• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Anatomi Kepala

Menurut Bontrager (2010) seperti bagian tubuh lainnya, radiografi tulang kepala membutuhkan pemahaman yang baik semua anatomi terkait.

Anatomi tulang kepala sangat kompleks, dan spesifik detail sangat diperlukan teknologis. Skull atau tulang kepala, bertumpu pada bagian superior kolumna vertebralis dan terbagi menjadi dua set utama yaitu, 8 tulang kranial dan 14 tulang wajah.

Tulang kranial terdiri atas 8 tulang terbagi menjadi 2 bagian yaitu tulang calvarium (skullcap) dan tulang lantai, masing-masing bagian tersusun atas 4 buah tulang. Tulang calvarium (Skullcap) terdiri atas, Tulang frontalis, tulang parietal kanan, tulang parietal kiri, tulang occipital.

Sedangkan tulang lantai terdiri atas tulang temporal kanan, tulang temporal kiri, tulang sphenoid, tulang edmoid.

Tulang frontal membentuk dahi dan bagian atas dari rongga mata.

Tepi supra orbital ditandai dengan takik ditengah sebelah dalam. Melalui takik ini pembuluh supra orbital dan syaraf supra orbital lewat. Permukaan sebelah dalam tulang frontal ditandai dengan lekukan-lekukan yang ditimbulkan oleh lekukan-lekukan permukaan otak.

Tulang parietal kiri dan kanan membentuk atap dan sisi tengkorak.

Permukaan luarnya halus, tetapi permukaan dalam ditandai oleh kerutan-

(2)

kerutan dalam yang memuat arteri-arteri cranium. Sebuah kerutan yang sangat besar kira-kira terletak disebelah tengah tulang ini memuat arteri meningealis medialis.

Gambar 1. anatomi tulang kepala anterior (Moore 2010) Keterangan gambar:

1. Sagital suture

2. Frontal protuberances 3. Coronal future

4. Maxilo nasal suture 5. Fronto-zygomatic suture 6. Maxilo lacrimal suture 7. Frontal process of maxillary

bone

8. Alveolar procecc of maxillary bone 9. Vertical ramus of

mandibule

10. Mental protuberance 11. Supraorbital incisures

12. Perpendicular lamina of ethmoid bone

13. Greater wing of sphenoid bone

14. Temporal bone 15. Infraorbita foramen 16. Zygomatic bone 17. Anterior nasal spine 18. Mastoid process 19. Intermaxillary suture 20. Angle of mandible 21. Mental foramen

(3)

Tulang oksipital terletak dibagian belakang dan bawah rongga cranium.

Tulang ini ditembus oleh foramen magnum atau lubang kepala belakang, yang dilalui medulla oblongata untuk bertemu dengan medulla spinalis.

Gambar. 2 Anatomi tulang kepala pada sisi lateral (Moore 2010) Keterangan Gambar:

1. Parietal bone 2. Lambdoid suture 3. Temporal squama 4. Mastoid process

5. External acoustic meatus 6. Zygomatic process of

temporal bone 7. Vertex

8. Bregma 9. Coronal suture 10. Pterion

11. External side of the greate wing of sphenoid bone

12. Nasal bone

13. Frontal process of maxillary bone

14. Zygomatic bone 15. Anterior nasal spine 16. Alveolar process 17. Hyoid bone

Dua tulang temporal membentuk bagian bawah dari sisi kanan dan kiri tengkorak. Setiap tulang terdiri dari dua bagian: bagian squama atau

(4)

bagian pipih menjulang keatas dan memungkinkan otot-otot temporal berkait padanya. Dari prosesus zygomatikus menjulang kedepan bertemu dengan os zygomatikus. Dibelakang dan dibawah prosesus ini terletak meatus akustikus eksternus (liang telinga luar) bagian mastoid terletak dibelakang dan kebawah sebagai prosesus mastoideus, permukaan luar memungkinkan otot sternokleido mastoideus berkaitan dengannya.

Prosesus mastoideus mempunyai ruang yang dikenal sebagai rongga udara mastoid dan sebuah ruangan khusus disebut antrum timpanik.

Bagian petrosum dari tulang temporal terjepit dalam dasar tengkorak dan terdapat alat-alat pendengaran.

Tulang sphenoid merupakan tulang yang membentang dari sisi fronto-parieto-temporal yang satu ke sisi yang lain. Secara umum tulang sphenoid dibagi menjadi greater wing dan lesser wing, di mana greater wing berada lebih lateral dibanding lesser wing. Kanalis optikus dibentuk oleh tulang ini (lesser wing). Selain itu terdapat juga sella turcica (yang melindungi kelenjar hipofisis) dan sinus sphenoid (suatu sinus yang membuka ke rongga hidung).

Etmoid adalah tulang yang ringan, berbentuk kubus, terletak pada atap hidung dan terjepit diantara kedua rongga mata. Terdiri atas dua labirin yang terdiri atas rongga etmoid atau sinus. Sinus-sinus ini tertutup kecuali ditempat-tempat perhubungan dengan rongga hidung. Etmoid juga memuat sebuah lempeng tegak lurus dan lempeng kribriformis (berbentuk tapis). Lempeng tengah yang tegak lurus membentuk bagian atas dari septum nasalis (sekat hidung). Lempeng kribiformis tepat dibawah sebuah takik pada tulang dahi. Diatas lempeng terletak sekumpulan alat pembau

(5)

(bulbus olfaktorius) dan melalui lubang-lubang lempeng ini berjalan serabut syaraf pembau kebagian atas hidung.

2. Cedera Kepala

a. Pengertian Cedera Kepala

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008).

Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cerebral disekitar jaringan otak.

b. Patofisiologi Cedera kepala

Menurut Tarwoto (2007) adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada paremkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas faskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder.

Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak

(6)

cedera jaringan otak. Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi.

Kerusakan primer ini dapat bersifat (fokal) local, maupun difus.

Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu.

Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat makroskopis.

Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma, misalnya Epidural Hematom yaitu adanya darah di ruang Epidural diantara periosteum tengkorak dengan durameter,subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Cedera Moore,dkk (2010) kepala dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang meliputi

1) Fracture tulang kepala

Fracture tulang tengkorak berdasarkan pada garis fracture menurut dibagi menjadi :

a) Fracture linier

Fracture linier merupakan fracture dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fracture lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak

(7)

terdapat fragmen fracture yang masuk kedalam rongga intrakranial.

Gambar. 3 (A) Jenis-jenis fracture tulang kepala, B Gambaran fracture impresi irisan sagital dan volume rendering (Moore 2010) Keterangan Gambar:

1. Fracture Linier 2. Fracture impresi 3. Fracture kominutif 4. Fracture basis kranii b) Fracture kominutif

Fracture kominutif adalah jenis fracture tulang kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fracture.

c) Fracture impresi

Fracture impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala.

(8)

Fracture impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan jaringan otak, fracture impresi dianggap bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.

d) Fracture basis kranii

Fracture Basilar melibatkan tulang yang membentuk dasar kranial (misalnya, tulang oksipital di sekitar foramen magnum, temporal dan tulang sphenoid, dan atap orbit). Akibat kebocoran cairan serebrospinal ke dalam hidung (CSF rhinorrhea) dan telinga (CSF otorrhea), saraf kranial dan cedera pembuluh darah dapat terjadi, tergantung pada lokasi patah. Fracture pterion bisa mengancam jiwa karena melapisi cabang frontal (anterior) meningeal tengah, yang terletak di lekukan pada aspek internal dinding lateral calvaria. Sebuah pukulan keras ke sisi kepala mungkin patah tulang tipis membentuk pterion, pecah cabang frontal tengah meningeal arteri persimpangan pterion. Hematoma yang dihasilkan memberikan tekanan pada korteks serebral yang mendasarinya. Meningeal tengah yang tidak diobati Pendarahan arteri dapat menyebabkan kematian dalam beberapa jam.

2) Laserasi kulit kepala

Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang

(9)

memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fracture tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.

3. Dasar CT Scan

Computed tomography scaning atau lebih dikenal dengan CT- Scan pertama kali diperkenalkan oleh Godfrey Houndsfield seorang insinyur dari EMI limited London dengan James Ambrosse seorang teknisi dari Atkinson Morleys Hospital di London Inggris pada tahun 1970 (Ballinger,1995).

Prinsip dasar cara kerja CT scan menurut Seeram (2001) yaitu, Saat sinar x melewati pasien, sinar-x akan mengalami atenuasi dan kemudian diukur oleh detektor. Tabung dan detektor sinar-x ada di dalam gantry pemindai dan diputar di mengelilingi pasien selama pemindaian. Detektor mengubah foton sinar-x (data atenuasi) menjadi sinyal listrik, atau sinyal analog, yang harus diubah menjadi data digital (numerik) untuk dimasukkan ke komputer. Komputer kemudian melakukan proses rekonstruksi citra. Citra yang direkonstruksi ada dalam bentuk numerik dan harus diubah menjadi sinyal listrik agar dapat ditampaka pada layar monitor. Citra dan data terkait kemudian dikirim ke PACS, di mana ahli radiologi dapat mengambil dan menafsirkannya.

Image atau citra yang terlihat berupa potongan melintang dari organ yang akan diperiksa tetapi komputer dapat pula mengubah

(10)

potongan melintang menjadi potongan sagital, coronal maupun miring tergantung perangkat lunak yang terdapat pada pesawat CT-Scan.

Generasi terbaru pada teknologi CT Scan adalah pengambilan irisan obyek dilakukan dengan bentuk spiral yaitu pergerakan meja (pasien/obyek) dengan kecepatan konstan secara bersamaan dilakukan scanning dalam bentuk rotasi mengelilingi obyek.

Pada teknik ini waktu yan dibutuhkan lebih singkat yaitu 1 sequance dalam 360° rotasi. CT Helical menggunakan metode slip ring pada prinsipnya menggantikan kabel-kabel tegangan tinggi yang terpasang pada tabung sinar-x di dalam gantry. Di dalam CT Helical dikenal prinsip single slice dan multi slice. Perbedaan utama dari kedua prinsip terletak pada lamanya pemeriksaan dan resolusi gambar yang dihasilkan (Rasad, 2005).

a. Data akuisisi Konvensional Scanner dan Spiral/Helical CT Scanners

Single slice scanning, atau CT konvensional, secara harfiah adalah akuisisi data yang diambil satu slice pada sekali waktu.

Selama scanning pasien tetap diam sementara tabung X-ray dan detektor berputar, 360 derajat atau kurang.

Pada tahun 1989, spiral CT scanning, juga dikenal sebagai helical CT scanning atau volume CT scanning, diperkenalkan (volume scanning selanjutnya akan digunakan untuk menggambarkan proses). Volume scanning diperoleh melalui gerakan terus menerus pasien melalui gantry scanner sementara

(11)

tabung X-ray dan detektor berputar, melalui 360 derajat, secara terus-menerus (Seeram, 2001).

Spiral/helical CT scanner tersebut dikembangkan menggunakan teknologi slip ring menggantikan hubungan antara kabel listrik dan tabung x-ray. Spiral scanning memiliki lebih banyak keuntungan daripada konvensional CT scanner, antara lain :

1) Waktu scan yang lebih cepat.

2) Slice thickness yang lepih tipis, berkurang sampai 1 mm, sehingga dapat mengidentifikasi lesi yang lebih kecil.

3) Potongan axial dapat direkonstruksi menjadi potongan coronal, sagittal dan oblique.

Akuisisi data adalah salah satu faktor yang berpengaruh besar pada kualitas citra CT, seperti rekonstruksi citra (Seeram 2001).

Perbedaan utama dalam akuisisi data geometri single slice dan MSCT scanner adalah bahwa MSCT scanner memanfaatkan array detektor yang terhubung ke tabung X-ray.

Pada MSCT, X-ray beam terkolimasi ke seluruh array detektor.

Slice thickness ditentukan oleh lebar berkas sinar dan jumlah baris dari detektor. Sebagai contoh, 16 baris detektor array dengan lebar pre-kolimator dari 32 mm akan menghasilkan 16 slice masing-masing dengan ketebalan 2 mm (Seeram 2001).

(12)

a b

Gambar 4. Fan beam geometry (a) dan cone beam geometry (b) (Seeram, 2001).

b. Detektor

Menurut seeram (2001) Multislice CT Scan berbeda dengan pesawat CT Scan biasa dimana hanya menggunakan satu lajur detektor. Sistem dari multislice ct scan adalah dilengkapi dengan dua atau lebih lajur detektor yang parallel dan selalu dilengkapi dengan teknologi CT Scan generasi ketiga dimana perputaran tabung sinar-x dan detektor berputar secara sinkron.

Bentuk multislice adalah multi-row detector-array. Detektor gas dan CT Scan generasi 4 dengan detektor ring 360° tidak bisa dipadukan. Konsekuensinya semua MSCT Scan merupakan CT Scan generasi ke-3 yang tipenya rotate-rotate dan menggunakan solid state detektor.

(13)

Gambar 5. Multislice detector 4-array, prinsip dari MSCT Scan dengan lebih dari dua lajur detektor (Seeram, 2001).

4. Parameter CT Scan

Citra pada CT Scan dapat terjadi sebagai hasil dari berkas sinar-x yang mengalami perlemahan setelah menembus obyek, ditangkap detektor dan dilakukan pengolahan dalam komputer.

Penampilan citra yang baik tergantung kualitas citra yang dihasilkan sehingga aspek klinis dari citra tersebut dapat dimanfaatkan untuk menegakkan diagnosis. Dalam CT Scan dikenal beberapa parameter untuk pengontrolan eksposian output citra yang optimal (Bontrager,2010). Adapun parameter tersebut adalah adalah :

a. Slice Thickness

Slice Thickness adalah tebalnya irisan atau potongan dari obyek yang diperiksa. Nilainya dapat dipilih antara 0,5 mm - 10mm sesuai dengan keperluan klinis. Ukuran yang tebal akan menghasilkan citra dengan detail yang rendah sebaliknya dengan ukuran yang tipis akan menghasilkan detail-detail yang tinggi. Bila ketebalan meninggi akan timbul gambaran-gambaran yang mengganggu seperti garis dan bila terlalu tipis akan gambaran akan terlihat tidak halus (Bontrager, 2010).

(14)

b. Range

Range adalah perpaduan/kombinasi dari beberapa slice tihkness. Pemanfaatan range adalah untuk mendapatkan ketebalan irisan yang berbeda pada satu lapangan pemeriksaan.

c. Faktor Eksposi

Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap eksposi meliputitegangan tabung (kV), arus tabung (mA) dan waktu (s). besarnya tegangan tabung dapat dipilih secara otomatis pada tiap-tiap pemeriksaan.

d. Field Of View (FOV)

FOV adalah diameter maksimal dari gambar yang akan direkonstruksi. Besarnya bervariasi dan biasanya berada pada rentang 12-50 cm. FOV kecil akan meningkatkan detail gambar (resolusi) karena FOV yang kecil mampu mereduksi ukuran pixel, sehingga dalam rekonstruksi matriks hasilnya lebih teliti. Namun bila ukuran FOV lebih kecil maka area yang mungkin dibutuhakan untuk keperluan klinis menjadi sulit untuk dideteksi.

e. Gantry Tilt

Gantry tilt adalah sudut yang dibentuk antara bidang vertical dengan gantry (tabung sinar-X dengan sektor). Rentang penyudutan antara -30° sampai +30°. penyudutan gantri bertujuan untuk keperluan diagnosa dari masing-masing kasus yang dihadapi.

(15)

f. Rekontruksi Matriks

Rekonstruksi matrik adalah deretan baris dan kolom dari picture element (pixel) dalam proses merekonstruksi gambar. Rekonstruksi matriks ini merupakan salah satu struktur element dalam memori komputer yang berfungsi untuk merekonstruksi citra. Pada umunya matrix yang digunakan berukuran 512 X 512 yaitu 512 baris dan 512 kolom. Rekontruksi matriks berpengaruh terhadap resoluis citra.

Semakin tinggi matriks yang dipakai maka semakin tinggi detail citra yang dihasilkan.

g. Rekonstruksi Algorithma

Rekonstruksi Algorithma adalah prosedur matematis yang digunakan dalam merekonstruksi citra. Penampakan dan karakteristik dari citra CT-Scan tergantung dari kuatnya Algorithma yang dipilih. Semakin tinggi rekonstruksi algorithma yang dipilih maka semakin tinggi resolusi citra yang dihasilkan. Dengan adanya metode ini maka citra seperti tulang, soft tissue, dan jaringan-jaringan lain dapat dibedakan dengan jelas pada layar monitor.

h. Window Width

Window Width adalah nilai computed tomography yang dikonversi menjadi gray scale untuk ditampilkan ke TV monitor.

Setelah komputer menyelesaikan pengolahan citra melalui rekonstruksi matriks dan algorithma maka hasilnya akan dikonversi menjadi skala numerik yang dikenal dengan nama nilai

(16)

computed tomography, nilai ini mempunyai satuan HU (Hounsfield Unit)

Dasar pemberian nilai ini adalah air dengan nilai 0 HU.

Untuk tulang mempunyai nilai +1000 HU kadang sampai +3000 HU. Sedangkan untuk kondisi udara nilai yang dimiliki -1000 HU.

Jaringan atau substansi lain dengan nilai yang berbeda tergantung dari nilai perlemahannya. Jadi penampakan tulang pada monitor menjadi putih dan udara menjadi hitam. Jaringan dan substansi lain akan dikonversi menjadi warna abu-abu bertingkat yang disebut gray scale. Khusus untuk darah yang semula dalam penampakannya berwarna abu-abu dapat menjadi putih jika diberi media kontras (Rasad, 2005).

i. Window Level

Window Level adalah nilai tengah dari window yang digunakan untuk penampilan citra. Nilainya dapat dipilih dan tergantung pada karakteristik perlemahan dari strutur obyek yang diperiksa. Window Level menentukan densitas (derajat kehitaman) citra yang dihasilkan.

5. Konsep Kernel

Kernel rekonstruksi atau kernel image procecing didefinisikan sebagai filter pengolahan citra yang diterapkan pada data mentah atau raw data untuk menghasilkan suatu citra dengan ketajaman yang diharapkan. Ketajaman citra yang dihasilkan paling langsung dipengaruhi oleh jenis filter yang digunakan. Kernel biasanya memiliki nama yang lebih tepat seperti kernel tulang dan kernel jaringan lunak.

(17)

Soft kernel konvolusi akan menghaluskan tepi dan mengurangi noise citra. Soft kernel ini dapat menguntungkan untuk diterapkan pada pasien obesitas dimana rasio signal-to-noise dapat berkurang akibat atenuasi jaringan adiposa. Kernel konvolusi mempertajam tepi citra dengan meningkatkan noise citra secara keseluruhan (Choi,2013).

Gambar. 6 Pasien CT scan head dengan pemilihan kernel yang berbeda A. Kernel lowpass alogaritma B. Kernel high pass alogaritma (Choi,2013)

Kernel konvolusi digunakan pada kalkulasi proyeksi untuk mengkompensasi kekaburan citra yang disebabkan oleh proses back projection dalam rekonstruksi filter backprojection (FBP). Kernel rekonstruksi bisa disesuaikan untuk mengubah resolusi spasial dengan menaikan atau menurunan noise sebagai gantinya.

Pemilihan kernel konvolusi CT menentukan tingkat ketajaman citra dan noise pixel. Algoritma high pass filter digunakan pada Kernel konvolusi "tajam" yang tersedia secara komersial memberikan spasial

(18)

resolusi yang lebih tinggi frekuensi dengan menghasilkan nois yang lebih tinggi dan umumnya digunakan untuk jaringan dengan kontras CT yang tinggi. Sebaliknya, low pass algorithms digunakan dalam pencitraan "halus" kernel konvolusi mengurangi frekuensi yang lebih tinggi menyebabkan nois turun dan resolusi spasial dan bekerja terbaik untuk jaringan dengan kontras yang jauh lebih rendah seperti otak atau hati (Weiss,2014) .

Pada modalitas imaging MSCT Siemens terdapat 4 kode kernel yaitu:

1) H atau Head untuk kepala

2) B atau Body untuk thorax maupun abdomen 3) C atau Child-Head untuk kepala anak-anak

4) U atau Ultra High Resolution untuk pemeriksaan khusus Untuk masing-masing kernel memiliki beberapa fariasi dengan perbedaan resolusi semakin tinggi angka semakin tinggi resolusi yang didapatkan, untuk kepala terdapat beberapa fariasi yaitu :

1) H10s very smooth 2) H20s smooth 3) H21s smooth+

4) H22s smooth FR 5) H30s medium smooth 6) H31s medium smooth+

7) H32s medium smooth FR 8) H37s medium smooth 9) H40s medium

10) H41s medium+

11) H42s medium FR 12) H45s medium 13) H47s medium

14) H50s moderate sharp 15) H60s medium Sharp FR 16) H70s sharp FR

17) H80s very sharp FR 18) H90s very sharp FR 19) U90s ultra sharp 20) U91s ultra sharp.

(19)

6. Konsep Reformat Tiga Dimensi (3D)

Menurut Romans (2011) reformat tiga dimensi (3D) merupakan teknik untuk menampilkan volume scan hanya satu citra.

Berbeda penampilan dari dua dimensi (2D), bentuk dari teknik tiga dimensi (3D) ini memanipulasi atau menggabungkan nilai-nilai CT untuk menampilkan citra, ada beberapa teknik rekontruksi citra tiga dimensi (3D) antara lain multiplar reconstrucsi (MPR), surface rendering (SRT), dan volume rendering technique Semua teknik tiga dimensi (3D) menggunakan proses yang menarik garis imajiner dari penampil melalui volume data. Display dihasilkan dengan memperhitungkan beberapa atau semua (tergantung pada teknik yang digunakan) dari nilai CT sepanjang setiap baris dan tepat bobot setiap titik. Proses ini rumit. Untungnya memahami seluk-beluk metode ini tidak penting untuk secara efektif menghasilkan tampilan citra tiga dimensi (3D).

Terdapat empat teknik rekontruksi tiga dimensi (3D) yaitu multiplar reconstrucsi (MPR), teknik surface rendering (SR), volume rendering technique (VRT), dan teknik 3D lainnya yaitu maksimum intensitas proyeksi (MIP) merakit data dari volume tetapi menampilkan data dalam gambar yang datar.

Prinsip multiplar reconstrucsi (MPR) berlaku untuk mereformat citra tiga dimensi (3D) yaitu dimana software memungkinkan untuk kombinasi yang berbeda dari ketebalan irisan dalam model tiga dimensi (3D) tunggal, dari citra tersebut dilakukan pembuatan irisan

(20)

sesuai protokol dari bidang diinginkan (misalnya, fracture atau lokasi tumor).

Gambar 7 Hasil CT Scan kepala irisan sagital (Moore 2010)

Gambar 8 hasil reformat volume rendering CT Scan kepala (Moore 2010)

Teknik surface rendering (SR), juga dikenal sebagai shadow surface display (SSD), mirip dengan mengambil foto dari permukaan struktur di bahwa voxel yang terletak di tepi struktur yang digunakan untuk menunjukkan garis besar atau di luar shell struktur. Dalam kebanyakan bentuk surface rendering (SR) citra yang dibuat dengan membandingkan intensitas masing-masing voxel dalam data diatur ke beberapa threshold yang telah ditentukan, software ini akan menyertakan atau mengecualikan voxel dan menggunakan informasi

(21)

ini untuk membuat permukaan suatu objek. The voxel yang tersisa dalam citra adalah biasanya tidak terlihat. surface rendering (SR) berguna untuk memeriksa struktur tubular, seperti bagian dalam permukaan saluran napas, usus besar, dan pembuluh darah.

Keuntungan untuk surface rendering (SR) adalah bahwa karena hanya menggunakan kecil porsi (sekitar 10 %) dari data yang tersedia, citra dapat dibuat dengan cepat bahkan di komputer kurang kuat. Namun dalam beberapa tahun terakhir kapasitas komputer telah diperluas secara dramatis, sehingga penggunaan surface rendering (SR) telah digantikan oleh volume rendering technique (VRT), namun surface rendering (SR) tetap menjadi teknik yang masih digunakan untuk pencitraan ortopedi karena unggul di menampilkan permukaan tulang, citra dapat diputar dan dilihat dari sudut manapun.

Volume rendering technique (VRT) telah menjadi teknik pencitraan 3D yang disukai, sebuah keuntungan dari volume rendering technique (VRT) bahwa semua voxel berkontribusi terhadap citra. volume rendering technique (VRT) adalah representasi semitransparan 3D dari dicitrakannya struktur, dengan aplikasi dalam setiap jenis pemeriksaan yang dilakukan dengan CT Scan, seperti metode 3D lainnya. Namun, teknik volume rendering technique (VRT) menggunakan jumlah kontribusi masing-masing voxel sepanjang garis, masing-masing voxel diberikan nilai opacity berdasarkan Hounsfield Unit. Nilai opacity ini menentukan sejauh mana itu akan memberikan kontribusi, bersama dengan voxel lain

(22)

sepanjang garis yang sama. Proses ini diulang untuk voxel di setiap baris, dengan setiap baris memproduksi satu voxel pada citra volume rendering technique (VRT). Tidak seperti teknik tiga dimensi (3D) lainnya, setiap voxel memberikan kontribusi dengan citra final.

Sedangkan maksimum intensitas proyeksi (MIP) terdapat dua teknik yaitu maksimum intensitas proyeksi (MIP) dan minimum intensitas proyeksi (MIP). Teknik maksimum intensitas proyeksi (MIP) merupakan teknik dimana menggunakan setiap voxel sepanjang garis dari yang dilihat oleh mata melalui kumpulan data dan memilih hanya dengan voxel nilai tertinggi untuk dimasukkan dalam citra yang ditampilkan. Sisa dari voxel diabaikan. Metode ini cenderung digunakan untuk menampilkan tulang dalam cara yang sama, MIP melibatkan memilih voxel dengan nilai minimum dari garis untuk ditampilkan.

7. Faktor yang mempengaruhi kualitas citra

Komponen yang mempengaruhi kualitas citra CT Scan adalah spatial resolution, kontras resolution, noise dan artefak (Bushberg, 2012)

a. Spasial resolusi

Spasial resolusi adalah kemampuan untuk dapat membedakan objek yang berukuran kecil dengan densitas yang berbeda pada latar belakang yang sama (Seeram,2001). Menurut spatial resolusi dipengaruhi oleh factor geometri. Faktor geometri adalah faktor yang berhubungan dengan proses akuisisi data antara

(23)

lain: ukuran focal spot, ukuran dan kemampuan detector dan slice thiknes, rekonstruksi algaritma (kernel) (Seeram, 2001).

b. Kontras resolusi

Menurut seeram (2001) dan Bushberg (2012) kontras resolusi adalah kemampuan untuk membedakan atau menampakan obyek-obyek dengan perbedaan densitas yang sangat kecil yang dipengaruhi oleh: faktor eksposi, slice thickness, FOV dan filter kernel (rekonstruksi algorithma)

c. Noise

Menurut seeram (2001) noise adalah fluktuasi (standar deviasi) nilai CT Number pada jaringan atau materi yang homogen.

Sebagai contoh adalah air memiliki CT Number 0, semakin tinggi standar deviasi nilai CT Number pada pengukuran titik-titik air berarti noisenya tinggi.

Noise ini akan mempengaruhi kontras resolusi, semakin tinggi noise maka kontras resolusi akan menurun. Faktor yang menyebabkan noise adalah: faktor eksposi, detector dan slice thickness, rekontruksi matrix, dan rekontruksi kernel) yang berbeda (Seram,2001).

d. Artefak

Secara umum artefak adalah kesalahan dalam citra (adanya sesuatu dalam citra) yang tidak ada hubungannya dengan obyek yang diperiksa. Dalam CT-Scan artefak didefinisikan sebagai pertentangan/ perbedaan antara rekonstruksi CT Number dalam

(24)

citra dengan koefisien atenuasi yang sesungguhnya dari obyek yang diperiksa (Seeram,2001).

8. Pemeriksaan CT-Scan Kepala a. Pengertian

Pemeriksaan CT-Scan kepala adalah pemeriksaan tomography secara komputerisasi untuk mengetahui kelainan- kelainan didaerah intracranial (Bontrager,2010).

b. Indikasi (Bontrager,2010)

Indikasi yang sering dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala antara lain tumor, massa dan lesi, metastase otak, perdarahan intra cranial, aneurisma, abses, atrophy otak atau Kelainan congenital, kelainan post trauma (epidural dan subdural hematom)

c. Persiapan pemeriksaan

Tidak ada persiapan khusus bagi penderita, hanya saja instruksi-instruksi yang menyangkut posisi penderita dan prosedur pemeriksaan harus diketahui dengan jelas terutama jika pemeriksaan dengan menggunakan media kontras. Benda aksesoris seperti gigi palsu, rambut palsu, anting-anting, penjempit rambut, dan alat bantu pendengaran harus dilepas terlebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan karena akan menyebabkan artefak, Untuk kenyamanan pasien mengingat pemeriksaan dilakukan pada ruangan ber-AC sebaiknya tubuh pasien diberi selimut

d. Persiapan alat dan bahan (Bontrager,2010)

Alat dan bahan yang digunakan untuk pemeriksaan kepala dibedakan menjadi dua, yaitu peralatan steril yang terdiri atas alat-

(25)

alat suntik, spuit, kassa dan kapas, alcohol, media kontras.

Sedangkan peralatan non-steril terdiri atas pesawat CT-Scan, tabung oksigen.

e. Prosedur Pemeriksaan (Bontrager,2010) 1) Posisi pasien

Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan posisi kepala dekat dengan gantry.

2) Posisi objek

Kepala hiperfleksi dan diletkkan pada head holder. Kepala diposisi sequancean sehingga mid sagital plane tubuh sejajar dengan lampu indikator longitudinal dan interpupilary line sejajar dengan lampu indikator horizontal. Lengan pasien diletakkan diatas perut atau disamping tubuh. Untuk mengurangi pergerakan dahi dan tubuh pasien sebaiknya difikasasi dengan sabuk khusus pada head holder dan meja pemeriksaan. Lutut diberi pengganjal untuk kenyamanan pasien (Nesseth, 2001).

Gambar 9. Posisi pasien pada pemeriksaan CT-scan kepala (Nesseth,2001)

(26)

3) Scan Parameter Pada Kasus Cedera Kepala (Bontrager,2010) a) Scanogram kepala lateral

b) Range I dari basis cranii sampai pars petrosum dan range II dari pars petrosum sampai verteks.

c) Slice Thickness 2-5 mm ( range I ) dan 5-10 mm (range II) d) FOV 24 cm

e) Gantry tilt Sudut gantry tergantung besar kecilnya sudut yang terbentuk oleh infra orbito meatal line dengan garis vertical.

f) 120 kV, 250 mA

g) Rekonstruksi algorithma soft tissue dan untuk tulang digunakan rekonstruksi algorithma bone

h) Window width 0-90 HU, otak supratentoria, otak pada fossa posterior, tulang

i) Window Level 40-45 HU otak supratentorial, 30-40 HU otak pada fossa posterior tulang

4). Foto sebelum dan sesudah pemasukkan media kontras

Secara umum pemeriksaan CT Scan kepala membutuhkan 6-10 irisan axial. Namun ukuran tersebut dapat bervariasi tergantung keperluan diagnosa. Untuk kasus seperti tumor maka jumlah irisan akan mencapai dua kalinya karena harus dibuat foto sebelum dan sesudah pemasukan media kontras. Tujuan dibuat foto sebelum dan sesudah pemasukan media kontras adalah agar dapat membedakan dengan jelas apakah organ tersebut mengalami kelainan atau tidak.

(27)

B. Kerangka Teori

Gambar 10. Kerangka teori penelitian Informasi Citra Anatomi

- Struktur Tulang - Sutura

- Bentuk Fraktur - Garis Fraktur - Fragmen Tulang

CT SCAN KEPALA DENGAN CEDERA KEPALA

Slice Thicknes s

Range Faktor Eksposi

FOV Gantry

Tilt

Matriks Kernel Windo wing PARAMETER

Spasial Resolusi

Kontras Resolusi

Noise Artefak

VRT MPR

MIP SR

(28)

C. Hipotesis

Dari kerangka teori tersebut di atas maka dapat ditetapkan hipotesis sebagai berikut :

Ho : Tidak ada perbedaan kejelasan informasi citra anatomi volume rendering hasil reformat variasi kernel pada pemeriksaan tulang kepala dengan klinis cedera kepala.

Ha : Ada perbedaan kejelasan informasi citra anatomi volume rendering hasil reformat variasi kernel pada pemeriksaan tulang kepala dengan klinis cedera kepala.

Referensi

Dokumen terkait

perubahan yang terjadi pada nukleus dan.. DNA (Hutomo dkk,

El Sistema Privado de Pensiones (SPP) es un régimen administrado por entidades privadas denominadas Administradoras de Fondos de Pensiones (AFP), donde los aportes que realiza el

Bab ini merupakan bagian yang paling penting dari isi Disertasi, Tesis dan Skripsi secara keseluruhan, karena disini dapat dilihat jawaban atas permasalahan dan hipotesis

Pelaksanaan agama dalam kehidupan dapat membentengi kita dari gangguan jiwa, karena kegelisahan, Kecemasan umumnya datang dari ketidakpuasan atau

mengadakan pemeriksaan kas terhadap Pemegang Kas secara periodik sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Kas.

Pengamatan terhadap immunoreaktifitas desmin dan vimentin dalam serabut otot normal ayam kedu cemani dewasa dengan menggunakan antibodi monoklonal terhadap desmin dan

Pada penelitian ini, pengetahuan responden sebelum diberikan penyuluhan kesehatan belum cukup untuk melakukan pencegahan penyakit Hepatitis A, sehingga dari hasil penelitian