• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang sebuah karya intelektual hasil olah pemikiran sendiri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang sebuah karya intelektual hasil olah pemikiran sendiri"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa sekarang sebuah karya intelektual hasil olah pemikiran sendiri sangat dihargai apapun bentuknya selama hasil pemikiran tersebut telah berubah

menjadi hasil karya cipta yang dapat dinikmati oleh diri pribadi maupun orang –

orang sekitar. Dengan berkembangnya waktu, persaingan ekonomi sangat dominan terjadi di semua kalangan masyarakat. Semua berlomba untuk menciptakan suatu hasil karya baru yang belum pernah ditemukan oleh orang lain yang dapat dijual dan keuntungannya dapat dinikmati.

Pada saat revolusi industri muncul di Inggris dan produksi – produksi

industri – industri baru diperingati dengan berbagai pemeran internasional dalam

konteks menekankan peranan Inggris sebagai pusat manufaktur terbesar di dunia yang selanjutnya menjadi tantangan bagi negara lain dalam komersialisasi produk

– produknya. Hal ini merupakan awal yang memberi dorongan terhadap

perkembangan doktrin maupun objek perlindungan hak atas kekayaan intelektual. Pengaruh hak atas kekayaan intelektual ini semakin besar dalam perdagangan dan

bahwa perdagangan internasional bukan semata – mata mengurus soal dagang saja

karena berbagai tekanan telah dilakukan di bidang yang sebenarnya di luar bidang

perdagangan, salah satunya adalah hak cipta1. Hak Cipta yang merupakan bagian

1 Inda Citraninda Noerhadi, 2012, Sejarah Hak Cipta Lukisan, Komunitas Bambu, Jakarta,

(2)

dari hak atas kekayaan intelektual muncul akibat dari perkembangan revolusi

industri di Inggris dan pesatnya perdagangan dunia di mana masing – masing

negara berlomba dalam memasarkan produknya.

Hak atas kekayaan intelektual merupakan suatu hak atas kekayaan yang berada dalam lingkup kehidupan teknologi, ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra. Hak atas kekayaan intelektual baru ada apabila kemampuan intelektual manusia itu telah menjelma menjadi sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dibaca,

maupun digunakan secara praktis2. Hak cipta juga akan diakui setelah bahan

renungan – ide yang ada dalam pikiran orang yang menciptakannya sudah

diekspresikan dalam bentuk nyata yang dapat dinikmati orang lain secara inderawi baik dilihat, didengar, maupun dibaca.

Argumentasi ekonomi bagi perlindungan hukum hak cipta adalah dalam rangka menyediakan insentif bagi kreativitas dan inovasi. Pemilik hak mempunyai kekuatan yang penting untuk mengizinkan kepada siapapun untuk mereproduksi

copyrights material agar mendapatkan keuntungan pada pasar, di mana

pendapatan mereka sangat tergantung dari pasar3. Hak ini yang dinamakan dengan

hak ekonomi dari pemilik hak cipta yang dapat mendatangkan manfaat ekonomis yang dapat ia raih karena kepemilikannya atas status hak ciptanya tersebut.

Selanjutnya, mengenai moral rights, hak yang melindungi kepentingan pribadi

pencipta atau penemu. Pengaturan hak moral pencipta diatur dalam Pasal 24 dan

2 Ibid, hlm. 162.

3 Suyud Margono, 2010, Hukum Hak Cipta Indonesia- Teori dan Analisis Harmonisasi Ketentuan

(3)

25 Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam ketentuan itu disebutkan

bahwa4:

1. Pencipta atau ahli warisnya berhak untuk menuntut pemegang hak cipta

supaya nama pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya.

2. Suatu ciptaan tidak boleh diubah walaupun hak ciptanya telah diserahkan

kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal pencipta telah meninggal dunia.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 2 berlaku juga terhadap

perubahan judul dan anak judul ciptaan, pencantuman dan perubahan nama samaran pencipta.

4. Pencipta tetap berhak mengadakan perubahan pada ciptaannya sesuai

dengan kepatutan dalam masyarakat.

Hal ini juga berdampak pada keinginan mereka untuk berupaya melindungi hasil karya mereka tersebut agar tidak dimanfaatkan oleh orang yang mencari keuntungan pribadi tanpa meminta izin terlebih dahulu pada siapa yang sudah menciptakannya pertama kali. Hak atas Kekayaan Intelektual muncul dalam upaya memberikan pengakuan dan perlindungan bagi setiap orang yang mampu menggunakan ide pikirannya dan menuangkannya menjadi hasil karya cipta yang berwujud yang dapat dinikmati oleh diri pribadi maupun orang lain yang menggunakan karya cipta tersebut.

Reformasi hukum bidang Hak atas Kakayaan Intelektual di Indonesia terutama disebabkan adanya kewajiban internasional negara Indonesia berkaitan

dengan Konvensi Pembentukan WTO (World Trade Organization). Konvensi

tersebut mewajibkan seluruh negara anggotanya untuk menyesuaikan peraturan

perundang – undangan nasionalnya dengan ketentuan – ketentuan dalam konvensi

tersebut, khususnya Annex 1b konvensi tersebut, yaitu Perjanjian TRIPs.

4

(4)

Konvensi tersebut telah memberikan batas waktu bagi negara – negara anggotanya untuk melakukan penyesuaian hukum nasionalnya di bidang Hak atas

Kekayaan Intelektual dengan ketentuan – ketentuan dalam TRIPs,yaitu satu tahun

bagi negara maju dan empat tahun bagi negara berkembang5. Adapun TRIPs

bertujuan untuk melindungi dan menegakan hukum hak milik intelektual guna mendorong timbulnya inovasi, peralihan serta penyebaran teknologi, diperolehnya manfaat bersama pembuat dan pemakai pengetahuan teknologi, dengan cara menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta keseimbangan antara hak dan kewajiban (Pasal 7 TRIPs).

Di Indonesia muncul dua cara pandang terhadap Hak atas Kekayaan

Intelektual dan keterlibatan Indonesia dalam penegakan hak – hak itu dalam

perdagangan global. Di satu sisi adalah pandangan bahwa Hak atas Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari perjanjian internasional yang diikuti Indonesia, sehingga harus ada penyesuaian tanpa peduli adanya ketimpangan posisi dan kesempatan. Anggapannya, dengan memperbanyak jumlah hak cipta dan paten

maka akan ada perlindungan lingkungan alam dan sosial – budaya yang penuh

dengan potensi Hak atas Kekayaan Intelektual, seperti keragaman spesies tanaman dan hewan, maupun warisan benda tradisi. Lebih jauh dipercaya bahwa penyatuan hukum Indonesia dengan aturan internasional ditandai dengan kembali masuknya Indonesia dalam Konvensi Bern tahun 1997 adalah upaya bagus untuk menyesuaikan diri dengan standar hukum internasional dan pandangan kedua yang menyatakan perjanjian internasional menunjukan ketimpangan antar negara

(5)

di dunia yang membuat negara industri maju mendapat untung lebih dahulu dan negara berkembang harus membayar mahal untuk menggunakan produksi dari

negara maju6. Di sini nampak jelas pro dan kontra tentang adanya pengaturan Hak

atas Kekayaan Intelektual, namun pada perkembangannya, Hak atas kekayaan

Intelektual telah diakui dan diberi pengaturannya oleh hukum nasional masing –

masing negara.

Di Indonesia, Hak atas Kekayaan Intelektual secara umum terdiri dari Hak Cipta dan Hak Milik Perindustrian. Hak Cipta di dalamnya mencakup juga Hak Terkait. Untuk Hak Milik Perindustrian meliputi Merek, Paten, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, dan Varietas Tanaman.

Pengaturan mengenai hak cipta di dalam persetujuan ini pada dasarnya berpedoman kepada dua konvensi internasional, yaitu: Konvensi Bern 1971

mengenai perlindungan karya kesusastraan dan artistik (Convention for Protection

of Literary Works and Artistic Works) dan Konvensi Roma 1961 tentang

perlindungan pelaku pertunjukan, perekaman dan badan penyiaran (Convention

for Performers, Producers of Phonograms and Broadcasting)7. Konvensi Bern

mengatur tentang perlindungan karya – karya literatur (karya tulis) dan artistik,

ditandatangani di Bern pada tanggal 9 September 1886. Yang menjadi objek

perlindungan hak cipta adalah karya – karya sastra dan seni yang meliputi segala

6Ibid,hlm 29.

(6)

hasil bidang sastra, ilmiah, dan kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan

apapun, demikian yang dapat ditangkap dari rumusan Pasal 2 Konvensi Bern8.

Salah satu hal yang penting dalam Konvensi Bern adalah mengenai perlindungan yang diberikannya terhadap para pencipta atau pemegang hak. Menurut Pasal 5 konvensi ini para pencipta akan menikmati perlindungan yang sama seperti diperoleh mereka dalam negara sendiri atau perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini. Dengan kata lain para pencipta yang merupakan warga negara dari salah satu negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh

kenikmatan perlindungan di negara – negara yang tergabung dalam kelompok ini.

Universal Copyright Convention ditandatangani di Jenewa pada tanggal 6 September 1952. Dalam Pasal V menyebutkan pengertian hak cipta. Hak cipta meliputi hak tunggal si pencipta untuk membuat, menerbitkan, dan memberi kuasa untuk menerbitkan dan membuat terjemahan daripada karya yang

dilindungi perjanjian ini. Selanjutnya dalam Pasal IV bis menyebutkan bahwa

yang dianggap sebagai hak cipta adalah karya dalam bentuk asli (basic right)

maupun terjemahannya9.

Rumusan pengertian hak cipta menurut Konvensi Bern tersirat dalam pasal

2, 3, 11, dan 13 yang isinya diserap oleh Auteurswet 1912 dalam Pasal 2 jo Pasal

10. Konvensi Bern tidak merumuskannya dalam pasal tersendiri seperti Undang –

Undang Hak Cipa Indonesia. Auteurswet dibuat untuk memperbaharui undang –

8H.OK.Saidin, op.cit, hlm. 216.

(7)

undang hak cipta tahun 1881 yang berlaku sebelumnya berhubung hendak masuknya negara Belanda menjadi anggota Konvensi Bern, sehingga menjadi

keharusan yuridis agar Auteurswet 1912 disesuaikan rumusannya dengan

konvensi Bern agar terjaga sinkronisasi peraturan perundang – undangan nasional

dengan peraturan internasional. Hal ini terbawa sampai pada peraturan perundang

– undangan Indonesia tentang hak cipta yaitu UU No. Tahun UU No. 6

Tahun1982, UU No. 7 Tahun 1987, yang diperbarui UU No. 12 Tahun 1997, dan

yang terakhir UU No. 19 Tahun 200210. Hak cipta merupakan salah satu dari hak

atas Kekayaan Intelektual yang atas karya ciptanya diberi pengakuan dan perlindungan secara hukum yang telah mendapatkan payung hukumnya di dalam

peraturan perundang – undangan Indonesia, yakni Undang – Undang No. 19

Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Penerapan terhadap penggunaan Hak Cipta rentan dengan pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan pihak yang tidak bertanggung jawab demi meraup keuntungan pribadi dengan meniru atau mendompleng karya ciptaan terdahulu menyebabkan orang malas untuk mengembangkan kreativitas mereka.

Kebutuhan untuk mengakui, melindungi, dan memberi penghargaan terhadap pengarang, artis dan pencipta lain dan akses atas hasil karya mereka demi kepentingan manusia mulai dirasakan di Indonesia. Hukum harus memberikan perlindungan yang diberikan untuk memberikan ketenangan pencipta. Pencipta pun merasa yakin setelah karya ciptaannya muncul, dapat

10

(8)

dilindungi, baik secara ekonomis maupun secara yuridis oleh pemerintah pertama

– tama, sehingga bisa disebarluaskan pada masyarakat dan masyarakat luas

mengetahui siapa penciptanya dan menggunakannya sesuai batasan dalam

peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Dalam hak cipta, perlindungannya timbul secara otomatis sejak lahirnya suatu ciptaan. Pendaftaran suatu ciptaan bukan merupakan suatu kewajiban yang menimbulkan hak cipta, sehingga suatu ciptaan, baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar pada dasarnya tetap memperoleh perlindungan. Fungsi pendaftaran ini adalah diperolehnya surat pendaftaran ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap

ciptaan tersebut11. Jadi, perlindungan atas hak cipta terjadi secara otomatis saat ide

– gagasan tersebut telah dituangkan menjadi hasil karya nyata yang dapat

dinikmati oleh orang lain. Adapun pendaftarannya berfungsi sebagai alat bukti yang kuat di pengadilan saat terjadi sengketa yang diajukan di pengadilan dan perlunya pemeriksaan hakim di pengadilan.

Lukisan Badak pada minuman larutan penyegar juga merupakan objek hak cipta yang perlu pendaftaran demi terciptanya perlindungan hukum atas hak cipta. Hal ini menjadi menarik saat terjadi hubungan kerjasama antar pihak yang merasa mengolah secara bersama sebuah produk minuman larutan yang kemudian mendaftarkan hak ciptanya namun digugat oleh perseroan besar yang mengklaim bahwa dirinya adalah pencipta asli dari lukisan badak tersebut.

11 Dina Widyaputri Kariodimedjo, Perlindungan Hak Cipta, Hak Terkait, dan Desain Industri, Jurnal Mimbar Hukum Vol. 22,No.2,Juni 2010.

(9)

Peneliti akan melakukan analisis perbandingan antara putusan Mahkamah Agung dengan putusan dari Pengadilan Niaga sebelumnya terkait sengketa pendaftaran hak cipta yang melibatkan Wen Ken Drug CO PTE,LTD. dengan PT. Sinde Budi Sentosa dan Budi Yuwono. Yang menjadi pokok sengketa adalah lukisan badak yang diklaim oleh perseroan Wen Ken Drug, perseroan yang didirikan menurut hukum negara Singapura, yang berkedudukan di Singapura, yang memberi kuasa pada advokat di Jakarta. Perseroan tersebut telah

menggunakan lukisan badak tersebut pertama kali (to make public) sejak tahun

1959 dengan bukti dalam bentuk iklan dalam surat kabar. Dalam upaya melebarkan usaha bisnisnya, maka sejak tahun 1980, Wen Ken Drug melakukan kerjasama dengan Indonesia melalui Budi Yuwono melalui PT. Sinde Budi Sentosa untuk memproduksi, menjual, memasarkan, dan mendistribusikan produk minuman larutan penyegar dengan logo Cap Kaki Tiga. Wen Ken Drug menyatakan dalam pengadilan, bahwa PT. Sinde Budi Sentosa dengan itikad tidak baik telah mendaftarkan logo Cap Kaki Tiga kepada kantor hak cipta sebgai milik bersama antara perseroan Wen Ken Drug, PT. Sinde Budi Sentosa dan Budi Yuwono tanpa sepengetahuan dan seizin Wen Ken Drug.

Hal inilah yang tidak dapat diterima oleh Wen Ken Drug, karena perseroan

tersebut merupakan perseroan yang pertama kali menggunakan lukisan badak (to

make public), dan sebagai hubungan kerja di Indonesia dengan PT. Sinde Budi

Sentosa dan Budi Yuwono tidak seharusnya produk minuman larutan penyegar dengan lukisan badak tersebut didaftarkan ke kantor hak cipta di Indonesia. Wen Ken Drug berpendapat walaupun dalam perkembangannya, pihak lain menjual

(10)

dan mendistribusikan minuman larutan penyegar tersebut, tetapi di dalamnya terdapat hasil karya ciptanya (lukisan badak), perlindungan hak cipta seharusnya ada pada Wen Ken Drug tanpa harus mendaftarkannya lagi dengan nama bersama PT. Sinde Budi Sentosa dan Budi Yuwono di negara Indonesia.

Wen Ken Drug melalui kuasa hukumnya yang berada di Indonesia, Gunawan Widjaja mengajukan gugatannya pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Oleh Pengadilan Niaga diputuskan bahwa perseroan Wen Ken Drug yang

dimenangkan12 dengan dasar pertimbangan perseroan tersebut sebagai pencipta

asli dan pemegang hak cipta satu – satunya atas logo Cap Kaki Tiga dan

memerintahkan pada Direktorat Jenderal Direktorat Hak atas Kekayaan

Intelektual – Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

untuk mencoret nama PT. Sinde Budi Sentosa dan Budi Yuwono pada Daftar Umum Ciptaan, dan menghukum PT. Sinde Budi Sentosa dan Budi Yuwono untuk membayar biaya perkara.

PT. Sinde Budi Sentosa dan Budi Yuwono kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung berdasar akta permohonan kasasi No. 37 K/HaKI/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst jo No. 31/Hak Cipta/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. PT. Sinde Budi Sentosa dan Budi Yuwono sebagai pemohon kasasi mengajukan keberatan yang berisi penerapan hukum dalam pertimbangan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah keliru mengartikan tentang keaslian lukisan badak dan Cap Kaki Tiga yang seharusnya berasal dari PT. Sinde Budi Sentosa dan Budi Yuwono yang berasal dari sumber asal orang yang membuat atau menciptakan

12

(11)

minuman larutan penyegar Cap Kaki Tiga. Oleh karena Wen Ken Drug tidak mempunyai cukup bukti untuk dinyatakan sebagai pencipta dan pemegang hak cipta sebenarnya, maka PT. Sinde Budi Sentosa dan Budi Yuwono memohon untuk Majelis Hakim Mahkamah Agung membatalkan putusan hakim pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

B. Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang masalah tersebut, penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya putusan Mahkamah Agung

yang bertolak belakang dengan putusan Pengadilan Niaga?

2. Bagaimana kesesuaian putusan Mahkamah Agung dengan Undang –

Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang akan diambil adalah:

1. untuk menganalisis faktor – faktor penyebab putusan Mahkamah Agung

yang bertolak belakang dengan putusan Pengadilan Niaga.

2. untuk menganalisis kesesuaian putusan Hakim Agung pada Mahkamah

(12)

D. Manfaat Penelitian

Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

1. Perkembangan ilmu pengetahuan dalam masyarakat umum, melengkapi

bahan atau literatur atau kepustakaan Hak atas Kekayaan Intelektual, khususnya mengenai perlindungan terhadap Hak Cipta.

2. Diharapkan berguna bagi alat penegak hukum sebagai pemecahan

sengketa yang timbul dalam kepemilikan Hak Cipta.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan perbandingan dengan penelitian –

penelitian terdahulu dalam rangka mengembangkan pemahaman tentang kepemilikan Hak Cipta.

E. Keaslian Penelitian

Dari sekian banyak hasil penelitian, penulis hanya menemukan beberapa hasil penelitian yang dianggap memiliki kemiripan substansi dengan permasalahan yang dirumuskan penulis tetapi berbeda dalam pangkajian masalahnya, yakni sebagai berikut:

1. Lucy, Tesis IPB 2013 dengan judul Analisis Pengaruh Brand dan

Kemasan Larutan Penyegar Terhadap Brand Awareness dan Brand Loyalty. Tesis ini bertujuan menganalisis kesadaran konsumen terhadap merek dan kemasan, faktor-faktor dan nilai yang mempengaruhi kesadaran

(13)

merek dan kemasan, juga faktor-faktor yang mempengaruhi loyalitas. Hasil akhir penelitian menunjukan hal yang mempengaruhi nilai yang dirasakan konsumen adalah merek. Inovasi pada produk yang dianggap mempunyai citra baik. Kesadaran merek dan kesadaran desain merek untuk produk minuman larutan penyegar tidak berpengaruh terhadap niat beli dan loyalitas, melankan citra merek, nilai yang dirasakan konsumen dan kepuasan konsumen.

2. Nadia Rillifani, Skripsi UI 2012 dengan judul Analisis Yuridis Terhadap

Pembatalan Perjanjian Lisensi Secara Sepihak (Studi Kasus Sengketa Larutan Cap Kaki Tiga Putusan Pengadilan No. 362/Pdt.G/2008/PN-BKS jo. No. 1758 K/Pdt/2010) yang lebih menitikberatkan pada pembatalan perjanjian, lisensi dan perbuatan melawan hukum. Skripsi ini menganalisis tentang pengaturan pembatalan perjanjian sepihak, konsep perjanjian lisensi dalam perlindungan merek, dan akibat hukum yang timbul setelah pembatalan kesepakatan lisensi antara Wen Ken Drug dengan PT. Sinde Budi Sentosa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pembatalan lisensi seihak tidak dapat dikatakan perbuatan melawan hukum karena pemberian lisensi didasarkan atas kuasa, bukan atas perjanjian formal. Konsekuensi hukumnya pemberi kuasa memiliki hak untuk menarik kuasanya atau mengakhiri lisensi tersebut kapan saja.

3. Mariana Susanty, Skripsi Universitas Tarumanegara 2012 berjudul Akibat

Hukum Pelanggaran Hak Eksklusif Pencipta Dalam Kegiatan Perdagangan (Studi Kasus Pendaftaran NO. 015649 “Seni Lukis Etiket” Larutan

(14)

Penyegar Cap Kaki Tiga Antara Wen Ken Drug CO. Ltd Dengan PT. Sinde Budi Sentosa) yang menganalisis akibat hukum pencipta atas hak eksklusifnya. Kesimpulannya sesuai dengan prinsip dasar Hak Cipta dalam Konvensi Bern stelsel pasif, di mana suatu ciptaan tidaklah harus melalui proses pendaftaran formal melainkan didapat secara otomatis untuk dapat dilindungi haknya asalkan terpenuhi unsur orisinalitas.

4. Diego Arizona, Tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Merek Asing Terkenal Terhadap Praktek Pemalsuan Merek di Indonesia (Studi Kasus Merek Kinotakara: Putusan No No. 015/PK/N/HAKI/2005) yang menyimpulkan pengaturan tentang perlindungan merek asing terkenal dapat dikategorikan menjadi dua golongan berdasarkan UUM 15/2001. Pertama, perlindungan secara preventif dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UUM 15/2001. Kedua, perlindungan secara represif dalam Pasal 37 ayat (2) dan Pasal 68 ayat (1). Selanjutnya, pertimbangan majelis hakim yang secara tidak langsung telah menyatakan bahwa merek “KINOTAKARA” milik K-Link bukanlah merek terkenal kurang tepat. Menurut bukti, fakta-fakta, dan penjelasan menyatakan bahwa merek KINOTAKARA milik K-Link memenuhi unsur atau kriteria untuk dikategorikan sebagai merek terkenal sesuai dengan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UUM 15/2001. Pihak PT. Royal Body Care juga telah terbukti memiliki iktikad tidak baik dalam mendaftarkan merek “KINOTAKARA” di Indonesia.

(15)

5. Eko Cahyo Wibowo, Tesis dengan judul Analisis Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Dalam Perkara Merek Yang Memiliki Persamaan Pada Pokoknya Putusan No. 04/Merek/2006.PN.Niaga.Jkt PST dan Putusan Mahkamah Agung No.021 K/N/HaKI/2006 yang menyimpulkan Pertama, untuk menentukan adanya persamaan pada pokoknya dari dua merek haruslah melihat pada tampilan secara keseluruhan dari merek-merek tersebut jadi bukan berdasarkan detail dari merek-merek-merek-merek bersangkutan. Yang terpenting adalah kesamaan dari unsur-unsur yang menonjol dari merek-merek (unsur-unsur dalam garis besarnya) dan bukan berdasarkan adanya perbedaan-perbedaan secara detail. Kedua, mengenai kesesuaian putusan dengan peraturan per-undang-undangan yang berlaku, terlihat Majelis Hakim pada putusan tidak memberikan pertimbangan hukum mengenai konsep persamaan pada pokoknya sebagaimana yang dipermasalahkan atau sebagai pokok perkara. Secara keseluruhan kedua putusan dalam kasus tersebut belum memberikan pertimbangan hukum yang lengkap dan terarah, sehingga kurang memberikan perlindungan hukum.

Melihat dari kelima penelitian di atas yang telah dilakukan terdahulu, dapat dilihat perbedaan dengan rumusan permasalahan yang peneliti buat. Peneliti terdahulu lebih mengamati pada mereknya, yang peneliti teliti adalah tentang Hak Cipta di mana objeknya lukisan badak dalam larutan penyegar yang menjadi sengketa. Juga tentang kesesuaian putusan hakim

(16)

F. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari lima bab. Bab I yang merupakan pendahuluan akan menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian.

Bab II akan membahas mengenai tinjauan umum tentang pendaftaran hak cipta, perlindungan hukumnya saat terjadi sengketa.

Kemudian, Bab III merupakan metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, bahan penelitian, cara dan alat pengumpulan data, serta analisis.

Bab IV akan menjelaskan kedudukan masing – masing pihak yang

bersengketa dan analisis pertimbangan hakim dari Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung

Referensi

Dokumen terkait

M enurut M ulyadi dan Puradiredja (2003, p1), auditing adalah suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Budisuari dan Mukjarab (2010), diketahui bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan manis dapat meningkatkan risiko karies gigi

karena atas berkah, rahmat, dan karunianya penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir ini dangan baik untuk memenuhi syarat menyelesaikan pendidikan Diploma III pada

28 Muncul gambar muka Wiji Thukul di sebelah gambar muka Sipon Yang disusul dengan teks, “Memutuskan untuk.. “Yang hanya dalam

Tabel di atas dapat dideskripsikan bahwa dari 20 peserta didik yang menjadi sampel dalam penelitian ini, terdapat 2 peserta didik atau 10% yang memilih selalu mengulangi

Inflasi terjadi pada 5 (lima) kelompok pengeluaran, yaitu kelompok Bahan Makanan sebesar 1,09 persen; kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau sebesar 0,61;

Sedangkan, Sistem pakar (expert system) secara umum adalah sistem yang berusaha mengadopsi pengetahuan manusia ke komputer dengan bantuan bahasa pemograman tertentu

Hanya kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang berpengaruh positif, sedangkan kecerdasan intelektual berpengaruh negatif dan secara keseluruhan tidak