II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pelayanan Publik
1. Pengertian Pelayanan
Menurut Sedarmayanti (2009: 243) pelayanan berarti melayani suatu jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam segala bidang. Pelayanan pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai aktifitas seseorang, sekelompok/dan organisasi baik langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan.
Monir (2003: 16) dalam Pasolong (2007: 128) mengatakan bahwa pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktifitas orang lain secara langsung.
Sedangkan menurut Albrecht dalam Lovelock (1992) dalam Sedarmayanti (2009:
243) pelayanan adalah suatu pendekatan organisasi total yang menjadi kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa, sebagai kekuatan penggerak utama dalam pengoperasian bisnis.
2. Pengertian Pelayanan Publik
Pelayanan publik menurut Sinambela (2005: 5) dalam Pasolong (2007: 128) adalah sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Agung Kurniawan (2005: 6) dalam Pasolong (2007:128) mengatakan bahwa pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Definisi pelayanan publik menurut Kepmenpan No. 25 Tahun 2004 adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dala rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Kepmenpan No. 58 Tahun 2002 mengelompokkan tiga jenis pelayanan dari instansi pemerintah serta BUMN/BUMD. Pengelompokkan jenis pelayanan tersebut didasarkan pada ciri-ciri dan sifat kegiatan serta produk pelayanan yang dihasilkan, yaitu (1) pelayanan administratif, (2) pelayanan barang, (3) pelayanan jasa.
Jenis pelayanan administratif adalah jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa pencatatan, penelitian, pengambilan keputusan, dokumentasi dan kegiatan tata usaha lainnya yang secara keseluruhan menghasilkan produk akhir berupa dokumen, misalnya sertifikat, ijin-ijin, rekomendasi, keterangan dan lain-lain. Misalnya jenis pelayanan sertifikat tanah, pelayanan IMB, pelayanan admnistrasi kependudukan (KTP, NTCR, akte kelahiran dan akte kematian).
Jenis pelayanan barang adalah pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa kegiatan penyediaan atau pengolahan bahan berwujud fisik termasuk distribusi dan penyampaiannya kepada konsumen langsung dalam suatu sistem.
Secara keseluruhan kegiatan tersebut menghasilkan produk akhir berwujud benda atau yang dianggap benda yang memberikan nilai tambah secara langsung bagi penggunaannya.
Jenis pelayanan jasa adalah jenis pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa sarana dan pra sarana serta penunjangnya. Pengoperasiannya berdasarkan suatu pengoperasian tertentu dan pasti. Produk akhirnya berupa jasa yang mendatangkan manfaat bagi penerimanya langsung dan habis terpakai dalam jangka waktu tertentu.
Karakteristik pelayanan yang harus dimiliki organisasi pemberi pelayanan:
a. Prosedur pelayanan harus mudah dimengerti, mudah dilaksanakan, sehingga terhindar dari prosedur birokratik yang sangat berlebihan, berbelit-belit.
b. Pelayanan diberikan dengan kejelasanan dan kepastian bagi pelanggan.
c. Pemberian pelayanan diusahakan agar efektif efisien.
d. Pemberi pelayanan memberikan kecepatan dan ketepatan waktu yang ditentukan.
e. Pelanggan setiap saat mudah memperoleh informasi berkaitan pelayanan secara terbuka.
f. Dalam melayani, pelanggan diperlakukan motto: “customer is king and customer is always right” (Nisjar, 1997) dalam Sedarmayanti (2009: 244).
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan
kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyaraakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional.
Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara kesejahteraan (welfare state). Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1994) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelayanan publik dengan demikian dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat Thoha (1997).
Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintahannya.
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi dalam Widodo, 2001). Arah pembangunan kualitas manusia tadi adalah memberdayakan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan krativitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis di atas, birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayanai, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha dalam Widodo, 2001). Dengan revitalitas birokrasi publik (terutama aparatur pemerintah daerah) ini, pelayanan publik yang lebih baik dan profesional dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenagan yang diberikan kepadanya dapat terwujud.
3. Kualitas Pelayanan Publik
a. Definisi Kualitas
Menurut Pasolong (2007: 132) kualitas pada dasarnya merupakan kata yang menyandang arti relatif karena bersifat abstrak, kualitas dapat digunakan untuk menilai atau menentukan tingkat penyesuaian suatu hal terhadap persyaratan atau spesifikasinya. Bila persyaratan atau spesifikasi itu terpenuhi berarti kualitas sesuatu hal yang dimaksud dapat dikatakan baik, sebaiknya jika persyaratan tidak terpenuhi maka dapat dikatakan tidak baik. Dengan demikian, untuk menentukan kualitas diperlukan indikator. Karena spesifikasi merupakan indikator harus dirancang berarti kualitas secara tidak langsung merupakan hasil rancangan tidak tertutup kemungkinan untuk diperbaiki atau ditingkatkan.
Sedangkan menurut Fandy Tjiptono (2004: 2) kualitas adalah 1) kesesuaian dengan persyaratan/tuntutan, 2) kecocokan pemakaian, 3) perbaikan atau penyempurnaan keberlanjutan, 4) bebas dari kerusakan, 5) pemenuhan kebutuhan pelanggan sejak awal dan setiap saat, 6) melakukan secara benar sejak awal, 7) sesuatu yang bisa membahagiaan pelanggan. Kualitas (quality) menurut Montgomery dalam Supratmo (2001), “the extent to which products meet the requirement of people who use them”. Jadi suatu produk, apakah itu bentuknya
barang atau jasa, dikatakan bermutu bagi seseorang kalau produk tersebut dapat memenuhi kebutuhannya.
b. Definisi Pelayanan Yang Berkualitas
Selanjutnya pelayanan yang berkualitas menurut Osborne dan Gebler (1995), serta Bloom (1981) dalam Pasolong (2007: 133) antara lain memiliki ciri-ciri seperti:
tidak prosedural (birokratis), terdistribusi dan terdesentralisasi, serta berorientasi kepada pelanggan.
Sinambela dkk. (2006: 6) dalam Pasolong (2007: 133) mengatakan bahwa kualitas pelayanan prima tercermin dari: transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak, dan keseimbangan hak dan kewajiban. Kasmir (2005:
31), mengatakan bahwa pelayanan baik adalah kemampuan seseorang dalam memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan standar yang ditentukan.
Pelayanan yang berkualitas atau pelayanan prima yang berorientas pada pelanggan sangat tergantung pada kepuasan pelanggan. Lukman (1999) dalam Pasolong (2007:134) menyebutkan bahwa suatu ukuran keberhasilan menyediakan pelayanan yang berkualitas (prima) sangat tergantung pada tingkat kepuasan pelanggan yang dilayani. Pendapat tersebut artinya menuju pada pelayanan eksternal, dari perspektif pelanggan, lebih utama atau lebih didahulukan apabila ingin mencapai kinerja pelayanan yang berkualitas.
Untuk dapat menilai sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk. Zeitham, Parasuraman dan Berry (1990) dalam Ratminto dan Winarsih (2005: 185) mengemukakan dalam mendukung hal tersebut, ada 10 (sepuluh) dimensi yang harus diperhatikan dalam melihat tolok ukur kualitas pelayanan publik, yaitu sebagai berikut :
a. Tangible, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi;
b. Realiable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat;
c. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap kualitas pelayanan yang diberikan;
d. Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan;
e. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi;
f. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat;
g. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus bebas dari berbagai bahaya dan resiko;
h. Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan;
i. Communication, kemauan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat;
j. Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam kualitas pelayanan:
a. Akurasi pelayanan
b. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan c. Tanggung jawab
d. Kelengkapan
e. Kemudahan dalam mendapatkan pelayanan f. Variasi model pelayanan
g. Pelayanan pribadi
h. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan
Organisasi pelayanan publik mempunyai ciri public accuntability, dimana setiap warga negara mempunyai hak untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang mereka terima. Adalah sangat sulit untuk menilai kualitas suatu pelayanan tanpa mempertimbangkan peran masyarakat sebagai penerima pelayanan dan aparat pelaksana pelayanan itu. Evaluasi yang berasal dari pengguna pelayanan, merupakan elemen pertama dalam analisis kualitas pelayanan publik. Elemen kedua dalam analisis adalah kemudahan suatu pelayanan dikenali baik sebelum dalam proses atau setelah pelayanan itu diberikan.
Adapun dasar untuk menilai suatu kualitas pelayanan selalu berubah dan berbeda.
Apa yang dianggap sebagai suatu pelayanan yang berkualitas saat ini tidak mustahil dianggap sebagai sesuatu yang tidak berkualitas pada saat yang lain.
Maka kesepakatan terhadap kualitas sangat sulit untuk dicapai.
Kualitas dapat diberi pengertian sebagai totalitas dari karakteristik suatu produk (barang dan/atau jasa) yang menunjang kemampuan dalam memenuhi kebutuhan.
Kualitas sering kali diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan atau sesuai dengan persyaratan atau kebutuhan.
4. Kriteria Kualitas Pelayanan
Menurut Sedarmayanti (2009: 253) prinsip menyiapkan kualitas pelayanan:
a. Terjamah: penampilan fasilitas fisik, peralatan, personal dan komunikasi material.
b. Handal: kemampuan membentuk pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan memiliki ketergantungan.
c. Pertanggungjawaban: rasa tanggungjawab terhadap mutu pelayanan.
d. Jaminan : pengetahuan, perilaku, dan kemampuan pegawai.
e. Empati: perhatian perorangan pada pelanggan (Lovelock, 1992) dalam Sedarmayanti (2009: 253).
Selanjutnya, Sedarmayanti menyebutkan bahwa dimensi kualitas pelayanan adalah:
a. Reliability (handal), kemampuan untuk memberi secara tepat dan benar, jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen/pelanggan.
b. Responsiveness (pertanggungjawaban), kesadaran/keinginan membantu konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat.
c. Assurance (jaminan), pengetahuan/wawasan, kesopanan santunan, kepercayaan diri dari pemberi pelayanan, respek terhadap konsumen.
d. Emphaty (empati), kemauan pemberi layanan untuk melakukan pendekatan, memberi perlindungan, berusaha mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen.
e. Tangibles (terjamah), penampilan pegawai dan fasilitas fisik lainnya, seperti: peralatan/pelengkapan yang menunjang pelayanan (Fitzsimmons, 1994) dalam Sedarmayanti (2009: 254).
Hambatan pengembangan sistem manajemen berkualiatas adalah:
a. Ketiadaan komitmen dari manajemen.
b. Ketiadaan pengetahuan/kekurangpahaman tentang manajemen kualitas.
c. Ketidakmampuan merubah tolak ukur.
d. Ketidaktepatan perencanaan kualitas.
e. Ketiadaan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.
f. Ketidakmampuan membangun learning organization yang memberikan perbaikan terus menerus.
g. Ketidakcocokan struktur organisasi dan departemen individu yang terisolisasi.
h. Ketidakcukupan sumberdaya.
i. Ketidaktepatan sistem penghargaan dan balas jasa bagi pegawai.
j. Ketidaktepatan mengadopsi prinsip manajemen kualitas ke dalam organisasi
k. Ketidakefektifan teknik pengukuran dan ketiadaan akses ke data dan hasil.
l. Berfokus jangka pendek dan menginginkan hasil tepat.
m. Ketidaktepatan dalam memberikan perhatian pada pelanggan internal dan eksternal.
n. Ketidakcocokan kondisi untuk implementasi manajemen kualitas.
o. Ketidaktepatan menggunakan pemberdayaan dan kerjasama (Masters, 1996 dalam Gaspersz, 1997) dalam Sedarmayanti (2009: 255).
5. Kelemahan-kelemahan dalam Manajemen Pelayanan Umum dan Pelayanan Perizinan
Menurut Ratminto (2006: 35) mengatakan bahwa terdapat beberapa kelemahan dari praktek manajemen pelayanan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Sistem yang berlaku masih belum mengaitkan secara langsung prestasi kerja aparat dengan perkembangan karirnya. Dengan demikian, seorang pegawai yang prestasi kerjanya tidak bagus tetap dapat naik pangkat,
sementara pegawai yang prestasi kerjanya bagus dan memberikan pelayanan baik kepada masyarakat justru karirnya terhambat.
2. Sistem tersebut sudah dapat mengatasi hal-hal yang bersifat teknis manajerial, tetapi masih belum membenahi hal-hal yang bersifat strategis kebijakan. Untuk mengurus lebih dari satu pelayanan perizinan, masyarakat memang cukup datang ke unit pelayanan terpadu satu atap.
Akan tetapi prosedur, jumlah kelengkapan persyaratan dan biaya yang harus dibayar masih tetap jumlahnya belum berubah.
3. Sistem manajemen tersebut juga belum disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga masih cukup banyak masyarakat yang belum mengetahui sistem dan prosedur pelayanan yang harus diikuti jika masyarakat hendak mengurus suatu izin. Akibatnya partisipasi katif masyarakat juga masih sangat rendah.
Selanjutnya Ratminto mengatakan bahwa berdasarkan analisis data dari media massa dan observasi diketahui bahwa hal yang paling penting dan essensial dalam peningkatan kualitas pelayanan adalah adanya kesetaraan hubungan masyarakat pengguna jasa dengan aparat yang bertugas memberikan jasa pelayanan.
Pelayanan publik hanya akan menjadi baik atau berkualitas apabila masyarakat yang mengurus suatu jenis pelayanan tertentu mempunyai posisi tawar yang sebanding dengan posisi tawar petugas pemberi pelayanan.
Pentingnya kesetaraan posisi tawar petugas dan instansi pemberi layanan disatu sisi dengan masyarakat pengguna jasa disisi lainnya adalah mutlak untuk mewujudkan pelayanan perizinan yang berkualitas. Dengan demikian masyarakat
harus diberdayakan dan pemberi layanan harus dikontrol. Kontrol ini harus dilakukan pada semua instansi pemberi layanan, baik itu pemerintah, swasta atau LSM. Biasanya hanya instansi pemerintah saja yang ditengarai melakukan penyimpangan, padahal swasta dan LSM pun kerap melakukan hal yang sama.
Kesetaraan ini dapat diwujudkan apabila terdapat mekanisme exit dan voice.
Mekanisme exit artinya pengguna jasa pelayanan mempunyai pilihan untuk menggunakan penyedia jasa layanan perizinan yang lain apabila dia tidak puas dengan sesuatu penyedia jasa. Apabila alternatif pengguna penyedia jasa layanan perizinan tidak memungkinkan, maka harus ada mekanisme voice. Mekanisme voice ini artinya pengguna jasa dapat menyampaikan atau mengekspresikan
ketidakpuasannya terhadap pelayanan yang diberikan oleh instansi penyelenggara pelayanan perizinan. Jadi untuk mewujudkan kesetaraan hubungan agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan perizinan, yang harus dilakukan adalah: (a) memperkuat posisi tawar penggunan jasa layanan; (b) mengfungsikan mekanisme voice. Sedangkan faktor-faktor manajerial yang menjadi penentu kualitas
pelayanan perizinan adalah: (a) adanya birokrat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa; (b) terbangunnya kultur pelayanan dalam organisasi pemerintah untuk memberikan pelayanan perizinan;
dan; (c) diterapkannya sistem yang mengutamakan kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa pelayanan. Dengan demikian kualitas pelayanan perizinan sangat dipengaruhi oleh lima hal, yaitu:
1. Kuatnya posisi tawar pengguna jasa pelayanan;
2. Berfungsinya mekanisme voice;
3. Adanya birokrat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa;
4. Terbangunnya kultur pelayanan dalam organisasi pemerintah yang bertugas untuk memberikan pelayanan perizinan; dan
5. Diterapkannya sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat. Khususnya pengguna jasa pelayanan.
Manajemen pelayanan perizinan dan juga pelayanan umum atau pelayanan pemerintah harus mengoptimalkan berfungsinya kelima faktor tersebut agar dapat mewujudkan pelayanan yang tepat, cepat, murah dan efisien sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.
B. Tinjauan Efektifitas
Efektifitas yaitu suatu keadaan tercapainya tujuan yang diharapkan atau dikehendaki melalui penyelesaian pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Adapun pengertian efektifitas menurut para ahli diantaranya sebagai berikut:
Menurut Pasolong (2007: 9) efektifitas pada dasarnya berasal dari kata “efek” dan digunakan dalam istilah ini sebagai hubungan sebab akibat. Efektifitas dapat dipandang sebagai suatu sebab dari variabel lain. Efektifitas berarti tujuan yang telah direncanakan sebelumnya dapat tercapai atau dengan kata sasaran tercapai karena adanya proses kegiatan.
James L. Gibson dkk (1996: 38) dalam Pasolong (2007: 9), mengatakan bahwa efektifitas adalah pencapaian sasaran dari upaya bersama. Derajat pencapaian sasaran menunjukkan derajat efektifitas. Sedangkan Tjokroamidjojo (1987: 3)
dalam Pasolong (2007: 9) mengatakan bahwa efektifitas, agar pelaksanaan administrasi lebih mencapai hasil seperti direncanakan, mencapai sasaran tujuan yang ingin dicapai dan lebih berdaya hasil.
Selanjutnya Keban (2004: 140) dalam Pasolong (2007: 9) mengatakan bahwa suatu organisasi dapat dikatakan efektif bila tujuan organisasi atau nilai-nilai sebagaimana ditetapkan dalam visi tercapai. Nilai-nilai yang telah disepakati bersama antara para stakeholders dari organisasi yang bersangkutan.
Sedangkan pengertian efektivitas menurut Sumijo (2008:35) adalah sebagai berikut : “Efektifitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau sesungguhnya (OS), jika (OA) > (OS) disebut efektif ”.
Pengertian efektifitas menurut Ratminto (2006: 179) adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang, maupun misi organisasi. Akan tetapi pencapaian tujuan ini harus juga mengacu pada pada visi organisasi. Sedangkan Siagian (2001: 24) memberikan definisi sebagai berikut : “Efektifitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektifitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektifitasnya.Dari beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan dapat dilaksanakan secara tepat, efektif apabila pekerjaan tersebut dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan yang telah direncanakan.
Melihat keterangan dari para ahli di atas maka dapat peneliti simpulkan bahwa yang dimaksud dengan efektifitas adalah tercapainya hasil dan tujuan dari suatu organisasi atau program yang sebelumnya sudah ditentukan secara bersama-sama.
Pencapaian tersebut dengan memanfaatkan segala sumber daya (manusia, anggaran) dan sarana prasarana yang tersedia atau yang dimiliki.
Dalam konteks penelitian ini yaitu efektifitas pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara maka peneliti akan melihat pencapaian Kantor Pertanahan Nasional Lampung Utara terhadap tujuan-tujuan dan sasaran program Larasita di Lampung Utara. Indikator yang akan peneliti ketahui dan analisis adalah:
1. Kompetensi sumber daya manusia (SDM) aparatur Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara pelaksana Tim Larasita, meliputi: kecerdasan, keterampilan, kecakapan dan sikap aparatur pemberi pelayanan.
2. Sarana pra sarana yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara untuk melaksanakan program Larasita, seperti:
kendaraan, komputer dan peralatan yang berkenaan dengan kegiatan sertifikasi tanah.
3. Prosedur dan Sosialisasi pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara.
4. Kesesuaian hasil dengan tujuan program Larasita: Prosedur pelayanan yang cepat, waktu penyelesaian cepat dan tepat, biaya pelayanan murah, dan sistem pelayanan “jemput bola”.
5. Output (hasil) dari pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara. Indikator ini akan dilihat dari jumlah warga/masyarakat yang telah mendapatkan sertifikat tanah melalui program Larasita dan jumlah masyarakat yang belum memiliki sertifikat tanah.
Output (hasil) dari pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara.
Indikator ini akan dilihat dari jumlah warga/masyarakat yang telah mendapatkan sertifikat tanah melalui program Larasita dan jumlah masyarakat yang belum memiliki sertifikat tanah.
C. Tinjauan Program Larasita
1. Pengertian Program
Konsep program menurut World Bank adalah usaha-usaha jangka panjang yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan pada suatu sector tertentu untuk mencapai beberapa proyek. Program juga dapat dipahami sebagai, kegiatan sosial yang teratur, mempunyai tujuan yang jelas dan khusus, serta dibatasi oleh tempat dan waktu tertentu. Program pembangunan dibagi atas proyek-proyek pembangunan (Reksopoetranto, 1985:77).
Program adalah rencana yang telah diolah dengan memperhatikan faktor-faktor kemampuan ruang waktu dan urutan penyelenggaraannya secara tegas dan teratur sehingga menjawab pertanyaan tentang siapa, dimana, sejauhmana dan bagaimana. Program juga merupakan tahap-tahap dalam penyelesaian yang berisi langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Kemudian menurut Sidu (2006: 60) adalah kegiatan pokok yang akan dilaksanakan organisasi untuk melaksanakan strategi yang telah ditetapkan.
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 adalah kumpulan instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.
2. Pengertian Larasita
Pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 18 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Larasita adalah kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa keadilan yang diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh masyarakat. Larasita dibangun dan dikembangkan untuk mewujudnyatakan amat pasa 33 ayat (3) UUD Tahun 1945, Undang-Undang Pokok Agraria, serta seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan dan keagrariaan.
Pengembangan Larasita berangkat dari kehendak dan motivasi untuk mendekatkan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) dengan masyarakat, sekaligus merubah paradigm pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPN RI dari menunggu atau pasif menjadi aktif atau pro aktif, mendatangi masyarakat secara langsung. Larasita telah diuji cobakan pelaksanaannya dibeberapa kota/kabupaten yang setelah dilakukan evaluasi ternyata Larasita dapat diterapkan di seluruh Indonesia.
Larasita menjalankan tugas pokok dan fungsi yang ada pada kantor pertanahan.
Namun sesuai sifatnya yang bergerak, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tersebut diberikan pemberian atau pendelegasian kewenangan yang diperlukan guna kelancaran pelaksanaan di lapangan. Dengan demikian Larasita menjadi mekanisme untuk:
1. Menyiapkan masyarakat dalam pelaksanaan pembaharuan agrarian nasional (reforma agrarian);
2. Melaksanakan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
3. Melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah terlantar;
4. Melakukan pendeteksian awal ditanah yang diindikasikan bermasalah;
5. Memfasilitasi penyelesaian tanah yang bermasalah yang mungkin diselesaikan dilapangan;
6. Menyambungkan program BPN RI dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat; dan
7. Meningkatkan legalisasi asset tanah masyarakat.
Dengan Larasita, kantor pertanahan menjadi mampu menyelenggarakan tugas- tugas pertanahan dimanapun target kegiatan berada. Pergerakan tersebut juga akan memberikan ruang interaksi antara aparat BPN RI dengan masyarakat sampai pada tingkat kecamatan, kelurahan/desa, dan tingkat komunitas masyarakat, di seluruh wilayah kerjanya, terutama pada lokasi yang jauh dari kantor pertanahan.
Larasita menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan pada peraturan perundang- undangan yang berlaku pada kantor pertanahan, dengan kekhususan pada jenis kegiatan sebagai berikut:
1. Melaksanakan secara lebih dini pengawasan dan pengendalian, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta melaksanakan identifikasi dan penelitian terhadap tanah yang diindikasikan terlantar;
2. Melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan sinkronisasi dan penyampaian informasi penatagunaan tanah dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) kabupaten/kota;
3. Memfasilitasi serta mendekatkan akses-akses untuk menciptakan sumber-sumber ekonomi baru dalam rangka menigkatkan kesejahteraan masyarakat;
4. Melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan identifikasi masalah, sengketa atau perkara pertanahan secara dini serta memfasilitasi upaya penanganannya;
5. Melakukan sosialisasi dan berinteraksi untuk menyampaikan informasi pertanahan dan program-program pertanahan lainnya serta menghubungkan kebutuhan masyarakat dengan program BPN RI;
6. Melaksanakan kegiatan legalisasi aset dan tugas-tugas pertanahan lain.
D. Kerangka Pikir
Larasita adalah kebijakan inovatif yang beranjak dari pemenuhan rasa keadilan yang diperlukan, diharapkan dan dipikirkan oleh masyarakat.
Larasita dibangun dan dikembangkan untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria, yang kemudian pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Kepala BPN RI No. 18 Tahun 2009 tentang Larasita BPN RI. Rencana strategis ini diuraikan lagi menjadi 11 Agenda Kebijakan BPN RI dengan dua diantaranya adalah membangun Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia, serta membangun database pemilikan dan penguasaan tanah skala besar. Munculah Larasita yang sekiranya mampu memenuhi dua di antara 11 Agenda Kebijakan tersebut. Rintisan awal pelaksanaan program Larasita adalah di Kabupaten Karanganyar. Nama Larasita diberikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Bapak DR. Ir. Joyo Winoto yang sekaligus meresmikan sistem pelayanan ini bersama Bupati Karanganyar Ibu Hj.
Rina Iriani SR, S. Pd., M. Hum pada tanggal 19 Desember 2006 di Karanganyar.
Larasita adalah layanan kantor berjalan dengan menggunakan sistem komputerisasi untuk mempercepat pelayanan dan pembuatan sertifikat tanah masyarakat dengan mendatangi langsung rumah-rumah masyarakat diseluruh pelosok Indonesia. Pengembangan Larasita berangkat dari kehendak dan motivasi untuk mendekatkan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) dengan masyarakat, sekaligus merubah paradigma pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPN RI dari menunggu atau pasif menjadi aktif dan pro aktif, mendatangi masyarakat secara langsung.
Tujuan utama diluncurkannya program Larasita adalah percepatan sertifikasi tanah sehingga akan mampu mencegah dan menanggulangi konflik-konflik pertanahan yang acapkali bergulir di masyarakat. Lewat Larasita, pengurusan sertifikasi tanah lebih mudah dijangkau, murah, dan bebas dari usaha-usaha makelar atau percaloan yang selama ini selalu mewarnai proses pengurusan tanah di Indonesia. Karena sistemnya yang
“jemput bola” atau mendatangi warga, tentunya akan lebih banyak warga yang dapat dilayani terutama yang berada di pedalaman dan jauh dari perkotaan. Bahkan, untuk mereka dengan keterjangkauan daerah yang sulit, BPN menyediakan pula Larasita menggunakan mobil/motor. Inilah komitmen BPN RI yang memang ingin berubah dari kantor yang pasif menjadi pro aktif melayani masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang efektifitas program Larasita yang ada di Kabupaten Lampung Utara.
Efektifitas dari program Larasita ini akan peneliti ketahui melalui penelusuran beberapa hal yang menjadi persyaratan untuk tercapainya efektifitas suatu program. Dalam peneletian ini ada 5 (lima) poin yang akan menjadi tolak ukur dari program Larasita, diantaranya:
1. Kompetensi sumber daya manusia (SDM) aparatur Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara pelaksana program Larasita, meliputi:
kecerdasan, keterampilan, kecakapan dan sikap aparatur pemberi pelayanan.
2. Sarana pra sarana yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Utara untuk melaksanakan program Larasita, seperti:
kendaraan, komputer dan peralatan modern yang berkenaan dengan kegiatan sertifikasi tanah.
3. Prosedur dan sosialisasi pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara.
4. Kesesuaian hasil dengan tujuan program Larasita: Prosedur pelayanan yang cepat, waktu penyelesaian cepat dan tepat, biaya pelayanan murah, dan sistem pelayanan “jemput bola”.
5. Output (hasil) dari pelaksanaan program Larasita di Kabupaten Lampung Utara. Indikator ini akan dilihat dari jumlah warga/masyarakat yang telah mendapatkan sertifikat tanah melalui program Larasita dan jumlah masyarakat yang belum memiliki sertifikat tanah.
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian
Peraturan Kepala BPN RI No. 18 Tahun 2009 tentang Larasita BPN RI.
Pelaksanaan Program Larasita di Kabupaten Lampung Utara.
1. Kompetensi SDM 2. Sarana pra Sarana 3. Prosedur dan Sosialisasi
4. Kesesuaian hasil dan tujuan progra, 5. Output
Efektivitas Program Larasita