• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. menyepakati tujuan pembangunan global dalam Milennium Devolopment Goals

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. menyepakati tujuan pembangunan global dalam Milennium Devolopment Goals"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu dari beberapa Negara berkembang yang menyepakati tujuan pembangunan global dalam Milennium Devolopment Goals (MDGs) yang telah diratifikasi pada tahun 2000. Dalam tujuan 5B, seluruh Negara penandatanganan, sepakat untuk membuka akses Kesehatan Reproduksi Secara Universal kepada individu yang membutuhkan salah satu di dalamnya adalah peningkatan Contraseptive Prevalence Rate (CPR) dan penurunan Unmet need(BKKBN, 2009)

Melihat jumlah penduduk Indonesia yang menempati posisi ke empat di dunia, dengan laju pertumbuhan yang masih relative tinggi, dibuktikan dengan jumlah kelahiran yang mencapai lima juta per tahun, maka Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) sesuai dengan UU No. 52/2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pengembangan Keluarga memiliki tugas yaitu menurunkan angka total fertility Rate (TFR) agar dapat mengurangi beban pembangunan dengan mengatur jarak kelahiran, salah satunya dengan penggunaan kontrasepsi terutama metode kontrasepsi Jangka Panjang (SDKI, 2012)

(2)

mendorong pemerintah Indonesia membuat beberapa kebijakan penting. Penduduk yang besar tanpa disertai dengan kualitas pembangunan yang memadai, justru menjadi beban pembangunan dan menyulitkan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional (SDKI,2012)

Puncak umur melahirkan wanita pada umur 15 – 49 tahun bergeser dari 20-24 tahun pada SDKI 2007 menjadi 25-29 tahun pada SDKI 2012. Median umur melahirkan pertama pada wanita umur 25-29(22,8 tahun) lebih tinggi dibandingkan wanita umur 45-49 (20,6 tahun). 10% remaja wanita umur 15-19 tahun pernah melahirkan atau sedang hamil anak pertama (SDKI,2012).

BKKBN sebagai lembaga pemerintah di Indonesia mempunyai tugas untuk mengendalikan fertilitas melalui pendekatan 4 (empat) pilar program, yaitu Program Keluarga Berencana (KB), Kesehatan Reproduksi (KR), Keluarga Sejahtera (KS) dan Pemberdayaan Keluarga (PK). Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009-2014, tertuang bahwa dalam rangka mempercepat ingindalian fertilitas melalui penggunaan kontrasepsi, program keluarga berencana nasional di Indonesia lebih diarahkan kepada pemakaian Metoda Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) ( BKKBN,2009)

Penggunaan kontrasepsi merupakan salah satu upaya dalam Program Keluarga Berencana untuk mengendalikan fertilitas atau menekan pertumbuhan penduduk yang paling efektif. Di dalam pelaksanannya diupayakan agar semua metoda atau alat kontrasepsi yang disediakan dan ditawarkan kepada masyarakat memberikan manfaat optimal dengan meminimalkan efek samping maupun keluhan yang ditimbulkan (BKKBN, 2010)

(3)

Penggunaan Kontrasepsi di Indonesia masih di dominasi oleh metode kontrasepsi hormonal dan bersifat jangka pendek yang pada umumnya memiliki continuation rate yang rendah di bandingkan dengan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) (BKKBN, 2009)

Tabel 1.1 Tren pemakaian alat atau cara KB tertentu, Indonesia 1991 sampai dengan 2012

Alat /Cara KB SDKI1991 SDKI1994 SDKI1997 SDKI 2002-2003 SDKI 2007 SDKI2012 Semua cara 49.7 54.7 57.4 60.3 61.4 61.9 PIL 14.8 17.1 15.4 13.2 13.2 13.6 IUD 13.3 10.3 8.1 6.2 4.9 3.9 Suntik 11.7 15.2 21.1 27.8 31.8 31.9 Kondom 0.8 0.9 0.7 0.9 1.3 1.8 Susuk KB 3.1 4.9 6.0 4.3 2.8 3.3 Sterilisasi Wanita 2.7 3.1 3.0 3.7 3.0 3.2 Sterilisasi Pria 0.6 0.7 0.4 0.4 0.2 0.2 Pantang berkala 1.1 1.1 1.1 1.6 1.5 1.3 Sanggama terputus 0.7 0.8 0.8 1.5 2.1 2.3 Lainnya 0.9 0.8 0.8 0.5 0.4 0.4 Jumlah Wanita 21.109 26.186 26.886 27.857 30.931 33.465 Sumber : SDKI 2012

Tabel 1.1 penggunaan kontrasepsi tren 1991 – 2012 menunjukkan pemakaian kontrasepsi meningkat dari 50% pada SDKI 1991 menjadi 62% pada SDKI 2012. Angka pemakaian alat / cara KB terjadi sebelum SDKI 2002-2003. Angka pemakaian alat / cara KB meningkat hampir 1 % per tahun selama periode sebelas tahun antara SDKI 1991 dan SDKI 2002-2003. Selama 1 Dekade setelah SDKI 2002 – 2003.

Tabel 1.1 menunjukkan perubahan secara substansi popularitas beberapa metode kontrasepsi modern. PenggunaanIUDmenurun terus menurun selama 20

(4)

1991 menjadi 32% pada SDKI 2012. Pil adalah metode modern yang paling banyak digunakan pada SDKI 1991 dan 1994 sedangkan suntikan KB merupakan metode kontrasepsi modern yang paling popoler digunakan sejak SDKI 1997 (SDKI, 2012).

Pada akhir tahun 80 – an sampai awal tahun 90 – an, AKDR merupakan kontrasepsi yang cukup popular setelah pil dan suntik, namun beberapa tahun terakhir ini pola pemakaian AKDR di Indonesia cenderung menurun yakni 13,3 % (SDKI 1991), 10,3% (SDKI 1994), 8,1% (SDKI 1997), turun menjadi 6,2% (SDKI 2002-2003), dan turun lagi menjadi 4,9% (SDKI 2007) dan turun lagi 4% (SDKI 2012).

Rendahnya penggunaan kontrasepsi jangka panjang dipengaruhi oleh faktor pengguna dan penyedia pelayanan KB. Salah satu faktor yang dianggap berkontribusi dengan kecenderungan pemilihan metode kontrasepsi jangka pendek adalah faktor penerimaan terhadap kontrasepsi tersebut, dikarenakan informasi yang belum optimal dalam penyampaian manfaat kontrasepsi jangka panjang.

Jenis kontrasepsi memiliki tingkat efektifitas yang hampir sama bila digunakan secara benar, akan tetapi efektifitas kontrasepsi terutama kontrasepsi jangka pendek dipengaruhi antara lain oleh perilaku dan tingkat sosial budaya pemakainya. Apabila persentase peserta KB yang memakai alat kontrasepsi jangka pendek ternyata tinggi, maka dikhawatirkan akan lebih banyak terjadi drop out, sehingga target penurunan TFR 2,1 pada tahun 2015 tidak tercapai (BKKBN, 2012).

(5)

MKJP di Negara Eropa dikenal dengan Long Acting Contraceptive System (LACS) adalah metode kontrasepsi yang penggunaannya tidak setiap hari (seperti pil) atau tidak digunakan setiap melakukan sanggama (seperti kondom), dengan demikian suntikan KB dalam hal ini digolongkan sebagai MKJP. Long Acting Contraceptive System dikelompokkan menurut Reversible (IUD, Implant, suntikan) dan Irreversible (Kontap pria dan wanita) (Israr Y.K, 2008).

MKJP yang sebelumnya dikenal dengan MKET (Metoda Kontrasepsi Efektif Terpilih) telah mulai digalakkan oleh pemerintah di Indonesia lebih dari 10 tahun yang lalu. Pada tahun 1996, FK- UI (Azwar,A) telah melakukan suatu Operasional Research terhadap pelayanan metoda MKJP di beberapa rumah sakit di Jakarta. Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa pelayanan MKJP seyogyanya dilakukan di rumah sakit dan perlu diikuti dengan upaya perbaikan pelayanan baik terhadap provider, kelengkapan sarana dan prasarana di Rumah Sakit dan dengan pendekatanquality Assurance(USAID, 2008).

Pelayanan KB di RS sangat potensial memberikan sumbangan pencapaian target program KB Nasional, dapat menjadi peluang sasaran pelayanan KB (menurunkan unmeet need) dan menurunkan angka Kematian Ibu. Salah satu program yang sedang digalakkan kembali adalah program KB pasca persalinan dengan salah satu pilihan kontrasepsi post partum yaitu pemasanganIUDsetelah

(6)

out dikarenakan : efek samping, ingin hamil, preferensi terhadap suatu metode alat KB, biaya, rasa tidak nyaman, perceraian, frekuensi hubungan seksual yang jarang) sebesar kegagalan alat KB, dan ganti cara ( Saifudin, 2006).

Dari data penelitian dengan menggunakan sampel wanita kawin usia 15-49 tahun yang memakai kontrasepsi MKJP yang berasal dari data SDKI 2007 dengan Jumlah wanita kawin sebanyak 18.969 orang. Dan yang mengikuti MKJP masih rendah yaitu kurang dari seperlima dari jumlah PUS (jurnal penelitian puslitbang 2009). Walaupun data tidak tersedia pada semua negara, tetapi selama tahun 2000-2007,unmet needuntuk kontrasepsi berkisar 13% untuk regio Asia Tenggara dan 24% untuk Afrika (USAID, 2008).

Dibandingkan data SDKI 2002 – 2003, pemakaian kontrasepsi cara suntikan naik 4 poin persen dari 28 % pada SDKI 2002 – 2003 menjadi 32 % pada SDKI 2007. Sedangkan pemakaian MKJP jenis IUD dan implan masing-masing turun 1 poin persen dari 6 % pada SDKI 2002 – 2003 menjadi 5 % pada SDKI 2007 dan implan dari 4 % pada SDKI 2002 – 2003 menjadi 3 % pada SDKI 2007, Jadi, telah terjadi perubahan pemakaian alat atau cara KB modern di Indonesia. Berdasarkan Riskesdas 2007, provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai angkaunmet needMKJP yang masih mencapai 11,2% dan pada tahun 2010unmet need di provinsi Jawa Timur berada diatas standar nasional yaitu mencapai 12,4% (BKKBN, 2010).

Berdasarkan hasil pemantauan BKKBN terhadap pelayanan Keluarga Berencana pasca persalinan dan pasca-keguguran di 22 Rumah Sakit (14 provinsi) pada tahun 2008-2009, wanita yang ber-KB setelah bersalin dan keguguran rata-rata hanya 5-10% (Ekoriano et al., 2012). Padahal pemasangan

(7)

pada masa ini aman, memiliki risiko kecil untuk infeksi, sedikit perdarahan, dan angka perforasi yang rendah. Angka kehamilan yang tidak direncanakan (unplanned pregnancy) pada pemasangan alat kontrasepsi pada masa ini adalah 2- 2,8 per 100 pemakai selama 24 bulan pemasangan IUD Copper modern (O’Hanley K., Douglas H., Huber., 2012).

Pemasangan IUD post-placenta direkomendasikan karena pada masa ini serviks masih terbuka dan lunak sehingga memudahkan pemasangan IUD dan kurang nyeri bila dibandingkan pemasangan setelah 48 jam pasca persalinan. Insersi IUD post-placenta memiliki angka ekspulsi rata-rata 13-16%, dan dapat hingga 9-12,5% jika dipasang oleh tenaga terlatih. Angka ekspulsi ini lebih rendah bila dibandingkan dengan waktu pemasangan pada masa segera pasca -persalinan(immediate postpartum), yaitu 28-37% (USAID, 2008)

Berdasarkan data dari BKKBN pencapaian peserta KB baru seluruh metode kontrasepsi pada tahun 2013 di Jawa Timur adalah 1.122.376 peserta atau 110,12% dari PPM (Perkiraan Permintaan Masyarakat) sebesar 1.019.214 peserta (100%), diantaranya implant sebesar 63.378 (242,60%) terhadap PPM sebesar 26.125 (100%); suntik sebesar 662.092 (134,97%) terhadap PPM sebesar 490.532 (100%); MOW sebesar 16.136 (123,56%) terhadap PPM sebesar 13.059 (100%); IUDsebesar 99.981 (82,0%) terhadap PPM sebesar 121.925 (100%); PIL sebesar 280.789 (76,39%) terhadap PPM sebesar 367.573 (100%) (BP2KB Mojokerto, 2013).

(8)

Tabel 1.2 Jumlah Pencapaian Peserta KB Baru Semua Metode sampai dengan Bulan Desember 2013

Indikator kinerja PPM tahun2013 terhadap PPMPencapaian terhadap PPM (%)Persentase Jumlah Seluruh Peserta KB

Baru 21.085 26.427 125,34

Jumlah seluruh peserta KB Baru MKJP a. IUD b. MOW c. Implant d. MOP 15.393 7093 649 7345 306 7.515 4.148 679 2.656 32 48,82 58,48 104,62 36,16 10,46 Jumlah seluruh peserta KB

Baru Non MKJP a. Kondom b. Suntik c. Pil 1.969 1.687 2.036 1.533 12.729 4.650 77,86 754,57 228,39 (Sumber : BP2KBD Mojokerto, 2013)

Berdasarkan data dari BKKBN pencapaian peserta KB baru Metode kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) pada tahun 2013 di Kabupaten Mojokerto adalah sebesar 7.515 (48,82%) terhadap PPM sebesar 15.393 (100%) dengan kriteria implant sebesar 2.656 (36,16 %) terhadap PPM sebesar 7345 (100%); suntik sebesar 48.428 (163,05%) terhadap PPM sebesar 490.532 (100%); MOW sebesar 679 (104,62%) terhadap PPM sebesar 649 (100%); IUD sebesar 4.148 (58,48%) terhadap PPM sebesar 7.093 (100%); PIL sebesar 13.872 (68,92%) terhadap PPM sebesar 20.000 (100%), MOP sebesar 32 (10,425) dari PPM sebesar 306 (100%) (BP2KBD Mojokerto, 2013).

Kontrasepsi hormonal untuk suntik sangat melebihi target PPM yaitu sebesar 12.729 (603,56%) terhadap PPM sebesar 2.109 (100%), Pil melebihi target PPM yang kedua setelah suntik yaitu sebesar 4.650 (182,71%) terhadap

(9)

PPM sebesar 2.545 (100%), untuk kondom sebesar 1.533 (62,29%) terhadap PPM sebesar 2.461 (100%) (BP2KBD Mojokerto, 2013)

Tabel 1.3 Kategori PUS Tidak ber KB di Kabupaten Mojokerto bulan Desember 2013

Keterangan Jumlah Persentase (%)

Hamil

Ingin Anak Segera (IAS) Ingin Anak ditunda (IAT) Tidak Ingin Anak (TIA)

6.345 21.537 7.867 10.277 13,79 46,79 17,09 22,33 Jumlah 46.026 100 BP2KBD Mojokerto, 2013

Unmeet NeedPUS yang tidak memakai alat kontrasepsi adalah dari jumlah PUS yang ada di Kabupaten Mojokerto bulan Desember 2013, sejumlah 244.876 dan yang menjadi peserta KB sejumlah 198.850 jadi menyisakan PUS sebanyak 46.026 atau 18,79% dengan keadaan PUS hamil 6.345 (13,79%), Ingin Anak Segera (IAS) sebesar 21.867 (17%), Ingin Anak Ditunda (IAT) sebesar 7.867 (17,09%) dan Tidak Ingin Anak (TIA) sebesar 10.277 (22,23%) (BP2KBD Mojokerto,2013). Dari data tersebut yang menjadi sasaran peserta KB baru untuk Kabupaten Mojokerto bulan Desember 2013 Unmet Need sejumlah 18.144 atau 7,40 % calon peserta KB dan ditambah khusus Pengantin baru sebagai sasaran peserta KB baru menggunakan Kontrasepsi Kondom untuk menunda kehamilan anak pertama.

(10)

Tabel 1.4 Alasan DO untuk semua metode kontrasepsi Wilayah Kabupaten Mojokerto tahun 2013

Alasan Jumlah Persentase (%)

Ingin anak Komplikasi Kegagalan Meninggal Menopause Cerai PA Pindah luar wilayah Lain-lain 11.707 18 9 322 2.852 161 895 1.891 11.262 40,207 0,062 0,030 1,106 9,795 0,553 3,074 6,495 38,678 Jumlah 29.117 100 Sumber : BP2KBD Mojokerto 2013

Drop Out dari pencapaian Peserta KB Aktif Desember 2012 sebesar 198.767 akseptor ditambah pencapaian peserta KB Baru sampai dengan Desember 2013 sejumlah 26.427 akseptor dan yang seharusnya menjadi peserta KB aktif sejumlah 225.194 akseptor, namun peserta KB aktif Bulan Desember 2013 sejumlah 198.850 akseptor, maka terjadilah DO sampai dengan bulan Desember 2013 sejumlah 26.344 atau 11,70 %. Drop out tertinggi adalah kecamatan Pungging sebesar 25,08 % atau 4.480 akseptor (BP2KBD Mojokerto,2013).

RSUD PROF.Dr.Soekandar Mojosari merupakan Rumah Sakit Umum Daerah di kabupaten Mojokerto yang telah memberikan pelayanan pemasangan alat kontrasepsi pasca-salin. Program ini dilaksanakan dengan tujuan untuk membantu program Pemerintah dan BKKBN untuk meningkatkan cakupan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang.

(11)

Tabel 1.5 Pelaksanaan pelayanan KB Pasca Persalinan di Rumah Sakit Prof. Dr.Soekandar Kabupaten Mojokerto tahun 2013

Bulan PersalinanJumlah

Jumlah BerKBPascaPersalinan Jumlah KB/ Jumlah Persalinan Persentase

(%) Jumlah Jenis Kontrasepsi

IUD MOW a b c d e f Jumlah % Jumlah % Januari 176 151 135 89,40 16 10,59 85,79 Februari 168 140 129 92,14 11 7.86 83,33 Maret 190 165 148 89,69 17 10.30 86,84 April 143 113 108 95,57 5 4,42 79,02 Mei 205 181 171 94,47 10 5,52 88,29 Juni 175 162 156 96,29 6 3,70 92,57 Juli 153 132 125 94,69 7 5,30 86,27 Agustus 165 149 139 93,29 10 6,71 90,30 September 160 142 132 92,95 10 7,04 88,75 Oktober 149 144 133 92,36 11 7,64 96,64 Nopember 168 142 137 96,48 5 3,52 84,52 Desember 138 98 92 93,88 6 6,12 71,01 Total 1990 1719 1605 85,51 114 6,63 86,381 Sumber: Laporan KB Pasca Salin RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojokerto 2013

Data yang didapatkan dari RSUD PROF. Dr.Soekandar Mojosari menunjukkan bahwasanya pada tahun 2013 dari 1990 ibu yang bersalin di kamar bersalin sebagian besar yaitu 1605 Ibu yang menggunakan kontrasepsi pasca -salin IUD post- placenta dengan presentase 85.51%. Di antaranya adalah ibu yang melahirkan dengan Jamkesmas, dan sedikit dari BPJS Umum. Dari jumlah tersebut sebagian besar ibu melahirkan lebih dari 3 kali. Angka keguguran mencapai 157 ibu, terdapat hanya 4 orang ibu menggunakan kontrasepsi IUD dan 1 ibu MOW.

(12)

Tabel 1.6Kelangsungan pemakaianIUD PascaPlasenta pada 20 orang pada Ibu aksepstor IUD Pasca Plasenta tahun 2014

Jumlah akseptor Frekuensi Persentase

Drop out 3 15%

Aktif 17 85%

Total 20 100%

Kenaikan secara pesat pemakaian IUD pasca Plasenta tertinggi dipakai oleh Ibu dengan Jamkesmas dan sedikit dari Ibu dengan BPJS umum. Namun harapan untuk menjadi peserta KB aktifIUD pascaPlasenta masih ada yangdrop out. Dari sejumlah 20 orang Ibu yang sudah pulang dari RS yang mengikuti KB IUD pasca plasenta, yang diambil secara purposive dari 4 desa ditemukan sejumlah 17 orang (85%) telah berlangsung dan 3 orang (15%)drop out. Dengan kriteria 1 orang Unmeet need dengan alasan tidak diperbolehkan sama suami merasa tidak cocok dan mencoba ingin MAL (Metode Amenore Lactasi) dan 2 orang ganti cara metode kontrasepsi.

Rendahnya pemakaian MKJP di kalangan wanita termasuk IUD pasca Plasenta pada ibu yang pernah kawin di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, yang pada analisis ini dapat dikelompokkan menurut faktor individu (klien), faktor program yang berkaitan dengan kualitas pelayanan dan lingkungan. Disinyalir, banyak pasangan yang sudah tidak ingin anak lagi ataupun ingin menunda kehamilan lebih dari 2 tahun, tetapi memakai kontrasepsi yang bukan/non- MKJP. Hasil mini survei peserta KB aktif, dan hasil studi tentang kualitas pelayanan KB, mengungkap bahwa cukup banyak peserta KB yang menggunakan cara KB dengan tidak rasional (tidak sesuai dengan umur ibu,

(13)

jumlah anak yang diinginkan dan kondisi kesehatan ibu).

Rendahnya pelayanan Keluarga Berencana di RS juga disebabkan terbatasknya tenaga kesehatan yang kompeten dalam pelayanan KB, biaya untuk kontrasepsi mantap yang disediakan pemerintah melalui Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih rendah dari pada peraturan pemerintah Daerah (PERDA) yang berlaku di Rumah Sakit. Terbatas atau adanya tenaga pencatatan dan pelaporan yang sedang belum optimal.

Kerja sama dengan RS dalam bentuk komitmen untuk menyediakan pelayanan KB dan Konseling KB mulai dari perawatan kehamilan / Ante Natal Care, sampai ibu yang melahirkan (In partu). Pemasangan IUD pasca Plasenta tersebut bisa di ikuti oleh Ibu Pasca salin pervaginal yang merupakan metode yang sangat efektif dan efisien. Pemberian konseling Keluarga Berencana dan metode kontrasepsi selama masa pasca persalinan dapat meningkatkan kesadaran Ibu untuk menggunakan kontrasepsi (USAID, 2008)

Sebagian wanita setelah melahirkan biasanya tidak menginginkan kehamilan atau menunda kehamilan sampai 2 tahun setelah melahirkan tetapi mereka tidak menggunakan kontrasepsi (unmet need) (Widyastuti, 2010). Unmet need adalah tidak terpenuhinya pemakaian kontrasepsi pada wanita yang ingin mengakhiri atau menunda kehamilan sampai 24 bulan (SDKI, 2007).

Studi yang dilakukan oleh Ross dan Frakenberg (1993) menunjukkan wanita pada masa pasca persalinan mempunyai unmet need untuk kontrasepsi,

(14)

2010). Studi mengenai penggunaan kontrasepsi pasca persalinan pada wanita di Indonesia masih terbatas (Widyastuti, 2010).

IUD Pasca Plasenta disebut yang KB pasca-partum adalah alat kontrasepsi yang dapat langsung dipasang pada saat 10 menit setelah plasenta dilahirkan, yaitu IUD (Intra Uterine Device). Pemasangan alat kontrasepsi ini setelah plasenta dilahirkan dirasakan menguntungkan untuk beberapa alasan tertentu, seperti pada masa ini wanita tersebut tidak ingin hamil dan motivasinya untuk memasang alat kontrasepsi masih tinggi ( Grimeset al., 2010).

IUD ini dapat digunakan bertahun-tahun dan ini akan menghemat biaya apalagi jika pemasangan dapat langsung dilakukan di fasilitas kesehatan tempat Ibu melahirkan (USAID, 2008). Pemasangan IUD post-placenta belum terlalu banyak digunakan karena masih kurangnya sosialisasi mengenai hal ini dan masih adanya ketakutan pada calon akseptor mengenai terjadinya komplikasi seperti perforasi uterus, infeksi, perdarahan, dan nyeri (Edelmanet al., 2011).

Berdasarkan data tersebut, tampak bahwa pemakaian metode kontrasepsi hormonal memperlihatkan kecenderungan peningkatan pada beberapa kurun waktu terakhir ini. Sebaliknya, pemakaian metode kontrasepsi MKJP (IUD) cenderung menurun dari waktu ke waktu, disinyalir ada beberapa penyebab mengapa wanita PUS cenderung memilih kontrasepsi suntik daripada AKDR. Telah dilakukan berbagai upaya agar akseptor KB IUD meningkat diantaranya adalah dengan penyuluhan dan konseling. Dampak bila akseptor KB IUD tetap rendah maka perlindungan kehamilan jangka panjang kurang terjamin.

(15)

Sesuai dengan harapan BKKBN akibat kebijakan yang telah dibuat RS yaitu pasien yang melahirkan dengan jampersal diharapakan memakaiIUD pasca plasenta, dan menunjukkan adanya perubahan pesat, terjadi kenaikan pemakaian IUD pasca Plasenta di RSUD soekandar Mojosari Mojokerto. Pasien yang melahirkan dengan program Jamkesmas, jika tidak ada kontra indikasi diberi konseling agar mau di pasang IUD pasca plasenta yang pada akhirnya ada Ibu post partum yang telah terpasang IUD Pasca Plasenta, setelah pulang dari RS justru banyak yang drop out / melepas IUD yang telah terpasang. Pelepasan dilakukan di klinik/ tempat pelayanan kesehatan yang lain di luar RS. Disinyalir ada banyak factor yang membuat pasien ingin melepasIUDyang telah dipakai.

Berdasarkan pemaparan yang sudah disampaikan pada latar belakang tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah dalam penelitian ini adalah pemakaian Metode Kontrasepsi IUD pada PUS yang masih kurang dari target. Dan pada penelitian ini masalah secara khusus di tekankan pada masalah masih adanya Akseptor KB IUD Pasca Plasenta yang droup out dari kelangsungan pemakaian metode kontrasepsi IUD pasca plasenta. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik mengadakan penelitian tentang faktor kelangsungan pemakaian metode kontrasepsiIUD pascaPlasenta pada Pasangan Usia Subur di Wilayah Kabupaten Mojokerto.

(16)

1.2 Kajian Masalah

Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003), faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan yang termasuk di dalamnya kelangsungan pemakaian alat kontrasepsiIUD PascaPlasenta di Kabupaten Mojokerto adalah :

Gambar 1.1 Kajian masalah penelitian ”faktor kelangsungan pemakaian Metode KontrasepsiIUD PascaPlasenta”.

Peserta KB Aktif IUD Pasca Plasenta Drop Out IUD Pasca Placenta Kelangsungan Pemakaian Kontrasepsi IUD Pasca Plasenta Predisposing Factors 1. Karakteristik 2. Pengetahuan 3. Sikap 4. Ekonomi 5. Sosial Budaya Reinforcing Factors 1. Keberadaan dukungan Suami dan Keluarga 2. Pemantapan KB

Aktif oleh Nakes

Enabling Factors 1. Akses Pelayanan KB 2. Efek samping dan Komplikasi 3. Ingin Punya Anak Akseptor IUD Pasca Plasenta Kebijakan BKKBN

(17)

1. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kelangsungan pemakaian Metode Kontrasepsi IUD Pasca Plasenta pada PUS di kabupaten Mojokerto. Faktor tersebut adalah :

a. Kebijakan Program PKBRS

Pelayanan KB di RS adalah Pelayanan Medik dan Non medic bagi Pasangan Usia Subur untuk menunda, menjarangkan dan mengakhiri kesuburan dengan menggunakan salah satu metode kontrasepsi, penanganan komplikasi dan kegagalan termasuk kemungkinan rekanalisasi yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang kompeten (BKKBN – PKBRS, 2010).

Kebijakan pertama yang di ambil oleh Rumah Sakit adalah pada saat awal adanya program jampersal, bagi pasien yang melahirkan dengan Jampersal, setelah persalinan wajib menggunakan salah satu metode Kontrasepsi (UU Jampersal, 2011) . Demikian yang terjadi di beberapa RS bagi pasien setelah melahirkan yang tidak ada kontra indikasi diharapkan mau dilakukan pemasangan IUD pasca Plasenta dengan beberapa pertimbangan yang telah di tetapkan di RS. Dan saat ini berlanjut bagi ibu yang melahirkan dengan Jamkesmas, serta ditawarkan juga bagi Ibu yang melahirkan dengan BPJS Umum.

(18)

1. Umur

Usia seorang wanita dapat mempengaruhi kecocokan dan akseptabilitas metode kontrasepsi tertentu (Wulansari, 2006). Menurut Hurlock (2003) usia 21 – 25 tahun merupakan rentang usia dimana seseorang telah mampu menyesuaikan diri dengan situasi dan pengalaman baru.

2. Pendidikan

Pendidikan adalah faktor penentu dari gaya hidup dan status seseorang dan dalam masyarakat. Secara konsisten penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang ditamatkan mempunyai pengaruh yang kuat pada perilaku reproduksi, penggunaan alat kontrasepsi, kelahiran, kematian anak dan bayi, kesakitan, dan perilaku serta kepedulian terhadap kesehatan keluarga (SDKI, 2007).

3. Paritas

Paritas seorang wanita dapat mempengaruhi cocok tidaknya suatu metode secara medis. Secara umum, AKDR tidak dianjurkan bagi wanita nulipara karena pemasangan yang lebih sulit, angka ekspulsi yang lebih tinggi daripada wanita yang pernah melahirkan, dan kemungkinan pemakaian AKDR dapat mengganggu kesuburan di masa depan (Wulansari, 2006).

(19)

Beberapa ahli memberikan definisi tentang pengetahuan sebagaimana Notoatmodjo (2005) memberikan definisi bahwa pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, raba dan rasa yang sebagian terdapat dari mata dan telinga.

3) Sikap

Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi adalah merupakan “predisposisi” tindakan atau perilaku (Notoatmodjo, 2003). 4) Ekonomi

Diantara yang termasuk dalam faktor predisposisi atau yang mempermudah untuk terjadinya perilaku adalah tingkat ekonomi. Menurut Azwar (1983) dalam Istiarti (2000) perilaku kesehatan dipengaruhi oleh latar belakang ekonomi, bagi yang berstatus ekonomi tinggi akan semakin mudah dalam memilih pelayanan kesehatan begitu juga sebaliknya termasuk memilih alat kontrasepsi.

(20)

Upaya program KB untuk mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) nampaknya belum sepenuhnya dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat. Di beberapa daerah dimana masyarakatnya masih akrab dengan budaya “banyak anak banyak rejeki”; “tiap anak membawa rejeki sendiri-sendiri”; ataupun “anak sebagai tempat bergantung dihari tua” nampaknya masih sulit menerima konsep program KB. Ada juga alasan dari segi agama yang mereka yakini tidak memperbolehkan untuk mengikuti program KB (BKKBN, 2012).

3. Ditinjau dari faktor penguat (reinforcing factors) terdiri dari : 1) Dukungan suami dan keluarga

Pendapatan dukungan, kritik dari keluarga, teman sekerja, tokoh masyarakat, tokoh agama juga dari petugas kesehatan sendiri adalah faktor yang memperkuat (kadang-kadang memperlunak) untuk terjadinya perilaku tertentu. Kane (1988) dalam Friedman (1998) mengidentifikasi dukungan sosial keluarga sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dan lingkungan.

2) Pemantapan dan pendampingan menjadi peserta KB aktif

Focus supervise fasilitatif adalah pada system dan proses kinerja dengan memanfaatkan data/informasi untuk mengidentifikasi dan menganalisa maslaha serta menemukan akar penyebab masalah. Kemudian diaplikasikan solusi terpilih untuk menjaga dan memperbaiki kualitas pelayanan(BKKBN, 2012)

4. Ditinjau dari faktor pemungkin (enabling factors) terdiri dari : 1) Akses

(21)

Akses pelayanan KB mempengaruhi kelangsungan pemakaian kontrasepsi IUD. Jika akses pelayanan jauh maka ibu akan merasa tidak nyaman jika terjadi keluhan sehingga ada keterlambatan jika ada infeksi yang mengakibatkan ibu drop out, karena tidak ada penanganan pencegahan. Jika pelayanan dekat ibu lebih mudah mendapatkan informasi tentang masalah kontrasepsi yang dipakai sehingga bisa diatasi masalah haruskan drop out, atau tidak sesuai dengan kondisi masalah(BKKBN,2010)

2) Efek samping dan komplikasi

Karena Efek samping dan komplikasi dari kontrasepsi yang dipakai sehingga ada indikasi untuk drop out, atau jika efek samping tadi memang wajar dan tidak menganggu kesehatan, IUD bisa dilanjutkan / dipakai(BKKBN,2010)

3) Masalah Kesehatan

Kemungkinan masalah kesehatan ibu yang kemungkinan kontra indikasi dari alat Kontrasepsi IUD yang baru diketahui setelah beberapa bulan pemakain atau karena skrining yang kurang teliti, sehingga ibu harus drop outdariIUD.

4) Ekspulsi

Keluarnya sendiri alat kontrasepsi IUD, yang kemungkinan bisa terjadi kegagalan sehingga terjadi kehamilan. Membuat image yang buruk tentangIUD,sehingga ibu drop outdan tidak ingin memakai alat kontrasepsi IUD. Dinyatakandrop out karena ekspulsi jika ibu telah memeriksakan IUD

(22)

5) Ingin Punya Anak

Keinginan Ibu untuk memiliki anak berikutnya dengan jarak minimal, sehingga ibu memilihdrop outdan ganti cara KB yang tidak jangka panjang. Atau keinginan memiliki anak berikutnya dengan jarak yang relatif jauh, sehingga memilih melanjutkanIUDyang dipakai.

5. Kelangsungan menggunakanIUD PascaPlasenta.

Ada 2 kelangsungan yaitu; Peserta KB yang sedang menggunakan IUD terus menerus tanpa diselingi kehamilan dan peserta KB yang drop out / keluar dari akseptor KBIUD PascaPlasenta.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka, dapat dirumuskan suatu masalah yaitu 1. Apakah ada pengaruh predisposing factors (Karakteristik responden yang

terdiri usia, paritas, KB sebelumnya) , pengetahuan dan Sikap. Reinforcing Factors (keberadaan dukungan), Enabling Factors (Akses, Keluhan dari Efek samping dan keinginan mempunyai anak) terhadap kelangsungan pemakaian IUD Pasca Plasenta pada PUS di Wilayah Kabupaten Mojokerto?

2. Apakah faktor yang paling dominan mempengaruhi kelangsungan Pemakaian Kontrasepsi IUD Pasca Plasenta pada PUS di Wilayah Kabupaten Mojokerto?

1.4 Tujuan Penelitian

(23)

Meningkatkan upaya kelangsungan pemakaian kontrasepsi IUD Pasca plasenta berdasarkan analisis faktor perilaku pada PUS di wilayah Kabupaten Mojokerto tahun 2014.

2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik Akseptor KB IUD pasca Plasenta di Wilayah Kabupaten Mojokerto tahun 2014

2. Mengidentifikasi kelangsungan pemakaian akseptor berdasarkan faktor yang berpengaruh pada PUS Akseptor KB IUD pasca Plasenta di Wilayah Mojokerto tahun 2014

3. Mengetahui pengaruh predisposing factors (Karakteristik responden yang terdiri usia, paritas, KB sebelumnya) , pengetahuan dan Sikap. Reinforcing Factors(keberadaan dukungan), Enabling Factors(Akses, Keluhan dari Efek samping dan keinginan mempunyai anak) terhadap kelangsungan pemakaian IUD PascaPlasenta pada PUS di Wilayah Kabupaten Mojokerto?

4. Mengetahui faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap kelangsungan pemakaianIUD pascaPlasenta pada PUS Akseptor KBIUD pascaPlasenta di Wilayah Mojokerto tahun 2014

5. Menyusun Rekomendasi dalam upaya untuk meningkatkan kelangsungan pemakaian kontrasepsi IUD PascaPlasenta pada PUS di Wilayah Kabupaten Mojokerto tahun 2014.

(24)

Menambah kajian baru dalam perbendaharaan perpustakaan untuk kepentingan ilmiah . terutama dalam mengupas masalah- masalah pemakaian alat Kontrasepsi jangka panjang khususnya KBpascaSalinIUDpost Plasent

2. Manfaat Terapan 2.1 Bagi tempat Pelayanan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam upaya meningkatkan pelayanan KB dan peran serta PUS dalam memilih Kontrasepsi IUD pasca Plasenta, sehingga diharapkan dapat dimanfaatkan bagi pengelola dan penentu kebijakan sebagai bahan masukan untuk menyusun strategi operasional untuk meningkatkan cakupan penggunaan MKJP dalam upaya mempercepat penurunan TFR.

2.2 Bagi Masyarakat

IUD Pasca Plasenta merupakan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Jika sebagian masyarakat telah menggunakan alat kontrasepsi MKJP secara tidak langsung akan mengurangi pengeluaran dana tiap bulan untuk kontrasepsi jenis hormonal.

Gambar

Tabel  1.1 Tren  pemakaian  alat  atau cara KB  tertentu,  Indonesia  1991 sampai
Tabel 1.2 Jumlah Pencapaian Peserta KB  Baru  Semua Metode   sampai  dengan
Tabel  1.4 Alasan DO untuk  semua  metode  kontrasepsi  Wilayah  Kabupaten
Tabel 1.5 Pelaksanaan  pelayanan  KB Pasca Persalinan  di  Rumah  Sakit Prof.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Tanda Terima dan Eerita Acara Penerimaan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Tahun 2019 di KPU Kota Tomohon, disampaikan

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih bagi semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas akhir ini , semoga

Sukatan Pelajaran Pendidikan Seni Visual Kurikulum Bersepadu Sekolah Rendah merangkumi tajuk-tajuk yang menegaskan penerokaan, proses penghasilan, pengertian seni secara

belajar (BSNP, 2016). Mengacu pada pengertian pembelajaran tersebut dapat kita pahami.. bahwa dalam pembelajaran ada tiga unsur penting yaitu: 1) subjek, 2) aktivitas atau..

1) Sistem arisan di BMT “ANDA” dilakukan secara berkelompok. 2) Kemudian setiap bulannya panitia dan peserta arisan berkumpul untuk melakukan lelang

Usaha ini dipilih karena prospek pengolahan kedelai menjadi susu kedelai sekarang ini cukup menjanjikan, kandungan gizi yang terkandung didalamnya memiliki kandungan gizi

Tujuan dari program Paket C itu sendiri salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat terpenuhi dalam jalur pendidikan

Surat Keterangan yang menyatakan bahwa bakal calon yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang dari Kepolisian sesuai tingkatannya..