• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sahabat Senandika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sahabat Senandika"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Sahabat Senandika

Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha

Yayasan Spiritia

Daftar Isi

Tetap Hidup Dengan Tegar 1 Mendanai Pengobatan AIDS 1 Ketidaksanggupan Membiayai

Pengobatan AIDS 2 Kunjungan Lagi di Jakarta dan Makassar 3 Kunjungan ke Bandung 4 Sifilis—Penyamar Pandai 5 Masalah Kesehatan Mental Dialami

oleh 70% Odha 6

Tanya-Jawab 6

Tips untuk Orang dengan HIV No. 14 6

No. 3, Februari 2003

Tetap Hidup Dengan Tegar

Oleh Hertin

Di negara Indonesia ini, stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang teinfeksi HIV beserta kerabatnya masih cukup serius. Ini terbukti masih amat sedikitnya orang-orang dengan HIV/AIDS dan keluarganya yang tampil di depan publik. Syukurlah perkembangan setahun terakhir menunjukkan sudah mulai ada beberapa warga Indonesia yang terinfeksi oleh HIV dan keluarga mereka bersedia muncul.

Strategi untuk lebih banyak melibatkan orang-orang dengan HIV/AIDS beserta kerabat pendukung mereka, terbukti merupakan upaya ampuh untuk memerangi stigma dan

diskriminasi serta menghambat laju penularan HIV ke populasi umum. Seperti yang ada di Gedung Nusantara I DPR pada tanggal 17 – 21 Februari 2003 dipamerkan sejumlah foto-foto Odha yang didedikasikan untuk Almarhumah Suzana Murni. Acara launcing pameran foto ini dibuka oleh Bapak Muhaimin Iskandar selaku wakil ketua DPR DI dan dihadiri juga oleh Bapak Menteri Kesehatan Ahmad Sujudi, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea, Menteri Sosial Bachtiar Chamsah, serta berbagai undangan lain termasuk selebriti. Ternyata reaksi para anggota DPR yang hadir cukup bagus. Mereka mau dan akan mendukung kegiatan Odha yang berhubungan dengan pencegahan dan penyebaran informasi tentang

Mendanai Pengobatan

AIDS

Oleh Chris W. Green

Artikel berikut dipotong dari artikel yang lebih panjang oleh Hans P. Binswinger. Beliau mengetahui dirinya HIV-positif sejak 1986. Pada 1997, Hans mulai memakai terapi antiretroviral. “Pengobatan ini bukan hanya memungkinkan saya bertahan hidup, tetapi tetap bekerja di Bank Dunia,” katanya. “Saya bukti hidup bahwa mengobati AIDS adalah sangat ekonomis; terapi HIV/AIDS yang jelas dan benar. Bila kegiatan ini dilakukan terus menerus dan jangkaunnya lebih luas ke masyarakat, mungkin dalam waktu yang relative singkat, stigma dan diskriminasi terhadap Odha akan berkurang dan Odha akan diterima sebagai mana layaknya manusia biasa di lingkungannya serta seorang Odha tidak

canggung lagi dengan status diagnosanya. Perjuangan kita masih panjang, tidaklah mudah merubah image HIV terhadap masyarakat yang sudah mengakar bahwa HIV adalah penyakit kutukan atau penyakit orang yang tidak bermoral. Hanya dengan pendekatan dan informasi yang benar dan jelas serta

(2)

tersebut membolehkan saya tetap menghasilkan pekerjaan dengan harga beberapa kali lebih besar daripada biaya pengobatan.”

Walaupun artikel ini terbidik pada Afrika, saya rasa semuanya relevan buat kita di Indonesia. Justru, saya sudah dengar semua rintangan dan kekeliruan yang berikut dinyatakan oleh orang di sini. Ini bahan yang baik untuk menghadapinya...

Ketidaksanggupan

Membiayai Pengobatan

AIDS

Mitos dan Kenyataan

Oleh Hans P. Binswinger

Ketidaksanggupan untuk membiayai pengobatan AIDS sangat luas, dan diselimuti oleh serangkaian rintangan dan kekeliruan yang dibayangkan. Coba kita menghadapi alasan itu satu demi satu:

1. Mengobati AIDS tidak ekonomis, karena biaya lebih besar dibandingkan manfaat

dulu, ini mungkin betul secara rata-rata, tetapi pernyataan itu tidak pernah betul untuk semua pasien. Penghasilan para ilmuwan, entrepreneur dan aktivis yang terinfeksi HIV selalu lebih berharga dibandingkan biaya mengobatinya. Tetapi saat ini dengan biaya pengobatan jatuh lebih dari 95 persen, biaya ini menjadi lebih rendah dibandingkan manfaat kehidupan produktif pasien Afrika rata-rata.

2. Pengobatan tidak efektif-biaya (cost-effective) dibandingkan dengan pencegahan

mungkin betul, tetapi memakai efektif-biaya sebagai standar adalah keliru. Standar yang benar, bahkan terkait dengan anggapan ekonomis yang sempit yang mengabaikan kepentingan moral, adalah untuk mengobati semua orang jika harga mengobatinya lebih rendah daripada biaya kemajuan penyakit dan kematian.

3. Efektif-biaya hanya ukuran yang cocok jika kita mempunyai anggaran yang terbatas, dan tidak dapat membiayai semua masalah yang seharusnya. Namun dalam kasus AIDS, anggaran tidak cukup hanya karena orang tidak sanggup membiayai. Jadi orang-orang lebih baik berhenti bermunafik, dan

mengatakan apa maksud mereka sebetulnya : bahwa mereka lebih memilih untuk

membiarkan berjuta-juta orang yang

berharga meninggal dunia daripada membiayai.

4. Jangan mulai pengobatan yang mahal jika kita tidak dapat menjaminkan pengobatan diteruskan pada tahun-tahun berikut

Pendekatan ini yang dianggap peka sebetulnya secara tidak langsung menyatakan bahwa kita ingin memakai standar etis yang belum pernah dipakai di Eropa atau Amerika. Pasien miskin dan bahkan pengguna narkoba di AS memperoleh obat antiretroviral gratis waktu mereka dirawat di rumah sakit, dan tidak seorang pun menanyakan siapa akan membiayainya setelah mereka selesai perawatannya. Tidak seorang dokter pun di Barat akan ragu-ragu mulai insulin untuk seorang pasien diabetes, walaupun pasien tersebut tidak mempunyai asuransi. Pernyataan ini hanya dibikin untuk orang Afrika.

5. Lagi pula, menaksirkan harga masa depan adalah sangat sulit: siapa pun yang membuat taksiran ini dua tahun yang lalu pasti sangat salah karena dia pasti tidak akan

memikirkan penurunan drastis pada harga obat baru-baru ini, kecenderungan yang tampaknya akan diteruskan. Bagaimana pun juga, walaupun pasien di Afrika tidak dapat memperoleh pengobatan setelah lima tahun, mau apa? So what? Sistem kekebalan

tubuhnya sudah sebagian pulih, dan kemungkinan dia sudah memperoleh tambahan lebih dari lima tahun masa hidup selama diobati. Apakah tidak cukup

menambahkan lima tahun lagi yang produktif pada orang sekarat? Beberapa tahun yang lalu, pembedahan untuk kanker yang menambahkan lima tahun pada kehidupan pasien dianggap berhasil. Mengapa standarnya lain untuk AIDS? 6. Terapi antiretroviral di Afrika akan

mengakibatkan penyebarluasan virus yang resistan

Ini sekali lagi standar etis baru. Kekhawatiran ini tidak pernah

menghentikan pengobatan di Eropa atau Amerika, di mana pengobatan juga mengakibatkan resistansi. Beberapa orang mendesak bahwa orang Afrika lebih mungkin tidak patuh pada regimen

(3)

nyata di Afrika tidak mendukung anggapan ini. Satu alasan lagi...

7. AIDS, seperti Kematian Hitam di Abad Pertengahan di Eropa, mempunyai sedikit dampak atau tidak berdampak pada GNP ( Gross National Product ) per kapita

Adalah benar bahwa, waktu Kematian Hitam membunuh berjuta-juta orang di Eropa, gaji sebetulnya naik karena

kekurangan buruh. Tetapi apakah ada yang siap menawarkan ini sebagai alasan untuk tidak melakukan apa-apa untuk pasien pada wabah pes yang baru? Lagi pula,

penghasilan per kapita adalah ukuran yang tidak sangkut paut dalam kasus seperti ini. 8. Untuk menggambarkan ini,

mempertimbangkan sebuah pesta ulang tahun yang mengundang banyak anak. Jika kita membunuh satu anak, setiap anak yang tinggal akan memperoleh potongan kue yang lebih besar. Apakah kita berani bilang bahwa anak itu dalam keadaan lebih baik, dan mengabaikan kesejahteraan si anak yang meninggal? Tidak mungkin. Kita harus berupaya untuk memaksimalkan bukan ukuran potongan kue, tetapi besarnya kue sendiri. Kita harus memaksimalkan bukan GNP per kapita, tetapi GNP sendiri, dengan menyelamatkan orang yang terinfeksi tetapi masih produktif. UNAIDS memikirkan bahwa pada negara dengan prevalensi HIV 20 persen, dampak negatif pada GNP adalah angka yang mengagetkan yaitu 2,6 persen per tahun.

9. Pemerintah-pemerintah tidak mampu pinjam untuk pengobatan AIDS, mereka harus menunggu hibah

Betul? Ambil contoh hipotetis. Tahun lalu, saya pinjam untuk membeli mobil

Mercedes. Tahun ini, putri saya jatuh sakit dengan leukemia. Jika saya enggan pinjam untuk membiayai pencangkokan sumsum tulang untuk dia, apakah Anda tidak akan menyalahkan saya? Apakah Anda akan mengatakan bahwa saya harus menunggu seorang memberi donasi sebelum saya dapat mengobati putri saya? Apakah adalah etis agar pemerintah pinjam untuk pendidikan atau membangun jembatan atau membeli mobil Mercedes, tetapi tidak untuk menyelamatkan jiwa?

10. Jangan mengobati seorang pun di Afrika sebelum kita dapat mengobati semuanya Dalil ini tidak pernah disebut secara terus terang seperti itu. Namum ini ada maksud

Kunjungan Lagi di Jakarta

dan Makassar

Oleh Babe

[Babe pernah melaksanakan kunjungan ke daerah Jakarta sebelumnya pada bulan Desember bersama Andreas. Kunjungan tersebut sudah dimuat di Senadika pada bulan Desember. Dan sekarang Babe melakukan kunjungan lagi bersama Yuni dan Steve Brooker seorang konsultan AusAID]

Pada 18-21 Januari, Yuni dengan saya menemani Steve Brooker, seorang konsultan AusAID untuk perawatan dalam komunitas, pada beberapa kunjungan di daerah Jakarta. Di Dinkes DKI, kami ketemu dengan dr. Aida Fatmi, yang bertanggung jawab untuk kesehatan masyarakat. Kami membahas keadaan di

Kampung Bali, dan dengar bahwa RS Tarakan, yang paling dekat pada daerah yang rawan HIV itu, tidak mau menerima Odha. Dinkes DKI sudah coba menghadapi masalah ini, agar rumah sakit ini mengubah kebijakan, tetapi ini sekali lagi membuktikan bahwa masalah diskriminasi di Jakarta pun belum diberantas, apa lagi di daerah. Kami akan bekerja sama dengan Dinkes dan pihak lain dalam upaya untuk meluruskan masalah ini.

Kami juga mengunjungi Basecamp Pelita Ilmu di Kampung Bali. Mungkin teman-teman sudah

dalam banyak pernyataan, misalnya: “Orang Afrika tidak memperoleh air minum yang bersih, buta huruf, tidak tahu waktu, tidak dapat menjangaku dokter atau fasilitas tes. Bagaimana kita dapat

mengharapkan orang seperti itu mengikuti regimen terapi yang rumit?” Masalah dengan penyamarataan yang luas seperti itu adalah bahwa di setiap negara Afrika sedikitnya seperlima penduduk melek huruf, dan memperoleh air bersih dan fasilitas kesehatan. Bagaimana kita dapat menolak pengobatan buat mereka karena secara umum orang Afrika tidak dapat memperoleh fasilitas tersebut? Seperlima orang yang HIV-positif di Afrika berarti lima sampai tujuh juta jiwa. Alasannya apa dapat dijaukan untuk tidak mengobatinya?

Satu jiwa adalah satu jiwa adalah satu jiwa. Mari kita mulai menyelamatkan jiwa satu demi satu. Kemudian sepuluh demi sepuluh.

(4)

dengar bahwa sejak ada program Pelita Ilmu di beberapa kecamatan disekitar Kampung Bali, 119 pengguna narkoba suntikan sudah dites HIV, dan ternyata 115 positif. Dr. Bambang Eka, yang dulu di puskesmas Kampung Bali, dan teman-teman dari Pelita Ilmu sudah berupaya untuk menghadapi masalah ini, dengan melibatkan beberapa pengguna narkoba di daerah itu sebagai petugas outreach dan pendidik sebaya. Namun ada masalah karena mereka sering sakit dengan infeksi oportunistik. Agar upaya ini dapat diteruskan secara efektif, kita harus berjuang agar aktivis itu diberi kesempatan untuk memperoleh terapi antiretroviral.

Kami juga mengunjungi kembali RS Penyakit Infeksi di Sunter. Kami dengar bahwa RS ini merawat semakin banyak Odha, 64 pada 2002. Namun pihak rumah sakit bingung apa yang mereka dapat melakukan untuk mendukung pasien itu waktu habis dirawat. Kelihatan kami di Spiritia harus ambil peranan untuk

membantu Odhanya membentuk kelompok dukungan sebaya. Yuni akan menindaklanjuti ini.

Habis dari RS Infeksi, kami ke klinik PKBI baru di Jatinegara, khusus untuk waria, untuk ketemu dengan Dr. Maya. Klinik ini baru buka (sebetulnya waktu itu belum buka resmi), tetapi sudah menjadi tempat dukungan yang cukup penting. Mungkin teman-teman sudah tahu bahwa, pada survei yang dilakukan dengan bantuan ASA beberap bulan yang lalu, sekitar 60 waria dari 250 yang dites ternyata HIV-positif, walaupun hanya sedikit di antaranya mengambil hasil dan mengetahui statusnya. Spiritia diminta memberi bantuan agar mereka dapat mulai membentuk kelompok dukungan sebaya juga. Untuk ini, kami harap kami dapat dibantu oleh Tuti, yang dulu bekerja di BaliPlus, tetapi sekarang sudah pindah ke Jakarta.

Kunjungan ini sekali lagi mengingatkan kami bahwa kami tidak boleh melupakan Jakarta; kebutuhan teman-teman Odha di sini tidak kalah parah dibanding dengan mereka di kota lain, dan jumlahnya cukup tinggi.

Pada 21 Januari, kita bertiga (Steve, Yuni sama saya) berangkat ke Makassar untuk kunjungan yang cukup padat selama tiga hari/empat malam di sana. Sebagian dari kunjungan agak resmi, termasuk pertemuan dengan KPAD Provinsi Sulsel dan Kota Makassar, dengan Sekretaris Daerah Sulsel, dan dengan Komisi E DPRD Sulsel. Tujuan utama kami dalam pertemuan tersebut adalah untuk membahas masalah

perawatan dan dukungan untuk Odha, termasuk ketersediaan dana untuk terapi antiretroviral. Tampaknya Bapak Sekda menarik dengan itu, dan ada harapan mungkin beliau siap mendukung bantuan untuk dua atau tiga Odha. Namun ini harus ditindaklanjuti oleh teman-teman di Makassar.

Sayangnya, pertemuan dengan Komisi E ‘dibajak’ dengan beberapa topik terkait

pencegahan, seperti jumlah PS di Makassar, dan beberapa masalah lain yang tidak ada kaitan dengan Odha. Kasihan beberapa teman Odha dari Makassar yang hadir, dan ada harapan akan terlibat dalam diskusi. Pelajaran kita adalah bahwa jika pertemuan seperti itu akan dilaksanakan, harus dibentuk strategi dan penyamaan persepsi dengan semua peserta dari LSM sebelum pertemuannya, dan tujuan harus jelas pada semua peserta.

Selain pertemuan ‘resmi’, kami juga

mengunjungi RS Labuan Baji dan Wahidi, tetapi sekali lagi hasilnya tidak begitu jelas. Lebih baik adalah pembahasan dengan beberap dokter, termasuk Dr. Dali Amiruddin, dan Dr. Alimin Maidin, serta Dr. Caroline dari Pare-pare yang datang secara khusus untuk ngobrol dengan kami.

Mungkin yang lebih penting adalah kesempatan buat kami untuk kenal dengan teman-teman baru, termasuk kunjungan pada suatu malam ke Taman Karabosi.

Kami sebetulnya semakin prihatin atas keadaan teman-teman waria di Makassar. Kami dengar bahwa semakin banyak dalam keadaan sakit dan meninggal. Walaupun ada banyak hambatan, kami semua harus cari cara untuk menghadapi masalah ini, agar sedikitnya mereka yang sakit dapat dirawat dan didukung. Kami juga harus berjuang supaya terapi antiretroviral dapat mulai tersedia untuk teman-teman yang membutuhkannya.

Kunjungan ke Bandung

Oleh Babe

( Sebelumnya Babe juga pernah melaksanakan kunjungan bersama Oki dan Susan )

(5)

Lagi pula, proyek tersebut akan lebih

mengutamakan perawatan dan dukungan untuk Odha.

Sebagian besar pertemuan kami di Bandung adalah dengan organisasi ‘resmi’. Kami pertama ketemu dengan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Jawa Barat, lalu dengan Kepala Dinas Keshatan (kadinkes) Jabar, dan setelah itu dengan Komisi E DPRD provinsi. Pada semua forum itu, kami menawarkan harapan agar pemerintah daerah dapat menyediakan dana agar sepuluh Odha di Jabar diberi terapi

antiretroviral. Dalam hal ini, Mbak Yuni sangat mempengaruhi para hadirin, dengan

menceritakan bagaimana dia mulai memakai terapi tersebut, dan pengalamannya sejak mulai memakainya. Sepertinya kami berhasil, dengan semua pihak menarik dengan penawaran tersebut. Kadinkes sendiri kelihatan sangat antusias. Sekarang diperlu tindak lanjut oleh teman-teman di Bandung, agar harapan ini dinyatakan.

Kami juga mengunjungi dua rumah sakit, yaitu RS Hasan Sadikin dan RS Borromeus. Dua-duanya siap menerima Odha, walaupun Borromeus ada kebijakan bahwa semua pengguna narkoba wajib dites HIV waktu masuk, sadar atau tidak sadar. Sepertinya kebijakan ini berdasarkan kesalahpahaman tentang penggunaan kewaspadaan universal, atau mungkin ketidaksanggupan untuk menyediakan dana yang dibutuhkan agar kewaspadaan universal dapat dipakai untuk secara universal. Di RS Hasan Sadikin, kami dengan ada keragu-raguan dengan kebijakan pemerintah yang mengharuskan persetujuan oleh yang bersangkutan (informed consent) sebelum pasien dapat dites HIV. Sepertinya diperlu advokasi lebih lanjut tentang masalah ini.

Kami sedikit kecewa karena baru berhasil ketemu dengan Odha dari Bandung pada malam terakhir kunjugan kita, di Rumah Cemara. Namum yang menyenangkan, akhirnya kami dapat makan malam ramai-ramai dengan lima teman, dan berhasil meluaskan jaringan Spiritia di Bandung.

Pada hari terakhir, Franklin mengurus pertemuan dengan wakil dari beberapa LSM di kantor Yayasan Priangan. Di situ, ada diskusi yang cukup menarik tentang apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan layanan untuk Odha di Bandung.

Sifilis—Penyamar Pandai

Oleh Sean R. Hosein, 19 Desember 2002

Laporan dari Kongres Internasional tentang Terapi Obat untuk Infeksi HIV ke-6, 17-21 November 2002, Glasgow, Skotlandia

Menurut dokter di Glascow, Skotlandia, sifilis dapat lebih agresif pada orang HIV-positif dibandingkan orang HIV-negatif. Kesulitan diagnosis sifilis adalah karena penyakit ini dapat menirukan gejala banyak penyakti lain.

Para dokter di Gartnavel General Hospital di Glasgow baru-baru ini melaporkan kasus sifilis yang luar biasa pada seorang lelaki HIV-positif. Dia berusia 53 tahun dan mencari bantuan medis setelah mengalami gejala batuk, sesak napas, ruam pada tangan, belakang, tapak kaki dan penis, rasa sakit pada sendinya, dan diare, semuanya pada jangka waktu lima minggu.

Karena gejala tersebut, dia sudah berhenti memakai obat antiretroviral dan

kotrimoksazolnya dua minggu sebelum mengunjungi rumah sakit. Kadar CD4-nya 882 dan viral load 8.500 tiruan. Hasil dari x-ray dada mengesankan infeksi paru. Contoh darah diambil untuk dianalisis.

Akibat lamanya gejala dan hasil x-ray dada, para dokter merespkan antibiotik intravena, kefotaksim. Kondisinya tidak membaik. Jadi antibiotik lain, kotrimoksazol, juga diberi secara intravena, tetapi ini juga tidak begitu

berdampak. Lima hari setelah masuk rumah sakit, hasil tes darah tersedia, dan itu

mengesankan sifilis. Pengobatan diganti dengan penisilin G intravena (benzilpenisilin), dan sebagaimana dia membaik, ini diganti dengan suntikan pada otot dengan Procaine penisilin G (Jenacillin). Dokternya mengingatkan bahwa pada Odha dengan pneumonia bersama dengan ruam yang mengesankan sifilis, dokter

seharusnya curiga sifilis sebagai penyebab pneumonia.

Referensi: Currie A, Bodasing N, Winter A, et al. Secondary syphilis with possible respiratory involvement in an HIV-positive patient. Sixth International Congress on Drug Therapy in HIV Infection, 17-21 November 2002, Glasgow. Poster 257.

URL: http://www.catie.ca/aidsinfo.nsf/

(6)

Sahabat Senandika

Diterbitkan sekali sebulan oleh

Yayasan Spiritia

dengan dukungan

T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD FOU N D FOU N D FOU N D FOU N D

FOU N DAAAAAT I ONT I ONT I ONT I ONT I ON

Kantor Redaksi: Jl Radio IV/10 Kebayoran Baru Jakarta 12130

Telp: (021) 7279 7007 Fax: (021) 726-9521

E-mail: yayasan_spiritia@yahoo.com Editor:

Hertin Setyowati

Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon). Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar

untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.

Tips untuk Orang dengan

HIV No. 14

Perempuan dengan HIV lebih rentan terhadap kanker leher rahim. Semakin dini kanker ini didiagnosis, semakin mudah diobati. Diagnosis dilakukan dengan tes yang disebut Pap Smear. Tes ini biasanya dipakai untuk memeriksakan leher rahim perempuan. Kain penyeka diraba-raba pada daerah yang ingin diperiksa, untuk memungut beberapa sel. Sel ini dilumuri pada kaca dan diperiksa dengan mikroskop. Agar kanker ini diketahui secara dini, tes Pap ini sebaiknya dilaksanakan setiap tahun.

Orang yang berhubungan seks melalui dubur juga rentan terhadap kanker dalam dubur. Tes ini juga dapat dipakai untuk memeriksa dubur laki-laki dan perempuan. Mungkin tes ini paling penting buat waria.

Masalah Kesehatan Mental

Dialami oleh 70% Odha

Oleh Michael Carter, 25 Oktober

2002

Depresi dan kegelisahan dialami oleh sebagian yang sangat besar orang yang hidup dengan HIV. Ini menurut penelitian yang dilaksanakan oleh International Association of Physicians in AIDS Care.

Penelitian ini, yang dikajikan pada pertemuan tahunan Infectious Diseases Society of America pada 25 Oktober meliputi 130 dokter yang terlibat dalam pemberian pengobatan HIV, serta 235 Odha. Lebih dari 84 persen dokter yang disurvei mengatakan bahwa pasien HIV-positifnya ‘sering atau sangat sering’ mengalami gejala depresi, dan 81 persen dokter menyatakan pasiennya menunjukkan gejala kegelisahan. Menurut dokter itu, lebih dari 71 persen pasiennya mengalami sakit kepala, kelesuan dan/atau insomnia.

Depresi, kegelisahan dan masalah tidur sering dilaporkan oleh Odha. 72 persen mengatakan mereka mengalami depresi, 65 persen

mengalami kegelisahan, 48 persen insomnia. Tambahan, 43 persen mempunyai gejala kelesuan dan 40 persen melaporkan kesulitan untuk memusatkan pikiran dan suasana hati yang berubah-ubah.

Sebagian sangat besar dokter menghubungkan masalah psikiatris pasiennya dengan efek pengobatannya, dengan 84 persen mengatakan bahwa mereka menganggap HAART (terapi antiretroviral yang sangat manjur) mempunyai peranan dalam depresi, kegelisahan dan masalah kesehatan mental lain. Obat antidepresi

diresepkan oleh 80 persen dokter dan 56 persen mengatakan mereka siap mengubah pengobatan pasiennya jika pengobatan tersebut diketahui mengakibatkan gangguan psikiatris. Dokter yang menghadiri konferensi didesak untuk memadukan pemantauan dan pengobatan untuk kesehatan mental pada perawatan rutin untuk Odha.

http://www.aidsmap.com/news/newsdisplay2.asp?newsId=1717

Tanya-Jawab

Variasi Kadar CD4

T: Kadar CD4 saya “naik-turun”. Bagaimana saya menafsirkan jumlah CD4 ini?

J: Kadar CD4 seringkali “naik-turun” karena cara mengukurnya tidak tidak begitu tepat. Lagi pula, kadar CD4 bisa berubah karena pengaruh waktu (jadi contoh darah sebaiknya diambil pada waktu yang sama). Kadar CD4 juga akan

Referensi

Dokumen terkait

Apabila kenyatan pertama yang terjadi, berarti mereka masih berada dalam satu masyarakat tutur (speech community). Jika kenyataan kedua yang terjadi, maka mereka

Berdasarkan hasil analisis ROI (Return On Investment) menunjukkan bahwa setiap Rp 1,00 aktiva menjadi laba bervariatif pada tahun 2012 ke tahun 2013 angka rasio

 NO PEMBINAAN ASPEK MATERI TUJUAN DAN INDIKATOR STRATEGI/ SKENARIO SUMBER PENILAIAN DAN RENANA.. PEMBINAAN SASARAN KEBERHASILAN METODE PEMBINAAN DAYA INSTRUMEN TINDAK   LANJUT 1

Bütün bu gelişmelerin ortaya çıkardığı kitap ve risâlelerde düşmanı öldürmek, malını mülkünü yok etmek, servet ele geçirmek, birinin

Sehingga pola kemitraan yang digunakan antara LPMD dengan Kepala Desa dapat saling memberikan manfaat lebih, sehingga akan mencapai tujuan secara lebih optimal karena antara

Jika di lembaga pendidikan, guru mengembangkan pendekatan brain based learning seperti ini, maka akan dapat dipredikasi semua peserta didik akan belajar dengan

Banyaknya penetian terdahulu terkait peramalan jumlah kasus TB [1] [6] [7] [8] [9], mendorong peneliti untuk mengusulkan tugas akhir dengan topik peramalan jumlah penderita TB

Dari analisis kedua metode multiatribut seismik diperoleh hasil bahwa metode PNN memberikan estimasi nilai porositas yang lebih baik dengan korelasi 0,920 dan validasi 0,682