• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KETEPATAN PENGKODEAN DIAGNOSIS KASUS FRACTURE PADA PASIEN RAWAT INAP BERDASARKAN ICD-10 DI RS TK.III DR. REKSODIWIRYO PADANG TAHUN 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS KETEPATAN PENGKODEAN DIAGNOSIS KASUS FRACTURE PADA PASIEN RAWAT INAP BERDASARKAN ICD-10 DI RS TK.III DR. REKSODIWIRYO PADANG TAHUN 2021"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

48

Lembaga Penelitian dan Pegabdian STIKES Dharma Landbouw Padang e-ISSN: 2715-5250

ANALISIS KETEPATAN PENGKODEAN DIAGNOSIS KASUS FRACTURE PADA PASIEN RAWAT INAP

BERDASARKAN ICD-10 DI RS TK.III DR. REKSODIWIRYO PADANG

TAHUN 2021

Wilda Permata Yuli1, Berly Nisa Srimayarti2

Prodi D3 Medical Record and Health Information STIKES Dharma Landbouw Padang email: wildapermatayuli19@gmail.com

STIKES Dharma Landbouw Padang, West Sumatra, Indonesia;

email: berlynisasrimayarti@gmail.com

ABSTRAK

Ketepatan kode adalah kesesuaian diagnosa dengan kode yang ditentukan petugas coder sesuai aturan ICD-10. Studi pendahuluan di RS Tk.III Dr.Reksodiwiryo Padang mengamati 10 berkas rekam medis rawat inap dengan kasus fracture. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa ketepatan pengkodean diagnosis kasus fracture berdasarkan ICD-10 di RS Tk.III Dr.Reksodiwiryo Padang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli tahun 2021. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomologi. Informan pada penelitian ini 1 orang Katim Casemix dan 2 orang petugas coder rawat inap. Analisis Pengolahan data menggunakan metode colaizzi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa masih ditemukan kesalahan pada kode diagnosa fracture karena belum sesuai dengan aturan pengkodean ICD-10. Ketidaktepatan pengkodean disebabkan karena faktor SDM dan tidak adanya kebijakan mengenai kode karakter ke-5. Sehingga disimpulkan bahwa masih terdapat kesalahan pada kode diagnosa kasus fracture karena tidak sesuai dengan aturan ICD-10.

Ketidaktepatan pengkodean disebabkan karena kurangnya kepedulian dokter dan petugas coder dalam menginput diagnosa penyakit yang lengkap, spesifik dan tidak memperhatikan kode karakter ke-5. serta kebijakan yang belum tersedia.

Kata Kunci: Ketepatan, diagnosa, fracture, ICD-10, coder.

ABSTRAK

The accuracy of the code is in accordance with the diagnosis with the code determined by the coder in accordance with the ICD-10 rules. A preliminary study at Tk.III Hospital Dr.Reksodiwi Recordryo Padang observed 10 inpatient medical files with fracture cases. This study aims to ensure the accuracy of coding the diagnosis of fracture cases based on ICD-10 at Tk.III Hospital Dr.Reksodiwiryo Padang. The research was conducted in July 2021. This study used a qualitative research with a phenomenological approach. Informants in this study 1 Katim Casemix and 2 inpatient coder officers. Analysis Data processing using the Colaizzi method. The results of this study found that errors were still found in the fracture diagnosis code because it was not in accordance with the ICD-10 coding rules. The coding inaccuracy is caused by HR factors and the absence of a policy regarding the 5th character code. Therefore, there are still errors in the fracture diagnosis code because it does not comply with the ICD-10 rules. The coding inaccuracy is caused by the lack of attention from doctors and coders in entering a complete, specific disease diagnosis and not paying attention to the 5th character code. and policies that are not yet available.

Keywords : Accuracy, diagnosis, fracture, ICD-10, coder.

(2)

49 Lembaga Penelitian dan Pegabdian

STIKES Dharma Landbouw Padang e-ISSN: 2715-5250

PENDAHULUAN

Rumah sakit adalah bagian dari organisasi sosial dan kesehatan yang berfungsi memberikan pelayanan paripurna, penyembuhan penyakit. Semua sarana pelayanan kesehatan harus membuat rekam medis yang di buat oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya guna mencapai tertib administrasi (Permenkes RI, 2020).

Rekam medis adalah berkas yang berisikan identitas pesien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan. Untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu maka diperlukan sarana penunjang yang memadai diantaranya dengan menyelenggarakan rekam medis (Permenkes RI, 2008).

Salah satu kegiatan dalam mengelola rekam medis adalah kegiatan coding yang berfungsi sebagai mengkode klasifikasi penyakit sesuai berdasarkan ICD-10. Coding menetapkan kode dengan huruf atau angka atau kombinasi huruf dan angka. Ketepatan kode merupakan tanggung jawab petugas rekam medis (Hatta, 2013). Pengkodean memiliki tujuan untuk menyamakan nama dan golongan penyakit, cidera, gejala dan faktor lainnya. (Depkes RI, 2006).

Diagnosis ialah istilah yang menunjuk pada nama penyakit yang ada pada pasien yang perlu dirumuskan/ditentukan oleh dokter. Setelah dilakukan penetapan diagnosis akhir tersebut kemudian baru akan dilakukan pengkodean berdasarkan ICD-10 untuk kode diagnosis sedangkan ICD-9CM untuk kode tindakan (Hardjodisastro, 2006).

Ketepatan data diagnosis sangat penting untuk manajemen data klinis, pembiayaan, dan hal lain terkaitasuhan dan pelayanan kesehatan (Hatta, 2013). Untuk memperoleh data yang bermutu maka diperlukan pengkodean yang tepat. Untuk mengkode dengan tepa maka rekam medis perlu trisi dengan. Di lain sisi untu hasil pengkodean bermanfaat dalam membuat laporan morbiditas, mortalitas, daftar 10 besar penyakit, dan pembuatan indeks penyakit. Kode yang tidak tepat akan memberikan data tidak akurat, dan berpotensi merugikan rumah sakit ataupun pasien.

Penyebab ketetapan diagnosis karena tulisan dokter tidak terbaca, selain itu petugas tidak mengkode dengan lengkap yang diikuti keterangan close atau open (Rusliyanti, 2016).

Penelitian lain juga dilakukan oleh (Rahmadani, 2018) tingkat kelengkapan berkas sudah mencapai 84 berkas (99%). Kelengkapan kode mencapai 64%. Di sisi lain untuk ketepatan, mencapai 3%. Ketidaktepatan banyak terjadi pada kriteria beda 1 karakter yaitu 36%.

Kualifikasi petugas rekam medis tidak berpegaruh terhadap ketidaktepatan pengisian kode diagnosis pada rekam medis. Melainkan, disebakan kendala pada SIMRS yang tidak menunjang untuk pengkodean karakter ke-5, serta tidak adanya kebijakan terkait pengkodean karakter ke-5. Didapatkan bahwa 27% kode diagnosis fracture tidak tepat dikarenakan mengikuti sistem pengkodean pada computer (Kantara, 2017).

Berdasarkan survey awal yang telah penulis lakukan pada tanggal 11 Februari 2021 di RS Tk.III Dr. Reksodiwiryo Padang. Penulis menemukan masalah saat petugas coder melakukan pengkodean diagnosa kasus fracture. Penulis mengamati 10 berkas rekam medis rawat inap yang sudah dituliskan diagnosa penyakitnya oleh dokter. Dalam pengkodean diagnosa kasus fracture terdapat 6 (60%) rekam medis yang tidak menggunakan karakter ke-5 dan 4 (40%) rekam medis yang menggunakan karakter ke-5. Hal tersebut terjadi karena penulisan diagnosa yang dituliskan oleh dokter kurang jelas dan tidak spesifik. Sehingga menyulitkan petugas coder untuk melakukan pengkodean penyakit karena jika penulisan dokter kurang jelas dan tidak spesifik, petugas coder akan mengembalikan berkas rekam medis tersebut ke dokter yang bersangkutan, jika dokter tidak memperbaiki diagnosa tersebut, petugas coder akan mengkode sesuai dengan diagnosa yang ditulis

(3)

50 Lembaga Penelitian dan Pegabdian

STIKES Dharma Landbouw Padang e-ISSN: 2715-5250

dokter. Maka dari permasalahan tersebut berpengaruh kepada ketepatan pengkodean yang akan dilakukan petugas coder.

Pengkodean diagnosis fracture di RS Tk.III Dr. Reksodiwiryo Padang tidak semuanya terkode dengan karakter ke-5. Penyebabnya karena kurangnya kepedulian petugas coder dalam mengisi atau menginput kode diagnosa sampai karakter ke-5.

Untuk kasus fracture harus di kode dengan penggunaan karakter ke-5, jika tidak maka akan kode menjadi tidak tepat dan berpotensi menimbulkan kerugian bagi Rumah Sakit. Menurut buku ICD- 10 pengkodean pada bab XIX harus dilengkapi dengan kode karakter ke-5 untuk menunjukkan fracture tertutup atau terbuka. Penyebabnya persentase ketepatan kode diagnosis fracture yang rendah adalah, seperti tulisan dokter yang tidak terbaca dan diagnosis fracture pada rekam medis tidak lengkap dengan keterangan close atau open, akibatnya petugas hanya mengkode dengan karakter ke-4.

Berdasarkan masalah diatas, peneliti tertarik untuk meneliti terkait “Analisis Ketepatan Pengkodean Diagnosis Kasus Fracture Pada Pasien Rawat Inap Berdasarkan ICD-10 di RS Tk.III Dr.

Reksodiwiryo Padang Tahun 2021”.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengambilan sample menggunakan purposive sampling. Narasumber pada penelitian ini ialah 1 orang Katim Casemix dan 2 orang petugas coding rawat inap. Peneliti melakukan penelitian di RS Tk.III Dr.

Reksodiwiryo Padang. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2021.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Komponen Input

Sumber Daya manusia

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan kepada 3 orang informan diantaranya wawancara kepada Katim Casemix, 2 orang petugas coder rawat inap, mengenai sumber daya manusia, diketahui bahwa jumlah petugas coder rawat inap cukup memadai dengan jumlah coder rawat inap berjumlah 2 orang. Untuk kinerja para coder sudah cukup baik, walaupun hanya terdapat dua orang petugas coder pada bagian rawat inap tetapi sudah sesuai dan kompeten karena sudah pada bidangnya masing-masing. Untuk pelatihan tenaga coder sudah ada dari pihak rumah sakit, tapi untuk pelatihan coding fracture petugas coder belum pernah mengikutinya.

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan bahwa tenaga coder nya sudah cukup, dan kinerja coder pun sudah terlaksana dengan baik walaupun hanya dua orang yang melakukan pengkodean pada rawat inap. Upaya yang harus dilaksanakan adalah agar pihak rumah sakit lebih memberikan perhatian kepada coder dalam hal memberikan pelatihan khusus untuk coder.

Standar Operasional Prosedure (SOP)

Berdasarkan uraian wawancara yang berkaitan dengan kebijakan dapat disimpulkan bahwa petugas yang bekerja telah sesai SOP yang ditetapkan rumah sakit, tetapi ada permasalahan pada diagnosa kasus fracture karena ada beberapa diagnosa fracture yang kodenya tidak didukung aplikasi rumah sakit tersebut. Sehingga tidak sesuai dengan ketentuan ICD-10.

(4)

51 Lembaga Penelitian dan Pegabdian

STIKES Dharma Landbouw Padang e-ISSN: 2715-5250

SOP merupakan petunjuk atau panduan untuk menjalankan pekerjaan petugas sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja menurut petunjuk teknis teknis, administrasi, prosedur kerja pada unit kerja terkait (Atmoko Tjipto, 2011).

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan bahwa sebaiknya semua petugas rekam medis melaksanakan pekerjaan sesuai SOP yang ada di rumah sakit agar memudahkan petugas dalam penyelenggaraan rekam medis dan petugas menanamkan sifat bertanggung jawab.

2. Komponen Proses Pelaksanaan

Berdasarkan uraian wawancara mendalam yang berkaitan dengan pelaksanaan dapat disimpulkan bahwa terdapat permasalah pada pelaksanaan ketepatan pengkodean diagnosis kasus fracture berdasarkan ICD-10. Karena tidak semua diagnosis kasus fracture menggunakan karakter ke- 5 sedangkan aturan di ICD-10 harus menggunakan karakter ke-5. Jika pengkodean fracture tidak sesuai dengan ICD-10 akan dapat merugikan salah satu pihak.

Pelaksanaaan adalah kewajiban bagi petugas dalam organisasi. Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban maka diperlukan tujuan berupa hasil yang baik dan sesuai dengan yang ditentukan sebelumnya.

Berdasarkan wawancara dan pengamatan bahwa petugas coder harus lebih teliti dalam menginput diagnosa penyakit ke aplikasi E-Klaim, karena jika terdapat kesalahan diagnosa akan mengakibatkan ketidaktepatan diagnosa dan pending klaim yang dapat menunda pembayaran pada rumah sakit. Dan sebaiknya, jika kode diagnosa menggunakan karakter ke-5 seharusnya petugas coder mengkode diagnosa tersebut sampai pada karakter ke-5 sehingga tidak terjadi ketidaksesuaian biaya.

Monitoring Dan Evaluasi

Berdasarkan uraian wawancara mendalam kepada petugas dapat disimpulkan bahwa monitoring dan evaluasi tidak pernah dilaksanakan.

Monitoring dilakukan untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan, sementara itu evaluasi berguna untuk memberikan penilaian terhadap suatu kegiatan (Notoatmodjo, 2007). Monev sangat penting dalam proses guna mendapatkan umpan balik (feed back).

Monitoring dan evaluasi dipakai untuk memastikan perencanaan berjalan dengan sesuai, apabila input terpenenuhi dan proses berlangsung sesuai rencana maka akan didapatkan hasil yang baik pula.(Bustami, 2011).

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan bahwa sebaiknya diadakan monitoring dan evaluasi guna menelaah masalah yang ditemui saat pelaksanaan kegiatan, agar pekerjaan lebih efektif lagi untuk kedepannya.

3. Output

Berdasarkan uraian wawancara mendalam kepada petugas mengenai output ketepatan pengkodean diagnosis kasus fracture pada pasien rawat inap berdasarkan ICD-10 di RS Tk.III Dr.

Reksodiwiryo Padang secara keseluruhan belum terlaksana dengan baik, karena masih terdapat ketidaktepatan kode diagnosis kasus fracture berdasarkan ICD-10.

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan bahwa salah satu upaya agar output ketepatan pengkodean diagnosis kasus fracture pada pasien rawat inap berjalan dengan baik yaitu dengan cara menyesuaikan pengkodean diagnosis kasus fracture berdasarkan ICD-10 yang berlaku di RS Tk.III Dr.

Reksodiwiryo Padang serta meningkatkan rasa kepedulian petugas coder dalam menginput diagnosa yang lengkap dan sesuai.

(5)

52 Lembaga Penelitian dan Pegabdian

STIKES Dharma Landbouw Padang e-ISSN: 2715-5250

PENUTUP Kesimpulan :

1. Komponen input :

a. Sumber Daya Manusia (SDM) cukup dan sudah kompeten dalam bidangnya. Belum adanya pelatihan khusus atau kebijakan dari rumah sakit terkait pengkodean fracture. Kesalahan yang terjadi tidak sepenuhnya karena petugas coder tetapi juga karena dokter yang tidak menuliskan diagnosa penyakit dengan lengkap dan tidak spesifik yang mengakibatkan petugas coder mengkode diagnosa tidak tepat.

b. Standar Operasional Prosedur (SOP) nya sudah berlangsung baik dan sesuai harapan rumah sakit, namun untuk kebijakan tentang pemberian kode karakter ke-5 belum ada sehingga mengurangi rasa kepedulian petugas dalam menginput karakter ke-5.

2. Komponen proses :

a. Pelaksanaan untuk ketepatan pengkodean diagnosis kasus fracture berdasarkan ICD-10 masih kurang tepat dan masih kurangnya kesadaran dokter untuk menuliskan diagnosis penyakit dengan lengkap dan spesifik yang dapat membantu tugas coder dalam menginputkan kode diagnosa penyakit yang tepat ke dalam aplikasi E-Klaim. Selain karena dokter yang tidak menuliskan diagnosa penyakit tidaklengkap dan tidakspesifik, juga karena petugas coder yang lalai dan tidak memperhatikan diagnosa pasien termasuk pada kode karakter ke-5 dalam pengkodean diagnosa kasus fracture.

b. Monitoring dan evaluasi tidak pernah dilakukan, tetapi untuk evaluasi hanya dari petugas BPJS sekali 1 tahun.

3. Komponen output; Ketidaktepatan pengkodean disebabkan karena kurangnya kepedulian dokter dan petugas coder dalam menginput diagnosa penyakit yang lengkap, spesifik dan juga tidak terlalu memperhatikan kode karakter ke-5.

UCAPAN TERIMAKASIH

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Dosen Program Studi D-3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan dan Dosen Pembimbing Ibuk Berly Nisa Srimayarti, S.KM,M.KM yang telah banyak membantu memberikan saran dan masukan.

DAFTAR PUSTAKA

Atmoko, Tjipto. (2011). Standar Operasional Prosedur (SOP) dan akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Bandung : Unpad

Bustami. (2011). Peminjaman Mutu Pelayanan Kesehatan dan Aksebtabilitas. Jakarta : Erlangga.

Hardjodisastro, D. (2006). Menuju Seni Ilmu Kedokteran : Bagaimana Dokter Berfikir, Bekerja dan Menampilkan Diri. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Kantara, L. R. (2017). Kualifikasi Petugas Coder Terkait Ketepatan Kode Di.agnosis Fracture Tahun 2017 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 1–14.

Permenkes RI (2008). Permenkes RI 269/MENKES/PER/III/2008. In Permenkes RI No 269/Menkes/Per/Iii/2008 (Vol. 2008, p. 7).

Permenkes RI (2020). Permenkes No. 3 Tahun 2020 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.

Rahmadani, H. F. (2018). Ketepatan Kode Diagnosis pada Kasus Fraktur di Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Bantul. 1–9.

Sudarmanto. (2011). Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Referensi

Dokumen terkait

(1) Kemampuan siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Silima Pungga Pungga Tahun Pembelajaran 2016/2017 dalam menulis puisi sebelum menggunakan media film bingkai tergolong

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara latihan berwudhu dengan kemampuan berwudhu siswa di Pondok

Dampak Kekerasan Dalam Berpacaran (Studi Kasusm pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember); Windha Ayu Safitri, 080910301073, 2013; 83

Biaya- biaya akibat aktivitas distribusi fisik tersebut ini akan dianalisis dengan metode tertentu dan akan diketahui apakah berperan terhadap peningkatan volume penjualan

Dalam proses pembuatan karya Nur Awaludin yang menggunakan dinding sebagai media karyanya terlebih dahulu ia membersihkan dinding seperti memberikan cat dasar ataupun

Yaitu pencurian yang telah diterangkan dalam pasal 367 KUHP yakni, Jika dia adalah suami/istri yang terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaan atau

Dengan berbagai kegiatan yang terjadi di sekitar dan dalam wilayah Danau Toba, maka perairan danau akan menerima suatu dampak lingkungan yang mempengaruhi