• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 1982 dikatakan bahwa salah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 1982 dikatakan bahwa salah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 1982 dikatakan bahwa salah satu tujuan dari pembangunan jangka panjang bidang kesehatan adalah pembangunan keluarga sejahtera termasuk meningkatkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera diarahkan bahwa terwujudnya nilai-nilai luhur budaya bangsa guna meningkatkan kesejahteraan keluarga dan membina ketabanan keluarga agar mampu mendukung kegiatan pembangunan. Usaha mewujudkan tujuan tersebut, salah satunya melalui Program Keluarga Berencana.

Program Keluarga Berencana (KB) merupakan bagian program pembangunan Nasional di Indonesia yang sudah dimulai sejak awal pembangunan lima tahun (1969) yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan bangsa antara lain kesejahteraan ibu dan anak karena dalam mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera, cara pengaturan kelahiran dan juga pengendalian laju pertumbuhan penduduk perlu dibatasi supaya tidak melampaui kemampuan produksi hasil pembangunan(pikas,4mei2006,http//www.pikasbkkbn.go.id/jabar/organisasi. hp).

Dalam usaha meningkatkan kesejahteraan bangsa, pemerintah sedang melakukan pembangunan di segala bidang termasuk usaha-usaha untuk mengatasi masalah kependudukan. Berbagai masalah kependudukan tersebut meliputi: pertumbuhan penduduk yang tinggi, penyebaran penduduk yang tidak merata dan penduduk usia muda yang besar.

(2)

Masalah pertama, pertumbuhan penduduk yang tinggi terlihat pada tahun 1971, jumlah penduduk Indonesia adalah 118,0 juta orang jumlah tersebut telah naik menjadi sebesar 147,5 juta orang pada tahun 1980, dan kemudian naik menjadi 179, 9 juta orang pada tahun 1990 dan pada tahun 2000 berjumlah 179,4 juta orang. Dengan demikian laju pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 1971-1980 adalah 2,32% per tahun. Sedangkan dalam kurun waktu 1980-1990 adalah 1,97% dan pada tahun 1990-2000 laju pertumbuhan penduduk 1,49% data ini menunjukkan adanya penurunan laju pertumbuhan penduduk yang sangat berarti (bkkbn, 17 juli 2006, http//www.bkkbn.go.id/ditfor/research_detail.php?).

Pertumbuhan penduduk yang tinggi ini merupakan tantangan yang berat bagi keberhasilan pembangunan. Untuk itu perlu ditumbuhkembangkan kesadaran masyarakat akan pentingnya NKKBS yang dilandasi oleh rasa tanggung jawab, kesukarelaan, nilai-nilai agama, dan nilai-nilai luhur budaya serta bangsa.

Pada masa yang lalu banyak terdapat pandangan masyarakat tentang jumlah anak yang tidak sepenuhnya benar. Pendapat tradisional bahwa “banyak anak banyak rezeki” dan keluarga besar adalah suatu pelayanan luhur tehadap masyarakat dan ini telah diganti dengan pendapat bahwa banyak anak banyak susah dan melahirkan banyak anak adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab terhadap anak dan masyarakat. Perubahan telmologi dan perubahan nilai ini semuanya terlibat dalam perubahan besarnya jumlah anggota keluarga.

Masalah kedua adalah penyebaran penduduk yang tidak merata, salah satu kendala dalam usaha peningkatan kesejahteraan penduduk adalah persebaran penduduk yang kurang seimbang bila mana dikaitkan dengan persebaran sumber alam. Di daearah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, kesempatan bagi

(3)

penduduk untuk memanfaatkan sumber-sumber alam sangat sempit sedangkan tenaga kerja sangat melimpah. Sebaliknya di daerah dengan kepadatan penduduk rendah mengalami kekurangan tenaga kerja sehingga pemanfaatan sumber-sumber alam yang ada masih kurang. Oleh karena itu, salah satu sasaran kebijaksanaan di bidang kependudukan adalah meningkatkan persebaran penduduk yang merata dan tenaga kerja yang lebih seimbang dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan.

Masalah yang ketiga adalah penduduk usia muda yang besar, salah satu penyebab penduduk usia muda yang besar pada saat ini adalah laju pertumbuhan penduduk serta tingkat kelahiran yang tinggi di masa lalu. Misalnya, penduduk wanita yang berumur 15-49 tahun pada tahun 1980 sebanyak 35,9 juta. Jumlah tersebut telah meningkat menjadi 40,6 juta pada tahun 1990. Selanjutnya, dari jumlah tersebut terdapat 30,5 juta yang telah kawin dan berarti telah menjadi pasangan usia subur serta dapat melahirkan anak.

(4)

Salah satu petunjuk dari hasil usaha ini adalah jumlah peserta KB baru yaitu jumlah pasangan usia subur (PUS) yang berhasil diajak berkelurga berencana terlihat dalam tabel dibawah ini.

Tabel. 1

hasil pencapaian peserta KB yang PUS

Tahun Hasil pencapaian pada PUS 1970-1975 2,31 juta 1976-1979 3,05 juta 1980-1984 4,21 juta 1985-1989 4,47 juta 1990-1995 4,53 juta 1996-2000 4,81 juta 2001-2005 5,06 juta

Sumber: Depkominfo, 6 Juli 2006,

http//www.depkominfo.go.id/?action=view&pid=news&id=2014). Sejalan dengan permasalahan di atas, tentunya sangat dibutuhkan berbagai cara atau metode yang efektif dalam usaha mencari alternatif pemecahannya, salah satu cara yang diharapkan adalah penurunan angka kelahiran pada setiap keluarga terutama yang tergolong sebagai pasangan usia subur.

Salah satu alternatif terbaik adalah mengintensifkan Gerakan Keluarga Berencana Nasional, sehingga tingkat pertumbuhan penduduk dapat ditekan seminim mungkin dan dapat mempercepat perwujudan Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera. Program KB merupakan salah satu program pemerintrah dalam

(5)

usaha meningkatkan kesadaran masyarakat akan peningkatan kesejahteraan keluarga melalui keluarga kecil, sehingga nantinya program KB menjadi Gerakan Keluarga Berencana Nasional, itu berarti program KB tidak lagi hanya ditangani pemerintah akan tetapi sudah lintas sektoral.

Ketika pertama kali program KB diperkenalkan oleh Persatuan Keluarga Besar Indonesia (PKBI), sebuah lembaga sosial masyarakat pada tahun 1950-an, Indonesia berada di bawah kepemimpinan Soekarno, yang dikenal dengan seorang nasionalis. Dengan sikapnya yang menunjukkan ketidaktergantungannya terhadap berbagai tekanan kebijakan negara asing, dan dia banyak bertentangan dengan kekuatan-kekuatan barat yang mendukung ide pengendalian kehamilan. Pengaruhnya terlihat pada tidak adanya dukungan terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh Persatuan Keluarga Besar Indonesia (PKBI) tersebut (bapenas, 21 februari2005,http//www.bapenas.go.id/indekx.php?module=filemanager&fun= downland&pathext=contenz).

Keluarga berencana pada masa itu diperkenalkan sebagai pembatas kelahiran dengan alat kontrasepsi yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut. Selama masa itu pendekatan PKBI lebih berorientasi pada kesehatan ibu, dan pelayanan. Terutama diberikan pada ibu yang mengalami resiko tinggi bila melahirkan. Menghadapi kondisi seperti ini, badan-badan dana asing mengambil sikap mengirim para intelektual setempat ke negara-negara barat untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan masalah Keluarga Berencana. Harapannya adalah pada suatu waktu mereka akan mewarisi kekuasaan di negeri ini. Investasi ini memberikan hasil ketika Indonesia mulai berada di bawah pimpinan Soeharto.

(6)

Pada tahun 1970, keluarga berencana diresmikan menjadi program nasional dan Badan Koordinasi Keluaga Berencana Nasional. Badan ini dibentuk dengan mempunyai tanggung jawab langsung pada presiden. Dalam mengkoordinasikan segala upaya untuk mengontrol laju pertumbuhan penduduk baik dari sisi finansial maupun organisasionalnya. Sejak saat itulah orientasi program mengalami perubahan yang sangat mendasar. Program itu tidak lagi diletakkan pada kepedulian kesehatan perempuan akan tetapi orientasi penekanan laju pertumbuhan penduduk yang sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya demi lajunya pertumbuhan ekonomi yang direncanakan.

Sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU no. 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera (PKPKS), semua pengelolaan upaya perkembangan penduduk dan pembangunan keluarga sejahtera harus berasaska perikehidupan dalam keseimbangan, manfaat dan pembangunan berkelanjutan untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Menurut Haryono Suryono gerakan KB yang telah berganti menjadi gerakan keluarga sejahtera didasarkan pada kebijakan Pemenuhan Pemerintah Masyarakat (PPM). Menurutnya dengan kebijakan ini keberhasilan program tidak hanya dilihat dari tingkat kelahiran total dan tingkat preferensi kontrasepsi, tetapi juga pada kepuasan pengguna kontrasepsi (Republika, 23 februari 2007, http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail,asp?mid=5&id=283782&kat_id =105&kat_id1=147&kat_id2=269).

Efektivitas program KB dapat dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi dan kemampuan program. Kemampuan program ini dapat diukur dari empat hal yaitu: kekuatan kebijakan kependudukan, efektivitas pelayanan kontrasepsi,

(7)

sistem informasi, dan ketersediaan kontrasepsi. Namun dalam pelaksanaan pelayanan program KB belum sepenuhnya dimanfaatkan atau ditanggapi oleh masyarakat secara maksimal. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi sangatlah besar. Sejalan dengan era desentralisasi kewenangan program KB sejak tahun 2004 telah dilimpahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Untuk tingkat propinsi saat ini masih merupakan bagian dari pemerintah kota dua tahun setelah pelimpahan kewenangan program ke kabupaten.

Pada saat ini tenaga lapangan (PLKB) yang merupakan kekuatan pelaksanaan program jumlahnya sangat kurang, idealnya seorang PLKB membina 2 atau 3 desa. Disamping itu bentuk kelembagaan pengelola program KB di tingkat kabupaten/kota sangat beragam. Tantangan lain adalah hambatan koordinasi antara pusat dan daerah khususnya dengan kabupaten. Pembinaan dan bimbingan ke daerah kurang efektif karena kelembagaan di kabupaten yang bervariasi dengan nomenklatur yang beraneka ragam.

Di samping itu, pengelolaan program KB bersifat lintas sektoral. Mekanisme operasional yang dimulai dengan rapat penyusunan rencana sampai dengan evaluasi program mulai dari tingkat kecamatan samapai ke desa/kelurahan. Pada saat ini sekitar 50% desa/kelurahan secara rutin melakukan rapat koordinasi pelaksanaan program. Di samping itu, pelaksanaan tim KB keliling dari tingkat kecamatan ke desa hanya sekitar 38,6%. Melemahnya mekanisme operasional ini antara lain karena berkurangnya petugas lapangan dan kader serta kurang memadainya dukungan operasioal ( Pemko Medan, Februari 2006, http://www.pemkomedan.go.id/medan_kependudukan.php).

(8)

Masuknya program KB ini ke desa harus menggerakkan dan memberdayakan seluruh masyarakat dalam pelaksanaan program tersebut, antara lain dengan cara:

1. Setiap desa/kelurahan harus memiliki tokoh agama/masyarakat yang aktif melakukan kegiatan advokasi dan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE).

2. Setiap desa/kelurahan harus memiliki pembantu Pembina KB desa (PPKBD) yang berperan aktif sebagai fasilitator dan penggerak KB di desa/kelurahan.

3. Seluruh desa/kelurahan terutama di daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan, mendapatkan pelayanan KB yang berkualitas.

4. Program KB diharapkan memperoleh prioritas pengangguran dari pemerintah pusat dan daerah.

5. Terciptanya sistem jaminan pembiayaan program KB, terutam rakyat miskin dan rentan.

6. Di setiap kecamatan tersedia alat/obat kontrasepsi swasta dengan harga yang terjangkau.

Berbagai cara telah dilakukan walaupun program itu sudah lama berjalan tetapi pelaksanaannya di masyarakat masih sangat kurang. Misalnya, di Desa Hutanamale Kecamatan Tambangan Kabupaten Mandailing Natal. Masyarakat tersebut menganggap bahwa KB masih identik dengan alat kontrasepsi yang dipromosikan oleh pemerintah. Selain itu, masyarakat belum sepenuhnya menyadari menfaat pelaksanaan program tersebut.

(9)

Berdasarkan pengamatan, masyarakat di Desa Hutanamale kurang memperhatikan program Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Sementara para Pasangan Usia Subur (PUS) di desa ini diharapkan menjadi akseptor KB. Oleh karena itu, dalam melaksanakan program ini dibutuhkan seorang pemimpin yang menjadi motivator bagi masyarakat tersebut.

Hal ini menunjukkan seakan-akan peranan pemerintah dalam program KB di desa Hutanamale tidak ada, sehingga apabila hal ini terus berlanjut akan mengakibatkan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tingkat kesehatan ibu yang rendah kembali menjadi masalah. Dengan melihat kenyataan tersebut maka penulis tertarik meneliti tentang efektivitas program NKKBS di Desa Hutanamale Kecamatan Tambangan Kabupaten Mandailing Natal.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka: masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Efektivitas Program Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera di Desa Hutanamale Kecamatan Tambangan Kabupaten Mandailing Natal”.

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian C.1 Tujuan penelitian

Setiap orang yang melakukan penelitian tentu saja mempunyai tujuan yang hendak dicapai atau yang ditargetkan untuk apa suatu penelitian dilakukan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas masyarakat dalam Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera di desa Hutanamale kecamatan Tambangan Kabupaten Mandailing Natal.

(10)

C.2 Manfaat penelitian

1. Bagi pemerintah setempat, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dalam pembuatan kebijaksanaan bagi perkembangan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera di desa-desa.

2. Bagi masyarakat Hutanamale penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera.

3. Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman penulis dalam melaksanakan penelitian ilmiah.

(11)

D. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci dan untuk mempermudah pemahaman isi, maka penulis membagi isi penelitian ini, ke dalam enam bab. Adapun urutan penulisan disusun dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang konsep-konsep penelitian, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini menggambarkan lokasi penelitian. BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan pembahasannya.

BAB VI :Merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dari seluruh pembahasan serta masukan berupa saran-saran yang bermanfaat.

Referensi

Dokumen terkait

Terjadi perubahan kandungan komponen substrat (lignoselulosa) selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada jantung pisang selama fermentasi (Gambar 1).. Komponen serat

Selanjutnya responden mendapatkan pelatihan tentang kader kesehatan peduli TB (KKP-TB) dengan tiga topik selama 3 kali pertemuan yaitu 1) pengetahuan tentang TB

Tri Sakti dari SMP Negri 1 selaku Ketua Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MGBK) se-Kota Yogyakarta yang telah memberikan respon positif terhadap uji responden yang saya

Sebagian orang mengatakan, peminta-minta, dengan pengamen merupakan bagian di dalamnya, tidak saja terdiri dari orang-orang miskin, sebagian merupakan peminta musiman yang sekedar

Salah dalam mencari nilai Mr. Berdasarkan Tabel 4 di bawah ini dapat diketahui bahwa diantara keenam kesalahan yang ada pada kelompok bentuk kesalahan memahami konsep

Cara mengeliminasi kesalahan sistematis alat untuk titik-titik detail adalah dengan cara pengukuran sudut horisontal posisi teropong biasa dan luar biasa dan

Berdasarkan hasil penelitian yang relevan di atas, penelitian ini mengacupada penelitian yang dilakukan oleh Ferina et al yang berjudul “PengaruhKebijakan Dividen,

yang terletak di ganglia mesenterika superior dan seliaka, yang terletak di ganglia mesenterika superior dan seliaka, pada ganglia rantai simpatik antara T6 sampai T12, atau