• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA KANDUNGAN FORMALIN PADA IKAN ASIN KEPALA BATU (Pseudocienna Amovensis) DI PASAR SAMBU MEDAN TUGAS AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISA KANDUNGAN FORMALIN PADA IKAN ASIN KEPALA BATU (Pseudocienna Amovensis) DI PASAR SAMBU MEDAN TUGAS AKHIR"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA KANDUNGAN FORMALIN PADA IKAN ASIN KEPALA BATU (Pseudocienna Amovensis) DI PASAR SAMBU

MEDAN

TUGAS AKHIR

Oleh:

MILLENIA TRIANI SITUMORANG NIM : 182410005

PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat-Nyalah, Tugas Akhir ini dapat dirampungkan. Tugas Akhir ini berjudul “Analisa Kandungan Formalin Pada Ikan Asin Kepala Batu (Pseudocienna Amovensis) Di Pasar Sambu Medan”.

Tujuan penyusunan tugas akhir ini sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Tugas Akhir ini disusun berdasarkan apa yang penulis lakukan pada penelitian di Balai Laboratorium Kesehatan Daerah Medan.

Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan Tugas Akhir ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini, yaitu kepada:

1. Ibu Khairunnisa S.Si., M.Pharm., Ph.D, Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Popi Patilaya, S.Si., M.Sc. Apt., selaku Ketua Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dewi Pertiwi, S.Farm., M.Si., Apt., selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya dalam merampungkan

(5)

4. Bapak Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberi dorongan kepada penulis selama perkuliahan.

5. Seluruh dosen dan staf di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu dr. Lisdayani, Ibu Rosmawati Tarigan dan seluruh staf dan pegawai Balai Laboratorium Kesehatan Daerah Medan.

7. Keluarga tercinta Ayahanda Alexander Situmorang dan Ibunda Rosni Ginting yang telah memberikan doa, motivasi dan dukungan moril maupun materil dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

8. Teman-teman mahasiswa D3 Analis Farmasi dan Makanan Angkatan 2018 untuk kebersamaan, Kerjasama dan kenangan selama masa perkuliahan

9. Buat teman- teman PKL yang selalu ada buat penulis disaat suka maupun duka.

Penulis menyadari penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Akhir kata semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2021 Penulis,

Millenia Triani Situmorang NIM 182410005

(6)

Analisa Kandungan Formalin pada Ikan Asin Kepala Batu (Pseudocienna Amovensis) di Pasar Sambu Medan

Abstrak

Latar Belakang: Ikan asin merupakan salah satu lauk dari ikan yang diawetkan yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Untuk memperpanjang umur simpan dan memperindah tampilan produk olahan ikan, biasanya ditambahkan pengawet. Salah satu pengawet yang dicurigai ditambahkan pada ikan asin adalah formalin, dimana zat kimia tersebut berbahaya bila dikonsumsi oleh manusia.

Pentingnya dilakukan identifikasi formalin pada sampel ikan asin kepala batu (Pseudocienna Amovensis) dengan metode asam kromatropat.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bahan pengawet formalin pada sampel ikan asin kepala batu (Pseudocienna Amovensis) yang terdapat di Pasar Sambu Medan dan apakah ikan asin kepala batu tersebut layak dikonsumsi.

Metode: Metode penelitian dilakukan secara eksperimental dan metode pengambilan sampel menggunakan Teknik Random Sampling dimana Sampel Ikan Asin Kepala Batu (Pseudocienna Amovensis) diambil di Pasar Sambu Medan. Uji kualitatif formalin dilakukan pada sampel ikan asin kepala batu di Pasar Sambu Medan dengan menggunakan metode asam kromatropat.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa 4 sampel ikan asin kepala batu yang diperiksa tidak mengandung formalin. Menurut Permenkes RI No.

722/Menkes/Per/IX/88 dan No. 1168/Menkes/PER/X/1999 penggunaan formalin pada bahan tambahan pangan dilarang .

Kesimpulan: Tidak terdapat kandungan formalin pada ikan asin kepala batu di Pasar Sambu Medan sehingga dinyatakan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Kata kunci : Asam Kromatropat, Bahan tambahan pangan, Destilasi, Formalin, Ikan Asin

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

KATA PENGANTAR ...iv

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ...ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Ikan ... 3

2.1.1 Definisi Ikan ... 3

2.1.3 Ikan Asin ... 4

2.1.3 Cara Pengolahan Ikan ... 5

2.2 Pengertian dan Tujuan Bahan Tambahan Pangan ... 7

2.2.1 Pengertian dan Tujuan Bahan Tambahan Pangan ... 7

2.2.2 Klasifikasi Bahan Tambahan Pangan ... 9

2.3 Bahan Pengawet ... 11

2.3.1 Mekanisme Kerja Bahan Pengawet ... 12

2.4 Formalin ... 13

(8)

2.4.1 Pengertian Formalin ... 13

2.4.2 Sifat Formalin ... 14

2.4.3 Fungsi Formalin ... 14

2.4.4 Dampak Formalin Terhadap Kesehatan ... 15

2.4.5 Cara Menyimpan Formalin ... 16

2.5 Uji Kualitatif Formalin ... 16

2.6 Destilasi ... 17

BAB III METODE PERCOBAAN ... 19

3.1 Tempat Penelitian ... 19

3.2 Alat ... 19

3.3 Bahan ... 19

3.4 Prosedur Kerja ... 20

3.4.1 Persiapan Sampel ... 20

3.4.2 Pembuatan Pereaksi Asam Kromatropat ... 20

3.4.3 Pengujian Sampel ... 20

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1 Hasil Penelitian ... 21

4.2 Pembahasan ... 21

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 24

5.1 Kesimpulan ... 24

5.2 Saran ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 25

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Formalin Pada Ikan Asin Kepala Batu ... 21

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Ikan Asin Kepala Batu ... 4 Gambar 2 Struktur Kimia Formalin ... 13

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Sampel Ikan Asin Kepala Batu ... 26

Lampiran 2. Alat ... 27

Lampiran 3. Bahan ... 28

Lampiran 4. Hasil Penelitian ... 29

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan asin merupakan salah satu lauk yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia, dalam skala nasional. Ikan asin merupakan salah satu produk perikanan yang mempunyai kedudukan penting, hampir 65% produk perikanan masih diolah dan diawetkan dengan cara penggaraman. Ikan asin termasuk dalam sembilan bahan pokok penting bagi kehidupan masyarakat (Matondang,2015).

Dalam pembuatan ikan asin akhir-akhir ini sering menggunakan bahan kimia tambahan. Salah satu bahan kimia tambahan yang berbahaya yang masih digunakan adalah formalin. Formalin adalah senyawa formaldehida dalam air dengan konsentrasi rata-rata 37% dan metanol 15% dan sisanya adalah air.

Formalin bukan pengawet makanan tetapi banyak digunakan oleh industri kecil untuk mengawetkan produk makanan karenaharganya yang murah sehingga dapat menekan biaya produksi, dapat membuat kenyal, utuh, tidak rusak, praktis dan efektif mengawetkan makanan. Larangan penggunaan formalin sebagai bahan tambahan makanan telah tercantum dalam Permenkes RI No.033 tahun 2012 (Suryadi,2010).

Ikan asin yang mengandung formalin dapat diketahui dengan ciri-ciri yaitu tidak rusak sampai lebih dari satu bulan pada suhu 250C, tidak berbau khas ikan

(13)

asin, bersih, cerah dan tidak dihinggapi lalat di area berlalat. Selain itu dagingnya kenyal, utuh, lebih putih dan bersih dibandingkan ikan asin tanpa formalin yang berwarna agak cokelat (Sari, 2017).

Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dan metode pengambilan sampel menggunakan teknik Random Sampling dimana Sampel Ikan Asin Kepala Batu (Pseudocienna Amovensis) diambil sebanyak 4 sampel dari penjual yang berbeda di Pasar Sambu Medan. Pengujian kandungan formalin dalam ikan asin kepala batu diuji secara kualitatif dengan metode asam kromatropat ( Harmawan dan Fadilla , 2020).

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin melakukan Penelitian dengan Judul “Analisis Kandungan Formalin pada Ikan Asin Kepala Batu (Pseudocienna Amovensis) di Pasar Sambu Medan”. Diuji secara kualitatif dengan menggunakan metode asam kromatropat.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bahan pengawet formalin pada sampel ikan asin kepala batu (Pseudocienna Amovensis) yang terdapat di Pasar Sambu Medan dengan menggunakan metode asam kromatropat dan apakah ikan asin kepala batu tersebut layak dikonsumsi Menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88

1.3 Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah untuk menambah wawasan dan dapat menginformasikan kepada para pembaca tentang zat pengawet yang terkandung dalam ikan asin kepala batu serta lebih berhati – hati dalam mengkonsumsi makanan atau minuman yang beredar.

(14)

2.1 Ikan

2.1.1 Definisi Ikan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat. Masyarakat Indonesia sendiri telah lama mengenal pengolahan ikan dengan cara diasinkan (salted fish) menggunakan metode pengeringan dan penggaraman. Pengolahan ikan dengan menambahkan garam ini merupakan cara pengawetan ikan yang sederhana. Penambahan bahan aditif pada produk perikanan sulit untuk dihindari mengingat komoditas perikanan termasuk paling mudah busuk (perishable food) (Sari,2017).

Ikan merupakan salah satu pangan sumber protein dan juga mengandung asam-asam lemak esensial, mineral, dan vitamin. Proses metabolisme mikroorganisme dan aktivitas enzim di dalam tubuh ikan membuat ikan yang mati lebih cepat membusuk. Salah satu cara pengawetan ikan agar tidak mengalami kebusukan dengan menambahkan garam 25-35% pada ikan segar atau ikan setengah basah sehingga menjadi ikan asin (Adwiria,2019).

Seperti kita ketahui, ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (membusuk). Hanya dalam waktu 8 jam sejak ikan ditangkap dan didaratkan sudah akan timbul proses perubahan yang mengarah pada kerusakan. Ikan dan hasil perikanan yang lain merupakan bahan pangan yang mudah membusuk, maka proses pengolahan yang dilakukan bertujuan untuk menghambat atau menghentikan aktivitas zat-zat dan mikroorganisme perusak atau enzim-enzim yang dapat menyebabkan kemunduran mutu (Adawyah, 2008).

(15)

2.1.2 Ikan Asin

Gambar 1 Ikan Asin Kepala Batu

Ikan asin adalah bahan makanan yang terbuat dari ikan yang diawetkan dengan cara dikeringkan dan dengan menambahkan banyak garam dengan jumlah tinggi. Dengan metode pengawetan ini daging ikan yang biasanya membusuk dalam waktu singkat dapat disimpan dalam suhu kamar untuk jangka waktu berbulan- bulan, dan biasanya harus ditutup rapat (Adawyah, 2008).

Ikan dan hasil perikanan yang lain merupakan bahan pangan yang mudah membusuk, maka proses pengolahan yang dilakukan bertujuan untuk menghambat atau menghentikan aktivitas zat-zat dan mikroorganisme perusak atau enzim-enzim yang dapat menyebabkan kemunduran mutu dan kerusakan ikan. Selain itu pengolahan juga bertujuan untuk memperpanjang daya tahan produk olahan hasil perikanan. Kualitas ikan asin sangat ditentukan oleh tingkat kesegaran ikan, jumlah garam yang ditambahkan, tingkat kemurnian garam dan proses pengolahannya (Adawyah, 2008).

(16)

2.1.3 Cara Pengolahan Ikan

Proses pengolahan hasil perikanan meliputi pengolahan dengan suhu rendah, penggaraman, pemindangan, pengeringan, pengasapan, fermentasi, pemgolahan dengan suhu tinggi dan diversifikasi pengolahan ikan (Adawyah, 2008).

Pengawetan ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses pengambilan/ pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Adapula yang mengatakan, pendinginan merupakan proses pengambilan panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan suhu di ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah daripada suhu di luar ruangan (Adawyah, 2008).

Penggaraman merupakan cara pengawetan yang sudah lama dilakukan orang. Penggaraman merupakan proses pengawetan yang banyak dilakukan di berbagai negaram termasuk Indonesia. Proses itu menggunakan garam sebagai media pengawet, baik yang berbentuk kristal maupun larutan. Selama proses penggaraman, terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan karena addanya perbedaan konsentrasi (Adawyah, 2008).

Penggaraman ikan dikelompokkan menjadi tiga metode, yaitu metode penggaraman kering, basah, dan campuran. Penggaraman dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kench curing, pickling, dan brining. Faktor yang memengaruhi kecepatan penetrasi garam ke dalam daging ikan, yaitu kadar lemak, ketebalan daging, kesegaran, dan temperatur tubuh ikan (Adawyah, 2008).

Garam merupakan faktor utama dalam proses penggaraman ikan. Sebagai bahan pengawet, kemurnian garam sangat memengaruhi mutu ikan yang dihasilkan.

(17)

kubus dan berwarna putih. Menurut asalnya garam terbagi tiga, yaitu solar salt, mine salt, dan garam yang diperoleh dari air keluar dari tanah kemudian

dikeringkan (Adawyah, 2008).

Pemindangan ikan merupakan upaya pengawetan sekaligus pengolahan ikan yang menggunakan teknik penggaraman dan pemanasan. Pengolahan tersebut dilakukan dengan merebus atau memanaskan ikan dalam suasana bergaram selama waktu tertentu di dalam suatu wadah. Wadah itu digunakan sebagai tempat ikan selama perebusan atau pemanasan dan sekaligus digunakan sebagai kemasan selama transportasi dan pemasaran (Adawyah, 2008).

Pengeringan ikan merupakan cara pengawetan yang tertua. Pada prinsipnya, pengeringan merupakan cara pengawetan ikan dengan mengurangi kandungan air dari bahan. Di dalam bahan terdapat air bebas dan terikat. Proses pengeringan selalu didahului dengan penggaraman. Beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan pengeringan ikan, seperti luas permukaan ikan, ukuran ikan, kecepatan arus angin, dan wet bulb depression. Teknik yang dapat diterapkan untuk mengeringkan ikan dengan melalui teknik penjemuran. Melalui manfaat sinar matahari atau rumah kaca yang biasa disebut dengan plastik, yaitu memanfaatkan sinar matahari tetapi produk yang dihasilkan lebih higienis karena tidak terkontaminasi dengan lingkungan diluar rumah kaca. Selain memanfaatkan sinar matahari, pengeringan dapat dilakukan secara mekanik dan tidak tergantung dengan cuaca (Adawyah, 2008).

Pengasapan merupakan suatu cara pengolahan atau pengawetan dengan memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami. Ada banyak faktor yang memengaruhi proses pengasapan, diantaranya suhu pengasapan. Agar penempelan

(18)

dan pelarutan asap berjalan efektif, suhu awal pengasapan sebaiknya rendah (Adawyah, 2008).

Fermentasi merupakan cara pengolahan bahan, dalam prosesnya menguraikan senyawa kompleks menjadi senyawa – senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan enzim serta berlangsung dalam keadaan terkontrol atau diatur (Adawyah, 2008).

Pengalengan merupakan cara pengawetan hasil perikanan yang dikemas secara hermatis dan kemudian disterilkan. Wadah yang digunakan dapat berupa kaleng,gelas, atau aluminium (Adawyah, 2008).

2.2 Pengertian dan Tujuan Bahan Tambahan Pangan 2.2.1 Pengertian dan Tujuan Bahan Tambahan Pangan

Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Dampak penggunaanya dapat berakibat positif maupun negative bagi masyarakat.

Penyimpangan dalam penggunaanya akan membahayakan kita bersama, khususnya generasi muda sebagai penerus pembangunan bangsa. Di bidang pangan kita memerlukan sesuatu yang lebih baik untuk masa yang akan datang, yaitu pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi, dan lebih mampu bersaing dalam pasar global. Kebijakan keamanan pangan (food safety) dan pembangunan gizi nasional (food nutrient) merupakan bagian integral dari kebijakan pangan nasional, termasuk penggunaan bahan tambahan pangan (Cahyadi,2017).

Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI

(19)

bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan kompenen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan (Cahyadi,2017).

Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau mempertahakan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut :

1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja kedalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras.

2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan uaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residua tau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang dikonsumsi. Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu peptisida (termasuk insektisida, herbisida, dan rodentisida), antibiotic, dan hidrokarbon aromatic polisiklis.

(20)

Bahan tambahan makanan (BTM) atau sering pula disebut Bahan tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk makanan. Bahan tambahan makanan itu bisa memiliki nilai gizi, tetapi bisa pula tidak. Ada beberapa kategori BTM , Pertama bahan tambahan makanan yang bersifat aman, dengan dosis yang tidak dibatasi, misalnya pati. Kedua, bahan tambahan makanan yang digunakan dengan dosis tertentu, dan dengan demikian dosisi maksimum penggunaannya juga telah ditetapkan. Ketiga, bahan tambahan yang aman dan dalam dosis yang tepat,serta telah mendapatkan izin beredar dari instansi yang berwenang. Sebaiknya, kita menggunakan bahan tambahan makanan secara tepat sebab apabila tidak demikian maka bahan tambahan makanan ini dapat pula mengakibatkan gangguan Kesehatan bagi kita (Yuliarti,2007).

Penggunaan Bahan Tambahan Pangan sebaiknya dengan dosis di bawah ambang batas yang telah ditentukan. Jenis BTP ada 2, yaitu GRAS (Generally Recognized as Safe), zat ini aman dan tidak berefek toksik misalnya gula (glukosa).

Sedangkan jenis lainnya, yaitu ADI (Acceptable Daily Intake), jenis ini selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya demi menjaga/melindungi kesehatan konsumen (Cahyadi, 2006).

2.2.2 Klasifikasi Bahan Tambahan Pangan

Menurut Departemen Kesehatan, peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/MenKes/Per/IX/88, terdiri dari golongan Bahan Tambahan pangan yang diizinkan di antaranya sebagai berikut :

1. Antioksidan ( antioxidant ).

2. Antikempal ( anticaking agent).

(21)

3. Pengatur keasaman ( acidity regulator).

4. Pemanis buatan ( artificial sweeterner).

5. Pemutih dan pematang telur ( flour treatment agent).

6. Pengemulsi, pemantap, dan pengental ( emulsifier, stabilizer, thickener).

7. Pengawet ( preservative).

8. Pengeras ( firming agent).

9. Pewarna ( colour).

10. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa ( flavour, flavour enhancer).

11. Sekuestran ( sequestrant).

Selain BTP yang tercantum dalam peraturan Menteri tersebut masih ada beberapa BTP lainnya yang biasa digunakan dalam pangan, misalnya :

1. Enzim, yaitu BTP yang berasal dari hewan, tanaman, atau mikroba, yang dapat menguraikan zat secara enzimatis, misalnya membuat pangan menjadi lebih empuk, lebih larut, dan lain lain.

2. Penambah gizi, yaitu bahan tambahan berupa asam amino, mineral, atau vitamin, baik tunggal maupun campuran, yang dapat meningkatkan nilai gizi pangan

3. Humektan, yaitu BTP yang dapat menyerap lembab (uap air) sehingga mempertahankan kadar air pangan.

Beberapa bahan tambahan pangan yang dilarang digunakan dalam makanan, menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 dan No.

1168/Menkes/PER/X/1999 sebagai berikut : 1. Natrium tetraborate (boraks).

2. Formalin (formaldehyde).

(22)

3. Minyak nabati yang dibrominasi ( brominanted vegetable oils).

4. Kloramfenikol (chloramphenicol).

5. Kalium klorat (potassium chlorate).

6. Dietilpirokarbonat ( diethylpyrocarbonate, DEPC).

7. Nitrofuranzon (nitrofuranzone).

8. P-Phenetilkarbamida ( p-phenethycarbamide, duclin, 4-ethoxyphenyl urea).

9. Asam salisilat dan garamnya ( salicylic acid and its salt).

2.3 Bahan Pengawet

Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi,pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba.

Akan tetapi tidak jarang produsen menggunakannya pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur.

Penggunaan bahan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan pangan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena pangan mempunyai sifat yang berbeda- beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Pada saat ini, masih banyak ditemukan penggunaan bahan – bahan pengawet yang dilarang untuk digunakan dalam pangan dan berbahaya bagi kesehatan, seperti boraks dan formalin ( Cahyadi,2017).

Bahan pengawet akan menghambat atau membunuh mikroba yang penting dan kemudian memecahkan senyawa berbahaya menjadi tidak berbahaya dan tidak

(23)

dapat hidup pada kondisi tersebut. Derajat penghambatan terhadap kerusakan bahan pangan oleh mikroba bervariasi dengan jenis bahan pengawet yang digunakan dan besarnya penghambatan ditentukan oleh konsentrasi bahan pengawet yang digunakan (Cahyadi,2017).

Bahan pengawet merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang paling tua penggunaannya. Pada permulaan peradaban manusia, asap telah digunakan untuk mengawetkan daging, ikan, dan jagung. Demikian pula pengawetan menggunakan garam, asam, dan gula telah dikenal sejak dulu kala. Secara umum penambahan bahan pengawet bertujuan sebagai berikut

1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat pathogen maupun tidak pathogen.

2. Memperpanjang umur simpan pangan.

3. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan.

4. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah.

5. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan.

6. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan 2.3.1 Mekanisme Kerja Bahan Pengawet

Bahan pangan biasanya rusak karena adanya mikroorganisme yang bersifat patogen (menyebabkan kerugian dan kerusakan pada suatu bahan pangan).

Mekanisme kerja senyawa antimikroba berbeda – beda antara senyawa yang satu dengan yang lain, meskipun tujuan akhirnya sama yaitu menghambat atau menghentikan pertumbuhan mikroba. Formaldehid dapat merusak bakteri karena

(24)

bakteri adalah protein. Pada reaksi formaldehid dengan protein, yang pertama kali diserang adalah gugus amina pada posisi lisin diantara gugus – gugus polar dari peptidanya. Selain menyerang gugus -NH2 dari lisin formaldehid juga menyerang residu tirosin dan histidin (Cahyadi, 2017).

2.4 Formalin

2.4.1 Pengertian Formalin

Senyawa ini dipasaran dikenal dengan nama formalin. Formaldehid merupakan bahan tambahan kimia yang efisien, tetapi dilarang ditambahkan pada bahan pangan (makanan), tetapi ada kemungkinan formaldehid digunakan dalam pengawetan susu, tahu, mie, ikan asin, ikan basah, dan produk pangan lainnya (Cahyadi,2017).

Gambar 2 Struktur Kimia Formalin (sumber : Cahyadi, 2017)

Formalin merupakan larutan komersial dengan konsentrasi 10 – 40 % dari formaldehid. Penggunaan formalin yang sebenarnya bukan untuk makanan, melainkan sebagai antiseptic, germisida dan pengawet non makanan. Formalin mempunyai banyak nama kimia yang biasa kita dengar di masyarakat, diantaranya formol, methylene aldehyde, paraforin, morbicid, formoform, superlysoform, formic aldehyde, formalith, tetraoxymethylene, methyl oxide, karsan, trioxane, oxymethylene dan methylene glycol. Dipasaran, formalin bisa ditemukan dalam bentuk yang sudah diencerkan, dengan kandungan formaldehid 10 – 40 persen

(25)

2.4.2 Sifat Formalin

Formalin adalah nama dagang larutan formaldehida dalam air dengan kadar 20-40%, tidak berwarna dan baunya sangat menusuk dan biasanya ditambah metanol hingga 15% sebagai stabilisator.

Sifat fisik larutan formaldehida adalah merupakan cairan jernih, tidak berwarna atau hampir tidak berwarna, bau menusuk, uap merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan dan jika disimpan di tempat dingin dapat menjadi keruh.

Biasanya disimpan dalam wadah tertutup, terlindung dari cahaya dengan suhu tempat penyimpanan di atas 20. Formaldehida dalam udara bebas berada dalam bentuk gas, namun bisa larut dalam air. Larutan formaldehida yang dijual di pasaran menggunakan merek dagang formalin atau formol. Dalam air, formaldehida mengalami polimerisasi (sangat sedikit yang berada dalam bentuk monomer CH2O) (Tangdiongga, 2015).

2.4.3 Fungsi Formalin

Fungsi formalin sebagai antiseptik, germisida, dan pengawet non-makanan.

Penggunaan formalin yang salah kerap sekali dilakukan dalam mengawetkan pangan untuk memperpanjang umur simpan, walaupun senyawa ini sesungguhnya dilarang mengingat bahayanya bagi kesehatan, seperti dapat menyebabkan sakit perut akut disertai muntah-muntah, timbulnya depresi susunan saraf serta kegagalan peredaran darah. Pada jangka panjang formalin dalam dosis rendah dapat memicu perkembangan sel-sel kanker. Pada konsentrasi sangat tinggi dapat menyebabkan kematian (Adwiria, 2019).

Di dalam industri perikanan, formalin digunakan untuk menghilangkan bakteri yang biasa hidup di sisik ikan. Formalin diketahui sering digunakan dan

(26)

efektif dalam pengobatan penyakit ikan akibat ektoparasit seperti fluke dan kulit berlendir. Meskipun demikian, bahan ini juga sangat beracun bagi ikan. Ambang batas amannya sangat rendah sehingga terkadang ikan yang diobati malah mati akibat formalin daripada akibat penyakitnya. Formalin dapat digunakan dalam pengawetan sampel ikan untuk keperluan penelitian dan identifikasi. Di dalam dunia kedokteran formalin digunakan dalam pengawetan mayat yang akan dipelajari dalam Pendidikan mahasiswa kedokteran maupun kedokteran hewan.

Untuk pengawetan, biasanya digunakan formalin dengan konsentrasi 10 % (Yuliarti, 2007).

2.4.4 Dampak Formalin Terhadap Kesehatan

Departemen Kesehatan RI berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

722/Menkes/Per/IX/88 mendefinisikan bahan tambahan pangan seperti yang disusun oleh komisi Codex Alimentarius. Formalin bersama – sama boraks termasuk dalam daftar bahwa tambahan kimia yang dilarang digunakan. Formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi, akan bereaksi secara kimia dengan hamper semua zat di dalam sel dan menyebabkan kematian sel yang menyebabkan keracunan pada tubuh. Selain itu, kandungan formalin yang tinggi dalam tubuh juga menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) dan berifat mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel/jaringan), serta orang yang mengonsumsinya akan muntah, diare bercampur darah, dan kematian yang disebabkan adanya kegagalan peredaran darah. Formalin bila menguap di udara, berupa gas yang tidak berwarna, dengan bau yang tajam menyesakkan sehingga merangsang hidung, tenggorokan, dan mata (Cahyadi,2017).

(27)

Formaldehida yang terhirup lewat pernafasan (inhalasi) akan segera diabsorbsi ke paru dan menyebabkan paparan akut berupa pusing kepala, rhinitis, rasa terbakar dan lakrimasi (keluar air mata dan pada dosis yang lebih tinggi bisa buta), bronchitis, edema pulmonary atau pneumonia karena dapat mengecilkan bronchus dan menyebabkan akumulasi cairan di paru. Pada orang yang sensitif dapat menyebabkan alergi, asma, dan dermatitis. Jika masuk lewat penelanan (ingestion) sebanyak 30 ml (2 sendok makan) dari larutan formaldehida dapat menyebabkan kematian, hal ini disebabkan sifat korosif larutan formaldehida terhadap mukosa saluran cerna lambung, disertai mual, muntah, nyeri, pendarahan dan perforasi. Jika terpapar secara terus menerus dapat mengakibatkan kerusakan pada hati, ginjal dan jantung (Tangdiongga, 2015).

2.4.5 Cara Menyimpan Formalin Cara Penyimpanan formalin

1) Jangan di simpan di lingkungan bertemperatur di bawah 150 C.

2) Tempat penyimpanan harus terbuat dari baja tahan karat, alumunium murni, polietilen atau polyester yang dilapisi fiberglass.

3) Tempat penyimpanan tidak boleh terbuat dari baja besi, tembaga, nikel atau campuran seng dengan permukaan yang tidak dilindungi / dilapisi.

4) Jangan menggunakan bahan alumunium bila temperatur lingkungan berada di atas 600 C (Malau,2019).

2.5 Uji Kualitatif Formalin

Analisa kualitatif dapat dilakukan untuk menyatakan ada atau tidaknya formalin dalam suatu bahan yang diuji. Namun, uji kualitatif ini tidak dapat

(28)

menunjukkan berapa kadar formalin dalam bahan tersebut. Analisa kualitatif tidak memerlukan waktu yang lama karena itu lebih praktis. Uji seperti ini disebut juga spot test (Batu Bara,2017).

Formalin bereaksi dengan asam kromotropik menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah keunguan. Reaksinya dapat dipercepat dengan cara menambahkan asam fosfat dan hidrogen peroksida. Caranya, bahan yang diduga mengandung formalin ditetesi dengan campuran antara asam kromotropik, asam fosfat dan hidrogen peroksida. Jika dihasilkan warna merah keunguan maka dapat disimpulkan bahwa bahan tersebut mengandung formalin (Batu Bara,2017).

Uji kualitatif formalin yang biasanya digunakan dalam laboratorium dilakukan dengan ; metode asam kromatropat dengan pereaksi C6H6Na2O8S2.

H2O (asam kromatropat) dalam H2SO4 60% : hasil destilasi dari sampel yang diduga mengandung formalin dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan direaksikan dengan asam kromatropat 0,5% dalam H2SO4 60% yang kemudian dipanaskan di atas waterbath, adanya formalin ditunjukkan dengan perubahan warna dari bening menjadi warna ungu (Malau,2019).

2.6 Destilasi

Destilasi (penyulingan) adalah proses pemisahan komponen dari suatu campuran yang berupa larutan cair-cair dimana karakteristik dari campuran tersebut adalah mampu-campur dan mudah menguap, selain itu komponen-komponen tersebut mempunyai perbedaan tekanan uap dan hasil dari pemisahannya menjadi komponen-komponennya atau kelompokkelompok komponen. Karena adanya perbedaan tekanan uap, maka dapat dikatakan pula proses penyulingan merupakan

(29)

proses pemisahan komponen-komponennya berdasarkan perbedaan titik didihnya (Rahayu dan Purnavita, 2008).

Pada operasi distilasi, terjadinya pemisahan didasarkan pada gejala bahwa bila campuran cair ada dalam keadaan setimbang dengan uapnya, komposisi uap dan cairan berbeda. Uap akan mengandung lebih banyak komponen yang lebih mudah menguap, sedangkan cairan akan mengandung lebih sedikit komponen yang mudah menguap. Bila uap dipisahkan dari cairan, maka uap tersebut dikondensasikan, selanjutnya akan didapatkan cairan yang berbeda dari cairan yang pertama, dengan lebih banyak komponen yang mudah menguap dibandingkan dengan cairan yang tidak teruapkan. Bila kemudian cairan dari kondensasi uap tersebut diuapkan lagi sebagian, akan didapatkan uap dengan kadar komponen yang lebih mudah menguap lebih tinggi (Rahayu dan Purnavita, 2008).

(30)

BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN 3.1 Tempat Penelitian

Pengujian formalin pada ikan asin kepala batu (Pseudocienna Amovensis) secara kualitatif dilakukan di Laboratorium Toksikologi UPT Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan, yang berada di Jalan Williem Iskandar Pasar V Barat I No. 4 Medan.

3.2 Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel ikan asin kepala batu dilakukan di Pasar Sambu Medan dengan metode Random Sampling

3.3 Alat

Alat yang digunakan adalah Bola Hisap, Erlenmeyer (250 ml, pyrex), gelas ukur (100 ml, pyrex), labu destilasi (scoth duran), neraca analitik, penangas air (water bath), pipet tetes, pipet volumetric (5 ml, supertrek), pisau, seperangkat alat destilasi, dan tabung reaksi (15 ml, pyrex), talenan, dan wadah sampel.

3.4 Bahan

Bahan yang digunakan adalah aquadest, asam fosfat (H3PO4) 85 %, asam kromatropat 0,5%, asam sulfat (H2SO4), dan ikan asin kepala batu ( Pseudocienna Amovensis).

(31)

3.5 Prosedur Kerja 3.5.1 Persiapan Sampel

Ditimbang sampel ikan asin kepala batu sebanyak 50 gram, dimasukkan kedalam labu destilasi, ditambahkan 100 ml aquadest dan 5 ml asam fosfat 85 %, alat destilasi dipasang dengan pendingin, sampel di destilasi pada suhu 960C sampai diperoleh destilat ± 50 ml yang ditampung didalam erlenmeyer yang berisi 10 ml aquadest (ujung pendingin harus tercelup kedalam aquadest) (Harmawan dan Fadilla, 2020).

3.5.2 Pembuatan Pereaksi Asam Kromatropat

Dilarutkan 500 mg asam kromatropat 0,5 % dalam 100 ml asam sulfat 60%

di dalam tabung reaksi (Rahmawati, 2017).

3.5.3 Pengujian Sampel

Dimasukkan ± 5 ml destilat ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan pereaksi asam kromatropat sebanyak 3 tetes, dilihat perubahan warna yang terjadi, jika tidak terdapat perubahan warna dilanjutkan pemeriksaan dengan dimasukkan tabung reaksi berisi destilat kedalam penangas air mendidih selama 15 menit, dilihat perubahan warna yang terjadi.

(32)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Hasil pengujian formalin pada ikan asin kepala batu dapat dilihat pada table 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Tabel Hasil Pemeriksaan Formalin Pada Ikan Asin Kepala Batu

No Sampel Hasil Keterangan

1 Ikan Asin Kepala Batu A Tidak

Menunjukkan warna ungu

(-) Formalin

2 Ikan Asin Kepala Batu B Tidak

Menunjukkan warna ungu

(-) Formalin

3 Ikan Asin Kepala Batu C Tidak

Menunjukkan warna ungu

(-) Formalin

4 Ikan Asin Kepala Batu D Tidak

Menunjukkan warna ungu

(-) Formalin

4.2 Pembahasan

Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan pada keempat sampel ikan asin kepala batu diperoleh hasil bahwa sampel tidak mengandung formalin. Pada pengujian kualitatif kandungan formalin pada sampel ikan asin kepala batu dilakukan dengan cara mengambil destilat yang telah diperoleh dan diberi larutan asam kromatropat lalu dipanaskan dalam air mendidih dan diamati perubahan warna yang terjadi. Perubahan warna larutan menjadi warna ungu menunjukkan sampel mengandung formalin. Dari hasil pengamatan sampel tidak mengandung formalin. Prinsip destilasi adalah metode pemisahan antara senyawa formalin

(33)

kromatropat menghasilkan warna kuning tidak mengalami perubahan warna menjadi ungu setelah dipanaskan sehingga dapat dikatakan sampel tersebut tidak mengandung formalin. Maka sampel tersebut aman untuk dikonsumsi. Peraturan Menteri Kesehatan menyatakan bahwa formalin merupakan bahan tambahan makanan terlarang.

Hasil didapatkan negatif karena sampel tidak stabil dan tidak berikatan dengan asam kromatropat, dimana asam kromatropat lebih selektif terhadap senyawa formaldehida. Mekanisme dari asam kromatropat adalah pengikatan gugus karbonil yaitu gugus kromofor didalam suatu senyawa berpindah sebagai lokalisasi elektron direaksikan dengan asam kromatropat. Asam kromatropat terkonjugasi berikatan sehingga menghasilkan warna ungu, dimana sampel mengandung formalin (Rahmawati, 2017).

Beberapa hal yang menyebabkan pemakaian formalin untuk bahan tambahan makanan (pengawet) meningkat, antara lain harganya yang jauh lebih murah disbanding dengan pengawet lainnya, seperti natrium benzoate atau natrium sorbat. Selain itu, jumlah yang digunakan tidak perlu sebesar pengawet lainnya, mudah digunakan untuk proses pengawetan karena bentukanya laruta, waktu pemrosesan pengawetan lebih singkat, mudah didapatkan ditoko bahan kimia dalam jumlah besar ( Widyaningsih dan Murtini,2016).

Menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88, formalin adalah salah satu bahan pengawet yang dilarang penggunaannya pada bahan tambahan makanan.

Penggunaan formalin yang salah kerap sekali dilakukan dalam mengawetkan pangan untuk memperpanjang umur simpan, walaupun senyawa ini sesungguhnya dilarang mengingat bahayanya bagi kesehatan, seperti dapat menyebabkan sakit

(34)

peredaran darah. Pada jangka panjang formalin dalam dosis rendah dapat memicu perkembangan sel-sel kanker. Pada konsentrasi sangat tinggi dapat menyebabkan kematian (Adwiria, 2019).

Penelitian mengenai uji formalin pada ikan asin kepala batu pernah dilakukan oleh Harmawan dan Fadilla (2020) , hasil pemeriksaan kualitatif pada sampel ikan asin kepala batu yang telah diperiksa hasilnya negatif karena tidak terjadi perubahan warna ungu pada sampel ikan asin. Hasil yang didapatkan sama dengan hasil pada penelitian ini. Sehingga untuk pemeriksaan selanjutnya secara kuantitatif tidak perlu dilakukan dikarenakan hasil dari seluruh sampel tidak mengandung formalin.

(35)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Hasil pemeriksaan formalin pada keempat sampel ikan asin kepala batu pada Pasar Sambu Medan tidak mengandung formalin ditandai dengan tidak terbentuknya warna ungu setelah penambahan asam kromatropat pada sampel hal ini menunjukkan bahwa ikan asin kepala batu tersebut layak dikonsumsi oleh masyarakat sesuai dengan peraturan Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88

5.2 Saran

Agar dilakukan penelitian pada ikan asin dari beberapa tempat lain, misalnya Pasar Induk Medan

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. (2008). Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: PT Bumi Akasara. Hal: 5, 12, 27, 55-57, 86, 101, 103.

Adwiria, A, N., Rosita, Y., dan Suarni, E. (2019). Uji Fisik dan Laboratorium Kandungan Formalin dalam Ikan Asin di Pasar Tradisional Seberang Ulu I Palembang. Syifa Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Volume 10 (1). Halaman: 2.

Batu Bara, A, I. (2017). Pemeriksaan Formalin Pada Bakso, Tahu, dan Ikan Basah di Kota Medan. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Halaman: 12-13.

Cahyadi, W. (2017). Analisis dan Aspek Kesehatan dan Bahan Tambahan Pangan.

Bumi Aksara: Jakarta. Halaman: 1-13, 254, 259.

Harmawan, T., dan Fadilla, N. (2020). Pemeriksaan Formalin Terhadap Ikan Asin Kepala Batu (Pseudocienna Amovensis) dan Dencis (Sardinella Lemuru) di Daerah Medan Helvetia: Jurnal Kimia Sains dan Terapan. Volume 2 (2). Halaman : 16-17.

Malau, A, H. (2019). Identifikasi Formalin Yang Terdapat Pada Bakso Daging Sapi. Medan: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Halaman:

17-18.

Matondang, R, A., Rochima, E., dan Kurniawati, N. (2015). Studi Kandungan Formalin Dan Zat Pemutih Pada Ikan Asin Di Beberapa Pasar Kota Bandung: Jurnal Perikanan Kelautan. Volume 6 (2). Halaman: 71.

Rahayu, S, S., dan Purnavita, S. (2008). Kimia Industri. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Halaman: 248.

Rahmawati. (2017). Identifikasi Formalin Pada Tahu Yang Dijual Di Pasar Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik Kesehatan Kendari

Tangdiongga, R, R., Mendey, L, C., dan Lumoindong, F. (2015). Kajian Analisis Kimia Formaldehida Dalam Peralatan Makan Melamin Secara Spektrofotometri Sinar Tampak. Manado: Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. Volume 3 (1). Halaman : 2-3.

Sari, A, N., dkk. (2017). Uji Kandungan Formalin Pada Ikan Asin di Pasar Tradisional Kota Banda Aceh: Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Halaman: 306-307.

(37)

Yuliarti, N. (2007). Awas! Bahaya di Balik Lezatnya Makanan. Yogyakarta: Andi.

Halaman: 7, 34, 36.

Zakaria, B., Sulastri, T., dan Sudding. (2014). Analisis Kandungan Formalin pada Ikan Asin Katamba (Lethrinus lentjan) yang Beredar Di Kota Makassar : Jurnal Chemica. Volume 15 (2). Halaman: 17-18.

(38)

LAMPIRAN Lampiran 1. Sampel Ikan Asin Kepala Batu

(39)

Lampiran 2. Alat

Rak tabung dan Tabung reaksi Pisau

Gelas Ukur Erlenmeyer

Rangkaian Alat Destilasi Penangas Air

(40)

Lampiran 3. Bahan

Asam fosfat dan Aquadest Asam Kromatropat

(41)

Lampiran 4. Hasil Penelitian

Gambar

Gambar 1 Ikan Asin Kepala Batu
Tabel 4.1 Tabel Hasil Pemeriksaan Formalin Pada Ikan Asin Kepala Batu

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Secara umum model pengambilan keputusan pada rumahtangga petani dapat dibagi berdasarkan peran rumahtangga dalam keputusan ekonomi (tunggal atau ganda), maksimisasi fungsi

15 Saya tidak terpengaruh mengkonsumsi produk pesaing mi instan merek Indomie. 16 Saya merekomendasikan mi instan merek Indomie kepada keluarga, teman-teman,dan

Dari proses pembentukannya dapat ditemukan bahwa XYZ telah ada pembentukan nilai dan asumsi tertentu dalam waktu puluhan tahun yang berasal dari perusahaan dan proyek yang

3) Menghasilkan perangkat lunak yang bekerja secara rutin, dari jangka waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan, dengan preferensi kepada jangka waktu yang

bagi semua jenis struktur kita harus mengetahui perilaku mekanis dari benda tersebut, yaitu dengan menentukan tegangan ( stress ), regangan ( strain ) dan peralihan

Pada gambar diatas menjelaskan kartu yang sudah terdaftar untuk membuka bbm valve maka akan muncul suatu perintah informasi bbm valve terbuka dan lampu hijau pun menyala maka

Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1 bentuk implementasi pembelajaran integratif saintifik pada mata pelajaran IPS Terpadu di SMP Negeri

Salah satunya adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Sulastri (2013), dengan judul penelitian “Penerapan Media Powerpoint Untuk Meningkatkan Perhatian Siswa