• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab VIII. PETANI PENYAKAP BAGI HASIL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab VIII. PETANI PENYAKAP BAGI HASIL"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Bab VIII. PETANI PENYAKAP BAGI HASIL

A. Petani Kecil sebagai Penyakap

Sharecropping atau bagi hasil adalah salah satu bentuk penyakapan di mana sewa lahan atau biaya pemakaian lahan diwujudkan dalam persentase output fisik total yang diperoleh selama musim tanam tertentu. Karena proporsi bagi hasil umumnya tetap, maka gambaran penting yang dapat kita peroleh dari kondisi ini adalah bahwa besarnya nilai absolut pemakaian lahan bervariasi sesuai dengan hasil panen yang diperoleh per musim tanam. Terdapat berbagai tipe penyakapan berdasarkan sewa musiman baik dalam bentuk tunai maupun natura atau bentuk lainnya. Akses atas sistem bagi hasil juga dapat ditinjau dari :

a. hukum tanah adat b. pemilikan lahan bebas

c. pemakaian tenaga kerja pertanian upahan

Sharecropping banyak dijumpai di berbagai belahan dunia terutama di Asia Selatan dan Tenggara. Sistem bagi hasil melibatkan interaksi antar rumahtangga berdasarkan penguasaan lahan dan sumberdaya lain. Bentuk interaksi yang paling kompleks terdiri dari kontrak multi strata antar rumahtangga, meliputi: penggunaan lahan, kredit, pinjaman untuk konsumsi, harga input, akses terhadap pasar, dan sebagainya. Dalam seluruh kasus yang ada karakter interaksi yang terjadi menggeser penekanan analisis pengambilan keputusan rumahtangga secara individual ke bentuk analisis yang lebih interaktif.

Ekonom neoklasik cenderung memandang sistem sakap sebagai suatu konsep teoritis yang menarik untuk dikaji, sementara para ekonom Marxian memandang sistem sakap ini sebagai salah satu bentuk eksploitasi pemilik lahan terhadap buruh tani dan atau petani gurem. Ekonom neoklasik memandang usahatani bagi hasil sebagai puzzle karena ketidakmampuan analisis ekonomi yang sudah ada untuk menjelaskan aspek tertentu dari sistem sakap sebagai suatu institusi, antara lain:

a. tuduhan bahwa sistem ini kurang efisien dan tidak terbuka terhadap informasi

b. adanya koeksistensi historis antara sharecropping di lokasi yang sama dengan penyakapan tunai dan pertanian kapitalis

(2)

c. sistem bagi hasil yang berlaku antara pemilik lahan dan penyakap seringkali tidak dapat dijelaskan hanya dengan kriteria optimisasi

Sudut pandang yang menyatakan penyakapan sebagai salah satu bentuk eksploitasi menyandarkan rasionalisasi mereka pada fakta adanya pemusatan kekuatan ekonomi dari kelompok pemilik lahan dan kuatnya kontrol kelompok ini atas petani penyakap dan tunakisma.

Hubungan antara kedua sudut pandang di atas terletak pada konsep keterkaitan pasar input yang mencerminkan tidak adanya kebebasan antar pasar input yang berbeda ketika berbagai transaksi seperti tanah, tenaga kerja, pinjaman konsumsi dan biaya input dikaitkan dengan kontrak penyakapan tunggal.

Kompleksitas praktek penyakapan perlu diperhatikan sebab perlakuan teoritis seringkali melakukan berbagai simplifikasi:

1. Dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun konsep sharecropping melibatkan transaksi simultan antar dua pasar input yakni pasar lahan dan tenaga kerja

2. Kontrak sharecropping memiliki ruang lingkup yang luas dan mungkin mencakup pinjaman untuk konsumsi, kredit produksi, layanan jasa dari anggota keluarga penyakap terhadap pemilik lahan, perjanjian untuk menanggung biaya input bersama, dll

3. Sharecropping tidak selalu mencerminkan perbedaan kelas yang jelas antara pemilik lahan dengan penyakap atau tunakisma

Komponen analisis sharecropping dan keterkaitan pasar faktor produksi meliputi: 1. Model mikroekonomi sharecropping dalam lingkungan yang kompetitif

2. Rasionalisasi konsep sharecropping dalam dimensi aversi resiko, teori bargaining dan imperfeksi pasar

3. Analisis keterkaitan pasar faktor produksi

4. Pertanyaaan seputar eksploitasi dalam sharecropping

5. Implikasi kebijakan yang dapat diperoleh dari kajian ekonomi sharecropping 6. Beberapa perspektif yang lebih luas

(3)

B.Analisis Ekonomi Sharecropping

Ada dua model utama analisis ekonomi sharecropping dengan asumsi kompetitif. Model

pertama adalah model Marshallian yang mengemukakan sudut pandang ekonomi

ditinjau dari perilaku produksi penyakap, model kedua adalah model Cheung yang menggambarkan perilaku produksi dari sudut pandang pemilik lahan.

1. Model Penyakap

Dalam pendekatan ini penyakap berusaha memaksimumkan profit dalam pasar kompetitif terhadap sistem bagi hasil tertentu. S adalah output yang merupakan bagian pemilik lahan. (1-S) adalah output yang merupakan bagian penyakap. Jadi bila bagi hasil 60% - 40 % maka nilai S = 0,60 dan 1-S = 0,40. TVP adalah respon total output pertanian terhadap input tenaga kerja, namun karena penyakap hanya menerima (1-S) maka respon output yang relevan secara ekonomi adalah (1-S)TVP.

Gambar 8.1. Model Sharecropping (Penyakapan)

Y2 Y1 B E A TVP TC C D (1-S) TVP 0 L1 L2

Input tenaga kerja L

T ot al O ut put Y ( R p)

Pada tingkat upah pasar kompetitif yang mencerminkan opportunity cost waktu keluarga penyakap, posisi maksimasi profit dapat ditetapkan pada titik A yaitu pada level penggunaan tenaga kerja sebesar L1. Sebagaimana terlihat pada Gambar 8.1 dengan

(4)

teknologi yang tersedia penggunaan tenaga kerja sebesar L1 hanya akan memberikan

total keuntungan sebesar EC dan output sebesar Y1 yang lebih rendah dari BD dan Y2

yang seharusnya diperoleh bila menggunakan tenaga kerja optimal sebesar L2 pada saat

TVP maksimum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam sistem bagi hasil petani penyakap tidak menggunakan tenaga kerja (sarana produksi) secara optimal sehingga usahatani bagi hasil tidak efisien.

Kesimpulan yang sama juga dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nilai marginal produksi (MVP) sebagaimana disajikan pada Gambar 8.2. Petani penyakap hanya akan bersedia beroperasi pada titik A dengan tenagakerja sebesar L1, dimana upah

(w) adalah sama dengan (1-S) MVP yang merupakan kurva nilai marginal produksi petani penyakap. Akibat penggunaan tenaga kerja yang tidak optimal tersebut, maka terjadi kehilangan output sebesar AEB yang seharusnya dapat diperoleh jika usahatani dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja sebesar L2.

Gambar 8.2. Produk Marginal Tenaga Kerja dalam Model Penyakapan

H G F w A B w' C L1 L2 D 0

input tenaga kerja L

MVP pemilik (1-S)MVP penyakap N il ai P ro d u k M ar g in al ( R p )

Model ini menujukkan bahwa petani memperoleh pendapatan (akumulasi MVP) sebesar OGAL1, lebih besar dari area 0FAL1 yang seharusnya dia peroleh sebagai upah tenaga

kerja yang dicurahkan pada usahatani. Pemilik lahan, disisi lain hanya memperoleh sebesar GHEA, dan kehilangan pendapatan sebesar FGA yang dialihkan kepada petani penyakap sebagai surplus atas nilai tenagakerja yang digunakannya. Adanya surplus pendapatan yang diperoleh petani penyakap menunjukkan bahwa pasar tidak efisien dan

(5)

titik keseimbangan tidak stabil. Pada pasar persaingan sempurna, pendapatan lebih yang dimiliki petani penyakap akan mengundang pendatang baru (new entrant) untuk memasuki pasar bagihasil.

Hsiao, (1975) mengatakan bahwa ketidakefisienan yang terjadi pada sistem bagihasil ini dapat diatasi dengan saling tawar antara pemilik lahan dengan petani penyakap agar usahatani dapat dioperasikan pada penggunaan tenaga kerja L2 yang dapat memberikan

TVP maksimum pada usahatani. Pada titik ini pemilik lahan akan memperoleh tambahan pendapatan sebesar AEB dan sebagai imbalannya pemilik lahan memberikan pendapatan kepada penyakap sebesar tambahan ABC hingga total pendapatan petani sebesar 0FBL2, setara dengan nilai penggunaan tenaga kerja yang dicurahkan petani,

w.L2.

2. Model Petani Pemilik Lahan

Dalam model ini diasumsikan bahwa petani pemilik lahan berusaha memaksimumkan keuntungan yang dapat diperolehnya. Sesuai dengan kapasitasnya, petani pemilik bebas menentukan jumlah dan luas lahan yang akan digunakan atau distribusikan kepada petani penyakap berikut sewa/perbandingan bagi hasil lahan yang dimilikinya. Satu-satunya kendala yang membatasi kebebasan petani pemilik adalah upah pasar yang berlaku. Petani pemilik tentu harus mempertimbangkan nilai yang dapat diperoleh oleh petani penyakap yakni setidaknya sama dengan nilai tenagakerja yang dicurahkan untuk mengusahakan usahatani yang disepakati.

Sebagai petani yang berusaha untuk memaksimumkan keuntungan, petani pemilik seyogyanya harus dapat menentukan jumlah pendapatan yang dapat diperoleh petani penyakap hingga usahatani dapat dioperasikan pada tingkat penggunaan tenagakerja sebesar L2 pada gambar 8.1 atau 8.2. Apabila usahatani dioperasikan pada L2 maka

petani pemilik akan memperoleh pendapatan sebesar GHEA, yakni sebesar pendapatan yang dapat diperoleh jika petani pemilik mengusahakan lahannya sendiri dengan menggunakan tenagakerja upahan dikurangi FGA yang menjadi surplus bagihasil yang diperoleh oleh petani penyakap. Hal ini akan dapat berhasil dengan asumsi bahwa petani pemilik mampu menentukan kapasitas dan jumlah petani penyakap, persentase bagihasil, dan mengatur penggunaan input tenaga kerja petani penyakap. Asumsi tersebut dirasakan kurang sesuai sebab:

(6)

1. Seakan-akan menempatkan petani pemilik menjadi pengusaha monopolis yang sepenuhnya dapat mengatur perilaku kerja petani penyakap (Jaynes, 1982)

2. Nampaknya petani pemilik tidak cukup mampu menggunakan sistem persentase

bagihasil untuk mengupayakan pemanfaatan lahan yang efisien, sebab sistem bagihasil lebih ditentukan oleh budaya dan kompetisi di antara petani pemilik untuk memperoleh petani penyakap.

3. Asumsi ketiga yang mengatakan bahwa petani pemilik mampu mengatur tingkat

penggunaan tenaga kerja petani penyakap sangat diragukan.

Namun demikian, usahatani sistem sakap dapat lebih memberikan kepuasan daripada mengusahakan lahan usahatani dengan menggunakan tenagakerja upahan. Setidaknya petani penyakap bekerja dengan motivasi yang lebih baik dibandingkan buruh tani yang diupah. Selain itu, fluktuasi penggunaan tenaga kerja pada sektor pertanian menyebabkan sistem bagi hasil lebih menjamin ketersediaan tenaga kerja dibandingkan teanga kerja upahan yang pada musim sibuk sulit diperoleh. Selanjutnya, sistem bagihasil juga lebih efisien dalam penggunaan input terutama apabila biaya produksi menjadi tanggungan bersama antara pemilik dan penyakap.

3. Resiko, biaya informasi, dan pasar tidak sempurna.

Sejauh ini dapat dikatakan bahwa tidak satupun model sistem bagihasil yang telah dibahas dapat memberikan penjelasan yang memuaskan atas kehadiran institusi dalam sistem usahatani. Jika tidak terdapat perbedaan tingkat pendapatan antara usahatani dengan sistem sewa dengan usahatani yang menggunakan tenaga kerja upahan, mengapa petani pemilik lebih tertarik untuk mengikat kontrak sistem sakap dibandingkan dengan pendapatan sewa yang tergantung pada hasil panen?

Salah satu alasan yang dapat diterima adalah masuknya variabel resiko dalam analisis yang dilakukan. Pada sistem sewa permanen, seluruh resiko berada di pundak petani penyewa, sebaliknya jika pemilik mengusahakan lahannya dengan menggunakan tenaga kerja upahan maka resiko menjadi tanggungan pemilik lahan. Apabila baik petani pemilik maupun penyakap adalah petani yang risk-averse, maka pilihan bagi hasil, yang juga berarti bagi resiko, menjadi pilihan yang paling aman bagi kedua belah pihak. Dengan demikian salah satu jawaban mengapa pilihan pola usahatani jatuh pada institusi usahatani bagi hasil adalah upaya petani untuk menekan faktor ketidak pastian dan

(7)

resiko. Solusi Cheung terhadap efisiensi usahatani bagi hasil, menunjukkan bahwa dalam pasar persaingan sempurna terdapat suatu kombinasi sistem sewa tunai dan atau mengusahakan sendiri dengan tingkat resiko yang sama seperti yang diperoleh apabila menggunakan sistem sakap. Lebih jauh dikatakan bahwa kombinasi sistem usahatani tersebut dapat memberikan pembagian pendapatan yang seimbang antara petani pemilik dan penyakap (Newbery dan Stiglitz, 1979).

Dengan demikian dapat dilihat bahwa faktor ketidak pastian dan respon terhadap risk-aversion tidak dengan sendirinya menjadi jawaban atas teka-teki sistem bagihasil. Informasi yang tidak sempurna pada gilirannya menyebabkan peran pasar menjadi tidak sempurna untuk menjelaskan sistem usahatani bagi hasil. Beberapa alasan spesifik yang dapat menjelaskan kehadiran sistem bagi hasil tersebut diantaranya adalah:

 Ketidak-sempurnaan Pasar tenaga kerja. Pada kenyataannya baik petani penyakap maupun pemilik tidak pernah menghadapi pasar persaingan sempurna sebagaimana yang diasumsikan oleh Marshalian dan Cheung. Bagi petani penyakap, penawaran tenaga kerja mereka hanya bersifat parsial, tidak menentu, dan mencari pekerjaan jelas membutuhkan biaya. Sebagaimana diketahui kebutuhan tenaga kerja disektor pertanian tidak merata sepanjang tahun sehingga tidak ada jaminan pekerjaan yang dapat memberikan upah tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sepanjang tahun. Bagi petani pemilik, mencari tenaga kerja upahan dengan jumlah, dan kemampuan yang memadai pada waktu yang tepat seringkali menjadi kendala tersendiri. Permasalahan ini menjadi teratasi dengan sistem sakap.

 Ketidak hadiran atau ketidak sempurnaan pasar. Ketidak sempurnaan pasar seringkali sangat berperan bagi eksistensi sistem bagihasil. Sebagai misal, lembaga perkreditan formal segan berhubungan dengan petani kecil dengan tingkat ketidak pastian yang tinggi. Dilain sisi, petani gurem seringkali tidak memilik informasi yang lengkap tentang lembaga perkreditan formal sehinga hubungan kerjasama anatar kedua pihak ini jarang dapat terjadi. Sistem sakap, sesuai dengan kelebihannya yakni pembagian resiko dapat mengatasi hal ini.

 Problem insentif dan pengawasan. Alasan lain yang menyebabkan timbulnya sistem

sakap ini adalah bahwa sistem ini dapat memberikan insentif yang memadai bagi petani penyakap untuk bekerja dengan baik, memberikan jaminan penggunaan jumlah dan kualitas penggunaan tenaga kerja dan sarana produksi yang efektif, serta

(8)

menghindari kegagalan pinjaman. Hal ini sering dikaitkan dengan masalah “moral

hazard”.

Berbagai penjelasan mengenai kelebihan sistem bagihasil yang diuraikan diatas oleh

Stiglitz (1986) dikelompokkan kedalam argumentasi „ketidak-sempurnaan Informasi‟. Sistem bagihasil kemudian dikatakan sebagai suatu tatanan dalam mengatur proses produksi yang dapat menyediakan informasi yang secara lokal lebih lengkap. Namun demikian analisis mengenai sistem bagi hasil rasanya belum lengkap jika aspek keterpaduan pasar belum dimasukkan kedalamnya.

C. Keterpaduan (interlocked) Pasar

Istilah interlocked factor market digunakan untuk menjelaskan penetapan simultan transaksi pada lebih dari satu pasar. Dalam berbagai kasus dapat ditunjukkan adanya keterkaitan antara pasar dalam menentukan transaksi, misalnya harga pada suatu pasar mempengaruhi harga di pasar yang lainnya.

Sebagaimana telah dijelaskan berbagai potensi terjadinya kerjasama dalam sistem bagi hasil meliputi:

a. Akses terhadap lahan melalui sistem sewa bagihasil

b. Tenaga kerja pada usahatani penyakap

c. Pasokan tenagakerja oleh rumah tangga petani penyakap baik pada lahan petani pemilik ataupun pada kegiatan lainnya (termasuk kegiatan rumahtangga)

d. Sistem kredit dalam bentuk bahan pangan yang diberikan petani pemilik kepada penyakap

e. Sistem kredit produksi dari petani pemilik kepada penyakap

f. Penjualan atau pembagian biaya produksi usahatani antara petani pemilik kepada penyakap

g. Pengadaan atau penjualan bahan pangan oleh petani pemilik kepada

penyakap

h. Pemasaran hasil produksi yang dilakukan oleh petani pemilik baik itu bagian dari pemilik atau sebahagian dari milik penyakap.

i. Kemungkinan pengadaan kebutuhan barang dan jasa lainnya seperti , perumahan hingga pengadaan air oleh petani pemilik kepada penyakap. Sistem keterpaduan pasar melahirkan dua interpretasi yang saling bertentangan, dengan berbagai variasi diantaranya. Neoklasik melihat bahwa berbagai aspek diatas pada

(9)

dasarnya dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan usahatani dan memacu adopsi teknologi pertanian oleh petani penyakap. Dari sudut pandang ini, keterpaduan pasar

(interlocking of markets) adalah salah satu cara yang dapat dilakukan oleh petani pemilik untuk mengatasi ketidak-efisienan pasar yang terfragmentasi dan tidak lengkap. Mereka dapat melakukan ini dengan cara menginternalisasi penolakan terhadap eksternalitas pasar tidak sempurna seperti risk-aversion, semangat kerja yang rendah, tunggakan kredit, dan lain sebagainya. Dengan melakukan berbagai hal tersebut, petani pemilik kemudian dapat meningkatkan sosial welfare dengan meningkatkan produktifitas usahatani. Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam mencapai keterpaduan tersebut diantaranya adalah:

a. Mengkaitkan sistem bagihasil dengan pinjaman konsumtif . Hal ini dapat dilakukan oleh petani pemilik untuk memacu petani penyakap bekerja lebih giat.

b. Memadukan sistem bagihasil dengan pinjaman produksi untuk meyakinkan petani pemilik bahwa penggunaan investasi sesuai dengan yang diinginkan oleh petani pemilik.

c. Mengkaitkan sistem bagihasil dengan penggunaan sarana produksi atau biaya produksi dapat merangsang petani penyakap untuk mengadopsi teknologi dan menggunakan input yang efisien

d. Mengkaitkan sistem bagihasil dengan jasa tenaga kerja pada usahatani tuan tanah, dengan pengadaan bahan pangan pada harga yang pasti kepada petani penyakap, atau melakukan pemasaran atas hasil pertanian yang diperoleh adalah berbagai mekanisme yang dapat digunakan oleh petani pemilik untuk menyediakan sanksi atau insentif bagi tenaga kerja keluarga petani penyakap agar mau bekerja lebih giat.

D. Sistem bagihasil sebagai suatu eksploitasi

Anggapan lainnya yang mengatakan bahwa sistem bagihasil dan pasar yang terpadu adalah bukti praktek eksploitasi tidak dengan sendirinya menolak pernyataan bahwa sistem ini dapat memberikan output yang lebih tinggi. Namun bukan ini inti permasalahannya. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah siapakah yang menikmati kesejahteraan sosial yang lebih tinggi akibat penerapan sistem tersebut? Nampaknya peningkatan kesejahteraan hanya dinikmati petani pemilik lahan, sementara petani penyakap tetap bertahan pada level subsisten. Berbagai instrumen yang didiskusikan

(10)

terdahulu merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi usahatani. Di sisi lain permasalahan sentral dalam sistem usahatani bagihasil adalah transfer surplus dari petani penggarap kepada petani pemilik lahan.

Jika eksploitasi menjadi tujuan utama dari pemilik lahan maka hal ini dapat saja dilakukan dengan meningkatkan share yang mereka peroleh tanpa harus memusatkan pasar kebutuhan petani penyakap di tangan tuan tanah. Namun ditinjau dari logika efisiensi, peningkatan share bagi petani pemilik akan menurunkan penggunaan tenaga kerja oleh petani penggarap yang berahir pada operasi usahatani yang tidak optimal dan total nilai penerimaan (TVP) yang tidak maksimum.

Argumen utama mengenai pandangan eksploitasi dalam aspek pemusatan pasar

(interlocked market) disajikan dalam Bhaduri (1973; 1983; 1986). Salah satu kesimpulan yang dikemukakan oleh Bhaduri adalah bahwa sistem pasar yang buruk akan menyebabkan keluaran produksi tidak kompetitif sehingga kesejahteraan petani dari konsep keterpaduan pasar tidak dapat diperbandingkan. Dengan demikian tidak dapat dibuktikan bahwa keterpaduan pasar lebih efisien. Lagi pula tekanan atas penyakap melalui kontrak terpadu semacam ini dapat diartikan bahwa:

a. penyakap bukan partisipan tetap dalam perdagangan mereka hanya partisipan yang dipaksa bertransaksi

b. fungsi jual beli dalam pasar pada harga ekuilibrium tidak jelas, sebab yang terjadi adalah salah satu pihak memperoleh keuntungan dari kerugian pihak yang lain

c. apa yang efisien dari sudut pandang pemilik lahan tidak berimbang dengan efisiensi sosial keluaran pasar yang kompetitif

E.Hal-hal penting lainnya dalam pasar pertanian terpadu

Hubungan sosial yang muncul dalam transaksi pasar pertanian terpadu umumnya memberikan gambaran adanya kontrol satu pihak atas pihak yang lain sebagai berikut: a. Petani pemilik seringkali berperan sebagai kreditor dalam sistem bagi hasil dan

kontrak pinjaman konsumtif

b. Majikan dan atau pemberi pinjaman dalam kontrak kerja dan pinjaman konsumsi seringkali menetapkan batasan situasi tenagakerja yang menjadi andalan pekerja dan keluarganya

(11)

c. Pedagang pengumpul dan atau pemberi pinjaman dalam kontrak penjualan hasil panen dan pinjaman konsumsi memperoleh jaminan berupa output pertanian dan ini berlangsung hampir sepanjang tahun

d. Pemilik toko barang-barang konsumsi dan atau pemberi pinjaman terlibat dalam hubungan segitiga antara pemilik lahan dan pekerjanya. Seringkali pemilik lahan berperan sebagai agen bagi pemilik toko untuk memberikan pinjaman konsumtif tersebut.

Dalam banyak kasus kreditor merupakan jantung dari kontrol nilai transaksi lahan, tenaga kerja dan pasar output. Keterpaduan pasar tidak selalu didasarkan atas mekanisme ini. Sejumlah pola berkembang dari keterkaitan kontrak penjualan eksklusif di mana petani gurem, penyakap atau pemilik terikat dalam sistem bagi hasil dengan nilai input dan harga output yang tetap. Dalam kasus semacam ini terdapat kontrol aktivitas produksi dan kendali informasi atas motivasi keterkaitan pasar kontraktual.

F. Aspek Kebijakan

Konklusi kebijakan yang dapat ditarik dari teori bagi hasil ini sangat tergantung pada posisi :

a. Efisiensi atau inefisiensi organisasi produksi pertanian

b. Dampak distribusi pendapatan antara pemilik lahan dan penyakap

Karena pada umumnya bagi hasil dikonotasikan sebagai ketidaksetaraan distribusi pendapatan antara pemilik lahan dan petani penyakap sebagian besar aspek kebijakan dipusatkan pada topik ini.

1. Land Reform

Reformasi agraria merupakan istrumen dasar kebijakan yang diturunkan dari inefisiensi teoritis pengambilan keputusan dalam sistem bagi hasil dan dampaknya terhadap distribusi income. Tujuan land reform secara umum adalah untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dan kesetaraan. Kebijakan reformasi agraria berbeda dengan jenis kebijakan lain di mana pemerintah berupaya menciptakan iklim perekonomian yang kondusif untuk memfasilitasi peningkatan kesejahteraan petani gurem. Hal ini dapat dipahami mengingat reformasi agraria berkaitan dengan status kepemilikan. Oleh karena itu kebijakan reformasi agraria sangat dipengaruhi oleh struktur politis suatu negara.

(12)

sumberdaya, namun melibatkan perubahan dalam skala besar yang mencakup seluruh struktur kepemilikan tanah di suatu negara. Alasan inilah yang menyebabkan land reform terbukti merupakan proposisi yang sulit dan sangat jarang terjadi kecuali dalam gerakan revolusioner. Land reform secara parsial dalam lingkup terbatas tidak pernah berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengalaman land reform yang ada selama ini membuktikan adanya akselerasi transisi pertanian gurem ke arah pertanian kapitalis atau pertanian keluarga yang bersifat komersial.

2. Kontrol Hukum atas Sistem Bagi Hasil dan Tingkat Bunga

Kebijakan ini merupakan intervensi pemerintah yang didesain jika pilihan land reform

tidak memungkinkan sementara di lain pihak petani penyakap memerlukan proteksi. Bukti atas pengaruh ini tidak dapat dibedakan satu sama lain namun gambaran umum yang diperoleh tidak terlepas dari konteks keterpaduan pasar faktor produksi. Jika bagian hasil yang diperoleh oleh pemilik lahan dijadikan sebagai pedoman penetapan kebijakan maka tingkat bunga pinjaman petani dapat digunakan untuk menggantikan surplus yang dambil oleh penyakap, namun jika diambil sebagai patokan tingkat bunga maka variasi biaya tenaga kerja atau input lainnya dapat digunakan untuk menetralkan kontrol ini.

3. Program Kredit Subsidi

Pilihan alternatif, biaya rendah dan kredit untuk petani penyakap adalah cara lain untuk meningkatkan taraf hidup petani penyakap. Hal ini juga berlaku untuk kebijakan target input dan perangkat kebijakan lainnya. Masalah yang muncul dalam penerapan kebijakan ini adalah tingginya biaya administrasi, resiko tunggakan kredit, dan sulitnya kontrol dalam menyalurkan sarana produksi. Kebijakan-kebijakan tersebut mungkin memiliki beberapa efek positip pada rumahtangga petani gurem tetapi hal ini tidak dapat merubah persepsi bahwa sistem bagi hasil merupakan kendala bagi upaya-upaya peningkatan kesejahteraan petani.

Konklusi mengenai respon kebijakan terhadap ketidaksetaraan kekuatan ekonomi pemilik lahan dalam sistem bagi hasil secara tidak langsung menyarankan land reform

sebagai satu-satunya kebijakan yang mampu memfasilitasi upaya peningkatan taraf hidup petani gurem (Braverman dan Srinivasan, 1981). Reformasi tanah yang bersifat parsial hanya akan mengukuhkan kekuatan pemilik lahan melalui mekanisme

(13)

keterpaduan pasar di mana pemilik lahan berperan sekaligus sebagai majikan, dan pemberi pinjaman.

G.Jangkauan Perspektif

Analisis bagi hasil yang dibahas dalam bab ini lebih menekankan pada sejumlah pengujian model dan relevansi interaksi antar rumahtangga dengan lingkungan ekonomi yang lebih luas. Hal ini karena setiap keputusan yang diambil oleh petani penyakap tidak pernah terlepas dari perspektif pasar yang lebih luas. Kesadaran atas pengaruh hubungan sosial di sektor pertanian terhadap produksi usahatani dan penggunaan sarana produksi sebenarnya sudah semakin mendapat tempat dalam tulisan para ekonom neoklasik.

Seperti beberapa model ekonomi rumahtangga lainnya, teori usahatani bagi hasil ini juga tidak menjelaskan dampak dari bentuk produksi terhadap hubungan kekerabatan dalam keluarga petani khususnya dengan peranan wanita. Tampaknya kehadiran sistem bagihasil serta pemasaran yang terpusat pada petani pemilik memberikan beban yang lebih berat kepada kaum wnita. Hal ini khusnya disebabkan oleh ketidak-mampuan rumahtangga petani penyakap untuk memperbaiki taraf hidup keluarganya.

H. Ringkasan

1. Bab ini membahas analisis mikroekonomi pada usahatani bagi hasil

2. Sistem sakap bagi hasil meliputi interaksi antara rumahtangga yang memiliki akses berbeda terhadap lahan dan sumberdaya lainnya.

3. “Model penyakap” mengilustrasikan fenomena kekuasaan petani penyakap untuk mengambil keputusan atas penggunaan sarana produksi dengan kendala bagian bagi hasil yang dapat dia peroleh. Dalam asumsi pasar sempurna petani penyakap akan mengusahakan lahan usahatani di bawah kapasitas optimum.

4. Model „pemilik lahan‟ memberikan kekuasaan pengambilan keputusan atas

penggunaan sumberdaya pada petani pemilik. Dengan model ini petani pemilik akan berupaya menontrol penyakap agar beroperasi pada titik optimum.

5. Penjelasan mengenai sistem bagi hasil, telah didekati dari berbagai aspek seperti faktor ketidak pastian, motivasi tenaga kerja, pengawasan, kerjasama, dan permasalahan informasi.

(14)

6. Petani dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi dalam mengontrol penggunaan sarana produksi hingga titik yang optimal oleh penyakap dengan cara memadukan sistem pasar di tangan petani pemilik.

7. Pemaduan pasar oleh petani pemilik diinterprestasikan sebagai respon dari petani pemilik terhadap ketidak sempurnaan pasar.

8. Disisi lain juga dapat diinterpretasikan bahwa pemusatan pemasaran ditangan petani pemilik merupakan salah satu cara untuk melakukan eksploitasi sumberdaya

9. Berbagai kebijakan dirancang untuk mengangkat permasalahan ketimpangan

penguasaan sumberdaya antara masing-masing pihak, termasuk diantaranya land-reform, melembagakan sistem bagi hasil dan suku bunga, serta program kredit khusus yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup petani penyakap

10.Analisis sistem sakap bagi hasil memperjelas kesaling-tergantungan antara pengambilan keputusan oleh petani penyakap dengan lingkungan ekonomi yang lebih luas.

Gambar

Gambar 8.1. Model Sharecropping (Penyakapan)
Gambar 8.2. Produk Marginal Tenaga Kerja dalam Model Penyakapan

Referensi

Dokumen terkait

vidljivo je kako samo 4 ispitanika (10%) smatra da im nije potrebna nikakva daljnja edukacija o boli i mehaničkoj ventilaciji, dok najveći broj ispitanika (47,50%,

Komitmen dipandang penting dalam suatu organisasi, karena dengan komitmen yang tinggi seorang karyawan akan bersikap profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang

Penyakit malaria merupakan penyebab utama terjadinya kematian di banyak negara berkembang terutama pada anak-anak dan ibu hamil Tujuan penelitian ini adalah

Hubungan Antara Kontrol Diri dengan Perilaku Kenakalan Remaja pada Siswa Kelas X SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta Tahun Pelajaran 2014/2015.. Jurnal Bimbingan

Produksi adalah perhitungan nilai tambah barang dan jasa adalah perhitungan nilai tambah barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu kegiatan/sektor ekonomi yang diproduksi oleh

Di sisi lain, fakta di lapangan masih banyak remaja dan orang tua yang masih belum paham bagaimana cara menggunakan bahasa Madura dengan baik dan benar dalam

 pasien dan keluarga yang menghadapi masalah berhubun ghadapi masalah berhubungan dengan penyakit yang d gan dengan penyakit yang dapat apat mengancam jiwa, mealaui pencegahan

Selain itu sebagai perusahaan manufaktur, PT Semen Padang harus menjaga keselamatan kerja karyawannya karena dengan adanya kecelakaan kerja akan mempengaruhi proses