• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA DAN STUDI SEMANTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA DAN STUDI SEMANTIK"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA DAN STUDI SEMANTIK

2.1 Verba

2.1.1 Pengertian Verba

Ada beberapa definisi mengenai verba yang antara lain menerangkan tentang pemakaiannya di dalam konteks kalimat dan mengklasifikasikannya.

Sebelum menelaah fungsi verba bahasa Jepang secara umum dan pemakaian verba Omoidasu dan Oboeru, penulis akan menjelaskan pengertian verba yang diambil dari beberapa sumber.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:1260), disebutkan bahwa verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan yang disebut juga kata kerja.

Dalam bahasa Jepang verba disebut dengan doushi. Makna doushi bila dilihat dari kanjinya yaitu :

: ugoku, dou : bergerak : kotoba, shi : kata

動詞 : doushi : kata yang bermakna bergerak

Doushi adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat dalam suatu kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi, 2003:42).

Nomura berpendapat hampir sama dengan Sutedi. Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (2004:149) menyebutkan pengertian verba atau doushi adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, kelas kata ini dipakai untuk menyatakan

(2)

aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Doushi dapat mengalami perubahan, dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.

Penulis dapat mengambil kesimpulan berdasarkan definisi doushi yang dikemukakan oleh Sutedi dan Nomura, bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata yang menyatakan aktifitas, keberadaan atau keadaan, mengalami perubahan (katsuyou), dapat berdiri sendiri dan bisa menjadi predikat dalam suatu kalimat.

2.1.2 Jenis-Jenis Verba

Pada buku Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang Sutedi (2003:47), menyatakan bahwa verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan bentuk konjugasinya.

1. Kelompok I

Kelompok ini disebut dengan 五段動詞 (godan-doushi), karena kelompok ini mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu (あ, い, う, え, お, ‘a-i-u-e-o’). Ciri-cirinya yaitu verba yang berakhiran (う, つ, る, ぶ, ぬ, む, く, ぐ, す, ‘u-tsu-ru-bu-nu-mu-ku-gu-su’).

Contoh :

a. 買う ka-u (membeli) b. 待つ ma-tsu (menunggu) c. 帰る kae-ru (pulang) d. 遊ぶ aso-bu (bermain) e. 死ぬ shi-nu (mati) f. 飲む no-mu (minum) g. 書く ka-ku (menulis)

(3)

h. 急ぐ iso-gu (bergegas) i. 話す hana-su (berbicara) 2. Kelompok II

Kelompok ini disebut dengan 一段動詞 (ichidan-doushi), karena perubahannya hanya pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini adalah verba yang berakhiran (え-る ‘e-ru’) yang disebut kami ichidan-doushi, dan verba yang berakhiran (い-る ‘i-ru’) yang disebut shimo ichidan-doushi.

Contoh :

a. 寝る n-eru (tidur) 食べる tab-eru (makan)

b. 見る m-iru (melihat) 起きる ok-iru (bangun)

3. Kelompok III

Verba kelompok ini merupakan verba yang perubahannya tidak beraturan, sehingga disebut 変格 動詞 (henkaku-doushi) dan hanya terdiri dari dua verba berikut.

a. カ変動詞 (kahendoushi) Contoh : 来る kuru (datang) b. サ変動詞 (sahendoushi)

Contoh : するsuru (melakukan)

Verba kelompok ini juga merupakan verba yang terbentuk dari kata benda + verba suru, 「名詞 ‘meishi’」+「する ‘suru’」, namun meishi yang

(4)

dapat ditambahkan dengan verba suru disini hanyalah terbatas pada kata-kata yang bermakna gerak atau terdapat gerakan di dalamnya.

Contoh :

a. 勉強する benkyou suru (belajar)

b. 食事する shokuji suru (makan)

c. 買い物する kaimono suru (belanja)

Menurut Makino dan Tsutsui (1997:582-584) mengklasifikan verba secara semantik menjadi lima jenis yaitu :

1. Verba Stative

Verba ini menyatakan diam atau tetap dan menunjukkan keberadaan. Biasanya tidak muncul bersamaan dengan verba-bantu –iru

Contoh :

いる iru ‘ada’

できる dekiru ‘dapat’

要る iru ‘memerlukan/membutuhkan’

2. Verba Continual

Verba yang menyatakan selalu atau terus menerus. Verba ini berkonjungsi dengan verba bantu –iru untuk menunjukkan aspek pergerakan.

Contoh :

食べる taberu ‘makan’ --- 食べっている tabetteiru

‘sedang makan’

読む yomu ‘membaca’ --- 読んでいる yondeiru ‘sedang membaca’

3. Verba Punctual

(5)

Verba yang menyatakan tepat pada waktunya, berkonjungsi dengan –iru untuk tindakan atau perbuatan yang berulang-ulang atau suatu tingkatan/posisi setelah melakukan suatu tindakan atau penempatan suatu benda.

Contoh :

知る shiru ‘tahu’ --- 知っている shitteiru ‘mengetahui’

打つ utsu ‘memukul’ --- 打っている utteiru ‘memukuli’

4. Verba Volitional

Verba yang menyatakan bukan kemauan. Verba ini biasanya tidak memiliki bentuk ingin, bentuk perintah, dan bentuk kesanggupan. Diklasifikasikan menjadi verba yang berkenaan dengan emosi atau perasaan dan verba yang tidak berkenaan dengan emosi dan perasaan.

Contoh :

愛する aisuru ‘mencintai, berkenaan dengan perasaan’

見える mieru ‘kelihatan/terlihat, tidak berkenaan dengan perasaan’

5. Verba Movement

Verba yang menyatakan atau menunjukkan pergerakan.

Contoh :

走る hashiru ‘berlari’

歩く aruku ‘berjalan’

行く iku ‘pergi’

Terada Takanao dalam Sudjianto (2004:150) mengklasifikasikan fukugou doushi, haseigo toshite no doushi dan hojo doushi sebagai jenis-jenis doushi.

1. Fukugou doushi (複合動詞)

Fukugou doushi adalah doushi yang terbentuk dari gabungan dua buah kata atau lebih. Gabungan kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu kata.

Contoh :

(6)

a. 話し合う berunding (doushi + doushi) b. 調査する menyelidiki (meishi + doushi) c. 近寄る mendekati (keiyoushi + doushi)

2. Haseigo toshite no doushi (派生語としての動詞)

Haseigo toshite no doushi merupakan verba yang memakai prefiks atau doushi yang terbentuk dari kelas kata lain dengan cara menambahkan sufiks. Kata-kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu kata.

Contoh :

a. さ迷う samayou (mondar-mandir) b. ぶん殴る bunnaguru (melayangkan tinju) c. 寒がる samugaru (merasa kedinginan) 3. Hojo doushi (補助動詞)

Hojo doushi adalah doushi yang menjadi bunsetsu tambahan. Verba ini menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama dengan verba bantu –iru.

Contoh :

a. ある aru (ada ‘benda mati’)

b. いる iru (ada ‘makhluk hidup’)

c. もらう morau (menerima)

Sementara Shimizu dalam Sudjianto (2004:150) mengklasifikasikan jenis doushi sebagai berikut :

(7)

1. Jidoushi (自動詞 ‘verba intransitif’)

Jidoushi merupakan verba yang tidak disertai dengan objek penderita. Jika dilihat dari huruf kanjinya, maka jidoushi dapat bermakna ‘kata yang bergerak sendiri’.

Contoh :

a. 起きる okiru (bangun)

b. 閉まる shimaru (tertutup)

c. 出る deru (keluar)

2. Tadoushi (他動詞 ‘verba transitif’)

Tadoushi merupakan verba yang memiliki objek penderita. Verba tadoushi merupakan kelompok doushi yang menyatakan arti mempengaruhi pihak lain, atau dengan kata lain ada gerakan dari subjek.

Contoh :

a. 起こす okosu (membangunkan)

b. 閉める shimeru (menutup)

c. 出す dasu (mengeluarkan)

3. Shodoushi (所動詞)

Karena verba shodoushi merupakan kelompok doushi yang memasukkan pertimbangan pembicara, maka verba ini tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan kausatif.

Contoh :

(8)

a. 見える mieru (terlihat) b. 聞こえる kikoeru (terdengar)

2.1.3 Fungsi Verba

Pada umumnya verba bahasa Jepang berfungsi sebagai predikat dalam sebuah kalimat, dan terletak di akhir kalimat.

Contoh :

1. 私 は 本 を 読む。

Watashi wa hon o yomu Saya membaca buku.

.

Verba berfungsi untuk membantu verba-verba yang ada pada bagian sebelumnya dan menjadi bagian dari predikat sebagaimana halnya fuzokugo (Sudjianto, 2004:151).

Contoh :

1. 先生にあの 漢字 の 意味 を教えてもらう Sensei ni ano kanji no imi o

Saya diberitahu sensei arti dari kanji itu.

oshiete morau.

2. 黒板 に 明日 の 試験 の スケジュールが書いてある Kokuban ni ashita no shaken no sukejuuru ga

Di papan tulis tertulis jadwal ujian besok.

kaite aru.

Verba berfungsi sebagai keterangan bagi kelas kata lainnya pada sebuah kalimat (Sudjianto, 2004:149).

Contoh :

(9)

1. 姉 は リボン がある Ane wa ribbon ga

ドレッス が大好きです。

aru

Kakak paling suka baju panjang yang ada pitanya.

doressu ga daisuki desu.

2. これは母が作った Kore wa haha ga

ケーキです。

tsukutta Ini adalah kue buatan ibu.

keeki desu.

2.1.4 Pengertian Verba Omoidasu dan Oboeru 2.1.4.1 Verba Omoidasu

Verba Omoidasu adalah verba yang termasuk ke dalam kelompok I 五段動詞 (Godan Doushi). Berikut akan dijelaskan tentang pengertian dan pemakaian dari verba Omoidasu tersebut:

a. Hirose Masayoshi (1994:178) mengatakan bahwa:

“忘れていた こと や 過去 の 経験 が、 再び 心 に よみがえる こと です。”

“wasureteita koto ya kako no keiken ga, futatabi kokoro ni yomigaeru koto desu”

“mengingat kembali pengalaman yang lalu yang sudah terlupakan.”

Contoh:

• きのう 母 に 買い物 を 頼まれた の を、 今 思い出した。

Kinou haha ni kaimono o tanomareta no o, ima omoidashita.

Sekarang saya ingat, kemarin saya diminta ibu untuk berbelanja.

• 子供 の ころ の 失敗 を 思い出すと、 今 でも 恥ずかしくなる。

(10)

Kodomo no koro no shippai o omoidasu to, ima demo hazukashikunaru.

Sampai sekarangpun saya masih merasa malu, kalau ingat kegagalan semasa anak-anak.

b. Zhonkui.et.al (1998:191) menyatakan bahwa:

“思い出す は、 引き出せない と 思っていた 記憶 を なんとか 取り戻したり、 無意識 の うち に 記憶 が 甦ったり する こと。”

“Omoidasu wa, hikidasenai to omotteita kioku o nantoka torimodoshitari, muishiki no uchi ni kioku ga yomigaetari suru koto”

“Omoidasu adalah mendapatkan kembali ingatan yang dipikirkan dan yang tidak bisa dikeluarkan/ diingat kembali dan menghidupkan kembali ingatan dalam keadaan sadar.”

c. Dalam kamus online situs https://dbms.ninjal.ac.jp menyebutkan pengertian Omoidasu merupakan sebagai berikut:

“ Omoidasu adalah mengenang, mengingat, mulai berpikir.

Mengingat hal yang telah dialami di masa lampau (khususnya hal yg terlupa). “

Contoh:

• 子供 の 頃 を 思い出す と、 とても なつかしい。

Kodomo no koro o omoidasu to, totemo natsukashii.

Masa kanak-kanak sangat merindukan apabila teringat kembali

• 最近、 無理 に 大学 に 行かなくてもいい と 思い出した。

Saikin, muri ni daigaku ni ikanakutemo ii to omoidashita.

Akhir-akhir ini sudah mulai berpikir bahwa lebih baik tidak secara paksa melanjutkan ke universitas.

(11)

2.1.4.2 Verba Oboeru

Verba Oboeru adalah verba yang termasuk dalam verba kelompok II / 一段動詞 (Ichidan Doushi). Berikut akan dijelaskan tentang pengertian dari verba Oboeru:

a. Hirose Masayoshi (1994:178-179) mengatakan bahwa:

“(1) ものごと を 記憶して 忘れないでいる こと です;(2) 知識 や 技術、 技能 など を しっかり と 身 に つける こと です;(3)『感じた』 と いう 意味 で、 『痛む 胸さわぎ』

など に も 使います。”

“(1) Mono goto o kioku shite wasurenaide iru koto desu; (2) Chisiki ya gijutsu, ginou nado o shikkari to mi ni tsukeru koto desu; (3)

“Kanjita” to iu imi de, “itamu . munasawagi” nado ni mo tsukaimasu.”

“(1) Tidak melupakan dan terus mengingat suatu hal; (2) Mengingat hal yang berhubungan dengan pengetahuan, kemampuan dan teknik- teknik; (3) Digunakan juga untuk menunjukkan ketika merasakan sakit dan kegelisahan.”

Contoh:

• 彼 は、 歴史 の 年号 を 覚えるの が 得意だ。

Kare wa, rekishi no nengou o oboeru no ga tokui da.

Dia sangat baik dalam mengingat nama jaman dalam sejarah.

• 私 は 小学生 の とき、 泳ぎ を 覚えた。

Watashi wa shougakusei no toki, oyogi o oboeta.

Saya belajar bagaimana berenang saat di sekolah dasar.

• 私 は 、彼 の 話 に 怒りを 覚えた。

Watashi wa, kare no hanashi ni ikari o oboeta.

(12)

Saya sangat marah ketika mengingat cerita dia.

b. Zhonkui.et.al (1998:191) menyatakan bahwa:

“(1) 習った こと など を 心 に とどめておく;(2) 技術 など を 身 につけること。”

“(1) Naratta koto nado o kokoro ni todometeoku; (2) Gijutsu nado mi ni tsukeru koto.”

“(1) Selalu mengingat hal yang sudah dipelajari atau hal yang lain; (2) Digunakan dalam hal mengetahui suatu teknik dengan betul.”

Contoh:

• 外国語 と いう もの は、 体 で 覚えないと、 いざ と いう とき 役に 立たない。

“Gaikokugo to iu mono wa, karada de oboenaito, iza to iu toki yaku ni tatanai.”

“Yang dimaksud dengan bahasa asing adalah, kalau tidak diingat dengan tubuh (baik), tidak berguna dalam keadaan darurat.”

c. Dalam kamus online situs https://dbms.ninjal.ac.jp menyebutkan pengertian Oboeru merupakan sebagai berikut:

“(1) [mengingat, menghafal, menguasai, mampu, bisa] mencamkan dalam hati pengetahuan yang didapat dari pelajaran atau pengalaman; (2)[terasa,merasa] terasa di hati atau badan.”

Contoh:

• この 頃 やっと 仕事 を 覚えた。

Kono goro yatto shigoto o oboeta

Baru akhir-akhir ini saya bisa menguasai pekerjaan

• 父 の 死んだ 日 の こと を 今 でも はっきり 覚えている。

Chichi no shinda hi no koto o ima demo hakkiri oboeteiru.

(13)

Sekarang juga saya masih ingat dengan jelas akan hari kematian ayah.

• 立った とき 足 に 痛み を 覚えた。

Tatta toki ashi ni itami o oboeta.

Terasa sakit pada kaki ketika berdiri.

• 彼 の (行動 / やり 方) に は 疑問 を 覚える。

Kare no (Koudou / Yari kata) ni wa gimon o oboeru.

Saya merasa ragu-ragu akan (tindakan / caranya).

2.2 Studi Semantik dan Kesinoniman 2.2.1 Definisi Semantik

Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti tanda atau lambang. Semantik (imiron) sendiri merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna.

Semantik memegang peranan penting dalam berkomunikasi. Karena bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi adalah tidak lain untuk menyampaikan suatu makna (Sutedi, 2003:103). Misalnya, seseorang menyampaikan ide dan pikiran kepada lawan bicara, lalu lawan bicaranya bisa memahami apa yang disampaikan, maka dengan begitu komunikasi bisa terjadi. Hal ini disebabkan karena ia bisa menyerap makna yang disampaikan dengan baik.

Sutedi (2003:103) menyebutkan bahwa objek kajian semantik antara lain adalah makna kata satu per satu (go no imi), relasi makna (go no imi kankei) antar satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam satu idiom (ku no imi) dan makna kalimat (bun ni imi).

1. Makna Kata Satu per Satu (go no imi)

Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa Jepang,

(14)

baru akan berjalan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam komunikasi tersebut makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh lawan bicaranya.

Dalam bahasa Jepang, banyak sekali terdapat sinonim (ruigigo) yang sangat sulit untuk bisa dipadankan ke dalam bahasa Indonesia satu per satu.

Ditambah masih minimnya buku-buku atau kamus yang bertuliskan bahasa Indonesia yang membahas secara rinci dan jelas tentang persamaan dan perbedaan dari setiap sinonim tersebut.

2. Relasi Makna Antar Satu Kata dengan Kata yang Lainnya (go no imi kankei) Relasi makna adalah hubungan antara dua kata atau lebih sehubungan dengan penyusunan kelompok kata (goi) berdasarkan kategori tertentu. Misalnya, pada verba 「話す ‘hanasu’」(berbicara),「言う ‘iu’」(berkata),「しゃべる

‘shaberu’」(ngomong), dan「食べる ‘taberu’」(makan), dapat dikelompokkan ke dalam 「言葉を発する ‘kotoba o hassuru’」(bertutur) untuk tiga verba pertama, sedangkan taberu tidak termasuk ke dalamnya. Contoh lainnya, misalnya hubungan makna antara kata 「話す ‘hanasu’」dan「言う ‘iu’」,「高い

‘takai’」(tinggi) dan「低い ‘hikui’」(rendah),「動物 ‘doubutsu’」(binatang) dan「犬 ‘inu’」(anjing) akan berlainan dan perlu diperjelas. Pasangan pertama merupakan sinonim (hanasu dan iu), pasangan kedua merupakan antonim (takai dan hikui), sedangkan pasangan terakhir merupakan hubungan superordinat (doubutsu dan inu).

3. Makna Frase dalam Satu Idiom (ku no imi)

Makna frase merupakan makna yang terkandung dalam sebuah rangkaian kata-kata yang disebut dengan ungkapan. Contohnya dalam bahasa Jepang ungkapan 「本を読む ‘hon o yomu’」(membaca buku),「靴を買う

‘kutsu o kau’」(membeli sepatu), dan「腹が立つ ‘hara ga tatsu’」(perut berdiri

= marah) merupakan suatu frase. Frase ‘hon o yomu’ dan ‘kutsu o kau’ dapat dipahami cukup dengan mengetahui makna kata hon, kutsu, kau, dan o, ditambah dengan pemahaman tentang struktur kalimat bahwa ‘nomina + o + verba’. Jadi,

(15)

frase tersebut bisa dipahami secara leksikalnya (mojidouri no imi). Tetapi, untuk frase ‘hara ga tatsu’, meskipun seseorang mengetahui makna setiap kata dan strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut, jika tidak mengetahui makna frase secara idiomatikalnya (kanyokuteki imi).

Lain halnya dengan frase「足を洗う ‘ashi o arau’」, ada dua makna, yaitu secara leksikal (mojidouri no imi), yaitu mencuci kaki, dan juga secara idiomatikal (kanyokuteki imi), yaitu berhenti berbuat jahat. Jadi, dalam bahasa Jepang ada frase yang hanya bermakna secara leksikal saja, ada frase yang bermakna secara idiomatikal saja, dan ada juga frase yang bermakna keduanya.

4. Makna Kalimat (bun ni imi)

Makna kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya.

Misalnya, pada kalimat ‘Watashi wa Yamada san ni megane o ageru’ (Saya memberi kacamata pada Yamada) dan kalimat ‘Watashi wa Yamada san ni tokei o ageru’ (Saya memberi jam pada Yamada). Jika dilihat dari strukturnya, kalimat tersebut adalah sama, yaitu ‘A wa B ni C o ageru’, tetapi maknanya berbeda. Oleh karena itu, makna kalimat ditentukan oleh kata yang menjadi unsur kalimat tersebut.

2.2.1.1 Jenis-Jenis Makna Dalam Semantik

Menurut Chaer (2002:59), jenis ataupun tipe dari makna itu sendiri dapat dibedakan berdasarkan kriteria atau sudut pandang, yakni:

1. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal.

Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh- sungguh nyata dalam kehidupan kita. Contohnya seperti makna leksikal dari kata rumah merupakan bangunan, tempat tinggal suatu keluarga.

Makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Makna ini hadir sebagai akibat adanya proses

(16)

gramatikal atau proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi.

Seperti dalam contoh “tas yang berat itu terangkat

2. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan menjadi makna referensial dan makna nonreferensial.

juga oleh anak itu.”, proses afiksasi /ter-/ pada kata angkat melahirkan makna “dapat”. Pada reduplikasi contohnya seperti “bangunan-bangunan” yang memiliki makna “banyak bangunan”, dan pada komposisi dapat dilihat contohnya pada kata “sate ayam” dan “sate Madura”. Yang pertama menyatakan bahan dari sate itu, sedangkan yang kedua menyatakan tempat asal dari sate itu.

Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial adalah berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Namun jika kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata tersebut merupakan kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut ‘meja’ dan ‘kursi’. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen, jadi kedua kata tersebut termasuk ke dalam kelompok kata yang bermakna nonreferensial.

3. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan menjadi makna denotatif dan makna konotatif.

Pengertian makna denotatif adalah pada dasarnya sama dengan makna leksikal dan referensial, sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif, dan sering disebut dengan istilah ‘makna sebenarnya’.

4. Berdasarkan ketepatan maknanya, dapat dibedakan menjadi makna umum dan makna khusus.

Kata dengan makna umum memiliki pengertian dan pemakaian yang lebih luas, sedangkan kata dengan makna khusus mempunyai pengertian dan

(17)

pemakaian yang lebih terbatas. Misalnya dalam deretan sinonim besar, agung, akbar, raya, dan kolosal. Kata besar adalah kata yang bermakna umum dan pemakaiannya lebih luas dibandingkan dengan kata yang lainnya. Kita dapat mengganti kata agung, akbar, raya, dan kolosal dengan kata besar secara bebas. Frase ‘Tuhan yang maha Agung’ dapat diganti dengan ‘Tuhan yang maha Besar’ ; frase ‘rapat akbar’ dapat diganti dengan ‘rapat besar’ ; frase ‘hari raya’ dapat diganti dengan ‘hari besar’ ; dan frase ‘film kolosal’ dapat diganti dengan ‘film besar’.

Sebaliknya, frase ‘rumah besar’ tidak dapat diganti dengan ‘rumah agung’, ‘rumah raya’ ataupun ‘rumah kolosal’.

5. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dapat dibedakan menjadi makna konseptual, asosiatif, idiomatik, dan sebagainya.

6. Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna leksikal, referensial, dan makna denotatif. Selanjutnya, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna ‘suci’ atau

‘kesucian’ ; kata merah berasosiasi dengan makna ‘berani’ ; kata cenderawasih berasosiasi dengan makna ‘indah’.

Makna idiomatik adalah makna sebuah satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Contohnya adalah pada frase ‘membanting tulang’ dan ‘meja hijau’. ‘Membanting tulang’ adalah sebuah leksem dengan makna ‘bekerja keras’, dan ‘meja hijau’ adalah sebuah leksem dengan makna ‘pengadilan’.

2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik

Perubahan makna suatu kata dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut, perkembangan

(18)

ilmu pengetahuan dan teknologi, atau pengaruh bahasa asing. Berikut akan dijelaskan beberapa jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang (Sutedi, 2003:108).

a. Dari yang konkrit ke abstrak

Kata 「頭 ‘atama’」(kepala),「腕 ‘ude’」(lengan), serta「道

‘michi’」(jalan) yang merupakan benda konkrit, berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti berikut ini.

頭がいい atama

腕が上がる

ga ii (kepandaian)

ude

日本語教師への道 nihongo-kyoushi e no

ga agaru (kemampuan)

michi (cara/ petunjuk)

b. Dari ruang ke waktu

Kata 「前 ‘mae’」(depan), dan「長い ‘nagai’」(panjang), yang menyatakan arti ruang, berubah menjadi waktu seperti pada contoh berikut ini.

三年前 sannen mae (yang lalu)

長い時間 nagai

c. Perubahan penggunaan indera

jikan (lama)

Kata 「大きい ‘ookii’」(besar) semula diamati dengan indera penglihatan (mata), berubah ke indera pendengaran (telinga), seperti pada「大きい声

‘ookii koe’」(suara keras). Kemudian pada kata「甘い ‘amai’」(manis) dari indera perasa menjadi karakter seperti dalam「甘い子 ‘amai ko’」(anak manja).

d. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi

(19)

Kata 「着物 ‘kimono’」yang semula berarti pakaian tradisional Jepang, digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum「服 ‘fuku’」dan sebagainya.

e. Dari yang umum ke khusus/ spesialisasi

Kata 「花 ‘hana’」(bunga secara umum) dan「卵 ‘tamago’」(telur secara umum) digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus seperti dalam penggunaan berikut.

花見 hana

卵を食べる

-mi (bunga Sakura)

tamago o taberu (telur ayam)

f. Perubahan nilai positif

Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai positif salah satunya adalah kata 「僕 ‘boku’」(saya) yang dulu digunakan untuk budak atau pelayan, tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang kurang baik menjadi baik.

g. Perubahan nilai negatif

Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai negatif salah satunya adalah kata 「貴様 ‘kisama’」(kamu) yang dulu sering digunakan untuk menunjukkan kata「あなた ‘anata’」(anda) , tetapi sekarang digunakan hanya kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang baik menjadi kurang baik.

2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik

Manfaat yang dapat kita petik dari studi semantik sangat tergantung dari bidang apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari (Chaer, 2002:11). Bagi seorang wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaat

(20)

praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum.

Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, seperti mereka yang belajar di Fakultas Sastra ataupun Fakultas Ilmu Budaya, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis untuk dapat menganalisis kata atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi seorang guru atau calon guru, pengetahuan mengenai semantik akan memberi manfaat teoritis, karena sebagai seorang guru bahasa haruslah mengerti dengan sungguh-sungguh tentang bahasa yang akan diajarkannya. Sedangkan manfaat praktis yang diperoleh dari mempelajari teori semantik adalah pemahaman yang lebih mendalam mengenai makna dari suatu kata yang makna katanya berdekatan atau memiliki kemiripan arti.

Sedangkan bagi orang awam atau orang kebanyakan pada umumnya, pengetahuan yang luas akan teori semantik sebenarnya tidakah diperlukan. Akan tetapi, pemakaian dasar-dasar semantik masih diperlukan untuk dapat memahami dunia yang penuh informasi dan lalu lintas kebahasaan.

2.2.2 Kesinoniman

Hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata dengan kata lainnya sering kita temui baik dalam bahasa apapun itu. Hal ini berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer, 2007:297). Satuan bahasa disini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi makna ini dapat menyatakan kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), dan kelebihan makna (redundansi).

Apabila suatu kata memiliki makna yang hampir sama (mirip) dengan satu atau lebih kata yang lain, maka dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut memiliki hubungan atau relasi makna yang termasuk ke dalam sinonim. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan

(21)

ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007:267). Akan tetapi meskipun bersinonim, maknanya tidak akan persis sama.

Dalam bahasa Jepang, sinonim dikenal dengan istilah 「類義語

‘ruigigo’」. Menurut Sutedi (2003:115), perbedaan dari dua kata atau lebih yang memiliki relasi atau hubungan kesinoniman「類義関係 ‘ruigi-kankei’」dapat ditemukan dengan cara melakukan analisis terhadap nuansa makna dari setiap kata tersebut. Misalnya pada kata agaru dan noboru yang kedua-duanya berarti

‘naik’, dapat ditemukan perbedaannya sebagai berikut.

のぼる:下から上へ或経路に焦点を合わせて

Noboru : Shita kara ue e wakukeiro ni shouten o awasete idou suru 移動する

Noboru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus jalan yang dilalui あがる:下から上へ到達点に焦点を合わせて

Agaru : Shita kara ue e toutatsuten ni shouten o awasete idou suru 移動する

Agaru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus tempat tujuan

Jadi, perbedaan verba agaru dan noboru terletak pada fokus 「焦点

‘shouten’」gerak tersebut. Verba agaru menekankan pada tempat tujuan「到達点 ‘toutatsuten’」dalam arti tibanya di tempat tujuan tersebut (hasil), sedangkan noboru menekankan pada jalan yang dilalui「経路

‘keiro’」dari gerak tersebut (proses).

Sedangkan menurut Djajasudarma (1999:42), ada tiga batasan untuk sinonim, yaitu:

1. Kata-kata dengan referen ekstra linguistic yang sama 2. Kata-kata yang memiliki makna yang sama

3. Kata-kata yang dapat disulih dalam konteks yang sama.

2.2.3 Pilihan Kata

Tidak semua kata-kata yang bersinonim dapat saling menggantikan satu sama lain. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk

(22)

menghindari kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan dengan pilihan kata atau diksi.

Menurut Keraf (2006:24) pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Diksi atau pilihan kata harus berdasarkan tiga tolak ukur, yaitu ketepatan, kebenaran, dan kelaziman. Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna yang dapat mengungkapkan gagasan secara cermat sesuai dengan gagasan pemakai bahasa. Kata yang benar adalah kata yang diucapkan atau ditulis sesuai dengan bentuk yang benar, yaitu sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata yang lazim berarti bahwa kata yang dipakai adalah dalam bentuk yang sudah dibiasakan dan bukan merupakan bentuk yang dibuat-buat.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengucap puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kerjasama WWF

Hal berbeda ditunjukkan oleh ritel modern, ritel modern biasanya beroperasi dari pagi sampai malam hari (jam 07.00 WIB sampai dengan 23.00 WIB), dan pelayanan

Ibu Nita (HP. Juara Harapan II : Uang Pembinaan dan Piagam.. Peserta lomba berpakaian rapi dan sopan. Guru pendamping tidak diperkenankan masuk ke arena lomba dan tidak boleh

Perangkat Daerah adalah organisasi/lembaga pada Pemerintah Daerah yang bertanggungjawab kepada Kepala Daerah dan membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan

Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada bcrbagai pihak yang membantu terlaksananya penelitian ini, terutama pada Proyek Peningkat'ul Penelitian dan

JUDUL PENELITIAN : Perbedaan Tear Film Break Up Time pada Pasien Retinopati Diabetika Nonproliferatif Dibandingkan Retinopati Diabetika Proliferatif2. INSTANSI PELAKSANA :

Hasil penelitian ini juga di dukung penelitian sebelumnya oleh Dien, Kumaat, & Malara (2015) dengan judul pengaruh penyuluhan kesehatan terhadap kesiapsiagaan

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini ialah pengetahuan dan sikap tenaga kerja terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan perilaku aman, persepsi tenaga