11 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Terkait Penafsiran
1. Pengertian Penafsiran
Penafsiran merupakan suatu metode dalam penemuan hukum (rechstvinding) dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas. Penafsiran ini merupakan suatu kegiatan yang amatlah penting dalam hukum karena suatu perundang-undangan tidak seluruhnya dapat disusun dalam bentuk yang jelas. Penafsiran ini sendiri merupakan suatu metode untuk memahami makna yang terkandung dalam naskah-naskah hukum untuk menyelesaikan suatu perkara yang memiliki peraturannya ada tetapi tidak jelas dalam hal perumusannya. Di sisi lain, dalam bidang hukum tata negara penafsiran yang dapat disebut penafisran oleh hakim (judicial interpretation) ini dapat menjadikan sebagai metode perubahan konstitusi dalam hal menambah, mengurangi, atau memperbaiki makna yang terdapat dalam naskah Undang- Undang Dasar.
2. Macam-Macam Penafsiran
Macam-macam yang akan diuraikan dan dijelaskan di bawah ini bukanlah suatu metode yang dianjurkan kepada hakim agar digunakan dalam rechtsvinding, tetapi tidak lain dari penjabaran dari putusan-putusan hakim.
Adapun macam-macam penafsiran sebagai berikut:23
23 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. 1993. Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. hal.
13
12 a. Penafsiran Gramatikal
Penafsiran tersebut lebih menekankan terhadap pentingnya keudukan Bahasa dalam konsep memberikan makna terhadap suatu objek. Metode tersebut disebut metode penafsiran obyektif dengan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menjabarkan menurut Bahasa dan susunan kata.
Dalam penafsiran gramatikal tersebut terdapat 3 pendekatan contextualism, yaitu:
• Nosciturr a socis, pendekatan tersebut mengartikan suatu perkatakaan harus dinilai dari suatu ikatannya dalam kumpulannya
• ejusdem generis, pendekatan tersebut menekankan suatu perkataan yang dapat digunakan dalam kelompok yang sama
• expressum facit cassare tacitum, kata-kata yang tercantum tegas mengakhiri pencarian mengenai maksud dari suatu perundang- undangan.
b. Penafsiran Teleologis
Penafsiran tersebut melihat makna berdasarkan tujuan kemasyarakatan.
Dalam penafsiran teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah tidak sesuai lagi, maka diterapkan dengan peristiwa, hubungan, kebutuhan dan masa kini. Jadi secara ringkasnya peraturan perundang- undangan yang lama disesuaikan dengan keadaan-keadaan masa kini atau keadaan baru.
13 c. Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis tersebut menggunakan metode mengkaitkan undang- undang dengan peraturan undang-undang lainnya. Hal ini dikarenakan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri dan lepas dari keseluruhan sistem perundang-undangan.
d. Penafsiran Historis
Penafsiran historis tersebut diterapkan dengan cara meneliti sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dalam penafsiran historis terdapat 2 macam, yaitu:
• Penafsiran menurut sejarah undang-undang
Sejarah undang-undang ini dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang. Metode tersebut merupakan suatu pandangan subjektif karena penafsir menempatkan diri pada pandangan subjektif pembentuk undang- undang.
• Penafsiran menurut sejarah hukum
Sedangkan menurut sejarah hukum ini harus memahami undang- undang dalam konteks seluruh sejarah hukum.
e. Penafsiran Komparatif
Metode penafsiran ini lebih condong pada perbandingan. Jadi jalan yang ditempuh dalam penafsiran komparatif ini memperbandingkan antara beberapa aturan hukum. Tujuan dari memperbandingkan ini dimaksudkan untuk mencari kejelasan mengenai makna dari suatu ketentuan undang-
14
undang. Tidak terhenti pada perbandingan makna, perbandingan juga membandingkan penerapan asas-asasnya dan latar belakang pembentukan sejarahnya.
f. Penafsiran Futuristis
Metode tersebut bersifat antisipasi karena penjelasan ketentuan undang- undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. Dengan kata lain penafsiran tersebut lebih bersifat ius constituendum (hukum yang dicitakan).
Metode yang telah diuraikan di atas merupakan metode yang lazimnya digunakan oleh hakim sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Tetapi penulis tidak terbatas pada penafsiran yang lazimnya digunakan di pengadilan. Penulis juga menguraikan penafsiran yang dikemukakan oleh Utrecht yaitu sebagai berikut:24
a. Penafsiran Menurut Arti Kata atau Istilah
Penafsiran tersebut hakim wajib mencari tahu arti kata dalam undang- undang dengan cara membuka kamus Bahasa atau meminta keterangan ahli Bahasa. Apabila belum merasa cukup, hakim harus mempelajari kata tersebut dalam susunan kata-kata kalimat atau hubungannya dengan peraturan lainnya. Penulis disini dalam menafsirkan rasa kebencian menurut pasal 156 KUHP dan pasal 28 ayat 2 UU ITE menggunakan penafsiran menurut arti kata atau istilah. Dimana nanti penulis membuka
24 Utrecht. 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang, cet. XI, PT. Jakarta : Ichtiar Baru. hal. 208
15
kamus Bahasa dan menggunakan pendapat para ahli dalam menafsirkannya.
b. Penafsiran Historis
Penafsiran tersebut sama halnya seperti penafsiran yang lazimnya digunakan di pengadilan yang menggunakan metode melihat sejarah hukum dan sejarah pembentukan undang-undangnya. Penafsiran historis tersebut, hakim ditekankan untuk mengetahui maksud dari peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk.
c. Penafsiran Sistematis
Penafsiran tersebut merupakan penafsiran menurut sistem yang ada dalam rumusan hukum itu sendiri. Penafsiran tersebut bisa dikaitkan dengan naskah hukum yang satu dengan yang lain jika keduanya mengatur hal yang sama. Jadi kedua naskah hukum tersebut dibandingkan dan dihubungkan satu sama lain.
B. Tinjauan Umum Terkait Tindak Ujaran Kebencian 1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana yang dalam hukum pidana itu berasal dari terjemahan strafbaarfeit. Untuk menerjemahkan kata strafbaarfeit, para sarjana di
Indonesia mengemukakan antara lain tindak pidana “delict”. Bahkan beberapa perbedaan istilah tindak pidana juga digunakan dalam undang- undang antara lain:25
25 Tongat. 2008. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan. Malang.
UMM PRESS. Hal. 101.
16
a. Peristiwa pidana yang digunakan dalam pasal 14 Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950.
b. Perbuatan pidana yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil.
c. Tindak pidana yang digunakan dalam Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum
Hematnya, penggunaan beberapa istilah mengenai tindak pidana pada hakikatnya bukan menjadi persoalan yang terlalu signifikan selama konteks dan pemahamanan tentang makna sudah kita ketahui.
Adapun definisi mengenai tindak pidana menurut para ahli, antara lain:26 a. Menurut Simons
Tindak pidana merupakan kelakuan yang diancam oleh pidana, yang bersifat melawan hukum dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Simons menguraikan definisi tindak pidana yang cukup relevan karena Simons menambahkan subjek tindak pidananya.
b. Menurut Moeljatno
Tindak pidana hanya merujuk pada sifat perbuatannya saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana apabila dilanggar. Moeljatno ini membedakan antara tindak pidana dengan pertanggung jawaban pidana,
26 Ibid. hal. 102
17
jadi definisi Moeljatno hanya tertuju pada perbuatan yang dilanggar akan diancam dengan pidana.
c. Menurut Wirjono Prodjodikoro
Tindak pidana adalah suatu kelakuan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Wirjono hanya saja menjelaskan siapa saja yang dapat dikenakan hukuman pidana tanpa ada penjelas perbuatan ini melawan hukum atau tidak sehingga menurut penulis sedikit tidak relevan terhadap perkembangan hukum pidana saat ini.
Maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana merupakan suatu perbuatan manusia yang mempunyai unsur kesalahan yang telah dirumuskan dalam peraturan perundangan-undangan sehingga dapat dipidana terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini berkaitan dengan batasan rasa kebencian dalam perspektif tindak pidana ujaran kebencian. Sehingga dapat ditinjau tafsiran rasa kebencian dalam persepektif tindak pidana ujaran kebencian.
2. Pengertian Tindak Pidana Ujaran Kebencian
Ujaran Kebencian berasal dari kata ujar dan benci yang mana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti dari kata ujar adalah perkataan yang diucapkan dan benci adalah sangat tidak suka. Hematnya, tindak pidana ujaran kebencian merupakan suatu perbuatan manusia dengan perkataan, tulisan, tindakan yang menunjukkan rasa sangat tidak suka. Penjelasan tersebut merupakan arti sempit dari tindak pidana ujaran kebencian. Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai tindak pidana ujaran kebencian yaitu sebagai berikut:
18 1. Menurut Peraturan Perundang-undangan
Ketentuan mengenai tindak pidana ujaran kebencian tersebut sebenarnya telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu:
a. Pasal 16 UU No 50 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi:
Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
b. Pasal 156 KUHP : Barangsiapa dimuka umum menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia, dihukm penjara selama-lamanya 4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya 4.500
c. Pasal 28 ayat 2 UU ITE
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan.
Hematnya menurut peraturan perundang-undangan, definisi mengenai tindak pidana kebencian adalah setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan atau
19
menyebarkan informasi di muka umum untuk maksud menyatakan rasa kebencian terhadap individu maupun suku, agama, rasa, dan antar golongan. Tetapi definisi secara pasti mengenai rasa kebencian dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku tidak diuraikan secara jelas mengenai batasan-batasan yang dimaksud dalam kebencian tersebut.
Ketiga peraturan perundang-undangan tersebut hanya memaparkan macam-macam tindak pidana ujaran kebencian dengan kualifikasi yang berbeda-beda. Dalam 156 KUHP kualifikasi khususnya terhadap perbuatan penyebaran kebencian di muka umum terhadap golongan- golongan rakyat Indonesia. Dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE kualifikasi khususnya adalah penyebaran kebencian menggunakan media sosial maupun media elektronik lainnya terhadap individu maupun kelompok.
Sedangkan dalam Pasal 16 UU No 50 Tahun 2008 kualifikasi khususnya terdapat pada perbuatan penyebaran kebencian terhadap orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.
Penulis mencoba menjelaskan mengenai makna ujaran kebencian dalam lingkup peraturan perundang-undangan yaitu pertama mengacu pada kata dasar kebencian adalah benci. Benci merupakan suatu pernyataan tidak suka terhadap seseorang. Jika dikaitkan dalam perspektif tindak pidana ujaran kebencian dalam pasal 156 KUHP batasannya terhadap menyatakan di muka umum untuk menyatakan perasaan permusuhan, rasa tidak suka atau penghinaan terhadap beberapa golongan
20
penduduk negara Indonesia baik individu maupun kelompok dengan tujuan untuk diketahui oleh orang banyak (umum).
Sedangkan makna dan batasan dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE tidak berbeda jauh dengan pasal 156 KUHP karena sama-sama tindak pidana ujaran kebencian dan yang menjadi pembeda batasannya di sini adalah terhadap akses memberikan informasi rasa tidak sukanya melalui media elektronik bisa berupa gambar, video, suara, atau tulisan yang mengungkapkan rasa tidak suka dan mengajak untuk permusuhan terhadap individu dan garis miring atau kelompok berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
2. Menurut Ahli a. David O. Brink
Ujaran Kebencian merupakan pernyataan atau ujaran yang lebih buruk dari pernyataan yang bersifat diskriminatif. Dia menggunakan simbol tradisional untuk melecehkan seseorang agar menimbulkan efek kesengsaraan secara psikologis.27 Hematnya yang dikatakan oleh David tersebut dalam pemaknaan kebencian adalah suatu pernyataan tidak suka yang dapat menimbulkan efek kesengsaraan secara psikologis terhadap orang yang menjadi sasaran kebenciannya.
b. Susan Benesch
27 Anam, M. Choirul & Hafiz, Muhammad. 2015. Surat Edaran Kapolri Tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam Kerangka Hak Asasi Manusia. Jurnal Keamanan Nasional, Vol. 1 No. 3. hal. 341
21
Ujaran tersebut dapat mengajak orang lain untuk berbuat kekerasan, menyakiti orang atau kelompok lain, maka ujaran kebencian itu berhasil dilakukan.28 Susan memaknai kebencian tersebut dengan ajakan orang lain untuk berbuat kekerasan dan menyakiti orang atau kelompok lain dengan niat awal mempunyai rasa tidak suka terhadap orang atau kelompok lain tersebut.
c. Indriyanto Seno Adji
Suatu pernyataan yang mengandung kebencian, menyerang, dan berkobar-kobar. Hal ini terletak pada niat dalam berujar memang dimaksudkan untuk menimbulkan dampak tertentu.29
Dari pendapat ahli tersebut dapat ditinjau mengenai tafsiran dan batasan rasa kebencian yaitu dalam pemaknaannya, para ahli menafsirkan kebencian tersebut adalah ungkapan untuk mengajak orang lain untuk menimbulkan kekerasan dan menyakiti seseorang atau kelompok secara fisik maupun psikologis.
3. Menurut Islam
Berkaitan dengan ujaran kebencian, Islam memaknainya dengan perkataan buruk yang dapat menyakiti orang lain. Ujaran kebencian sangat erat kaitannya dengan penghinaan dan pencemaran nama baik yang ada sangkut pautnya dengan perendahan harkat dan martabat orang lain. Allah SWT mengharamkan perbuatan apapun yang menyentuh suatu
28 Ibid. Hal. 342
29 Ibid. Hal. 343
22
kehormatan seseorang. Islam mengharamkan perbuatan-perbuatan tersebut. Adapun ayat dan hadits mengenai ujaran kebencian sebagai berikut:
a. Al-Hujurat ayat 630
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang diakhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.
b. Al-Hujurat ayat 1131
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolokolok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolokolokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa ayat tersebut dijadikan dasar bahwasannya perbuatan menghina, mengolok-ngolok, mencaci maki
30 Ali-Fauzi Ihsan. 2019. Buku Melawan Hasuatan Kebencian, Jakarta: Pusad, Yayasan Paramadina Mafindo. Hal. 7
31 al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir jilid 8 Cet. X Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir 2015. Hal 475
23
sesama manusia sebagai bagian dari ujaran kebencian dalam tafsir Ibnu Katsir.
c. HR Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad, 323 dan Ahmad, 6/459)32
Orang-orang yang moralnya paling buruk adalah mereka yang kerjaannya mengadu domba (menghasut), yang gemar memecah belah orang, dan yang suka mencari kekurangan pada manusia yang tidak berdosa.
Dalam perspektif Islam, ujaran kebencian mempunyai istilah-istilah tersendiri dalam Al-Qur’an yaitu sebagai berikut:33
a. Al-Hikdu
Menahan rasa permusuhan dalam hati dan mengeluarkannya pada kesempatan yang tepat (dengki). Mengeluarkan dimaksud adalah melalui perkataan maupun perbuatan sehingga menimbulkan dampak secara langsung maupun tidak langsung.
b. Al-Tahrid
Menganjurkan orang lain untuk mengetahui penganjurannya (menghasut). Menganjurkan dalam hal keburukan sehingga menimbulkan dampak yang buruk juga.
32 Muhammad, Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam Perspektif Islam, https://bangkitmedia.com/, diakses tanggal 29 Oktober 2021
33 Yayan Muhammad Royani. 2018. Kajian Hukum Islam Terhadap Ujaran Kebencian/Hate Speech dan Batasan Kebebasan Berekspresi. Jurnal Iqtisad: Reconstruction of Justice and Welfare for Indonesia. Vol. 5 No. 2
24 c. Iskhor
Menghina dan menganggap remeh orang lain seolah-olah derajatnya berada di atas mereka yang dianggap remeh.
d. Al-Lumzu
Perkataan dan perbuatan yang mencela dan melaknat dengan maksud menyakiti. Hal ini dimaknai sebagai bentuk ejekan yang langsung dihadapan orangnya baik menggunakan isyarat, bibir, tangan, atau kata- kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman.
e. Al-Tanabuz
Panggilan tidak pantas, dimana manusia mendengarkannya dan merujuk pada sesuatu yang buruk. Panggilan tidak pantas tersebut akan menimbulkan dampak buruk sehingga seseorang yang dipanggil tidak pantas mendapatkan akibatnya langsung atau tidak langsung.
f. Al-Zammu
Menisbahkan suatu hal pada orang lain dalam bentuk sindiran yang dapat menimbulkan kemarahan (dampak langsung terhadap perbuatan menisbahkan)
Dari istilah-istilah tersebut dapat ditinjau mengenai tafsiran dan batasan ujaran kebencian dalam perspektif Islam yaitu Islam menafsirakan rasa kebencian tersebut dengan menghasut dan menganjurkan rasa kebencian (tidak suka) kepada yang lain (orang atau kelompok) untuk menimbulkan
25
permusuhan. Sehingga juga dapat menjadi rujukan dalam penafsiran unsur tindak pidana ujaran kebencian dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE.
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Ujaran Kebencian
Seseorang dapat disalahkan jika telah melakukan tindak pidana apabila orang tersebut telah terbukti memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan dinyatakan oleh hakim dalam pengadilan.34 Apabila dalam dakwaannya satu unsur tidak memenuhi atau terbukti, maka orang tersebut tidak dapat dipersalahkan. Pada umumnya unsur-unsur tindak pidana menurut Lamintang dapat dibedakan dua macam, yaitu pertama unsur obyektif (terdapat di luar pelaku) berupa perbuatan, akibat, dan keadaan atau masalah-masalah tertentu yang diancam oleh undang-undang. Kedua yaitu unsur subyektif (terdapat dari dalam diri pelaku) hal yang dapat dipertanggung jawabkan atau kemampuan bertanggung jawab35
Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a. Kesengajaan ata ketidaksengajaan
b. Maksud pada suatu percobaan (pasal 53 ayat 1 KUHP)
c. Macam-macam maksud kejahatan seperti pencurian penipuan, dan lain- lain
d. Perasaan takut seperti yang terdapat di dalam rumusan pasal 308 KUHP
34 Tongat. 2015. Hukum Pidana Materiil. Malang. UMM PRESS. Hal. 2.
35 Ibid. Hal. 3
26
Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana, menurut penulis pendapat Simons merupakan hal yang memperkuat pendapat Lamintang.
Sebagai penganut pandangan monistis36, Simons menguraikan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:37
a. Perbuatan manusia b. Diancam dengan pidana c. Melawan hukum
d. Dilakukan dengan kesalahan
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana yang telah dijelaskan di atas, suatu perbuatan bisa dikatakan atau dinyatakan tindak pidana apabila memenuhi dan terbukti suatu syarat terjadinya tindak pidana (unsur-unsur tindak pidana). Adapun unsur-unsur tindak pidana dibagi menjadi dua bagian yaitu unsur subyektif, yaitu unsur yang ada pada pelaku seperti suatu niat, pengetahuan, dan kemampuan bertanggung jawab. Kemudian yang kedua yaitu unsur obyektif, yaitu unsur-unsur yang berkaitan dengan perbuatan pelaku atau keadaan dimana peaku melakukan perbuatan pidana.
Adapun unsur-unsur dan penjelasan singkat yang termasuk dalam tindak pidana ujaran kebencian dalam pasal 156 KUHP dan 28 ayat 2 UU ITE:
36 Monistis adalah suatu pandangan dalam ilmu hukum pidana yang tidak memisahkan antara perbuatan dengan pertanggungjawaban pidana.
37 Sudarto, 1990/1991. Hukum Pidana 1 A - 1B. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Hal. 32
27
a. Unsur-Unsur Pasal 156 KUHP Beserta Penafsirannya Unsur Obyektif
1) Tinjauan Tentang Penafsiran Barangsiapa
Merujuk kepada pelaku tindak pidana yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Barangsiapa di sini merujuk pada subjek hukum bisa terdiri dari orang dan badan hukum (korporasi).
Setiap subjek hukum diakui bahwa mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang. Barangsiapa tersebut pada intinya merupakan warga negara Indonesia maupun warga negara asing juga badan hukum. Dalam pasal 156 KUHP yang dimaksud dalam barangsiapa tersebut adalah seluruh warga negara Indonesia maupun warga negara asing juga badan hukum yang mempunyai atau penyandang hak dan kewajiban.
2) Tinjauan Tentang Penafsiran Dimuka umum
Suatu pernyataan yang dilakukan oleh pelaku dalam bentuk lisan tersebut dilakukan dimuka umum. Unsur tersebut menyatakan adanya situasi dan kondisi tertentu yang dipersyaratkan, bahwa perbuatan yang dilarang harus dilakukan “di muka umum”. Dimuka umum ini dimaksudkan dengan tempat yang dapat didatangi oleh siapa saja, dapat didengar siapa saja, dan dapat dilihat siapa saja. Seperti contohnya dalam orasi, ceramah, dan lain-lain. Jadi yang dimaksud dalam pasal 156 KUHP tersebut adalah suatu keadaan tindak pidana ujaran
28
kebencian tersebut dilakukan di tempat yang dapat di lalu lalang oleh orang atau di datangi, dan dilihat oleh orang.
3) Tinjauan Tentang Penafsiran Menyatakan perasaan pemusuhan, kebencian atau penghinaan
Menyatakan dalam kamus besar Bahasa Indonesia memiliki arti menerangkan, menjelaskan, menunjukkan, dan memperlihatkan.
Sehingga yang dimaksud oleh pelaku adalah menunjukkan perasaannya dengan cara memberikan suatu pernyataan langsung melalui lisan.
Adapun pernyataan yang diungkapkan oleh pelaku tersebut berisikan pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan. permusuhan, kebencian, atau penghinaan ini merupakan 3 (tiga) hal yang berbeda.
Permusuhan di sini diartikan sebagai lawan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia, Rasa Kebencian diartikan rasa sangat tidak suka terhadap seseorang yang melambangkan dengan ketidaksukaan, penghinaan, dan permusuhan, Rasa Kebencian ini sendiri dalam pasal 156 KUHP berkaitan dengan tindak pidana ujaran kebencian sehingga rasa sangat tidak suka tersebut diungkapkan untuk menghasut, mengajak, mengisyaratkan, dan menganjurkan supaya terjadinya permusuhan, diskriminasi, kekerasan, dan terjadinya konflik sosial terhadap suatu atau beberapa golongan di Indonesia. Kemudian terhadap penghinaan yang berkaitan erat dengan perbuatan merendahkan nama baik atau kehormatan orang lain. Penghinaan sendiri memiliki kata dasar hina
29
yang mempunyai arti rendah kedudukannya sebagaimana yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
4) Tinjauan Tentang Penafsiran Terhadap satu atau lebih dari satu golongan penduduk Indonesia.38
Pernyataan yang berisikan permusuhan, kebencian atau penghinaan tersebut dihadapkan kepada satu atau lebih dari satu golongan penduduk Indonesia. Golongan yang dimaksud dalam pasal 156 KUHP tersebut adalah Golongan penduduk Indonesia ini berbagai macam bisa seperti golongan suku, agama, ras, politik, etnis, gender, kaum difabel, orientasi seksual, aliran keagaaman, kepercayaan, organisasi, wilayah, keturunan, kebangsaan, kedudukan menurut hukum dan lain-lainnya yang ada di Indonesia atau singkatnya Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
b. Unsur-Unsur Pasal 28 Ayat 2 UU ITE Beserta Penafsirannya Unsur Obyektif
1) Tinjauan Tentang Penafsiran Setiap Orang
Setiap orang memiliki definisi orang secara pribadi sebagaimana yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kemudian dalam pasal 1 angka 21 UU ITE setiap orang mempunyai definisi orang perseorangan warga negara Indonesia, negara asing, juga badan hukum.
Penjelas lebih lanjut mengenai setiap orang tersebut tercantum pada
38 P.A.F LAMINTANG. 1987. Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara. Sinar Baru. Bandung. hlm. 457
30
pasl 1 angka 6a yang mana disebutkan bahwa Setiap orang ini merupakan penyelenggara sistem elektronik yang menyediakan, mengelola, dan garis miring atau mengoperasikan sistem elektronik, baik secara sendiri maupun bersama.
2) Tinjauan Tentang Penafsiran Menyebarkan Informasi
Unsur tersebut merupakan suatu tindakan yang mana tindakan tersebut dilakukan melalui sarana elektronik atau internet bisa berupa informasi suara, video, gambar, atau tulisan elektronik. Kata menyebarkan di sini dipersamakan dengan agar diketahui oleh umum yang ada di dalam media elektronik. Kata menyebarkan sendiri memiliki persamaan dengan dapat diketahui umum dan kata menyebarkan berawalan dari kata dasar sebar yang dalam KBBI memiliki arti menghamburkan, menyiarkan, menabur, membagi-bagikan, dan mengirimkan. Jika dikaitkan dengan kata menyebarkan dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE, menyebarkan memiliki makna membagi-bagikan atau mengirimkan.
Sehingga perbuatan menyebarkan informasi ini mempunyai tujuan untuk dapat diakses, dilihat, dibaca, dan didengar oleh semua orang.
3) Tinjauan Tentang Penafsiran Informasi elektronik ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau permusuhan
Informasi elektronik dalam pasal 1 angka 1 mempunyai arti satu atau sekumpulan data elektronik yang tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, foto, EDI, surat elektronik, teleks, atau sejenisnya.
31
Bentuk informasi elektronik yang disebarkan bermakna mengajak, mempengaruhi, menggerakkan, menghasut atau mensyiarkan pada orang lain agar ikut memiliki rasa kebencian secara kolektif dan garis miring atau permusuhan. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh beberapa ahli yang penulis cantumkan pada penjelasan sebelumnya bahwa rasa kebencian dalam tindak pidana ujaran kebencian adalah suatu pernyataan rasa sangat tidak suka dengan adanya hasutan dan anjuran rasa kebencian (tidak suka) kepada yang orang lain (orang atau kelompok) secara kolektif untuk menimbulkan permusuhan. Jadi yang perlu ditekankan pada rasa kebencian dalam tindak pidana ujaran kebencian adalah adanya unsur hasutan untuk mengajak agar memiliki rasa kebencian secara kolektif dan permusuhan berdasarkan SARA.
Bukan kepada penyampaian pendapat yang menggunakan pikirannya untuk melahirkan sikap setuju, tidak setuju, suka, tidak suka, atau netral.
4) Tinjauan Tentang Penafsiran Terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
Yang dimaksudkan dalam unsur tersebut adalah informasi yang berisikan kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Suku yang ada di wilayah Indonesia (Jawa, Batak, Sunda, Madura, dll), Agama yang ada di wilayah Indonesia (Islam, Kristen, Katholik, Budha,
32
Hindu, dll), Ras yang ada di Indonesia (Ras Malayan-Mongoloid, Kaukasoid, Negroid, dll) Kemudian istilah antargolongan di sini merupakan sebagai pengisi kekosongan hukum agar tidak terjadi pelanggaran terhadap UUD 1945. Antargolongan setelah adanya putusan MK Nomor 76/PUU-XV/2017 tersebut adalah semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama dan ras seperti golongan domisili, profesi/mata pencaharian golongan yang tergabung dalam organisasi tertentu dan lain sebagainya.
Unsur Subyektif
5) Tinjauan Tentang Penafsiran Dengan Sengaja
Perbuatan tersebut dilakukan dengan niat dan pengetahuan dari dalam pelaku dan kesadaran penuh terhadap apa yang dilakukan. Dalam hal tindak pidana ujaran kebencian, Pelaku tersebut mengetahui dan menghendaki agar muncul rasa permusuhan atau kebencian terhadap seseorang atau kelompok atas dasar Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Adapun macam-macam dari kesengajaan yaitu sebagai berikut :39
1) Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan. Dalam hal ini pelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang.
2) Kesengajaan dengan sadar kepastian, apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi
39 Tongat, Op.cit. Hal. 10
33
dasar dari perbuatan pidana. Dalam hal ini ada dua kemungkinan akibat yang akan muncul yaitu sebagai berikut:
- Akibat yang memang dituju si pelaku yang dapat merupakan delik sendiri
- Akibat yang tidak diinginkan tapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam akibat pertama
3) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan, dalam hal ini keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi atau singkatnya akibat yang dituju disadari bahwa adanya kemungknan akan timbul akibat lain.
Dalam Memorie van Toelichting (MvT) Belanda, arti dari sengaja ini memiliki 2 aspek kesengejaan, pertama melakukan suatu perbuatan yang dilarang dengan “dikehendaki” dan yang kedua melakukan suatu perbuatan yang dilarang dengan “diketahui.”40 Istilah mengetahui mengandung arti menyadari, mengerti, dan memahami. MvT telah memberikan arah yang cukup jelas mengenai unsur kesengajaan ini yang mana pada bagian pertama terkait pengertian sengaja sebagai pengetahuan atau apa yang diketahui. Pada bagian kedua terkait korelasi kesengajaan sebagai kehendak dan pengetahuan dengan unsur- unsur lain yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana.
40 F.A.P Lamintang (i). 1990. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Penerbit Sinar Baru Bandung.
Hal. 268.
34
6) Tinjauan Tentang Penafsiran Tanpa Hak
Pelaku tidak memiliki hak, atau tidak ada alas hak yang sah, tidak ada peraturan perundang-undangan yang membenarkan, atau tidak ada perjanjian yang memperbolehkan perbuatan itu. Tanpa hak di sini mempunyai dua corak yaitu objektif dan subyektif.41 Corak objektifnya terletak dalam sifat dicelanya perbuatan tersebut yaitu pada ujaran kebencian dari substansi informasi yang disebarkan. Corak subyektif terletak pada kesadaran si pembuat informasi kebencian. Tanpa hak di sini terletak pada isi informasi elektronik (corak objektif) dan juga pada kesadaran si pembuat informasi kebencian (corak subyektif), bukan kepada keadaan dan kedudukan si pembuat. Pendapat yang mengatakan tanpa hak tersebut melekat pada keadaan dan kedudukan si pembuat ini menurut penulis sangat tidak relevan karena yang ada hanya inkonstitutional pada pasal 28F UUD 1945 dimana dalam inti penjelasannya setiap orang berhak menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Unsur-unsur yang telah dijabarkan di atas ini guna sebagai pisau analisa terhadap unsur-unsur tindak pidana ujaran kebencian. Selain itu penjabaran unsur tindak pidana ujaran kebencian digunakan untuk menganalisis unsur mana yang menurut penulis bisa menimbulkan multitafsir dalam penerapan unsurnya. Sehingga unsur tindak pidana ujaran kebencian ini dapat ditinjau
41 Adami dan Ardi. 2015. Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik. Malang. MNC. Hal.129.
35
untuk menganalisa terhadap penafsiran dan batasan tindak pidana ujaran kebencian.
C. Tinjauan Umum Informasi dan Transaksi Elektronik 1. Pengertian Informasi dan Transaksi Elektronik
Informasi elektronik merupakan satu atau sekumpulan data elektronik yang tidak terbatas dalam tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik, telegram, teleks, telecopy
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Pengertian tersebut sudah dijelaskan dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 19 Tahun 2016 atas perubahan ITE Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Adapun pendapat para ahli yang menjadi dasar pemikiran penulis yaitu pendapat dari Jogiyanto HM, informasi merupakan hasil pengelolahan data dalam bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian yang nyata untuk pengambilan keputusan.42 Pendapat beliau menitik beratkan terhadap olahan data yang menggambarkan suatu kejadian yang nyata sehingga penerimanya bisa mengambil keputusan dari informasi tersebut.
Selanjutnya mengenai transaksi elektronik yang lebih dikenal dengan electronics transaction (e-commerce) yang pengertiannya telah tercantum
42 Pawit M. Yusup dan Priyo Subekti, T eori dan Praktek Penelusuran Infomasi (Informasi Retrieval) (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 1.
36
dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 19 Tahun 2016 atas perubahan ITE. Dimana dijelaskan bahwa transaksi elektronik merupakan tindakan hukum yang dilakukan dengan menggunakan alat komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Informasi dan transaksi elektronik membuahkan hasil dokumen elektronik yang mana dalam penjelasannya pada pasal 1 angka 4 Undang-undang No.
19 Tahun 2016 atas perubahan ITE setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, atau sejenisnya yang dapat dilihat, di dengar dan ditampilkan dalam computer maupun media elektronik lainnya.
2. Pengaturan Informasi dan Transaksi Elektronik
Dengan pesatnya perkembangan zaman sangat berpengaruh juga terhadap kehidupan khususnya dalam dunia teknologi yang makin hari makin pesat perkembangannya. Perkembangan Teknologi Informasi hadir mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan segala aktivitas manusia kini berurusan dengan elektronik. Untuk menyeimbangkan kebutuhan manusia dengan penggunaan teknologi, maka perlu dihadirkan pengaturan terkait elektronik.
Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hadir di tengah-tengah peristiwa hukum yang terjadi dalam dunia digital. UU tersebut mengalami perubahan dalam UU No. 19 tahun 2016.
Dengan disahkannya UU tersebut diharapkan mampu mendukung kegiatan dalam penggunaan maupun pemanfaatan teknologi secara aman dan baik. UU
37
tersebut mempunyai focus dalam menangani kejahatan yang ada dalam Internet.
Salah satu contoh kejahatan dalam UU tersebut adalah Ujaran Kebencian yang mana dilakukan di media sosial maupun internet yang ditujukan untuk menyatakan rasa kebencian terhadap individu dan/atau kelompok berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Pengaturan tersebut dijelaskan dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE. Dalam perjalanannya, pasal tersebut menuai berbagai problematika sehingga pada tahun 2021 dimunculkannya Surat Keputusan Bersama mengenai pedoman implementasi atas pasal tertentu. Salah satunya adalah pedoman pasal 28 ayat 2 UU ITE tersebut. Walaupun telah menguraikan dengan kompleks dari frasa yang ada dalam 28 ayat 2 UU ITE tetapi masih belum ada penjelasan lebih lanjut mengenai makna dan batasan rasa kebencian.