• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

11 2.1 Tinjauan Teoretis

2.1.1 Teori Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

Akhir-akhir ini tampak suatu fenomena administratif pada tingkat yang belum pernah terlihat sebelumnya, yaitu semakin besarnya perhatian semakin banyak pihak terhadap pentingnya manajemen sumber daya manusia. Perhatian yang semakin besar tersebut ditunjukkan baik oleh para politisi, para tokoh industri, para pembentuk opini yaitu para pimpinan media massa para birokrat di lingkungan pemerintahan maupun oleh para ilmuwan yang menekuni berbagai cabang ilmu, terutama ilmu-ilmu sosial.

Manajemen sumber daya manusia merupakan terjemahan dari Man Power Management dan dianggap mempunyai pengertian yang sama dan Personal Management atau manajemen personalia. Secara umum, baik istilah manajemen sumber daya manusia maupun istilah manajemen personalia sama-sama diartikan sebagai manajemen kepegawaian dalam hal ini orang-orang yang mengadakan kerja sama dalam mencapai tujuan dari organisasi yang bersangkutan.

Manajemen sumber daya manusia memiliki arti penting sebagai salah satu fungsi manajemen selain fungsi manajemen pemasaran, keuangan, dan produksi, di mana manajemen sumber daya manusia meliputi usaha-usaha/aktivitas-aktivitas suatu organisasi dalam mengelola sumber daya manusia yang dimilikinya secara

(2)

umum dimulai dari proses pengadaan karyawan, penempatan, pengelolaan, pemeliharaan, pemutusan hubungan kerja, hingga hubungan industrial.

Departemen sumber daya manusia yang ada dalam suatu organisasi membantu karyawan dan organisasi mencapai tujuan mereka. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka studi tentang manajemen sumber daya manusia akan menunjukkan bagaimana seharusnya suatu organisasi memperoleh, menggunakan, mengembangkan, mengevaluasi dan memelihara karyawannya dalam kuantitas dan kualitas yang tepat.

Diantara para ahli mempunyai pandangan yang berbeda dalam mendefinisikan Manajemen Sumber Daya Manusia. Namun demikian, secara umum intisari pengertian yang dikemukakan oleh para ahli memiliki kesamaan tujuan.

Manajemen sumberdaya manusia merupakan sistem yang terdiri dari banyak aktivitas interdependen (saling terkait satu sama lain). Aktivitas ini tidak berlangsung menurut isolasi: yang jelas setiap aktivitas mempengaruhi sumber daya manusia lain. Misalnya keputusan buruk menyangkut kebutuhan staffing bisa menyebabkan persoalan ketenaga-kerjaan, penempatan, kepatuhan sosial, hubungan serikat buruh, manajemen, dan kompensasi. Bila aktivitas sumber daya manusia dilibatkan secara keseluruhan, maka aktivitas tersebut membantu sistem manajemen sumber daya manusia perusahaan. Perusahaan dan orang merupakan sistem terbuka karena mereka dipengaruhi oleh lingkungannya. Manajemen

(3)

sumber daya manusia juga merupakan sistem terbuka yang dipengaruhi oleh lingkungan luar.

Handoko dalam Rachmawati (2008: 16) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan kegiatan-kegiatan pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia agar tercapai berbagai tujuan individu, organisasi dan masyarakat.

Yuniarsih dan Suwatno (2008: 22) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah serangkaian kegiatan pengelolaan sumber daya manusia yang memusatkan kepada praktek dan kebijakan, serta fungsi-fungsi manajemen untuk mencapai tujuan organisasi .

Sofyandi (2008: 9) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah suatu strategi dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, leading, and controlling, dalam setiap aktivitas/ fungsi organisasi sumber daya manusia mulai dari proses penarikan, seleksi, pelatihan dan pengembangan, penempatan yang meliputi promosi, demosi dan transfer, penilaian kinerja, pemberian kompensasi, hubungan industrial, hingga pemutusan hubungan kerja, yang ditujukan bagi peningkatan kontribusi produktif dari sumber daya manusia organisasi terhadap pencapaian tujuan organisasi secara lebih efektif dan efisien.

Manajemen sumber daya manusia merupakan bagian dari manajemen keorganisasian yang memfokuskan diri pada unsur sumber daya manusia. Stres

(4)

merupakan salah satu hal yang tidak dapat dipungkiri dapat dialami karyawan.

Stres dapat mempengaruhi produktivitas kerja karyawan, adalah tugas manajemen sumber daya manusia untuk mengelola unsur manusia secara baik agar diperoleh tenaga kerja yang memuaskan dalam pekerjaannya.

Manajemen sumber daya manusia (MSDM) mempunyai berbagai aktivitas yang merupakan tindakan - tindakan yang diambil untuk menyediakan dan mempertahankan lingkungan kerja yang tepat dalam organisasi. Suatu organisasi kecil mungkin tidak memiliki suatu departemen sumber daya manusia. Aktivitas - aktivitas manajemen sumber daya manusia sering disebut juga sebagai fungsi - fungsi manajemen sumber daya manusia.

Rivai (2009: 32) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu bidang dari manajemen umum yang meliputi segi - segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian.

Menurut Schuler dalam buku Sutrisno (2009: 8) mengemukakan bahwa:

Manajemen sumber daya manusia merupakan pengakuan tentang pentingnya tenaga kerja organisasi sebagai sumber daya manusia yang sangat penting dalam memberi kontribusi bagi tujuan - tujuan organisasi, dan menggunakan beberapa fungsi dan kegiatan untuk memastikan bahwa sumber daya manusia tersebut digunakan secara efektif dan adil bagi kepentingan individu, organisasi dan masyarakat.

Fokus manajemen sumber daya manusia terletak pada upaya mengelola sumber daya manusia di dalam dinamika interaksi antara organisasi pekerja yang seringkali memiliki kepentingan berbeda. Manajemen sumber daya manusia

(5)

meliputi penggunaan sumber daya manusia secara produktif dalam mencapai tujuan - tujuan organisasi dan pemuasan kebutuhan pekerja secara individual.

Jadi manajemen sumber daya manusia dapat juga merupakan kegiatan perencanaan, pengadaan, pengembangan, pemeliharaan, serta penggunaan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan baik secara individu maupun organisasi.

Walaupun objeknya sama - sama manusia, namun pada hakikatnya ada perbedaan hakiki antara manajemen sumber daya manusia dengan manajemen tenaga kerja atau dengan manajemen personalia.

2.1.1.2 Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia

Tujuan dari manajemen sumber daya manusia, menurut Hasibuan, (2002:

250):

1. Untuk menentukan dan kuantitas karyawan yang akan mengisi semua jabatan dalam perusahaan.

2. Untuk menjamin tersedianya tenaga kerja masa kini maupun masa depan, sehingga setiap pekerjaan ada yang mengerjakannya.

3. Untuk menghindari terjadinya mismanajemen dan tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas.

4. Untuk mempermudah koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi (KIS), sehingga produktivitas kerja meningkat.

5. Untuk menghindari kekurangan dan atau kelebihan karyawan.

6. Untuk menjadi pedoman dalam menetapkan program penarikan seleksi, pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, kedisiplinan, dan pemberhentian karyawan.

(6)

7. Menjadi pedoman dalam melaksanakan mutasi (vertical atau horizontas) dan pensiun karyawan.

Menjadi dasar dalam melakukan penilaian karyawan.

2.1.1.3 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia

Fungsi-fungsi manajemen, menurut Edwin dalam buku Moekijat, (1987:

26-27) adalah:

1. Fungsi Perencanaan

Perencanaan berarti penentuan lebih dahulu suatu program kepegawaian yang akam menunjang tujuan-tujuan yang ditetapkan bagi perusahaan.

2. Fungsi Pengorganisasian

Pengorganisasian adalah kegiatan untuk mengorganisasikan semua karyawan dengan menetapkan pembagian kerja, hubungan kerja, delegasi wewenang, integrasi, dan koordinasi dalam bagan organisasi.

3. Fungsi Pengarahan

Pengarahan adalah kegiatan mengarahkan semua karyawan, agar mau bekerja sama dan bekerja efektif serta efisien dalam membantu tercapainya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat.

4. Fungsi Pengawasan

Pengawasan, yakni mengadakan penyelidikan dan perbandingan dari pada tindakan dengan rencana-rencana serta mengadakan pembetulan dari pada penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi.

(7)

Sedangkan fungsi-fungsi pelaksanaan (kepegawaian) menurut Hasibuan, (2002: 22-23) adalah:

1. Fungsi Pengadaan

Pengadaan (procurement) adalah proses penarikan, seleksi, penempatan, orientasi, dan induksi untuk mendapatkan karyawan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

2. Fungsi Pengembangan

Pengembangan (development) adalah proses peningkatan keterampilan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan melalui pendidikan dan pelatihan.

3. Fungsi Kompensasi

Kompensasi (compensation) adalah balas jasa langsung (direct) dan tidak langsung (indirect), uang atau barang kepada karyawan sebagai imbalan jasa yang diberikan kepada perusahaan.

4. Fungsi Pengintegrasian

Pengintegrasian (integration) adalah kegiatan untuk mempersatukan kepentingan perusahaan dan kebutuhan karyawan, agar tercipta kerja sama yang serasi dan saling menguntungkan.

5. Fungsi Pemeliharaan

Pemeliharaan (maintenance) adalah kegiatan untuk memelihara atau meningkatkan kondisi fisik, mental, dan loyalitas karyawan, agar mereka tetap mau bekerja sama sampai pensiun.

(8)

6. Fungsi Kedisiplinan

Kedisiplinan adalah keinginan dan kesadaran untuk mentaati peraturan- peraturan perusahaan dan norma-norma sosial.

7. Fungsi Pemberhentian

Pemberhentian (separation) adalah putusnya hubungan kerja seseorang dari suatu perusahaan.

2.1.2 Teori Budaya Kerja 2.1.2.1 Pengertian Budaya Kerja

Pada mulanya istilah budaya (culture) populer dalam disiplin ilmu antropologi. Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta buddhayah. Kata buddhayah merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.

Sedangkan kata culture berasal dari kata colere yang memiliki makna mengolah, mengerjakan. Istilah culture berkembang hingga memiliki makna sebagai segala daya dan upaya manusia untuk mengubah alam.

Dalam rentang dua puluh tahun terakhir, topik budaya kerja menarik perhatian banyak orang, khususnya mereka yang mempelajari masalah perilaku kerja. Budaya kerja mulai dipandang sebagai sesuatu hal yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan akhir suatu perusahaan.

Jadi pandangan-pandangan tentang budaya kerja umumnya menekankan pada pentingnya nilai - nilai yang dianut bersama yang menjadi pengikat diantara anggota perusahaan yang memberi pengaruh terhadap perilaku anggota perusahaan. Budaya juga membedakan antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.

(9)

Lingkungan yang berbeda akan memberi dampak pada pola dan warna budaya, karena itu terjadi pola dan warna budaya yang tebal dan tipis. Dalam budaya yang tebal terdapat kesepakatan yang tinggi dari anggotanya untuk mempertahankan apa yang diyakini benar dari berbagai aspek sehingga dapat membina keutuhan, loyalitas dan komitmen perusahaan. Kesepakatan bersama ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jadi ada proses dalam mengadaptasi budaya kepada pegawai. Masalah sosialisasi budaya dilakukan pada saat perusahaan menerima pegawai baru, sehingga pegawai bersangkutan sudah terbentuk perilakunya sesuai dengan budaya yang ada.

Menurut Moeljono (2005: 24) mengemukakan bahwa: Budaya kerja pada umumnya merupakan pernyataan filosofis, dapat difungsikan sebagai tuntutan yang mengikat pada karyawan karena dapat diformulasikan secara formal. Dalam berbagai peraturan dan ketentuan perusahaan .

Secara individu maupun kelompok seseorang tidak akan terlepas dari budaya yang ada dalam perusahaan. Pada umumnya mereka akan dipengaruhi oleh keanekaragaman sumber daya-sumber daya yang ada sebagai stimulus sehingga seseorang dalam perusahaan mempunyai perilaku yang spesifik bila dibandingkan dengan kelompok organisasi atau perusahaannya.

Budaya kerja menurut Mangkunegara (2005: 113) yang dikutip dari Edgar H. Schein mendefinisikan bahwa: Budaya kerja adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai - nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota - anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.

(10)

Budaya kerja mempunyai dua tingkatan yaitu pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, budaya merujuk pada nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting dalam kehidupan dan sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda. Pada tingkatan yang lebih terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu perusahaan, sehingga pegawai- pegawai baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku sejawatnya.

Menurut Rachmawati (2004: 118) bahwa Budaya kerja merupakan sistem penyebaran kepercayaan dan nilai - nilai yang berkembang dalam suatu perusahaan dan mengarahkan perilaku segenap anggota perusahaan. Selain itu budaya perusahaan mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota - anggota yang membedakan perusahaan itu dari perusahaan - perusahaan lain.

Ruky (2006: 315) mengemukakan bahwa budaya kerja adalah mencerminkan cara mereka melakukan sesuatu (membuat keputusan, melayani orang, dsb), yang dapat dilihat dan dirasakan terutama oleh orang di luar organisasi tersebut.

Tika (2008: 19) berpendapat bahwa budaya kerja adalah pokok penyelesaian masalah - masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada anggota - anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait seperti di atas.

(11)

Sedangkan menurut Mc Kenna dan Nic Beech (2000: 62) mengemukakan bahwa budaya kerja atau perusahaan sebagai pola asumsi - asumsi yang mendasar di mana kelompok yang ada menciptakan, menemukan atau berkembang dalam proses belajar untuk menanggulangi kesulitan - kesulitan adaptasi eksternal dan integrasi internal.

2.1.2.1 Unsur-unsur Budaya Kerja

Unsur - unsur yang terkandung dalam budaya kerja menurut Tika (2008:5) dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Asumsi dasar

Dalam budaya kerja terdapat asumsi dasar yang dapat berfungsi sebagai pedoman bagi anggota maupun kelompok dalam organisasi untuk berperilaku.

2. Keyakinan yang dianut

Dalam budaya kerja terdapat keyakinan yang dianut dan dilaksanakan oleh para anggota perusahaan. Keyakinan ini mengandung nilai - nilai yang dapat berbentuk slogan atau motto, asumsi dasar, tujuan umum perusahaan, filosofi usaha, atau prinsip - prinsip menjelaskan usaha.

3. Pimpinan atau kelompok pencipta dan pengembangan budaya kerja.

Budaya kerja perlu diciptakan dan dikembangkan oleh pemimpin perusahaan atau kelompok tertentu dalam perusahaan tersebut.

4. Pedoman mengatasi masalah

Dalam perusahaan, terdapat dua masalah pokok yang sering muncul, yakni masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal. Kedua masalah

(12)

tersebut dapat diatasi dengan asumsi dasar dan keyakinan yang dianut bersama anggota organisasi.

5. Berbagai nilai (sharing of value)

Dalam budaya kerja perlu berbagi nilai terhadap apa yang paling diinginkan atau apa yang lebih baik atau berharga bagi seseorang.

6. Pewarisan (learning process)

Asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota perusahaan perlu diwariskan kepada anggota-anggota baru dalam organisasi sebagai pedoman untuk bertindak dan berperilaku dalam perusahaan tersebut.

7. Penyesuaian (adaptasi)

Perlu penyesuaian anggota kelompok terhadap peraturan atau norma yang berlaku dalam kelompok atau organisasi tersebut, serta adaptasi perusahaan terhadap perubahan lingkungan.

2.1.2.3 Jenis - Jenis Budaya Kerja

Sedangkan jenis - jenis budaya kerja berdasarkan proses informasi dan tujuannya menurut Tika (2008: 7) adalah:

1. Berdasarkan Proses Informasi

Robert E. Quinn dan R. McGrath (dalam buku Arie Indra Chandra) membagi budaya organisasi berdasarkan proses informasi terdiri dari:

a) Budaya rasional

Dalam budaya ini, proses informasi individual (klarifikasi sasaran pertimbangan logika, perangkat pengarahan) diasumsikan sebagai sarana

(13)

bagi tujuan kinerja yang ditunjukkan (efisiensi, produktivitas dan keuntungan atau dampak).

b) Budaya ideologis

Dalam budaya ini, pemrosesan informasi intuitif (dari pengetahuan yang dalam, pendapat dan inovasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan revitalisasi (dukungan dari luar, perolehan sumber daya dan pertumbuhan).

c) Budaya konsensus

Dalam budaya ini, pemrosesan informasi kolektif (diskusi, partisipasi dan consensus) diasumsikan untuk menjadi sarana bagi tujuan kohesi (iklim, moral dan kerja sama kelompok).

d) Budaya hierarkis

Dalam budaya hierarkis, pemrosesan informasi formal (dokumentasi, komputasi dan evaluasi) diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kesinambungan (stabilitas, control dan koordinasi).

2. Berdasarkan Tujuannya

Talizuduhu Ndraha membagi budaya kerja berdasarkan tujuannya, yaitu:

a) Budaya organisasi perusahaan, b) Budaya organisasi publik c) Budaya organisasi sosial.

2.1.2.4 Fungsi Budaya Kerja

Adapun fungsi utama budaya kerja adalah sebagai berikut:

1. Sebagai batas pembeda terhadap lingkungan, organisasi maupun kelompok lain.

(14)

Batas pembeda ini karena adanya identitas tertentu yang dimiliki oleh suatu perusahaan atau kelompok yang tidak dimiliki organisasi atau kelompok lain.

2. Sebagai perekat bagi karyawan dalam suatu perusahaan

Hal ini merupakan bagian dari komitmen kolektif dari karyawan. Mereka bangga sebagai seorang pegawai/karyawan suatu perusahaan. Para karyawan mempunyai rasa memiliki, partisipasi, dan rasa tanggungjawab atas kemajuan perusahaannya.

3. Mempromosikan stabilitas sistem sosial

Hal ini tergambarkan di mana lingkungan kerja dirasakan positif, mendukung dan konflik serta perubahan diatur secara efektif.

4. Sebagai mekanisme kontrol dalam memadu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan. Dengan dilebarkannya mekanisme kontrol, didatarkannya struktur, diperkenalkannya dan diberi kuasanya karyawan oleh perusahaan, makna bersama yang diberikan oleh suatu budaya yang kuat memastikan bahwa semua orang diarahkan ke arah yang sama.

5. Sebagai integrator

Budaya kerja dapat dijadikan sebagai integrator karena adanya sub budaya baru. Kondisi seperti ini biasanya dialami oleh adanya perusahaan - perusahaan besar di mana setiap unit terdapat para anggota perusahaan yang terdiri dari sekumpulan individu yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda.

(15)

6. Membentuk perilaku bagi karyawan

Fungsi seperti ini dimaksudkan agar para karyawan dapat memahami bagaimana mencapai tujuan perusahaan.

7. Sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah - masalah pokok perusahaan.

Masalah utama yang sering dihadapi perusahaan adalah masalah adaptasi terhadap lingkungan eskternal dan masalah integrasi internal. Budaya kerja diharapkan dapat berfungsi mengatasi masalah-masalah tersebut.

8. Sebagai acuan dalam menyusun perencanaan perusahaan.

Fungsi budaya kerja adalah sebagai acuan untuk menyusun perencanaan pemasaran, segmentasi pasar, penentuan positioning yang akan dikuasai perusahaan tersebut.

9. Sebagai alat komunikasi

Budaya kerja dapat berfungsi sebagai alat komunikasi antara atasan dan bawahan atau sebaliknya, serta antara anggota organisasi. Budaya sebagai alat komunikasi tercermin pada aspek - aspek komunikasi yang mencakup kata - kata, segala sesuatu bersifat material dan perilaku. Kata - kata mencerminkan kegiatan dan politik organisasi. Material merupakan indikator dari status dan kekuasaan, sedangkan perilaku merupakan tindakan - tindakan realistis yang pada dasarnya dapat dirasakan oleh semua insan yang ada dalam perusahaan.

10. Sebagai penghambat berinovasi

Budaya kerja dapat juga sebagai penghambat dalam berinovasi. Hal ini terjadi apabila budaya kerja tidak mampu mengatasi masalah - masalah yang menyangkut lingkungan eksternal dan integrasi internal. Perubahan -

(16)

perubahan terhadap lingkungan tidak cepat dilakukan adaptasi oleh pimpinan organisasi. Demikian pula pimpinan organisasi masih berorientasi pada kebesaran masa lalu.

2.1.2.5 Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Budaya Kerja

Faktor - faktor utama yang menentukan kekuatan budaya kerja adalah kebersamaan dan intensitas.

1. Kebersamaan

Kebersamaan adalah sejauh mana anggota organisasi mempunyai nilai - nilai inti yang dianut secara bersama.

Derajat kebersamaan dipengaruhi oleh unsur orientasi dan imbalan. Orientasi dimaksudkan pembinaan kepada anggota - anggota organisasi khususnya anggota baru maupun melalui program - program latihan. Melalui program orientasi, anggota - anggota baru organisasi diberi nilai - nilai budaya yang perlu dianut secara bersama oleh anggota - anggota organisasi. Di samping orientasi kebersamaan, juga dipengaruhi oleh imbalan dapat berupa kenaikan gaji, jabatan (promosi), hadiah - hadiah, tindakan - tindakan lainnya yang membantu memperkuat komitmen nilai - nilai inti budaya kerja.

2. Intensitas

Intensitas adalah derajat komitmen dari anggota - anggota perusahaan kepada nilai - nilai inti budaya kerja. Derajat intensitas bisa merupakan suatu hasil dari struktur imbalan. Oleh karena itu, pimpinan perusahaan perlu memperhatikan dan mentaati struktur imbalan yang diberikan kepada anggota - anggota perusahaan guna menanamkan nilai - nilai budaya kerja.

(17)

Menurut Robbins dalam buku Tika (2008: 10) menyatakan adalah 10 karakteristik yang apabila dicampur dan dicocokkan, akan menjadi budaya kerja.

Kesepuluh karateristik budaya organsisasi tersebut sebagai berikut:

1. Inisiatif individual

Yang dimaksud inisiatif individual adalah tingkat tanggung jawab, keberadaan atau independensi yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. Inisiatif tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu perusahaan sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan perusahaan.

2. Toleransi terhadap tindakan berisiko

Dalam budaya kerja perlu ditekankan, sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif dan mengambil resiko. Suatu budaya kerja dikatakan baik, apabila dapat memberikan toleransi kepada anggota/para pegawai untuk dapat bertindak agresif dan inovatif untuk memajukan organisasi/perusahaan serta berani mengambil risiko terhadap apa yang dilakukannya.

3. Pengarahan

Pengarahan dimaksudkan sejauh mana suatu organisasi/perusahaan dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi, misi dan tujuan perusahaan.

Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.

(18)

4. Integrasi

Integrasi dimaksudkan sejauh mana suatu perusahaan dapat mendorong unit - unit perusahaan untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Kekompakan unit - unit perusahaan dalam bekerja dapat mendorong kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dihasilkan.

5. Dukungan manajemen

Dukungan manajemen dimaksudkan sejauh mana para manajer dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap bawahan.

Perhatian manajemen terhadap bawahan (karyawan) sangat membantu kelancaran kinerja suatu perusahaan.

6. Kontrol

Alat kontrol yang dapat dipakai adalah peraturan - peraturan atau norma - norma yang berlaku dalam suatu perusahaan. Untuk itu diperlukan sejumlah peraturan dan tenaga pengawas (atasan langsung) yang dapat digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai / karyawan dalam suatu perusahaan.

7. Identitas

Identitas dimaksudkan sejauh mana para anggota / karyawan suatu perusahaan dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai satu kesatuan dalam perusahaan dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu atau keahlian profesional tertentu.

Identitas diri sebagai satu kesatuan dalam perusahaan sangat membantu manajemen dalam mencapai tujuan dan sasaran perusahaan.

(19)

8. Sistem Imbalan

Sistem imbalan dimaksudkan sejauh mana alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan sebaliknya didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya.

Sistem imbalan yang didasarkan atas prestasi kerja pegawai dapat mendorong pegawai/ karyawan suatu perusahaan untuk bertindak dan berperilaku inovatif dan mencari prestasi kerja yang maksimal sesuai kemampuan dan keahlian yang dimilikinya.

Sebaliknya, sistem imbalan yang didasarkan atas senioritas dan pilih kasih, akan berakibat tenaga kerja yang punya kemampuan dan keahlian dapat berlaku pasif dan frustasi. Kondisi semacam ini dapat berakibat kinerja perusahaan menjadi terhambat.

9. Toleransi terhadap konflik

Sejauh mana para pegawai / karyawan didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka. Perbedaan pendapat merupakan fenomena yang sering terjadi dalam suatu perusahaan. Namun, perbedaan pendapat atau kritik yang terjadi bisa dijadikan sebagai media untuk melakukan perbaikan atau perubahan strategi untuk mencapai tujuan suatu perusahaan.

10. Pola komunikasi

Sejauh mana komunikasi dapat dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Kadang - kadang hierarki kewenangan dapat menghambat terjadinya pola komunikasi antara atasan dan bawahan atau antar karyawan itu sendiri.

(20)

Untuk dapat menentukan karakteristik budaya kerja yang dapat meningkatkan kinerja perusahaan, diperlukan kriteria ukuran. Kriteria ukuran budaya kerja juga bermanfaat untuk memetakan sejauh mana karakteristik tipe budaya kerja tepat atau relevan dengan kepentingan suatu organisasi karena setiap perusahaan memiliki spesifikasi tujuan dan karakter sumber daya yang berlainan.

Karakteristik perusahaan yang berbeda akan membawa perbedaan dalam karakteristik tipe budaya kerja.

2.1.3 Teori Gaya Kepemimpinan

2.1.3.1 Pengertian Gaya Kepemimpinan

Menurut William (1968) dalam Thoha (2003: 262) kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok. Dan satu hal yang perlu diingat bahwa kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan - aturan atau tata karma birokrasi. Kepemimpinan bisa terjadi dimana saja, asalkan seseorang menunjukkan kemampuannya mempengaruhi perilaku orang lain kearah tercapainya suatu tujuan tertentu.

Bahasan mengenai pemimpin dan kepemimpinan pada umumnya menjelaskan bagaimana untuk menjadi pemimpin yang baik, gaya dan sifat yang sesuai dengan kepemimpinan serta syarat - syarat apa yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin yang baik. Meskipun demikian masih tetap sulit untuk menerapkan seluruhnya, sehingga dalam prakteknya hanya beberapa pemimpin saja yang dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan baik dan dapat

(21)

membawa para pengikutnya kepada keadaan yang diinginkan. Kepemimpinan dapat dikategorikan sebagai ilmu sosial terapan (applied social sciences). Hal ini didasarkan kepada pemikiran bahwa kepemimpinan dengan prinsip - prinsipnya mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan umat manusia.

Kepemimpinan seperti halnya ilmu - ilmu yang lain, mempunyai berbagai fungsi antara lain, menyajikan berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan dalam kepemimpinan dan memberikan pengaruh dalam menggunakan berbagai pendekatan dalam hubungannya dengan pemecahan aneka macam persoalan yang mungkin timbul dalam ekologi kepemimpinan. Kepemimpinan sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, yang mempunyai peran penting dalam rangka proses administrasi. Hal ini didasarkan kepada pemikiran bahwa peran seorang pemimpin merupakan implementasi atau penjabaran dari fungsi kepemimpinan.

Fungsi kepemimpinan merupakan salah satu di antara peran administrator dalam rangka mempengaruhi orang lain atau para bawahan agar mau dengan senang hati untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Gaya kepemimpinan mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995: 142). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang

(22)

dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.

Hersey dan Blanchard (1992: 85) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan.

Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard (1992: 96) mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai: k = f (p, b, s).

Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin.

Adapun situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu

(23)

mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan.

2.1.3.2 Macam-Macam Pemikiran Gaya Kepemimpinan

Ada beberapa jenis gaya kepemimpinan yang di tawarkan oleh para pakar leardership, mulai dari yang klasik sampai kepada yang modern yaitu gaya kepemimpinan situasional model Hersey dan Blancard.

1. Teori Gaya Kepemimpinan Klasik

Teori klasik gaya kepemimpinan mengemukakan, pada dasarnya di dalam setiap gaya kepemimpinan terdapat 2 unsur utama, yaitu unsur pengarahan (directive behavior) dan unsur bantuan (supporting behavior). Dari dua unsur tersebut gaya kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu otokrasi (directing), pembinaan (coaching), demokrasi (supporting), dan kendali bebas (delegating).

(24)

Gambar 1

Gambar 1

Unsur Gaya Kepemimpinan (Teori Klasik) Sumber: Hersey dan Blanchard

Gambar 2

Pengelompokkan Gaya Kepemimpinan Sumber: Hersey dan Blanchard

High Supportive and Low Directive

Behavior SUPPORTING

High Supportive and High Directive

Behavior COACHING

Low Supportive and Low Directive

Behavior DELEGATING

Low Supportive and High Directive

Behavior DIRECTING

SUPPORTIVE BEHAVIOR

DIRECTIVE BEHAVIOR

High Low

(25)

a. Mengarahkan (directing)

Gaya kepemimpinan yang mengarahkan, merupakan respon kepemimpinan yang perlu dilakukan oleh manajer pada kondisi karyawan lemah dalam kemampuan, minat dan komitmennya. Sementara itu, organisasi menghendaki penyelesaian tugas - tugas yang tinggi. Dalam situasi seperti ini Hersey and Blancard menyarankan agar manajer memainkan peran directive yang tinggi, memberi saran bagaimana menyelesaikan tugas - tugas itu, dengan terus intens berhubungan sosial dan komunikasi dengan bawahannya.

Pertama pemimpin harus mencari tahu mengapa orang tersebut tidak termotivasi, kemudian mencari tahu dimana keterbatasannya. Dengan demikian pemimpin harus memberi arahan dalam penyelesaian tugas dengan terus menumbuhkan motivasi dan optimismenya.

b. Melatih (coaching)

Pada kondisi karyawan menghadapi kesulitan menyelesaikan tugas - tugas, takut untuk mencoba melakukannya, manajer juga harus memproporsikan struktur tugas sesuai kemampuan dan tanggung jawab karyawan.

Oleh karena itu, pemimpin hendaknya menghabiskan waktu mendengarkan dan menasihati, dan membantu karyawan untuk memperoleh keterampilan yang diperlukan melalui metode pembinaan.

c. Partisipasi (participation)

Gaya kepemimpinan partisipasi adalah respon manajer yang harus diperankan ketika karyawan memiliki tingkat kemampuan yang cukup, tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab. Hal ini bisa

(26)

dikarenakan rendahnya etos kerja atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas / tangung jawab. Dalam kasus ini pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendegarkan dan mengapresiasi usaha- usaha yang dilakukan para karyawan, sehingga bawahan merasa dirinya penting dan senang menyelesaikan tugas.

d. Mendelegasikan (delegating)

Selanjutnya, untuk tingkat karyawan dengan kemampuan dan kemauan yang tinggi, maka gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya delegasi. Dengan gaya delegasi ini pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap sudah mampu dan mau melaksanakan tugas / tanggung jawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan sendiri dan memutuskannya tentang bagaimana, kapan dan dimana pekerjaan mereka harus dilaksanakan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah, cukup memberikan untuk terus berkembang saja dengan terus diawasi.

Dalam gaya kepemimpinan klasik juga diperkenalkan beberapa gaya kepemimpinan lain yang cukup populer yang pada prinsipnya merupakan sama seperti gaya klasik diatas maupun gabungan dari beberapa gaya klasik yang disebutkan sebelumnya. Gaya kepemimpinan tersebut adalah gaya kepemimpinan otokrasi, gaya kepemimpinan pembinaan, gaya kepemimpinan demokrasi dan gaya kepemimpinan kendali bebas.

Pada gaya kepemimpinan otokrasi pemimpin mengendalikan semua aspek kegiatan. Pemimpin memberitahukan sasaran apa saja yang ingin dicapai dan cara

(27)

untuk mencapai sasaran tersebut, baik itu sasaran utama maupun sasaran minornya. Pemimpin juga berperan sebagai pengawas terhadap semua aktivitas anggotanya dan pemberi jalan keluar bila anggota mengalami masalah. Dengan kata lain, anggota tidak perlu pusing memikirkan apappun. Anggota cukup melaksanakan apa yang diputuskan pemimpin. Gaya kepemimpinan pembinaan mirip dengan otokrasi. Pada gaya kepemimpinan ini seorang pemimpin masih menunjukkan sasaran yang ingin dicapai dan cara untuk mencapai sasaran tersebut. Namun, pada kepemimpinan ini anggota diajak untuk ikut memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Pada Gaya kepemimpinan demokrasi anggota memiliki peranan yang lebih besar. Pada kepemimpinan ini seorang pemimpin hanya menunjukkan sasaran yang ingin dicapai saja, tentang cara untuk mencapai sasaran tersebut, anggota yang menentukan. Selain itu, anggota juga diberi keleluasaan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Gaya kepemimpinan kendali bebas merupakan model kepemimpinan yang paling dinamis. Pada gaya kepemimpinan ini seorang pemimpin hanya menunjukkan sasaran utama yang ingin dicapai saja. Tiap divisi atau seksi diberi kepercayaan penuh untuk menentukan sasaran minor, cara untuk mencapai sasaran, dan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sendiri - sendiri.

Dengan demikian, pemimpin hanya berperan sebagai pemantau saja. Lalu, gaya kepemimpinan yang mana yang sebaiknya dijalankan? Jawaban dari pertanyaan ini adalah tergantung pada kondisi anggota itu sendiri. Pada dasarnya tiap gaya kepemimpinan hanya cocok untuk kondisi tertentu saja. Dengan mengetahui kondisi nyata anggota, seorang pemimpin dapat memilih model

(28)

kepemimpinan yang tepat. Tidak menutup kemungkinan seorang pemimpin menerapkan gaya yang berbeda untuk divisi atau seksi yang berbeda.

Kepemimpinan otokrasi cocok untuk anggota yang memiliki kompetensi rendah tapi komitmennya tinggi. Kepemimpinan pembinaan cocok untuk anggota yang memiliki kompetensi sedang dan komitmen rendah. Kepemimpinan demokrasi cocok untuk anggota yang memiliki kompetensi tinggi dengan komitmen yang bervariasi. Sementara itu, kepemimpinan kendali bebas cocok untuk angggota yang memiliki kompetensi dan komitmen tinggi.

2. Gaya kepemimpinan situasional model Hersey dan Blancard.

Mengambil contoh kepada manajer dari suatu perusahaan yang berhasil menerapkan gaya kepemimpinan situasional di perusahaan yang dipimpinnya.

a. Gaya Kepemimpinan Kontinum

Gaya ini pertama sekali dikembangkan oleh Robert dan Schmidt. Menurut kedua ahli ini ada dua bidang pengaruh yang ekstrim, yaitu:

1) Bidang pengaruh pimpinan (pemimpin lebih menggunakan otoritas)

2) Bidang pengaruh kebebasan bawahan (pemimpin lebih menekankan gaya demokratis)

b. Gaya Managerial Grid

Sesungguhnya, gaya managerial grid lebih menekankan kepada pendekatan dua aspek yaitu aspek produksi di satu pihak, dan orang - orang di pihak lain.

Blake dan Mouton menghendaki bagaimana perhatian pemimpin terhadap produksi dan bawahannya (followers).

(29)

Dalam managerial grid, ada empat gaya yang ekstrim dan ada satu gaya yang berada di tengah-tengah gaya ekstrim tersebut.

1) Grid 1 manajer sedikit sekali memikirkan produksi yang harus dicapai.

sedangkan juga sedikit perhatian terhadap orang - orang (followers) di dalam organisasinya. Dalam grid ini manajer hanya berfungsi sebagai perantara menyampaikan informasi dari atasan kepada bawahannya.

2) Grid 2 manajer mempunyai perhatian yang tinggi terhadap produksi yang akan dicapai juga terhadap orang-orang yang bekerja dengannya. Manajer seperti ini dapat dikatakan sebagai manajer tim yang riil (The real team manajer) karena ia mampu menyatukan antara kebutuhan - kebutuhan produksi dan kebutuhan orang - orang secara individu.

3) Grid 3 manajer memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap orang - orang dalam organisasi, tetapi perhatian terhadap produksi adalah rendah.

Manajer seperti ini disebut sebagai pemimpin club. Gaya seperti ini lebih mengutamakan bagaimana menyenangkan hati bawahannya agar bawahannya dapat bekerja rileks, santai, bersahabat, tetapi tidak ada seorangpun yang berusaha untuk mencapai produktlvitas.

4) Grid 4 adalah manajer yang menggunakan gaya kepemimpinan yang otokratis (autrocratic task managers), karena manajer seperti ini lebih menekankan produksi yang harus dicapai organisasinya, baik melalui efisiensi atau efektivitas pelaksanaan kerja, tetapi tidak mempunyai atau sedikit mempuyai perhatian terhadap bawahan.

Pemimpin yang baik adalah lebih memperhatikan terhadap produksi yang

(30)

akan dicapai maupun terhadap orang-orang. Grid seperti ini berusaha menyeimbangkan produksi yang akan dicapai dengan perhatian terhadap orang - orang, dalam arti tidak terlalu menyolok. Manajer seperti ini tidak terlalu menciptakan target produksi yang akan dicapai, tetapi juga tidak mempunyai perhatian yang tidak terlalu menyolok kepada orang-orang.

3. Gaya Kepemimpinan Situasional Dan Produktivitas Kerja

Gaya kepemimpinan secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh yang positif terhadap peningkatan produktivitas kerja karyawan atau pegawai. Hal ini didukung oleh Sinungan (1987: 124) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang termasuk di dalam lingkungan organisasi merupakan faktor potensi dalam meningkatkan produktivitas kerja. Dewasa ini, banyak para ahli yang menawarkan gaya kepemimpinan yang dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan, dimulai dari yang paling klasik yaitu teori sifat sampai kepada teori situasional. Dari beberapa gaya yang di tawarkan para ahli di atas, maka gaya kepemimpinan situasionallah yang paling baru dan sering di gunakan pemimpin saat ini. Gaya kepemimpinan situasional dianggap para ahli manajemen sebagai gaya yang sangat cocok untuk diterapkan saat ini. Sedangkan untuk bawahan yang tergolong pada tingkat kematangan yaitu bawahan yang tidak mampu tetapi berkemauan, maka gaya kepemimpinan yang seperti ini masih pengarahan, karena kurang mampu, juga memberikan perilaku yang mendukung.

Dalam hal ini pimpinan atau pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah (two way communications) yaitu untuk membantu bawahan dalam meningkatkan motivasi kerjanya. Selanjutnya, yang mampu tetapi tidak mau melaksanakan tugas

(31)

atau tangung jawabnya. Bawahan seperti ini sebenarnya memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan, akan tetapi kurang memiliki kemauan dalam melaksanakan tugas.

Untuk meningkatkan produktivitas kerjanya, dalam hal ini pemimpin harus aktif membuka komunikasi dua arah dan mendengarkan apa yang diinginkan oleh bawahan. Sedangkan gaya delegasi adalah gaya yang cocok diterapkan pada bawahan yang memiliki kemauan juga kemampuan dalam bekerja. Dalam hal ini pemimpin tidak perlu banyak memberikan dukungan maupun pengarahan, karena dianggap bawahan sudah mengetahui bagaimana, kapan dan dimana mereka barus melaksanakan tugas atau tangung jawabnya.

Dengan penerapan gaya kepemimpinan situasional ini, maka bawahan atau pegawai merasa diperhatikan oleh pemimpin, sehingga diharapkan produktivitas kerjanya akan meningkat.

Harsey & Blanchard mengembangkan model kepemimpinan situasional efektif dengan memadukan tingkat kematangan anak buah dengan pola perilaku yang dimiliki pimpinannya.

Ada 4 tingkat kematangan bawahan, yaitu:

M 1: Bawahan tidak mampu dan tidak mau atau tidak ada keyakinan.

M 2: Bawahan tidak mampu tetapi memiliki kemauan dan keyakinan bahwa ia bisa.

M 3: Bawahan mampu tetapi tidak mempunyai kemauan dan tidak yakin.

M 4: Bawahan mampu dan memiliki kemauan dan keyakinan untuk menyelesaikan tugas.

(32)

Ada 4 gaya yang efektif untuk diterapkan yaitu:

Gaya 1: Telling, pemimpin memberi instruksi dan mengawasi pelaksanaan tugas dan kinerja anak buahnya.

Gaya 2: Selling, pemimpin menjelaskan keputusannya dan membuka kesempatan untuk bertanya bila kurang jelas.

Gaya 3: Participating, pemimpin memberikan kesempatan untuk menyampaikan ide-ide sebagai dasar pengambilan keputusan.

Gaya 4: Delegating, pemimpin melimpahkan keputusan dan pelaksanaan tugas kepada bawahannya.

4. Kontinum Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan kontinum dipelopori oleh Robert dan Warren Schmidt. Kedua ahli menggambarkan gagasannya bahwa ada dua bidang pengaruh yang ekstrem , pertama bidang pengaruh pimpinan kedua bidang pengaruh kebebasan bawahan. Gaya kepemimpinan managerial grid dipelopori oleh Robert R Blake dan Jane S Mouton. Dalam pendekatan managerial grid ini, manajer berhubungan dengan 2 hal yakni produksi di satu pihak dan orang - orang di pihak lain. Managerial Grid menekankan bagaimana manajer memikirkan produksi dan hubungan manajer serta memikirkan produksi dan hubungan kerja dengan manusianya. Bukannya ditekankan pada berapa banyak produksi harus dihasilkan dan berapa banyak ia harus berhubungan dengan bawahan.

Model Kepemimpinan Kontinum (Otokratis - Demokratis). Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994: 164) berpendapat bahwa pemimpin mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara yaitu dari cara yang

(33)

menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku demokratis. Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif di mana sumber kuasa atau wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di tangan pemimpin karena pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada dirinya serta memegang tanggung jawab penuh sedangkan bawahannya dipengaruhi melalui ancaman dan hukuman. Selain bersifat negatif gaya kepemimpinan ini mempunyai manfaat yakni antara lain pengambilan keputusan cepat, dapat memberikan kepuasan pada pimpinan serta memberikan rasa aman dan keteraturan bagi bawahan. Selain itu orientasi utama dari perilaku otokratis ini adalah pada tugas.

Perilaku demokratis yakni perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini terjadi jika bawahan dimotivasi dengan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan kepemimpinannya berusaha mengutamakan kerjasama dan team work untuk mencapai tujuan, di mana si pemimpin senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya. Kebijakan di sini terbuka bagi diskusi dan keputusan kelompok.

Namun, kenyataannya perilaku kepemimpinan ini tidak mengacu pada dua model perilaku kepemimpinan yang ekstrim di atas, melainkan memiliki kecenderungan yang terdapat di antara dua sisi ekstrim tersebut. Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994: 180) mengelompokkannya menjadi tujuh kecenderungan perilaku kepemimpinan. Ketujuh perilaku inipun tidak mutlak melainkan akan memiliki kecenderungan perilaku kepemimpinan

(34)

mengikuti suatu garis kontinum dari sisi otokratis yang berorientasi pada tugas sampai dengan sisi demokratis yang berorientasi pada hubungan.

2.1.4 Teori Disiplin Kerja

2.1.4.1 Pengertian Disiplin Kerja

Secara umum disiplin kerja adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk melatih diri dalam melaksanakan kegiatan dengan baik dan benar. Untuk memperkuat tentang pengertian disiplin kerja, maka ada beberpa pengertian disiplin kerja menurut para ahli. Menurut Tohardi (2002: 393) Disiplin kerja adalah perilaku seseorang yang sesuai dengan peraturan prosedur kerja yang ada

Menurut Sondang (2002: 284) Disiplin adalah suatu bentuk peraturan pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengatahuan, sikap dan perilaku karyawan sehingga para karyawan tersebut secara sukarela berusaha bekerja secara teratur dengan para karyawan yang lain serta meningkatkan prestasi kerjanya’’

Instansi pemerintah pada umumnya menginginkan agar para pegawai yang bekerja dapat mematuhi tata tertib atau peraturan yang telah ditetapkan. Dengan ditetapkannya peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis, diharapkan agar para keryawan dapat melaksnakan sikap disiplin dalam bekerja sehingga produktifitasnya pun meningkat. Disiplin kerja dapat didefinisikan sebagai suatu sikap menghormati, menghargai, patuh dan taat terhadap perturan - peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk meneria sanksi - saksinya apabila ia

(35)

melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya (Sastrohadiwiryo, 2001: 291).

Pendapat lain merumuskan bahwa disiplin kerja adalah kesadaran dan sesediaan seseorang menaati semua peraturan dan norma - norma sosial yang berlaku. Kesadaran adalah sikap seseorang yang secara sukarela menaati semua peraturan dan sada akan tugas dan tanggung jawabnya, kesediaan adalah sikap, tingkah laku dan peraturan perusahaan, baik yang tertulis maupun tidak.

(Hasibuan, 2002: 193).

Berdasarkan dua pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja adalah sikap pada pegawai untuk berperilaku sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dimana dia bekerja serta suatu usaha dari manajemen organisasi untuk menerapkan atau menjalankan peraturan ataupun ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap karyawan tanpa terkecuali.

Sedangkan tindakan disiplin itu sendiri adalah pengurangan yang dipaksakan oleh pimpinan terhadap imbalan yang diberikan oleh organisasi karena adanya suatu kasus tertentu. Tindakan disiplin ini tidak termasuk pemberhentian sementara atau penurunan jumlah tenaga kerja yang disebabkan oleh kejadian - keadian perilaku khusus dari pegawai yang menyebabkan rendahnya produktivitas atau pelanggaran - pelanggaran aturan instansi.

Disiplin yang mantap pada hakekatnya akan tumbuh dan terpancar dari hasil kesadaran manusia. Disiplin yang tidak bersumber dari hati nurani manusia akan menghasilkan disiplin yang lemah dan tidak tahan lama. Disiplin akan tumbuh dan dapat dibina melalui latihan, pendidikan atau penanaman kebiasaan

(36)

dengan keteladanan - keteladanan tertentu, yang harus dimulai sejak ada dalam lingkungan keluarga, mulai pada masa kanak - kanak dan terus tumbuh berkembang dan menjadikannya bentuk disiplin yang semakin kuat (Prijodarminto, 1994: 25).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa disiplin mengacu pada pola tingkah laku, dengan ciri - ciri sebagai berikut:

1. Adanya hasrat yang kuat untuk untuk melaksanakan sepenuhnya apa saja telah menjadi norma, etika dan kaidah yang berlaku

2. Adanya perilaku yang terkendali 3. Adanya ketaatan

Dengan demimikian disiplin kerja dapat dilihat dari:

1. Kepatuhan karyawan terhadap tata tertib yang berlaku termasuk tepat waktu dan tanggung jawabnya pada pekerjaan.

2. Bekerja sesuai dengan prosedur yang ada.

3. Memelihara perlengkapan kerja dengan baik.

Disiplin dalam bekerja sangatlah penting sebab dengan kedisiplinan tersebut deharapkan sebagian besar peraturan ditaaati oleh para pegawai, bekerja sesuai dengan prosedur dan sebagainya sehingga pekerjaan terselesaikan secara efektif dan efisien serta dapat meiningkatkan produktivitasnya. Oleh karena itu bila pegawai tidak menggunakan aturan - aturan yang ditetapkan oleh pemerintah, maka tindakan disiplin merupakan langkah terakhir yang bisa diambil terhadap seorang pegawai yang performansi kerjanya dibawah standar.

(37)

Tindakan disiplin ini dapat berupa teguran - teguran (reprimands), skorsing (suspension), penurunan pangkat (reduction in rank) dan pemecatan (firing). Tindakan disiplin ini tidak termasuk pemberentian sementara atau penurunan jumlah tenaga kerja yang desebabkan oleh pengurangan anggaran atau kurangnya kerja. Tindakan - tindakan disipliner ini disebabkan oleh kejadian - kejadian perilaku khusus dari pegawai yang menyebabkan rendahnya produktivitas atau pelanggaran - pelangggarann aturan - aturan instansi (Gomes, 2000: 232).

Pelaksanaan disiplin berangkat dari asumsi bahwa sejumlah permasalahan lainnya sudah diatasi, seperti mengenai rancangan pekerjaan (job design), seleksi, orientasi, penilaian performa dan kompensasi.

2.1.4.2 Jenis-jenis Disiplin Kerja

Menurut Handoko (1998: 208), disiplin kerja dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:

1. Disiplin Preventif

Merupakan kegiatan yang dilakukan dengan maksud untuk mendorong para karyawan agar secara sadar mentaati berbagai standard dan aturan, sehingga dapat dicegah berbagai penyelewengan atau pelanggaran. Lebih utama dalam hal ini adalah dapat menumbuhkan Self Dicipline pada setiap karyawan tanpa terkecuali. Manajemen mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan suatu iklim disiplin preventif dimana berbagai standar diketahui dan dipahami.

Untuk memungkinkan iklim yang penuh disiplin kerja tanpa paksaan tersebut perlu kiranya standar itu sendiri bagi setiap pegawai, dengan demikian

(38)

dicegah kemungkinan - kemungkinan timbulnya pelanggaran - pelanggaran atau penyimpangan dari standar yang ditentukan.

2. Disiplin Korektif

Disiplin ini merupakan kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran yang telah terjadi terhadap aturan - aturan dan mencoba untuk menghindari pelanggaran lebih lanjut. Kegiatan korektif ini dapat berupa suatu betuk hukuman dan disebut tindakan pendisiplinan (disciplinary action).

3. Disiplin Progresif

Disiplin ini berarti memberikan hukuman - hukuman yang lebih berat terhadap pelanggaran - pelanggaran yang berulang. Tujuannya adalah membiarkan kesempatan kepada karyawan untuk mengambil tindakan korektif sebelum hukuman - hukuman yang lebih serius dilaksanakan. Disiplin progresif juga memungkinkan manajemen untuk membanntu karyawan memperbaiki kesalahan.

Disiplin dapat dibedakan berdasarkan tingkatnya yaitu (Prijodarminto, 1994: 25):

1. Disiplin Pribadi

Disiplin pribadi sebagai perwujudan yang lahir dari kepatuhan atas aturan - aturan yang mengatur perilaku individu.

2. Disiplin Kelompok

Disiplin kelompok sebagai perwujudan yang lahir dari sikap taat, patuh terhadap aturan - aturan (hukum) dan norma - norma yang berlaku pada kelompok atau bidang - bidang kehidupan manusia.

(39)

3. Disiplin Nasional

Disiplin nasional yakni wujud disiplin yang lahir dari sikap patuh yang ditunjukkan oleh seluruh lapisan masyarakat terhadap aturan - aturan nilai yang belaku secara nasional.

Selanjutnya Moenir (2006: 96) mengatakan bahwa Disiplin kerja dapat dilihat dari dua sisi yakni:

1. Disiplin Waktu adalah jenis disiplin yang sangat mudah dilihat dan dikontrol baik oleh manajemen yang bersangkutan dengan masyarakat, contohnya melalui sistem daftar absensi atau sistem apel. Pendisiplinan pegawai atau pekerja yang dapat ditempuh,misalnya mengadakan absensi 2 - 3 kali sehari, dan apel pagi dan apel waktu terakhir jam kerja atau lain - lain.

2. Disiplin Kerja ialah isi pekerja pada dasarnya terdari dari metode pengerjaan,prosedur kerja, waktu dan jumlah unit yang diterapkan dengan mutu yang telah dibakukan.

Dalam setiap organisasi atau perusahaan yang diinginkan adalah jenis disiplin preventif yang timbul dari diri sendiri atas dasar kerelaan dan kesadaran.

Akan tetapi dalam kenyataan selalu mengatakn bahwa disiplin itu lebuh banyak desebabkan adanya paksaan dari luar dan hak - hak pegawai sudah menjadi alat pengenalan yang tepat kepada disiplin pegawai, karena hak - hak pegawai sering kali merupakan masalah dalam kasus - kasus disiplin karyawan. Demikian juga dalam penelitian ini jenis - jenis disiplin kerja yang dikaji adalah disiplin preventif yang dilaksanakan untuk mendorong pegawai agar mengikuti aturan yang telah ditetapkan.

(40)

2.1.4.3 Pendekatan Dalam Disiplin

Sistem disiplin pegawai dapat dipadang suatu penerapan modifikasi perilaku untuk pegawai bermasalah atau pegawai yang tidak produktif. Disiplin yang terbaik adalah jelas disiplin diri, karena sebagain besar orang memahami apa yang diharapkan dari dirinya diperkerjaan dan biasanya karyawan diberi kepercayaan untuk menjalankan pekerjaannya secara efektif. Adapun pendekatan - pendekatan dalam disiplin kerja karyawan (Mathis dkk, 2002: 314) adalah : 1. Pendekatan Disiplin Positif

Pendekatan disiplin positif dibangun berdasarkan filosofi bahwa pelanggaran merupakan tidakan yang biasanya dapat dikoreksi secara konstruktif tanpa perlu hukuman. Dalam pendekatan ini fokusnya adalah pada penemuan fakta dan bimbingan untuk mendorong perilaku yang diharapkan, dan bukannya menggunakan hukuman (penalti) untuk mencegah perilaku ang tidak diharapkan.

Kekuatan pendekatan positif ini dalam disiplin adalah fokusnya pada pemecahan masalah. Juga karena karyawan merupakan partisipan aktif disela proses tersebut, maka instansi yang menggunakan pendekatan ini cenderung memenangkan tuntutan hukum jika karyawan mengajukan tuntutan. Kesulitan utama dengan pendekatan positif terhadap disiplin adalah jumlah waktu yang sangat lama untuk melatih para supervisor dan manajer yang diperlukan.

2. Pedekatan Disilin Progresif

Disiplin progresif melambangkan sejumlah langkah dalam membentuk perilaku karyawan. Kebanyakan prosedur disiplin progresif menggunakan

(41)

peringatan lisan dan tulisan sebelum berlanjut ke PHK. Dengan demikian, disiplin progresif menekankan bahwa tindakan-tindakan dalam memodifikasi perilaku akan bertambah berat secara progresif (bertahap) jika karyawan tetap menunjukkan perilaku yang tidak layak.

2.1.4.4 Indikator - indikator Kedisiplinan

Ada beberapa indikator yang dapat mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan suatu organisasi diantaranya (Hasibuan, 2002: 195) :

1. Tujuan dan Kemampuan

Tujuan dan kemampuan ikut mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan.

Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup menantang bagi kemampuan pegawai. Hal ini berarti bahwa tujuan (pekerjaan) yang dibebankan kepada karyawan harus sesuai dengan kemampuan pegawai bersangkutan, agar dia bekerja sungguh - sungguh dan disiplin dalam mengerjakannya.

2. Kepemimpinan

Kepemimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan karyawan karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya.

Pimpinan jangan mengharapkan kedisiplinan bawahannya baik jika dia sendiri kurang disiplin.

3. Balas Jasa

Balas jasa (gaji dan kesejahteraan) ikut mempengaruhi kedisiplinan karyawan karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan terhdap

(42)

pekerjaannya. Jika kecintaan karyawan semakin baik terhadap pekerjaan, kedisiplinan mereka akan semakin baik pula.

4. Keadilan

Keadilan ikut mendorong terwudnya kedisiplinan karyawan karena ego dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan meminta diperlakukan sama dengan manusia lainya. Dengan keadilan yang baik akan menciptakan kedisiplinan yang baik pula. Jadi keadilan harus diterapkan dengan baik pada setiap instansi supaya kedisiplinan pegawai baik pula.

5. Waskat

Waskat (pengawasan melekat) adalah tidakan nyata dan paling efektif dalam mewujudkan kedisiplinan pegawai instansi. Waskat efektif dalam merangsang kedisiplinan dan moral kerja pegawai. Pegawai merasa mendapat perhatian, bimbingan, petunjuk, pengarahan, dan pengawasan dari atasannya.

6. Ketegasan

Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan mempengaruhi kedisiplinan pegawai. Pimpinan harus berani dan tegas bertindak untuk menghukum setiap karyawan yang indisipliner sesuai dengan sanksi hukuman yang telah ditetapkan. Ketegasan pimpinan menegur dan menghukum setiap karyawan yang indisipliner akan mewujudkan kedisplinan yang baik pada instansi pemerintah yang ditempati.

(43)

7. Sanksi

Sanksi berperan penting dalam memelihara kedisiplinan karyawan. Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, pegawai akan semakin takut melanggar peraturan - peraturan, sikap, perilaku insipliner akan berkurang.

Sedangkan menurut Prijodarminto (1994: 89) faktor yang dapat mempengaruhi disiplin adalah sebagai berikut:

1. Motivasi Kerja

Pentingnya kerja karena motivasi kerja adalah hal yang menyebakan menyalurkan dan mendukung perilaku manusia supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal.

2. Kepemimpinan

Kepemimpinan sangatlah berperan menentukan kedisiplinan karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya.

3. Komunikasi

Komunikasi merupakan kegiatan untuk saling member keterangan dan ide secara timbal balik, yang diperlukan dalam setiap usaha kerjasama manusia untuk mencapai tujuan tertentu.

4. Lingkungan Kerja

Dengan lingkungan kerja yang baik dan aman maka dapat meningkatkan produktifitas kerja para pegawai.

(44)

2.1.4.5 Pelaksanaan dan Penetapan Disiplin Kerja

Pembinaan menunjukkan adanya kemajuan, peningkatan, evolusi atas berbagai kemungkinan, berkembang, atau peningkatan atas sesuatu. Menurut Sastrodiwiryo (2004: 14) Pembinaan adalah demi kelangsungan perusahaan sesuai dengan motif perusahaan, baik hari ini maupun hari esok. Menurut Raharjo (2000:44), bahwa pembinaan disiplin kerja adalah upaya untuk menggali potensi dan kompetensi kualitas kerja

Kecenderungan manusia kearah tidak disiplin daripada kearah disiplin, untuk itulah agar manusia ini menjadi disiplin yang harus diusahakan. Merancang karakter seseorang agar menjadi disiplin dapat dimulai sejak kecil, remaja dan dapat juga dilakukan pada orang dewasa, yaitu mereka yang bekerja di berbagai organisasi atau perusahaan.

Menurut Tohardi (2002: 397) ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam metode pembinaan disiplin tersebut, diantara lain adalah:

1. Funishment and Reward ialah punishment (hukuman) dan reward (Hadiah) dapat digunakan sebagai upaya penerapan disiplin seorang pekerja, pegawai maupun buruh organisasi dalam perusahaan.

2. Adil dan tegas ialah penegakan hukum, peraturan, prosedur kerja harus adil dan tegas yakni harus untuk semua orang yang ada di organisasi atau perusahaan.

3. Motivasi ialah pihak-pihak yang berkompetensi diorganisasi atau perusahaan harus memberikan penjelasan apa manfaat yang akan diperoleh organisasi

(45)

oleh karyawan yang bersangkutan apa yang akan diperoleh organisasi atau perusahaan bila seseorang disiplin dalam bekerja.

4. Keteladanan ialah bimbingan-bembingan yang dapat memberikan keteladanan yang baik, akan menambah bahwa sehingga segala sikap dan perilaku pimpinan selalu menjadi rujukan atau panutan bawahan.

5. Lingkungan yang kondusif ialah lingkungan sosial yang tepat kerja yang kondusif, bila mengharapkan orang-orang yang bekerja di sana berdisiplin tinggi.

Untuk mengkondisikan pegawai instansi pemerintah agar bisa melaksanakan tindakan disiplin maka terdapat beberapa prinsip pendisiplinan (Heidjrachman, dkk, 1990: 239):

1. Pendisiplinan dilakukan secara pribadi

Pendisiplinan ini dilakukan dengan menghindari menegur kesalahan didepan orang banyak agar karyawan yang bersangkutan tidak meraa malu dan sakit hati. Hal ini akan memalukan bawahan yang ditegur (meskipun mungkin memang benar bersalah) sehingga bisa menimbulkan rasa dendam.

2. Pendisiplinan harus bersifat membangun

Dalam pendisiplinan ini selain menunjukkan kesalahan yang telah dilakukan oleh karyawan haruslah diikuti dengan petunjuk cara pemecahannya yang bersifat membangun sehingga karyawan tidak merasa bingung dalam menghadapi kesalahan yang telah dilakukan dan dapat memperbaiki kesalahan tersebut.

(46)

3. Pendisiplinan dilakukan secara langsung dengan segera

Suatu tindakan dilakukan dengan segera setelah terbukti bahwa karyawan telah melakukan kesalahan sehingga karyawan dapat mengubah sikapnya secepat mungkin.

4. Keadilan dalam pendisiplinan sangat diperlukan

Dalam tindakan pendisiplinan dilakukan secara adil tanpa pilih kasih, siapa pun yang telah melakukan kesalahan harus mendapatkan tindakan disiplin secara adil tanpa membeda - bedakan.

5. Pemimpin hendaknya tidak melakukan pendisiplinan sewaktu karyawan absen. Pendisiplinan hendaknya dilakukan dihadapan karyawan yang bersangkutan secara pribadi agar dia tahu telah melakukan kesalahan.

6. Setelah pendisiplinan hendaknya wajar kembali

Sikap wajar hendaknya dilakukan pemimpin terhadap karyawan yang telah melakukan kesalahan tersebut, sehingga proses kerja dapat berjalan lancar kembali dan objektif dalam bersikap.

Salah satu syarat agar ditumbuhkan disiplin dalam lingkungan kerja adalah adanya pembagian pekerjaan yang tuntas sampai kepada pegawai atau pekerjaan yang paling bawah, sehingga setiap orang tahu dengan sadar apa tugasnya, bagaimana melakukannya, kapan pekerjaan dimualai dan kapan deselesaikan, seperti apa hasil kerja yang disyaratkan dan kepada siapa ia mempertanggung jawabkan hasil pekerjaan itu.

Disiplin harus dipelihara dalam lingkungan kerja. Salah satu bentuk pemeliharaan aturan adalah kedisiplinan dalam pelaksanaan secara tertib dan

(47)

konsisten. Melalui disiplin yang tinggi pelaksanaan suatu aturan dapat mencapai maksud dan dapat dirasakan manfaatnya oleh semua pihak, dengan ketentuan bahwa aturan itu dibuat setelah mempertimbangkan asas keadilan dan manfaatnya bagi kepentingan umum.

Disiplin kerja dalam pelaksanaannya harus senantiasa dipantau dan diawasi, disamping itu harusnya sudah menjadi perilaku yang baku bagi setiap pekerja dalam suatu organisasi.

Dalam pendisiplinan kerja ada bebrapa faktor yang perlu diperhatikan yakni:

1. Pembagian tugas dan pekerjaan telah dibuat lengkap dan dapat diketahui dengan sadar oleh para pekerja.

2. Adanya petunjuk kerja yang singkat, sederhana dan lengkap.

3. Kesadaran setiap pekerja terhadap suatu tugas atau pekrjaan yang menjadi tanggung jawabnya.

4. Perlakuan adil terhadap setiap penyimpangan oleh manajer.

5. Adanya keinsyafan para pekerja bahwa akibat dari kecerobohan atau kelalaian dapat merugikan organisasi dan dirinya serta ada kemungkinan membahayakan orang lain.

Penetapan tindakan disiplin dalam instasi sangatlah penting, karena sistem tindakan disiplin dan prosedur - prosedur yang diperlukan untuk proteksi terhadap hak - hak prosedural dari pegawai. Tindakan disiplin adalah langkah terakhir dalam mengawasi pegawai karena tindakan disiplin itu menandakan adanaya kegagalan untuk saling menyesuaikan dengan kontrak (Gomes, 2000: 233).

(48)

Banyak pegawai yang mungkin tidak melaksanakan aturan - aturan kepegawaian, karena para pegawai mungkin merasa bahwa mereka sedang tidak diperlakukan secara adil sesuai dengan kontribusi yang telah mereka berikan kepada organisasi, atau diperlakukan secara tidak adil atau tidak sama dengan pegawai-pegawai yang lain. Mereka bisa juga menggunakan sestem pengaduan yang ada untuk menggugat apa yang mereka anggap tidakan disiplin yang tidak adil yang dibuat oleh organisasi.

Menurut Gomes (2000: 242) tujuan tindakan disiplin adalah untuk melinungi organisasi dari para pegawai yang tidak produktif. Prosedur - prosedur pengaduan disatu pihak dikembangkan untuk melindungi para pegawai terhadap alokasi yang tidak adil dari sanksi - sanksi dan imbalan - imbalan dari organisasi.

Banyak pegawai mungkin tidak melaksanakan aturan-aturan kepegawaian, karena para karyawan mungkin merasa bahwa mereka sedang tidak diperlakukan secara adil sesuai dengan kontribusi yang telah mereka berikan kepada organisasi, atau diperlukan secara tidak adil atau tidak sama dengan pegawai - pegawai yang lai. Mereka bisa juga menggunakan sistem pengaduan yang ada untuk menggugat apa yang mereka anggap tindakan disiplin yang tidak adil yang dibuat oleh organisasi.

2.1.4.6 Manfaat Disiplin kerja

Rasa kepedulian pegawai yang tinggi sangat mempengaruhi pencapaian tujuan yang akan meningkatkan kemajuan kedisiplinan bagi pegawai, serta dengan semangat yang tinggi dalam melakukan pekerjaan dapat membangkitkan gairah kerja yang tinggi dan untuk meningkatkan inisiatif dalam pencapaian

Gambar

Gambar 3  Rerangka Pemikiran   KEPUASAN KERJA (KK) GAYA KEPEMIMPINAN (GK) BUDAYA KERJA  (BK) DISIPLIN KERJA (DK)

Referensi

Dokumen terkait

dalam tiga tahap yaitu pra produksi, produksi, dan pasca produksi.Hasil dari Pembuatan Animasi 2D Edukasi Iklan Layanan Masyarakat Kesehatan Gigi Anak berupa tayangan video

Senior Trainer Service Leadership ini juga sebagai corporate consultant untuk beberapa perusahaan lokal dan international yang memfokuskan diri pada bidang Leadership, Pengukuran

Pengujian BET dilakukan untuk mengetahui luas permukaan aktif dari WO 3 dalam bentuk serbuk menggunakan alat Quantachrome autosorb iQ, prosesnya dengan memberikan pemanasan

Deli Serdang dengan tujuan ke Kota Binjai dan setelah terdakwa sampai di Kota Binjai terdakwa mencari pekerjaan di Pajak Tavip Binjai namun tidak ketemu dan

15 Efektivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil dari penggunaan model pembelajaran problem based instruction (PBI), think pair share (TPS), dan

Tercapainya pengelolaan dan pemeliharaan sarana rumah sakit dengan baik, bermutu, profesional dan memuaskan sesuai dengan standar operasional prosedur yang berlaku

Kesalahan posisi pada sudut sirip dari yang seharusnya akan berakibat pada sikap pesawat terbang yang tidak sesuai dengan sikap normalnya, yang akan mengakibatkan

Hasil penelitian ini relevan dengan studi Velligan, Sajatovic dan Kramata (2016) yang mengemukakan bahwa alasan utama penyebab orang dengan gangguan jiwa kronis tidak