• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB-3 TATA CARA PELAKSANAAN JANAIZ. (Bahasan Rinci Dilengkapi Dengan Penjelasan Dari Al-Qur an & Hadits)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB-3 TATA CARA PELAKSANAAN JANAIZ. (Bahasan Rinci Dilengkapi Dengan Penjelasan Dari Al-Qur an & Hadits)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB-3

TATA CARA PELAKSANAAN JANAIZ

(Bahasan Rinci Dilengkapi Dengan Penjelasan Dari Al-Qur’an & Hadits)

1. MENJELANG AJAL

Hendaklah memperbanyak mengingat mati dan bertobat dari segala dosa, terlebih lagi bagi orang sakit, agar lebih giat beramal kebaikan dan menjauhi larangan Allah SWT. Seperti firman Allah :

‘≅ä.

<

§

ø

t

Ρ

èπ

s

)Í←

!

#

s

Œ

Ï

N

öθ

p

R

ù

Q

$

#

3

$

y

ϑ¯ΡÎ

)

u

ρ

š

χöθ©

ù

u

θè

?

öΝà2

u

θã

_

é

&

t

Πöθ

t

ƒ

Ïπ

y

ϑ≈

u

ŠÉ)ø9

$

#

(

y

ϑ

s

ù

y

y

Ì

ô

m

ã

Ç

t

ã

Í

‘$

¨Ψ9

$

#

Ÿ

≅Å

z

÷

Š

é

&

u

ρ

s

π¨Ψ

y

f

ø9

$

#

ô

s

)

s

ù

y

—$

s

ù

3

$

t

Β

u

ρ

äο

4

θ

u

Š

y

⇔ø9

$

#

!

$

u

‹÷Ρ‘

$!

$

#

ωÎ

)

ß

ì

t

F

t

Β

Í

ρã

ä

ó

ø9

$

#

∩⊇∇∈∪

Artinya : “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (QS.Ali_Imran:185)

Apabila orang yang sakit sedang menghadapi ajalnya (sakaratulmaut), maka dianjurkan bagi anggota keluarga atau yang hadir di tempat itu utk menciptakan suasana tenang dan tidak gaduh, serta di sunnahkan untuk melakukan :

1. Talqin, yaitu menuntun orang yang sedang menghadapi ajalnya (sakaratulmaut) untuk mengucapkan kalimat Laa ilaha illallah. Rasulullah SAW bersabda :

Artinya,”Tuntunlah orang yang akan meninggal diantara kalian dengan membaca Laailaha illallah” (HR. Muslim, Abu Daud, dan Turmudzi dari Abu Sa’id Al-Khudri) Pada riwayat yang lain Rasulullah SAW bersabda :

(2)

55

Artinya,”Siapa-siapa yang ucapan terakhirnya berbunyi Laailaha illallah, pastilah ia masuk surga” (HR. Muslim, Abu Daud, dan Turmudzi dari Abu Sa’id Al-Khudri)

Talqin hanyalah dilakukan bila seseorang tersebut sudah tidak sanggup lagi mengucapkan kalimat syahadat. Juga talqin itu hanyalah terhadap orang yang masih sadarkan diri dan dapat berbicara. Orang yang hilang ingatan tidak mungkin dapat ditalqinkan, sedang orang yang tidak dapat berkata-kata, hendaklah ia mengulang-ulan g syahadat di dalam hatinya.

Jumhur ulama berpendapat, bahwa yang ditalqinkan kepada orang yang hendak meninggal itu cukup kalimat laa ilaha illallah saja, tetapi segolongan ulama lain berpendapat bahwa yang diajarkan itu hendaklah dua kalimat syahadat, karena yang dituju adalah mengingatkan tauhid, sedang tauhid bergantung pada dua kalimat tersebut.

2. Menghadapkan ke arah kiblat dalam keadaan berbaring dengan posisi badan miring ke sebelah kanan.

Ahmad meriwayatkan bahwa sewaktu hendak meninggal, Fatimah putri nabi SAW menghadap kearah kiblat, kemudian memiringkan dirinya kesebelah kanan. Menghadap kiblat itu mengikuti cara nabi waktu tidur, begitupun letak mayat dalam kubur. Menurut satu keterangan Imam Syafi’i berpendapat hendaklah orang sakit yang hendak meninggal ia menelentang dengan pundak dan kedua tumitnya kearah kiblat, sedang kepalanya ditinggikan sedikit agar mukanya juga tertuju kepadanya.

3. Membacakan surat Yaa Siin, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i, juga oleh Hakim dan Ibnu Hibban yang menyatakan syah dari Ma’qil bin Yasar :

4. Menutupkan kedua matanya bila telah meninggal, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang artinya : “Bahwa Nabi SAW datang melawat Abu Salamah. Didapatinya matanya terbuka, lalu katanya : ‘Jika nyawa seseorang dicabut, akan diikuti oleh pandangannya.”

5. Menyelimutinya agar tidak terbuka, dan supaya rupanya yang berubah tertutup dari pandangan, seperti di terima dari ‘Aisyah yang artinya : “Bahwa Nabi SAW, ketika beliau wafat, jasadnya ditutupi dengan selimut Yaman”. (HR. Bukhari dan Muslim)

6. Segera menyelenggarakan pemakamannya bila telah diyakini kematiannya (telah diakui oleh dokter atau orang-orang yang telah berpengalaman/menyaksikan beberapa ematian sebelumnya).

(3)

7. Membayar hutangnya. Seperti hadits Nabi SAW yang artinya :”Nyawa seorang mu’min itu tergantung kepada utangnya sampai di bayar lebih dulu”. (HR.Abu Hurairah oleh Ahmad, Ibnu Majah, dan Turmudzi)

2. SESAAT SETELAH MENINGGAL DUNIA (SEBELUM

DIMANDIKAN,

DIKAFANI,

DISHALATKAN,

DAN

DIKUBURKAN)

1. Diutamakan mengucapkan inna lillahi wa inna illahi raaji’uun dan berdo’a kepada Allah, jika mengalami kematian salah seorang keluarganya, atau mendengar berita kematian seorang muslimin / muslimat.

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Ummu Salamah.ra, katanya : “Saya dengar Rasulullah SAW bersabda,’Tidak seorang hambapun yang ditimpa musibah, lalu ia mengucapkan inna lillahi wa inna illahi raaji’uun. Allahumma ajurnii fi mushiibatii wa akhlif lii khairam minhaa (susungguhnya kita ini dari Allah, dan sesungguhnya kita akan kembali kepadaNya. Ya Allah, dampingilah aku dalam kemalanganku, dan berilah ganti yang lebih baik dari padanya)’, kecuali Allah akan mendampinginya dalam kemalangannya, dan Allah akan memberi ganti yang lebih baik dari itu”.

Hadits Nabi SAW tersebut pada dasarnya memperkuat firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 156 dan 157 :

t

Ï

%

©

!

$

#

!

#

s

Œ

Î

)

Νßγ÷

F

u

;

|

¹

r

&

×π

t

7

ŠÅ

Á

•Β

(

#

þθä9

$

s

%

$

¯ΡÎ

)

¬

!

!

$

¯ΡÎ

)

u

ρ

ϵø‹

s

)

t

βθã

è

Å

_

u

∩⊇∈∉∪

y

7Í×

¯

s

9

'

ρé

&

öΝÍκö)

n

=

t

æ

Ô

N

u

θ

n

=

|

¹

ÏiΒ

öΝÎγÎn

/

§

×π

y

ϑô

m

u

u

ρ

(

š

Í×

¯

s

9

'

ρé

&

u

ρ

ãΝèδ

t

βρß

t

G

ôγßϑø9

$

#

∩⊇∈∠∪

Artinya : “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun artinya: Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali. kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.

2. Disunnahkan memberitahukan kematian seseorang kepada kaum kerabat dan handai taulannya. Berdasarkan apa yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah :

(4)

57

Artinya :”Bahwa Nabi SAW memberitahukan kepada umum kemangkatan Negus raja Ethiopia, dan Habsyi pada hari wafatnya, dan membawa mereka ke masjid, lalu diaturnya shaf para sahabatnya, dan dishalatkannya dengan membaca empat kali takbir”.

3. Menangisi Mayat.

Para ulama telah ‘Ijma bahwa menagisi mayat itu hukumnya boleh, asal tidak disertai ratapan dan pekikan. Nabi SAW juga menangis karena meninggalnya Umaimah, yaitu cucunya, dari putrinya Zainab. Maka Said bin Ubadahpun menanyakan kepadanya :”Wahai Rasulullah, apakah anda menangis ?, bukankah anda melarang Zainab menangis ?, kata Nabi SAW :’Itu merupakan tanda welas- asih yang ditaruh Allah dalam hati hamba-hambaNya. Dan Allah mengasihi hamba-hambaNya itu hanyalah yang menaruh welas-asih diantara mereka”.

4. Menangis Meraung-raung (An-niyahah)

Menangis dengan meraung-raung tidak diperbolehkan, bahkan ada beberapa hadits yang mengharamkannya.

Di riwayatkan oleh Bazzar dengan sanad dimana perawinya semua dapat di percaya, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : “Ada dua macam suara yang dikutuk di dunia maupun di akhirat, yaitu seruling dikala beroleh ni’mat, dan ratapan di waktu ditimpa musibah”.

5. Berkabung bagi wanita yang keluraganya mengalami kematian.

Dibolehkan bagi wanita menjalani masa berkabung (ihdad) disebabkan kematian sanak keluarganya selama tiga hari, jika tidak ada larangan dari pihak suami.

6. Disunnahkan menyediakan makanan bagi keluarga yang meninggal. Diterima dari Abdullah bin Ja’far, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

(5)

:

Artinya : “Buatkanlah makanan buat keluarga Ja’far, karena mereka sedang ditimpa musibah yang merepotkan mereka” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majjah) 7. Boleh menyediakan kain kafan dan makam sebelum meninggal.

Diriwayatkan bahwa Usman, ‘Aisyah, dan Umar bin Abdul Aziz. Ra melakukan hal itu buat diri mereka masing-masing.

8. Sunnah meminta meninggal pada salah satu tanah suci

Disunnahkan meminta meninggal pada salah satu tanah suci Mekkah dan Madinah. Berdasarkan dari apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Hafsah.ra, bahwa Umar. Ra berdoa : “Ya Allah kurniailah aku mati syahid dalam membela agamaMu. Dan tempatkanlah kematianku kelak di negeri Rasul-Mu Nabi Muhammad SAW”

9. Pahala bagi orang yang kematian anak.

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas, bahwa Nabi SAW bersabda :

Artinya : “Tidak seorang manusia muslimpun, yang mengalami kematian tiga orang anak yang belum dibebani dosa (belum baligh), kecuali akan dimasukkan Allah kedalam surga, disebabkan belas kasihNya kepada anak-anak itu”.

10.Usia umat Muhammad SAW

(6)

59

Artinya : “Usia umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan hanya sedikit diantara mereka yang mencapai lebih dari itu”.

11. Ta’ziyah (melayat)

Melayat ahli mayat/keluarga yang ditinggalkannya itu sunnah dalam tiga hari sesudah ia meninggal dunia, yang lebih baik adalah sebelum ia dikuburkan. Tujuan melayat adalah menghibur ahli mayat/keluarga yang ditinggalkannya untuk selalu bersabar, jangan berkeluh kesah, mendo’akan mayat supaya mendapatkan ampunan, dan juga supaya malapetaka itu berganti dengan kebaikan.

3. PENYELENGGARAAN JENAZAH

Wajib hukumnya menyelenggarakan jenazah, hingga harus dimandikan, di kafani, dishalatkan, dan di makamkan.

= MEMANDIKANNYA =

A. HUKUMNYA

Jumhur ulama berpendapat bahwa memandikan mayat muslim hukumnya adalah Fardlu Kifayah, artinya bila sudah dilaksanakan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban seluruh Muslim.

B. MAYAT YANG WAJIB DIMANDIKAN DAN YANG TIDAK

Wajib memandikan mayat muslim yang tidak tewas dalam peperangan di tangan orang-orang kafir”

C. MEMANDIKAN SEBAGIAN TUBUH MAYAT

Imam Syafi’i, Ahmad dan Ibnu Hazmin berpendapat bahwa hendaklah bagian tubuh tersebut dimandikan, dikafani dan di sembahyangkan

D. ORANG YANG MATI SYAHID TIDAK DIMANDIKAN

Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : “Janganlah kamu memandikan mereka, karena setiap luka atau setiap tetes darah akan semerbak dengan bau yang wangi pada hari kiamat.”

E. PARA

SYUHADA

YANG

DIMANDIKAN

DAN

DISEMBAHYANGKAN

Para korban yang tewas buykan terbunuh dalam peperangan di tangan orang-orang kafir, mereka di sebut juga sebagai syuhada. Golongan ini dimandikan

(7)

dan disembahyangkan. Rasulullah SAW telah memandikan orang yang meninggal dari golongan ini semasa hidupnya. Dan sepeninggalnya Rasulullah memandikan Umar, Usman, dan Ali, sementara mereka semua adalah orang-orang yang mati syahid (bukan dalam peperangan). Diterima dari Jabir bin Atik, bahwa Nabi SAW bersabda :

Cerita Ali selanjutnya: “Maka sayapun pergilah buat menguburkannya,lalu kembali kepada Nabi. Disuruhnya saya mandi lalu sayapun mandilah, lalu saya dido’akannya.” Berkata Ibnul Mundzir :”Mengenai memandikan mayat kafir, tak diterima sunnah yang dapat diikuti”.

F. CARA MEMANDIKAN

Yang wajib dalam memandikan mayat itu ialah menyampaikan air satu kali keseluruh tubuhnya, walaupun ia sedang junub atau haidh sekalipun. Lebih utama meletakkan mayat ditempat yang gak tinggi, ditanggalkan pakaiannya dan ditaruh diatasnya sesuatu yang dapat menutupi auratnya1(Hal ini berlaku, jika mayat itu

bukan mayat seorang anak kecil).

1 Imam Syafi’i berpendapat lebih utama memandikannya dengan

memakai kemeja, jika kemeja itu tipis dan tidak menghalangi masuknya air ke tubuh, karena Nabi SAW dimandikan dengan memakai kemeja. Tetapi yang lebih kuat ialah, bahwa memakai kemeja itu adalah khusus bagi Nabi SAW. Menanggalkan pakaian mayat kecuali sekedar penutup aurat lebih populer.

Ketika memandikan itu tidak boleh hadir kecuali orang yang diperlukan kehadirannya. Dan hendaklah yang akan memandikan itu orang yang jujur, saleh

(8)

61

dan dapat dipercaya, agar ia hanya menyiarkan dari pengalamannya nanti mana-mana yang baik dan menutupi mana-mana-mana-mana yang jelek yang di temukan pada si mayat. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya : “Hendaklah yang akan memandikan jenazah-jenazahmu itu orang yang dapat dipercaya”.

Ia wajib berniat, karena dialah yang terpanggil untuk memandikannya. Setelah itu hendaklah dimulainya dengan memijat perut mayat dengan lunak, untuk mengeluarkan isinya kalau ada. Serta hendaklah dibersihkannya najis yang terdapat di badannya, dan ketika hendak membersihkan auratnya, hendaklah dilapisinya tangan dengan kain, karena menyentuh aurat itu hukumnya haram. Kemudian hendaklah diwudhukannya mayat itu seperti wudhu akan sembahyang, berdasarkan sabda Rasulullah saw :

Artinya: ”Mulailah dengan bagian yang kanan anggota-anggota wudhu”’

Setelah itu hendaklah dimandikan tiga kali dengan air dan sabun atau dengan air bidara, dengan memulainya pada bagian kanan. Seandainya tiga kali itu tidak cukup, misalnya belum bersih dan sebagainya, maka hendaklah dilebihinya menjadi lima atau tujuh kali. Dalam buku Shahih tertera bahwa Nabi SAW bersabda kepad wanita-wanita :

Artinya: ”Mandikanlah jenazah-jenazah itu secara ganjil,tiga,lima atau tujuh kali! Atau boleh juga lebih jika kamu pandang perlu!” 2.

2 Menurut Ibnul abdul bar,tak seorangpun diketahuinya

membolehkan lebih dari tujuh kali.Sedang Ahmad dan Ibnul mundzir memandangnya makruh.

(9)

Berkata Ibnul Mundzir, ”Nabi SAW menyerahkan berapa kalinya kepada wanita-wanita itu, ialah denga syarat yang disebutkan tadi, yaitu asal jumlahnya ganjil. Jika mayat itu wanita, sunat menguraikan rambutnya, lalu dicuci dan dijalin kembali dengan dilepaskan dibelakangnya.

Dari Ummu ’Athiyyah :

Artinya: ”Bahwa wanita-wanita itu menjalin rambut puteri Nabi menjadi tiga untai”,Saya tanyakan padanya::Apakah menguraikan rambutnya,lalu menjalinnya menjadi tiga untai?” ”Benar”, ujarnya”.

Dan menurut riwat Muslim berbunyi:

”Maka kami jalinlah rambutnya menjadi tiga untai, yaitu dua disamping dan satu ditengah”.

Sedang pada Shahih Ibnu Hibban, anjuran menjalin rambut itu diambil dari sabda Nabi SAW, ”Dan jadikanlah rambutnya menjadi tiga untai!”

Jika telah selesai memandikan mayat, hendaklah tubuhnya dikeringkan degan kain atau handuk yang bersih, agar kain kafannya tidak basah ,lalu ditaruh diatasnya minyak wangi.

(10)

63

Artinya:”Jika kamu mengasapi mayat denga wangi-wangian,maka hendaklah denga jumlah yang ganjil!” (Diriwayatkan oleh Baihaqi, juga oleh Hakim dan Ibnu Hibban yang menyatakan sahnya).

Berkata Abu Waid, ”Ali ra menyimpan minyak wangi. Ia meninggalkan wasiat agar ia dipulas nanti dengan minyak itu. Katanya juga, ”Ini adalah sisa-sisa minyak wangi Rasulullah SAW”.

Jumhur ulama menganggap makruh memotong kuku, begitupun mencabut rambut kumis, ketiak atau kemaluan mayat, walaupun sehelai. Tetapi Ibnu Hazmin membolehkannya. Mereka sepakat bahwa seandainya dari dalam perutnya keluar sesuatu setelah mandi dan sebelum dikafani, maka wajib mencuci tubuh yang kena najis itu. Tetapi tentang mengulangi kembali memandikannya terdapat pertikaian. Ada ulama yang mengatakan tidak wajib3.

3 Ini adalah mazhab golongan-golongan imam Hanafi dan Syafi’i

serta imam Malik.

Ada pula ulama yang mengatakan wajib mewudhukannya. Dan ada ulama yang berpendapat wajib mengulangi mandi kembali.

Sumber yang diambil oleh para ulama sebagai dasar ijtihad mereka tentang tata cara memandikan jenazah, ialah hadist yang diriwayatkan oleh jama’ah dari Ummu ’Athiyyah, katanya :

Artinya: ”Rasulullah SAW masuk menemui kami ketika meninggal puterinya, maka sabdanya: ”Mandikanlah ia tiga atau lima kali, atau jika kalian anggap perlu, lebih banyak lagi dengan air dan bidara, dan terakhir campurlah dengan kapur barus, atau sedikit dari kapur barus, jika telah selesai, beritahukanlah kepada saya!

(11)

”Setelah selesai, kami sampaikanlah kepada Nabi SAW, maka diserahkannya kepada kami kain sarungnya, sabdanya: ”Lilitkanlah kebadanya!”

Hikmah mencampur air dengan kapur barus seperti disebutkan oleh para ulama, ialah karena baunya yang harum, justru pada saat hadirnya malaikat. Juga ia mengandung khasiat yang baik untuk mengawetkan dan mengeraskan tubuh mayat hingga tidak cepat busuk, begitupun untuk mengusir binatang-binatang buas. Dan seandainya kapur barus itu tidak ada, boleh diganti dengan bahan-bahan lain yang mengandung semua atau sebagian dari khasiat-khasiatnya.

G. TAYAMMUM BAGI MAYAT DI WAKTU TAK ADA AIR

Jika tak ada air ,hendaklah mayat ditayammumkan, berdasarkan firman Allah Taa’la :

Artinya: ”jika kamu tidak memperoleh air,maka hendaklah bertayammum!”. (QS.An-Nisaa’ : 43)

Dan sabda Rasulullah SAW yang artinya : ”Dijadikan tanah bagiku sebagai mesjid dan untuk pembersihan”.

Begitu juga ditayammumkan menjadi sangat di anjurkan, jika tubuh si mayat akan bertambah hancur dan terpisah-pisah seandainya dimandikan. Juga wanita yang meninggal ditengah laki-laki asing(tanpa ada muhrimnya), atau laki-laki yang meninggal ditengah wanita-wanita asing(tanpa ada muhrimnya), maka hanya ditayamumkan saja, tidak perlu di mandikan. Diriwayatkan dari Mak-hul oleh Baihaqi, juga oleh Abu Daud dalam kumpulan hadist-hadist mursalnya bahwa Nabi SAW bersabda :

Artinya: ”Jika seorang wanita meninggal dilingkungan laki-laki hingga tak ada wanita lain,atau laki-laki dilingkungan waqnita-wanita dimana tak ada laki-laki lain,maka hendaklah mayat-mayat itu ditayammumkan lalu dimakamkan.Kedua mereka itu sama halnya dengan orang yang tidak mendapatkan air”.

Dan hendaklah yang mentayammumkan wanita itu muhrim yang terlarang kawin dengannya dengan tangannya. Jika tak ada muhrim, maka laki-laki asing dengan memakai secarik kain yang dibalutkan ketelapak tangannya. Ini adalah

(12)

65

mazhab Abu Hanifah dan Ahmad, sedang menurut Malik dan Syafi’i, jika diantara laki-laki itu terdapat seorang muhrim yang haram kawin dengannya, hendaklah ia memandikan mayat wanita itu, karena ia ini adalah seperti laki-laki bagi muhrim tersebut, mengenai soal aurat dan khalwat.

Pada buku Al-Musawwa diceritakan dari Imam Malik bahwa ia mendengar dari para ulama mengatakan, bila seorang wanita meninggal dan tak ada wanita yang akan memandikannya, begitupun tak ada muhrim atau suami yang akan menyelenggarakan hal itu, maka hendaklah ia ditayammumkan, yaitu dengan menyapu muka dan kedua telapak tangannya dengan tanah. Katanya lagi, ” Sebaliknya bila laki-laki meninggal dan tak ada orang disana kecuali wanita, maka hendaklah mereka mentayammumkannya pula” 4.

4. Ibnu Hazmin dan lain-lainnya berpendapat,bahwa seandainya

seorang laki-laki meninggal dilingkungan wanita tanpa ada seorang laki-lakipun atau sebaliknya wanita meninggal dilingkungan laki tanpa adanya wanita lain,hendaklah laki-laki tadi dimakamkan(dimandikan) oleh wanita,dan wanita oleh laki-laki,dengan syarat ditutupu badannya dengan kain yang tebal.Air ditimbakan keseluruh tubuh tanpa diraba dengan tangan,dan tidak boleh mandi itu dengan diganti oleh tayammum,kecuali bila tak ada air

H. SUAMI MEMANDIKAN ISTERI ATAU SEBALIKNYA

Para fuqaha sependapat atas bolehnya wanita memandikan suaminya. Berkata Aisyah :

Artinya: ”Jika saya menghadapi sesuatu urusan, tidaklah akan saya abaikan! Tidaklah yang memandikan Nabi SAW kecuali para isterinya”.(Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, juga oleh hakim yang menyatakan sahnya).

Tetapi mereka berbeda pendapat tentang boleh tidaknya suami memandikan isterinya. Jumhur membolehkannya, berdasarkan riwayat dari Daruquthni dan Baihaki bahwa Ali memandikan Fathimah ra. Juga bahwa sabda Rasulullah saw. Kepada Aisyah ra. :

(13)

Artinya: ”Seandainya kau meninggal sebelumku,tentulah akan saya mandikan dan saya kafani”. (HR. Ibnu Majah).

Golongan Hanafi berpendapat, tidak boleh suami memandikan isterinya, seandainya tidak ada orang kecuali sang suami, hendaklah ia memtayammumkannya. Hanya hadist-hadist tersebut mematahkan pendapat mereka.

I. WANITA MEMANDIKAN ANAK KECIL

Berkata Ibnul Mundzir: ”Semua ulama yang dikenal telah ijma’ bahwa wanita boleh memandikan anak yang masih kecil”.

= KAIN KAFAN =

A. HUKUMNYA

Mengafani mayat dengan apa saja yang dapat menutupi tubuhnya walau hanya sehelai kain, hukumnya adalah fardhu kifayah. Diriwayatkan oleh Bukhari dari Khibab ra. Ceritanya :

(14)

67

Artinya: ”Kami hijrah bersama Rasulullah SAW dengan mengharapkan keridhaan Allah. Maka tentulah akan kami terima pahalanya dari Allah. Karena diantara kami ada yang meninggal sebelum memperoleh hasil duniawi sedikitpun juga. Misalnya Mushab bin Umair, ia tewas terbunuh diperang uhud, dan tak ada buat kain kafannya kecuali selembar kain burdah. Jika kepalanya ditutup maka akan terbukalah kakinya, dan jika kakinya ditutup maka tersembul kepalanya. Maka Nabi SAW. Menyuruh kami buat menutupi kepalanya, dan menaruh rumput idzkhir pada kedua kakinya”.

B. HAL-HAL YANG DIUTAMAKAN

Mengenai kain kafan ini disunatkan hal-hal berikut :

1. Hendaklah bagus, bersih dan menutupi seluruh tubuh, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Qatadah, juga oleh Turmudzi yang menyatakannya sebagai hadist hasan, bahwa Rasululullah SAW bersabda :

(15)

Artinya: ”Jika salah seorang diantaramu menyelenggarakan saudaranya, hendaklah ia memilih buat kain kafannya yang baik!”

2. Hendaklah putih warnanya, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Abbas, juga oleh Turmudzi yang menyatakan sahnya, bahwa Nabi SAW bersabda :

Artinya:”Pakailah diantara pakaian-pakaianmu yang putih warnanya,karena itu merupakan pakaianmu yang terbaik,dan kafanilah dengan itu jenazah-jenazahmu!”

3. Hendaklah diasapi dengan kemenyan dan wangi-wangian, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Jabir, juga oleh Hakim yang menyatakan sahnya bahwa Nabi SAW bersabda :

Artinya: ”Jika kamu mengasapi mayat,maka asapilah tiga kali!”

Dan Abu Sa’id, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mewasiatkan agar kain kafan mereka diasapi dengan kayu cendana.

4. Bagi laki-laki hendaklah tiga lapis, sedang bagi wanita lima lapis.

Diriwayatkan oleh jama’ah dari ’Aisyah, katanya : ”Nabi SAW dikafani dengan tiga helai kain putih mulus yang baru, tanpa kemeja dan sorban”.

Berkata Turmudzi: ”Hal ini menjadi amalan bagi kebanyakan ulama dari kalangan sahabat Nabi SAW. Juga bagi yang lainnya”.

Katanya pula: ”Berkata Sufyan Tsauri: mayat laki-laki dikafani dengan tiga lapis kain, boleh juga sehelai kemeja ditambah dua lapis kain lagi, dan boleh pula dengan tiga helai kain saja. Tetapi selembar kainpun cukup, tetapi kalau ada, lebih utama tiga helai. Hal ini juga merupakan pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Dan kata mereka: ”Mengenai wanita hendaklah dikafani dengan lima helai kain”.

Dan diterima dari Ummu ’Athiyyah bahwa Nabi SAW, telah mengulurkan kepadanya kain sarung, baju, selendang, dan dua helai(untuk pembalut tubuh mayat). Berkata Ibnul Mundzir: ”Kebanyakan ulama yang kami kenal berpendapat bahwa wanita itu dikafani dengan lima helai kain”.

(16)

69

Jika seorang yang sedang melakukan ihram meninggal, maka ia dimandikan seperti orang yang bukan ihram, dan dikafani dengan pakaian ihramnya itu. Kepalanya tidak ditutupi dan tidak diberi minyak wangi, karena masih berlakunya hukum ihram kepadanya. Hal ini adalah berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh jama’ah dari Ibnu Abbas, katanya: ”Ketika seorang laki-laki sedang wukuf bersama Rasulullah SAW di Arafah, tiba-tiba ia terjatuh dari kendaraannya menyebabkan patahnya lehernya”. Ketika hal itu disampaikan kepada Nabi SAW beliau bersabda:

Artinya : “Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara serta kafanilah dengan kainnya itu5. Dan jangan diberi minyak wangi, serta jangan ditutup kepalanya,

karena Allah Taa’la akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan membaca talbiyah!”.

5. Yakni sarung dan kain selubungnya.

Golongan Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa bila orang yang ihram itu meninggal, terputuslah ihramnya. Dan dengan terputus ihramnya itu, maka ia dikafani sebagai halnya orang yang tidak ihram. Jadi kain kafannya dijahit, kepalanya ditutupi dan ia diberi minyak wangi. Kata mereka: ”Peristiwa laki-laki yang disebutkan dalam hadist itu adalah mengenai diri seseorang, sehingga hanya buat dirinya pribadi dan tidak berlaku buat umum”.

Tetapi alasan yang dikemukakan dalam hadist bahwa mayat itu akan dibangkitkan pada hari kiamat sedang membaca talbiyah, menyatakan bahwa hal ini berlaku bagi setiap orang yang meninggal dalam keadaan ihram. Sedang menurut prinsipnya, sesuatu hukum yang berlaku bagi salah satu anggota, juga akan berlaku bagi yang lain, selama tak ada alasan yang menyatakan bahwa hukum itu hanya khusus bagi anggota tersebut.

D. MAKRUH BERLEBIH-LEBIHAN DALAM KAIN KAFAN

Hendaklah kain kafan itu yang bagus tetapi tidak terlalu mahal harganya atau sampai seseorang itu memaksakan sesuatu yang diluar kemampuannya. Berkata Sya’bi, ”Ali ra mewasiatkan, ”Janganlah kamu berlaku boros menyediakan kain kafanku nanti, karena saya dengar Rasulullah SAW bersabda:

(17)

Artinya : ”Janganlah kamu berlebih-lebihan dalam memilih kain kafan, karena ia juga takkan dapat bertahan lama!”.(Riwayat Abu Daud, dalam isnadnya terdapat Abu Malik seorang yang menjadi pembicara).

Hudzaifah memesankan pula, ”Janganlah kamu berlebih-lebihan dalam menyediakan kain kafanku! Belikan sajalah buatku dua helai kain yang kuat!” dan kata Abu Bakar:”Cucilah pakaianku ini dan tambahlah dua helai lagi, lalu ambillah untuk mengafaniku nanti!” Ujar Aisyah:”Ini sudah usang!”

Kata Abu Bakar pula:”Orang yang masih hidup, lebih layak untuk beroleh yang baru daripada orang yang mati!” Itu hanyalah buat cairan tubuh mayat saja”.

E. KAIN KAFAN DARI SUTERA

Tidak halal jika seorang laki-laki itu dikafani dengan kain sutera, tetapi bagi wanita dihalalkan. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW, mengenai sutera dan emas:

Artinya: ”Keduanya haram bagi ummatku yang laki-laki, tetapi halal bagi wanita-wanitanya”.

Tetapi kebanyakan ulama menganggap makruh mengambilkan kain sutera untuk kafan wanita, karena termasuk mubazir, menyia-nyiakan harta dan berlebih-lebihan yang dilarang oleh agama. Mereka membedakannya jika dipakai sebagai perhiasan diwaktu hidup dengan dijadikan sebagai kain kafan setelah mati.

Berkata Ahmad, ”Saya tidak setuju mengafani wanita itu dengan kain sutera” juga Hasan, Ibnul Mubarak dan Ishaq memandangnya makruh, dan menurut Ibnul Mundzir, tak ada kedengaran orang lain menentang pendapat mereka itu.

F. KAIN KAFAN DARI HARTA/MODAL SENDIRI

Jika seorang meninggal dunia, dan ia meninggalkan harta, maka biaya mengafaninya diambilkan dari hartanya itu. Seandainya ia tidak berharta, maka menjadi kewajiban bagi orang yang memikul nafkahnya. Dan jika tidak ada orang yang wajib menafkahinya, maka kain kafannya diambilkan dari perbendaharaan negara(Baitul mal) muslimin, dan jika tidak ada pula, kain kafan akan menjadi tanggungan diri pribadi muslimin sendiri.

(18)

71

Mengenai wanita, dalam soal ini sama halnya dengan pria. Dan berkata Ibnu Hazim, ”Mengafani mayat wanita dan menggali kuburnya, biayanya diambil dari modalnya sendiri. Alasannya ialah karena harta kaum muslimin itu terlarang bagi lainnya, kecuali dengan keterangan jelas dari Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW yang artinya: ”Sesungguhnya darahmu dan harta bendamu haram bagimu”.

Sedang yang dibebankan Allah Taa’la atas suami hanyalah memberi nafkah memberi pakaian dan menyediakan tempat kediaman. Dan menurut bahasa yang digunakan oleh Allah untuk berdialog dengan kita, mengafani itu tidaklah termasuk dalam menyediakan tempat kediaman.

= MENYEMBAHYANGKAN JENAZAH =

A. HUKUMNYA

Telah disepakati oleh imam-imam ahli fiqih bahwa menyembahyangkan mayat itu hukumnya fardhu kifayah, berdasarkan perintah dari Rasulullah SAW, dan perhatian kaum muslimin dalam menepatinya.

Diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim dari Abu Hurairah:

Artinya: ”Bahwa seorang laki-laki yang meninggal dalam keadaan berutang, disampaikan beritanya kepada Nabi SA. Maka Nabi menanyakan apakah ia ada meninggalkan kelebihan buat pembayar utangnya. Jika dikatakan orang bahwa ia ada meninggalkan harta untuk pembayarnya, maka beliau akan menyembahyangkan mayat itu. Jika tidak, beliau akan memesankan kapada kaum muslimin ”Shalatkanlah teman sejawatmu”.

B. KEUTAMAANNYA

(19)

Artinya: ”Barang siapa mengiringkan jenazah dan turut menyembahyangkannya, ia akan beroleh pahala sebesar satu qirath6. Dan barang siapa mengiringkannya

sampai selesai penyelenggaraannya,ia akan beroleh dua qirath,yang terkecil atau katanya salah satu diantaranya,beratnya seperti gunung uhud”.

6. Nama ukuran besar,kira-kira 1/16 dirham.

Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Khabbab ra. Bahwa ia menanyakan kepada Abdullah Ibnu Umar, apakah Ibnu Umar ini pernah mendengar apa kata Abu Hurairah yaitu bahwa ia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: ”Siapa yang turut keluar bersama jenazah dari rumahnya, menyembahyangkannya lalu mengiringkannya sampai dimakamkan, maka ia akan beroleh pahala sebesar dua qirath, yang berat masing-masingnya adalah seperti gunung Uhud7. Dan barang

siapa yang hanya menyembahyangkannya, ia akan beroleh pahala seberat gunung Uhud”.

7. Ini menjadi alasan bahwa tak perlu minta izin kepada keluarga

mayat bila hendak pulang.

Maka Ibnu Umar pun mengutus Khabbab menemui ’Aisyah untuk menanyakan ucapan Abu Hurairah tersebut, dan disuruhnya kembali buat menyampaikan bagaimana hasilnya, Kata Khabbab kemudian, ”Menurut ’Aisyah, benarlah apa yang dikatakan Abu Huraurah itu”. Maka Umar berkata, ”Sungguh selama ini kita telah mengabaikan pahala berqirath-qirath banyaknya”.

C. SYARAT-SYARATNYA

Shalat jenazah termasuk dalam ibadah shalat, maka disyaratkan padanya syarat-syarat yang telah diwajibkan pada shalat-shalat fardhu lainnya, baik berupa kesucian yang sempurna dan bersih dari hadast besar maupun kecil, menghadap kiblat dan menutup aurat.

Diriwayatkan dari Nafi’ oleh Malik bahwa Abdullah bin Umar ra. Mengatakan ”Tidak boleh seseorang menyembahyangkan jenazah kecuali dalam keadaan suci”. Hanya terdapat perbedaan diantaranya dengan shalat-shalat fardhu yang lain mengenai waktu, karena pada shalat jenazah ini tidaklah disyaratkan, tetapi ia

(20)

73

dapat dilakukan pada sembarang waktu bila ada jenazah, bahkan menurut golongan Hanafi dan Syafi’i, walau pada waktu-waktu terlarang sekalipun 8.

Tetapi Ahmad, Ibnul Mubarak dan Ishak menganggap makruh melakukan shalat jenazah waktu terbit matahari, waktu istiwa’ dan saat terbenamnya, kecuali jika dikhawatirkan membusuknya mayat.

8. Lihat fikih sunnah ke 1 mengenai waktu-waktu terlarang.

D. RUKUN-RUKUNNYA

Shalat jenazah mempunyai rukun-rukun yang mewujudkan hakikatnya, sehingga bila salah satu diantaranya tidak dipenuhi, maka ia batal dan tidak dianggap oleh syara’. Rukun shalat jenazah adalah :

1.

Berniat. Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya: ”

Dan tidaklah mereka diperintahkan untuk mengabdikan diri pada Allah, dengan mengikhlaskan agama, hanya bagiNya semata”.

Juga sabda Rasulullah SAW yang artinya: ”semua perbuatan itu hanyalah dengan niat, dan masing-masing manusia akan beroleh hasil menurut apa yang diniatkannya”.

Pada hakekatnya niat tempatnya adalah dalam hati, dan boleh mengucapkannya, boleh juga diniatkan saja didalam hati.

2.

Berdiri bagi yang kuasa. Hal ini merupakan rukun menurut jumhur ulama.

Maka tidaklah sah menyembahyangkan jenazah sambil berkendaraan atau duduk tanpa uzur. Berkata pengarang buku Al-Mughni: ”Tidak boleh menyembahyangkan jenazah sementara berkendaraan, karena itu menghalangi sikap berdiri yang diwajibkan. Dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Syafi’i dan Abu Tsaur. Menurut pengetahuan saya tak ada yang menentangnya. Dan disunatkan meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri, sementara posisi sholat dalam keadaan berdiri seperti pada sholat biasa. Namun dalam sholat jenazah tidak melakukan rukuk dan sujud seperti halnya sholat fardhu.

Ada pula yang berpendapat tidak demikian, tetapi yang pertama tadi yang lebih kuat”

3. Empat kali takbir, seperti diriwayatkan olehBukhari dan Muslim dari Jabir :

Artinya :” Bahwa Nabi SAW, menyembahyakan Najasyi(raja Habsyi), maka beliau membaca takbir empat kali”.

Berkata Turmudzi: ”Hal ini menjadi amalan bagi kebanyakan ulama dari sahabat-sahabat Nabi SAW, dan yang lainya. Menurut mereka takbir dalam

(21)

sholat jenazah itu adalah sebanyak empat kali, hal ini juga merupakan pendapat Sufyan, Malik, Ahmad, Ibnul Mubarak, Syafi’i dan Ishaq.

4.

Membaca Al-fatihah dan Shalawat Nabi secara sir(bisik-bisik

)

Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Syafi’i dalam musnadnya dari Abu Umamah bin Sahl, bahwa salah seorang laki-laki sahabat Nabi SAW menyampaikan kepadanya :

Artinya: ”Bahwa menurut sunnah,dalam shalat jenazah itu hendaklah imam membaca takbir,kemudian setelah takbir pertama itu hendaklah ia membaca Al-fatihah secara bisik-bisik,lalu membaca salawat Nabi saw. Dan setelah itu pada takbir berikutnya hendaklah ia membacakan doa bagi jenazah tanpa membaca apa-apa lagi,kemudian memberi salam dengan berbisik-bisik”9.(Menurut

pengarang Al-fatah,sanadnya sah).

9 Jumhur berpendapat bahwa baik membaca Al-fatihah maupun

membaca salawat Nabi, berdoa serta memberi salam disunnatkan secara sir kecuali bagi imam, maka baginya sunnat jahar, menderas pada takbir dan taslim, guna pemberitahuan bagi makmum.

(22)

75

Artinya:”Saya menyembahyangkan satu jenazah bersama Ibnu Abbas,maka ia membaca Alfatihah lalu katanya itu sunnah”.

Hadist itu juga diriwayatkan oleh Turmudzi, dan katanya, ”Hal ini menjadi amalan bagi sebagian ulama-ulama dari golongan sahabat Nabi dan lainnya, mereka lebih suka membaca Al-fatihah setelah takbir pertama. Ini juga merupakan pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Dan sebagian lain berpendapat, dalam shalat jenazah ini tidaklah dibaca Al-fatihah. Yang dibaca itu hanyalah pujian kepada Allah, salawat Nabi SAW. Dan doa bagi mayat. Hal ini merupakan pendapat Tsauri dan lain-lain ulama penduduk Kuffah

Diantara alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang mengatakan wajibnya membaca Al-fatihah ialah karena Rasulullah SAW. Menamakannya shalat seperti tersebut dalam sabdanya, ”Sembahyangkanlah teman sejawatmu”. Sedang sabdanya lagi:”Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Al-fatihah”.

UCAPAN SHALAWAT DAN SALAM ATAS NABI DAN TEMPATNYA

Shalawat dan salam atas Nabi itu diucapkan dengan kalimat manapun juga. Dan seandainya seseorang mengucapkan ”Allahumma shalli ’ala muhammad” maka itu sudah cukup. Tetapi mengikuti apa yang diajarkan oleh Nabi SAW adalah lebih utama seperti:

Artinya: ”Ya Allah, limpahkanlah karunia atas Nabi Muhammad serta keluarga muhammad,sebagaimana telah engkau limpahkan atas Nabi Ibrahim serta keluarga Ibrahim, dan berilah berkah kepada Muhammad serta keluarga Muhammad sebagaimana telah engkau berikan kepada Ibrahim serta keluarga Ibrahim, diantara seluruh penduduk alam, sungguh engkau ya Allah, Maha Terpuji Lagi Maha Mulia”.

(23)

Dan shalawat Nabi ini dibaca setelah takbir kedua sebagai tampak pada lainnya, walaupun tak ada keterangan yang tegas yang menentukan tempat membacanya itu.

6.

Berdoa ini juga merupakan rukun atas kesepakatan para fuqaha, berdasarkan

sabda Rasulullah SAW, yang artinya:”Jika kamu menyembahyangkan jenazah, maka berdoalah untuknya dengan tulus ikhlas!”(Diriwayatkan oleh Abu daud dan Baihaqi, juga oleh Ibnu Hibban yang menyatakan sahnya).

Dan doa itu telah dianggap terlaksana walaupun hanya secara singkat. Tetapi disunnatkan mengucapkan salah satu doa dari doa-doa berikut ini yang berasal dari Nabi SAW.

6.1. Kata Abu Hurairah, ”Rasulullah SAW mengucapkan doa waktu shalat jenazah sebagai berikut :

Artinya: ”Ya Allah, Engkau Tuhannya, engkau yang menciptakannya, Engkau yang menunjukinya menganut islam, dan Engkau pula yang mencabut nyawanya serta Engkau lebih mengetahui batin dan lahirnya. Kami datang sebagai perantara untuk mohon pertolongan baginya, maka ampunilah dosanya”.

6.2. Diterima dari Waila bin Asqa,katanya:”Nabi SAW menyembahyangkan seorang laki-laki Islam bersama kami, maka saya dengar beliau mengucapkan:

(24)

77

Artinya: ”Ya Allah, sesungguhnya si anu anak si anu dalam tanggungan dan ikatan perlindunganMu, maka lindungilah ia dari bencana kubur dan siksa neraka, sungguh Engkau penepat janji dan penegak kebenaran. Ya Allah, ampunilah dia dan kasihanilah dia, karena sesungguhnya engkau Maha Pengampun Lagi Penyayang!”

(Kedua hadist diatas diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud).

6.3. Diterima dari ’Aut bin Malik, katanya, ”Saya dengar Rasulullah SAW bersabda (yakni ketika ia menyembahyangkan jenazah) :

Artinya: ”Ya Allah, ampunilah dia, kasihanilah dia, maafkan dia, selamatkan dia, muliakan dia, lapangkan tempatnya,dan bersihkanlah dia dengan air, air salju dan air embun. Sucikan dia dari dosa sebagai halnya kain yang putih, bila disucikan dari noda. Dan gantilah rumahnya dengan tempat kediaman yang lebih baik, begitupun keluarga serta istrinya

(25)

dengan yang lebih berbakti, serta lindungilah dia dari bencana kubur dan siksa neraka”. (HR. Muslim)

6.4. Diterima dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW menyembahyangkan jenazah, maka sabdanya waktu berdo’a :

Artinya: ”Ya Allah, berilah keampuan bagi kami, baik yang hidup maupun yang mati, yang kecil atau yang besar, laki-laki atau wanita, yang hadir maupun sedang bepergian”.

Ya Allah, siapa-siapa yang Engkau wafatkan, mohon di wafatkan dalam keimana!

Ya Allah, janganlah kami terhalang buat beroleh pahalanya, dan janganlah kami disesatkan sepeninggalnya”. (HR. Ahmad dan Ash-habus Sunan) Dan jika jenazah tersebut seorang anak, disunatkan bagi yang menyembahyangkan mengucapkan do’a :

Artinya: ”Ya Allah, jadikanlah ia bagi kami sebagai titipan, sebagai imbuhan dan simpanan” (HR. Bukhari dan Baihaqi dari ucapan Hasan)

(26)

79

Berkata Nawawi : ”Jika yang meninggal itu seorang anak kecil, laki-laki atau perempuan, cukuplah ia membaca : ”Ya Allah, berilah keampuan bagi kami, baik yang hidup maupun yang mati”, tetapi ditambah dengan :

Artinya: ”Ya Allah, jadikanlah ia sebagi imbuhan bagi kedua orang tuanya, sebagai titipan dan simpanan, menjadi cermin perbandingan dan pemberi syafa’at, dan beratkanlah denan timbangan keduanya, dan limpahkanlah kesabaran atas hati mereka, serta hindarkanlah fitnah dari mereka sepeninggalnya, dan janganlah mereka terhalang buat mendapatkan pahalanya” (HR. Bukhari dan Baihaqi dari ucapan Hasan)

7.

Do’a Setelah Takbir ke -empat

Disunatkan berdo’a setelah takbir ke-empat, walaupun seseorang telah berdoa setelah takbir ke-tiga. Berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah bin Abi Aufa :

Artinya : ”Bahwa putri Abdullah bin Aufa meninggal dunia, maka disembahyangkannya dengan mengucapkan empat kali takbir, kemudian setelah takbir ke-empat ia masih beridiri selama kira-kira antara dua takbir, membaca do’a,

(27)

kemudian katanya : ”Rasulullah SAW biasa melakukan seperti ini terhadap jenazah”.

Berkata Syafi’i setelah takbir ke-empat itu hendaklah membaca :”Allahumma la tahrimula ajrahu wala taftinna ba’dahu (Ya Allah, janganlah kami terhalang buat beroleh pahalanya, dan hindarkanlah fitnah dari kami sepeninggalnya)”.

Dan berkata Abu Hurairah :”Orang-orang dulu setelah takbir ke-empat biasanya membaca : ’Allahumma rabbana atina fid dunya hasanah wafil aakhirati hasanah waqina ’adza ban nar (Ya Allah, Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan juga di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa neraka)”.

8.

Memberi Salam

Para fuqaha sepakat mengatakannya fardhu. Hanya Abu Hanifah yang mengatakan bahwa membaca salam ke sebelah kanan dan kiri itu hukumnya memang wajib tapi tidak merupakan rukun. Alasan mereka mengatakan wajib karena shalat jenazah merupakan salah satu macam shalat, sedangkan untuk mengakhiri sesuatu shalat adalah dengan membaca salam.

Kata Ibnu Mas’ud : Mengucapkan salam waktu shalat jenazah adalah seperti salam waktu shalat biasa, sekurang-kurangnya : ”Assalamu ’alaikum, atau Salamun ’alaikum”.

Tetapi Ahmad berpendapat bahwa membaca satu kali salam itulah Sunnah, yaitu dengan menghadapakan wajah kesebelah kanan, dan boleh juga kearah depan, berpedoman kepada perbuatan Rasulullah SAW dan perbuatan para sahabat. Mereka memberi salam hanya satu kali, dan tak ada kedengaran ketika itu yang membantahnya.

Syafi’i menganggap sunnah dua kali salam, di mulai dari menghadapkan wajah ke sebelah kanan, dan disusul ke sebelah kiri. Berkata Ibnu Hazmin : ” Membaca salam yang kedua merupakan dzikir dan amalan baik”.

= KAIFIAT ATAU TATA CARA SHALAT JENAZAH =

Setelah dipenuhinya semua syarat shalat hendaklah orang yang akan mengerjakan shalat jenazah itu berdiri lurus dan berniat menyembahyangkan jenazah di depannya, lalu mengangkat kedua tangan sambil membaca takbiratul ihram. Kemudian meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri dan mulai membaca Al-Fatihah. Setelah itu membaca takbir lagi dan membaca shalawat nabi, lalu takbir ketiga dan berdo’a untuk jenazah, kemudian takbir ke-empat dan berdo’a lagi. Dan akhirnya memberi salam.

A. TEMPAT BERDIRI IMAM TERHADAP MAYAT PRIA DAN

WANITA

Menurut sunnah hendaklah imam berdiri sejajar dengan kepala jenazah laki-laki, dan sejajar dengan pinggang jenazah perempuan. Berdasarkan hadits dari Anas r.a :

(28)

81

Artinya : ”Bahwa ia – yakni Anas- menyembahyangkan jenazah laki-laki, maka ia berdiri dekat kepalanya”. Setelah jenazah itu diangkat, lalu dibawa jenazah wanita, maka di shalatkannya pula dengan berdiri dekat pinggangnya. Lalu ada orang yang bertanya : ” beginikah cara Rasulullah SAW menyembahyangkan jenazah, yaitu bila laki-laki berdiri di tempat seperti anda berdiri barusan, dan jika wanita juga di tempat yang anda lakukan ?” Benar”, jawab Anas”. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah juga oleh Turmudzi yang menyatakannya sebagai hadits hasan)

B. MENYEMBAHYANGKAN JENAZAH LEBIH DARI SATU

Jika kebtulan ada beberapa mayat, terdiri dari laki-laki atau wanita saja, hendaklah dibariskan satu persatu diantara imam dan kiblat, agar semuanya berada di depan imam. Dan hendaklah yang ditaruh di dekat imam itu yang lebih utama, lalu mereka di shalatkan bersama-sama sekaligus.

(29)

Artinya : ”Bahwa pada suatu kali disembahyangkan sembilan jenazah, terdiri dari laki-laki dan wanita. Maka mayat laki-laki ditaruh dekat Imam dan menghadap kiblat, baru mayat-mayat wanita dibariskan satu persatu. Diantara mayat itu terdapat mayat Ummu Kulsum binta Ali, isteri dari Umar, juga seorang anaknya yang laki-laki bernama Zaid. Yang bertindak sebagai imam pada saat itu adalah Sa’id bin ’Asz, dan diantara ma’mun terdapat Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id, dan Abu Qatadah. Mulanya anak tadi ditaruh dekat imam, Imam menyuruh supaya yang di depannya itu mayat laki-laki.

Ketika saya hendak membantah dan melihat kepada Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id, dan Abu Qatadah sambil menanyakan :”Bagaimana sebenarnya ini ?”

(30)

83

mereka menjawab, Itulah yang menurut sunnah”. (HR. Nasai, dan Baihaqi, dan kata Hafizh isnadnya shahih)

Pada hadits tersebut terdapat petunjuk, bahwa jika mayat anak laki-laki dishalatkan bersama mayat wanita, yang ditaruh dekat imam itu adalah mayat anak-anak, dan berikutnya baru wanita. Dan seandainya berkumpul mayat laki-laki, wanita, dan anak-anak, maka hendaklah mayat anak laki-laki ditaruh setelah deretan mayat laki-laki.

C. SUNAT MEMBENTUK TIGA SHAF, DAN MERATAKANNYA

Disunatkan bagi orang-orang yang menyalatkan jenazah itu membentuk tiga shaf 9 dan berbaris lurus.

9 Masing-masing shaf sekurang-kurangnya terdiri dari dua orang

Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Malik bin Hubairah, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : ”Tidak seorang mu’minpun yang meninggal, kemudian di shalatkan oleh umat Islam yang banyaknya sampai tiga shaf, kecuali akan diampuni dosanya”. – Oleh sebab itu Malik bin Hubairah selalu berusaha membentuk tiga shaf, jika jumlah orang yang shalat jenazah itu tidak banyak”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu MajahJuga oleh Turmudzi yang menyatakannya hasan, serta oleh Hakim yang menyatakannya shahih)

Berkata Ahmad: ”Lebih baik jika jumlah pengikutnya sedikit, maka dapat membagi mereka menjadi tiga shaf”. Mereka bertanya, ”Bagaimana cara

mengaturnya, jika jumlah mereka hanya empat orang ?, maka Ahmad menjawab :” Dijadikan dua shaf saja, masing-masing shaf dua orang, dan makruh bila dibentuk tiga shaf, karena ada shaf yang hanya terdiri dari seorang”.

(31)

D. DISUNATKAN MEMPERBANYAK PENGIKUT

Disunatkan mengumpulkan pengikut shalat jenazah hingga banyak jumlahnya. Diterima oleh ’Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda :

Artinya :”Tidak satu mayatpun yang dishalatkan oleh jama’ah Muslimin yang banyaknya mencapai seratus orang, dan semua mendo’akannya dengan tulus ikhlas, kecuali akan dikabulkan do’a mereka terhadapnya” (HR. Ahmad, Muslim, dan Turmudzi)

Dan diterima dari Ibnu Abbas, bahwa ia mendengan Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : ”Tidak seorang muslimpun yang meninggal lalu ia di shalatkan oleh sebanyak 40 orang laki-laki yang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatupun juga, kecuali ia akan beroleh syafa’at atau tertolong oleh mereka”. (HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Daud)

E. ORANG

YANG

KETINGGALAN

DALAM

SHALAT

JENAZAH

Orang yang ketinggalan membaca takbir dalam shalat jenazah, disunahkan untuk mengqadhanya secara berturut-turut. Menurut Ibnu Umar, Hasan, Alyub Sakhtiyani, dan Auza’i, tidak perlu ia mengqadho takbir yang tertinggal, tetapi terus

(32)

85

memberi salam bersama Imam. Dan berkata Ahmad : ”Jika tidak di qadha, tidak apa-apa”. Telah diriwayatkan dari ’Aisyah :

Artinya : ”Ya Rasulullah, saya ikut menyalatkan jenazah, tetapi kadang-kadang tidak kedengaran olehku takbir, jawab Nabi SAW : ’Jika kedengaran ikutlah takbir, dan jika tidak, maka tidak usah mengqadhanya”.

F. MAYAT YANG DISHALATKAN DAN YANG TIDAK

Para fuqaha telah sepakat bahwa, yang dishalatkan itu adalah mayat seorang muslim, baik laki-laki ataupun wanita, kecil ataupun besar.

G. MENYALATKAN BAYI YANG KEGUGURAN

Janin (bayi) yang gugur yang belum berumur empat bulan dalam kandungan, tidaklah dimandikan dan di shalatkan. Hanya di balut dengan secarik kain, lalu di tanam. Demikianlah pendapat fuqaha.

Jika janin (bayi) tersebut telah berusia empat bulan atau lebih dan menunjukkan ciri-ciri hidup, maka menurut kesepakatan fuqaha, hendaklah dimandikan dan di shalatkan. Seandainya tidak menunjukkan tanda-tanda hidup, maka menurut golongan Hanafi, Malik, Auza’i dan Hasan, tidak lah perlu di shalatkan. Berdasarkan hadits yang di riwayatkan oleh Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Baihaqi dari Jabir bahwa Nabi SAW bersabda :

Artinya : ”Jika bayi yang gugur itu memiliki tanda-tanda hidup, hendaklah di shalatkan, dan ia berhak mendapat warisan”.

H. MENYALATKAN ORANG YANG MATI SYAHID

Syahid ialah orang yang tewas terbunuh dalam peperangan menghadapi orang-orang kafir. Mengenai orang-orang yang mati syahid ini ada beberapa hadits yang menegaskan, tidak di shalatkan :

(33)

Artinya : ”Bahwa Nabi SAW menyuruh memakamkan para syuhada Uhud dengan darah mereka, tanpa dimandikan dan di sembahyangkan”.

Mengenai hadits yang di riwayatkan oleh Jabir bin Abdullah diatas adalah hadits yang syah dan jelas maksudnya. Sebab ayahanda Jabir yaitu Abdullah merupakan salah seorang syuhada pada saat itu, maka tentu saja ia lebih tahu mengenai hal itu dari pada orang lain.

2. Diriwayatkan pula oleh Ahmad, Abu Dud, dan Turmudzi :

Artinya : ” Bahwa para syuhada Uhud tidaklah dimandikan. Mereka ditanamkan berikut dengan darah mereka, dan mereka tidak pula di shalatkan”.

Disamping itu diterima pula hadits-hadits shahih lainnya yang menyatakan bahwa orang yang mati syahid itu di shalatkan :

1. Diriwayatkan oleh Bukhori dari ’Uqbah bin Amir :

Artinya : ”Bahwa pada suatu hari Nabi SAW pergi keluar dan menyembahyangkan korban perang Uhud seperti sembahyangnya jenazah,

(34)

87

setelah berselang masa delapan tahun lamanya. Tak ubahnya ia seperti mengucapkan selamat berpisah, baik bagi yang hidup maupun bagi yang mati”. 2. Diterima dari Abu Malik Al-Ghifari, katanya :

Artinya : ”Para korban Uhud di bawa kehadapan Nabi SAW, sebanyak sembilan orang dan sepuluh dengan Hamzah, lalu di shalatkan oleh Rasulullah SAW. Kesembilan orang tadi diangkat, lalu didatangkan sembilan orang lagi dan di shalatkan oleh Nabi SAW, sedang Hamzah tetap di tempatnya semula. Demikianlah selanjutnya sampai Nabi selesai menyalatkan mereka”.

Dengan berbedanya hadits-hadits yang diterima ini, berbeda pulalah pendapat fuqaha. Diantara mereka ada yang berpegang dengan semua hadits tersebut, dan ada pula yang mengamalkan hadits yang lebih kuat sanadnya.

Ibnu Hamzah termasuk golongan pertama yaitu yang berpegang kepada semua hadits. Maka ia membolehkan kedua hal, apakah akan di shalatkan atau tidak. Pendapat ini menurut suatu riwayat juga merupakan pendapat Ahmad. Dan dianggap benar oleh Ibnul Qayyim. Katanya : ”Yang benar dalam masalah ini ialah seseorang di beri kesempatan untuk memilih, apakah akan menyembahyangkannya atau tidak, karena masing-masingnya mempunyai alasan. Alasan ini pula yang dianut oleh imam Ahmad karena lebih cocok dengan prinsip-prinsip mazhabnya.

I. ORANG YANG LUKA DALAM PEPERANGAN DAN TETAP

HIDUP

Seseorang yangmendapat luka dalam peperangan dan tetap hidup beberapa waktu lamanya, lalu meninggal, maka hendaklah ia dimandikan dan di shalatkan, walau ia masih tetap dianggap sebagai orang yang mati syahid.

Nabi SAW memandikan dan menyalatkan Sa’ad bin Mua’adz yang meninggal akibat kena anak panah ayng memutus urat tangannya. Setelah kena anak panah tersebut, Sa’ad tinggal di masjid, dan tinggal di sana selama beberapa

(35)

hari. Kemudian lukanya terbuka, dan iapun syahid, semoga Allah memberinya rahmat!

Seandainya hidupnya itu hanya beberapa waktu, misalnya ia masih sempat berbicara atau minum, kemudian meninggal, maka tidak dimandikandan tidak di shalatkan.

J.

SHALAT TERHADAP ORANG YANG TEWAS DALAM

MENJALANI HUKUMAN

Barangsiapa yang tewas sewaktu menjalani hukuman, hendaklah di mandikan dan di shalatkan

K.

SHALAT TERHADAP ORANG YANG TEWAS DALAM

MENGGELAPKAN HARTA RAMPASAN, YANG BUNUH

DIRI, DAN ORANG-ORANG DURHAKA LAINNYA

Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang menggelapkan harta rampasan, yang bunuh diri, dan orang-orang durhaka lainnya hendaklah di shalatkan.

Berkata Ibnu Hazim :”Hendaklah di shalatkan setiap orang yang beragama Islam, baik ia seorang yang budiman atau durjana, tewas sewaktu menjalani hukuman, waktu merampok, atau waktu mendurhaka. Demikian juga halnya terhadap orang yang berbuat bid’ah, selama tidak jatuh kepada kufur, juga terhadap orang yang bunuh diri atau membunuh orang lain. Walau ia adalah orang yang paling jelek dimuka bumi ini, namun saat meninggal ia masih dalam keadaan Islam, tidak berikrar/menyatakan keluar dari Islam, maka kita harus tetap berpedoman terhadap sabda Nabi SAW ”Shalatkanlah sahabatmu”, sedangkan setiap muslim itu merupakan sahabat bagi kita.

Maka orang yang melarang menyolatkan seorang muslim, berarti ia telah mengeluarkan ucapan yang berat sekali tanggung-jawabnya. Apalagi orang yang fasik itu lebih memerlukan do’a saudara-saudaranya sesama mu’min, dari pada orang budiman yang di rahamti Allah.

Diterima pula riwayat yang syah bahwa ’Atha’ menyalatkan anak zina, begitupun ibunya yang melakukan perzinahan itu, sepasang orang yang dikutuk, orang yang di hukum pancung, dihukum rajam, orang yang lari dari medan pertempuran lalu di bunuh. Kata ’Atha’ ”Saya tidak meningglakan sholat terhadap orang yang membaca ’La ilaha illal lah”.

Qatadah juga mengatakan :”Sepengetahuanku tak seorangpun ulama yang menghindari shalat terhadap orang yang mengucapakan ’La ilaha illal lah’”. Juga Hasan berkata :”Hendaklah dishalatkan orang yang mengucapakan ’La ilaha illal lah’ dan ia sembahyang menghadap kiblat. Hal itu merupakan syafa’at baginya.”

L. SHALAT TERHADAP ORANG KAFIR

Tidak boleh bagi seorang muslim menyalatkan orang kafir, berdasarkan firman Allah Ta’ala :

(36)

89

Artinya : ”Dan janganlah kamu shalatkan seorangpun diatara mereka yang meninggal buat selama-lamanya! Dan janganlah kamu berdiri di makamnya buat berdo’a. Mereka telah ingkar kepada Allah dan Rasulnya”. (QS. At-Taubah:85)

Artinya : ”Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, Maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun”. (QS.At-Taubah:113-114)

M. SHALAT DI MAKAM

Dibolehkan menyalatkan mayat yang telah dikubur pada sembarang waktu, walau ia telah di shalatkan sebelum di kuburkan. Dari beberapa hadits diatas terlihat bahwa Rasulullah SAW menyalatkan syuhada korban perang Uhud, setelah berselang masa delapan tahun.

Berkata Turmudzi : ”Kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lainnya beramal menurut ini, dan ia juga merupakan pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Dan dalam hadits diriwyatkan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat jenazah di

(37)

makam, setelah jenazah itu di sahalatkan oleh sahabat-sahabatnya, sebelum di makamkan”.

M. SHALAT GHAIB

Boleh melakukan shalat terhadap mayat yang ghaib, yang jenazahnya tidak ada dihadapan kita. Tata cara pelaksanaannya sama dengan shalat jenazah yang telah di bahas sebelumnya. Diriwayatkan oleh jama’ah dari Abu Hurairah, yang artinya : ”Bahwa Nabi SAW mengumumkan mangkatnya Najasyi (raja Habsyi) kepada khalayak ramai pada hari ia wafat, dan pergi bersama mereka menuju lapangan. Maka di bariskannya para sahabatnya, dan di shalatkannya dengan empat kali takbir”.

Berkata Ibnu Hazmin : ”Mayat ghaib itu di shalatkan secara berjama’ah dengan memakai imam. Rasulullah SAW telah menyalatkan Najasyi ra yang mangkat di Habsyi bersama para sahabat yang berdiri bershaf-shaf. Hal ini merupakan ijma’ yang tak dapat diingkari.

= MENGUBURKAN =

A. MEMBAWA JENAZAH KE KUBUR

Sesudah Mayat dimandikan, di kafani, dan di shalatkan, lalu di bawa ke kubur, dipikul pada emapt penjuru. Berjalan membawa jenazah hendaklah dengan segera. Sabda Rasulullah SAW : ”Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata :’Bersegeralah kamu dalam mengurus jenazah, karena jika ia orang saleh, berarti kamu telah mengerjakan kebaikan untuknya; dan jika ia bukan orang saleh, berarti kamu telah meletakkan keburukan dari pundakmu”. (Riwayat Jama’ah)

Berjalan mengantarkan jenazah adalah suatu amal kebaikan. Caranya, sebagaian ulama berpendapat bahwa orang yang mengantarkan jenazah itu sebaiknya berjalan lebih dahulu dari mayat (mazhab Syafi’i); sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat, sebaiknya orang yang mengantar itu berjalan di belakang mayat (mazhab Abu Hanifah). Alasan masing-masing yaitu :

- Sabda Nabi SAW : ”Dari Ibnu Umar, Sesungguhnya ia telah melihat Nabi SAW beserta Abu Bakar dan Umar berjalan di depan jenazah”. (HR. Ahmad)

- Sabda Nabi SAW yang lain : ”Dari Ali ia berkata, ”Berjalan di belakang jenazah lebih baik; sebagaimana shalat berjama’ah lebih baik dari pada shalat seorang diri”. (Hadits ini berisnad hasan, tetapi mauquf, sedangkan hukumnya marfu’)

Tidak boleh mengikuti jenazah dengan perasapan, karena yang demikian itu merupakan perbuatan jahiliyah, yang dicela oleh Islam. Dan apabila seseorang melihat jenazah, hendaklah ia berdiri, meskipun mayat itu bukan orang Islam.

B. MENGUBURKAN MAYAT

Kewajiban yang keempat terhadap mayat ialah menguburkannya. Hukum menguburkan mayat ialah fardhu kifayah atas yang masih hidup. Dalamnya

(38)

91

kuburan sekurang-kurangnya tidak tercium bau busuk mayat itu dari atas kubur dan tidak bisa dibongkar oelh binatang buas. Sebab tujuan menguburkan mayat adalah untuk menjaga kehormatan mayat itu dan menjaga kesehatan orang-orang yang berada di sekitar tempat itu.

Lubang kubur disunatkan memakai lubang lahat jika tanah pekuburan itu keras. Lubang lahat adalah relung di lubang kubur tempat meletakkan mayat, kemudian di tutup dengan papan, bambu atau sebagainya.

Jika tanah pekuburan itu tidak keras, mudah runtuh, seperti tanah yang bercampur dengan pasir, maka lebih baik di buatkan lubang tengah. Lubang tengah adalah lubang kecil di tengah-tengah kubur, kira-kira dapat memuat mayat saja, kemudian di tutup dengan papan atau lainnya.

C. BEBERAPA SUNAT YANG BERKAITAN DENGAN KUBUR

1. Ketika memasukkan mayat ke dalam kubur, disunnahkan menutupi bagian atas dengan kain atau yang lainnya kalau mayat itu perempuan.

2. Kuburan itu disunahkan ditinggikan kirta-kira sejengkal dari tanah biasa, agar bisa diketahui.

Sabda Nabi SAW yang artinya : ”Sesungguhnya Nabi SAW telah meniggikan kuburan anak beliau Ibrahim, kira-kira sejengkal” (HR. Baihaqi) 3. Kuburan lebih baik didatarkan dari pada di munjungkan

Sabda Nabi SAW yang artinya : ”Dari Abu Al-Hayyaj, dari Ali ia berkata,”Aku utus engkau sebagaimana Rasulullah SAW telah mengutusku. Janganlah engkau biarkan arca, tetapi hendaklah engkau robohkan; dan kuburan yang di munjungkan hendaklah engkau datarkan”. (HR. Muslim)

4. Menandai kuburan dengan batu atau yang lainnya disebelah kepalanya 5. Menaruh kerikil (batu-batu kecil) diatas kuburan

6. Meletakkan pelepah yang basah diatas kuburan. Keterangannya yaitu hadits dari Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa Nabi SAW pernah mengerjakan demikian.

7. Menyiram kuburan dengan air

8. Sesudah mayat dikuburkan, orang yang mengantarkannya disunnahkan berhenti sebentar untuk mendo’akannya (memintakan ampun dan minta supaya ia mempunyai keteguhan dalam menjawab pertanyaan malaikat.

D. LARANGAN YANG BERKAITAN DENGAN KUBURAN

1. Menembok kuburan 2. Duduk diatasnya

3. Membuat rumah diatasnya

4. Membuat tulisan-tulisan diatasnya 5. Membuat pekuburan menjadi masjid

Sabda Nabi SAW yang artinya : ”Dari Jabir, ”Rasulullah SAW telah melarang menembok kuburan, duduk diatasnya, dan membuat rumah diatasnya”. (HR. Ahmad dan Muslim)

Pada riwayat Nasai di sebutkan Nabi SAW bersabda yang artinya : ”Dari Abu Hurairah, ”Sesungguhnya Rasulullah SAW telah berkata

(39)

,’Mudah-mudahan Allah membunuh Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka menjadi masjid’” (HR.Bukhari dan Muslim)

E. MEMINDAHKAN MAYAT

Hukum membawa mayat dari negeri tempat meninggalnya untuk di kuburkan di negeri lain, sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya haram, karena di khawatirkan akan merusak kehormatan si mayat. Tetapi sebagian ulama lain berpendapat hal itu tidak ada halangan, asal terjaga dengan baik, karena asal hukum sesuatu adalah harus (boleh), sementara untuk hal ini tidak ada dalil yang mengharamkannya.

F.MEMBONGKAR KUBURAN

Apabila mayat sudah dikubur tidak boleh dibongkar (haram dibongkar) karena hal itu akan merusak kehormatan si mayat kecuali terjadi beberapa hal berikut :

1. Mayat yang di kubur belum di mandikan 2. Mayat yang di kubur belum dikafani 3. Mayat yang di kubur belum di shalatkan

4. Mayat yang di kubur tidak menghadap ke kiblat 5. Dikuburkan di tanah yang dirampas

6. Dikuburkan dengan kain yang di rampas, sedangkan si pemilik minta dikembalikan

7. Jatuh suatu barang yang berharaga kedalam kuburan tersebut

Jika terjadi salah satu dari hal-hal tersebut diatas, maka kuburan boleh di bongkar selama mayat belum membusuk. Sementara membongkar kuburan yang sudah lama, tidak ada halangan asal mayat sudah hancur. Untuk mengetahui berapa lamanya baru hancur, hendaklah ditanyakan kepada yang ahli tentang hal itu, karena keadaan tempat tidak sama, bergantung kepada keadaan tanah ditempat itu, kering atau basah.

Referensi

Dokumen terkait

Fitur yang dimiliki dari website ini yaitu menampilkan barang, menampilkan info seputar perusahaan, form untuk pemesanan, mengelola data barang, mengelola

Beberapa manfaat bersepeda disampaikan oleh Oja et al., (2011), diantaranya adalah : 1) Kegiatan mengayuh pada bersepeda menyebabkan tidak tertekannya lutut oleh karena

Hal ini berarti bahwa persepsi pengguna Perpustakaan Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) terhadap search engine khususnya kualitas penggunaan, informasi dan

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan hal-hal sebagai berikut: 1,) Pelaksanaan supervisi akademik yang dilakukan oleh kepala Sekolah Dasar Negeri di kecamatan

Di Indonesia ada penelitian mengenai perilaku seks pranikah, antara lain penelitian yang dilakukan Pawestri dan Dewi Setyowati (2012) juga melakukan

Sedangkan pada saat perekonomian dianggap terlalu cepat yang ditandai dengan pertumbuhan yang tinggi dan tingkat inflasi yang juga tinggi, maka kebijakan fiskal dan

Tiba-tiba air datang, tiang listrik roboh, mobil juga diserang tsunami, anak-anak, istri dan semua keluargaku hilang karena tsunami (sambil menangis). Saya, saya berusaha

• User menekan tombol OK, dan sistem akan melakukan penyimpanan atribut filter untuk digunakan selanjutnya. Skenario