasi dilakukan. 2.7. Definisi Operasional

1. Struktur pemilikan dan penguasaan lahan adalah besarnya luasan lahan yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing individu petani. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif melalui metode survey rumahtangga. Dengan kategori:

1. Sempit: < 0,5 Ha (Skor = 1)

2. Sedang: 0,5 – 1,5 Ha (Skor = 2)

3. Luas: > 1,5 Ha (Skor = 3)

2. Kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material

(14)

Pendekatan yang digunakan adalah metode kuantitatif melalui metode survey rumahtangga. Indikator yang digunakan dalam penentuan kesejahteraan selain tanah (nilai 8) adalah rumah (nilai 7), kendaraan bermotor (nilai 6), penghasilan (nilai 5), pekerjaan (nilai 4), pola makan (nilai 3), elektronik (nilai 2) dan sanitasi (nilai 1)5.

a. Rumah: Bangunan yang ditempati untuk tinggal, dikategorikan menjadi:

1. Sangat sederhana: lantai tanah, bilik dan belum ditembok, tanpa sanitasi (skor = 1)

2. Sederhana: Semi permanen, tegel, atap dengan genteng, ada

sanitasi di luar rumah (skor = 2)

3. Bagus: Permanen, luas sanitasi lengkap (skor = 3)

b. Kendaraan Bermotor: Jumlah kendaraan bermesin yang digunakan

sebagai sarana transportasi (motor). Dengan kategori

1. Miskin: Tidak punya (skor = 1)

2. Sedang: Punya, hanya satu unit (skor = 2) 3. Kaya: Punya, lebih dari dua unit (skor = 3)

c. Penghasilan: jumlah uang yang didapatkan dalam satu rumah tangga per

hari baik dari hasil usaha tani maupun di luar usaha tani. Dikategorikan menjadi: 1. Miskin: < Rp. 11.000 (skor = 1) 2. Sedang: Rp. 11.000-Rp. 20.000 (skor = 2) 3. Kaya: > Rp. 20.000 (skor = 3) 5

(15)

d. Pekerjaan: Mata pencaharian yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dikategorikan menjadi:

1. Miskin: Buruh musiman (skor = 1)

2. Sedang: Mengarap lahan sendiri, memiliki upah lainnya (skor = 2)

3. Kaya: Ada penghasilan tetap, memiliki usaha sampingan (skor = 3)

e. Pola Makan: Sajian menu yang dikonsumsi dalam satu hari.

Dikategorikan menjadi:

1. Miskin: Makan 2 X sehari, dapat Raskin, jarang makan lauk-pauk (skor = 1)

2. Sedang: Makan 3 X sehari, dengan lauk-pauk (skor = 2)

3. Kaya: Makan 3 X sehari, dengan menu lengkap (skor = 3)

f. Elektronik: Pemilikan benda elektronik lainnya diluar kebutuhan pangan.

Dikategorikan menjadi:

1. Miskin: Maksimal Hanya Hp atau TV Hitam Putih, 1 macam (skor

= 1)

2. Sedang: Minimal tv 24 inch warna dan Hp, 2 macam (skor = 2)

3. Kaya: Serba ada, lebih dari 3 macam (skor = 3)

g. Sanitasi: Fasilitas MCK yang dimiliki oleh satu rumah tangga.

Dikategorikan menjadi:

1. Miskin: tidak ada, Ke sungai, atau MCK umum (skor = 1)

2. Sedang: Memiliki MCK sendiri, tapi di luar rumah (skor = 2)

Gambar

Gambar 2.1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Sitorus, 2002)  Keterangan:
Tabel 2.1. Fitur Kunci Beragam Perspektif dalam Reforma Agraria

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

Lembar kerja siswa (LKS). LKS dapat berupa kertas kosong atau berbentuk formulir untuk ditulisi, digambari atau diisi oleh anak sesuai dengan petunjuk pada LKS. Sebagian guru ada

Pada bab III ini peneliti memaparkan metode penelitian yang akan digunakan untuk mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan tema skripsi yang diangkat oleh

Kerangka Berpikir Media produksi poligalakturonase biaya terjangkau dari pemanfaatan limbah kulit pisang raja nangka dengan variasi penambahan sumber karbon dan pektin

Hakikat dari pembentukan portofolio yang efisien dan optimal adalah untuk mengurangi risiko dengan cara diversifikasi saham, yaitu mengalokasikan sejumlah dana investor pada

Dari hasil kuesioner didapat bahwa 256 responden atau sebesar 72,73% menjawab asal genangan berasal dari saluran air/selokan yang melimpah, 38 responden atau sebesar 10,80%

Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan adalah kepemimpinan (X1) dan Kepuasan Kerja (X2) sebagai variabel intervening, sedangkan Kinerja Karyawan (Y1)

Metode ceramah dapat digunakan guru dalam pembelajaran sastra, khususnya novel “Kubur Ngemut Wewadi”. Dengan metode ceramah, guru dapat menceritakan isi novel tersebut