• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - BAB II WISNU MANGGALA PUTRA HUKUM'18

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - BAB II WISNU MANGGALA PUTRA HUKUM'18"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Pengangkutan

1. Pengertian Pengangkutan

Istilah pengangkutan berasal dari kata ”angkut” yang berarti mengangkut, mangangkat, membawa atau mengirimkan. Sedangkan istilah pengangkutan dapat diartikan sebagai pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau orang yang diangkut. Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke dalam alat pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan, dan menurunkan barang atau penumpang dari alat pemuatan ke tempat yang ditentukan (Abdulkadir Muhammad, 1991: 19).

Ada beberapa aspek dalam pengangkutan yaitu :

a. Pelaku, yaitu orang yang melakukan pengangkutan. Bisa berupa badan usaha maupun orang pribadi.

b. Alat pengangkutan, yaitu alat yang digunakan untuk menyelenggarakan pengangkutan yang sesuai dengan Undang-undang.

(2)

d. Perbuatan, yaitu kegiatan mengangkut barang atau penumpang sejak pemuatan sampai dengan penurunan di tempat tujuan ditentukan.

e. Fungsi pengangkutan, yaitu meningkatkan kegunaan dan nilai barang atau penumpang.

f. Tujuan pengangkutan, yaitu sampai atau tiba ditempat tujuan yang ditentukan dengan selamat.

2. Asas-Asas Hukum Pengangkutan

Asas-asas hukum merupakan fondasi atau dasar dari lahirnya suatu Undang-undang dan peraturan pelaksananya. Menurut Satjipto Raharjo (1986: 2) asas hukum merupakan unsur penting dan pokok dari peraturan hukum, tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya. Asas hukum ibarat jantung peraturan hukum atas dasar 2 (dua) alasan yaitu :

a. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-peraturan hukum itu dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. b. Asas hukum mengandung tuntunan etis, maka asas hukum

diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.

(3)

a. Asas yang bersifat publik

Asas yang bersifat publik merupakan landasan hukum pengangkutan yang berlaku dan berguna bagi semua pihak, yaitu pihak-pihak dalam pengangkutan, pihak ketiga yang berkepentingan dengan pengangkutan dan pihak pemerintah (Abdulkadir Muhammad, 2008: 17).

Asas hukum pengangkutan yang bersifat publik atau umum diantaranya, yaitu :

1) Asas manfaat, pengangkutan harus dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan bagi warga negara serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan Negara.

2) Asas usaha bersama dan kekeluargaan, penyelenggaraan usaha di bidang pengangkutan dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.

3) Asas adil dan merata, penyelenggaraan pengangkutan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat.

(4)

kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional.

5) Asas kepentingan umum, penyelenggaraan pengangkutan harus mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat.

6) Asas keterpaduan, Pengangkutan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intern maupun antar moda transportasi.

7) Asas kesadaran hukum, mewajibkan kepada setiap orang untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan pengangkutan.

8) Asas percaya pada diri sendiri, pengangkutan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepada kepribadian bangsa.

9) Asas keselamatan penumpang, setiap penyelenggaraan pengangkutan penumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan.

b. Asas Hukum Pengangkutan Bersifat Perdata

(5)

dalam pengangkutan niaga, yaitu pengangkut dan penumpang atau pengirim barang (Abdulkadir Muhammad, 2008: 18-19).

Asas hukum pengangkutan yang bersifat perdata atau private diantaranya, yaitu :

1) Asas konsensual, perjanjian pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuk tertulis, sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak. Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi atau sudah ada harus dibuktikan dengan atau didukung dengan dokumen pengangkutan.

2) Asas Koordinatif, pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan yang setara atau sejajar.

3) Asas campuran, pengangkutan merupakan campuran dari 3 (tiga) jenis perjanjian yakni, pemberian kuasa, penyimpanan barang dan melakukan pekerjaan dari pengirim kepada pengangkut.

(6)

3. Tujuan Pengangkutan

Pada dasarnya pengangkutan bertujuan untuk memindahkan barang atau orang dari satu tempat ke tempat lain dengan maksud meningkatkan daya guna dan nilai. Perpindahan barang atau orang dari suatu tempat ketempat yang lain harus dilakukan dengan memenuhi beberapa ketentuan yang tidak dapat ditinggalkan, yaitu harus diselenggarakan dengan aman, selamat, cepat, tidak ada perubahan bentuk tempat dan waktunya.

Menurut Sri Rejeki Hartono (1980: 25) bahwa pada dasarnya pengangkutan mempunyai dua nilai kegunaan, yaitu :

a. Kegunaan tempat (Place Utility)

Dengan adanya pengangkutan berarti terjadi perpindahan barang dari suatu tempat, dimana barang tadi dirasakan kurang bermanfaat, ketempat lain yang menyebabkan barang tadi menjadi bermaanfaat.

b. Kegunaan waktu (Time Utility)

Dengan adanya pengangkutan berarti dapat memungkinkan terjadinya suatu perpindahan barang dari suatu tempat ketempat lain dimana barang itu lebih diperlukan tepat pada waktunya. 4. Sumber Hukum Pengangkutan

(7)

a. Sumber hukum formil, tempat atau sumber dimana kita dapat menemukan ketentuan-ketentuan hukum, serta untuk dapat mengetahui apa yang menjadi hukum positif.

b. Sumber hukum materiil, lebih merupakan suatu usaha pendalaman teoritis tentang hukum karena jawabannya tergantung pendekatan yang digunakan.

Hukum pengangkutan merupakan bagian dalam hukum dagang dan pengaturan pengangkutan dibuat secara khusus menurut jenisnya. Jadi, tiap-tiap jenis pengangkutan diatur didalam peraturan tersendiri. Ada 3 (tiga) macam jenis pengangkutan, yaitu pengangkutan darat, pengangkutan laut, dan pengangkutan udara.

Ketentuan-ketentuan umum mengenai pengangkutan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dapat ditemukan didalam beberapa pasal, yaitu:

a. Buku 1 Bab V bagian 2 dan 3, mulai dari Pasal 90 sampai dengan Pasal 98 Tentang Pengangkutan Darat dan Pengangkutan Perairan Darat.

b. Buku II Bab V Pasal 453 sampai dengan Pasal 465 Tentang Pencarteran Kapal, Buku II Bab V A Pasal 466 sampai dengan Pasal 520 Tentang Pengangkutan Barang, dan Buku II Bab V B Pasal 521 sampai Pasal 544a Tentang Pengangkutan Orang.

(8)

d. Buku I Bab XIII Pasal 748 sampai dengan Pasal 754 Tentang Kapal-Kapal Yang Melalui Perairan Darat.

Ketentuan-ketentuan tentang pengangkutan di luar KUH Dagang terdapat dalam sumber-sumber khusus, yaitu:

a. Konvensi-konvensi internasional.

b. Perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral. c. Peraturan perundang-undangan nasional. d. Yurisprudensi.

e. Perjanjian-perjanjian.

Peraturan-peraturan khusus untuk tiap-tiap jenis pengangkutan dapat ditemukan di dalam :

a. Pengangkutan Darat 1) KUH Dagang

Pasal 91 sampai dengan Pasal 98 tentang surat angkutan dan tentang pengangkut dan juragan perahu melalui sungai dan perairan darat.

2) Ketentuan di luar KUH Dagang/ KUH Perdata.

a) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1984 Tentang Pos. b) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 Tentang

Perkeretaapian.

(9)

Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

b. Pengangkutan Laut 1) KUH Dagang

a) Buku II Bab V Tentang Perjanjian Carter Kapal.

b) Buku II Bab VA Tentang Tentang Pengangkutan barang-barang.

c) Buku II Bab V B Tentang Pengangkutan Orang. 2) Ketentuan di luar KUH Dagang/ KUH Perdata

a) Undang-nndang Nomor 22 Tahun 1992 Tentang Pelayaran. b) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 Tentang

Perkapalan.

c) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 Tentang Kepelabuhan.

d) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan dan Penguasaan Angkutan Laut. c. Pengangkutan udara

1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan. 2) Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 (luchtervoerordonanntie)

Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara.

(10)

B. Perjanjian Pengangkutan

1. Pengertian Perjanjian Pengangkutan

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari Undang-undang dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak (Suharmoko, 2004: 117). Perjanjian menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1313 adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan (Purwosujtipto, 1991: 2).

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan ada 4 (empat) syarat syahnya suatu perjanjian yaitu :

a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak

(11)

sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan adanya paksaan atau penipuan.

b. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum

Maksud dari kecakapan melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Menurut KUH Perdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dewasa adalah 19 tahun bagi laki-laki dan berusia 16 tahun bagi wanita.

Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa mengenai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah sebagai berikut :

1) Orang-orang yang belum dewasa.

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan. 3) Orang-orang perempuan yang telah kawin.

Ketentuan ini menjadi hapus dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, karena Pasal 31 menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri seimbang dan berhak melakukan perbuatan hukum.

c. Adanya obyek / suatu hal tertentu

(12)

diperdagangkan dan mempunyai nilai jual saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

d. Adanya klausa yang halal / suatu sebab yang diperkenankan

Pasal 1335 KUH Perdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. 2. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan

Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban. Dalam perjanjian pengangkutan ada tanggung jawab antara pengangkut dan pengirim, yaitu :

a. Tanggung jawab pengangkut

Ada 3 (tiga) prinsip tanggung jawab pengangkut dalam perjanjian pengangkutan :

1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault liability) Setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut itu.

(13)

Pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat rnembuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. Beban pembuktian ada pada pengangkut.

3) Prinsip tanggung jawab mutlak (Absolute Itabilily)

Pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian tentang kesalahan.

b. Tanggung jawab pengirim

Biasanya ongkos pengangkutan dibayar oleh sipengirim barang, tetapi ada kalanya juga dibayar oleh orang yang dialamatkan. Bagaimanapun juga, pengangkut selalu berhak menuntut pembayaran ongkos pengangkutan itu kepada kedua-duanya, yaitu kepada pengirim atau penerima barang.

(14)

(barang-barang berkurang pada saat penyerahan) atau prestasinya yang tidak wajar atau tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan waktu penyelesaaian pengangkutan (beberapa barang ternyata rusak atau cacat yang terlihat dari luar, terlambat sampainya ditempat tujuan, atau sama sekali tidak, tak dapat dipergunakan sama sekali) semuanya itu disebabkan:

1) Cacat yang lekat pada barang atau barang-barangnya sendiri 2) Kesalahan dan/ atau kelalaian sendiri pada pengirim

/ekspeditur

Misalnya peti-peti berisikan benda-benda pengiriman yang ternyata kurang kokoh atau kurang rapat sehingga mudah rusak.

3) Keadaan memaksa (Overmacht)

Terdapat dalam Pasal 91, 92 KUHD dan 1245 BW Pasal 92 KUHD menentukan, pengangkut atau juragan perahu tidak bertanggung jawab atas terlambatnya pengangkutan, jika hal ini disebabkan karena keadaan yang memaksa.

C. Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Konsumen

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Amerika) atau consument/ konsument (Belanda) yang berarti “pemakai”. Menurut

(15)

adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia di dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak dapat diperdagangkan. Disadari atau tidak setiap manusia adalah konsumen, semua pelaku usaha adalah konsumen, sebaliknya tidak semua konsumen adalah pelaku usaha.

Menurut Bayu Seto Hadjwowahono (2008: 8-9), pengertian konsumen diartikan lebih sempit, yaitu :

a. Konsumen umum adalah pemakai, pengguna, pemanfaat barang atau jasa untuk kebutuhan tertentu.

b. Konsumen antara adalah pemakai,penggunna, pemanfaat barang atau jasa untuk memperdagangkannya, dengan tujuan komersil atau yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses proses produksi suatu proses produk lainnya.

c. Konsumen akhir adalah pemakai, pengguna, pemanfaat barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri atau rumah tangganya dengan tujuan tidak untuk diperdagangkan kembali.

(16)

2. Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen dapat diartikan sebagai upaya atau cara melindungi diri atau pihak lain dengan suatu hukum atau aturan. Ada beberapa cara perlindungan secara hukum, antara lain sebagai berikut (Wahyu Sasongko, 2007: 31) :

a. Membuat peraturan (by giving regulation), yang bertujuan untuk: 1) Memberikan hak dan kewajiban.

2) Menjamin hak-hak para subyek hukum.

b. Menegakan peraturan (by the law enforcement) melalui :

1) Hukum administrasi negara yang berfungsi untuk mencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, dengan perijinan dan pengawasan.

2) Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, dengan cara mengenakan sanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman.

3) Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (currative, recovery), dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian.

(17)

menyeimbangkan kedudukan tersebut, maka dibutuhkan perlindungan pada konsumen yang berpedoman dalam pembukaan UUD 1945.

Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen. Berdasarkan rumusan tersebut yang dimaksud dengan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang atau jasa konsumen (Kusumaatmadja, 1997: 3).

Di dalam Pasal 1 ayat (1) UUPK, menyebutkan bahwa “perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Jadi UUPK ini merupakan sandaran hukum untuk berpijak bila konsumen dirugikan.

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen, dengan cakupan yang luas meliputi tahapan untuk mendapat barang dan/ jasa hingga sampai akibat-akibat pemakaian barang dan/ jasa (Zulham.S, 2013: 26).

(18)

a. Perlindungan terhadap barang. b. Perlindungan terhadap syarat-syarat.

Upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi para pihak-pihak baik konsumen atau pelaku usaha dirasakan sangat penting sehingga hak dan kewajiban pihak-pihak dapat dilindungi. Dalam hal ini konsumen dan pelaku usaha harus mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. Perlindungan konsumen ditujukan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Secara umum semangat perlindungan konsumen di Indonesia adalah untuk mendukung pembangunan Indonesia terutama dari segi ekonomi yang seimbang dan adil.

a. Asas Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen dilaksanakan berdasarkan asas-asas sebagaimana dijelaskan pada Pasal 2 UUPK, yaitu :

1) Asas manfaat, dimaksudkan agar penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

(19)

memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3) Asas keseimbangan berguna untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil maupun imateriil.

4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen, untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemamfaatan barang dan/ jasa yang dikomsumsi atau digunakan.

5) Asas kepastian hukum, bertujuan agar pelaku usaha dan konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta pemerintah menjamin kepastian hukum.

b. Tujuan Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen merupakan faktor penting yang hendak dicapai. Dari sisi kepentingan konsumen sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 UUPK menjelaskan bahwa perlindungan konsumen memiliki tujuan, yaitu :

1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

(20)

3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen untuk memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. 4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang

mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses mendapat informasi.

5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

6) Meningkatkan kualiatas barang dan/ jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

4. Pengertian Pelaku Usaha

Pelaku usaha menurut Pasal 1 ayat (3) UUPK menyebutkan bahwa “setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkududukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Menurut penjelasannya, pelaku usaha dalam pengertian ini

(21)

5. Hak dan Kewajiban Konsumen

Hak adalah suatu peran yang bersifat fakultatif artinya boleh dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, berbeda dengan Kewajiban adalah peran yang bersifat interatif artinya harus dilaksanakan. Hubungan keduanya adalah saling berhadapan dan berdampingan karena didalam hak terdapat kewajiban untuk tidak melanggar hak orang lain dan tidak menyalahgunakan haknya. Hak dan kewajiban konsumen diatur dalam pasal 4 dan 5 UUPK, sebagai berikut:

Hak konsumen adalah :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ jasa.

c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

d. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

e. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

(22)

g. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

h. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban konsumen adalah:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ jasa.

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen.

6. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Hak dan kewajiban pelaku usaha atau pengusaha diatur dalam pasal 6 dan 7 UUPK. Sebagai berikut :

Hak Pelaku usaha adalah :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ jasa yang diperdagangkan.

(23)

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban pelaku usaha adalah:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

d. Menjamin mutu barang dan/ jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/ jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/ yang diperdagangkan.

(24)

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/ penggantian apabila barang dan/ jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

7. Pengertian Sengketa Konsumen

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Definisi ”sengketa konsumen” dijumpai pada

Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yaitu Surat Keputusan Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001, dimana yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah: “sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menutut ganti

rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa”.

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Voltmeter untuk mengukur tegangan antara dua titik, dalam hal ini adalah tegangan pada lampu 3, voltmeter harus dipasang secara paralel dengan beban yang hendak diukur, posisi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: IDENTIFIKASI KESULITAN SISWA

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Dalam rangka mengimplementasikan program dan kegiatan Tahun Anggaran 2016 dalam kerangka pencapain kinerja program tahun 2015 - 2019, Direktorat Jenderal Peternakan dan

generator sesuai langkah (7.1) kemudian menerapkan tegangan ke benda uji masing-masing 15 kali tembakan tegangan untuk setiap konfigurasi pengujian dan pada setiap

A: Untuk harapan pemerintahan yang baru pasti kita punya harapan yang lebih baik dari pemerintahan sebelumnya, atau paling tidak tetap bisa mempertahankan perekonomian di