• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN LAHAN PASANG SURUT SEBAGAI SENTRA PRODUKSI TANAMAN PANGAN DI PROVINSI JAMBI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN LAHAN PASANG SURUT SEBAGAI SENTRA PRODUKSI TANAMAN PANGAN DI PROVINSI JAMBI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERAN LAHAN PASANG SURUT SEBAGAI SENTRA PRODUKSI TANAMAN PANGAN DI PROVINSI JAMBI

THE ROLE OF TIDAL LAND AS A PRODUCTION CENTER FOOD CROPS IN JAMBI PROVINCE

Nur Imdah Minsyah

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru, Jambi

Email:nurimdah@yahoo.co.id Hp.081274248990

ABSTRAK

Peran lahan pasang surut sebagai sentra produksi tanaman pangan di Provinsi Jamb.

Pemanfaatan lahan sub optimal termasuk lahan pasang surut untuk meningkatkan produksi tanaman pangan menjadi pilihan yang sulit dihindarkan, karena terbatasnya lahan pertanian subur. Penulisan makalah ini bertujuan memberikan gambaran mengenai lahan pasang surut di Provinsi Jambi ditinjau dari: 1). potensi dan pemanfaatan; 2). konstribusinya terhadap total produksi tiga tanaman pangan utama, dan; 3). Tantangan peningkatan produksi tanaman pangan dimasa yang akan datang. Data yang digunakan adalah data sekunder dan hasil-hasil penelitian/pengkajian yang relevan.. Luas lahan pasang surut di Provinsi Jambi yang telah direklamasi 211.962 ha. Terhadap total produksi padi, jagung dan kedelai, lahan pasang surut memberikan kontribusi yang cukup signifikan. Pada tahun 2008 – 2012, kontribusinya antara 20,41 % - 27,77 % untuk padi, 10, 56 % - 16,16 % untuk jagung dan 19, 90 % - 37,78 % untuk kedelai. Untuk mempertahankan lahan pasang surut sebagai sentra produksi tanaman pangan di Provinsi Jambi dihadapkan kepada tiga tantangan yang cukup berat yang akan dihadapi.

---

Kata kunci: Lahan Pasang Surut, Sentra Produksi, Tanaman Pangan, Kontribusi, Provinsi Jambi.

ABSTRACT

The role of tidal land as a production center food in Jambi Province. Utilization of tidal land for increase crop production difficult to strategic choices to be inevitable, because of the limited arable farm land. Aims writing this paper describes the potential and the utilization as well as the contribution of tidal land to total production of the three major food crops as well as the problems in Jambi Province. Data that used are secondary data and the results of relevant research. Tidal land area in Jambi Province which has reclaimed 211 962 ha. The total production of rice, corn and soybeans Jambi Province, tidal lands contribute quite significant. In the year 2008 - 2012, contribution between 20.41% - 27.77% for rice, 10, 56% - 16.16% for corn and 19, 90% - 37.78% for soybeans. For the maintain tidal land as of food crops production centers in the province of Jambi confronted with three tough challenges to be faced.

---

(2)

2

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Untuk meningkatkan produksi tanaman pangan guna mengimbangi peningkatan permintaan seiring dengan laju pertumbuhan penduduk serta adanya kemauan (good will) untuk berswasembada dihadapkan pada berbagai permasalahan yang sangat kompleks, salah satunya adalah masih berlangsungnya alih fungsi sawah yang menunjukkan kecendrngan yang semakin meningkat, sementara lahan subur untuk pertanian sangat terbatas(Mulyani dan Syarwani. 2013).

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri baik untuk konsumsi maupun bahan baku industri makanan olahan dan industri pakan yang semakin berkembang, beberapa komoditas pangan seperti kedelai dan jagung sebagian besar diantaranya harus di datangkan dari luar negeri. Ketergantungan impor komoditas pangan strategis tersebut tidak saja kurang baik dari sisi ekonomi, melainkan juga akan berdampak dengan spekturm yang cukup luas, mulai dari akan mempengarhui tingkat ketahanan dan kedaulatan pangan sampai kepada kedaulatan sebagai bangsa (Husodo, 2006 dan Jakfar. 2006).

Berkenaan dengan hal tersebut pemanfaatan lahan-lahan sub optimal, merupakan pilihan yang sulit untuk dihindari, karena lahan pertanian subur terbatas, untuk dapat berproduksi secara optimal memerlukan input yang tinggi Menurut Las, dkk. 2012. Lahan sub optimal adalah lahan yang produktivitasnya rendah yang disebabkan oleh faktor internal seperti bahan induk, sifat fisik, kimia dan biologi tanah atau karena faktor eksternal seperti curah hujan dan suhu ekstrim.

1.2. Tujuan:

Penulisan makalah ini bertujuan memberikan gambaran mengenai lahan pasang surut di Provinsi Jambi ditinjau dari: 1). potensi dan pemanfaatannya; 2). konstribusinya terhadap total produksi tiga tanaman pangan utama, dan; 3). Tantangan peningkatan produksi tanaman pangan.

1.3. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data sekunder yang diterbitkan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jambi. Selain data sekunder juga digunakan beberapa hasil penelitian dan pengkajian.

(3)

3

II. POTENSI, PENYEBARAN DAN PEMANFAATAN

Provinsi Jambi memiliki lahan rawa seluas 684.000 ha atau sekitar 12 persen dari luas wilayahnya (Bappeda Provinsi Jambi, 2011). Dari luas tersebut yang telah telah dibuka dan telah direklamasi 252.983 ha terdiri dari 211. 962 ha lahan rawa pasang surut dan 41.021 ha lahan rawa lebak (non pasang surut). Lahan pasang surut berada di tiga kabupaten, terluas terdapat di Kabupaten Tanjung Timur 149.210 ha, disusul di Kabupaten Tanjung jabung Barat 52.052 ha, dan terakhir di Kabupaten Muaro Jambi 10.700 ha. Sedangkan lahan rawa lebak tersebar di enam kabupaten yatu Kabupaten Mauro Jambi, Batanghari, Tebo, Bungo, Merangin dan Kerinci. Gambar : Penyebaran Lahan rawa di Provinsi Jambi

Sumber: Bappeda Provinsi Jambi. 2011

Seperti halnya dengan daerah pasang surut di Provinsi lain, pembukaan atau reklamasi lahan rawa pasang surut di sepanjang Pantai Timur Pulau Sumatera, termasuk di dalamnya di Provinsi Jambi juga telah dilakukan hampir sertaus tahun yang lalu, reklamasi ini dilakukan oleh penduduk setempat maupun oleh etnis bugis dan banjar yang merupakan etnis datangan (Rubyanto, 2004). Dengan cara-cara yang sangat sederhana sesuai dengan pengetahuan yang dikuasai secara turun temurun (indigenous knowledge), mereka membuka lahan dengan membuat saluran-saluran dari sungai-sungai besar menjorok masuk kepedalaman yang disebut dengan handil atau parit kongsi, lahan yang telah dibuka tersebut kemudian di tanam dengan beragam tanaman mulai dari tanaman pangan, kelapa, tanaman industri dan obat-obatan (Sarwani dan Alihamsyah, 2004).

Keberhasilan yang ditunjukkan petani banjar di bagian Selatan Kalimantan dan petani Bugis di sepanjang pesisir bagiam Timur Sumatera menjadi inspirasi bagi pemerintah untuk membuka lahan pasang surut secara besar-besaran (Noor dan Jumheri, 2008). Pembukaan lahan pasang surut secara besar-besaran ini umumnya berkaitan langsung dengan program transmigrasi (Manwan, 1992). Secara tak

(4)

4

langsung, reklamasi lahan pasang surut untuk pemukiman transmigrasi ini juga bermanfaat sebagai salah satu upaya antisipasi ke depan menggantikan lahan-lahan sawah ke penggunaan lain terutama di Pulau Jawa.

Di Provinsi Jambi penempatan transmigran di lahan pasang surut pertama kali di lakukan pada tahun 1967/1968 tepatnya di Kecamatan Rantau Rasau Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebanyak 249 KK. Setiap KK transmigran mendapatkan lahan seluas 2,25 ha terdiri dari 0,5 ha lahan pekarangan, 0,75 ha lahan pangan (Lahan Usaha I) dan 1 ha lahan perkebunan (Lahan Usaha II). Sampai tahun 2001 (penempatan terakhir) total transmigran yang di tempatkan sebanyak 11.359 KK (BPS Provinsi Jambi, 2011).

Dewasa ini ada dua komoditas utama yang ditanam dan diusahakan oleh di lahan pasang surut. Kedua komoditas tersebut adalah tanaman padi dan kelapa sawit. Untuk padi, umumnya hanya ditanam satu kali dalam satu tahun. Kelapa sawit merupakan tanaman relative baru dikenal oleh petani. Namun demikian, perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di daerah pasang surut (Kabupaten Tanjung Jabung Timur) cukup pesat. Dalam kurun waktu selama tujuh tahun dari tahun 2006 – 2012, rata-rata pertumbuhannya mencapai 14,67.%/th. Bila pada tahun 2006 .luas arealnya baru 15.930 ha, pada tahun 2012 luas arealnya mencapai 38.867.ha.

Tabel 2. Perkembangan luas perkebunan sawit di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, 2006 – 2012.

Tahun Luas (ha) Pertumbuhan

Luas (ha) (%) 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 15,930 24,099 26,197 28,252 29.139 31.043 38 867 - 8,169 2,098 2,055 887 1.904 7.824 - 51.28 8.71 7.84 3.14 6,53 25,20 Rata-rata 3.276,71 14,67

Sumber : Minsyah dan Endrizal. 201 dan BPS Provinsi Jambi 2012 dan 2013..

III. KONTRIBUSI TERHADAP PRODUKSI TIGA TANAMAN

PANGAN UTAMA

Dalam kurun waktu selama lima tahun dari tahun 2008 – 2012 kontribusi lahan pasang surut terhadap total produksi tiga tanaman pangan utama (padi, jagung dan kedelai) Provinsi Jambi cukup signifikan. berkisar antara 20,41 % - 27,77 %, untuk padi,, 10, 56 % - 16,16 % untuk jagung , dan 19, 90 % - 37,78 % untuk kedelai. Kontribusi lahan pasang surut tersebut belum termasuk produksi yang berasal dari lahan pasang surut Kabupaten Muaro jambi. Pada tingkat Provinsi Jambi total

(5)

5

produksi padi, jagung dan kedelai Provinsi Jambi masing-masing berkisar antara 581.704 ton – 646.640 ton, 25.521 ton – 38.169 ton, dan 770 ton – 3168 ton. .

Tabel 2. Kontribusi lahan pasang surut terhadap produksi tiga tanaman pangan utama Provinsi Jambi, 2008 – 2012.

Tahun Padi (%) Jagung (%) Kedelai (%)

2008 2009 2010 2011 2012 20,41 27,77 25,00 25,61 27,72 10,56 16,16 10,84 15,05 14,52 32,38 34,69 37,78 19,00 21,90 Rata-rata 25,30 13,43 29,15 Pertumbuhan (%/th) * Lahan pasang surut * Provinsi jambi 12.16 (1,97) 8.96 12,61 (11.90) (5,04) Sumber : BPS Provinsi Jambi 2009 dan 2013, diolah (2014)

Selain itu dari sisi pertumbuhanpun, rata-rata pertumbuhan produksi padi dan jagung jauh diatas rata-rata pertumbuhan produksi tingkat Provinsi Jambi. Rata-rata pertumbuhan produksi padi lahan pasang surut mencapai 12,61 %/th. Sedangkan ditingkat provinsi pertumbuhannya minus (-) 1,97 %/th. Hal ini menunkukkan bahwa lahan pasang surut memiliki posisi yang sangat penting dalam menunjang upaya peningkatan produksi tanaman pangan utama di provinsi Jambi.

IV. TANTANGAN DAN KENDALA

Dewasa ini lahan pasang surut dikelompokkan sebagai lahan sub Optimal. Sebelumnya lahan pasang surut bersama dengan lahan rawa lebak sering disebut sebagai lahan marjinal yaitu lahan yang belum banyak mendapat perhatian untuk dikembangkan sebagai areal pertanian. Lahan tersebut baru mendapatkan perhatian yang besar, karena lahan subur ketersediaan sangat terbatas dan terjadi alih fungsi yang setiap tahunnya tidak kurang dari 100.000 ha (Pasaribu, dkk. 2010).

Lahan sub optimal dapat diartikan sebagai lahan yang secara alamiah mempunyai produktivitas rendah, dapat disebabkan oleh faktor internal (intrinsik) seperti bahan induk, sifat fisik, kimia dan biologi tanah atau karena faktor eksternal seperti curah hujan dan suhu ekstrim, dan untuk berproduksi secara optimal memerlukan input yang tinggi (Isa. 2006 dan Mulyani, dkk. 2013).

Selain secara almiah mempunyai produktivitas yang rendah, lahan pasang surut adalah yang rapuh dalam pengertian sangat cepat mengalami perobahan ke arah yang kurang menguntungkan bagi petani yang mengusahakan tanaman pangan semusim, seperti terjadinya penurunan kesuburan lahan yang cukup drastis. Perobahan itu sendiri dapat diakibatkan oleh alam seperti kekeringan yang berkepanjangan yang dapat mengkibatkan terbakarnya lapisan gambut atau terjadinya oksidasi dan diakibtkan oleh pengelolaan yang belum mengacu kepada kaedah

(6)

6

konservasi lahan pasang surut. Hasil kajian Rubyanto, dkk 2004 di daerah pasang surut Sumatera Selatan menyebutkan sebaiknya kedalaman saluran-saluran air tidak melebih 75 cm dengan maksud agar permukaan air tanahnya tetap berada di atas lapisan firit.

Sebagai contoh atau kasus apa yang terjadi di Kecamatan Rantau Rasau dan Kecamatan Muara Sabak, Kabupaten Tanjung Jabung (sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur). Secara visual, pada beberapa desa terlihat adanya lapisan horison sulfirik dan bercak-bercak pirit, dan hilang atau menipisnya lapisan gambut. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan/penurunan kualitas lahan, diantaranya: (1) pengolahan lahan yang kurang hati-hati; (2) terkurasnya unsur hara di dalam tanah akibat pemakaian yang terus-menerus dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama tanpa diimbangi dengan pemberian tambahan unsur hara; (3) pembakaran lahan terutama pada awal musim tanam padi yang menyebabkan tanah mineral dan gambut terbakar dan kering tak balik. Sedangkan dari hasil penelitiannya, Alihamsyah, dkk 2000 mengungkapkan hanya dalam jangka waktu yang relatife singkat (5 tahun) antara tahun 1993 – 1998, terjadi perobahan kondisi lahan pasang surut di kedua kecamatan yang dimaksud seperti yang disajikan pada tabel 2 di bawah ini.

Tabel 3. Perubahan kondisi lahan pasang surut di Kecamatan Rasau dan Muara Sabak Kabupaten Tanjung Jabung pada tahun 1993 dan 1998.

Uraian Luas (ha)

1993 1998

Tipologi Lahan

1. Sulfat Masam aktual 2. Gambut

Tipe Luapan Air 1. A 2. B 3. C 4. D 0 6.667 70 1.750 7.714 0 4.234 1.450 0 478 3.546 5.348 Sumber: Alihamsyah, dkk. 2000 (diolah).

Dari tabel 2 di atas terlihat hanya dalam rentang waktu yang relative singkat (5 tahun) terjadi perubahan kondisi lahan pasang surut yang cukup drastis, baik dilihat dari tipologi lahan maupun dari tipe luapan airnya. Perubahan ini berimplikasi kepada: pertama, terjadinya penurunan produktivitas tanaman yang diusahakan terutama produktivitas tanaman pangan semusim; kedua, akan mempersempit areal tanam padi, dan; ketiga, memperkecil peluang untuk mendiversifikasikan jenis tanaman yang diusahakan.

Menurunnya produktivtas dan menyempitnya peluang untuk mendiversifikasi janis tanaman pangan yang dapat diusahakan, bersama dengan faktor-faktor lain menyebabkan sebagian besar petani di lahan pasang surut paling tidak telah memiliki rencana untuk mengalihkan lahan pangannya menjadi perkebunan kelapa sawit dari

(7)

7

sebagian sampai seluruh lahan pangan yang dimiliki. Hal ini tercermin dari hasil kajian yang dilakukan oleh Sitanggang dan kawan-kawan pada tahun 2004 (Minsyah, 2007). Dari 80 petani responden yang diwawancarai, hanya 9 petani yang untuk sementara waktu belum memiliki rencana untuk mengalih fungsikan lahan pangannnya menjadi perkebunan kelapa sawit, selebihnya paling tidak telah memiliki rencana (tabel 3).

Penurunan kualitas (degradasi) dan dalam waktu bersamaan alih fungsi lahan pangan menjadi perkebunan kelapa sawit terus berlanjut dan berlangsung secara masif, tidak saja akan menurunkan kontribusi lahan pasang surut sebagai salah satu sentra produksi padi, melainkan juga akan mengancam posisi Provinsi Jambi dari daerah surplus menjadi daerah minus beras yang pada gilirannya akan memberikan efek yang kurang menguntungkan bagi upaya pemerintah mempertahankan swasembada beras pada khususnya dan ketahanan pangan nasional pada umumnya. Tabel 4. Jumlah responden berdasarkan luas lahan pangannya yang telah dan akan ditanam kelapa sawit di Kecamatan Rantau Rasau dan Muara Sabak, Tanjung Jabung Timur, 2004.

Status Responden

Responden Luas lahan

Jumlah (%) Ha (%)*)

1. Yang telah menanam 2. Yang baru meyiapkan bibit 3. Yang baru punya rencana

4. Yang sementara belum punya rencana

22 24 25 09 27,50 30,00 31,25 11,25 13,80 7,80 12,35 0,00 13,91 7,86 12,45 0,00 Sumber: Minsyah (2007)

Sehubungan dengan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka untuk tetap mempertahankan lahan pasang surut sebagai salah satu sentra produksi tanaman pangan utama di Provinsi Jambi akan menghadapi tantangan yang cukup berat dilihat dari sisi: pertama memperkecil peluang terus berlangsungnya penurunan kualitas lahan pasang surut, untuk mencegah agar tidak terjadi merupakan hal yang sangat sulit untuk di lakukan; kedua memperkcil terjadinya alih peruntukkan lahan dari lahan pangan menjadi areal perkebunan kelapa sawit, dan ketiga meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan.

Pada tataran teoritis, teknologi untuk mempertahankan kualitas lahan pasang surut sudah tersedia mulai dari kaedah-kaedah konservasi sampai kepada pengaturan tata air mikro. Pada tataran teoritis, penurunan kesuburan lahan dapat diantisipasi dengan menerapkan kaedah-kaedah konservasi dalam pengelolaan lahan pasang surut. Namun dalam tataran operasional atau prakteknya tidak mudah untuk di laksanakan, karena akan menyangkut atau memerlukan kertelibatan berbagai pihak, mulai dari petani sampai kepada koordinasi antar intansi terkait.

Kaedah-kaedah konservasi lahan pasang surut dan teknologi lainnya untuk mempertahankan kualitas/kesuburan mungkin belum diketahui oleh banyak petani, atau sudah diketahui tetapi kemampuannya untuk menerapkan adalah kecil, hal ini terkait dengan kodisi sosial ekonomi petani itu sendiri. Oleh karena dibutuhkan

(8)

8

penjelasan dan pengertian yang mendalam dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dicerna oleh petani melalui kegiatan penyuluhan atau yang sejenisnya yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan.

Bila lahan sudah mengalami penurunan kualitas tidak saja akan menurunkan produktivitas, melainkan juga dapat mengakibatkan lahan tersebut tidak produktif yang secara ekonomi tidak layak untuk diusahakan, untuk mengembalikannya disamping memerlukan waktu yang relative panajang juga memerlukan biaya yang besar. oleh karena itu pengelolaan lahan pasang surut harus di lakukan secara hati-hati yang di dasarkan pada kaedah-kaedah konservasi (Djakfar, , 2004 dan Widjaya-Adhi, IPG. 1992).

Tantangan kedua yang dihadapi untuk mempertahankan lahan pasang surut di Provinsi Jambi sebagai salah satu sentra produksi tanaman pangan adalah adanya kecendrungan/keinginan petani untuk mengalihkan lahan pangannya menjadi areal pertanaman komoditas perkebunan terutama kelapa sawit. Tantangan kedua ini terkait dengan tantangan pertama. Penurunan kesuburan lahan mengakibatkan hasil yang diterima petani rendah yaitu hanya berkisar antara 0,5 ton/ha – 1,5 ton/ha GKG (Alihamsyah, dkk. 2000). Salah satu alasan kuat yang dikemukakan petani yang mengalihkan lahan pangannya menjadi kebun sawit adalah, hasil dari usahatani tanaman pangan (terutama padi dan kedelai) tidak mencukupi kebutuhan hidupnya sekalipun kebutuhan minimal, produksi dan harga yang diterima adalah rendah (Minsyah, 2004).

Untuk mencegah terus berlangsungnya alih fungsi lahan tersebut di atas, telah tersedia instrument yang dapat digunakan yaitu UU No. 41 tahun 2009 tetang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang telah dilengkapi dengan PP No. 1 tahun 2011. Sampai pada akhir tahun 2011, UU No. 41 tahun 2009 tersebut di atas, secara umum belum dapat di implemnetasikan, karena untuk implemnetasinya mermelukan peraturan daerah tersendiri di satu sisi, dan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di tingkat Provinsi belum final (Minsyah dan Endrizal, 2012).

Menurut Undang-Undang No.41 tersebut di atas, daerah-daerah diwajibkan untuk membuat RTRW baru atau merevisi RTRW yang masih berlaku paling lama 2 tahun setelah diberlakukan. Disisi yang lain, alih fungsi lahan pangan di daerah pasang surut menjadi perkebunan kelapa sawit akan terus berlangsung, untuk itu perlu diberlakukan perangkat hukum lain yang bersifat sementara dan mengikat selama belum terbitnya perda khusus tentang pelaksanaan UU yang dimaksud di Provinsi Jambi.

Tantangan ketiga adalah meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan. Hal ini terkait dengan besarnya tumpuan dan harapan pada lahan pasang surut sebagai sentra produksi tanaman pangan, bahkan beberapa pakar mengemukakan masa depan pangan Indonesia berada di lahan sub optimal terutama lahan pasang surut dan lahan rawa lebak. Dari sisi teknologi, dewasa ini telah tersedia beberapa varietas tanaman padi dan kedelai yang adaptif dan memberikan hasil yang cukup tinggi, seperti varietas inpara untuk padi dan varietas anjasmoro untuk kedelai.

(9)

9

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian yang dikemukakan pada bagian hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa butir kesimpulan. Kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut;

1. Luas lahan pasang surut di Provinsi Jambi yang telah direklamasi seluas 211.962 ha. Sebagian besar lahan pasang surut tersebut berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (149.210 ha) dan Tanjung Jabung Barat (52.052 ha), selebihnya berada di Kabupaten Muaro Jambi (10.700 ha). Reklamasi lahan pasang surut tersebut dikaitkan dengan program transmigasri. Sampai tahun 2001 jumlah transmigran yang ditempatkan sebanyak 11.359 KK.

2. Kontribusi lahan pasang surut terhadap tptal produksi padi, jagung dan kedelai cukup signifikan. Dalam kurun waktu 2008 – 2012 kontribusinya berkisar antara 20,41 % - 27,77 %, untuk padi, 10, 56 % - 16,16 % untuk jagung , dan 19, 90 % - 37,78 % untuk kedelai. Dengan rata-rata pertumbuhan produksi padi jauh lebih besar dari rata-rata pertumbuhan produksi padi Provinsi Jambi, menunjukkan bahwa peran lahan pasang surut untuk meningkatkan produksi padi di masa yang akan datang adalah sangat menentukan.

3. Peningkatan produksi padi di lahan pasang surut dimasa yang akan datang dihadapkan kepada tiga tantangan. Pertama memperkecil peluang terus berlangsungnya penurunan kualitas lahan pasang surut, untuk mencegah agar tidak terjadi merupakan hal yang sangat sulit untuk di lakukan; kedua memperkcil terjadinya alih peruntukkan lahan dari lahan pangan menjadi areal perkebunan kelapa sawit, dan ketiga meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan

DAFTAR PUSTAKA

Alihamsyah, T., EE. Ananto., H. Supriadi., S. Wahyuni., E. Suhartatik., Astanto., F. Tangkungan., K. Nugrohi dan N. Sutrisno. 2000. Analisis Karakteristik Sumberdaya Wilayah Pengembangan ISDP di Jambi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Ananto, EE dan T. Alihamsyah. 2000. Arah dan Strategi Pengembangan Pertanian di Lahan Pasang Surut. Makalah disampaikan pada Seminar Pemacuan Teknologi Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut, Kuala Tungkal, November 2000.

(10)

10

Bappeda Provinsi Jambi.2011. Arah dan Kebijakan Pemanfaatan Lahan rawa Untuk Mendukung Surplus Beras di Provinsi Jambi. Materi disampaikan pada “ Rapat Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Jambi Periode II, 15 Desember 2011.

Badan Pusat Statisti Provinsi Jambi. 2009. Provinsi Jambi Dalam Angka Tahun 2008. Badan Pusat Statisti Provinsi Jambi, Jambi.

………. 2012. Provinsi Jambi Dalam Angka Tahun 2011. Badan Pusat Statisti Provinsi Jambi, Jambi.

---. 2013. Provinsi Jambi Dalam Angka Tahun 2012. Badan Pusat Statisti Provinsi Jambi, Jambi.

Djakfar, ZR. 2004. Pengembangan dan Pengelolaan (Manajemen) Lahan rawa untuk Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Dalam: Prosiding Seminar Lokakarya Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi Lokasi, palembang 28 – 29 Juni 2004. Buku I. Pusat penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jakarta.

Hafsah, MJ. 2006. Kedaulatan Pangan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Husodo, SY. 2006. Pangan, Kualitas SDM, dan Kemajuan Suatu Bangsa – Negara. Dalam Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Isa, I. 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Halaman 1-16 dalam Prosiding Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, MAFF Japan, dan ASEAN Sekretariat. Jakarta.

Minsyah, N.I. dan Endrizal, 2012. Konversi Lahan Sawah dan Instrumen Pengendaliannya di Provinsi Jambi: Kasus di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci. Makalah disampaikan pada Seminar nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi, Medan, 6 – 7 Juni 2012.

Minsyah, N.I. 2007. Potensi dan Minimalisasi Kerugian Penggunaan Bibit Kelapa Sawit Palsu di Provinsi Jambi. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi, Palembang, Juli 2007.

Minsyah, NI. 2004. D. Sitanggang dan Suharyon. Daya Tarik Kelapa sawit dan Hubungannya dengan Alih Fungsi lahan Pangan di Daerah Pasang Surut Provinsi Jambi. Laporan Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi, Jambi.

(11)

11

Mulyani, A dan M. Syarwani. 2013. Karakteristik dan Potensi Lahan Sub Optimal untuk Pengembangan Pertanian di Indonesia. Dalam : Prosiding Seminar Nasional. Unsri Press, Palembang.

Pasaribu, SM., K. Suradisastra, B. Sayaka dan A. Dariah. 2010. Pengendalian dan Pemulihan Ekosistem Pertanian. Dalam. Dalam: membalik Kecendrungan Degradasi Sumberdaya Lahan dan Air, hal 7 – 22. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Rubyanto HS., A. Trisbani., M. Sapri., M. Yazid dan RB. Pramono. 2004. Pengalaman Pemanfaatan Lahan rawa di Sumatera Selatan Untuk Penangnanan Lahan Eks –PLG di Kalimanatan Tengah. Dalam: prosiding Lokakarya Pengelolaan Lahan Pasang Surut di Kalimantan Tengah, hal 67 – 77. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Sarwani, M dan T. Alihamsyah. 2004. Permasalahan, penanagnan Budidaya dan

prospek Agribisnis Jeruk di Lahan Gambut. Dalam: prosiding Lokakarya Pengelolaan Lahan Pasang Surut di Kalimantan Tengah, hal 67 – 77. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Palangkaraya

Widjaya-Adhi, IPG., K. Nugroho., D. Ardi., dan S. Karama. 1992. Sumberdaya Lahan Rawa: Potensi, Keterbatasan dan Pemanfaatan. Dalam: Risalah Pertemuan Nasional pengetmbangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan lebak, Cisarua, 3 – 4 Maret 1992. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Gambar

Tabel 2.   Perkembangan luas perkebunan sawit di Kabupaten Tanjung Jabung Timur,                   2006 – 2012
Tabel 2.  Kontribusi lahan pasang surut terhadap produksi tiga tanaman pangan utama                 Provinsi Jambi, 2008 – 2012
Tabel 3.  Perubahan kondisi lahan pasang surut di Kecamatan Rasau dan Muara                 Sabak Kabupaten Tanjung Jabung pada tahun 1993 dan 1998

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan: Terdapat pengaruh secara parsial pengalaman kerja terhadap kinerja

Kami telah mereviu Laporan Keuangan Badan Pusat Statistik Kota Palu untuk tahun anggaran 2015 berupa Neraca per tanggal 30 Juni 2015, Laporan Realisasi Anggaran,

2. Dengan mencermati teks nonfiksi yang disajikan dengan media power point, peserta didik mampu membuat rangkuman pokok pikiran dari sebuah bacaan nonfiksi secara

1, Juni 2012 hadir ke hadapan sidang pembaca dengan mengetengahkan 5 (lima) artikel sebagai berikut: Analisis Implementasi E-Government pada Pemerintah Daerah

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di MTs Menaming seperti yang di uraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa, model Pembelajaran

Skor rata-rata kompetensi pedagogik pada dimensi “melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran” diperoleh skor 58,33% atau 2,33 dari skor maksimal

Bangunan pembawa mempunyai fungsi membawa/mengalirkan air dari sumbernya menuju petak irigasi. Bangunan pembawa meliputi saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier

Hal ini sesuai dengan teori bahwa AV terjadi pada pria dengan kisaran umur 16-19 tahun (Wasitaatmadja, 2011) karena pada laki-laki umur 16-19 tahun adalah waktu