• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI KEPENDIDIKAN DALAM PENGAMALAN IBADAH PUASA RAMADAN (Kajian Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 183-187) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "NILAI-NILAI KEPENDIDIKAN DALAM PENGAMALAN IBADAH PUASA RAMADAN (Kajian Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 183-187) - Test Repository"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI KEPENDIDIKAN DALAM

PENGAMALAN IBADAH PUASA RAMADAN

(Kajian Al-

Qur’an Surat Al

-Baqarah Ayat 183-187)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)

Oleh

IRSYADUL IBAD

NIM 11111094

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)

iii

NILAI-NILAI KEPENDIDIKAN DALAM

PENGAMALAN IBADAH PUASA RAMADAN

(Kajian Al-

Qur’an Surat Al

-Baqarah Ayat 183-187)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)

Oleh

IRSYADUL IBAD

NIM 11111094

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(4)
(5)
(6)
(7)

vii MOTTO

ا فصن موصلا

نايملاا فصن برصلاو برصل

(

١٤٤٧

:ةرنم ،

٧٩٩١

.ىذمرت

)

(8)

viii

PERSEMBAHAN

Alhamdulillah dengan izin Allah SWT skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini saya persembahkan kepada orang-orang yang telah membantu mewujudkan mimpiku:

1. Bapak dan Ibu yang telah memberikan mahkota kasih sayangnya kepadaku dari aku kecil yang tak mengerti apa-apa hingga kini aku mengerti makna hidup.

2. Kakakku Mahzul Khabib yang selalu memberikan teladan, semangat, dan tawa kebahagiaan dalam mengarungi perjalanan hidup.

3. Bapak Nurul Huda yang telah memberikan uluran tangannya hingga aku dapat menentukan langkah kebenaran.

4. Sahabat kampusku Taufiq, Mukhib, dan Saeful yang telah setia menemani dan menjalin persahabatan yang utuh.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikut setianya.

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga . Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan FTIK IAIN Salatiga. 3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan PAI.

4. Ibu Dra. Lilik Sriyanti, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik.

5. Bapak Prof. Dr. Budihardjo, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan waktunya dalam upaya membimbing penulis skripsi ini.

(10)
(11)

xi ABSTRAK

Ibad, Irsyadul. 2015. “Nilai-Nilai Kependidikan Dalam Pengamalan Ibadah Puasa Ramadan (Kajian Al-Qur’an Surat al-Baqarah Ayat

183-187)”. Program Studi S1 PAI Institut Agama Islam Negeri.

Pembimbing Prof. Dr. Budihardjo, M.Ag. Kata Kunci: Nilai, Pendidikan, Puasa

Puasa adalah menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh mulai fajar hingga maghrib, karena mengharap ridho Allah dan menyiapkan diri untuk bertakwa kepada-Nya. Tujuan berpuasa adalah takwa. takwa berarti suatu sikap mental yang tumbuh atas dasar jiwa tauhid dan berkembang dengan ibadah-ibadah yang dilakukan kepada Allah SWT. jadi ia adalah buah dari ibadah.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui nilai-nilai kependidikan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183-187 ,dan 2) mengetahui implementasi nilai-nilai kependidikan surat al-Baqarah ayat 183-187 dalam kehidupan sehari-hari.

Penelitian ini menggunakan metode library research, yaitu penelitian dimana objek penelitiannya digali dengan cara membaca, memahami serta menelaah buku-buku, kitab-kitab tafsir serta sumber-sumber yang berkenaan dengan permasalahan yang ada. Dalam penarikan kesimpulan penulis menggunakan metode tahlili. Metode tahlili adalah metode analisis yang terdiri atas pendekatan induktif, pendekatan deduktif, dan munāsabah.

(12)

xii DAFTAR ISI

Sampul ...………..……. i

Halaman Berlogo ………..…. ii

Halaman Judul ………..…….. iii

Halaman Persetujuan Pembimbing ………..……… iv

Halaman Pengesahan Kelulusan ………. v

Halaman Pernyataan Keaslian Tulisan ……… vi

Halaman Motto...……….. vii

Halaman Persembahan...……….. viii

Kata Pengantar ………. ix

Abstrak ………. xi

Daftar Isi ……….. xii

Daftar Lampiran ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ……… ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Rumusan Masalah ………... 4

C. Tujuan Penelitian.. .……… 5

D. Manfaat Penelitian ...………. 5

(13)

xiii

F. Metode Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KOMPILASI AYAT TENTANG IBADAH PUASA RAMADAN 13 A. Surat al-Baqarah ayat 183... 13

B. Surat al-Baqarah ayat 184... 16

C. Surat al-Baqarah ayat 185... 19

D. Surat al-Baqarah ayat 186... 22

E. Surat al-Baqarah ayat 187... 25

BAB III ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH………... 28

A. Asbabun Nuzul ………..………... 28

1. Surat al-Baqarah ayat 184... 30

2. Surat al-Baqarah ayat 186... 31

3. Surat al-Baqarah ayat 187... 32

B. Munasabah ………... 33

1. Munasabah Surat al-Baqarah ayat 183-187 dengan Ayat Sebelumnya... 35

2. Munasabah Surat al-Baqarah ayat 183-187 dengan Ayat Sesudahnya... 38

BAB IV PEMBAHASAN…………... 40

A. Pandangan Beberapa Ahli Tafsir Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 183-187... 40

1. Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 183... 40

(14)

xiv

3. Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 185... 46 4. Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 186... 54 5. Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 187... 58 B. Nilai–Nilai Kependidikan Dalam Pengamalan Ibadah Puasa

Ramadan Surat al-Baqarah ayat 183-187... 70 C. Implementasi Nilai-Nilai Kependidikan Surat Al-Baqarah Ayat

183-187 Dalam Kehidupan Sehari-Hari... 76 BAB V PENUTUP ……….……….... 81

A.Kesimpulan ……..………... 81 1. Nilai-Nilai Kependidikan Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah

Ayat 183-187... 81 2. Implementasi Nilai-Nilai Kependidikan Surat Al-Baqarah Ayat

183-187 Dalam Kehidupan Sehari-Hari... 81 3. Saran ………... 82

DAFTAR PUSTAKA

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS NOTA PEMBIMBING SKRIPSI

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Shiyām/shaum menurut lughah (bahasa) berasal dari kata shāma artinya

menahan diri atau berhenti dari melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ (fiqih/hukum) adalah menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh mulai fajar hingga maghrib, karena mengharap ridho Allah dan menyiapkan diri untuk bertakwa kepada-Nya dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah dan mendidik kehendak (Muhammad Amin Suma, 1997: 73). Puasa ada yang hukumnya wajib dan ada yang sunah. Sebagai contoh : puasa 3 hari pada pertengahan bulan oleh Nabi Nuh, sehari puasa sehari tidak oleh Nabi Dawud, puasa 40 hari oleh Nabi Musa dan puasa Ramadan. Pengakuan bahwa puasa telah biasa dilakukan atau diwajibkan kepada ummat terdahulu menunjukkan dua hal, pertama: legitimasi teologis (tekstual) yaitu merupakan ajaran Allah swt untuk peningkatan kualitas diri, dan kedua: legitimasi budaya (kontekstual) yaitu merupakan nilai luhur yang sudah membudaya dalam masyarakat sebelum Islam (Asrori, 2012: 7).

(17)

2

Puasa bulan Ramadan telah difardhukan pada bulan Sya’ban tahun ke 2

Hijriah. Sebelum itu amalan puasa sudah biasa dilakukan di kalangan umat terdahulu dan Ahli kitab yang sezaman dengan Nabi. Hal ini berdasarkan firman Allah di dalam Surah al‐Baqarah, ayat 183:

وُقَّ تَ ت ْمُكَّلَعَل ْمُكِلْبَ ق نِم َنيِذَّلا ىَلَع َبِتُك اَمَك ُماَيِّصلا ُمُكْيَلَع َبِتُك ْاوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي

َن

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. al-Baqarah, 2: 183)

Pada permulaan Islam, puasa dilakukan tiga hari pada setiap bulan. Kemudian pelaksanaan itu dinasakh oleh puasa pada bulan Ramadan, dan dikatakan bahwa puasa itu senantiasa disyariatkan sejak zaman Nuh hingga Allah menasakh ketentuan itu dengan puasa Ramadan. Puasa diwajibkan atas mereka dalam waktu yang lain, sehingga apabila salah seorang dari mereka shalat isya kemudian tidur, maka sesudah itu haram baginya makan, minum, dan berjima, serta perbuatan sejenisnya. Kemudian Allah menjelaskan hukum puasa sebagairnana yang berlaku pada permulaan Islam.

Puasa dalam bahasa Arab adalah shiyām, yang berasal dari akar kata

َماَص

-

ُمْوُصَي

اًمْوَص

sesuai (Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, 2003: 1195)

(18)

3

Sucikanlah puasa, karena puasa itu bukan sekedar menahan diri dari makan dan minum saja namun puasa adalah menahan diri dari maksiat, dan jika pada suatu hari seseorang berpuasa lalu ada orang lain mencelanya atau mencacinya maka katakanlah: saya sedang berpuasa.

Dalam al-Qur’an terdapat ajaran tentang kebebasan dan tanggung jawab serta memelihara nilai-nilai keutamaan. Keutaman yang diberikan bukan karena bangsanya, warna kulit, kecantikan, perawakan, harta, pangkat, derajat, jenis profesi dan kasta sosial atau ekonominya. Akan tetapi semata-mata karena iman, takwa, akhlak, ketinggian ilmu dan akalnya, juga karena kesediaan untuk menimba ilmu pengetahuan yang beragam (Omar, 1979: 107). Seperti tersebut dalam al-Qur’an Surat al-Hujurat ayat 13 sebagai berikut:

اَهُّ يَأٰي

(19)

4

Dari sini jelas bahwa Allah SWT menciptakan manusia itu pada dasarnya sama. Allah tidak akan memandang manusia itu dari pangkat, derajat, harta maupun kedudukanya melainkan dari tingkat ketakwaannya. Dari segi pendidikan, puasa menumbuhkan disiplin jiwa, moril dan semangat sosial yang kuat. Puasa mulai memberikan dasar latihan untuk menahan makan, minum dan bersenggama yang bersifat jasmaniah, kemudian puasa membentuk kesadaran hidup manusia yang lebih tinggi, menjulang dan menerobos kedalam alam kehidupan rohani manusia, untuk menghidupkan manusia ke dalam alam terang-benderang. Maka puasa yang dilakukan dengan sebenar-benarnya puasa adalah latihan mental dan fisik, mendidik manusia berwatak dan berakhlak mulia, dengan demikian terciptalah insan yang takwa.

Di dalam surat al-Baqarah ayat 183-187 terdapat nilai-nilai kependidikan yang berkaitan dengan pengamalan ibadah puasa ramadan. Dengan demikian penulis ingin mengkaji tentang “Nilai-Nilai Kependidikan Dalam Pengamalan Ibadah Puasa Ramadan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis paparkan di atas maka yang menjadi masalah pokok dalam bahasan ini adalah:

1. Apa sajakah nilai-nilai kependidikan yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 183-187?

(20)

5 C.Tujuan Penelitian

Bedasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis dapat menentukan tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui nilai-nilai kependidikan yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 183-187.

2. Untuk mengetahui implementasi nilai-nilai kependidikan surat al-Baqarah ayat 183-187 dalam kehidupan sehari-hari.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi dua sisi: 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis, dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia pendidikan mengenai konsep nilai-nilai kependidikan yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 183-187.

2. Manfaat praktis

(21)

6 E. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran judul serta istilah yang ada dalam judul skripsi ini, maka perlu dikemukakan maksud dari kata-kata yang ada, agar dapat dipahami dan beberapa peristilahan yang dipakainya juga perlu dibatasi terlebih dahulu.

1. Nilai

Nilai adalah sesuatu yang dipandang baik, disukai, dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang sehingga preferensinya tercermin dalam prilaku, sikap, dan perbuatan-perbuatannya (Maslikhah, 2009: 106). Nilai adalah sifat-sifat yang penting/berguna bagi kemanusiaan misal, budaya yang dapat menunjang kesatuan bangsa harus dilestarikan (kamus umum bahasa Indonesia, 1982: 677)

2. Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe”

dan akhiran “kan” yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan

sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani yaitu

Paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini

kemudian diterjemahkan kedalam bahasa inggris dengan education yang

berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa arab istilah ini

diterjemahkan Tarbiyah yang berarti pendidikan (Ramayulis, 2002: 1).

(22)

7 3. Pengamalan Ibadah Puasa Ramadan

Pengamalan adalah dari kata amal, yang berarti perbuatan, pekerjaan, segala sesuatu yang dikerjakan dengan maksud berbuat kebaikan. Dari pengertian di atas, pengamalan berarti sesuatu yang dikerjakan dengan maksud berbuat kebaikan, dari hal di atas pengamalan masih butuh objek kegiatan (W. J. S. Poerwadarminta, 1985: 33).

Ibadah berasal dari kata

ًةَداَبِع

-

ُدُبْعَ ي

-

َدَبَع

yang berarti tunduk,

patuh dan merendahkan diri (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 951). Pengertian ibadah menurut Hasby Ash Shiddieqy (2000: 5) yaitu segala ketaatan yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat.

Ramadan berasal dari akar kata

َضَمَر

yang berarti panas yang

menyengat (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 570). Ramadan merupakan bulan yang kesembilan dalam tahun Qomariyah. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab kala itu untuk memindahkan suatu istilah kedalam bahasa mereka yang sesuai dengan keadaan. Pada bulan kesembilan suhu disana amat panas, sehingga mereka menyebutnya bulan Ramadan (Irfan Supandi, 2008: 276).

(23)

8 4. Surat al-Baqarah Ayat 183-187

Surat Baqarah (Sapi Betina) adalah surat ke dua setelah surat al-Fatihah dalam susunan al-Qur’an yang terdiri dari 286 ayat, termasuk dalam golongan surat-surat Madaniyyah dan merupakan surat yang terpanjang dan terbanyak ayat-ayatnya di antara surat-surat yang ada dalam al-Qur’an (Depag RI, 2003: 51). Adapun ayat 183-187 menerangkan tentang perintah untuk menunaikan ibadah puasa ramadan.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (Library Research), yang pengumpulan datanya diperoleh dengan penelusuran buku-buku dan menelaahnya (Sutrisno Hadi, 2004: 11).

2. Teknik Pengumpulan Data

(24)

9 3. Teknik Analisis Data

Menurut Miles & Huberman (1992: 16), analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan atau verifikasi.

a. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data “kasar” yang

muncul dari catatan-catatan. Dalam reduksi data ini, penulis meninjau ulang data-data yang telah diperoleh, kemudian memilah-milah data yang menjadi pokok permasalahan. Di samping itu juga, penulis memilih sumber-sumber lain yang dianggap menunjang penelitian ini, diantaranya adalah buku-buku yang berkaitan dengan nilai-nilai kependidikan dalam pengamalan ibadah puasa ramadan.

b. Penyajian Data

Penyajian data menurut Miles & Huberman membatasi suatu

“penyajian” sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam penyajian data ini, penulis akan menganalisis kandungan surat al-Baqarah ayat 183-187, kemudian mencari relevansinya dengan nilai-nilai kependidikan dalam pengamalan ibadah puasa ramadan.

c. Menarik Kesimpulan

(25)

Kesimpulan-10

kesimpulan tersebut diperoleh melalui verifikasi selama penelitian berlangsung.

Dalam penarikan kesimpulan penulis menggunakan metode

tahlili. Metode tahlili adalah metode yang menjelaskan ayat-ayat al-Quran dengan meneliti aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, mulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar surat (munāsabah), dengan bantuan latar belakang turunnya ayat (asbābun nuzūl), riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi SAW, Sahabat dan Tabi’in (Abdul Hayy Farmawi, 1977: 24). Metode analisisnya terdiri atas pendekatan induktif, pendekatan deduktif, dan munāsabah.

1) Pendekatan Induktif

Pendekatan induktif ini sering disebut sebagai sebuah pendekatan pengambilan kesimpulan dari khusus menjadi umum (going from specific to the general).

Berangkat dari hasil analisa kandungan surat al-Baqarah ayat 183-187, kemudian dapat ditarik kesimpulan yang merupakan esensi dari kandungan surat al-Baqarah ayat 183-187 dan keterkaitannya dengan nilai-nilai kependidikan dalam pengamalan ibadah puasa ramadan.

2) Pendekatan Deduktif

Pendekatan deduktif (deductive approach) adalah pendekatan yang menggunakan logika untuk menarik satu atau lebih kesimpulan

(26)

11

Metode deduktif sering digambarkan sebagai pengambilan kesimpulan dari sesuatu yang umum ke sesuatu yang khusus (going from the general to the specific).

Berdasarkan data yang diperoleh, penulis menganalisa nilai-nilai kependidikan dalam pengamalan ibadah puasa ramadan secara umum, untuk kemudian menggolongkannya secara khusus berdasarkan kandungan surat al- Baqarah ayat 183-187.

3) Analisis Munasabah

Kata munāsabah berasal dari

ًةَبَسَاَنُم

-

َبِساَنُ ي

-

َبَساَن

artinya patut, sesuai (Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor 2003: 1878). Secara etimologi, munāsabah berarti persesuaian, hubungan atau relevansi sedang secara terminologi, munāsabah adalah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian-bagian

al-Qur’an yang mulia (Abdul Djalal, 2000: 154). Jadi munāsabah

merupakan hubungan persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang sebelum dan sesudahnya.

(27)

12 G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi merupakan suatu cara menyusun dan mengolah hasil penelitian dari data serta bahan-bahan yang disusun menurut susunan tertentu, sehingga menghasilkan kerangka skripsi yang sistematis dan mudah dipahami. Adapun sistematika akan penulis jelaskan sebagai berikut:

Bab I pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II kompilasi ayat berisi tentang surat al-Baqarah ayat 183-187, dan pokok-pokok isi kandungannya.

Bab III asbābun nuzūl dan munāsabah berisi tentang sejarah turunnya surat al-Baqarah ayat 183-187 dan keterkaitan atau hubungan antara ayat-ayat dalam al-Qur’an dari surat al-Baqarah ayat 183-187.

Bab IV pembahasan berisi tentang pendapat para Mufasir, penjabaran nilai-nilai kependidikan yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 183-187 dan implementasi nilai-nilai kependidikan surat al-Baqarah ayat 183-187 dalam kehidupan sehari-hari.

(28)

13 BAB II

KOMPILASI AYAT TENTANG IBADAH PUASA RAMADAN

1. Surat al-Baqarah ayat 183

وُقَّ تَ ت ْمُكَّلَعَل ْمُكِلْبَ ق نِم َنيِذَّلا ىَلَع َبِتُك اَمَك ُماَيِّصلا ُمُكْيَلَع َبِتُك ْاوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي

َن

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. al-Baqarah, 2: 183)

ْاوُنَمآ

berasal dari akar kata

اًناَْيمِإ

ُنِمْؤُ ي

-

َنَمآ

(Ibnu Mandzur, jilid 13,

1992: 22) yang berarti mempercayai dari tsulatsi mujarrod

اًنْمَا

ُنِمْأَي

-

َنِمَا

yang berarti aman (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 44) dan

ُنُمْأَي

-

َنُمَا

ًةَنَامَا

(Ibnu Mandzur, jilid 13, 1992: 22) yang artinya penunjuk jalan. Pada

ayat ini, sebelum Allah mewajibkan puasa, Allah berkata kepada umat Nabi

Muhammad “wahai orang-orang yang beriman”. Panggilan tersebut

menunjukan bahwa ayat ini termasuk ayat madaniyah.

َنوُقَّ تَ ت

berasal dari akar kata

ًءاَقِّ تِا

ِىقَّتَ ي

-

ىَقَّ تِا

yang berarti menjadi

(29)

14

artinya menjaga (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 1684). Dalam penutup ayat ini, Allah memberitahukan kepada kita bahwa tujuan yang paling

esensi dari syari’at puasa adalah pembentukan pribadi yang bertakwa,

dengan cara menahan hawa nafsu dari keinginan-keinginan yang dapat membatalkan puasa (Kholiq Hasan, 2008: 252).

Ash-Shiyām dari segi bahasa berarti menahan diri dari melakukan sesuatu, baik perbuatan maupun perkataan. Dari segi terminologi berarti menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri, dan segala yang membatalkan lainnya mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari karena Allah SWT.

Para ulama banyak memberikan uraian tentang hikmah berpuasa, misalnya: untuk mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-orang lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan lain sebagainya.

(30)

15

sebagian penyakit, tetapi ada pula penyakit yang tidak membolehkan berpuasa. Kalau diperhatikan perintah berpuasa bulan Ramadan ini, maka pada permulaan ayat 183 secara langsung Allah menunjukkan perintah wajib itu kepada orang-orang yang beriman.

Orang yang beriman akan patuh melaksanakan perintah berpuasa dengan sepenuh hati, karena ia merasa kebutuhan jasmaniah dan rohaniah adalah dua unsur yang pokok bagi kehidupan manusia yang harus diperkembangkan dengan bermacam-macam latihan, agar dapat dimanfaatkan untuk ketenteraman hidup yang bahagia di dunia dan akhirat.

Pada ayat 183 ini Allah mewajibkan puasa kepada semua manusia yang beriman, sebagaimana diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka supaya mereka menjadi orang yang bertakwa. Jadi puasa ini sungguh penting bagi kehidupan orang-orang yang beriman. Kalau kita selidiki macam-macam agama dan kepercayaan pada masa kita sekarang ini, dapat dipastikan bahwa kita akan menjumpai bahwa puasa salah satu ajaran yang umum untuk menahan hawa nafsu dan lain sebagainya.

Perintah berpuasa diturunkan pada bulan Sya’ban tahun kedua

(31)

16 2. Surat al-Baqarah ayat 184

يِطُي َنيِذَّلا ىَلَعَو رَخُأ ماَّيَأ ْنِّم ٌةَّدِعَف رَفَس ىَلَع ْوَأ ًاضيِرَّم مُكنِم َناَك نَمَف تاَدوُدْعَّم ًاماَّيَأ

ُهَنوُق

ُمَلْعَ ت ْمُتنُك نِإ ْمُكَّل ٌرْ يَخ ْاوُموُصَت نَأَو ُهَّل ٌرْ يَخ َوُهَ ف ًاْيَخ َعَّوَطَت نَمَف ينِكْسِم ُماَعَط ٌةَيْدِف

َنو

Artinya:

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari hari yang lain. Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya wajib membayar

fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya. Dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS. al-Baqarah, 2: 184).

تاَدوُدْعَم

berasal berasal dari akar kata

اًّدَع

ُّدُعَ ي

-

َّدَع

(Ibnu Mandzur,

jilid3, 1992: 281) artinya berbilangan. Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa syariat puasa yang harus dijalankan oleh umat nabi muhammad tidak diwajibkan dalam satu tahun penuh, melainkan hanya pada bilangan hari-hari tertentu di bulan ramadan (Kholiq Hasan, 2008: 252).

اًضْيِرَم

berasal dari kata

اًنَضْرَم

ُضِمْرَ ي

-

َضِرَم

artinya jatuh sakit

(Ahmad Warson Munawwir, 1984: 1421). Sedangkan

رَفَس

berasal dari akar

kata

اًرْفَس

ُرِفْسَي

-

َرَف

َس

(Ibnu Mandzur, jilid 4, 1992: 367) artinya perjalanan

(Ahmad Warson Munawwir, 1984: 1684). al-Qur’an menetapkan rukhsah

(32)

17

mereka. Penyakit yang dapat mendatangkan rukhsah adalah penyakit yang menyebabkan orang berpuasa menjadi payah dan penyakitnya semakin parah, atau terlambat masa sembuhnya (Yusuf Qardhawi, 2006: 85).

Pada ayat 184 dan permulaan ayat 185, Allah menerangkan bahwa puasa yang diwajibkan itu ada beberapa hari yaitu pada bulan Ramadan menurut jumlah hari bulan Ramadan itu (29 atau 30 hari). Nabi Besar Muhammad SAW semenjak turunnya perintah puasa sampai wafatnya, beliau selalu berpuasa di bulan Ramadan selama 29 hari, kecuali satu kali saja bulan Ramadan genap 30 hari.

Sekalipun Allah swt. telah mewajibkan puasa pada bulan Ramadan kepada semua orang yang beriman, namun Allah Yang Maha Bijaksana memberikan keringanan kepada orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantinya pada hari-hari lain di luar bulan tersebut. Pada ayat tersebut tidak diperincikan jenis/sifat batasan dan kadar sakit dan musafir itu, sehingga para ulama memberikan hasil ijtihadnya masing-masing antara lain sebagai berikut:

1. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit dan musafir tanpa membedakan sakitnya itu berat atau ringan demikian pula perjalanannya, jauh atau dekat, sesuai dengan bunyi ayat ini. Pendapat ini dipelopori oleh Ibnu Sirin dan Daud Az-Zahiri.

(33)

18

3. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit dan musafir dengan ketentuan-ketentuan, apabila sakit itu berat dan akan mempengaruhi keselamatan jiwa atau keselamatan sebagian anggota tubuhnya atau menambah sakitnya bila ia berpuasa. Juga bagi orang-orang yang musafir, apabila perjalanannya itu dalam jarak jauh, yang ukurannya paling sedikit ialah 16 farsakh (kurang lebih 80 km).

4. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai perjalanan musafir, apakah dengan berjalan kaki, atau dengan apa saja, asalkan tidak untuk mengerjakan perbuatan maksiat. Sesudah itu Allah menerangkan lagi pada pertengahan ayat 184 yang terjemahannya, "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar

fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin."

Menurut bunyi ayat itu, siapa yang benar-benar merasa berat menjalankan puasa, maka ia boleh menggantinya dengan fidyah, walaupun ia tidak sakit dan tidak musafir.

Termasuk orang-orang yang berat mengerjakan puasa itu ialah:

1. Orang tua yang tidak mampu berpuasa, bila ia tidak berpuasa diganti dengan fidyah.

2. Wanita hamil dan yang sedang menyusui.

3. Orang-orang sakit yang tidak sanggup berpuasa dan penyakitnya tidak ada harapan akan sembuh, hanya diwajibkan membayar fidyah.

(34)

19

a. Imam Al-Azra`i telah memberi fatwa "sesungguhnya wajib bagi orang-orang pengetam padi dan sebagainya dan yang serupa dengan mereka, berniat puasa setiap malam Ramadan. Barang siapa (pada siang harinya) ternyata mengalami kesukaran atau penderitaan yang berat, maka ia boleh berbuka puasa. Dan kalau tidak demikian, ia tidak boleh berbuka.

b. Kalau seseorang yang pencariannya tergantung kepada suatu pekerjaan berat untuk menutupi kebutuhan hidupnya atau kebutuhan hidup orang-orang yang harus dibelanjainya di mana ia tidak tahan berpuasa maka ia boleh berbuka di waktu itu (dengan arti harus berpuasa sejak pagi).

Akhir ayat 184 ini menjelaskan orang yang dengan rela hati mengerjakan kebajikan dengan membayar fidyah lebih dari ukurannya atau memberi makan lebih dari seorang miskin, maka perbuatan itu baik baginya. Sesudah itu Allah menutup ayat ini dengan menekankan bahwa berpuasa itu lebih baik daripada tidak berpuasa (Departemen Agama RI, 2009: 272).

3. Surat al-Baqarah ayat 185

ِم َدِهَش نَمَف ِناَقْرُفْلاَو ىَدُْلْا َنِّم تاَنِّ يَ بَو ِساَّنلِّل ىًدُه ُنآْرُقْلا ِهيِف َلِزنُأ َيِذَّلا َناَضَمَر ُرْهَش

ُمُكن

َرْسُيْلا ُمُكِب ُه للا ُديِرُي َرَخُأ ماَّيَأ ْنِّم ٌةَّدِعَف رَفَس ىَلَع ْوَأ ًاضيِرَم َناَك نَمَو ُهْمُصَيْلَ ف َرْهَّشلا

َلاَو

(35)

20 Artinya:

Bulan Ramadan adalah, bulan yang di dalamnya diturunkan Al qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggatinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.(QS. al-Baqarah, 2: 185)

َدِهَش

berasal dari akar kata

ًةَداَهَش

ُدَهْشَي

-

َدِهَش

artinya

menyaksikan (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 799). Kata hadir dalam bulan Ramadan artinya tidak sedang bepergian. Maka siapa saja yang hadir pada bulan Ramadan tersebut, ia wajib berpuasa. Karena ayat ini masih bersifat umum, maka Allah memberikan pengkhususan bagi orang-orang yang sakit atau sedang bepergian.

ْاوُلِمْكُت

berasal dari akar kata

لااَمْكِا

ُلِمْكُي

-

َلَمْكَأ

artinya

menyempurnakan (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 1320) dan berasal dari

tsulatsi mujarrod

ًلاْوُمُك

ُلُمْكَي

-

َلُمَك

(Ibnu Mandzur, jilid 11, 1992: 598)

yang berarti sempurna. Dalam ayat tersebut menjelaskan “hendaklah kamu

mencukupkan bilangan” bukan “menyempurnakan bulan” sehingga dapat

dipahami bahwa seorang mukmin harus menyempurnakan bilangan puasa Ramadan, termasuk hari-hari yang ditinggalkan oleh orang-orang yang

udzur (Kholiq Hasan, 2008: 255).

(36)

21

yang diwajibkan ialah pada bulan Ramadan. Untuk mengetahui awal dan akhir bulan Ramadan Rasulullah SAW telah bersabda:

،ىرابخ( َينِث َلََث َناَبْعَش َةَّدِع اوُلِمْكَأَف ْمُكْيَلَع َِّبُِّغ ْنِإَف ِهِتَيْؤُرِل اوُرِطْفَأَو ِهِتَيْؤُرِل اوُموُص

٧٩٩١

،

:ةرنم

٧١٧٦

)

Artinya:

Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya'ban menjadi tiga puluh.

Mengenai situasi bulan yang tertutup baik karena keadaan cuaca, atau memang karena menurut hitungan falakiyah belum bisa dilihat pada tanggal 29 malam 30 Sya’ban, atau pada tanggal 29 malam 30 Ramadan, berlaku ketentuan sebagai berikut: siapa yang melihat bulan Ramadan pada tanggal 29 masuk malam 30 bulan Sya’ban, atau ada orang yang melihat bulan, yang dapat dipercayai, maka ia wajib berpuasa keesokan harinya. Kalau tidak ada terlihat bulan, maka ia harus menyempurnakan bulan Syakban 30 hari. Begitu juga barang siapa yang melihat bulan Syawal pada tanggal 29 malam 30 Ramadan, atau ada yang melihat yang dapat dipercayai, maka ia wajib berbuka besok harinya. Apabila ia tidak melihat bulan pada malam itu, maka ia harus menyempurnakan puasa 30 hari.

(37)

22

Orang yang tidak dapat melihat bulan Ramadan seperti penduduk yang berada di daerah kutub utara atau selatan di mana terdapat enam bulan malam di kutub utara dan enam bulan siang di kutub selatan, maka hukumnya disesuaikan dengan daerah tempat turunnya wahyu yaitu Madinah di mana daerah tersebut dianggap daerah mu'tadilah (daerah sedang atau pertengahan) atau diperhitungkan kepada tempat yang terdekat dengan daerah kutub utara dan kutub selatan.

Pada ayat 185 ini, Allah memperkuat ayat 184, bahwa walaupun berpuasa diwajibkan, tetapi diberi kelonggaran bagi orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantikan pada hari-hari yang lain. Kemudian pada penutup ayat ini Allah menekankan supaya disempurnakan bilangan puasa dan menyuruh bertakbir serta bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk yang diberikan (Departemen Agama RI, 2009: 274).

4. Surat al-Baqarah ayat 186

ُنِمْؤُ يْلَو ِلِ ْاوُبيِجَتْسَيْلَ ف ِناَعَد اَذِإ ِعاَّدلا َةَوْعَد ُبيِجُأ ٌبيِرَق ِّنِِّإَف ِّنَِّع يِداَبِع َكَلَأَس اَذِإَو

ِبِ ْاو

َنوُدُشْرَ ي ْمُهَّلَعَل

Artinya:

(38)

23

perintah-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka memperoleh kebenaran (QS. al-Baqarah, 2: 186).

َلَأَس

berasal dari akar kata

ًلاا

َؤُس

ُلَأْسَي

-

َلَأَس

yang artinya meminta

(Ahmad Warson Munawwir, 1984: 639). Allah memberi perintah kepada Nabi Muhammad agar ia menginformasikan kepada umatnya bahwa Allah senantiasa dekat dengan hamba-Nya. Artinya, Allah mengetahui segala perbuatan hamba-Nya, mendengar setiap perkataan mereka, dan mengabulkan permohonan setiap orang yang berdoa. Oleh karena itu, hendaklah manusia menghadapkan wajahnya hanya kepada Allah dalam berdoa (Kholiq Hasan, 2008: 255).

َنوُدُشْرَ ي

berasal dari akar kata

ا

ًدْشُر

-

ُدُشْرَ ي

-

َدَشَر

yang artinya

memimpin, membimbing (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 535). Setelah Allah memberikan jaminan untuk mengabulkan seluruh permintaan mereka, disini Allah memberikan pengarahan agar hamba-Nya senantiasa berada dalam kebenaran dengan memenuhi seluruh perintah-Nya dan selalu berada dalam keimanan (Kholiq Hasan, 2008: 257).

Di dalam ayatini, Allah menyuruh hamba-Nya supaya berdoa kepada-Nya, serta berjanji akan memperkenankannya, tetapi di akhir ayat ini Allah menekankan agar hamba-Nya memenuhi perintah-Nya dan beriman kepada-Nya supaya mereka selalu mendapat petunjuk.

(39)

24 yang berpuasa hingga berbuka dan do'a orang yang teraniaya. Allah akan mengangkatnya di bawah naungan awan pada hari kiamat, pintu-pintu langit akan dibukakan untuknya seraya berfirman: "Demi keagungan-Ku, sungguh Aku akan menolongmu meski setelah beberapa saat".

2. Sabda Rasulullah SAW:

Doa seseorang senantiasa akan dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk perbuatan dosa ataupun untuk memutuskan tali silaturahim dan tidak tergesa-gesa." Seorang sahabat bertanya: 'Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Yang dimaksud dengan tergesa-gesa adalah apabila orang yang berdoa itu mengatakan: 'Aku telah berdoa dan terus berdoa tetapi belum juga dikabulkan'. Setelah itu, ia merasa putus asa dan tidak pernah berdoa lagi.

(40)

25

berdoa, tetapi pendapat itu bertentangan dengan ayat ini dan hadis-hadis Nabi Muhammad.

Apabila di antara doa yang dipanjatkan kepada Tuhan ada yang belum dikabulkan, maka itu disebabkan karena doa itu:

a. Tidak memenuhi syarat-syarat yang semestinya.

(41)

26

Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa (QS. al-Baqarah, 2: 187).

َنوُناتَْتَ

berasal dari akar kata

اًناَيِتْخِا

-

ُناَتَْيَ

-

َناَتْخِا

artinya

mengkhianati dan berasal dari tsulatsi mujarrod

ًانْوَخ

ُنْوَُيَ

-

َناَخ

artinya

(42)

27

yang menceritakan tentang sebab turunnya ayat ini, antara lain: pada awal diwajibkan puasa, para sahabat Nabi dibolehkan makan, minum dan bersetubuh sampai mereka salat isyak atau tidur.

(43)

larangan-28

(44)

29 BAB III

ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH

A. Asbabun Nuzul

Secara bahasa asbābun nuzūl terdiri dari kata asbāb dan nuzūl, asbāb

merupakan jama’ dari kata

ٌبَبَس

yang mempunyai arti latar belakang, alasan

atau sebab (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 602) sedang kata nuzūl berasal

dari akar kata

لاْوُزُ ن

ُل

ِزْنَ ي

-

َلَزَ ن

yang berarti turun (Ahmad Warson Munawwir,

1984: 1409). Secara istilah pengertian asbābun nuzūl adalah suatu kejadian yang terjadi di zaman Nabi SAW atau suatu pertannyaan yang di hadapkan kepada Nabi sehingga turunlah ayat dari Allah SWT yang berhubungan dengan kejadian itu atau sebagai jawaban atas pertanyaan itu (Hasby ash-Shiddieqy, 2014: 18).

Allah telah memberikan petunjuk kepada manusia dengan wahyu yang diturunkan-Nya melalui utusan-Nya. Petunjuk Allah yang berlaku untuk semua manusia di semua tempat dan zaman itu termaktub dalam kitab suci al-Qur’an. al-Qur’an diturunkan Allah untuk menjadi petunjuk bagi manusia dalam upaya mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat nanti. Oleh karena itu, al-Qur’an diturunkan sesuai dengan kebutuhan orang dan masyarakat.

(45)

30

Peristiwa atau persoalan yang melatar belakangi turun ayat itu disebut asbābun

nuzūl. Pengetahuan tentang asbābun nuzūl atau sejarah turunnya ayat-ayat suci

al-Qur’an amatlah diperlukan bagi seseorang yang hendak memperdalam pengertian tentang ayat-ayat suci al-Qur’an. Dengan mengetahui latar belakang turunnya ayat, orang dapat mengenal dan menggambarkan situasi dan keadaan yang terjadi ketika ayat itu diturunkan (Nashruddin Baidan, 2005: 131).

Ada beberapa hal yang mendorong manusia untuk mengetahui asbābun

nuzūl. Pertama, mengetahui hikmah yang terkandung di balik ayat-ayat yang

mempersoalkan syari’at (hukum). Misalnya, kita dapat memahami lewat

pengetahuan asbābun nuzūl kenapa judi, riba, memakan harta anak yatim itu diharamkan. Sebaliknya, bagaimana mula-mula Allah mensyari’atkan shalat

khauf (shalat yang dilakukan waktu situasi gawat atau perang), mengapa tidak boleh melakukan shalat jenazah atas orang musyrik, bagaimana pembagian harta rampasan perang, dan seterusnya. Hampir semua ayat hukum itu mengandung aspek filosofis yang sebagian di antaranya dapat diketahui lewat pengertian tentang asbābun nuzūl. Kedua, mengetahui pengecualian hukum

(takhsis) terhadap orang yang berpendirian bahwa hukum itu harus dilihat terlebih dahulu dari sebab-sebab yang khusus. Ketiga, mengetahui asbābun

nuzūl adalah cara yang paling kuat dan paling baik dalam memahami

(46)

31

Tidak sedikit ayat al-Qur’an yang diturunkan karena sebab atau peristiwa tertentu. Dalam pembahasan ini, penulis hanya akan menjelaskan

asbābun nuzūl dari ayat-ayat al-Qur’an yang dikaji oleh penulis yaitu surat al

-Baqarah ayat 183-187. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa al-Qur’an diturunkan sesuai dengan kebutuhan orang dan masyarakat. Untuk itu,

al-Qur’an ada pula yang turun tanpa sebab dan ada pula ayat-ayat yang

diturunkan setelah terjadinya suatu peristiwa yang perlu di respon atau dijawab. Dalam kajian ini penulis tidak menemukan informasi mengenai

asbābun nuzūl ayat-ayat tersebut seluruhnya baik dari sumber buku, internet,

maupun sumber informasi lainnya karena pada kenyataannya tidak ada penjelasan mengenai sejarah atau sebab turunnya ayat tersebut yaitu asbābun

nuzūl dari surat al-Baqarah ayat 183 dan 185. Adapun asbābun nuzūl surat

al-Baqarah ayat 184, 186, dan 187 adalah sebagai berikut: 1. Surat al-Baqarah ayat 184 mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari hari yang lain. Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya wajib membayar

(47)

32

َع ِهِتاَقَ بَط ِْفِ ْدِعَس ِنْبا َجَرْخَأ

لاْوَم ِْفِ ْتَلَزَ ن ُةَيَلاا ِهِذَه : َلاَق ِدِهاَُمج ْن

،بِئاَّسلا ِنْب ِسْيَ ق ي

اًنْ يِكْسِم مْوَ ي ِّلُكِل ُمِعْطَأَو ُرِطْفَأَف

Ibnu sa’ad dalam kitab ath-thabaqaat meriwayatkan dari mujahid,

dia berkata,” Ayat ini turun pada tuan saya, Qais ibnus-Saa’ib lalu dia pun

tidak berpuasa dan memberi makan kepada orang miskin untuk setiap harinnya (Jalaluddin as-Suyuthi, 2008: 67). Ayat tersebut turun berkenaan dengan Qais bin as-Saib yang memaksakan diri berpuasa, padahal dia sudah tua sekali (Jalaluddin as-Suyuthi, 2000: 50)

2. Surat al-Baqarah ayat 186

ُنِمْؤُ يْلَو ِلِ ْاوُبيِجَتْسَيْلَ ف ِناَعَد اَذِإ ِعاَّدلا َةَوْعَد ُبيِجُأ ٌبيِرَق ِّنِِّإَف ِّنَِّع يِداَبِع َكَلَأَس اَذِإَو

ِبِ ْاو

َنوُدُشْرَ ي ْمُهَّلَعَل

Artinya:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran (QS. al-Baqarah, 2: 186).

اَو ِِتِاَح ِْبَِأ ِنْباَو ُرْ يِرَج ِنْبا َجَرْخَأ

ِدْبَع ِنْب ِرْيِرَج ْنَع ِقِرَط ْنِم ْمِهِْيَغَو ِخْيَّشلا وُبَأَو ِهْيَوُدْرَم ِنْب

(48)

33

perlu berteriak memanggilnya?” Mendengar pertanyaan itu Rasulullah

terdiam, kemudian turunlah ayat ini sebagai jawaban atas pertanyaan orang Arab Badui tersebut dan juga untuk memberi penjelasan kepada setiap orang muslim yang ingin berdoa kepada Allah SWT (Jalaluddin as-Suyuthi, 2000: 51).

(49)

34

minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa (QS. al-Baqarah, 2: 187). telah mengabarkan kepada kami Abu Ahmad, telah mengabarkan kepada kami Israil dari Abu Ishaq, dari Al Bara`, ia berkata; dahulu seseorang apabila telah berpuasa ia tidur dan tidak makan hingga keesokan hari. Sesungguhnya Shirmah bin Qais Al Anshari datang kepada isterinya dan ia dalam keadaan berpuasa, ia berkata; apakah engkau memiliki sesuatu? Isterinya berkata; tidak, mungkin aku bisa pergi dan mencari sesuatu untukmu. Kemudian ia pergi dan Shirmah telah tertidur, lalu isterinya datang dan berkata; merugi engkau. Kemudian sebelum tengah hari ia pingsan, dan ia pada hari itu sedang bekerja di lahan tanahnya. Kemudian ia menyebutkan hal tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Kemudian turunlah ayat: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu". Beliau membacanya hingga firmannya: "yaitu fajar".

(50)

35 B. Munasabah

Kata munāsabah yang berakar kata dari

ًةَبَسَاَنُم

-

َبِساَنُ ي

-

َبَساَن

artinya

patut, sesuai (Atabiak Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, 2003: 1878). Secara etimologi, munāsabah berarti persesuaian, hubungan atau relevansi sedang secara terminologi, munāsabah adalah ilmu untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian-bagian al-Qur’an yang mulia (Abdul Djalal, 2000: 154). Jadi munāsabah merupakan hubungan persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang sebelum dan sesudahnya.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, mengenai munāsabah, para

mufasir mengingatkan agar dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat

al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan penafsiran ilmiah, seseorang

dituntut untuk memperhatikan segi-segi bahasa al-Qur’an serta korelasi antar ayat (M. Quraish Shihab, 1998: 135).

(51)

36

Dalam pembahasan ini penulis menjabarkan munāsabah ayat dengan ayat yang lain dalam satu surat sesuai dengan yang penulis kaji. Munāsabah ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Munasabah Surat al-Baqarah ayat 183-187 dengan Ayat Sebelumnya a. Surat al-Baqarah ayat 178-182

(52)

37 3) al-Baqarah ayat 180

َينِبَرْ قلاَو ِنْيَدِلاَوْلِل ُةَّيِصَوْلا ًاْيَخ َكَرَ ت نِإ ُتْوَمْلا ُمُكَدَحَأ َرَضَح اَذِإ ْمُكْيَلَع َبِتُك

َينِقَّتُمْلا ىَلَع ًا قَح ِفوُرْعَمْلاِب

Artinya:

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf , (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah, 2: 180).

4) al-Baqarah ayat 181

اََّنمِإَف ُهَعَِسَ اَم َدْعَ ب ُهَلَّدَب نَمَف

ٌميِلَع ٌعيَِسَ َه للا َّنِإ ُهَنوُلِّدَبُ ي َنيِذَّلا ىَلَع ُهُْثِْإ

Artinya:

Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. al-Baqarah, 2: 181).

5) al-Baqarah ayat 182

ٌميِحَّر ٌروُفَغ َه للا َّنِإ ِهْيَلَع َِْْإ َلََف ْمُهَ نْ يَ ب َحَلْصَأَف ًاْثِْإ ْوَأ ًافَنَج صوُّم نِم َفاَخ ْنَمَف

Artinya:

(Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. al-Baqarah, 2: 182).

b. Munasabah Surat al-Baqarah ayat 183-187 dengan 178-182

(53)

38

182, Allah menyambung lagi dengan mewajibkan orang-orang mukmin agar berwasiat sebelum mati untuk menghindari kekacauan dalam hak waris.

Kemudian di dalam ayat 183 sampai 187, Allah menyatakan lagi kewajiban yang perlu di kerjakan oleh setiap orang mukmin yaitu ibadah puasa beserta hukum-hukum yang bersangkutan dengannya. Ringkasnya, ketiga kelompok ayat ini adalah syariat Allah yang diwajibkan kepada hamba-Nya. Syariat tersebut adalah hukum qisas, kewajiban berwasiat, dan ibadah puasa (Zulkifli Mohd Yussof, 2011: 31).

Dengan menyebutkan uraian-uraian tersebut, sesungguhnya Allah bermaksud untuk mengingatkan kaum muslimin bahwa ajaran Islam walaupun berbeda-beda dia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jangan ada yang menganggap kewajiban berpuasa itu lebih penting daripada berwasiat, larangan memakan babi lebih penting dari larangan membuka aurat, begitu juga tuntutan untuk menegakkan keadilan itu lebih utama daripada tuntutan untuk menegakkan kejujuran.

(54)

39

balasan bagi orang semacam ini adalah nista dan kehinaan dalam kehidupan ini, kemudian nanti di akhirat disiksa lebih berat lagi. Boleh jadi apa yang kita alami oleh bangsa kita dan citra buruk tentang Islam di mata dunia sekarang ini, adalah disebabkan karena kita memilah-milah ajaran-ajaran Allah. Orang-orang Bani Israil (Yahudi) dikecam oleh al-Quran karena mereka memilah-milah ajaran-Nya. Seperti dalam firman Allah SWT:

ِِْْلاِب مِهْيَلَع َنوُرَهاَلَت ْمِهِراَيِد نِّم مُكنِّم ًاقيِرَف َنوُجِرُْتََو ْمُكَسُفنَأ َنوُلُ تْقَ ت ءلاُؤ َه ْمُتنَأ َُّْ

ِضْعَ بِب َنوُنِمْؤُ تَ فَأ ْمُهُجاَرْخِإ ْمُكْيَلَع ٌمَّرَُمُ َوُهَو ْمُهوُداَفُ ت ىَراَسُأ ْمُكوُتأَي نِإَو ِناَوْدُعْلاَو

َتِكْلا

َمْوَ يَو اَيْ نُّدلا ِةاَيَْلْا ِفِ ٌيْزِخ َّلاِإ ْمُكنِم َكِلَذ ُلَعْفَ ي نَم ءاَزَج اَمَف ضْعَ بِب َنوُرُفْكَتَو ِبا

َنوُلَمْعَ ت اَّمَع لِفاَغِب ُه للا اَمَو ِباَذَعْلا ِّدَشَأ َلَِإ َنوُّدَرُ ي ِةَماَيِقْلا

Artinya:

(55)

40

2. Munasabah Surat al-Baqarah ayat 183-187 dengan ayat sesudahnya a. Surat al-Baqarah ayat 188

َلَِإ اَِبِ ْاوُلْدُتَو ِلِطاَبْلاِب مُكَنْ يَ ب مُكَلاَوْمَأ ْاوُلُكْأَت َلاَو

ِساَّنلا ِلاَوْمَأ ْنِّم ًاقيِرَف ْاوُلُكْأَتِل ِماَّكُْلْا

َنوُمَلْعَ ت ْمُتنَأَو ِِْْلاِب

Artinya:

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui (QS. al-Baqarah, 2: 188).

b. Munasabah Surat al-Baqarah ayat 183-187 dengan ayat 188

(56)

41 BAB IV PEMBAHASAN

A.Pandangan Beberapa Ahli Tafsir Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 183-187

1. Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 183

ِتُك ْاوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ اَي

َنوُقَّ تَ ت ْمُكَّلَعَل ْمُكِلْبَ ق نِم َنيِذَّلا ىَلَع َبِتُك اَمَك ُماَيِّصلا ُمُكْيَلَع َب

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. al-Baqarah, 2: 183)

a. Dalam Tafsir Ibnu Katsir

Puasa artinya menahan diri dari makan, minurn, dan berjima disertai niat yang ikhlas karena Allah Yang Maha mulia dan Agung, karena puasa mengandung manfaat bagi kesucian, kebersihan, dan kecemerlangan diri dan percampuran dengan keburukan dan akhlak yang rendah. Allah menuturkan bahwa sebagairnana Dia mewajibkan puasa kepada umat Islam, Dia pun telah mewajibkan kepada orang-orang sebelumnya yang dapat dijadikan teladan. Maka hendaklah puasa itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan lebih sempurna daripada yang dilakukan oleh orang terdahulu.

Pada permulaan Islam, puasa dilakukan tiga hari pada setiap bulan. Kemudian pelaksanaan itu dinasakh oleh puasa pada bulan Ramadan.

(57)

42

senantiasa disyariatkan sejak zaman Nuh hingga Allah menasakh ketentuan itu dengan puasa Ramadan (Muhammad Nasib ar-Rifa’i, 1999: 287).

b. Tafsir al-Mishbah

Ayat puasa dimulai dengan ajakan kepada setiap orang yang memiliki iman walau seberat apapun. Ia dimulai dengan satu pengantar yang mengundang setiap mukmin untuk sadar akan perlunya

melaksanakan ajakan itu. Ia dimulai dengan panggilan mesra, “wahai

orang-orang yang beriman”.

Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan kewajiban puasa tanpa menunjuk siapa yang mewajibkannya, “Diwajibkan atas kamu”. Redaksi ini tidak menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan. Yang diwajibkan adalah ash-shiyam, yakni menahan diri.

Menahan diri dibutuhkan oleh setiap orang, kaya atau miskin, muda atau tua, lelaki atau perempuan, sehat atau sakit. Selanjutnya, ayat ini menjelaskan bahwa kewajiban yang dibebankan itu adalah,

“sebagaimana telah diwajibkan pula atas umat umat terdahulu sebelum

kamu”.

(58)

43 c. Tafsir Muyassar

Wahai orang-orang yang beriman, Allah mewajibkan puasa bulan Ramadan kepada kalian sebagairnana Dia telah mewajibkan puasa seperti itu kepada umat-umat sebelum kalian. Maka, laksanakanlah perintah ini bagaimana mereka melaksanakannya. Karena, sesungguhnya di dalam puasa itu terdapat hal-hal yang akan mengantarkan kalian kepada ketakwaan. Hal-hal tersebut di antaranya adalah; ketaatan dalam melaksanakan perintah mematahkan nafsu amarah, belajar bersabar; menjauhi larangan, melawan hawa nafsu, memerangi setan, dan kesungguhan dalam beribadah (‘Aidh al-Qarni, 2007: 140).

2. Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 184 mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari hari yang lain. Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya wajib membayar

fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya. Dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS. al-Baqarah, 2: 184).

a. Tafsir Ibnu Katsir

Allah berfirman, “Barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam

(59)

44

berbuka dan mengqadha dengan cara mengulanginya pada hari-hari lain. Adapun orang yang sehat dan berada di tempat bila dia mau maka berpuasalah dan bila tidak mau maka berbukalah, namun dia harus memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari ia berbuka. Berpuasa lebih baik daripada memberi makan. Demikianlah menurut

pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan ulama salaf lainnya. Pendapat

mereka didasarkan atas firman Allah, “Dan orang-orang yang merasa

berat untuk melaksanakannya, wajib baginya membayar fidyah dengan memberi makan kepada orang-orang miskin. Barang siapa yang rnengerjakan kebajikan dengan kerelaan hati, maka hal itu lebih baik

baginya. Dan berpuasa adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”

Kemudian Allah menurunkan ayat lain, “Bulan Ramadan yang

padanya al-Qur’an diturunkan, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan

itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu.” Oleh karena itu, Allah

rnenetapkan kewajiban berpuasa Ramadan kepada orang yang berada di tempat dan sehat. Dia memberi kemurahan untuk berbuka kepada orang sakit dan yang bepergian. Dan, Allah menetapkan bagi orang tua yang tidak sanggup berpuasa untuk memberi makan. Al-Bukhari meriwayatkan dari Salamah bin Akwa’ bahwasanya dia berkata, Ketika ayat “dan orang-orang yang merasa berat untuk melakukannya, maka wajib baginya membayar fidyah berupa makanan kepada orang-orang miskin” ini diturunkan, maka siapa saja yang mau berbuka boleh saja asal membayar fidyah. Kemudian diturunkanlah ayat sesudahnya yang

(60)

45

itu di nasakh. al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat itu tidaklah dinasakh, sebab yang dimaksud oleh ayat itu ialah orang tua, baik laki-laki maupun perempuan, yang sudah lanjut usia dan tidak kuat berpuasa. Maka keduanya harus memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari berbuka.

Kesimpulannya, nasakh ini berlaku bagi orang yang berada di tempat dan kuat dengan kewajiban berpuasa atasnya melalui ayat,

“Barangsiapa di antara kamu hadir pada bulan itu, maka hendaklah dia

berpuasa pada bulan itu.” Mengenai orang tua yang sudah renta lagi

pikun, maka terdapat dua pandangan. Pandangan yang sahih mengatakan bahwa dia boleh berbuka dan wajib membayar fidyah untuk setiap hari berbuka. Dalam Shahih al-Bukhari dikatakan, ‘Setelah Anas tua, dia memberi makan kepada orang miskin berupa roti dan daging selama dua

tahun untuk setiap hari berbuka, dan Anas sendiri berbuka.” al-Hafizh

Abu Ya’la al-Mushili menyandarkan keterangannya kepada hadits ini

dalam musnadnya. Tercakup ke dalam pengertian ini adalah orang yang hamil dan menyusui jika keduanya mengkhawatirkan keselamatan dirinya atau anaknya (Muhammad Nasib ar-Rifa’i, 1999: 288).

b. Tafsir al-Mishbah

“Barang siapa di antara kamu sakit” yang memberatkan baginya

puasa, atau menduga kesehatannya akan terlambat pulih bila berpuasa,

“atau ia benar-benar dalam perjalanan” kata benar-benar dipahami dari

kata

ىٰلَع

dalam redaksi

رَفَس ىٰلَع

, jadi bukan perjalanan biasa yang

(61)

46

kilometer, jika yang sakit dan yang dalam perjalanan itu berbuka, maka

wajiblah baginya berpuasa “pada hari-hari lain”, baik berturut-turut

maupun tidak, maka wajiblah baginya berpuasa “pada hari-hari lain”,

baik berturut-turut maupun tidak, “sebanyak hari yang ditinggalkan itu” (M. Quraish Shihab, 2012: 486).

c. Tafsir Muyassar

Puasa yang diwajibkan itu hanya beberapa hari saja dan hanya sebagian kecil dan waktu yang demikian panjangnya selama setahun. Masa berbuka kalian pun lebih lama dari waktu puasa kalian; waktu makan kalian lebih banyak dari masa menahan diri kalian. Semua ini merupakan rahrnat Allah untuk kalian dan welas asih-Nya bagi orang yang lemah di antara kalian.

Adapun orang sakit yang berat baginya untuk mengerjakan puasa dan musafir yang pergi meninggalkan tempat tinggalnya maka keduanya diperbolehkan untuk berbuka di siang hari bulan Ramadan dan menqadha’ puasa yang ditinggalkannya itu sesudah bulan Ramadan selesai.

(62)

47

Ketahuilah, puasa kalian itu lebih utama dari keadaan tidak puasa kalian; puasa itu baik bagi kalian dalam hal piala, mendidik jiwa kalian untuk lalu berada dalam ketaatan dan mematuhi perintah Allah, dan melatih kesabaran diri kalian. Sungguh, jika kalian mengetahui semua manfaat puasa dan faidah-faidahnya yang sangat luar biasa, niscaya kalian pasti akan berpuasa (‘Aidh al-Qarni, 2007: 141).

3. Tafsir surat al-Baqarah ayat 185 sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggatinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.(QS. al-Baqarah, 2: 185)

a. Tafsir Ibnu Katsir

Allah Ta’ala memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya

(63)

48

Firman Allah “Dan penjelasan-penjelasan”, yakni dalil-dalil yang

menunjukkan kesahihan petunjuk dan bimbingan yang dibawa oleh Muhammad serta yang membedakan antara hak dan batil, halal dan

haram. Firman Allah, “Barangsiapa di antara kamu hadir pada bulan itu,

hendaklah dia berpuasa pada bulan itu.” Ini merupakan kewajiban yang

pasti bagi orang yang melihat datangnya hilal bulan Ramadan. Maksudnya, jika ia berada di daerahnya ketika masuk bulan Ramadan dan dalam keadaan sehat, maka ia harus berpuasa. Kebolehan berbuka puasa bagi orang yang sehat dan berada di tempat serta menggantikannya dengan fidyah berupa pemberian makanan kepada orang miskin untuk setiap hari dia berbuka seperti telah dijelaskan dalam ayat sebelumnyang telah dinasakh oleh ayat ini.

Setelah Allah menjelaskan tentang puasa, Dia lalu mengulang mengenai rukhsah berbuka bagi orang yang sakit dan bepergian dengan syarat dia harus mengqadhanya. Maka Allah berfirman, “Dan barangsiapa dalam perjalanan, maka harus mengulanginya sebanyak hari

yang ditinggalkannya.” Yakni, barangsiapa yang sakit sehingga berat

baginya untuk berpuasa atau jika dipaksakan malah akan memperparah sakitnya, atau dia sedang di perjalanan, maka dia boleh berbuka dan wajib mengulangi sebanyak hari berbuka. Oleh karena itu Allah

berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak

menghendaki kesukaran bagimu.” Artinya, sesungguhnya Allah memberi

(64)

49

puasa wajib dilakukan oleh orang yang sehat dan berada di tempat, maka hal itu tiada lain merupakan kemudahan dan rahmat bagimu.

Menqadha puasa tidak wajib dilakukan secara terus-menerus. Jika dia mau, maka dapat diselang-seling, dan jika mau dapat dilakukan secara terus-menerus. Ini pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf yang dikuatkan oleh beberapa dalil. Karena kesinambungan hanya diwajibkan dalam berpuasa pada bulan Ramadan sebab keharusan pelaksanaannya pada waktu itu. Apabila Rarnadhan telah berakhir, maka yang dimaksud menggantinya ialah berpuasa sebanyak hari dia berbuka. Oleh karena itu,

Allah Ta’ala berfinman, “Maka harus mengulangi sebanyak hari yang

ditinggalkannya.”

Firman Allah, “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya’’ sesungguhnya Allah memberi rukhsah untuk berbuka bagi orang yang sakit dan sedang dalam perjalanan, dan mendapat halangan semacamnya dalah dimaksudkan untuk rnemberi kemudahan. Dan, sesungguhnya Dia menyuruhmu supaya kamu menggenapkan bilangan puasamu menjadi

sebulan. Firmal Allah, “Supaya kamu bersyukur,” maksudnya, jika kamu

(65)

50 b. Tafsir al-Misbah

Beberapa hari yang ditentukan, yakni dua puluh sembilan atau tiga puluh hari saja selama bulan Ramadan. Bulan tersebut dipilih karena ia adalah bulan yang mulia. Bulan yang didalamnya diturunkan permulaan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda yang jelas antara yang haq dan yang batil.

al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia menyangkut tuntunan yang berkaitan dengan akidah, dan penjelasan-penjelasan mengani petunjuk itu dalam hal perincian hukum-hukum syariat. Demikian satu pendapat. Bisa juga dikatakan, al-Qur’an petunjuk bagi manusia dalam arti bahwa al-Qur’an adalah kitab yang maha agung sehingga, secara berdiri sendiri, ia merupakan petunjuk. Banyak nilai universal dan pokok yang dikandungnya, tetapi nilai-nilai itu dilengkapi lagi dengan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, yakni keterangan dan perinciannya. Wujud Tuhan dan keesaan Nya dijelaskan sebagai nilai utama dan pertama. Ini dijelaskan perinciannya, bukan saja menyangkut dalil-dalil pembuktiannya, tetapi sifat sfat dan nama-nama yang wajar disandang-Nya. Keadilan adalah prinsip utama dalam berinteraksi

al-Qur’an tidak berhenti dalam memerintahkan atau mewajibkannya. Dalam

(66)

51

Penegasan bahwa al-Qur’an yang demikian itu sifatnya diturunkan pada bulan Ramadan mengisyaratkan bahwa sangat dianjurkan untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an selama bulan Ramadan, dan yang mempelajarinya diharapkan dapat memeroleh petunjuk serta memahami dan menerapkan penjelasan-penjelasannya. Karena, dengan membaca

al-Qur’an, ketika itu yang bersangkutan menyiapkan wadah hatinya untuk

menerima petunjuk Ilahi berkat makanan ruhani bukan jasmani yang memenuhi kalbunya. Bahkan, jiwanya akan sedemikian cerah, pikirannya begitu jernih, sehingga ia akan memperoleh kemampuan untuk membedakan antara yang haq dan yang batil.

Setelah jelas hari-hari tertentu yang harus diisi dengan puasa, lanjutan ayat ini menetapkan siapa yang wajib berpuasa, yakni, karena puasa diwajibkan pada bulan Ramadan, maka barangsiapa di antara kamu hadir pada bulan itu, yakni berada di negeri tempat tinggalnya atau mengetahui munculnya awal bulan Ramadan sedang dia tidak berhalangan dengan halangan yang dibenarkan agama, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Penggalan ayat ini dapat juga berarti, maka barang siapa di antara kamu mengetahui kehadiran bulan itu, dengan melihatnya sendiri atau melalui informasi yang dapat dipercaya, maka hendaklah ia berpuasa.

Referensi

Dokumen terkait