• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Dalam perancangan penelitian tentunya penulis juga memerlukan teori-teori yang menjadi landasan atau acuan dalam penelitian ini. Oleh karena itu berikut ini merupakan landasan teori yang penulis gunakan dalam melaksanaan penelitian ini.

2.1.1 Dynamic Capability

2.1.1.1 Pengertian Dynamic Capability

Dynamic capability atau kemampuan dinamis perusahaan adalah kapasitasnya untuk mengintegrasikan, mengembangkan, dan mengkonfigurasi keterampilan internal dan eksternal untuk menanggapi perubahan lingkungan yang cepat. (Teece 1997). Dengan kata lain, kemampuan dinamis menunjukkan kapasitas organisasi untuk mendapatkan keunggulan kompetitif melalui inovasi. Akan tetapi Teece memodifikasi definisinya terkait kapabilitas dinamik dalam Augier dan Teece (2009) yang manyatakan bahwa keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dapat dicapai dengan memiliki kemampuan dinamis untuk mengenali (sense), merebut (seize), mengkonfigurasi ulang (reconfigure), dan melindungi aset pengetahuan dan kompetensi serta aset pelengkap.

Kata "kapabilitas" menyoroti peran penting yang dimainkan manajemen strategis dalam mengintegrasikanj, mengadaptasi, dan mengkonfigurasi ulang sumber daya organisasi, kompetensi fungsional, dan kemampuan yang diperlukan dalam menanggapi perubahan kondisi lingkungan. Kata "dinamik"

mengacu pada kapasitas untuk memperbarui keterampilan dengan solusi inventif yang jelas untuk beradaptasi dengan lingkungan bisnis yang bergeser pada saat masuk ke pasar penting, laju kemajuan teknologi yang cepat, dan sifat tak terduga dari kondisi pasar di masa depan (Teece et al., 2997).

Hao et al (2010) mencoba menjabarkan lebih rinci penjelasan Teece di aatas dengan menjelaskan bahwa kapabilitas dinamik disusun dari empat

(2)

komponen, yaitu:

1. Kapabilitas penginderaan lingkungan

Kemampuan untuk memahami secara mendalam arah peluang pengembangan pasar. Manajer puncak dan profesional teknis. Bisnis perlu menyelidiki bagaimana hukum dipahami di sektor industri, mengambil tindakan yang tepat, dan mengikuti tren yang muncul.

2. Kapabilitas yang diubah dan diperbarui

Kapasitas untuk mengintegrasikan sumber daya manusia, sementara keterampilan dinamis juga mencakup kemampuan untuk mengintegrasikan, berinovasi, dan memperbarui prosedur operasional selain mengembangkan, mengkonfigurasi, dan mengintegrasikan sumber daya.

3. Kapabilitas fleksibilitas teknologi

Sangat penting untuk diingat bahwa untuk mengikuti tren yang berubah dalam produk dan layanan, teknologi yang saat ini digunakan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Kemampuan versi teknologi sebelumnya memainkan peran penting dalam kemampuan untuk bersaing di tingkat tertinggi.

4. Kapabilitas fleksibilitas organisasional

Kompetensi ini berkaitan dengan karakteristik struktur organisasi yang menekankan pada konfigurasi tugas, arus informasi, dan prosedur otoritas pengambilan keputusan.

Kapasitas dinamis dapat memungkinkan dan membatasi kapasitas perusahaan untuk perubahan karena harus dikembangkan melalui pengalaman daripada diperoleh melalui transaksi pasar (Teece et al., 1997). Selain itu, pengalaman dipisahkan menjadi dua kategori yaitu pengalaman statis (static experience) dan pengalaman transformasional (transformational experience).

Sementara mengembangkan struktur, posisi, dan strategi saat ini menghasilkan

(3)

pengalaman statis, mengubah karakteristik yang disebutkan di atas menghasilkan pengalaman transformasional. (King dan Tucci, 2002).

2.1.2 Toxic Leadership

2.1.2.1 Pengertian Toxic Leadership

Salah satu penentu utama budaya organisasi dan komitmen karyawan adalah kepemimpinan (Widyanti & Basuki, 2020; Widyanti et al., 2020).

Kepemimpinan yang baik akan memberikan dampak positif terhadap organisasi, akan tetapi kepemimpinan yang buruk dapat memberikan dampak negatif terhadap organisasi. Terlepas dari jenis organisasinya, pemimpin dengan perilaku destruktif memperburuk kinerja organisasi memberikan dampak negatif terhadap kesehatan mental karyawan (Erickson et al., 2015;

Nyberg et al., 2011; Shaw et al., 2014; Woestman dan Wasonga, 2015).

Kepemimpinan destruktif bukan satu-satunya istilah yang digunakan untuk menggambarkan pemimpin dengan perilaku menyimpang. Beberapa bentuk kepemimpinan destruktif juga menimbulkan kekhawatiran baik dari para peneliti maupun praktisi. Para peneliti telah menggunakan banyak istilah untuk menggambarkan perilaku destruktif seorang pemimpin seperti Toxic Leadership (Pelletier, 2010), abusive supervision atau abusive supervisory behaviours (Tepper, 2000), supervisor incivility (Johnson dan Indvik, 2001), dan the dark side of leadership (Mathieu et al., 2014).

Tidak seperti bentuk kepemimpinan destruktif dan disfungsional lainnya, Toxic Leadership terlihat lebih inklusif dalam hal jenis perilaku dan efek destruktifnya (MacLennan, 2017; Mehta dan Maheshwari, 2013; Singh et al., 2017; Yi Chua et al., 2015). Mehta dan Maheshwari (2013) menemukan bahwa yang dimaksud dalam Toxic Leadership tersebut termasuk kekerasan, mempromosikan ketidakadilan, dan kurangnya integritas. Lipman dan Blumen (2008) dan Mehta dan Maheshwari (2013) menyatakan bahwa Toxic Leadership dapat menyebabkan efek destruktif pada kesehatan mental dan kinerja karyawan serta melemahkan kinerja organisasi. Perilaku Toxic Leadership dapat muncul dari posisi kepemimpinan tingkat tertinggi

(4)

(misalnya direktur) hingga ke posisi kepemimpinan tingkat terendah (misalnya supervisor).

Menurut Pelletier (2010), terdapat delapan dimensi dalam Toxic Leadership yaitu (1) Menyerang/merendahkan harga diri pengikut/karyawan.

(2) Kurangnya integritas, menipu dan menyalahkan orang lain atas kesalahan pemimpin dan melanggar aturan untuk mencapai tujuan. (3) Mengancam pekerjaan dan/atau keamanan pribadi karyawan. (4) Mengecualikan individu dari fungsi sosial. (5) Memberi tahu karyawan bahwa dia bukan anggota tim.

(6) Menunjukkan pilih kasih atau tidak adil. (7) Mengancam, menggunakan tindakan fisik, memaksa karyawan untuk menanggung kesulitan. (8) Kegagalan untuk mendengarkan atau bertindak atas kekhawatiran karyawan, tidak menerima perbedaan pendapat, mengkritik karyawan ketika mereka berbicara

2.1.2.2 Dampak Toxic Leadership

Penelitian yang berhubungan dengan Toxic Leadership dengan variabel terkait pekerjaan lainnya menunjukkan berbagai efek buruk dari Toxic Leadership seperti rendahnya komitmen organisasi, rendahnya kepuasan kerja dan adanya niat berpindah di antara karyawan atau turnover intention (Steele, 2011; Mehta, 2013). Gangguan emosional, perilaku anti-sosial, penurunan kinerja pada karyawan dan tim dapat menjadi konsekuensi dari Toxic Leadership (Omar, 2017; Wilson dan Stark, 2003). Beberapa peneliti menyatakan bahwa Toxic Leadership memiliki dampak yang merugikan bagi kinerja karyawan (Behery et al., 2018; Mehta dan Maheshwari, 2013; Zaabi et al., 2018). Toxic leadership berpotensi menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan destruktif (Mehta dan Maheshwari, 2013). Segala bentuk perilaku buruk yang muncul dari pemimpin termasuk toxic behaviour akan memicu munculnya perilaku kontraproduktif. Di bawah tekanan situasi stres serta kurangnya sumber daya yang diperlukan, karyawan dapat membalas tindakan pemimpin mereka dengan menampilkan perilaku kontraproduktif

(5)

(Kim dan Shapiro, 2008; Lian et al., 2014)

2.1.2.3 Macam-macam Toxic Leader

Toxic leader tidak semuanya sama. Kusy dan Holloway (2009) memaparkan perilaku Toxic Leadership menjadi tiga jenis: (a) Mempermalukan; (b) Memusuhi; dan (c) Sabotase tim. Misalnya, dalam sebuah studi tentang Toxic Leadership di Angkatan Darat AS, Williams (2005) mengidentifikasi 18 jenis toxic leader yang berbeda, bersama dengan pasangan 18 karakteristik pribadi yang berbeda. Tabel 2.1 di bawah ini menggambarkan hasil dari penelitian Williams.

Tabel 2.1

Karakteristik Pribadi dan Jenis Toxic Leader dan oleh Williams Karakteristik Pribadi Tipe Toxic Leader

Tidak kompeten Pemimpin absen

Tidak berfungsi Pemimpin yang tidak kompeten Tidak bisa menyesuaikan diri Pemimpin yang kodependent Merasa tidak mampu Pemimpin pasif-agresif Cenderung memberontak Pemimpin yang sibuk Tidak bertanggung jawab Pemimpin paranoid

Tidak bermoral Pemimpin yang kaku

Pengecut Pemimpin yang suka mengendalikan

Ambisi yang tidak terpenuhi Pemimpin yang kompulsif

Egotisme Pemimpin tanpa pengendalian diri

Arogansi Pemimpin yang menegakkan

peraturan

Egois Pemimpin narsis

(6)

Ketamakan dan keserakahan Pemimpin yang tidak berperasaan Kurangnya integritas Petarung jalanan

Penipu Pemimpin korup

Dengki Pemimpin picik

Jahat Pemimpin bully

Penyalahgunaan Jabatan Pemimpin jahat Sumber: Williams (2005)

Bardasarkan 2 daftar yang diteliti Williams pada tabel di atas, daftar pertama di sebelah kiri merupakan karakteristik pribadi dan daftar kedua di sebelah kanan merupakan jenis toxic leader, item-item pada kedua daftar tersebut terlihat seperti bukan dari daftar yang terpisah. Dalam setiap daftar di atas, beberapa item tampak serupa atau berhubungan.

2.1.2.4 Indikator Toxic Leadership

Dalam penelitian yang dilakukan James E. Green (2014) tentang Toxic Leadership in educational organization, beliau memaparkan bahwa terdapat empat tema yang dapat menjadi indikator Toxic Leadership yaitu Egotism (egotisme), Ethical failure (kegagalan etika), Incompetence (tidak kompeten) dan Neuroticism (neurotisisme).

1. Egotism (egotisme)

Dalam penelitian tersebut, partisipan mengutarakan pandangan mereka bahwa toxic leader itu pastinya egois. Ketika diminta untuk menggambarkan toxic leader dalam satu kata, mereka sering menggambarkannya menggunakan kata "egois", "prima donna" dan

"sombong”. Partisipan juga mencatat bahwa egoisme toxic leader dapat mengarah kepada bullying.

2. Ethical failure (kegagalan etika)

(7)

Terlalu sibuk dengan diri sendiri tampaknya dapat mengarah pada penyimpangan etika. Masalah kegagalan etika selalu muncul dari pendapat partisipan. Kegagalan etika yang paling sering terjadi adalah berbohong. Tentu berbohong merupakan salah satu indikasi pertama bahwa seseorang berurusan dengan Toxic Leadership. Kebohongan yang dilakukan baik secara spontan atau telah direncanakan tersebut menunjukkan "pengabaian fakta untuk menyesuaikan dengan tujuannya,"

para toxic leader melihat integritas mereka menurun di mata bawahan mereka dengan berbohong. Selain berbohong, bidang lain yang termasuk dalam kegagalan etis adalah penyalahgunaan kekuasaan terutama pada bagian personalia. Insiden yang dilaporkan oleh partisipan termasuk atas penyalahgunaan kekuasaan serperti mempekerjakan karyawan favorit pribadi pada bidang tertentu tanpa berdasarkan seleksi kompetensi serta menggunakan proses evaluasi atau promosi/jabatan untuk menghukum mereka yang tidak disukai. Penyalahgunaan kekuasaan juga dapat berupa penyalahgunaan dana atau harta benda organisasi yang biasanya berbentuk perjalanan kerja yang berlebihan atau kegemaran akan makanan mewah saat menjamu. Yang terakhir terkait dengan tema kegagalan etika dan juga masih terkait dengan tema egoisme, para toxic leader tampaknya cenderung menghindari tanggung jawab mereka sendiri dengan menyalahkan orang lain setiap kali terjadi kesalahan.

3. Incompetence (tidak kompeten)

"Tidak kompeten" sering dikutip oleh partisipan ketika mereka diminta untuk menggambarkan orang yang mereka anggap sebagai toxic leader.

Namun, tidak ada partisipan yang menyebutkan kompeten dalam arti pengetahuan profesional. Sebaliknya, mereka mengacu pada keterampilan manajerial. Katz (1955) berpendapat bahwa keterampilan kepemimpinan terdiri dari tiga jenis yaitu teknis, manusia, dan konseptual. Beliau menyebutkan bahwa semakin tinggi seseorang menaiki tangga manajerial maka semakin penting untuk memiliki

(8)

keterampilan konseptual, seperti pemikiran sistem (Senge, 1990)) dan perencanaan strategis. Namun menurut Katz, keterampilan hubungan manusia atau human relation skill adalah pusat dari fungsi kepemimpinan.

Dalam penelitian tersebut, para toxic leader yang digambarkan oleh para peserta dianggap sangat tidak kompeten dalam keterampilan hubungan manusia atau human relation. Kata-kata seperti "diktator" dan "tidak pengertian" sering juga sering digunakan dalam penggambarannya.

Selain itu, keterampilan mendengarkan yang buruk terbukti menjadi pola yang dimiliki toxic leader. Para toxic leader ini kerap bersikeras untuk mendominasi percakapan atau pertemuan dengan melakukan komunikasi yang bersifat satu arah (top-down). Mereka juga dipandang tidak peka atau setidaknya tidak menyadari perasaan orang lain, serta tidak menyadari bagaimana perubahan suasana hati mereka memengaruhi orang lain. Para toxic leader ini menunjukkan ketidakmampuan atau keengganan untuk mengatur emosi mereka sendiri sehingga dipandang oleh bawahan mereka tidak kompeten dalam membaca emosi orang lain.

4. Neuroticism (neurotisisme)

Tema terakhir yang ada pada data penelitian James adalah neurotisisme.

Partisipan mengungkapkan bahwa toxic leader hanya berfokus pada peningkatan diri mereka sendiri seperti selalu harus menjadi pusat perhatian maupun selalu melakukan percakapan yang berkaitan dengan pencapaian atau kelebihan dirinya. Ada juga yang mengungkapkan bahwa toxic leader tidak mementingkan ide atau pendapat orang lain.

Partisipan lain juga ada yang menggambarkan seorang supervisor sebagai sosiopat, bipolar dan paranoid. Kurangnya transparansi juga merupakan pola yang menunjukkan bahwa toxic leader mengalami kesulitan untuk membentuk hubungan saling percaya dengan orang lain

(9)

2.1.3 Workplace Incivility

2.1.3.1 Pengertian Workplace Incivility

Menurut Anderson & Pearson (1999), Workplace Incivility adalah suatu bentuk penyimpangan ringan yang dilakukan di lingkungan kerja yang bertujuan untuk menakuti atau mengganggu target dengan menggunakan tindakan verbal maupun nonverbal yang kurang baik atau tidak sopan.

Workplace Incivility atau ketidaksopanan di tempat kerja merupakan kebalikan dari workplace civility yaitu perilaku saling menghormati dan menjaga norma-norma yang berlaku di tempat kerja. Perilaku ketidaksopanan yang paling sering terjadi di tempat kerja yaitu perilaku penyampaian pendapat dengan merendahkan atau mengejek rekan kerja, tidak memperdulikan pendapat rekan kerja dan mengabaikan rekan kerja (Cortina et al., 2001). Ketidaksopanan yang dilakukan oleh rekan kerja dapat menimbulkan ketidaknyamanan di lingkungan kerja, selain itu perilaku demikian juga dapat mempengaruhi mental, emosional serta interaksi sosial rekan kerja lainnya yang menimbulkan masalah pekerjaan lainnya.

2.1.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Workplace Incivility

Workplace incivility dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk faktor organisasi, faktor demografis, tipe kepribadian, dan pengalaman.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Torikson et al. (2016) mengungkapkan bahwa perubahan organisasi, rendahnya dukungan sosial dari rekan kerja, rendahnya keamanan dalam bekerja serta tingginya tuntutan pekerjaan memiliki pengaruh langsung terhadap peningkatan Workplace Incivility. Pada penelitian-penelitian terdahulu yang mempelajari kaitan variable-variable demografi dengan Workplace Incivility membuktikan bahwa Workplace Incivility bersifat selektif, sehingga karyawan yang terlibat di dalamnya tidak melakukannya dengan semua rekan kerja atau bawahan mereka pada tingkat yang sama sekaligus. Dalam peneltian yang dilakukan Corina et al. (2013) yang terkait jenis kelamin dan usia dengan Workplace Incivility, Corina menemukan bahwa wanita muda lebih mungkin menjadi

(10)

sasaran kekasaran di tempat kerja daripada rekan kerja pria mereka.

Perilaku Workplace Incivility ini dapat dipengaruhi oleh berbagai sumber. Tarraf (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat perbedaan Workplace Incivility antara supervisor dan rekan kerja.

Ketidaksopanan yang dilakukan oleh supervisor lebih berkaitan dengan kepuasan kerja dan turnover intention, sedangkan ketidaksopanan yang dilakukan oleh rekan kerja lebih berkaitan dengan komitmen afektif.

Ketidaksopanan di tempat kerja terhadap rekan kerja juga akan menyebabkan korban mengembangkan kekasaran mereka sendiri di tempat kerja.

(Torkelson et al., 2016). Selain itu, Ghosh (2017) mengatakan bahwa norma sosial serta budaya juga memberikan dampak besar terhadap persepsi incivility.

2.1.3.3 Dampak Workplace Incivility

Perilaku Workplace Incivility dapat merusak kinerja organisasi dan niscaya akan berdampak buruk pada karyawan lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Cortina dan Magley (2009), korban perilaku Workplace Incivility mengalami stres kerja yang lebih besar, penderitaan psikologis, gangguan kognitif, penurunan kepuasan kerja, dan tingkat kreativitas yang lebih rendah. Menurut penelitian lain, perilaku Workplace Incivility memiliki efek pada ketidakhadiran, serta tingkat keputusasaan, kemarahan, dan ketakutan yang lebih tinggi di tempat kerja (Porath dan Pearson, 2012), kelalahan dan ketidakpuasan kerja (Rahim dan Cosby, 2016; Welbourne et al., 2015), kreativitas yang berkurang (Porath dan Enez, 2009), tingkat stres yang lebih tinggi (Beattie dan Griffin, 2014), penurunan komitmen (Montgomery et al., 2004), retensi yang berkurang (Lim et al., 2008) dan turnover intention (Sharma dan Singh, 2016; Rahim dan Cosby, 2016).

2.1.3.4 Indikator Workplace Incivility

Instrumen yang digunakan untuk mengukur Workplace Incivility

(11)

merupakan indikator Workplace Incivility. Berdasarkan perilaku yang diamati, Handoyo et al. (2016) menciptakan skala penanda Workplace Incivility. Ada lima indikator yang berjumlah 28 item, yaitu:

1. Intervensi urusan pribadi (personal affair’s intervention)

(1) Bergosip; (2) menjelek-jelekan dibelakang; (3) mencoba mengetahui apa yang anda lakukan secara diam-diam/stalking; (4) Mengumbar privasi anda ke publik; (5) ikut campur urusan pribadi anda; (6) mengungkit masalah di masa lalu.

2. Pengabaian (abandonment)

(7) menunda membalas pesan tanpa alasan yang baik; (8) mengabaikan pendapat dalam forum; (9) menghindari berkonsultasi ketika seharusnya mereka melakukannya; (10) menjawab pertanyaan dengan tidak ramah dan singkat; (11) tidak berkonsultasi terkait keputusan yang melibatkan anda; (12) melanggar perjanjian; (13) tidak menyampaikan informasi dengan sengaja; (14) menunjukkan rasa marah dengan mengabaikan.

3. Komunikasi yang tidak ramah (unfriendly communication)

(15) berbicara kasar/membentak di depan umum; (16) meninggikan suara saat berbicara dengan anda; (17) menggunakan nada yang tidak pantas ketika berbicara dengan anda; (18) sengaja menegur anda didepan orang- orang yang tidak ada hubungannya; (19) memberikan komentar sinis tentang anda.

4. Perilaku tidak peka/pengertian (inconsiderate behavior)

(20) memberikan perintah yang tidak berkaitan dengan pekerjaan; (21) mengakui hasil kerja anda sebagai usahanya; (22) memaksa anda bekerja tanpa melihat kondisi anda; (23) melarang sesuatu kepada anda sementara dua sendiri melanggarnya.

5. Pelanggaran privasi (privacy invasion)

(24) mengambil barang anda tanpa izin; (25) membuka lemari/laci anda tanpa izin; (26) membaca pesan yang ditujukan untuk anda tanpa izin;

(27) mencuri alat tulis anda; (28) menyalakan musik dengan keras sehingga mengganggu pekerjaan.

(12)

2.1.4 Employee Welfare

2.1.4.1 Pengertian Employee Welfare

Menurut Hasibuan (2016) Kesejahteraan merupakan balas jasa pelengkap baik berupa material maupun non material yang diberikan atas dasar kebijaksanaan. Sedangkan menurut P. Reddy Prasad dan L. Vincent Raj Kumar (2022) Istilah Kesejahteraan Karyawan mengacu kepada fasilitas yang diberikan organisasi kepada karyawan baik di dalam maupun di luar lingkungan organisasi seperti kantin, kamar kecil dan fasilitas rekreasi, perumahan dan semua layanan lain yang berkontribusi pada kesejahteraan karyawan dan efisiensi pekerja. Konsep kesejahteraan karyawan yaitu fleksibel dan elastis dan sangat berbeda-beda berdasarkan waktu, wilayah, industri, nilai-nilai sosial dan adat istiadat, tingkat industrialisasi, perkembangan sosial ekonomi umum masyarakat dan ideologi politik yang berlaku pada suatu waktu.

Menurut Hasibuan (2012) setiap orang menginginkan hidup yang sejahtera, sebab kesejahteraan akan membuat hidup menjadi tenang dan tentram. Kesejahteraan merupakan kondisi aman dan terhidar dari berbagai kesulitan dan gangguan yang dirasakan seseorang setelah melakukan suatu pekerjaan. Adapun kesejahteraan karyawan mewakili aspek mental, fisik dan emosional karyawan, hal tersebut secara sinergis berperan untuk mempengaruhi individu secara kompleks (Dejoy dan Wilson, 2003). Menurut Goetzel (2003) hal-hal yang mempengaruhi kesejahteraan karyawan secara umum adalah moral karyawan, kepuasan kerja, tingkat stress, motivasi, komitmen organisasi dan iklim kerja.

2.1.4.2 Jenis-jenis Employee Welfare

Menurut Hasibuan (2005: 188), kesejahteraan karyawan dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:

1. Segi ekonomis

(13)

Meliputi: uang pensiun, uang transportasi, uang makan, uang hari raya, uang duka kematian, uang pengobatan, bonus atau gratifikasi dan pakaian dinas

2. Fasilitas

Meliputi: kafetaria, tempat ibadah, kesenian, olahraga, koperasi, pendidikan atau seminar, izin dan cuti/cuti hamil

3. Pelayanan

Meliputi: jemputan karyawan, puskesmas/dokter, bantuan hukum, penitipan bayi, asuransi, penasihat keuangan, kredit rumah.

2.1.4.3 Dampak Employee Welfare

Levine (1992) dan Wadhwani & Wall (1991) mengemukakan bahwa tingkat upah yang tinggi menyebabkan peningkatan produktivitas. Selain itu, Perry-Smith dan Blum (2000) mendokumentasikan bahwa kebijakan ramah keluarga dalam perusahaan mengarah pada peningkatan pangsa pasar, dan keuntungan perusahaan yang lebih besar. Beberapa perusahaan yang menggunakan teori insentif berusaha untuk memberikan kesejahteraan bagi karyawan mereka dalam berbagai aspek untuk membuat karyawan puas dan bahagia, karena karyawan yang bahagia seringkali lebih efisien daripada karyawan yang tidak bahagia (Oswald et al., 2015). Pandangan teori agensi mengungkapkan bahwa tingkat kesejahteraan karyawan yang lebih tinggi dapat menyebabkan kerusakan bagi perusahaan. Namun faktanya dengan meningkatkan kondisi kerja dapat dilihat sebagai manuver oleh manajemen untuk menutupi perilaku buruk perusahaan (Hemingway dan Maclagan, 2004; Friedman, 2007; Petrovits, 2006; Prior et al., 2008). Sebaliknya, kesejahteraan yang buruk dan kondisi kerja yang pas-pasan seringkali memotivasi karyawan untuk melakukan kecurangan dan perilaku buruk manajemen (Rothschild dan Miethe, 1999; Bowen et al., 2010; Miceli dan Near, 1994)

(14)

2.1.4.4 Indikator Employee Welfare

Terdapat delapan indikator kesejahteraan karyawan menurut Bockerman et al. (2012: 5) diantaranya yaitu:

1. Kepuasan kerja

Hasil evaluasi dari pengalaman kerja seseorang yang menghasilkan keadaan emosional yang positif merupakan kepuasan kerja. Sebaliknya, harapan kerja sesesorang tidak terpenuhi dan menghasilkan keadaan emosional yang negatif merupakan ketidakpuasan kerja.

2. Ketidakpastian

Kondisi meresahkan yang penuh dengan ketidakyakinan akan terjadinya kelanjutan kontrak kerja berikutnya.

3. Kecelakaan kerja

Musibah maupun kesalahan-kesalahan yang terjadi pada saat sedang melakukan pekerjaan.

4. Risiko

Akibat buruk yang kurang menyenangkan maupun kemungkinan kemalangan yang dapat menimpa ketika sedang melakukan pekerjaan.

5. Tidak ada promosi

Tidak adanya kemungkinan untuk dapat naik ke jabatan yang lebih tinggi.

6. Tidak ada suara

Tidak memiliki hak maupun wewenang untuk mengutarakan pendapat maupun ide-ide yang dimiliki.

7. Diskriminasi

Perbedaan perlakuan yang diterima oleh individu yang cenderung buruk dan tidak menyenangkan dibandingkan dengan individu lainnya.

8. Intensitas kerja

Banyaknya pekerjaan dan waktu bekerja yang dijalankan dalam suatu periode tertentu. Semakin lama waktu bekerja dan jumlah pekerjaan yang dilakukan dalam satu periode tertentu berarti semakin tinggi intensitas kerjanya.

(15)

2.1.5 Job Insecurity

2.1.5.1 Pengertian Job Insecurity

Menurut Septiari dan Ardana (2016), work insecurity adalah keadaan psikologis yang menyebabkan karyawan merasa tidak pasti dan tidak aman sebagai akibat dari pergeseran atau faktor eksternal yang tidak pasti yang dapat membahayakan kelangsungan hidup jangka panjang pekerjaan mereka.

Sedangkan menurut Audina (2008) ketidakpastian mengenai dampak pekerjaan, seperti masalah kompensasi, opsi penempatan, dan kemungkinan menerima pelatihan atau promosi, dapat menyebabkan perasaan khawatir atau gugup tentang karier seseorang atau job insecurity. Dari definisi yang diberikan di atas, dapat dinyatakan bahwa job insecurity adalah situasi atau kondisi di mana pekerja mengalami kecemasan saat melakukan pekerjaannya karena perubahan lingkungan (faktor eksternal) dan yang berkaitan dengan kepribadian dan kondisi mental pekerja itu sendiri (faktor internal;;).

Partina (2002) menjelaskan konsep mengenai job insecurity yaitu sebagai berikut:

1. Secara definisi, job insecurity mencerminkan perubahan yang fundamental dan involuntary yang berkaitan dengan keberlangsungan serta keamanan kerja di dalam sebuah organisasi.

2. Job insecurity merupakan fenomena subjektif yang mana perasaan tentang job insecurity bagi satiap orang mungkin berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya meskipun mereka menghadapi situasi yang sama.

3. Konsep job insecurity diperkenalkan sebagai definisi yang bersifat multidimensional. Penelitian job insecurity yang secara tradisional terfokuskan pada ancaman kehilangan pekerjaan dinilai terlalu sempit oleh beberapa peneliti karena gagal dalam menunjukkan kondisi pekerja dan peluang karir.

(16)

2.1.5.2 Faktor yang mempengaruhi Job Insecurity

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya (Greenhalgh dan Rosenblatt, 1984; Klandermans, Van Vuuren dan Jacobson, 1991), terdapat tingkatan/level yang berbeda dalam faktor-faktor yang mempengaruhi job insecurity, yaitu:

1. Kondisi organisasional sebagai lingkungan utama (misalnya perubahan komunikasi dan organisasional)

2. Individu karyawan dan kondisinya (misalnya gender, umur dan tingkat sosial ekonomi)

3. Karakteristik watak/kepribadian karyawan (misalnya: optimisme – pesimisme, rasa kebersamaan dan internal locus of control)

Adapun menurut Saputra (2017) Faktor-faktor yang mempengaruhi Job Insecurity adalah sebagai berikut :

1. Lokus Kontrol.

Lokus kontrol internal adalah sejauh mana orang percaya bahwa mereka, sebagai lawan dari kekuatan eksternal, memiliki kendali atas hasil peristiwa dalam hidup mereka.

2. Ketidakjelasan Peran.

Ketidakjelasan peran terjadi saat seorang individu tidak mengetahui dengan jelas apa tanggung jawab serta tujuan pekerjaannya.

3. Konflik Peran.

Ketika karyawan menerima permintaan dari berbagai sumber, hal itu dapat menyebabkan konflik peran karena posisinya lebih ambigu.

4. Komunikasi Organisasi.

Komunikasi perusahaan yang buruk dapat merusak komitmen psikologis dan membuat pekerja bertanya-tanya apa yang diharapkan perusahaan dari mereka.

(17)

5. Perubahan Organisasi.

Karyawan mungkin mengalami kontraksi psikologis sebagai akibat dari perubahan organisasi seperti perampingan dan PHK. Pada saat ambiguitas, kurangnya arah dan prediktabilitas dapat mengakibatkan pelanggaran dan persepsi yang tinggi tentang ketidakamanan kerja di antara karyawan.

6. Usia.

Karyawan yang lebih tua akan lebih merasa tidak aman ketika akan dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), selain itu karyawan yang lebih muda juga akan merasakan ketidakamanan ketika akan dilakukan promosi ataupun kenaikan gaji.

7. Jenis Kelamin.

Perempuan sering merasa lebih tidak berdaya dalam dunia kerja, yang mengakibatkan beberapa dari mereka memiliki kontrol yang lebih sedikit atas staf mereka di kemudian hari, menjadi kesal ketika mereka kehilangan posisi mereka, dan berharap mereka lebih dekat dengan majikan mereka.

8. Pendidikan.

Karyawan dengan pendidikan yang kurang akan memiliki sikap yang lebih agung terhadap bisnis, di mana sikap agung adalah pertukaran kemampuan untuk terlibat dalam bisnis untuk jangka panjang.

9. Jenis Pekerjaan.

Karyawan kantoran memiliki rasa ketidakamanan kerja yang lebih kecil dibandingkan dengan karyawan industri/pabrik. Hal ini dikarenakan karyawan industri memiliki kemungkinan untuk diberhentikan lebih besar ketika permintaan semakin kecil atau dikarenakan adanya perubahan teknologi dan perdagangn internasional yang membutuhkan karyawan yang lebih terampil.

(18)

10. Status Kepegawaian.

Dibandingkan dengan karyawan tetap, pekerja sementara dan paruh waktu mengalami tingkat ketidakstabilan pekerjaan (job insecurity) yang lebih tinggi. Karena karyawan sementara dan paruh waktu tidak terikat dengan perusahaan, staf tetap akan dipilih untuk tetap tinggal ketika perampingan dan restrukturisasi terjadi.

Selain faktor-faktor yang mempengaruhi, tentunya juga ada indikator yang mengukur job insecurity. Menurut Audina (2018) indikator yang dapat diukur job insecurity mencakup apa arti pekerjaan bagi seorang individu, seberapa terancam perasaan mereka tentang bidang-bidang tertentu dari pekerjaan mereka, seberapa terancam mereka di masa depan dan seberapa penting total pekerjaan mereka.

2.1.5.3 Dampak Job Insecurity

Sverke et al. (2002) menyebutkan bahwa efek langsung dan jangka panjang dapat diakibatkan oleh job insecurity. Ketidakstabilan pekerjaan jangka pendek akan berdampak pada keterlibatan di tempat kerja, kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan berkurangnya kepercayaan pada atasan, yang mengarah pada miskomunikasi antara atasan dan bawahan. Efek jangka panjang dari job insecurity termasuk efek pada kesehatan mental dan fisik, niat untuk meninggalkan pekerjaan, dan kinerja kerja..

2.1.5.4 Indikator Job Insecurity

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nugraha (2010), terdapat indikator yang mempengaruhi job insecurity, yaitu:

1. Pentingnya pekerjaan bagi individu

Indikator ini diukur dari tanggapan responden tentang apakah pekerjaan yang dilakukan memiliki arti yang besar bagi masing-masing karyawan dan apakah pekerjaan yang dilakukan memiliki dampak dan nilai positif terhadap perkembangan karir karyawan tersebut sehingga pekerjaannya

(19)

memiliki arti penting bagi kelangsungan kerjanya.

2. Tingkat ancaman yang dirasakan

Indikator ini diukur dari seberapa besar tingkat ancaman yang dirasakan oleh karyawan atas aspek-aspek pekerjaan mereka. Apakah karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya walaupun adanya ancaman yang dirasakan dalam aspek-aspek pekerjaan.

3. Tingkat ancaman yang mungkin terjadi dan mempengaruhi pekerjaan Indikator ini diukur dari tingkat kemungkinan terjadinya ancaman kerja yang dapat mempengaruhi kinerja maupun pekerjaan karyawan itu sendiri.

4. Tingkat kepentingan yang dirasakan atas potensi dari setiap peristiwa Indikator ini diukur dari tingkat kepentingan-kepentingan yang dirasakan responden atas setiap peristiwa yang terjadi dalam perusahaan.

5. Tingkat ancaman terhadap pekerjaan di masa mendatang

Indikator ini diukur atas seberapa besarnya tingkat ancaman yang dirasakan karyawan atas pekerjaan mereka di masa mendatang.

2.1.6 Employee Innovative Performance

2.1.6.1 Pengertian Employee Innovative Performance

Menurut Jong dan Hartog (2008:5), Employee Innovative Performance atau kinerja inovatif karyawan juga dikenal sebagai perilaku kerja kreatif dengan gaya bertindak oleh individu dengan tujuan memperkenalkan konsep-konsep baru kepada kelompok atau organisasi.

Sedangkan menurut Prakosa (2005) inovasi adalah tindakan terus menerus untuk membangun dan mengembangkan organisasi dengan merangkul teknologi baru dan menciptakan terobosan dalam produk dan layanan baru, dan selalu berusaha untuk memperluas pasar baru. Perilaku kerja yang inovatif diperlukan untuk pengembangan organisasi dan peningkatan kinerja untuk meningkatkan atau meningkatkan efisiensi berbagai operasi melalui inovasi berikutnya. Inovasi tidak hanya menyangkut masalah teknis tetapi juga masalah organisasi (Han et al., 1998; Lau et al., 2010).

(20)

Kapasitas individu untuk mengadopsi dan menggunakan konsep- konsep segar yang bermanfaat di tempat kerja mereka dan perilaku mereka sebagai inovator terkait (Agistiawati et al., 2020; Hutagalung, Sopa, et al., 2020; Novitasari, Kumoro, et al., 2020; Novitasari, Yuwono, et al., 2020;

Suprapti et al., 2020). Dengan kata lain, keahlian dan pemikiran kreatif setiap orang berfungsi sebagai bahan baku organisasi untuk diproses menjadi penemuan baru (Agistiawati et al., 2020; Hutagalung et al., 2020).

2.1.6.2 Dimensi Employee Innovative Performance

De Jong dan Den Hartog (2010), menuturkan bahwa terdapat empat indikator perilaku inovatif kerja yaitu: (1) idea exploration (pekerja dapat menemukan solusi baru untuk masalah); (2) idea generation (karyawan dapat mengembangkan ide-ide orisinal dan kreatif dengan membuat dan memberikan saran untuk prosedur baru); (3) idea championing (karyawan memiliki akses ke bantuan dalam mengimplementasikan ide-ide segar dan kreatif mereka); dan (4) idea implementation (karyawan dapat mengintegrasikan konsep-konsep baru ini ke dalam proses kerja reguler mereka).

Menurut Dewiana et al., (2021) kurangnya pengetahuan merupakan faktor penghambat kinerja inovatif. Hambatan ini berasal dari kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas, kurangnya pengetahuan tentang kemajuan teknologi, kurangnya pengetahuan pasar, dan tantangan untuk menemukan mitra yang akan berkolaborasi dalam proyek-proyek inovatif (Fikri et al., 2020; Novitasari, Kumoro, et al., 2020; Nugroho et al., 2021;

Putra et al., 2021). Dalam penelitiannya, Hartono (2018) membagi pembatasan inovasi menjadi empat kategori meliputi faktor pasar dan kelembagaan, pengetahuan dan kerja sama, faktor karyawan dan organisasi, serta pembiayaan. Menurut penelitian yang dilakukan dalam empat kategori, satu-satunya hambatan yang memiliki dampak nyata pada keterbukaan organisasi terhadap inovasi adalah hambatan yang terkait dengan perilaku

(21)

karyawan dan organisasi.

2.1.6.3 Dampak Employee Innovative Performance

Dalam hal hasil atau outcomes, peningkatan dalam kinerja inovasi (innovative performance) menghasilkan peningkatan hubungan nilai pelanggan dan hasil keuangan yang positif (Dekoulou dan Trivellas, 2017).

Kinerja inovasi juga dilaporkan berkorelasi positif dengan absorptive capacity (Chen et al. 2009). Selain itu, dengan perubahan yang cepat dalam lingkungan bisnis maka organisasi semakin menyelaraskan struktur mereka untuk mengimbangi (Teece, 1998), tetap kompetitif (Teece, 2007), dan menciptakan kemampuan (Narayanan et al. 2009) yang akan memungkinkan mereka untuk menangkap peluang yang terkait dengan kinerja inovasi (Guerrero et al. 2019).

2.1.6.4 Indikator Employee Innovative Performance

Saunila (2017) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat tujuh item untuk mengukur innovative performance yaitu:

1. Eksternal knowledge

Eksploitasi jaringan eksternal dan pengetahuan penting dalam meningkatkan kemampuan inovasi organisasi secara keseluruhan.

2. Structure

Struktur dan sistem yang dibutuhkan oleh inovasi yang berhasil atau cara di mana tugas kerja organisasi untuk inovasi diatur meliputi penciptaan, pengembangan, dan implementasi ide.

3. Regeneration

Kemampuan organisasi untuk belajar dari pengalaman dan menggunakan pengalaman itu untuk menciptakan dan mengembangkan inovasi.

(22)

4. Leadership

Suasana keseluruhan organisasi yang mendukung dan memotivasi inovasi serta budaya kepemimpinan yang memfasilitasi inovasi.

5. Employee activity

Kemampuan inovasi individu karyawan serta motivasi dan aktivitas untuk mendorong inovasi.

6. Work wellbeing

Kesejahteraan karyawan dan iklim kerja untuk pengembangan inovasi.

7. Know-how

Keahlian memainkan pekerjaan seseorang, meliputi pengetahuan serta peningkatan keterampilan karyawan.

Sementara menurut Janssen et al. (2000) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa indikator innovative performance yaitu terdiri dari:

1. Pengembangan inovasi

Pengembangan yang dilakukan atas ide-ide inovasi yang ada serta metode penyesuaiannya ke dalam perusahaan.

2. Promosi ide

Pencetusan, penyampaian serta penjelasan terkait setiap ide yang dimiliki oleh masing-masing karyawan.

3. Implementasi inovasi

Proses penerapan ide-ide inovasi yang sudah diolah dan disesuaikan kedalam proses usaha, produk ataupun jasa perusahaan.

Sedangkan Humpherys et al. (2005) mengatakan indikator innovative performance yaitu:

1. Komunikasi dalam organisasi

(23)

Komunikasi yang berjalan baik dalam organisasi akan memudahkan terjadinya pertukaran ide-ide dan gagasan inovatif.

2. Iklim kreatif

Lingkungan kerja yang mendukung penyaluran kreativitas karyawannya mulai dari budaya organisasi hingga kepemimpinan.

3. Komitmen atas kegiatan inovatif

Keinginan kuat yang ada dalam diri masing-masing individu dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan inovatif yang sesuai dengan tujuan organisasi.

2.1.6.5 Keterkaitan Employee Innovative Performance dengan Universitas swasta

Universitas swasta harus beradaptasi dan berinovasi agar dapat menghadapi perubahan persaingan pasar dan lingkungan kerja. Menurut Budiyono dan Sri (2014) dalam penelitiannya tentang strategi dan persaingan universitas swasta menyebutkan bahwa perilaku calon mahasiswa (yang mana merupakan target konsumen perguruan tinggi) pada suatu produk perguruan tinggi dipengaruhi oleh berbagai atribut yang dibutuhkan dan diinginkan oleh calon mahasiswa dalam proses produk tersebut antara lain sarana pendidikan, dosen, kurikulum, biaya dan layanan akademik. Untuk dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan calon mahasiswa dan menjadikan produk perguruan tinggi menjadi unggulan dan dapat menyaingi perguruan tinggi lainnya maka diperlukanlah kinerja dan pemikiran inovatif agar dapat menghasilkan inovasi-inovasi baru yang dapat membantu perkembangan universitas swasta. Memfokuskan pengembangan dan pendanaan pada inovasi sama dengan memegang banyak pilihan untuk masa depan karena inovasi organisasi merupakan sumber keunggulan kompetitif yang berkesinambungan bagi organisasi (Berraies et al., 2014). Inovasi juga berperan dalam mengembangkan cara berkompetitif yang baru dalam

(24)

menjalankan operasional usaha, mengatasi tatanan pasar dan organisasi lainnya, serta bagaimana untuk menghadapi masuknya tantangan-tantangan baru (Asbari et al., 2020).

2.1.7 Leader-Member Exchange

2.1.7.1 Pengertian Leader-Member Exhange

Menurut definisi Morrow (2005: 682) tentang leader-member exchange (LMX), hubungan yang lebih baik antara manajemen dan pekerja akan memungkinkan kedua belah pihak untuk menghasilkan pekerjaan yang lebih baik. Namun pada kenyataannya, ada dua jenis koneksi yang dapat dibedakan antara karyawan dan manajemen, yaitu hubungan baik dan hubungan negatif.

Kepercayaan karyawan, sikap positif, dan loyalitas akan meningkat dengan hubungan yang baik, sedangkan hal sebaliknya akan terjadi dengan hubungan yang buruk. Truckenbrodt (2002: 233) mengklaim bahwa tujuan dari leader- member exchange adalah untuk mengevaluasi interaksi dan hubungan antara atasan (atasan) dan bawahan. Tingkat keintiman antara atasan dan bawahan mengungkapkan tanda pertukaran anggota pemimpin dalam organisasi.

Gagasan mendasar di balik teori LMX, menurut Graen dan Uhl-Bhien (1995), adalah bahwa seorang pemimpin tidak akan memperlakukan dan mengembangkan hubungan yang sama dengan semua bawahannya. Setiap bawahan harus diperlakukan dan diperlakukan dengan kualitas hubungan yang berbeda dari atasannya. Kemudian, kualitas tersebut akan berkisar dari LMX kualitas buruk hingga LMX kualitas tinggi (Rockstuhl, 2012). Hubungan antara atasan dan bawahan yang hanya berdasarkan persyaratan kontrak kerja formal dikatakan berkualitas LMX rendah. Dengan kata lain, interaksi antara atasan dan bawahan hanya terbatas pada tugas-tugas yang tercantum di meja kerja, dan karyawan dibayar sesuai dengan hukum (Bakker, 2013). Sebaliknya, kualitas LMX yang tinggi melibatkan elemen afektif seperti kepercayaan, rasa hormat satu sama lain, dan rasa tanggung jawab bersama di dalam organisasi daripada hubungan antara atasan dan bawahan yang sepenuhnya didasarkan pada kontrak kerja.

(25)

2.1.7.2 Dimensi Leader-Member Exhange

LMX dirancang sebagai konstruksi multidimensi oleh Liden dan Maslyn (1998). Affection, contribution, loyalty, dan professional respect adalah empat dimensi yang membentuk pengukurannya. Penjabaran empat dimensi LMX aalah sebagai berikut:

1. Afeksi (affection)

Menurut Liden (1997), afeksi memiliki titik tengah yang mewakili ketidakpedulian emosional dan berkisar dari tidak suka hingga suka. Suka dapat diekspresikan dalam beberapa cara, termasuk melalui interaksi di luar kantor, menunjukkan kasih sayang tanpa diminta, berbagi keprihatinan, dan menawarkan dukungan untuk masalah sendiri. Contoh lain termasuk tindakan dasar tertentu dalam bentuk isyarat nonverbal yang mendorong tanggapan cepat dan cepat dari orang lain, seperti seringai atau menunjukkan dukungan (Liden, 1997).

2. Kontribusi (contribution)

Menurut Liden (1997), kontribusi dapat berkisar dari mereka yang memiliki dampak yang merugikan pada "angka dua" hingga mereka yang memiliki dampak yang baik. Apa yang disediakan oleh pemimpin dan anggota mungkin tidak selalu sama karena perbedaan peran dan tugas.

Pemimpin akan memiliki lebih banyak kekuatan untuk membuat keputusan sebagai imbalan atas aktivitas ekstra-peran anggota, seperti bekerja lembur, pada akhir kontinum yang positif.

3. Loyalitas (loyalty)

Kesempatan bagi pemimpin dan anggota untuk menunjukkan kesetiaan mereka seringkali bergantung pada kondisi kontekstual, seperti ketika orang lain mengungkapkan penilaian negatif secara eksplisit atau implisit.

Pemimpin yang menerima dukungan dari pengikutnya dalam menghadapi kritik dari orang lain tidak dapat mengembalikan pengikutnya sebelum

(26)

pengikutnya mengalami hal yang sama. Karena ada cara lain untuk menunjukkan kesetiaan, seperti transaksi yang didasarkan pada pengembalian yang sama, pertukaran dalam kesetiaan tidak bergantung pada pengembalian yang cepat. Di sisi lain, ketidaksetiaan memanifestasikan dirinya ketika seseorang menerima kritik atau memulainya di depan orang lain (Liden, 1997).

4. Rasa hormat professional (professional respect)

Persepsi kekuatan reputasi masing-masing hubungan timbal balik, baik di dalam maupun di luar perusahaan, inilah yang dimaksud dengan

"penghormatan profesional". Jalan hidup seseorang mungkin mempengaruhi persepsi. Misalnya, pertemuan langsung dengan orang, pernyataan yang dibuat oleh orang di dalam atau di luar bisnis, dan penghargaan atau pengakuan lain yang diterima di dunia profesional.

Mungkin rasa hormat terhadap seseorang ini sudah ada sebelum bekerja atau mengenal mereka. Rasa hormat profesional dapat diungkapkan dalam berbagai cara, seperti ketika atasan atau bawahan berkonsultasi satu sama lain untuk bimbingan atau ketika seseorang mengungkapkan kekaguman atas kemampuan dan karakter moral orang lain. Di sisi lain, rasa hormat profesional yang buruk ditunjukkan dengan menolak berkonsultasi satu sama lain dan mungkin mengolok-olok satu sama lain di depan umum (Liden, 1997).

2.1.7.3 Hubungan Leader-Member Exhange dengan Innovativr Behaviour Jika pemimpin dan bawahan yang dipimpin dekat, inovasi akan lebih mudah muncul. Teori kepemimpinan LMX mengeksplorasi dampak kedekatan antara pemimpin dan bawahan yang mengambil keputusan. Karyawan merasa nyaman di sekitar pemimpin mereka karena interaksi timbal balik antara mereka dan bawahan mereka. Sekelompok pekerja yang bekerja dengan baik, memiliki kepercayaan atasan, ingin memikul lebih banyak tanggung jawab, dan memiliki hubungan positif satu sama lain dikenal sebagai in-group

(27)

member. Mereka juga disebut sebagai bawahan LMX berkualitas tinggi.

berkenalan dengan atasan (Jex & Britt, 2008). Menciptakan ikatan formal antara atasan dan bawahan berdasarkan hubungan formal, yang terlihat dari penggunaan bahasa saat berbicara, akan memungkinkan atasan memberikan waktu yang terbatas kepada bawahan yang memiliki kualitas hubungan yang rendah di setiap dimensi LMX (Robbins, 2006).

Atasan memainkan peran penting dalam mempengaruhi perilaku inovatif karyawan (bawahan) di tempat kerja, seperti dengan menginspirasi, mendorong, dan membina pengembangan karyawan, LMX berkualitas tinggi sangat penting untuk mendorong perilaku inovatif karyawan di tempat kerja (Turek & Turek, 2013). Hubungan kerja yang baik antara atasan dan deputi dapat meningkatkan kapasitas deputi untuk mendapatkan dukungan penting untuk implementasi ide (Hammond, 2011). Selain itu, di tempat kerja, bawahan sering bergantung pada atasan untuk mendapatkan informasi, materi, dan dukungan sosial untuk menciptakan, melindungi, dan menerapkan ide-ide baru (Janssen, 2005).

Secara teoritis, pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan hubungan yang kuat akan berdampak lebih tinggi pada motivasi dan perilaku inovasi karyawan serta terciptanya karya inovatif dalam organisasi jika menyangkut inovasi. Pemimpin yang lebih menerima ide-idenya dianggap oleh karyawan lebih terbuka untuk menerima pemikiran mereka. (Ancho, 2014)

2.2 Review Penelitian Terdahulu

Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara penelitian peneliti dengan peneliti sebelumnya, dilakukan review terhadap temuan dari penelitian sebelumnya. Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya yang menguji pengaruh variable x terhadap variable y, peneliti belum menemukan judul peneliti terdahulu yang sama dengan judul peneliti saat ini, akan tetapi terdapat kesamaan pada variable baik itu variable x maupun variable y.

Selanjutnya peneliti akan mereview penelitian dari peneliti-peneliti terdahulu di

(28)

bawah ini.

Penelitian pertama oleh Irfan et al., (2020) dengan variabel bebas (x) yang diambil yaitu ethical leadership dan variabel terikat (y) yang diambil yaitu innovative performace dengan mediasi modal intelektual. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara ethical leadership dan innovative performance dengan berfokus pada peran mediasi dua bentuk modal intelektual yaitu modal manusia dan modal sosial. Subjek penelitian ini adalah karyawan tingkan manajerial dari departemen R&D pada beberapa perusahaan manufaktur yang berlokasi di kota Sialkot, Gujrat dan Gujranwala di Pakistan dengan jumlah total 307 karyawan yang diberikan kuesioner. Penelitian ini merupakan penelitian analisis kuantitatif dengan menggunakan Skala Likert. Teknik pengambilan sample yang digunakan adalah convenience sampling. Data dikumpulkan menggunakan survei yang berbasis kuesioner yang kemudian diolah dan dianalisa menggunakan SPSS PROCESS macro. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ethical leadership secara positif mempengaruhi Employee Innovative Performance. Adapun dua bentuk modal intelektual yaitu modal manusia dan modal sosial memainkan peran mediasi dalam hubungan ethical leadership dan Employee Innovative Performance. Meskipun temuan baru ini menunjukkan hubungan antara ethical leadership dan Employee Innovative Performance, studi penelitian kontemporer juga memiliki beberapa keterbatasan. Yang pertama, sama seperti semua studi penelitian cross-sectional lainnya, tidak mungkin untuk menggambarkan hubungan sebab akibat antara variabel yang berbeda yang diukur dalam studi penelitian kontemporer. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan menerapkan desain longitudinal untuk penilaian keberadaan hubungan antara ethical leadership dan Employee Innovative Performance, yang berinteraksi melalui variabel yang berbeda. Keterbatasan yang kedua yaitu tidak ada pertimbangan yang ditujukan pada aspek budaya yang berbeda saat menyelidiki hubungan antara beragam variabel yang diperiksa dalam studi penelitian ini. Studi lebih lanjut dapat menyelidiki peran faktor budaya pada variabel-variabel ini, karena Pakistan adalah negara kolektivis dan mungkin memiliki hasil yang beragam dari negara berkembang dan negara maju. Perbedaan

(29)

maupun pembaruan antara penelitian ini dengan penelitian saya adalah penelitian saya mengulang penelitian terdahulu dan menggunakan teori yang sudah ada dengan konteks dan demografi yang berbeda.

Penelitian kedua oleh Yu Wei et al. (2020) dengan variabel bebas (x) yang diambil yaitu Employee Welfare dan variabel terikat (y) yang diambil yaitu innovation performance. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyoroti peran Employee Welfare dalam mendorong innovation performance di perusahaan manufaktur China. Data yang digunakan dikumpulkan berasal dari berbagai macam sumber, pertama untuk data yang termasuk dalam inovasi perusahaan, indikator keuangan dan tata kelola perusahaan berasal dari database CSMAR, untuk data kesejahteraan karyawan dicatat dari database laporan tanggung jawab sosial perusahaan yang terdaftar di China-Hexun (CHSRR), kuantitas dan kualitas personel R&D berasal dari database WIND, dan data laporan media dikumpulkan dari datebase China Economic News pada database INFOBANK. Adapun untuk sampel yang digunakan pada penelitian ini berisi sebanyak 9.689 pengamatan dari semua perusahaan manufaktur yang terdaftar di saham A pada pasar saham Shanghai dan Shenzen dari tahun 2010 hingga 2017. Penelitian ini menggunakan metode empiris dan Heckman’s two-step method. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa Employee Welfare yang lebih baik dapat meningkatkan innovation performance secara keseluruhan di perusahaan manufaktur China terutama pada paten penemuan. Dengan kata lain mempromosikan kesejahteraan karyawan (Employee Welfare) memang dapat mempercepat kualitas inovasi di perusahaan manufaktur China, tapi tidak dengan kuantitasnya. Selain itu ditemukan juga bahwa kesejahteraan karyawan dapat meningkatkan innovation performance perusahaan melalui peningkatan efisiensi inventor (R&D). Analisis efek mediasi berikut lebih lanjut mengungkapkan bahwa dampak Employee Welfare pada inovasi perusahaan memiliki efek perantara parsial dalam mempertahankan karyawan yang luar biasa dan efek perantara penuh dalam menarik laporan media positif dan meningkatkan efisiensi R&D. Perbedaan maupun pembaruan antara penelitian ini dengan penelitian saya adalah penerapan teori yang sudah dirumuskan pada penelitian terdahulu ke dalam penelitian saya

(30)

serta menggunakan pendekatan yang berbeda dalam merumuskan masalah.

Penelitian ketiga merupakan penelitian yang dilakukan oleh Pebrida et al.

(2020) dengan variabel bebas (x) yang diambil yaitu job insecurity dan variabel terikat (y) yang diambil yaitu stress kerja, kinerja dan turnover intention. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh job insecurity terhadap stress kerja, kinerja dan turnover intention karyawan pada PT.

Bank Mandiri (Persero) Tbk area Samarinda. Data yang digunakan didapat dari kuesioner yang dibagikan kepada sampel penelitian yaitu sebanyak 83 karyawan sales mikro cluster 1 dan 2 PT. Bank Mandiri area Samarinda. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kuesioner yang diformulasikan memakai skala likert yang kemudian dianalisis dan diteliti berupa Struktural Equation Model (SEM) dengan pendekatan Partial Least Square (PLS). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa job insecurity berpengaruh positif signifikan terhadap stres kerja dan turnover intention, dan berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja karyawan sales unit mikro cluster 1 dan 2 PT Bank Mandiri (Persero) Tbk area Samarinda. Perbedaan maupun pembaruan antara penelitian ini dengan penelitian saya adalah penerapan teori dan memanfaatkan informasi pada penelitian terdahulu kedalam penelitian saya namun dengan konteks yang berbeda.

Penelitian keempat merupakan penelitian oleh Margaret Hodgins dan Patricia M, (2019) yang merupakan penelitian single variable dengan variable bebas (x) yaitu workplace bullying dan Workplace Incivility pada Irish higher education.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja kemungkinan dampak yang dihasilkan dari workplace bullying dan incivility (untuk mencari Y) pada perguruan tinggi di Irlandia. Data dikumpulkan melalui proses interview dengan sample sebanyak 21 partisipan yang terdiri dari 11 orang staff akademik dan 10 orang mahasiswa yang berasal dari 3 universitas di Irlandia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa satu dari enam pekerja mengalami workplace bullying yang mempengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka. Lemahnya penerapan

(31)

kebijakan yang gagal untuk meredam perilaku workplace bullying juga merupakan salah satu faktornya. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman yang mendalam terhadap budaya organisasi untuk perumusan kebijakan dan aturan yang lebih efektif dan berarti untuk menjaga staff tetap aman dari workplace bullying dan incivility. Perbedaan maupun pembaruan antara penelitian ini dengan penelitian saya adalah penerapan teori yang sudah ditemukan dalam penelitian terdahulu kedalam penelitian saya namun dengan demografis yang berbeda.

Penelitian kelima merupakan penelitian oleh Uzma et al. (2022) dengan variabel bebas (x) yaitu leadership styles dan variabel terikat (y) yaitu innovative performance. Tujuan dari penelitian untuk mencari tau leadership style yang dipraktikkan oleh perempuan, dan untuk menemukan hubungan dan dampak dari gaya kepemimpinan (leadership styles) terhadap innovative performance pemimpin perempuan pada universitas di Pakistan. Data pada penelitian ini dikumpulkan melalui survei terhadap beberapa pemimpin perempuan meliputi anggota fakultas, ketua departemen, dekan, koordinator dan direktur dari universitas publik dan swasta di Punjab (provinsi di Pakistan). Sample pada penelitian ini yaitu seribu pemimpin perempuan yang dipilih menggunakan multistage sampling method. Data-data yang ada diolah dan dianalisa menggunakan SPSS (versi 26). Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif moderat antara kedua gaya kepemimpinan, yaitu transaksional dan transformasional dengan innovative performance. Penelitian ini merekomendasikan bahwa berbagai workshop dan seminar dapat dilakukan untuk meningkatkan praktik kedua gaya kepemimpinan tersebut untuk meningkatkan inovasi di Universitas Pakistan. Perbedaan maupun pembaruan antara penelitian ini dengan penelitian saya adalah pengintegrasian informasi dari penelitian terdahulu kedalam penelitian saya dengan cara yang berbeda.

Penelitian keenam yaitu oleh Gebermichael (2018) dengan variabel terbuka (x) yaitu open innovation dan variabel terikay (y) yaitu innovative performance melalui intellectual capital. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti hubungan antara open innovation practice dan intellectual capital dan

(32)

pengaruhnya terhadap innovative performance pada usaha kecil dan menengah yang beroperasi di Ethiopia. Data pada penelitian ini dikumpulkan berdasarkan survei dari 243 manufaktur usaha kecil menengah di Ethiopia. Sample penelitian ini sebanyak 243 responden yang mayoritas merupakan pemilik sekaligus manajer usaha (92,6%), dan manajer tapi bukan pemilik usaha (7,4%). Data yang dikumpulkan kemudian dipindai lalu menggunakan SmartPLS untuk mengevaluasi model serta mengetes hipotesis. Penelitian ini menggunakan pendekatan Partial Least Squares (PLS) untuk menyelidiki hubungan serta mengetas peran mediasi intellectual capital. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa praktik open innovation memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap intellectual capital dan innovative performance pada usaha kecil menengah.

Terlebih lagi, hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya mediasi human capital yang memiliki pengaruh positif pada praktik open innovation terhadap innovative performance. Manajer atau pemilik harus bekerja untuk mengembangkan praktik open innnovation dan intellectual capital secara serentak untuk menambah innovative performance pada usaha kecil menengah. Perbedaan maupun pembaruan antara penelitian ini dengan penelitian saya adalah penerapan teori dan pemanfaatan informasi dari penelitian terdahulu ke dalam penelitian saya dalam konteks dan demografi yang berbeda.

Penelitian ketujuh oleh Syamsul dan Akmal (2021) dengan variabel bebas (x) yaitu Pengembangan SDM dan kompensasi, dan variabel terikat (y) yaitu kesejahteraan karyawan (Employee Welfare). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti apakah adanya pengaruh pengembangan SDM dan kompensasi terhadap kesejahteraan karyawan pada Bank Aceh cabang Meuredu Kabupaten Pidie Jaya. Data pada penelitian ini dikumpulkan melalui observasi dan kuesioner dengan sampel sebanyak 42 orang karyawan pada Bank Aceh cabang Meureudu Kabupaten Pidie Jaya. Data yang diperoleh dalam bentuk kuesioner kemudian diperiksa dan dihitung menggunakan skala likert dan dianalisis menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pengembangan SDM dan kompensasi terhadap kesejahteraan karyawan. Perbedaan maupun pembaruan antara

(33)

penelitian ini dengan penelitian saya adalah penerapan teori yang sudah dipaparkan pada penelitian terdahulu ke dalam penelitian saya dengan metode serupa.

Penelitian kedelapan yaitu penelitian oleh Surjo et al. (2020) dengan variabel bebas (x) perilaku inovatif (innovative performance) dan keterlibatan kerja, variabel terikat (y) yaitu kinerja karyawan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh dari perilaku inovatif dan keterlibatan kerja terhadap kinerja karyawan. Data pada penelitian ini dikumpulkan melalui pengamatan dan kuesioner menggunakan teknik random sampling terhadap 100 orang yang merupakan sampel penelitian. Data yang terkumpul kemudian diolah menggunakan SPSS (versi 24) menggunakan analisis regresi. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa perilaku inovatif (innovative performance) dan keterlibatan kerja sama-sama berpengaruh positif secara signifikan terhadap kinerja karyawan. Perbedaan maupun pembaruan antara penelitian ini dengan penelitian saya adalah epmanfaatan informasi serta teori yang ada pada penelitian terdahulu dan mengintegrasikannya ke dalam penelitian saya menggunak

Penelitian-penelitian di atas merupakan penelitian yang mendukung penelitian ini dengan menyajikan berbagai teori, pandangan dan hasil uji penelitian yang telah dilakukan di masa lalu. Berdasarkan hasil dari review penelitia terdahulu diatas, terdapat beberapa kriteria yang berbeda antara penelitian-penelitian tersebut dengan penelitian ini, dimana penelitian ini menafsirkan kembali teori yang ada namun dalam konteks yang berbeda, memberikan interpretasi baru dengan menggunakan informasi yang ada serta menerapkan ide pada penelitian terdahulu dan menerapkannya di area/negara yang berbeda.

2.3 Keterikatan antar Variabel Penelitian

2.3.1 Pengaruh Toxic Leadership terhadap Employee Innovative Performance

Kepemimpinan memiliki pengaruh yang sangat besar dan menjadi

(34)

penentu keberhasilan suatu organisasi. Prameswari et al., (2009) menyebutkan bahwa kepemimpinan dan iklim perusahaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap inovasi karyawan. Semakin baiknya kepemimpinan akan meningkatkan perilaku inovatif karyawan dan sebaliknya, semakin buruknya kepemimpinan maka akan menurunkan perilaku inovatif karyawan.

Bass et al. (2003), Yammarino et al. (1993) serta Locander et al. (2002) juga menjelaskan bahwa kepemimpinan (leadership) merupakan faktor penting yang menentukan kinerja karyawan serta kemampuan organisasi dalam beradaptasi dengan dinamisme lingkungan. Kepemimpinan yang sesuai dengan budaya organisasi tentunya juga akan memberikan dampak yang positif terhadap organisasi dan bawahannya. Sebaliknya kepemimpinan yang buruk atau Toxic Leadership juga akan mempengaruhi kinerja, lingkungan kerja serta performa inovatif karyawan ke arah yang negatif.

2.3.2 Pengaruh Toxic Leadership terhadap Workplace Incivility

Kepemimpinan tentunya akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan kerja serta bawahannya. Perilaku kepemimpinan beracun (Toxic Leadership) dapat menyebabkan munculnya perasaan negatif yang berkepanjangan dan ancaman kehilangan sumber daya psikososial (Schmid et al., 2019).Sejalan dengan pendapat di atas, Livine dan Oferetal (2019) menemukan bahwa persepsi karyawan tentang hubungan karyawan- organisasi yang beracun dan eksploitatif berhubungan positif dengan serangkaian emosi negatif termasuk kemarahan dan depresi yang dapat menyebabkan munculnya tekanan psikologis dan Workplace Incivility.

2.3.3 Pengaruh Toxic Leadership terhadap Job Insecurity

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Toxic Leadership memberikan banyak dampak negatif pada karyawan. Pemimpin beracun sering kali memunculkan konflik antara karyawan akibat dari lingkungan kerja yang mengancam dan buruk (Morris, 2019), Jenis lingkungan yang

(35)

buruk tersebut cenderung membuat karyawan merasa tidak aman dengan pekerjaan mereka. Lingkungan kerja buruk akibat dari Toxic Leader yang mengeluarkan komentar-komentar jahat serta tidak jujur akan mengganggu karyawan untuk tetap focus dengan pekerjaan dan peran mereka dalam organisasi (Lipman dan Blumen, 2006). Pada akhirnya, situasi ini akan membuat karyawan mengembangkan rasa tidak aman terkait pekerjaan mereka (Pelletier, 2009)

2.3.4 Pengaruh Workplace Incivility terhadap Employee Innovative Performance

Tingginya tingkat ketidaksopanan dalam tempat kerja (workplace incivility) tentunya akan membuat karyawan merasa kurang adanya motivasi dan inovasi dalam bekerja sehingga perlahan-lahan keryawan akan menghilang dikarenakan tidak nyaman dan tidak adanya dukungan antar rekan kerja satu sama lain. Madeeha et al., (2020) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa terdapat hubungan negatif antara Workplace Incivility terhadap innovative work behaviour dimana tingginya tingkat Workplace Incivility antara karyawan di tempat kerja cenderung menghasilkan perilaku kerja yang kurang inovatif. Rasool et al., (2019) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa Workplace Incivility secara langsung berpengaruh negatif terhadap perilaku kerja inovatif. Dengan demikian, semakin rendahnya Workplace Incivility dalam suatu organisasi maka Employee Innovative Performance akan semakin baik dan efektif. Sebaliknya apabila semakin tinggi Workplace Incivility dalam suatu organisasi maka Employee Innovative Performance akan semakin buruk dan menurun.

2.3.5 Pengaruh Workplace Incivility terhadap Job Insecurity

Studi yang dilakukan oleh Walsh et al. (2012) mengatakan bahwa Workplace Incivility mempengaruhi performa karyawan seperti produktifitas, kreatifitas dan tingkat kepuasan akan menurun akibat dari incivility behaviors.

Selain itu, Workplace Incivility juga dapat memunculkan perilaku seperti

(36)

kemalasan, sengaja menunda pekerjaan, sering absen dan turnover. Kondisi lingkungan kerja yang tidak sehat ini akan memunculkan rasa ketidakamanan karyawan dalam bekerja (Reisel et al., 2007). Sehingga kondisi lingkungan kerja yang incivil akan mmberikan dampak terhadap Job Insecurity karyawan.

2.3.6 Pengaruh Employee Welfare terhadap Employee Innovative Performance

Kesejahteraan karyawan (Employee Welfare) tentunya akan mempengaruhi baik itu motivasi maupun kepuasan kerja karyawan.Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa perusahaan yang menawarkan kesejahteraan yang baik kepada karyawannya serta memberikan lingkungan perusahaan yang kondusif untuk bekerja dapat meningkatkan nilai perusahaan, profitabilitas dan produktivitas (Falaye dan Trahan, 2011). Wahdati (2019) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa kesejahteraan karyawan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan. Dengan tersedianya fasilitas serta sarana dan prasarana yang mendukung karyawan dalam bekerja tentunya akan memberikan banyak dampak positif terhadap karyawan seperti meningkatnya antusiasme, kinerja hingga munculnya pemikiran-pemikiran inovatif. Dengan tingginya tingkat kesejahteraan karyawan maka tentunya juga akan berpengaruh terhadap performa inovatif karyawannya (Employee Innovative Performance).

2.3.7 Pengaruh Employee Welfare terhadap Workplace Incivility

Sudi yang dilakukan oleh Nyakwara et al. (2014) menyebutkan bahwa protes dan mogok kerja yang berasal dari keresaha karyawan dapat diatasi dengan meningkatkan Employee Welfare. Selain berhasil untuk mengatasi keresahan yang ada pada karyawan, peningkatan Employee Welfare ini juga meningkatkan kinerja organisasi dan kesejahteraan karyawan. Dengan kata lain, peningkatan kesejahteraan dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku individu dalam lingkungan kerja. Employee Welfare yang rendah juga memungkinkan munculnya

Referensi

Dokumen terkait

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Pelingkupan No Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Berpotensi Menimbulkan Dampak Lingkungan Pengelolaan Lingkungan yang Sudah Direncanakan Komponen Rona Lingkungan Terkena

Jawab: Menurut saya diantara semua kegiatan yang telah dilaksanakan yang lebih efektif untuk meningkatkan motivasi yaitu pemantapan petugas karena kegiatan ini

1) Peralatan pengukur listrik dan pengesetannya yang tepat ditentukan dan digunakan sesuai dengan prosedur operasi (kerja) yang terstandar.. 2)  Aplikasi berbagai peralatan

Tabel 20 Jumlah Kasus Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) Menurut Jenis Kelamin, Kabupaten/Kota, Dan Puskesmas Provinsi Sulawesi Tengah Tahun

Dari hasil diatas, maka dapat disimpulkan belajar passing sepakbola dengan penerapan possession game sudah terlaksana dengan baik, ini dibuktikan pada tabel 5 ada

Jadi kata santri adalah orang yang sedang belajar pada seseorang (guru). Maka istilah santri sama dengan istilah murid. Kajian teoretis di atas mengandung permasalahan

Meskipun tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dan kejadian demensia namun dari penelitian ini didapatkan bahwa aktifitas fisik, mental, spiritual, dan sosial