• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH IRADIASI GAMMA, COATING, DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP MUTU KERUPUK BASAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH IRADIASI GAMMA, COATING, DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP MUTU KERUPUK BASAH"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH IRADIASI GAMMA, COATING, DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP MUTU KERUPUK BASAH

Noor Anis Kundari1, Ya’Puja Primadana1, Sugili Putra1

1Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir – BATAN, Yogyakarta, Indonesia, sttn@batan.go.id

ABSTRAK

PENGARUH IRADIASI GAMMA, COATING, DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP MUTU KERUPUK BASAH. Penelitian pengaruh iradiasi gamma, coatig, dan lama penyimpanan terhadap mutu kerupuk basah telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh dosis iradisi gamma dan lama penyimpanan terhadap terhadap susut berat, kadar protein, dan jumlah mikroba dalam kerupuk basah yang dilapisi dengan ediblecoating campuran pektin-kitosan. Selain itu, penelitian ini juga untuk menentukan dosis iradiasi terhadap kitosan yang memberikan hasil terbaik. Kerupuk basah dipotong dengan ukuran tertentu, kemudian dicelupkan ke dalam ediblecoating yang dibuat dari pektin dan kitosan dengan perbandingan tertentu. Pektin diekstrak dari kulit jeruk Sambas sedangkan kitosan diiradiasi pada dosis 15, 25, dan 50 kGy. Kerupuk basah tanpa coating dan dengan coating diiradiasi pada dosis 0, 3, 5, dan 7 kGy disimpan pada kondisi yang sama kemudian diamati secara visual serta dianalisis susut berat, kadar protein, dan jumlah mikrobanya pada hari ke-2, 4, dan 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerupuk basah yang tidak diberi coating dan tidak diiradiasi mengalami kerusakan paling cepat yang ditandai dengan tumbuhnya jamur pada hari ke-2. Semakin tinggi dosis iradiasi gamma maka persentase susut berat, penurunan kadar protein, maupun jumlah mikroba dari kerupuk basah semakin kecil. Kitosan untuk ediblecoating yang memberikan hasil terbaik terjadi pada kitosan yang diiradiasi dengan dosis 25 kGy.

Kata kunci: edible coating, iradiasi gamma, kerupuk basah, kitosan, pektin

ABSTRACT

EFFECT OF GAMMA IRRADIATION, COATING, AND STORAGE DURATION ON QUALITY OF KERUPUK BASAH. Research on the effect of gamma irradiation, Coating, and storage duration of kerupuk basah was done. This research was intended to determine the effect of gamma irradiation dose and storage duration on weight loss, protein content, and number of microbes in kerupuk basah coated with edible coating mixture of pectin-chitosan. In addition, this study also determined the dose of irradiation against chitosan which gives the best results. Kerupuk basah was cut into a certain size, then dipped in edible coating made from pectin and chitosan with a certain ratio. Pectin was extracted from the orange peel of Sambas, while chitosan was irradiated at doses of 15, 25, and 50 kGy. Kerupuk basah without coating and with coating irradiated at 0, 3, 5, and 7 kGy doses were stored in the same condition then were observed visually and were analyzed for weight loss, protein content, and microbial counts on the 2nd, 4th, and 6th days. Results of the research show that kerupuk basah where were not coated and not irradiated was the most rapid damage which is indicated by the growth of fungi on the 2 nd day. The higher the dose of gamma irradiation, the smaller the weight loss percentage, the decrease in protein content, and the number of microbes. Chitosan for edible coating which gives the best results occurs in the chitosan which is irradiated at a dose of 25 kGy.

Keywords: chitosan, edible coating, gamma irradiation, kerupuk basah, pectin

PENDAHULUAN

Kerupuk basah adalah salah satu makanan khas Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat dengan bahan utama ikan dan tepung sagu, berbentuk bulat panjang,

mirip dengan siomay. Karena bahan yang digunakan mengandung lemak dan protein, kerupuk basah rentan mengalami pembusukan yang menimbulkan bau tak sedap dan perubahan rasa, bahkan berakibat tidak dapat dikonsumsi. Oleh karena itu, diperlukan upaya

(2)

untuk mempertahankan mutunya. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah pelapisan dengan edible coating dan iradiasi gamma.

Edible coating merupakan salah satu metode pengemasan bahan pangan dengan pelapis yang dapat dikonsumsi, serupa dengan edible film [1, 2] yang dapat diaplikasikan dengan cara pencelupan, pengolesan, atau penyemprotan, dengan ketebalan tidak lebih dari 0,3 mm [3]. Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Alexandra & Nurlina [4], pektin diaplikasikan sebagai edible coating dapat mempertahankan kualitas buah tomat hingga 10 hari penyimpanan pada suhu dingin.

Selain pektin, kitosan yang diaplikasikan sebagai edible coating pada kerupuk basah memberikan hasil terbaik dalam mempertahankan mutu selama dua hari penyimpanan dibandingkan dengan pati talas maupun campuran pati-kitosan [5].

Kitosan memiliki kemampuan pembentuk film yang sangat baik dibandingkan dengan polisakarida lain dan memiliki beberapa keunggulan seperti biokompatibel, biodegradable, nontoksik, dan antimikroba [6- 9]. Kitosan dapat didegradasi menggunakan radiasi gamma, sehingga berat molekulnya akan menurun akibat adanya pemutusan rantai polimernya pada posisi 1,4-β-glikosida [10- 11]. Penurunan berat molekul kitosan yang dilakukan dengan cara iradiasi dapat dimanfaatkan untuk memberikan pelapisan lebih baik, karena larutan edible coating akan bersifat lebih encer, sehingga memudahkan dalam aplikasinya. Jika larutan terlalu kental, maka akan menyulitkan pada saat penggunaanya serta dapat menyebabkan terjadi respirasi anaerobik yang akan menyebabkan kerusakan pada makanan terlapis [12].

Jeruk Sambas (juga dikenal dengan nama jeruk Pontianak) merupakan salah satu komoditas pertanian andalan bagi Provinsi Kalimantan Barat, khususnya Kabupaten Sambas dengan total produksi pada tahun 2015 mencapai 92.418,80 ton [13]. Kulit jeruk mengandung pektin sekitar 30% [14]. Pektin dapat menahan degradasi terhadap panas, kimia, dan biologis; dapat mengikat air; dapat membentuk gel; serta dapat larut dalam air [15, 16] sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pencampur edible coating.

Dalam penelitian ini, edible coating dibuat dari kitosan yang diiradiasi dengan sinar

gamma dan pektin yang diekstrak dari kulit jeruk Sambas, dan gliserol sebagai plasticizer.

Iradiasi bertujuan mengurangi pertumbuhan mikroba pembusuk serta membasmi mikroba dan organisme lain yang terbawa dalam makanan [17].

Edible coating berfungsi sebagai penghalang oksigen, mikroba, kelembaban, perpindahan zat terlarut, pertukaran gas, serta laju reaksi oksidatif, sehingga dapat memperpanjang umur simpan suatu makanan dan mengurangi gangguan fisiologisnya [18].

Edible coating umumnya tidak berasa, tidak berwarna dan tidak berbau, serta memiliki sifat mekanik yang baik [19]. Ketebalan lapisan tergantung pada sifat larutan seperti densitas, viskositas, dan tegangan permukaan, serta kecepatan penarikan permukaan dari larutan pelapis [20].

Kitosan dan pektin merupakan golongan polisakarida, sehingga dapat menghasilkan edible coating pektin-kitosan yang termasuk dalam klasifikasi hidrokoloid.

Lapisan tipis polisakarida dapat mencegah hilangnya kelembaban, serta memiliki sifat kurang permeabel terhadap oksigen sehingga dapat menjaga makanan agar tahan lebih lama [21].

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh dosis iradisi gamma dan lama penyimpanan terhadap terhadap mutu kerupuk basah ditinjau dari susut berat, kadar protein, dan jumlah mikroba.

METODE Bahan

Bahan utama yang digunakan adalah kitosan dengan variasi dosis radiasi, pektin, dan gliserol serta kerupuk basah (diperoleh di sekitar Yogyakarta).

Bahan kimia lainnya yang digunakan meliputi asam klorida (HCl) pekat, asam sulfat (H2SO4) pekat, etanol 96%, perak nitrat (AgNO3), kalium sulfat (K2SO4), tembaga (II) sulfat pentahidrat (CuSO4.5H2O), hidrogen peroksida (H2O2) 30%, pelet natrium hidroksida (NaOH), serbuk asam borat (H3BO3), serbuk natrium tiosulfat pentahidrat (Na2S2O3.5H2O), natrium tetraborat dekahidrat (Na2B4O7.10H2O), serbuk kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4), media plate count agar (PCA), indikator bromocresol green (BCG),

(3)

indikator metil merah (MM), asam asetat (CH3COOH) glasial, serbuk natrium asetat (CH3COONa), dan akuades.

Pektin diperoleh kulit jeruk Sambas (buahnya dibeli di sekitar Yogyakarta dan Pontianak) dikeringkan, dihaluskan, diambil sebanyak ±10 g lalu dicampurkan ke dalam 250 mL larutan asam klorida (HCl) 0,05 M.

Campuran ini dipanaskan pada suhu 80°C selama 2 jam, kemudian disaring untuk mengambil filtratnya. Filtrat didinginkan pada suhu ruang, kemudian dicampur dengan etanol 96% dengan perbandingan volume 1 : 1 (filtrat : etanol), dan didiamkan selama 24 jam. Gel hasil proses tersebut dipisahkan dan dicuci dengan etanol 96%. Pencucian dihentikan jika filtrat hasil cucian tidak menghasilkan endapan putih dan menjadi keruh setelah ditetesi oleh larutan perak nitrat (AgNO3) 0,1 N. Gel tersebut dikeringkan hingga mencapai berat konstan, dihaluskan, serta disimpan ke dalam desikator sebelum digunakan [16, 22].

Untuk iradiasi kitosan (industrial grade, derajat deasetilasi ≥ 84%), sampel diambil sebanyak ±50 g, kemudian masing-masing dikemas ke dalam tiga buah plastik zip lock.

Ketiga kemasan tersebut dimasukkan ke dalam wadah sampel iradiator gamma dan diiradiasi dengan masing-masing variasi dosis sebesar 15, 25, dan 50 kGy.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah iradiator gamma, spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR), viskometer Oswald, neraca analitik, oven, ruang asam, inkubator, autoklaf, deksikator, hot plate danmagnetic stirrer, kain blacu, pinset, kertas timbang, batu didih, plastik zip lock, blender, stopwatch, labu destruksi, serta seperangkat alat-alat gelas laboratorium.

Analisis Pektin

Sampel pektin kering hasil ekstraksi dilakukan analisis gugus fungsi menggunakan spektrofotometer (FTIR) pada kisaran bilangan gelombang 500 sampai 4000 cm-1[23]. Analisis ini dilakukan agar dapat mengetahui keberadaan senyawa pektin secara kualitatif melalui spektrum yang akan dihasilkan.

Rendemen pektin dihitung berdasarkan berat kering hasil pektin dan kulit jeruk kering, menggunakan Pers. (1).

kering 10 jeruk kulit berat

pektin berat

randemen   (1)

Analisis Kitosan

Berat molekul polimer kitosan dianalisis dengan cara viskositas. Variasi konsentrasi larutan yang digunakan adalah 0,01; 0,02;

0,03; dan 0,04 g kitosan/dL pelarut. Pelarut dibuat dengan mencampurkan larutan CH3COOH dan larutan CH3COONa (masing- masing konsentrasinya sebesar 0,25 M), sehingga pH campuran menjadi 4,3. Larutan kitosan dibuat sebanyak 10 mL untuk setiap variasi konsentrasi, kemudian ditransfer sebanyak 5 mL ke dalam viskometer Ostwald untuk mengukur waktu alirnya dengan bantuan stopwatch. Suhu pengukuran larutan yang digunakan adalah sebesar 30°C. Prosedur pengukuran waktu alir juga dilakukan terhadap blanko dan kitosan teriradiasi, kemudian data waktu alir diolah menggunakan Pers.(2) [24, 25].

 

 k

Mv

(2) denganMv=berat molekul viskositas rata-rata suatu polimer (Da); α = 0,83;k= 1,4 × 10-4 dL/g; dan [ƞ]= viskositas intrinsik.

Pembuatan dan PenggunaanEdible Coating Larutan kitosan dibuat dengan cara mencampurkan ±2,5 g kitosan ke dalam 50 mL larutan CH3COOH 1% v/v. Larutan pektin dibuat dengan cara mencampurkan ±0,5 g sampel pektin dalam 50 mL akuades, kemudian dipanaskan sambil diaduk menggunakan hot plate dan magnetic stirrer sampai larut, lalu didinginkan hingga mencapai suhu ruang.Edible coating dibuat dengan cara mencampurkan larutan kitosan dengan larutan pektin, dengan penambahan gliserol sebanyak 25% (b/b dari total berat padatan). Prosedur ini dilakukan untuk seluruh variasi dosis radiasi kitosan (0, 15, 25, dan 50 kGy) [26, 5, 4].

Kerupuk basah dicelupkan ke dalam larutan edible coating selama ±1 menit untuk masing-masing variasi dosis radiasi kitosan, kemudian diangin-anginkan hingga kering.

Pencelupan dilakukan sebanyak dua kali untuk setiap sampel kerupuk basah. Kerupuk basah hasil pelapisan disimpan dengan variasi lama penyimpanan 0, 2, 4, dan 6 hari [27]. Prosedur tersebut juga dilakukan untuk kerupuk basah hasil pelapisan yang dikombinasikan dengan

(4)

iradiasi gamma pada variasi dosis 0, 3, 5, dan 7 kGy. Kerupuk basah tanpa pelapisan (sebagai kontrol) disimpan dengan variasi lama penyimpanan yang sama.

Pengukuran Susut Berat

Berat awal serta berat akhir dari sampel kerupuk basah untuk semua perlakuan diukur pada setiap variasi lama penyimpanan, kemudian susut beratnya dihitung menggunakan Pers. (3) [4].

% W 100

W berat W

Susut

0 n

0  

 (3)

denganW0 = berat sampel awal (g); dan Wn

= berat sampel pada hari ke-n (g).

Pengukuran Kadar Protein

Pengukuran kadar protein dilakukan berdasarkan [28]. Sampel kerupuk basah dilumatkan dan diambil sebanyak ±1 g, dimasukkan ke dalam labu destruksi, dan ditambahkan 1 buah tablet katalis (mengandung 7 g K2SO4 dan 0,83 g CuSO4.5H2O) serta beberapa butir batu didih.

Campuran tersebut kemudian ditambahkan 7,5 mL H2SO4 pekat dan 1,5 mL H2O2 30% secara perlahan-lahan dan didiamkan selama ±10 menit dalam ruang asam.

Proses destruksi dilakukan dengan cara memanaskan larutan tersebut menggunakan hot plate selama ±2 jam atau sampai menjadi jernih, setelah itu didiamkan hingga mencapai suhu kamar dan akuades ditambahkan sebanyak 37,5 mL. Hasil destruksi dipindahkan ke dalam labu didih yang telah dipasang ke rangkaian alat destilasi, kemudian larutan NaOH-Na2S2O3(larutan stok dibuat dengan cara melarutkan 100 g NaOH dan 6,25 g Na2S2O3 dengan akuades hingga mencapai volume 250 mL) ditambahkan sebanyak 37,5 mL.

Campuran hasil destruksi didestilasi, dan destilat ditampung dalam erlenmeyer berisi 12,5 mL larutanH3BO3 4% b/v (mengandung indikator BCG 0,1% b/v danMM 0,1% b/v) hingga volume destilat mencapai minimal 40 mL. Destilat kemudian dititrasi dengan HCl 0,2 N (sudah distandardisasi dengan larutan Na2B4O7 0,1 N) sampai warna berubah dari hijau menjadi merah muda. Pengerjaan blanko dilakukan seperti tahapan sampel (sampel diganti dengan akuades). Pengujian sampel

dilakukan minimal duplo pada semua perlakuan kerupuk basah dan variasi lama penyimpanan. Kadar protein dinyatakan dalam satuan g/100 g sampel (%), yang dihitung menggunakan Pers. (4).

 

% 1000 100

W

25 , 6 Ar NHCl V

protein V

kadar A B

(4)

denganVA;B = mL HCl untuk titrasi sampel dan blanko; NHCl= normalitas HCl; Ar N = berat atom relatif nitrogen (14,007 g/mol); 6,25 = faktor konversi untuk produk ikan; W = berat sampel (g); dan 1000 = faktor konversi dari mL ke L.

Pengukuran Angka Lempeng Total

Pengukuran ALT dilakukan berdasarkan [29]. Sampel kerupuk basah diambil sebanyak ±10 g, dimasukkan ke dalam wadah steril, ditambahkan larutan Butterfield’s Phospate Buffered sebanyak 90 mL, dan dihomogenkan selama ±2 menit (campuran ini merupakan larutan sampel induk dengan pengenceran 10-1). Larutan tersebut kemudian diencerkan menggunakan larutan Butterfield’s Phospate Buffered, dengan pengenceran 10-2 dan 10-3. Larutan sampel dengan pengenceran 10-2 dan 10-3 masing-masing diambil sebanyak 1 mL dan dituangkan ke dalam cawan petri steril. Pengenceran larutan dapat diteruskan menjadi 10-4, 10-5, 10-6, dan seterusnya sesuai kondisi sampel.

Setiap cawan petri ditambahkan larutan PCA sebanyak 12 sampai 15 mL, dan diratakan dengan cara memutar cawan, kemudian ditunggu hingga berubah menjadi padat.

Cawan-cawan tersebut kemudian diinkubasi menggunakan inkubator pada suhu 35 ± 1°C selama 48 ± 2 jam, kemudian koloni mikroba dihitung. Total koloni mikroba pada kerupuk basah dihitung menggunakan Pers. (5).

   

1 n 0,1 n

d N C

2

1   

 

(5) dengan N = jumlah koloni produk (koloni/g);

C = jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung; n1 = jumlah cawan yang digunakan pada pengenceran pertama; n2= jumlah cawan yang digunakan pada pengenceran kedua; dan d = pengenceran pertama yang digunakan.

(5)

Pengolahan Data

Data hasil pengukuran susut berat, kadar protein, dan ALT dari semua perlakuan kerupuk basah masing-masing dibuat grafik terhadap lama penyimpanan. Perlakuan dan umur simpan terbaik pada pelapisan kerupuk basah dievaluasi berdasarkan jumlah koloni mikroba dari hasil pengukuran ALT pada salah satu perlakuan, dengan membandingkan ambang batas jumlah koloni mikroba. Angka tersebut adalah sebesar 1 × 105 koloni/g [30].Kode sampel dijelaskan pada

Gambar 1.

Gambar 1. Penjelasan kode sampel kerupuk basah

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Pektin

Ekstraksi pektin dari kulit jeruk Sambas telah dilakukan dengan memanaskan kulit jeruk Sambas yang telah dikeringkan ke dalam larutan HCl 0,05 M. Larutan HCl 0,05 M akan menghidrolisis protopektin pada kulit jeruk Sambas menjadi pektin. Protopektin tidak larut didalam air karena kehadiran garam kalsium atau magnesium yang tidak larut.

Penyebab lain ketidaklarutan protopektin adalah karena berikatan dengan selulosa atau beberapa polisakarida dengan berat molekul tinggi yang tidak larut [30].

Berdasarkan hasil perhitungan, persentase rendemen pektin yang diperoleh dari penelitian ini sebesar 14,57 ± 0,07%.

Pektin hasil ekstraksi selanjutnya digunakan sebagai salah satu bahan baku pembuatan edible coating.

Gambar 2 merupakan spektrum infra merah sampel hasil ekstraksi dari kulit jeruk Sambas berdasarkan pengukuran menggunakan FTIR.

Gambar 2. Spektrum infra merah pektin hasil ekstraksi dari kulit jeruk Sambas Interpretasi puncak spektrum disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil interpretasi puncak spektrum, puncak serapan melebar pada bilangan gelombang 3439,72 cm-1akibat adanya stretching ikatan O-H dari gugus hidroksil (-OH). Puncak serapan muncul pada bilangan gelombang 1750,48 cm-1 dan 1632,30 cm-1 masing-masing disebabkan oleh adanya stretching ikatan karbonil (C=O) dari gugus ester (-COO-) dan gugus asam karboksilat (- COOH). Serapan pada ikatan -C-H juga terdeteksi pada bilangan gelombang 1436,31 cm-1, serta ikatan C-O-C terdeteksi pada bilangan gelombang 1024,36 cm-1, yang terdapat pada struktur utama.

Tabel 1. Interpretasi puncak spektrum FTIR dari sampel pektin hasil ekstraksi

Gugus Fungsi dan Jenis Vibrasi

Bilangan Gelombang

(cm-1)

Bilangan Gelombang Hasil

(cm-1) -OH, stretching

pada ikatan antara O dan H

3300 sampai 3600 [31]

3439,72

C=O dari:

1. COO-, stretching

1740 -1750 [31] 1750,48 2. COOH,

stretching

1550 -1700 [32, 33]

1632,30

-C-H, bending pada ikatan antara C dan H

~1443 [34] 1436,31

C-O-C, stretching pada ikatan antara C dan O

851 sampai 1250 [35]

1024,36

Analisis Kitosan

Berdasarkan hasil penelitian, semakin tinggi dosis radiasi yang diterima kitosan, maka berat molekulnya menjadi semakin rendah, yang ditunjukkan dengan penurunan

3439,72 1750,48 1632,30 1436,31 1024,36

(6)

nilai viskositas intrinsik ([ƞ]) kitosan pada Tabel 2. Hal ini dapat disebabkan oleh rantai polimernya yang telah terputus menjadi lebih pendek akibat interaksinya dengan sinar gamma.

Tabel 2. Berat molekul polimer dan viskositas intrinsik [ƞ] kitosan pada variasi dosis radiasi

Dosis Radiasi (kGy) Berat Molekul (kDa) [ƞ] (dL/g) 0

15 25 50

555,10 360,70 128,85 12,45

8,20 5,74 2,44 0,35

Penurunan berat molekul kitosan pada penelitian ini menunjukkan adanya kesesuaian dengan hasil penelitian Puspitasari [10], yang telah ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perubahan berat molekul kitosan jika diiradiasi dengan sinar gamma [10]

Dosis Radiasi (kGy) Berat Molekul (Da) 0

50 100 150

19256,4 7767,2 3123,1 2362,7

Gambar 3 menyajikan data penurunan berat molekul polimer kitosan pada berbagai variasi dosis radiasi yang diterima.

Gambar 3. Berat molekul polimer kitosan pada berbagai variasi dosis radiasi

Tabel 4 menyajikan informasi beberapa jenis ikatan yang terdapat pada kitosan beserta energi ikatnya. Posisi terputusnya polimer kitosan setelah diiradiasi dengan sinar gamma kemungkinan tidak hanya terjadi pada ikatan 1,4-β-glikosida, namun dapat terjadi pada ikatan lain seperti ikatan O- H yang terdapat pada gugus hidroksil (energi ikatan: 63 kJ/mol), C-N yang terdapat pada ikatan antara gugus amina dengan rantai utama kitosan (energi ikatan: 293 kJ/mol), dan ikatan antar karbon (C-C) yang terdapat pada rantai utama kitosan (energi ikatan: 348 kJ/mol). Hal

ini dapat disebabkan oleh energi ikatan ketiga jenis ikatan tersebut yang lebih kecil dari ikatan C-O (energi ikatan: 358 kJ/mol) pada 1,4-β-glikosida. Jika dosis radiasi yang diterima kitosan semakin besar, energi yang diterima semakin tinggi, sehingga meningkatkan peluang terputusnya ikatan yang energi ikatannya lebih tinggi dari C-O seperti ikatan N-H (energi ikatan: 391 kJ/mol); ikatan C-H (energi ikatan: 413 kJ/mol); dan ikatan C=O (energi ikatan: 891 kJ/mol).

Tabel 4. Beberapa jenis ikatan yang terdapat pada kitosan beserta energi ikatannya [36]

JenisIkatan Energi Ikatan (kJ/mol)

O-H 63

C-N 293

C-C 348

C-O 358

N-H 391

C-H 413

C=O 891

Gambar 4 menunjukkan kemungkinan lain yang terjadi pada kitosan jika diiradiasi dengan sinar gamma.

Gambar 4. Kemungkinan lain yang terjadi pada kitosan setelah diiradiasi (diadaptasi dari [37]) Hasil Aplikasi Edible Coating pada Kerupuk Basah

Kitosan yang telah diiradiasi pada dosis 0; 15; 25; dan 50 kGy serta pektin hasil ekstraksi dari kulit jeruk Sambas digunakan sebagai bahan baku edible coating. Kedua bahan tersebut masing-masing dilarutkan dengan larutan CH3COOH 1% v/v dan akuades. Untuk proses pelarutan pektin, pemanasan perlu dilakukan agar pektin lebih mudah larut. Setelah kedua larutan tersebut dicampur, gliserol ditambahkan sebanyak 25%

b/b dari total berat padatan.

Gliserol ditambahkan sebagai plasticizer, yang berfungsi untuk mengurangi kekakuan edible coating karena dapat meningkatkan jarak antar molekul polimer,

(7)

lebih mudah larut, serta lebih efektif dibandingkan sorbitol dalam hal mengurangi interaksi atom hidrogen pada ikatan intermolekulnya [38, 5].

Reaksi protonasi kitosan dalam larutan CH3COOH terjadi akibat ion H+ sebagai hasil disosiasi sebagian dari CH3COOH dalam air, kemudian ion tersebut berikatan dengan gugus NH2 yang merupakan gugus fungsi paling aktif pada kitosan. Gugus COOH dari pektin mengalami disosiasi sebagian, sehingga terjadi pelepasan ion H+ dan menghasilkan pektin dengan gugus COO-.

Interaksi antara pektin dan kitosan setelah dilakukan pencampuran berupa interaksi

elektrostatis, karena kitosan menjadi polikationik setelah mengalami reaksi dan

pektin menjadi polianionik. Interaksi ini menyebabkan terbentuknya kompleks polielektrolit [39]. Interaksi elektrostatis menyebabkan kompleks polielektrolit yang terbentuk dari pektin dan kitosan bersifat stabil

[40].

Gambar 5 menunjukkan hasil interaksi antara polimer kitosan dengan pektin setelah proses pencampuran dalam pembuatan edible coating.

Gambar 5. Interaksi antara polimer kitosan dan pektin [41]

Berdasarkan hasil penelitian, semakin tinggi dosis radiasi kitosan yang digunakan, aplikasi edible coating untuk melapisi kerupuk basah semakin mudah, karena kekentalannya semakin menurun. Kekentalan yang semakin menurun mempermudah proses pencelupan kerupuk basah, sehingga permukaan kerupuk basah tertutupi lebih merata.

Pengamatan secara Visual

Pengamatan secara visual dilakukan dengan cara mengamati ada tidaknya jamur pada sampel kerupuk basah di setiap perlakuan. Tampilan dari hasil pelapisan kerupuk basah dengan edible coating pada penelitian ini disajikan pada Gambar 6,

Gambar 7,

Gambar 8, dan Gambar 9. Berdasarkan hasil pengamatan, tampilan kerupuk basah hasil pelapisan sebelum disimpan tidak jauh berbeda dengan kerupuk basah yang tidak dilapisi (kontrol), karena edible coating mempunyai sifat semi transparan. Hal ini juga berlaku untuk kerupuk basah hasil pelapisan yang telah diiradiasi dengan sinar gamma.

Gambar 6. Hasil pelapisan kerupuk basah tanpa iradiasi pada (a) kontrol; (b) C-0_P; (c)

C-15_P; (d) C-25_P; dan (e) C-50_P

CH2OH

OH OH

OH OH

OH OH

+NH3

+NH3

COO- COO-

CH2OH

O O

O O

O O

(8)

Gambar 7. Hasil pelapisan kerupuk basah dengan iradiasi 3 kGy pada (a) C-0_P; (b) C-

15_P; (c) C-25_P; dan (d) C-50_P Pada penyimpanan hari kedua, jamur hanya tumbuh pada sampel kontrol. Hal tersebut dapat terjadi karena tidak ada material yang melindungi permukaan sampel tersebut, sehingga terjadi kontak langsung dengan udara serta memicu pertumbuhan mikroba lebih cepat.

Gambar 8. Hasil pelapisan kerupuk basah dengan iradiasi 5 kGy pada (a) C-0_P; (b) C-

15_P; (c) C-25_P; dan (d) C-50_P

Gambar 9. Hasil pelapisan kerupuk basah dengan iradiasi 7 kGy pada (a) C-0_P; (b) C-

15_P; (c) C-25_P; dan (d) C-50_P Pada penyimpanan hari keempat, jamur telah tumbuh pada sampel kontrol, serta sampel hasil pelapisan edible coating tanpa iradiasi dari seluruh variasi dosis radiasi kitosan (C-0_P, 0 kGy; C-15_P, 0 kGy; C- 25_P, 0 kGy; dan C-50_P, 0 kGy).

Berdasarkan kondisi tersebut, dapat

disimpulkan bahwa pelapisan kerupuk basah sudah tidak mampu lagi menghambat pertumbuhan jamur. Pada penyimpanan hari keenam, jamur telah tumbuh pada sampel kontrol, seluruh sampel hasil pelapisan edible coating tanpa iradiasi dari seluruh variasi dosis radiasi kitosan, serta sampel C-50_P 3 kGy yang tumbuh pada posisi pinggir.

Berdasarkan kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa perlakuan iradiasi kerupuk basah hasil pelapisan lebih mampu menghambat pertumbuhan jamur dibandingkan dengan hasil pelapisan tanpa iradiasi serta kontrol. Hal tersebut dapat disebabkan oleh radiasi gamma yang telah mematikan sebagian besar bibit jamur pada kerupuk basah hasil pelapisan sebelum melewati masa simpan.

Meskipun sebagian sampel pada beberapa perlakuan dan lama penyimpanan tidak terlihat adanya jamur secara kasat mata, pengukuran ALT masih perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat mikroba yang masih hidup di dalam sampel kerupuk basah.

Susut Berat pada Kerupuk Basah

Susut berat terjadi karena adanya proses transpirasi, yang semakin besar laju prosesnya pada suhu yang tinggi. Dengan hilangnya air pada proses transpirasi ini, berat dan kadar air bahan menjadi berkurang.

Banyak air yang hilang atau menguap dari bahan tergantung pada suhu dan kelembaban lingkungannya [42, 43].

Gambar 10 menyajikan data peningkatan susut berat kerupuk basah selama penyimpanan pada berbagai perlakuan, sedangkan Gambar 11 merupakan perbesaran tampilan dari data kerupuk basah hasil pelapisan teriradiasi.

Gambar 10. Peningkatan susut berat kerupuk basah pada berbagai perlakuan

(9)

Gambar 11. Perbesaran grafik berdasarkan Gambar 10

Berdasarkan data tersebut, berat kerupuk basah yang diberikan perlakuan pelapisan dan dikombinasikan dengan iradiasi lebih mampu dipertahankan, dibandingkan dengan kontrol dan pelapisan tanpa kombinasi iradiasi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh mikroba pada kerupuk basah yang lebih banyak tereliminasi setelah proses iradiasi, sehingga laju pengurangan air akibat proses transpirasi mikroba lebih kecil.

Jika garis hubungan peningkatan susut berat dari suatu perlakuan berada di posisi paling bawah, maka perlakuan tersebut merupakan perlakuan terbaik dalam mempertahankan berat kerupuk basah.

Berdasarkan kedua gambar di atas, perlakuan yang lebih baik dalam mempertahankan beratkerupuk basah hingga penyimpanan di hari keenam adalah C-0_P 7 kGy.

Kadar Protein pada Kerupuk Basah

Kadar protein mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu penyimpanan suatu bahan pangan, yang disebabkan oleh kerusakan dari bagian dalam kerupuk basah akibat degradasi protein oleh pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme [5]. Mikroorganisme dalam pertumbuhannya membutuhkan nutrisi, salah satunya yaitu protein yang menyediakan sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme [43].

Gambar 12 menyajikan data penurunan kadar protein kerupuk basah pada berbagai perlakuan. Berdasarkan data tersebut, kadar protein pada kerupuk basah dapat dipertahankan lebih baik pada perlakuan pelapisan yang dikombinasikan dengan iradiasi, dibandingkan dengan kontrol dan pelapisan tanpa kombinasi dengan iradiasi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh populasi

mikroba lebih sedikit pada kerupuk basah hasil pelapisan yang dikombinasikan dengan iradiasi, sehingga jumlah protein pada kerupuk basah yang dimanfaatkan untuk metabolisme mikroba lebih sedikit.

Perlakuan terbaik dalam mempertahankan kadar protein kerupuk basah ditentukan dari garis grafik dengan posisi teratas. Berdasarkan Gambar 12, perlakuan C- 25_P 5 kGy mampu mempertahankan kadar protein pada kerupuk basah hingga pada hari keenam penyimpanan.

Gambar 12. Penurunan kadar protein kerupuk basah pada berbagai perlakuan Analisis ALT pada Kerupuk Basah

Gambar 13, Gambar 14, dan Gambar 15 menyajikan data hubungan jumlah mikroba kerupuk basah terhadap masa simpannya pada berbagai perlakuan.

Gambar 13. Hubungan jumlah mikroba dalam kerupuk basah terhadap masa simpannya pada

berbagai perlakuan

(10)

Gambar 14. Perbesaran grafik berdasarkan Gambar 13

Gambar 15. Perbesaran grafik berdasarkan Gambar 14

Berdasarkan data yang ditampilkan pada Gambar 13 dan Gambar 14, jumlah mikroba mengalami kenaikan secara drastis dimulai dari hari keempat penyimpanan, untuk perlakuan pelapisan baik tanpa maupun dengan kombinasi iradiasi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh mikroba yang telah berhasil melakukan adaptasi pada kerupuk basah, sehingga pertumbuhannya berjalan lebih cepat dan populasinya meningkat lebih cepat.

Akan tetapi, proses adaptasi mikroba lebih sulit tercapai pada perlakuan-perlakuan kerupuk basah berdasarkan Gambar 15, kecuali untuk perlakuan C_50-P 5 kGy yang mulai menunjukkan kenaikan seperti data-data pada Gambar 13 dan Gambar 14. Hal tersebut dapat disebabkan oleh dosis radiasi yang digunakan lebih tinggi dari perlakuan-perlakuan lainnya,

sehingga mikroba pada kerupuk basah tereliminasi lebih banyak, dan lebih menghambat kemampuan adaptasinya, karena materi genetik dan sel-sel lain telah mengalami kerusakan lebih banyak.

Jika garis hubungan dari suatu perlakuan berada di posisi paling bawah, maka perlakuan tersebut merupakan perlakuan terbaik dalam menghambat pertumbuhan mikroba pada kerupuk basah. Berdasarkan data yang disajikan dalam Gambar 13, 14, dan 15, garis hubungan perlakuan C-25_P 5 kGy berada di posisi paling bawah, sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan ini mampu meminimalisir pertumbuhan bakteri hingga pada hari keenam penyimpanan.

Penentuan Perlakuan Terbaik dan Umur Simpan dari Hasil Pelapisan Kerupuk Basah dengan Edible Coating

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas di subbab-subbab sebelumnya, perlakuan C-25_P 5 kGy merupakan perlakuan terbaik dalam mempertahankan kadar protein dan meminimalisir pertumbuhan mikroba, meskipun perlakuan C-0_P 7 kGy adalah perlakuan terbaik dalam mempertahankan berat kerupuk basah. Hal tersebut dapat terjadi karena rantai polimer kitosan dan pektin dalam edible coating pada perlakuan C-0_P 7 kGy yang lebih panjang dibandingkan dengan C- 25_P 5 kGy, sehingga laju perpindahan uap airnya lebih kecil, mengakibatkan kerupuk basah menjadi lebih lembab.

Laju transmisi uap air yang lebih kecil menyebabkan kerupuk basah pada perlakuan C-0_P 7 kGy ditumbuhi mikroba lebih banyak daripada perlakuan C-25_P 5 kGy, karena mikroba lebih senang tumbuh pada kondisi yang lebih lembab. Semakin tinggi kadar air pada suatu bahan, maka bahan tersebut menjadi semakin lembab, sehingga bakteri senang hidup di medium yang lembab (Amilia, dkk., 2012). Karena perlakuan C-0_P 7 kGy kurang baik dalam hal menghambat pertumbuhan mikroba dibandingkan dengan perlakuan C-25_P 5 kGy, maka perlakuan C- 25_P 5 kGy dipilih sebagai perlakuan terbaik.

Berdasarkan hasil uji ALT, kerupuk basah dari perlakuan C-25_P 5 kGy masih layak dikonsumsi sampai hari keempat penyimpanan, karena jumlah mikrobanya kurang dari 1 × 105 koloni/g, yaitu sekitar 9,4 ×

(11)

104 koloni/g. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kerupuk basah yang diberikan perlakuan C-25_P 5 kGy mempunyai masa simpan empat hari lebih lama dibandingkan dengan kerupuk basah kontrol.

Penelitian ini berhasil meningkatkan masa simpan kerupuk basah dua hari lebih lama dibandingkan dengan Misni dkk.[5] yang hanya menggunakan edible coating kitosan tanpa iradiasi. Akan tetapi, hasil penelitian ini belum berhasil menambah masa simpan lebih dari satu minggu, seperti yang telah dilakukan oleh Irawati[44], dengan masa simpan untuk kroket dan risoles adalah selama tiga bulan, setelah dikemas di dalam kantung laminasi jenis Polyester 12 µm/perekat Low Density Polyethylene 2 µm/laminasi aluminum foil 7 µm/perekat Low Density Polyethylene 2 µm/perekat Linear Low Density Polyethylene 50 µm (PET/AI-foil/LLDPE), dibekukan pada suhu -18°C selama 48 jam, diiradiasi dengan dosis radiasi 3 hingga 7 kGy sambil dikondisikan pada suhu sekitar -79°C menggunakan CO2 padat, dan disimpan pada suhu 3 sampai 7°C. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tidak diberikannya perlakuan pendinginan, sehingga mikroba pada kerupuk basah tetap tumbuh dengan baik pada kondisi suhu ruang. Kerupuk basah yang tidak diberikan perlakuan tambahan dalam hal pengemasan juga masih rentan terhadap kontaminasi mikroba, meskipun sudah diberikan edible coating hasil penelitian ini, karena kondisi kerupuk basah yang tetap lembab, sehingga disukai oleh mikroba untuk tumbuh.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa kerupuk basah yang tidak diberi coating dan tidak diiradiasi mengalami kerusakan paling cepat yang ditandai dengan tumbuhnya jamur pada hari ke 2. Semakin tinggi dosis iradiasi gamma semakin kecil persen susut berat, penurunan kadar protein, maupun jumlah mikroba.

Kitosan untuk edible coating yang memberikan hasil terbaik terjadi pada kitosan yang diiradiasi dengan dosis 25 kGy.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Kris Tri Basuki dan Ibu Yuni Nurfiana, M.Sc. atas masukan dan saran terhadap penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1] I. Vroman dan L. Tighzert,

“Biodegradable Polymers,” Materials, vol. 2, no. 2, pp. 307-344, 2009.

[2] Uliyanti dan M. A. A. Martiyanti,

“Pemanfaatan Pektin Limbah Kulit Jeruk Pontianak sebagai Bahan Baku Pembuatan Edible Film,” Jurnal Agrosains, vol. 13, no. 2, pp. 54-60, 2016.

[3] P. K. Raghav, N. Agarwal dan M. Saini,

“Edible Coating of Fruits and Vegetables: A Review,” International Journal of Scientific Research and Modern Education, vol. 1, no. 1, p. 2455 – 5630, 2016.

[4] Y. Alexandra dan Nurlina, “Aplikasi Edible Coating dari Pektin Jeruk Songhi Pontianak (Citrus Nobilis var Microcarpa) pada Penyimpanan Buah Tomat,” JKK, vol. 3, no. 4, pp. 11-20, 2014.

[5] Misni, Nurlina dan I. Syahbanu,

“Pengaruh Penggunaan Edible Coating Berbahan Pati Talas dan Kitosan terhadap Kualitas Kerupuk Basah Khas Kapuas Hulu Selama Penyimpanan,”

JKK, vol. 7, no. 1, pp. 10-19, 2017.

[6] S. Fakhreddin, M. Rezaei, M. Zandi dan F. Farahmand, “Preparation and Functional Properties of Fish Gelatin – Chitosan Blend Edible Films,” Food Chemistry, vol. 136, no. 3-4, pp. 1490- 1495, 2013.

[7] M. N. Kumar, R. A. &. M. C. Muzzarelli dan H. &. D. A. J. Sashiwa, “Chitosan Chemistry and Pharmaceutical Perspectives,” Chemical Reviews, vol.

104, no. 12, p. 6017–6084, 2004.

[8] M. Pereda, M. I. Aranguren dan N. E.

Marcovich, “Water Vapor Absorption and Permeability of Films Based on Chitosan and Sodium Caseinate,”

Journal of Applied Polymer Science, vol.

111, no. 6, p. 2777–2784, 2009.

[9] P. K. Dutta, S. Tripathi, G. K. Mehrotra

(12)

and J. Dutta, "Perspectives for Chitosan Based Antimicrobial Films in Food Applications," Food Chemistry, vol.

114, no. 4, p. 1173–1182, 2009.

[10] M. Puspitasari, “Efek Iradiasi Gamma Terhadap Kemampuan Kitosan dalam Menurunkan Kadar Kolesterol Secara In Vitro,” UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014.

[11] M. C. Prihatiningsih, “Efek Radiasi terhadap Polimer,” dalam Buku Ajar Kimia Radiasi dan Percobaan- percobaannya, N. A. Kundari, Penyunt., Yogyakarta, STTN-BATAN, 2009, pp.

75-76.

[12] M. Rachmawati, “Kajian Sifat Kimia Salak Pondoh (Salaka edulis Reinw) dengan Pelapisan Khitosan selama Penyimpanan untuk Memprediksi Masa Simpannya,” Jurnal Teknologi Pertanian, vol. 6, no. 1, pp. 20-24, 2010.

[13] Dinas Pertanian Kabupaten Sambas, Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Sambas Tahun 2015, Sambas: Dinas Pertanian Kabupaten Sambas, 2015.

[14] I. Perina, Satiruiani, F. E. Soetaredjo dan H. Hindarso, “Ekstraksi Pektin dari Berbagai Macam Kulit Jeruk,” Widya Teknik, vol. 6, no. 1, pp. 1-10, 2007.

[15] P. Dhaneswari, C. G. Sula, Z. Ulima dan P. Andriana, “Pemanfaatan Pektin yang Diisolasi dari Kulit dan Buah Salak (Slacca Edulis Reinw) dalam Uji In Vivo Penurunan Kadar Kolesterol dan Glukosa Darah pada Tikus Jantan Galur Wistar,” Khazanah, vol. 7, no. 2, pp. 39- 51, 2015.

[16] A. Sulihono, B. Tarirohan dan T. E.

Agustina, “Pengaruh Waktu, Temperatur dan Jenis Pelarut terhadap Ekstraksi Pektin dari Kulit Jeruk Bali (Citrus maxima),” Jurnal Teknik Kimia, vol. 4, no. 18, pp. 1-8, 2012.

[17] L. L. Gunawan, A. H. N. S., B. A. E. C.

dan Kunnafisaddaroin, “Pengantar Teknologi Pengolahan Pangan - Iradiasi Pangan,” Institut Teknologi Nasional Malang, Malang, 2015.

[18] K. Warriner, A. &. N. A. Huber dan W.

&. D. K. Fan, “Recent Advance in

Microbial Safety of Fresh Fruits and Vegetables,” Adv. Food and Nutri. Res., vol. 57, pp. 155-208, 2009.

[19] P. L. Undurraga, J. A. Oleta dan M.

Taito, “Effect of N, O-Carboxymethyl Chitosan, and Nutrisaveon Avocado Fruits Has During Cool Storage,” Chile, 1995.

[20] L. Cisnero-Zevallos dan J. M. Krochta,

“Dependence of Coating Thickness on Viscosity of Coating Solution Applied to Fruits and Vegetables by Dipping Method,” J Food Sci, vol. 68, no. 2, p.

503–510, 2003.

[21] M. Lacroix dan T. C. Le, “Edible Films and Edible Coating from Starch Polysaccahrides,” dalam Innovations In Food Packaging, J. H. Han, Penyunt., New York, Elsavier, 2005, pp. 338-361.

[22] D. N. A. Zaidel, N. N. Zainudin, Y. M.

M. Jusoh dan I. I. Muhamad, “Extraction and Characterisation of Pectin from Sweet Potato (Ipomoea batatas) Pulp,”

Journal of Engineering Science and Technology, vol. 3, no. 1, pp. 22-29, 2015.

[23] N. Nurhayati, M. Maryanto dan R.

Tafrikhah, “Ekstraksi Pektin dari Kulit dan Tandan Pisang dengan Variasi Suhu dan Metode,” Agritech, vol. 36, no. 3, pp. 327-334, 2016.

[24] Olivin, “Karakterisasi Kitosan Hasil Proses Degradasi oleh Radiasi Pengion,”

Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta, 2017.

[25] D. P. Chattopadhyay dan M. S. Inamdar,

“Aqueous Behaviour of Chitosan,”

International Journal of Polymer Science, vol. 2010, no. 939536, pp. 1-7, 2010.

[26] Y. X. Xu, K. M. Kim, M. A. Hanna dan D. Nag, “Chitosan-Starch Composite Film: Preparation and Characterization,”

Industrial Crops and Products, vol. 22, pp. 185-192, 2005.

[27] R. F. Sitorus, T. Karo-Karo dan Z.

Lubis, “Pengaruh Konsentrasi Kitosan sebagai Edible Coating dan Lama Penyimpanan terhadap Mutu Buah Jambu Biji Merah,” J. Rekayasa Pangan dan Pert., vol. 2, no. 1, pp. 37-46, 2014.

(13)

[28] Badan Standardisasi Nasional, SNI 01- 2354.4-2006 Cara Uji Kimia (Bagian 4):

Penentuan Kadar Protein dengan Metode Total Nitrogen pada Produk Perikanan, Jakarta: Badan Standardisasi Nasional, 2006.

[29] Badan Standardisasi Nasional, SNI 2332.3-2015 Cara Uji Mikrobiologi (Bagian 3): Penentuan Angka Lempeng Total (ALT) pada Produk Perikanan, Jakarta: Badan Standardisasi Nasional, 2015.

[30] Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2016 tentang Kriteria Mikrobiologi dalam Pangan Olahan.

[31] W. W. Pigman, "Advance In Carbohydrat Chemistry," London, 1946.

[32] K. P. Gable, “Spectral Interpretation,”

2015. [Online]. Available:

http://www.science.oregonstate.edu/~ga blek/CH335/Chapter10/IR.htm. [Diakses 21 Juli 2018].

[33] C. J. Creswell, O. A. Runquist dan M.

M. Campbell, “Analisis Senyawa Spektrum Organik,” Bandung, 1982.

[34] S. Roikah, W. D. P. Rengga, Latifah dan E. Kusumastuti, “Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Dari Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi,L),” JBAT, vol. 5, no. 1, pp. 29-36, 2016.

[35] Q. Tian, Y. C. Yuan, M. Z. Rong dan M.

Q. Zhang, “A Thermally Remendable Epoxy Resin,” J. Mater. Chem., vol. 19, no. 9, pp. 1289-1296, 2009.

[36] R. Chang, “Kimia Dasar: Konsep- konsep Inti Jilid I,” Erlangga, Jakarta, 2005.

[37] M. Mucha dan A. Pawlak, “Complex Study on Chitosan Degradability,”

Polimery, vol. 47, no. 7-8, pp. 509-516, 2002.

[38] R. F. Sinaga, G. M. Ginting, M. H.

Ginting dan R. Hasibuan, “Pengaruh Penambahan Gliserol Terhadap Sifat Kekuatan Tarik dan Pemanjangan Saat Putus Bioplastik Dari Pati Umbi Talas,”

Jurnal Teknik Kimia USU, vol. 3, no. 2, pp. 19-24, 2014.

[39] S. Lankalapalli dan V. Kolapalli,

“Polyelectrolyte Complexes: A Review

of Their Applicability in Drug Delivery Technology,” Ind. J Pharm Sci, vol. 71, no. 5, pp. 481-487, 2009.

[40] S. S. Rashidova, R. Y. M. &. L. N.

Semenova, M. Y. M. &. N. L. &. F. S.

V. &. R. Voropaeva dan I. N. Ruban,

“Characteristics of Interactions in the Pectin–Chitosan System,”

Chromatographia, vol. 59, no. 11/12, p.

779–782, 2004.

[41] N. P. S. Ayuni, D. Siswanta dan A.

Suratman, “Sintesis dan Karakterisasi Membran Kompleks Polielektrolit (PEC) Kitosan-Pektin,” Singaraja, 2014.

[42] Tranggono, S. Suhardi & Naruki dan A.

&. S. Murdiati, “Petunjuk Praktikum Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen,”

PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta, 1990.

[43] L. Darsana, S. P. Wartoyo dan T.

Wahyuti, “Pengaruh Saat Panen dan Suhu Penyimpanan terhadap Umur Simpan dan Kualitas Mentimun Jepang (Cucumis sativus L.),” Agrosains, vol. 5, no. 1, pp. 1-12, 2003.

[44] Mead, "Shelf-Life and Spoilage Of Poultry Meat," Woodhead Publishing Limited, Cambridge, 2004.

[45] Z. Irawati, "Aplikasi Radiasi Pengion untuk Tujuan Sanitasi, Sterilisasi, dan Pengawetan pada Pangan Olahan dan Siap Saji," IPTEK NUKLIR : Bunga Rampai, vol. 1, no. 1, pp. 41-64, 2010.

Gambar

Gambar  5  menunjukkan  hasil  interaksi  antara  polimer  kitosan  dengan  pektin  setelah  proses  pencampuran  dalam  pembuatan  edible  coating
Gambar 7. Hasil pelapisan kerupuk basah  dengan iradiasi 3 kGy pada (a) 0_P; (b)
Gambar 12. Penurunan kadar protein kerupuk  basah pada berbagai perlakuan  Analisis ALT pada Kerupuk Basah
Gambar 14. Perbesaran grafik berdasarkan  Gambar 13

Referensi

Dokumen terkait

Kaupan toimipaikat olivat selvästi teollisuustoimi- paikkoja alttiimpia rikoksille sekä rikosmäärillä mitattu- na että sen perusteella, kuinka moni toimipaikoista oli vuoden

Manfaat yang didapatkan dari penelitian ini antara lain, secara teoritis penelitian ini dapat bermanfaat bagi Fakultas Teologi yakni dapat menambah pengetahuan

Dalam hal ini, maka desain untuk menarik minat para konsumen/pembeli pun sangat penting, pada awalnya para konsumen pasti akan tertuju pada bentuk promosi, cover,

Pertanyaan ketiga dan terakhir datang dari Cakra dari UPN Veteran Jakarta, yang bertanya apakah terdapat peluang bagi mahasiswa yang bukan lulusan HI dan sastra

Untuk mengetahui kelimpahan beberapa megabentos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan bisa dijadikan indikator dari kesehatan terumbu karang

Metode analisis spektrum gelombang permukaan atau metode SASW merupakan evolusi teknologi dari teknik gelombang permukaan dalam keadaan tetap (steady state surface wave

bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 39 Peraturan Daerah Kota Probolinggo Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, perlu mengatur

Pendugaan parameter genetik untuk sifat tinggi dan diameter nyawai ( Ficus variegata Blume) dilakukan terhadap semai yang ditanam di persemaian Balai Besar Penelitian Bioteknologi