• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis penerjemahan resep..., Puspa Fitri Apri Susetyo, FIB UI, 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Analisis penerjemahan resep..., Puspa Fitri Apri Susetyo, FIB UI, 2014"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

   

 

(3)

   

   

(4)

ANALISIS PENERJEMAHAN RESEP KUE BERBAHASA JERMAN KE DALAM BAHASA INDONESIA

Puspa Fitri Apri Susetyo 1006716493

Jurusan Sastra Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16242, Indonesia

E-mail: puspasusetyo@gmail.com

Abstrak

Skripsi ini membahas penerjemahan resep kue berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia.

Sumber data berasal dari buku resep masakan Jerman yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul “Lieblingsgerichte der Deutschen”. Fokus penelitian dalam skripsi ini adalah metode penerjemahan dan orientasi penerjemahan yang digunakan dalam penerjemahan resep kue berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia dengan menganalisis kesesuaian padanan antara BSu dan BSa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerjemahan resep kue berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia menggunakan berbagai metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sasaran (BSa). Hal ini dilatarbelakangi oleh unsur budaya, yakni (1) penerjemah merupakan orang Jerman dan sasaran pembaca adalah orang Indonesia dan (2) sulit menemukan padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia, sehingga penerjemah tidak dapat mempertahankan bentuk-bentuk bahasa sumber dan berorientasi pada bahasa sasaran.

Study of Translation of German Cake Recipes into Indonesian.

Abstract

This study discusses the translation of German cake recipes into Indonesian. The data source derived from the German cookbooks that have been translated into Indonesian, entitled

"Lieblingsgerichte der Deutschen". The focus of this study research lies on translation methods and translation orientiation used in translation of German cake recipes into

(5)

Indonesian by analyzing the suitability of equivalent between the source and target language.

The result show that the translation of the German cake recipe into Indonesian is using various methods, which is oriented to target language (BSa). That is motivated by the cultural elements, namely (1) the translator is a German native speaker and the target reader is Indonesian (2) the difficulties of finding a suitable equivalent in Indonesian, so that the translator can not sustain forms of the source language and oriented to target language.

Keywords: Translation methods, translation orientation, equivalent

1. Pendahuluan

Newmark dalam bukunya yang berjudul “A Textbook Of Translation“ (1988:97) mengungkapkan bahwa makanan merupakan hal yang paling sensitif dan hal yang paling penting dalam mengekspresikan sebuah kebudayaan nasional. Yang dimaksud dengan hal yang paling sensitif adalah makanan merupakan sarana paling mudah untuk mengenali sebuah kebudayaan. Ketika kita mendengar sebuah istilah makanan dari sebuah kebudayaan kita akan dapat secara langsung mengenali kebudayaan tersebut. Makanan merupakan hal yang penting bagi sebuah kebudayaan dan dapat kita jadikan sebagai sarana untuk mempelajari kebudayaan tertentu. Kini hal yang banyak dilakukan adalah bukan hanya mencicipi makanan khas sebuah kebudayaan, melainkan juga mempelajari cara membuat atau memasak makanan tersebut. Salah satu cara yang paling mudah untuk dilakukan adalah dengan membaca dan mengikuti buku resep masakan.

Resep adalah keterangan tentang bahan dan cara memasak obat (masakan) (KBBI daring). Resep masakan berisi informasi tentang bahan dan cara mengolah suatu bahan makanan. Resep masakan memaparkan suatu petunjuk untuk melakukan langkah-langkah dalam menyajikan suatu makanan, dimulai dari mempersiapkan bahan-bahan dan alat-alat yang dibutuhkan hingga bagaimana mengolah makanan tersebut menjadi sebuah hidangan yang lezat untuk dinikmati.

Penerjemahan berperan penting dalam proses mempelajari istilah-istilah makanan dari sebuah kebudayaan. Penelitian dan pembahasan mengenai penerjemahan terus berkembang.

Berbagai masalah penerjemahan pun dibahas, mulai dari masalah yang berkaitan dengan struktur bahasa itu sendiri karena setiap bahasa memiliki aturan gramatikalnya masing- masing, hingga masalah yang berkaitan dengan budaya seperti kebiasaan suatu masyarakat

(6)

dalam menggunakan bahasa tertentu. Hubungan bahasa dan budaya perlu dipahami benar oleh penerjemah karena penerjemahan tidak hanya merupakan pengalihan makna lintas bahasa, tetapi juga lintas budaya.

Penerjemahan resep masakan berbahasa Jerman ini menarik untuk dijadikan bahan penelitian karena penelitian tentang penerjemahan resep masakan berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia belum banyak dilakukan. Dalam karya tulis ini, saya akan meneliti metode penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan resep berbahasa Jerman sebagai bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran (BSa). Setelah meneliti metode penerjemahan yang digunakan, dapat dibuktikan bagaimana orientasi penerjemahan, apakah berorientasi pada bahasa sumber yang dalam penelitian ini disebut dengan BSu atau berorientasi pada bahasa sasaran yang disebut BSa.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis melalui studi pustaka, yaitu metode yang mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian dilanjutkan dengan analisis. Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan data melalui cara membaca buku dan mempelajari buku-buku yang erat kaitannya dengan pembahasan masalah sehingga diperoleh berbagai teori dan referensi yang mendukung penganalisisan data. Sumber data yang saya gunakan adalah data primer yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Penelitian ini merupakan sebuah studi sintaksis dan semantis.

3. Pengertian Penerjemahan

Penerjemahan artinya ‘menyampaikan makna sebuah teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan apa yang dimaksud penulis dalam teks tersebut dengan berusaha mengalihkan sebanyak mungkin kata-kata dari bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa)‘

(Newmark, 1988: 5). Larson (1984: 3) dalam bukunya yang berjudul “Meaning Based Translation, A guide to Cross-Language Equivalence“ menyatakan bahwa menerjemahkan pada dasarnya adalah mengubah suatu bentuk menjadi bentuk lain, atau mengubah dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain, dan sebaliknya. Bentuk lain yang dimaksud berupa kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, dan lain-lain, baik lisan maupun tulisan.

Catford (1965: 20) dalam bukunya “A Linguistic Theory Of Translation“

menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan

(7)

mendefinisikannya sebagai “mengganti bahan teks bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran” (the replacement of textual material in one language by equivalent terxtual material in another language). Menurut Nida dan Taber (1969: 12), penerjemahan merupakan pembuatan kembali padanan pesan yang paling alamiah (the closest natural equivalent) dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, pertama dalam hal makna dan yang kedua adalah gaya bahasa.

Menurut saya, pengertian-pengertian yang telah dijabarkan tersebut dapat saling melengkapi. Dari keempat pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemahan merupakan upaya menyampaikan makna atau pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan padanan yang sebaik-baiknya.

Menurut Larson (1984: 6), untuk memperoleh terjemahan yang terbaik, terjemahan haruslah (a) memakai bentuk-bentuk bahasa sasaran yang wajar; (b) mengkomunikasikan, sebanyak mungkin, makna bahasa sumber, sebagaimana dimaksudkan oleh penutur bahasa sumber tersebut, kepada penutur bahasa sasaran; dan (c) mempertahankan dinamika teks bahasa sumber, yaitu kesan yang diperoleh oleh penutur asli bahasa sumber atau respon yang diberikannya harus sama dengan kesan dan respon penutur bahasa sasaran ketika membaca atau mendengar teks terjemahan. Nida dan Taber (1969: 12) juga berpendapat bahwa penerjemahan yang terbaik adalah penerjemahan yang tidak terkesan seperti hasil terjemahan.

4. Metode Penerjemahan

Permasalahan pokok dalam penerjemahan adalah pemilihan metode penerjemahan, yaitu antara penerjemahan harfiah atau penerjemahan bebas. Menurut Newmark (1988: 45), masalah dalam pemilihan antara keduanya telah berlangsung lama sekali, yakni sebelum Masehi. Namun, alasan timbulnya masalah dalam pemilihan metode yang dikemukakan pada zaman itu masih bersifat teoritis, yaitu pentingnya hal-hal yang berkenaan dengan tujuan penerjemahan, sasaran pembaca, dan jenis teks tidak diperhatikan.

Newmark (1988: 45) mengajukan dua kelompok metode penerjemahan, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan atau berorientasi kepada bahasa sumber (Source Language/ SL emphasis) dan (2) metode yang memberikan penekanan atau berorientasi kepada bahasa sasaran (Target Language/TL emphasis). Nida dan Taber (1969: 202) juga mengajukan dua jenis penerjemahan, yaitu (1) penerjemahan dinamis, yaitu penerjemahan yang berdasarkan makna untuk menghasilkan padanan dinamis dalam bahasa sasaran (dynamic equivalence) dan (2) penerjemahan yang berdasarkan bentuk bahasa sumber

(8)

(formal correspondence). Larson (1984: 16) membagi penerjemahan menjadi dua, yaitu (1) penerjemahan yang berdasarkan makna (meaning-based translation) dan (2) penerjemahan yang berdasarkan bentuk berusaha mengikuti bentuk bahasa sumber (form-based translation).

Dari semua pengelompokan yang diajukan para ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa metode penerjemahan terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu (1) penerjemahan berdasarkan makna yang berorientasi pada bahasa sasaran (BSa) dan (2) penerjemahan berdasarkan bentuk yang berorientasi pada bahasa sumber (BSu).

Menurut Newmark (1988: 45), dalam metode yang berorientasi pada BSu, penerjemah berupaya mewujudkan kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual teks bahasa sumber, meskipun banyak dijumpai hambatan sintaksis dan semantis pada teks bahasa sasaran (yakni hambatan dalam bentuk dan makna). Dalam metode penerjemahan yang berorientasi pada BSa, penerjemahan berupaya menimbulkan dampak yang relatif sama dengan yang diharapkan penulis asli terhadap pembaca versi BSu. Newmark (1988:19) mengungkapkan bahwa sebuah metode penerjemahan harus bersifat alami, yaitu jika tujuan utamanya adalah untuk menyampaikan informasi dan mempengaruhi pembaca, maka penerjemahan tidak boleh terkesan seperti hasil terjemahan. Namun, jika teks yang diterjemahkan merupakan jenis ekspresi seperti puisi, pidato atau lirik, penerjemahan harus dapat merefleksikan versi aslinya.

Nida dan Taber (1969: 24) juga berpendapat bahwa dalam metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sasaran, penerjemah berupaya mengalihkan pesan yang terdapat dalam BSu sedemikian rupa sehingga respon sasaran pembaca BSa sama dengan respon pembaca BSu, sedangkan dalam metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber menghasilkan terjemahan yang mengandung bentuk-bentuk BSu dan biasanya menimbulkan distorsi pada pola gramatikal dan makna.

Berdasarkan penjelasan mengenai orientasi metode penerjemahan di atas, dapat disimpulkan, (1) metode penerjemahan yang berorientasi kepada bahasa sumber (BSu) adalah penerjemahan yang berupaya mewujudkan kembali makna konstekstual teks bahasa sumber dengan mempertahankan bentuk-bentuk bahasa sumber dan (2) metode penerjemahan yang berorientasi kepada bahasa sasaran (BSa) adalah penerjemahan yang berupaya mengalihkan pesan yang terdapat dalam teks bahasa sumber sedemikian rupa sehingga menimbulkan respon yang sama, baik dari sasaran pembaca BSa maupun pembaca BSu.

Berdasarkan metode yang diajukan oleh Newmark (1988: 45), kedua metode penerjemahan tersebut digambarkan pada diagram V sebagai berikut.

(9)

Diagram V menurut Newmark (1988: 45) 1) Penerjemahan Kata per Kata (Word-for-word Translation)

Penerjemahan ini merupakan penerjemahan yang paling dekat dengan bahasa sumber. Dalam metode ini, urutan kata dalam teks BSu tetap dipertahankan dan kata-kata diterjemahkan dengan makna dasarnya tidak dengan makna kontekstual. Kegunaannya untuk memahami mekanisme BSu atau untuk menafsirkan teks yang sulit sebagai proses awal penerjemahan. Penerjemahan kata per kata, biasanya, digunakan untuk menerjemahkan surat atau dokumen resmi.

2) Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)

Struktur gramatikal dalam BSu diterjemahkan dengan mencari padanan yang paling dekat dengan BSa, sedangkan kata-katanya diterjemahkan di luar konteks.

Menurut Larson (1984: 17), penerjemahan harfiah adalah penerjemahan yang berdasarkan atau mengutamakan bentuk dan berusaha mengikuti bahasa sumber (form-based translation). Larson berpendapat bahwa terdapat dua jenis penerjemahan harfiah, yakni penerjemahan harfiah mutlak, yaitu penerjemahan baris per baris dan penerjemahan harfiah yang disesuaikan, yaitu penerjemahan yang mengubah urutan dan gramatika bahasa sumber agar menjadi jelas dalam bahasa sasaran, tetapi unsur leksikalnya diterjemahkan secara harfiah.

Word-­‐for-­‐word   transla7on  

Idioma7c  transla7on  

Literal  transla7on   Free  transla7on  

Faithful  transla7on  

Communica7ve   transla7on   Seman7c  transla7on  

Adap7on  

SL  emphasis   TL  emphasis  

(10)

Penerjemahan harfiah sangat berguna untuk studi bahasa sumber, namun tidak membantu pembaca bahasa sasaran dalam memahami makna teks sumber. Penerjemahan harfiah tidak mempunyai makna dan hampir tidak mempunyai nilai komunikasi (Larson, 1984: 16). Penerjemahan harfiah mutlak bukanlah penerjemahan yang umumnya digunakan, tetapi biasanya digunakan untuk menerjemahkan dokumen-dokumen resmi seperti ijazah, akta kelahiran, surat perjanjian dan lain sebagainya. Penerjemahan harfiah yang disesuaikan lebih memiliki nilai komunikasi dan merupakan penerjemahan yang umumnya lebih banyak digunakan karena dalam penerjemahan harfiah yang disesuaikan, unsur leksikal sebuah teks juga diubah untuk menghindari makna yang janggal atau untuk memperbaiki komunikasi.

3) Penerjemahan Setia (Faithful Translation)

Penerjemahan ini mencoba menghasilkan kembali makna kontekstual dengan masih dibatasi oleh struktur gramatikal BSu. Metode ini sedikit lebih bebas daripada metode penerjemahan harfiah, tetapi versi BSa-nya masih terasa kaku karena kesetiaan tersebut mengabaikan kewajaran dalam menyampaikan BSa.

4) Penerjemahan Semantis (Semantic Translation)

Penerjemahan semantik berbeda dengan penerjemahan setia karena harus lebih memperhitungkan unsur estetika, seperti keindahan bunyi teks BSu, dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran. Dalam penerjemahan, yang dimaksud dengan keindahan bunyi adalah keindahan hasil terjemahan. Jika dibandingkan dengan penerjemahan setia, penerjemahan ini lebih fleksibel, sedangkan penerjemahan setia lebih terikat oleh BSu.

5) Saduran (Adaptation)

Metode saduran merupakan bentuk penerjemahan yang paling bebas dan paling dekat dengan BSa. Metode ini biasanya dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi karena dalam penerjemahan drama atau puisi, tema, karakter, dan plot tetap dipertahankan, namun dalam penerjemahannya terjadi peralihan budaya BSu ke budaya BSa dan teks asli ditulis kembali serta diadaptasikan kepada BSa.

6) Penerjemahan Bebas (Free Translation)

Metode penerjemahan ini merupakan metode penerjemahan yang mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks BSu. Bisanya metode ini berbentuk suatu parafrase yang dapat lebih panjang ataupun lebih pendek dari aslinya. Metode ini sering dipakai oleh kalangan media massa.

(11)

Menurut Larson (1984: 19), penerjemahan juga mengenal adanya gradasi yang dapat digambarkan pada sebuah garis yang bergerak dari yang paling harfiah sampai kepada terjemahan yang sangat bebas. Terjemahan bebas tidak berterima untuk tujuan terjemahan pada umumnya karena, antara lain, memuat hal-hal yang tidak terdapat dalam teks asli, mengubah fakta-fakta historis dan kultural teks asli. Penerjemahan disebut terlalu bebas, jika dalam penerjemahan itu ditambahkan informasi lain yang tidak ada dalam teks sumber dan jika makna bahasa sumber diubah. Biasanya digunakan untuk humor dan membangkitkana respon tertentu dari pembaca, jadi maknanya tidak perlu sama dengan bahasa sumber.

7) Penerjemahan Idiomatik (Idiomatic Translation)

Metode ini bertujuan memproduksi pesan dalam BSu, tetapi sering menggunakan kesan keakraban, yaitu pemilihan istilah yang paling dekat dengan sasaran pembaca dan ungkapan idiomatik yang tidak didapatkan pada versi aslinya.

Menurut Larson (1984: 18) penerjemahan idiomatis adalah penerjemahan yang berdasarkan makna (meaning-based translation) dan berusaha menyampaikan makna teks bahasa sumber dengan bentuk bahasa sasaran yang wajar, baik konstruksi gramatikalnya maupun pemilihan unsur leksikalnya. Dalam penerjemahan idiomatis dibutuhkan banyak penyesuaian bentuk.

8) Penerjemahan Komunikatif (Communicative Translation)

Metode ini berusaha menyampaikan makna kontekstual dari BSu sedemikian rupa sehingga isi dan bahasanya berterima dan dapat dipahami oleh dunia pembaca BSa. Sesuai dengan namanya, metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu sasaran pembaca dan tujuan penerjemahan.

5. Penerjemahan dan Kebudayaan

Dalam penerjemahan, hal yang juga perlu dipahami adalah bahwa bahasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budaya penuturnya dan penerjemahan tidak hanya merupakan pengalihan makna lintas bahasa, tetapi juga lintas budaya (Simatupang, 1999: 13).

Menurut Newmark (1988: 7), penerjemahan merupakan produk kebudayaan serta instrumen dalam menyebarkan kebudayaan. Larson (1984: 3) mengungkapkan bahwa penerjemahan tidak hanya mengalihkan makna, melainkan juga mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari teks bahasa sumber, menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya kemudian mengungkapkan kembali makna yang sama

(12)

dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks budayanya.

Contoh:

Penerjemahan kata “Räucherspeck“ ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Bacon sapi“. (Zier, 2005: 114)

Contoh penerjemahan di atas menunjukkan adanya kandungan unsur budaya. Kata

“Räucherspeck“ yang berarti ‘lemak daging babi asap‘ diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Bacon sapi“ karena, (1) “Räucherspeck“ merupakan bahan masakan yang tidak terdapat di Indonesia sehingga sulit ditemukan; (2) bacon merupakan bahan masakan yang sudah dikenal di Indonesia; (3) mayoritas penduduk di Indonesia adalah muslim sehingga tidak mengkonsumsi daging babi. Jadi, saya berasumsi bahwa terjemahan yang paling optimal dan sesuai konteks budaya untuk kata “Räucherspeck“ adalah “Bacon sapi“.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemahan dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Aspek kebudayaan perlu diperhitungkan dalam proses penerjemahan karena menerjemahkan sebuah teks bukan hanya mengalihkan pesan, melainkan juga mengalihkan kebudayaan yang terdapat dalam BSu ke dalam BSa.

(13)

6. Analisis

Dalam penelitian ini, korpus data yang menjadi bahan penelitian adalah resep masakan berbahasa Jerman-Indonesia dengan kategori Kuchen (Kue). Penelitian dilakukan dalam tiga komponen resep, (1) Nama Masakan, (2) Bahan-bahan dan (3) Cara Memasak.

Jumlah resep untuk kue adalah 17 resep, namun dalam penelitian ini yang akan diteliti adalah lima resep kue yang tidak terdapat di Indonesia berdasarkan pencarian data di laman internet, yaitu (1) Kümmelkuchen, (2) Zwiebelkuchen, (3) Berliner, (4) Streuselkuchen dan (5) Quarkstollen. Alasan pemilihan lima resep kue yang tidak terdapat di Indonesia adalah agar dalam meneliti lebih terlihat orientasi penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan resep kue berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Data yang akan diteliti diambil tidak secara keseluruhan, namun terfokus pada kalimat yang tidak optimal dalam penerjemahannya.

Selanjutnya lima resep kue dijabarkan dalam bentuk tabel secara lebih terperinci sebagai berikut.

Tabel 3.1 Perincian data resep kue berdasarkan BSu dan BSa.

NO NAMA MASAKAN

GAMBAR

BSU BSA

1. Kümmelkuchen Kue Jinten

2. Zwiebelkuchen Kue Bawang Bombay

3. Berliner Kue Berliner

(14)

4. Streuselkuchen Roti tabor

5. Quarkstollen Quarkstollen

6.1. Nama Masakan

Pada subbab ini, analisis akan difokuskan pada bagian nama masakan. Dalam penulisan ini, saya hanya mencantumkan dua hasil analisis pada bagian nama masakan.

Kümmelkuchen

BSu BSa

Kümmelkuchen Kue Jinten

Kata Kümmelkuchen diterjemahkan menjadi “Kue Jinten“ dengan mengubah urutan kata BSu ke dalam BSa. Kaidah bahasa Indonesia adalah DM (diterangkan-menerangkan), sedangkan kaidah bahasa Jerman adalah MD (menerangkan-diterangkan).

Kümmel + Kuchen = “Kue Jinten“

MD DM

Merujuk kepada teori Newmark (1988: 45) dan Larson (1984: 17) tentang metode penerjemahan, metode penerjemahan ini termasuk ke dalam penerjemahan harfiah, yaitu kata Kümmelkuchen diterjemahkan dengan makna harfiahnya ‘Kue Jinten‘, tetapi lebih tepatnya lagi merupakan penerjemahan harfiah yang disesuaikan karena dalam penerjemahan kata Kümmelkuchen terdapat proses pengubahan urutan kata dari bahasa Jerman ke dalam urutan kata yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.

Jinten+Kue = Kue Jinten

Kata “Jinten Kue“ diubah urutan katanya menjadi “Kue Jinten“

Zwiebelkuchen

BSu Bsa

Zwiebelkuchen Kue Bawang Bombay

(15)

Kata Zwiebelkuchen diterjemahkan menjadi “Kue Bawang Bombay“ dengan mengubah urutan kata BSu ke dalam BSa. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kaidah bahasa Indonesia menganut hukum DM (diterangkan-menerangkan), sedangkan dalam bahasa Jerman menganut hukum MD (menerangkan-diterangkan).

Zwiebel+kuchen = “Kue Bawang Bombay“

MD DM

Penerjemahan seperti ini merupakan penerjemahan harfiah yang disesuaikan karena dalam penerjemahan kata Zwiebelkuchen ada proses pengubahan urutan kata dari bahasa Jerman ke dalam urutan kata yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.

Zwiebel+kuchen = Bawang Bombay + Kue = “Kue Bawang Bombay“

“Bawang Bombay Kue“ diubah urutan katanya menjadi “Kue bawang bombay“

Dari lima nama masakan yang telah dianalisis, terlihat bahwa penerjemah menggunakan berbagai macam metode yang dapat diklasifikasikan sesuai teori metode penerjemahan yang diungkapkan oleh Newmark (1988: 45) dan Larson (1984: 17). Hasil analisis yang didapatkan adalah penerjemah menggunakan metode penerjemahan harfiah sebanyak dua kali, metode saduran sebanyak dua kali, dan metode komunikatif sebanyak satu kali. Setelah mengklasifikasikan penerjemahan berdasarkan metode yang digunakan, dapat dibuktikan bahwa penerjemah berorientasi kepada bahasa sasaran (BSa) dalam menerjemahkan nama masakan berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Hasil analisis yang telah didapatkan selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.

Tabel 3.2 Hasil analisis orientasi penerjemahan nama masakan

NO. NAMA MASAKAN METODE ORIENTASI

1) Kümmelkuchen Harfiah BSu

2) Zwiebelkuchen Harfiah BSu

3) Berliner Saduran Bsa

4) Streuselkuchen Komunikatif Bsa

5) Quarkstollen Saduran Bsa

6.2. Bahan-bahan

(16)

Pada subbab ini, analisis akan difokuskan pada bagian bahan-bahan. Bahan-bahan yang akan dibahas adalah bahan yang tidak terdapat di Indonesia dan masih kurang optimal dalam penerjemahannya.

Sauerrahm

BSu BSa

Sauerrahm Sour cream

Kata Sauerrahm diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Sour cream. Dapat diasumsikan bahwa penerjemah menggunakan istilah yang sudah dikenal oleh pembaca BSa agar mudah dimengerti. Merujuk kembali pada teori Newmark (1988: 45) dan Larson (1984:

17) tentang metode penerjemahan, metode yang digunakan dalam penerjemahan ini merupakan metode penerjemahan komunikatif karena penerjemah menggunakan istilah yang sudah dikenal oleh pembaca sasaran agar pembaca mudah memahami resep.

Istilah yang digunakan merupakan istilah dalam bahasa Inggris. Hal ini disebabkan oleh bahan Sour cream yang memang tidak berasal dari Indonesia. Sour cream memang sudah umum digunakan di Indonesia, namun resep-resep masakan yang menggunakan Sour cream umumnya tidak berasal dari Indonesia. Di Indonesia juga dikenal istilah “krim asam”, meskipun begitu istilah yang lebih dikenal adalah istilah dengan bahasa Inggris sour cream.

Jadi penerjemahan dengan menggunakan metode komunikatif ini sudah berterima karena pembaca dapat memahami apa yang dimaksud dengan Sauerrahm. Berikut ini perbandingan gambar antara Sauerrahm dan Sour Cream yang ada di Indonesia.

Sauerrahm Sour Cream

Dari keseluruhan data dalam subbab bahan-bahan yang telah dianalisis, terlihat bahwa penerjemah menggunakan berbagai macam metode yang dapat diklasifikasikan sesuai teori metode penerjemahan yang diungkapkan oleh Newmark (1988: 45) dan Larson (1984: 17).

Jumlah data hasil penerjemahan bahan-bahan yang dianalisis adalah lima nama bahan yang

(17)

tidak terdapat di Indonesia dan dalam penerjemahannya masih kurang optimal. Penerjemahan nama-nama bahan yang umum dan terdapat di Indonesia seperti garam, gula, dan tepung tidak dianalisis karena tidak menimbulkan kesulitan bagi sasaran pembaca dalam memahami resep.

Hasil analisis yang didapatkan adalah penerjemah menggunakan metode penerjemahan komunikatif sebanyak tiga kali, metode saduran sebanyak satu kali, dan metode harfiah sebanyak satu kali. Setelah mengklasifikasikan penerjemahan berdasarkan metode yang digunakan, dapat dibuktikan bahwa penerjemah berorientasi kepada bahasa sasaran (BSa) dalam menerjemahkan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam resep kue berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Hasil analisis yang telah didapatkan selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.

Tabel 3.3 Hasil analisis orientasi penerjemahan bahan-bahan

NO. NAMA BAHAN METODE ORIENTASI

1) Trockenhefe Komunikatif BSa

2) Räucherspeck Harfiah BSu

3) Sauerrahm Komunikatif BSa

4) Kokosflocken Komunikatif Bsa

5) Quark Saduran Bsa

6.3. Cara Memasak

Pada subbab ini, analisis akan difokuskan pada bagian cara memasak. Data yang dianalisis adalah kalimat-kalimat yang dalam penerjemahannya masih kurang oprimal.

BSu Bsa

Teig ca. 1 Stunde gehen lassen bis er sich verdoppelt hat

didiamkan 1 jam sampai naik

Penerjemahan kalimat di atas diterjemahkan dengan metode bebas. Dalam menerjemahkan, penerjemah menghilangkan objek seperti kata Teig dan er, meskipun begitu penerjemahan ini berterima karena kalimat tersebut merujuk kepada kalimat sebelumnya yang telah menambahkan kata “adonan“ di awal kalimat dan tidak menimbulkan kebingungan pada pembaca.

Penerjemahan yang juga kurang optimal adalah pada kata sich verdoppelt hat yang diterjemahkan menjadi “naik“. Kata sich verdoppelt hat berasal dari kata sich verdoppeln

(18)

yang berarti ‘menggandakan‘ (Heuken, 1987:554). Konteks dalam resep berarti membiarkan adonan sampai ukurannya dua kali lebih besar yang pada umumnya dalam resep masakan digunakan kata “mengembang“. Penerjemahan ini dipengaruhi oleh latar belakang penerjemah yang merupakan penutur bahasa Jerman yang menerjemahkan secara harfiah bahwa dalam proses mengembang adonan akan naik. Meskipun begitu hal ini tidak akan membingungkan pembaca dalam mengikuti resep karena kata ‘naik‘ memiliki makna yang dekat dengan “mengembang“.

Dari keseluruhan data dalam subbab cara memasak yang telah dianalisis, terlihat bahwa penerjemah menggunakan berbagai macam metode yang dapat diklasifikasikan sesuai teori metode penerjemahan yang diungkapkan oleh Newmark (1988: 45) dan Larson (1984:

17). Data yang dianalisis dalam subbab cara memasak adalah kalimat yang dalam penerjemahannya kurang optimal. Hal tersebut didasari oleh faktor kebudayaan penerjemah yang merupakan penutur asli Jerman.

Data dikelompokkan sesuai nama masakan kemudian dari tiap nama masakan dipilih kata-kata yang kurang optimal dalam penerjemahannya pada bagian cara memasak. Hasil analisis yang didapatkan adalah (1) pada resep Kümmelkuchen, terdapat lima kalimat yang kurang optimal dalam penerjemahannya di bagian cara memasak, (2) pada resep Zwiebelkuchen, terdapat enam kalimat yang kurang optimal dalam penerjemahnnya, (3) pada resep Berliner, terdapat tiga kalimat yang kurang optimal dalam penerjemahannya, (4) pada resep Streusselkuchen, terdapat satu kalimat yang kurang optimal dalam penerjemahannya, dan (5) pada resep Quarkstollen, terdapat dua kalimat yang kurang optimal dalam penerjemahannya.

Kemudian dari pengelompokkan tersebut, dikelompokkan lagi sesuai metode penerjemahan yang digunakan. Hasil analisis yang didapatkan adalah (1) pada resep Kümmelkuchen, penerjemah menggunakan metode penerjemahan setia sebanyak satu kali dan metode penerjemahan bebas sebanyak empat kali, (2) pada resep Zwiebelkuchen, penerjemah menggunakan metode penerjemahan harfiah sebanyak satu kali dan metode penerjemahan bebas sebanyak lima kali, (3) pada resep Berliner, penerjemah menggunakan metode penerjemahan bebas sebanyak dua kali dan metode penerjemahan semantis sebanyak satu kali, (4) pada resep Streusselkuchen, penerjemah menggunakan metode penerjemahan harfiah sebanyak satu kali, dan (5) pada resep Quarkstollen, penerjemah menggunakan metode penerjemahan komunikatif sebanyak dua kali.

(19)

Setelah mengklasifikasikan penerjemahan berdasarkan metode yang digunakan dapat dibuktikan bahwa penerjemah berorientasi kepada bahasa sasaran (BSa) dalam menerjemahkan kalimat pada bagian cara memasak dalam resep kue berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Hasil analisis yang telah didapatkan selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.

Tabel 3.4 Hasil analisis orientasi penerjemahan cara memasak

NO. KALIMAT METODE ORIENTASI

1)

a) Mehl, Butter, Zucker und Hefe mit warmer Milch verkneten bis der Teig geschmeidig ist.

Setia BSu

b) Teig ca. 1 Stunde gehen lassen bis er

sich verdoppelt hat. Bebas BSa

c) Aus dem Teig 16-32 Kugeln formen. Bebas BSa d) Die Kugeln auf ein gefettetes Backblech

setzen,(...) Bebas BSa

e) (…) mit Ei bestreichen und in jede Kugel ein kleines Stück Butter (1/4 TL)

eindrücken.

Bebas BSa

2)

a) Hefeteig Harfiah BSu

b) Mehl, Hefe, Salz, Milch und Ei mischen

und zu einem Hefeteig verarbeiten. Bebas BSa c) Gehen lassen bis die Masse sich

verdoppelt hat. Bebas BSa

d) Zwiebelringe und Räucherspeck in wenig

Butter dünsten und abkühlen lassen. Bebas BSa e) Hefeteig nochmal durchkneten und auf

ein gefettetes Backblech ausrollen, dabei einen kleinen Rand hochdrücken.

Bebas BSa

f) nach Geschmack Bebas BSa

3)

a) Aus Mehl, Hefe, Zucker, Milch und Butter einen Hefeteig herstellen und gehen lassen.

Bebas BSa

b) Jeweils mit Marmelade oder gezuckerten Kokosflocken belegen und mit einem zweiten Teigkreis zudecken.

Semantis BSu

c) Dann in heißem Fett schwimmend

ausbacken. Bebas BSa

(20)

NO. KALIMAT METODE ORIENTASI

4) a) Lauwarme Milch (...) Harfiah BSu

5)

a) Dann auf einer mit Mehl bestäubten

Fläche einen „Brotlaib“ formen. Komunikatif BSa b) Der Stollen sollte mindestens einen Tag

vorher zubereitet werden. Komunikatif BSa

7. Kesimpulan

Melalui penelitian ini, saya berusaha menjawab masalah yang telah dikemukakan dalam bab 1, yakni (1) bagaimana metode penerjemahan resep bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia dan (2) apakah penerjemahan resep kue berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia berorientasi pada bahasa sumber (BSu) atau pada bahasa sasaran (BSa). Adapun penerjemahan resep yang dianalisis dalam penelitian ini terbatas pada penerjemahan yang masih kurang optimal, baik pada bagian nama masakan, bahan-bahan, dan cara memasak.

Dari hasil analisis yang dilandasi teori-teori yang telah dijelaskan dalam bab 2, dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut.

Berdasarkan teori penerjemahan menurut para ahli yang telah dipaparkan pada bab 2, penerjemahan merupakan upaya menyampaikan makna atau pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan padanan yang sebaik-baiknya. Permasalahan pokok dalam penerjemahan adalah pemilihan metode penerjemahan (Newmark, 1988: 45). Metode penerjemahan terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu (1) penerjemahan berdasarkan makna yang berorientasi pada bahasa sasaran (BSa) dan (2) penerjemahan berdasarkan bentuk yang berorientasi pada bahasa sumber (BSu). Metode penerjemahan yang berorientasi kepada bahasa sumber (BSu) adalah penerjemahan yang berupaya mewujudkan kembali makna konstekstual teks bahasa sumber dengan mempertahankan bentuk-bentuk bahasa sumber.

Metode penerjemahan yang berorientasi kepada bahasa sasaran (BSa) adalah penerjemahan yang berupaya mengalihkan pesan yang terdapat dalam teks bahasa sumber sedemikian rupa sehingga menimbulkan respon yang sama, baik dari sasaran pembaca BSa maupun pembaca BSu. Newmark (1988: 45) mengklasifikasikan metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sasaran, yaitu metode penerjemahan kata per kata, harfiah, setia, dan semantis, sedangkan metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber adalah metode penerjemahan saduran, bebas, idiomatis, dan komunikatif.

(21)

Selain metode penerjemahan, hal yang juga perlu dipahami adalah bahwa bahasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budaya penuturnya, maka penerjemahan dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Aspek kebudayaan perlu diperhitungkan dalam proses penerjemahan karena menerjemahkan sebuah teks bukan hanya mengalihkan pesan, melainkan juga mengalihkan kebudayaan yang terdapat dalam BSu ke dalam BSa. Jadi dalam menerjemahkan bukan hanya padanan makna yang harus diperhatikan, melainkan juga unsur budaya kedua bahasa.

7.1. Temuan

Analisis dilakukan pada tiga bagian resep, yakni nama masakan, bahan-bahan, dan cara memasak. Dari lima resep yang telah dianalisis, didapatkan berbagai macam metode penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan resep berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Setelah dilakukan analisis pada kalimat yang kurang optimal dalam penerjemahannya, ditemukan empat metode penerjemahan yang paling banyak digunakan, yakni metode penerjemahan harfiah, saduran, komunikatif, dan bebas. Metode penerjemahan harfiah adalah metode terjemahan yang berdasarkan atau mengutamakan bentuk dan berusaha mengikuti bahasa sumber dengan mencari padanan terdekat dengan BSa. Metode penerjemahan saduran adalah metode yang dalam penerjemahnnya terjadi peralihan budaya BSu ke budaya BSa dan teks asli ditulis kembali serta diadaptasikan kepada BSa. Metode penerjemahan komunikatif adalah metode yang berusaha menyampaikan makna kontekstual dari BSu sedemikian rupa sehingga isi dan bahasanya berterima dan dapat dipahami oleh dunia pembaca BSa. Metode penerjemahan bebas adalah metode penerjemahan yang mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks BSu.

Dari semua hasil analisis yang telah dijabarkan, dapat diketahui bagaimana orientasi penerjemahan yang digunakan penerjemah dalam menerjemahkan resep berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Pada bagian nama masakan, diperoleh hasil bahwa penerjemahan nama masakan dalam resep kue berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia berorientasi pada bahasa sasaran. Kemudian pada bagian bahan-bahan, dapat diketahui bahwa penerjemahan juga berorientasi pada bahasa sasaran (BSa) dalam penerjemahan nama-nama bahan kue berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Pada bagian cara memasak, juga diperoleh hasil yang sama, yaitu penerjemahan berorientasi pada bahasa sasaran (BSa) dalam menerjemahkan cara memasak kue berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Setelah diperoleh hasil-hasil penelitian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa

(22)

penerjemahan berorientasi pada bahasa sasaran (BSa) dalam menerjemahkan resep kue berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yakni (1) penerjemah merupakan orang Jerman dan sasaran pembaca adalah orang Indonesia dan (2) sulit menemukan padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia, sehingga penerjemah tidak dapat mempertahankan bentuk-bentuk bahasa sumber dan berorientasi pada bahasa sasaran.

8. Daftar Acuan BUKU

Ananto, DS. 2010. Rahasia Membuat Cheese Cake. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Anissa, 2010. 25 Resep Kue Paling Diminati Kreasi Bolu Gulung Populer. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Brinker, Klaus. 2001. Linguistische Textanalyse: Eine Einführung in Grundbegriffe und Methoden. Berlin: Erich Schmidt Verlag GmbH & Co.

Catford, JC. 1979. A Linguistic Theory of Translation. London: OUP.

Larson Mildred L. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence. New York: University Press of America.

Larson, Mildred L. 1989. Penerjemahan Berdasar Makna: Pedoman untuk Pemadanan Antarbahasa. Jakarta: ARCAN.

Makmoer, H. 2003. Roti Manis & Donat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Newmark, Peter. 1988. A Textbook Of Translation. London: Prentice Hall International English Language Teaching.

Nida, EA & Taber, CR. 1969. The Theory And Practice Of Translation. Netherland: The United Bible Societies.

Simatupang, MDS. 1999. Pengantar Teori Terjemahan. Indonesia: Departemen Pendidikan Nasional.

(23)

Soenardi, Tuti. 2012. 1500 Resep Masakan Sehat: Untuk Bayi Hingga Manula. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Utomo, Budi, 2007. Sukses Wirausaha Roti Favorit. Depok: Puspa Swara.

KAMUS

Heuken, A. 1987. Kamus Jerman-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Duden daring. 2013. http://www.duden.de/. Jerman: Bibliographisches Institut GmbH.

Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (KBBI daring). 2014. http://kbbi.web.id/. Jakarta:

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud.

Dictionarium Indonesisch deutsches Online-Wörterbuch. 2014.

http://www.dictionarium.de/dict.php?wort=quark&submit=Suchen.

Leo Online Wörterbüchern. 2014.

https://dict.leo.org/#/search=quark&searchLoc=0&resultOrder=basic&multiwordShowSingle

=on. Jerman: Technischen Universität München.

LAMAN INTERNET

Herber, Lori. 2014. Top 10 German idioms. Diunduh pada 8 Oktober 2014, pukul 14.35.

http://www.dw.de/top-10-german-idioms/g-17428878.

Essig, RB. 2009. Da kann er warten, bis er schwarz wird – woher kommt das?. Diunduh pada 19 Oktober 2014, pukul 20.28. http://www.swr.de/blog/1000antworten/antwort/2674/da- kann-er-warten-bis-er-schwarz-wird-%E2%80%93-woher-kommt-das/.

4 SEASONS DIGITAL.NET. Käsekuchen. http://www.kuechengoetter.de/kuchen- rezepte/kaesekuchen.html. Diakses pada 5 Desember 2014, pukul 7.45.

 

Gambar

Diagram V menurut Newmark (1988: 45)  1)  Penerjemahan Kata per Kata (Word-for-word Translation)
Tabel 3.1 Perincian data resep kue berdasarkan BSu dan BSa.
Tabel 3.2 Hasil analisis orientasi penerjemahan nama masakan
Tabel 3.3 Hasil analisis orientasi penerjemahan bahan-bahan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Masalah-masalah sosial nyata adalah masalah sosial yang timbul sebagai akibat terjadinya kepincangan-kepincangan yang disebabkan tidak sesuainya tindakan dengan norma dan nilai yang

Observasi pembelajaran di kelas XI MIA2 dilaksanakan dengan tujuan agar mahasiswa memiliki pengetahuan serta pengalaman pendahuluan sebelum melaksanakan tugas mengajar

Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Armiyati dan Soesanto (2014) tentang pemberdayaan kader posbindu lansia sebagai upaya peningkatan

 Persilangan sapi $ertanduk hetero%igot dengan Persilangan sapi $ertanduk hetero%igot dengan sapi tidak $ertanduk hetero%igot& dihasilkan ' sapi tidak $ertanduk

Material Requirement Planning (MRP) merupakan perencanaan kebutuhan bahan baku dalam proses produksi sehingga barang yang dibutuhkan dapat tersedia sesuai dengan

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan

FM 2.4, 3.3, 4.3 Melakukan berbagai gerakan terkoordinasi secara terkontrol,seimbang dan lincah Anak mampu mengkoordinasikan tangan dan mata melalui kegiatan melipat KOG

Ditambahkan oleh Ibnu Hazm, bahwa apabila tidak dilakukan wasiat oleh pewaris kepada kerabat yang tidak mendapatkan harta pusaka, maka hakim harus bertindak