• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Raya Kebonsari, di kawasan Sukun Malang. Secara historis, Lembaga. Kebonsari yang mengkhususkan untuk narapidana wanita.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Raya Kebonsari, di kawasan Sukun Malang. Secara historis, Lembaga. Kebonsari yang mengkhususkan untuk narapidana wanita."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

48 A. Profil Lokasi Penelitian

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Malang merupakan lembaga pemasyarakatan wanita di Jawa Timur. Lokasinya berada di Jalan Raya Kebonsari, di kawasan Sukun Malang. Secara historis, Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Malang berdiri sejak tahun 1969. Pada tahun sebelum 1969, lembaga pemasyarakatan wanita klas IIA Malang bergabung dengan lembaga pemasyarakatan di Jalan Merdeka Timur, namun setelah itu akhirnya dipisah dan ditempatkan di Jalan Raya Kebonsari yang mengkhususkan untuk narapidana wanita.

Secara struktur organisasi, keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Malang tidak terlepas dari adanya pimpinan ketua Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Malang yang bertanggung jawab secara struktur atas lembaga pemasyarakatan wanita klas IIA Malang, serta bertanggung jawab dalam mengemban amanah, ketua Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Malang tidak bekerja sendiri. Ketua Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Malang memiliki sejumlah bawahan secara struktural yang terdiri dari K.A.K.P.L.P, kemudian KASIE BINADIK, dan KA. SUB. BAG.TU. Secara fungsional bagian-bagian tersebut memiliki tanggung jawab masing-masing.

(2)

Secara demografi, lembaga pemasyarakatan wanita klas IIA Malang, mampu menampung kapasitas 164 penghuni dengan luas tanah mencapai 13.780 meter persegi dan luas bangunan 4.107 meter persegi. Kawasan ini cukup luas untuk menampung sejumlah narapidana yang berasal dari kawasan Jawa Timur. Terdapat lima blok yang terpisah – pisah sesuai dengan kebutuhan di lembaga pemasyarakatan wanita klas IIA Malang.

Pemisahan blok ini berdasarkan dengan kasus yang serupa, seperti blok 1 ditempati oleh sejumlah narapidana wanita yang sedang hamil dan menyusui, kemudian ditempati pula oleh beberapa pekerja dalam lapas atau sering disebut tamping. Pada blok II dan III ditempati oleh sejumlah narapidana dengan tindak pidana narkotika. Sedangkan blok IV ditempati oleh sejumlah narapidana dengan tindak pidana kejahatan kriminal atau reskrim, seperti traficking, pembunuhan, pencurian dan lain-lain.

Selanjutnya pada blok V, diperuntukkan khusus sejumlah tahanan dan narapidana yang baru saja memasuki lembaga pemasyarakatan wanita klas IIA Malang. Bagi narapidana yang baru masuk, terlebih dahulu dikondisikan agar mampu beradaptasi dengan lembaga pemasyarakatan klas IIA Malang.

Kapasitas penghuni yang cukup banyak, juga disesuaikan dengan jumlah petugas yang proporsional. Menurut profil kepegawaian dalam lembaga pemasyarakatan wanita klas IIA Malang, jumlah pegawai secara keseluruhan adalah 60 orang, yang terdiri dari 8 orang petugas berjenis kelamis laki-laki dan 52 orang berjenis kelamin wanita. Kesebandingan

(3)

antara jumlah petugas dan pegawai adalah 1 : 2 yaitu bahwa 1 petugas dapat mengawasi 2 narapidana.

Layanan kesehatan dan konseling juga disediakan oleh lembaga pemasyarakatan wanita klas IIA Malang sebagai bentuk fasilitas dan hak narapidana selama dalam masa hukuman. Menurut data yang diberikan bahwa lembaga pemasyarakatan wanita klas IIA Malang, jumlah dokter umum yakni 1 orang, berjenis kelamin wanita, kemudian 1 orang perawat berjenis kelamin laki-laki, dan 2 konselor berjenis kelamin perempuan.

Kebutuhan untuk kerohanian juga dipenuhi oleh lembaga pemasyarakatan wanita klas IIA Malang dengan tersedianya tenagan rohani berjumlah 2 orang berjenis kelamin perempuan .

Peran dan fungsi lembaga pemasyarakatan adalah untuk memberikan pembinaan kepada warga binaan yaitu narapidana. Hal ini dapat dilihat dari implikasi program yang telah dilakukan oelh pihak petugas lembaga pemasyarakatan wanita klas IIA Malang. Kegiatan terkait pembinaan, meliputi, aktivitas olahraga, rohani, pembinaan kesenian, serta pembinaan untuk keterampilan bekerja yang cocok dengan pekerjaan home industry, seperti keterampilan memproduksi tahu, kecap membuat kerajinan tangan, misalnya sulam, menjahit, membuat batik tulis. Hal ini tentu sangat sesuai dengan tujuan pidana, salah satunya mampu mengembangkan diri sendiri menjadi manusia yang lebih berguna.

Kegiatan atau program ini juga sesuai dengan beberapa hak narapidana yang tertuang dalam pasal 14, UU No. 12 tahun 1995 tentang

(4)

pemasyarakatan, yaitu: hak memiliki ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, hak mendapat perawatan jasmani dan rohani. Hak mendapat pendidikan dan pengajaran, hak mendapat bahan bacaan.

Kemudian mendapat upah atas pekerjaan yang dilakukan, hak menerima kunjungan keluarga dan orang-orang tertentu lainnya, hak mendapat kesempatan berasimilasi yakni cuti mengunjungi keluarga, hak mendapat hak-hak lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Peran dan Fungsi Lembaga Visi:

Terwujudnya warga binaan permasyarakatan yang mandiri berdaya saing dan maju yang didukung oleh peningkatan sumber daya manusia petugas lembaga permasyarakatan guna meningkatankan mutu pelayanan pembinaan di dalam lembaga permasyarakatan.

Misi:

1. Perwujudan warga binaan permasyarakatan yang potensial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2. Perwujudan kehidupan warga binaan permasyarakatan yang berkepribadian, dinamis, kreatif dan berdaya tahan terhadap pengaruh globalisasi.

3. Perwujudan sumber daya petugas lembaga permasyarakatan yang berfungsi melayani masyarakat secara profesional, berdaya guna, produktif, transparan, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

(5)

Gambar 1. Struktur Organisasi Lapas Dwi Nasiti, Bc.IP, S.sos, MM

NIP 19681206 199113 2 001

KA.K.P.L.P Yuyun Nurliana, S.IP NIP 19680615 199103 2 001

KA.SUB.BAG.TU Dewi Andriani, SH. MH NIP 19730129 199103 2 001

KAUR.KAPEG/TU Sulastianingsih NIP 19700428 199103 2 001

KAUR UMUM E. Ninik R. Sos NIP 19631218 198703 2 001

KASIE BINADIK Lilik S, SH, M.Hum NIP 19661009 198603 2 001

KASIE.GIATJA Daryati, SH, M.Hum NIP 19651216 199303 2 001

KASIE.ADM.KAMTIB Ratih Sulistiyorini NIP 19700726 199103 2 001

KASUBSIE REGISTRASI Sofia Andriani, SH NIP 19720514 199303 2 001

KASUBSIE BIMKERS &

PENGELOLAAN HASIL KERJA Siti Rodiah, SH

NIP 19701027 199303 2 001

KASUBSIE KEAMANAN Tutuk Hadi Kuswen, SE NIP 19610425S 198703 2 001

KASUBSIE BIMKEMAS Wahyu Andayati, A.Md.IP,SH

NIP 19750209 199703 2 001

KASUBSIE SARANA KERJA Istiana

NIP 19621203 198503 2 001

KASUBSIE PELAP.TATIB Endah Wahyuni, SH NIP 19720325 199103 2 001

(6)

D. Uji Validitas

Validitas merupakan adanya kesesuaian antara satu konsep dengan indikator yang digunakan untuk mengukurnya. Semakin dekat definisi operasional itu dengan definisi konseptual, validitas perangkat ukur tersebut semakin tinggi (Prasetyo & Jannah, 2012: 98-99).

Validitas pada penelitian ini, menunjukkan 100 %. Hal ini berarti, instrumen yang digunakan untuk melakukan pengukuran perrbedaan criminal thinking pada pelaku kejahatan, dapat diandalkan.

E. Uji Reliabilitas

Reliabilitas berkaitan dengan keterandalan suatu indikator. Informasi yang ada pada indikator ini tidak berubah-ubah atau yang disebut konsisten (Prasetyo & Jannah, 2012: 104).

Reliabilitas dari skala criminal thinking, 0.765. Hal ini berarti, instrumen yang digunakan, menunjukkan hasil yang konsisten, oleh karena itu, dapat dipercaya (reliabel).

Tabel 4.1 Reliabilitas criminal thinking scale Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based

on Standardized

Items

N of Items

.765 .756 36

(7)

F. Uji Normalitas

Uji normalitas ini merupakan uji normalitas sampel atau menguji normal tidaknya sampel, tidak lain sebenarnya adalah mengadakan pengujian terhadap normal tidaknya sebaran data yang akan dianalisis (Arikunto, 2005: 301).

Uji normalitas dalam penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi data adalah normal.

Tabel 4.2 Uji normalitas

Criminal Thinking

Hak Justifikasi Kejahatan

Tingkat Agresi

Berdarah Dingin

Rasiona lisasi

Ketidak Bertanggung

Jawaban

N 60 60 60 60 60 60 60

Normal Parameters

a,b

Mean 82.68 14.3

7 11.60 16.97 9.08 17.02 14.33

Std.

Deviation 10.807 3.04

2 2.533 4.326 2.149 2.926 3.101

Most Extreme Differences

Absolute .094 .181 .177 .122 .124 .115 .083

Positive .094 .181 .177 .122 .102 .066 .083

Negative -.045 -.085 -.078 -.075 -.124 -.115 -.067

Kolmogorov-Smirnov Z .731 1.40

4 1.371 .947 .959 .890 .643

Asymp. Sig. (2-tailed) .660 .039 .047 .331 .317 .406 .802

G. Analisis Data Deskriptif

Pada penelitian ini menggunakan sampel 60 narapidana sebagai subjek dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan adaptasi skala CTS (criminal thinking scales) Walters , G. D. (1995). The Psychological Inventory of Criminal Thinking Styles dan dikembangkan oleh Knight, K.,

(8)

Simpson, D. D., Garner, B. R., Flynn, P. M., & Morey, J. T. (in press), sehingga sebelumnya yang memiliki lebih dari enam aspek, diuji coba menjadi enam aspek yang dikembangkan oleh Knight, K, dkk.

Dari hasil analisis,menggunakan SPSS (Statistical Product ad Service Solution) 17.0 for windows, dengan melihat data deskriptif, dapat terlihat kecenderungan aspek-aspek atau perbedaan aspek-aspek pada bentuk-bentuk kejahatan. Tabel 4.3, di bawah ini, hasil secara deskriptif perbedaan tinggi dan rendah criminal thinking pada pelaku kejahatan, serta tinggi dan rendah dimensi-dimensi pada criminal thinking. Jadi, jika semakin tinggi rerata (mean) pada aspek atau dimensi tertentu, maka akan semakin tinggi seseorang merasionalisasi dengan dimensi tersebut.

Tabel 4.3 di bawah, menunjukkan bahwa pada aspek menuntut hak, kejahatan pada jiwa memiliki rerata (mean) tertinggi diantara dua kejahatan yang lain, yakni 15.25. Sedangkan narkoba 14.20 dan kejahatan pada harta benda (properti) 13.65.

Pada aspek justifikasi kejahatan, menunjukkan bahwa pelaku kejahatan pada jiwa memiliki rerata (mean) tertinggi diantara dua pelaku kejahatan yang lain, yakni 13.10. Sedangkan pada pelaku narkoba dan pelaku kejahatan pada harta benda memiliki rerata (mean) yang sama, yakni 10.85.

(9)

Tabel 4.3Data Deskripsi Criminal Thinking

N Mean Minimum Maximum

Criminal Thinking

Pelaku Narkoba 20 83.10 67 96

Pelaku Kejahatan pada harta

benda 20 78.05 60 100

Pelaku Kejahatan pada jiwa 20 86.90 71 118

Total 60 82.68 60 118

Hak

Pelaku Narkoba 20 14.20 9 21

Pelaku Kejahatan pada harta

benda 20 13.65 10 20

Pelaku Kejahatan pada jiwa 20 15.25 11 24

Total 60 14.37 9 24

Justifikasi Kejahatan

Pelaku Narkoba 20 10.85 8 14

Pelaku Kejahatan pada harta

benda 20 10.85 8 14

Pelaku Kejahatan pada jiwa 20 13.10 9 20

Total 60 11.60 8 20

Tingkat Agresi

Pelaku Narkoba 20 17.10 12 24

Pelaku Kejahatan pada harta

benda 20 14.95 8 21

Pelaku Kejahatan pada jiwa 20 18.85 12 29

Total 60 16.97 8 29

Berdarah Dingin

Pelaku Narkoba 20 8.85 5 13

Pelaku Kejahatan pada harta

benda 20 9.65 5 14

Pelaku Kejahatan pada jiwa 20 8.75 5 14

Total 60 9.08 5 14

Rasionaisasi

Pelaku Narkoba 20 18.05 14 24

Pelaku Kejahatan pada harta

benda 20 15.95 11 20

Pelaku Kejahatan pada jiwa 20 17.05 11 21

Total 60 17.02 11 24

Ketidak Bertanggung Jawaban

Pelaku Narkoba 20 14.50 9 20

Pelaku Kejahatan pada harta

benda 20 13.30 8 19

Pelaku Kejahatan pada jiwa 20 15.20 9 22

Total 60 14.33 8 22

(10)

Pada aspek tingkat agresivitas, menunjukkan bahwa pelaku kejahatan pada jiwa juga memiliki rerata (mean) tertinggi yakni 18.85.

Sedangkan pada pelaku kejahatan narkoba memiliki rerata (mean) lebih rendah yakni 17.10, begitu juga pada pelaku kejahatan pada harta benda (properti), yakni 14.95.

Pada aspek berdarah dingin, menunjukkan bahwa pelaku kejahatan pada harta benda memiliki rerata (mean) tertinggi, yakni 9.65. Sedangkan pada pelaku narkoba, yakni 8.85 dan pada kejahatan pada jiwa memiliki rerata (mean) 8.75.

Pada aspek rasionalisasi kejahatan, menunjukkan bahwa pelaku narkoba memiliki rerata (mean) tertinggi, yakni 18.05. Sedangkan pelaku kejahatan pada jiwa, yakni 17.05 dan pelaku kejahatan pada harta benda (properti) memiliki rerata (mean) paling rendah, yakni 15.95.

Pada aspek ketidak bertanggung jawaban, menunjukkan bahwa pelaku kejahatan pada jiwa memiliki rerata (mean) tertinggi, yakni 15.20.

Sedangkan pada pelaku narkoba memiliki rerata (mean) 14.50 dan pelaku kejahatan pada harta benda memiliki rerata (mean) lebih rendah, yakni 13.30.

Jadi, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa criminal thinking tertinggi pada pelaku kejahatan pada jiwa. Pada aspek menuntut hak, tertinggi pada pelaku kejahatan jiwa, pada aspek justifikasi rerata (mean) tertinggi pada pelaku kejahatan pada jiwa, pada aspek tingkat agresivitas

(11)

rerata (mean) tertinggi pada pelaku kejahatan pada jiwa, pada aspek berdarah dingin rerata (mean) tertinggi pada pelaku kejahatan pada properti (harta benda), pada aspek rasionalisasi rerata (mean) tertinggi pada pelaku kejahatan narkoba, pada aspek ketidak bertanggung jawaban rerata (mean) tertinggi pada pelaku kejahatan pada jiwa.

H. Uji hipotesis

Dari hasil analisis data, hipotesis terbukti, yakni ada perbedaan criminal thinking pelaku kejahatan ditinjau dari tiga bentuk kejahatan, yakni kejahatan tanpa korban (narkoba), kejahatan pada harta benda, kejahatan pada jiwa. Hasil yang diperoleh berdasarkan analisis data bahwa criminal thinking, tertinggi adalah pada pelaku kejahatan pada jiwa, dengan skor rerata (mean), 86,90. Rerata (mean) ini, lebih tinggi dibanding dua bentuk pelaku kejahatan yang lain yakni pelaku kejahatan tanpa korban (narkoba) dengan rerata (mean) 83,10 dan pelaku kejahatan pada harta benda (properti) dengan rerata (mean) 78,05. Tabel 4.4 berikut menggambarkan criminal thinking tertinggi, kejahatan pada jiwa.

Tabel 4.4 Hasil Perbedaan Criminal Thinking Setiap Dimensi Kejahatan

Dependent Variable

bentuk Kejahatan bentuk Kejahatan Mean Difference

Sig.

Criminal Thinking

Pelaku Narkoba

Kejahatan pada harta benda 5.050 .128 Kejahatan pada jiwa -3.800 .250 Pelaku Kejahatan

pada harta benda

Narkoba -5.050 .128

Kejahatan pada jiwa -8.850* .009 Pelaku Kejahatan

pada jiwa

Narkoba 3.800 .250

Kejahatan pada harta benda 8.850* .009

(12)

Criminal thinking pada tiga bentuk kejahatan tersebut, dapat dilihat perbedaan rerata (mean difference) dan signifikasinya yang menunjukkan adanya perbedaan criminal thinking pada tiga bentuk kejahatan tersebut.

Criminal thinking pada pelaku narkoba dan pelaku kejahatan pada harta benda (properti) memiliki perbedaan rerata (mean difference) 5.050 dengan p > .05.Ini berati tidak signifikan, menunjukkan tidak ada perbedaan criminal thinking antara dua kejahatan tersebut. Criminal thinking pada pelaku narkoba dan pelaku kejahatan pada jiwa memiliki perbedaan rerata (mean difference) -3.800 dengan p > .05. Ini berarti tidak signifikan, menunjukkan tidak ada perbedaan criminal thinking antara dua kejahatan tersebut.Selanjutnya, kejahatan pada harta benda (properti) dan narkoba memiliki perbedaan rerata (mean difference) -5.050 dengan memiliki p > .05. Ini berarti tidak signifikan, menunjukkan tidak ada perbedaan criminal thinking antara dua kejahatan tersebut.

Pelaku kejahatan pada harta benda (properti) dan pelaku kejahatan pada jiwa memiliki perbedaan rerata (mean difference) -8.850 dengan memiliki p < .05. Ini berarti memiliki signifikan, menunjukkan bahwa ada perbedaan criminal thinking yang signifikan antara pelaku kejahatan pada harta benda (properti) dan pelaku kejahatan pada jiwa. Sedangkan, pelaku kejahatan pada jiwa dan pelaku narkoba memiliki perbedaan rerata (mean difference) .3800 dengan p > .05. Ini berarti tidak signifikan, menunjukkan tidak ada perbedaan criminal thinking antara dua kejahatan tersebut.Pelaku kejahatan pada jiwa dan pelaku kejahatan pada harta benda(properti)

(13)

memiliki perbedaan rerata (mean difference) .850 dengan p <.05. Ini berarti memiliki signifikan, menunjukkan bahwa ada perbedaan criminal thinking yang signifikan antara kejahatan pada jiwa dan kejahatan pada harta benda (properti).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan criminal thinking antara pelaku kejahatan pada harta benda (properti) dan pelaku kejahatan pada jiwa.

Beberapa aspek memiliki signifikansi yang berarti memiliki perbedaan, seperti aspek menuntut hak. Pada aspek menuntut hak ini, kejahatan pada harta benda (properti) memiliki perbedaan rerata (mean) dengan kejahatan pada jiwa dilihat dari tabel post hoc test yakni -1.600 yang memiliki p < .01. Begitu juga sebaliknya. Ini berarti criminal thinking antara dua kejahata tersebut, berbeda. Tabel 4.5 berikut hasilnya.

Tabel 4.5 Hasil perbedaan criminal Thinking pada aspek menuntut hak

Dependent

Variable (I) Bentuk Kejahatan (J) bentuk Kejahatan Mean

Difference Sig.

Hak

Narkoba

Kejahatan pada

harta benda .550 .567

Kejahatan pada jiwa -1.050 .276 Kejahatan pada harta

benda

Narkoba -.550 .567

Kejahatan pada jiwa -1.600 .099

Kejahatan pada jiwa

Narkoba 1.050 .276

Kejahatan pada

harta benda 1.600 .099

Pada aspek justifikasi kejahatan, narkoba memiliki perbedaan rerata (mean) dengan kejahatan pada jiwa dilihat pada tabel post hoc test yakni -

(14)

2.250 yang p <.01. Begitu juga sebaliknya. Ini berarti criminal thinking antara dua kejahata tersebut, berbeda. Berikut pada tabel 4.6 mengenai perbedaan setiap dimensi dan signifikansinya.

Tabel 4.6 Hasil perbedaan criminal thinking pada aspek justifikasi

Dependent

Variable bentuk Kejahatan bentuk Kejahatan Mean

Difference Sig.

Justifikasi Kejahatan

Narkoba Kejahatan pada harta benda .000 1.000 Kejahatan pada jiwa -2.250* .004 Kejahatan pada harta

benda

Narkoba .000 1.000

Kejahatan pada jiwa -2.250* .004

Kejahatan pada jiwa Narkoba 2.250* .004

Kejahatan pada harta benda 2.250* .004

Pada aspek tingkat agresivitas, kejahatan pada harta benda (properti) memiliki perbedaan rerata (mean) dengan kejahatan pada jiwa dilihat pada tabel post hoc test yakni -3.900, p<.01. Begitu juga sebaliknya. Ini berarti criminal thinking antara dua kejahata tersebut, berbeda.Sedangkan pada aspek berdarah dingin, tidak ada perbedaan rerata (mean), begitu juga signifikansinya yang lebih dari .05.

Pada aspek rasionalisasi, pelaku narkoba memiliki perbedaan rerata (mean) 2.100 dengan kejahatan pada harta benda (properti) dilihat pada tabel post hoc test, p < 05. Begitu juga sebaliknya. Ini berarti criminal thinking antara dua kejahatan tersebut, berbeda. Berikut pada tabel 4.7 mengenai perbedaan setiap dimensi dan signifikansinya.

(15)

Tabel 4.7 Hasil perbedaan criminal thinking pada aspek tingkat agresivitas

Dependent

Variable bentuk Kejahatan bentuk Kejahatan Mean

difference Sig.

Tingkat Agresi

Narkoba

Kejahatan pada harta

benda 2.150 .102

Kejahatan pada jiwa -1.750 .181 Kejahatan pada

harta benda

Narkoba -2.150 .102

Kejahatan pada jiwa -3.900* .004

Kejahatan pada jiwa

Narkoba 1.750 .181

Kejahatan pada harta

benda 3.900* .004

Rasionalisasi

Narkoba

Kejahatan pada harta

benda 2.100* .023

Kejahatan pada jiwa 1.000 .271 Kejahatan pada

harta benda

Narkoba -2.100* .023

Kejahatan pada jiwa -1.100 .226

Kejahatan pada jiwa

Narkoba -1.000 .271

Kejahatan pada harta

benda 1.100 .226

I. Pembahasan

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang merupakan salah satu Lapas yang menyelenggarakan pembinaan bagi narapidana khusus wanita. Pembinaan yang dilakukan khususnya bagi narapidana dibagi dalam 3 tahap yaitu 0-1/3 Masa Tahanan (Maximum Security), 1/3 – 2/3 Masa Tahanan (Medium Security), dan 2/3 Masa Tahanan (Minimum Security). Narapidana yang akan diintegrasikan ke masyarakat merupakan narapidana yang telah memasuki 2/3 Masa Tahanan.

Pembinaan yang dilakukan pada tahap ini berfokus pada pelatihan kerja.

(16)

Beberapa diantara mereka dipekerjakan (tamping) di beberapa unit Lapas.

Pembinaan – pembinaan ini tentunya dimaksudkan untuk memberikan proses pembinaan yang tepat bagi narapidana sesuai masa tahanan, agar bagi narapidana yang baru masuk juga mampu beradaptasi dengan proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan ini.

Narapidana merupakan seseorang yang secara hukum telah melanggar hukum, norma-norma sosial di masyarakat, dan telah memperoleh ketetapan dakwaannya. Terlepas dari itu, seorang narapidana tentu ada yang menerima label sebagai seorang narapidana dan ada yang belum bisa menerima akan hal ini. Ketidak siapan narapidana dalam menerima label tersebut, terkadang memungkinkan narapidana terus melakukan pembelaan dalam dirinya pada perilaku kejahatan yang telah dilakukan. Jadi, penelitian ini memang penting ditujukan pada para narapidana terkait dengan hal-hal tersebut.

Pola pemikiran setiap orang tentu berbeda, begitu juga cara pandang setiap orang juga memiliki perbedaan. Cara menilai, menanggapi segala sesuatu pun berbeda, dalam melakukan tindakan. Subjek dalam penelitian ini memiliki rentang usia dewasa, akan tetapi ada yang memiliki rentang lanjut usia. Hal ini semakin menarik, melihat dari fungsi kognitif yang semakin bervariatif. Fungsi-fungsi kognitif akan lebih matang seiring dengan tahap perkembangan usia. Namun, apakah hal ini berjalan sewajarnya dalam kehidupan subjek-subjek ini. Kesalahan-kesalahan

(17)

dalam berpikir, menjadi titik pandang, wacana, seperti apa pola pemikiran para pelaku kejahatan setelah melakukan tindak kriminal.

Penelitian-penelitian sebelumnya memiliki hasil yang sama yakni skala tingkat agresivitas memiliki hasil yang berbeda di antara jenis pelanggar, dengan pelanggar yang melakukan kejahatan pada properti, kekerasan, dan atau pelanggaran pribadi yang memiliki skor yang lebih tinggi daripada seseorang yang hanya melakukan pelanggaran narkoba (Taxman, Rhodes , Dumenci, 2011: 10). Hasil ini, memperkuat penelitian ini, bahwa setiap bentuk kejahatan memiliki pola-pola pemikiran atau criminal thinking yang berbeda, ditinjau dari dimensi-dimensi criminal thinking.

Hasil analisis yang diuraikan sebelumnya, pada aspek menuntut hak, kejahatan pada jiwa memiliki rerata (mean) yakni 15.25. Rerata (mean) kejahatan pada jiwa ini memiliki rerata (mean) tertinggi dibanding dua kejahatan yang lain. Aspek menuntut hak kejahatan pada jiwa ini menunjukkan bahwa pelaku kejahatan cenderung menyesal setelah melakukan tindak kejahatan. Berdasarkan pengakuan dari beberapa pelaku kejahatan, bahwa pelaku kejahatan merasa tidak mendapat hak sebagai seorang istri, pelaku kejahatan merasa tidak mendapat hak dalam hidup, seperti ketika pelaku kejahatan sudah memberikan hasil dari jerih payah, akan tetapi orang lain, orang yang lebih berkuasa mengambil hak subjek tersebut, sehingga si pelaku kejahatan tidak bisa menggunakan haknya.

(18)

Aspek justifikasi kejahatan, kejahatan pada jiwa memiliki rerata (mean) tertinggi yakni 13.10 dibandingkan dua kejahatan yang lain.

Pelaku kejahatan pada kejahatan ini secara umum menunjukkan adanya pernyataan justifikasi pada kejahatan yang telah dilakukan, akibat merasa mendapat ketidakadilan sosial yang pada akhirnya melakukan pembenaran pada perilakunya (Taxman, Rhodes, Dumenci, 2011: 5). Pernyataan dari beberapa pelaku kejahatan menyatakan bahwa faktor terdesak membuat si pelaku melakukan tindak kejahatan tersebut. Terdesak memang menjadi ke khas an seorang wanita dalam melakukan tindak kejahatan, jadi dalam keadaan terpaksa yang didorong keadaan dan kepentingan yang mendesak (Tondy, 2013: 3).

Keadaan di mana korban menjadi faktor pemicu pelaku kejahatan melakukan tindak kejahatan, sebagai bentuk pembenaran dari pernyataan pelaku kejahatan. Pelaku kejahatan, cenderung merasa kejahatan yang telah dilakukan, memang tidak salah. Kejahatan pada jiwa, khususnya pada kasus perdagangan orang, perlindungan anak, seperti yang diuraikan sebelumnya, memang pelaku merasa terpaksa, terdesak melakukan tindakan tersebut dan di sisi lain, pelaku merasa korban juga menjadi pemicu munculnya motivasi untuk melakukan tindak kejahatan, sering para penegak hukum di pengadilan menambah-nambahi bukti dalam proses pengsusutan tindak kejahatan.

Aspek tingkat agresivitas yang memiliki rerata (mean) tertinggi yakni kejahatan pada jiwa, yakni 18.85. Aspek ini secara logika, memang

(19)

menjadi khas dari pelaku kejahatan pada jiwa. Kekuatan fisik, mengerahkan fisik untuk menyakiti orang lain, identik dengan kejahatan ini. Hal ini, diperkuat dengan pengakuan dari pelaku kejahatan ini, bahwa untuk mengontrol keadaan, mengendalikan situasi, subjek harus menggunakan fisik. Perdebatan masalah yang relatif sepele juga mudah menjadi pemicu agresivitas pelaku kejahatan.Subjek mengaku bahwa sabar ada batasnya. Jadi, kontrol emosi pada pelaku kejahatan cenderung mudah tersulut. Perasaan jengkel, ingin segala permasalahan cepat selesai membuat pelaku kejahatan semakin tidak terkontrol, apalagi dalam hal ini wanita menjadi peran utama dalam tindak kejahatan.

Aspek selanjutnya yakni aspek berdarah dingin. Pada aspek ini, kejahatan pada harta benda (properti), memiliki rerata (mean) tertinggi yakni 9.65. Pada aspek ini, pelaku kejahatan merasa sensitif, tersentuh di mana ada orang lain mengalami masalah, namun perasaan-perasaan tersebut seakan-akan hanya bersifat temporer. Keterlibatan emosi ini hanya sementara, ketika keadaan mendukung dan faktor-faktor lain mendesak, aksi-aksi kriminal mudah muncul. Sesuai dengan pengertian berdarah dingin menurut Walters (1990) bahwa kurangnya keterlibatan emosional dalam hubungan dengan orang lain. Pelaku kejahatan pada aspek ini, selain itu tanpa merasa menyesal atas tindakan yang telah dilakukan. Hal ini menjadikan kejahatan pada harta benda (properti) memiliki rerata (mean) tertinggi dibanding dua kejahatan yang lain.

(20)

Pada aspek rasionalisasi, kejahatan yang memiliki rerata (mean) tertinggi yakni kejahatan narkoba dengan rerata (mean) 18.05. Pada aspek ini, pelaku kejahatan cenderung merasa bahwa peradilan di Indonesia, tidak sama rata. Cenderung yang memiliki kelebihan secara finansial, bisa berbuat semaunya. Bahkan dari pengakuan beberapa pelaku kejahatan, bahwa polisi yang menangkap pelaku kejahatan, lebih banyak melakukan pelanggaran dibanding yang ditangkap. Beberapa subjek melontarkan berbagai rasionalisasi terhadap figur otoritas yang terlibat dalam pemrosesan dakwaan pelaku kejahatan tersebut. Hal ini, tentu sesuai dengan rasionalisasi itu sendiri menurut Walters (1990), yakni sikap negatif terhadap hukum dan figur otoritas. Pola-pola pemikiran ini, sering terlihat pada pelaku kejahatan setelah kejahatan yang telah dilakukan, sebagai alat untuk pembelaan diri, dan sejenisnya, namun kesalahan berpikir ini tetap dipelihara dan dibiasakan.

Aspek selanjutnya yakni ketidak bertanggung jawaban. Pada aspek ini, kejahatan pada jiwa memiliki rerata (mean) tertinggi yakni 15.20. Hal ini berarti pelaku kejahatan merasa, lingkungan juga sangat mempengaruhi timbulnya perilaku kejahatan. Berdasarkan pengakuan dari beberapa pelaku kejahatan, bahwa si pelaku sebagai pelaku kejahatan merasa, lingkungan yang membuat pelaku melakukan tindakan tersebut. Orang di sekitar pelaku kejahatan seakan-akan memandang sebelah, hanya menyalahkan keadaan pelaku tanpa memberi solusi. Pelaku merasa, keterlibatannya dalam tindak kejahatan, justru lingkungan sekitar yang

(21)

memberi efek kurang sesuai tersebut. Selain itu, pelaku tidak lagi ikut dalam urusan dari korban tindak kejahatan yang telah dilakukan, dikarenakan subjek pun juga sudah menjalani masa hukuman. Jadi, si pelaku sebagai pelaku kejahatan tersebut, tidak ingin terlibat kembali dalam urusan selanjutnya dengan korban. Kesan, pola pemikiran seperti ini, sebenarnya seakan-akan memperlihatkan bahwa pelaku kejahatan lari dari tanggung jawab, terkait tindak kejahatan yang telah dilakukan. Hal ini juga sesuai dengan ketidak bertanggung jawaban itu sendiri menurut Walters (1990), bahwa menyalahkan orang lain atas masalah seseorang atau masalah sendiri. Keadaan seperti inilah yang membuat pelaku kejahatan sering merasa bahwa peradilan terkadang tidak adil, dikarenakan pelaku kejahatan merasa tindakannya akibat dari pihak lain, padahal tindak kejahatan yang dilakukan juga berasal dari diri pelaku kejahatan itu sendiri.

Secara demografi, ditinjau dari usia pelaku kejahatan, rentang usia rata-rata pada fase dewasa. Criminal thinking tertinggi yakni pada kejahatan pada jiwa. Kejahatan jiwa dan kejahatan pada harta benda (properti) yang memiliki usia rata-rata adalah 37 tahun. Usia ini memang tidak lagi dikatakan sebagai remaja, bahkan sudah dapat dikategorikan matang berdasarkan fungsi kognitif. Uraian sebelumnya mengenai fase kedewasaan pada pelaku kejahatan bahwa masa dewasa akan menghasilkan pembatasan-pembatasan pragmatis yang memerlukan strategi penyesuaian diri yang sedikit mengandalkan analisis logis dalam

(22)

memecahkan masalah (Santrock, 1995: 91-92). Jadi, pada usia rata-rata pelaku kejahatan pada jiwa dan kejahatan pada harta benda, sebenarnya memiliki pola pikir yang secara logika dalam pemecahan masalah disertai kematangan emosi yang baik. Akan tetapi, justru ada sesuatu yang salah dalam pola pemikiran individu tersebut. Begitu juga pada kejahatan narkoba, rata-rata usia 34 tahun, di mana usia ini pada fase perkembangan fungsi kognitif, tidak jauh berbeda. Secara keseluruhan, pada fase dewasa seperti yang telah di uraikan sebelumnya, mengacu kepada Labouvie-Vief (1982, 1986), integrasi baru dari pikiran terjadi pada masa awal. Tahun- tahun masa dewasa akan menghasilkan pembatasan-pembatasan pragmatis yang memerlukan strategi penyesuaian diri yang sedikit mengandalkan analisis logis dalam memecahkan masalah (Santrock, 1995: 91-92). Salah satu dari pelaku kejahatan narkoba, memiliki usia yang tidak muda lagi, yakni 70 tahun. Usia ini, dari segi kognisi, tentu sudah banyak memiliki penurunan, terutama dalam hal mengingat.

Secara sosial, jelas lebih bijaksana dalam menyikapi segala sesuatu, akan tetapi seusia tersebut yang seharusnya menikmati hidup dengan kebahagiaan, berbagai pengalaman hidup semasa muda, justru harus berada dibalik jeruji dikarenakan kejahatan narkoba. Hasil dari jawaban – jawaban pada pernyataan yang telah diajukan, pelaku cenderung memiliki tingkat agresivitas yang rendah, dibanding pelaku kejahatan yang lain, yang memiliki usia lebih muda.

(23)

Jadi, bisa disimpulkan, criminal thinking jika ditelisik sedikit demi sedikit dari sisi usia memang memiliki dinamika yang berbeda, namun secara umum fase dewasa memiliki fungsi kognitif yang sama apabila dicermati dari dimensi - dimensi criminal thinking.

Kemanfaatan penelitian tentang criminal thinking adalah untuk melakukan upaya preventif guna menanggulangi kejahatan secara luas dan upaya kuratif untuk mengurangi residivism atau pengulangan kejahatan.

Upaya-upaya kuratif ini dilakukan dengan cara melakukan pembinaan, pelatihan pada narapidana, mengingat para narapidana yang cenderung melakukan pertahanan (defend). Selain itu dikarenakan di Lembaga Pemasyarakatan tidak serta merta hanya memberikan hukuman, akan tetapi melakukan pembinaan. Sedangkan upaya-upaya preventif yang dilakukan, dengan melakukan pembinaan jangka panjang untuk menjaga kesehatan mental (mental health).

Salah satu upaya preventif adalah memberikan perubahan kognitif melalui pembelajaran yang tepat di masyarakat secara luas dan berkelanjutan. Meningkatkan nilai empati masyarakat pada orang lain diharapkan untuk mengurangi sikap berdarah dingin. Upaya-upaya ini dapat ditingkatkan dengan media promosi atau sosialisasi mengenai pentingnya nilai-nilai empati pada orang lain. Walters (1990) menjelaskan berdarah dingin itu sendiri memiliki makna kurangnya keterlibatan emosional dalam hubungan dengan orang lain, jadi seseorang memiliki sikap berdarah dingin, identik dengan perasaan tega menyakiti orang lain

(24)

tanpa ada rasa penyesalan sedikit pun, didukung oleh tingkat agresivitas yang tinggi, sering terlibat pertengkaran akibat masalah sepele, menggunakan kekuatan fisik dalam proses pemecahan masalah.

Sikap berdarah dingin pada pelaku kejahatan yang muncul terlihat pada pelaku kejahatan pada harta benda (properti) seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa dampak dari sikap berdarahdingin ini, pelaku kejahatan cenderung tetap merasa tenang dalam melakukan aksi anti sosialnya, tidak ada perasaan cemas atau khawatir dengan keadaan orang lain, khususnya pada korban dari aksi perilaku anti sosialnya.

Kehidupan sehari-hari dengan lingkungannya cenderung acuh tak acuh, kurang terlibat dari segi emosional jika orang lain mengalami keadaan yang kurang menguntungkan, sedang tertimpa musibah, permasalahan kehidupan. Pelaku kejahatan cenderung mengabaikan lingkungannya tanpa ada perasaan bersalah akibat kurang mampu memiliki hubungan baik dengan masyarakat.

Berlaku adil dengan memberikan hak sesuai haknya juga mampu memberikan pelajaran pembiasaan mengurangi criminal thinking bahkan menghilangkan criminal thinking jika dalam masyarakat mampu menanamkan nilai berempati dengan keadaan orang lain dengan memiliki keterlibatan emosinya yang tinggi. Tingkah laku kejahatan dipelajari dalam proses interaksi dan komunikasi (Soedjono, 1977: 65). Jadi, dalam proses interaksi, individu juga harus mampu memilih model atau figur yang baikdalam berperilaku.

(25)

Perasaan bertanggung jawab juga perlu dibiasakan, diajarkan untuk menumbuhkan rasa bertanggung jawab seseorang terutama dalam lingkungan masyarakat agar dalam keadaan sulit, terdesak, seseorang mampu mengambil keputusan dengan tepat dan bertanggung jawab atas perilakunya sendiri tanpa merugikan orang lain, Walters (2006) mengatakan bahwa pelaku yang cenderung menunjukkan kesalahan berpikir lebih kriminal adalah mereka yang terus membuat keputusandan pilihan yang buruk.

Hubungan baik dengan orang lain, juga ikut menjadi andil terbina hubungan yang lebih harmonis untuk mengurangi sikap negatif pada figur otoritas jika suatu kali melakukan tindak kejahatan tidak muncul rasionalisasi. Menurut Bowlby (1980), orang yang sudah biasa menjadi penjahat umumya memiliki ketidakmampuan membentuk ikatan-ikatan kasih sayang. Untuk menjaga ikatan-ikatan kasih sayang tersebut antar individu satu dengan yang lain memang dibutuhkan hubungan yang baik dan aspek-aspek yang lain seperti yang telah diuraikan sebelumnya dengan melibatkan emosi dengan cara berempati dan belajar bertanggung jawab atas perilakunya agar tercipta keadilan di berbagai sisi kehidupan di masyarakat, agar criminal thinking tidak menjadi pembiasaan yang terus- menerus seperti pengertian dari criminal thinking itu sendiri yang berarti bahwa isi pikiran dan proses yang kondusif atau mendukung untuk inisiasi dan pemeliharaan kebiasaan perilaku pelanggaran hukum (Schenk, Ragatz, dan Fremouw, 2012: 2). Hal ini juga diperkuat bahwa gejala dalam proses

(26)

atau interaksi sosial yang berkaitan dengan kejahatan dalam proses ini masyarakat bergeser dari masyarakat tradisional kekeluargaan yang intim dan harmonis dalam interaksi antar individunya, karena berbagai pengaruh dan komunikasi yang menyebabkan hubungan semakin meluas, sehingga pada masyarakat tersebut mengalami apa yang dinamakan disorganisasi sosial yang ditandai semakin kurang intim dan kepudaran ikatan kekeluargaan yang harmonis. Masyarakat yang mengalami disorganisasi ini nampak ciri-ciri, diantaranya kurang atau mengendornya pengawasan atau kontrol sosial sebagai kekuatan yang mempertahankan norma-norma sosialnya, sehingga dengan kata lain terjadilah individu-individu yang melanggar norma-norma kelompok (Soedjono, 1977: 57).

Secara umum, penelitian ini tentunya memiliki manfaat bagi berbagai pihak, dikarenakan dengan penelitian ini bisa dikembangkan dengan melakukan intervensi pada pelaku dengan melihat keadaan psikologis ditinjau dari bentuk kejahatan agar pendekatan pada subjek lebih maksimal sebagai proses tindak lanjut.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa corporate risk tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tax avoidance, namun dengan kepemilikan institusional sebagai

Dalam rangka meningkatkan kapasitas Fasilitator Senior dan Fasilitator Masyarakat agar mampu melaksanakan kegiatan Program Pamsimas dan mendukung keberlanjutannya,

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dampak kebijakan moneter (suku bunga dan money supply) terhadap stabilitas rupiah (inflasi dan nilai tukar) baik dalam jangka pendek

Elementi kroz koje se dobavlja ulje mogu biti rupe, dţepovi ili ţlijebovi. Tlak pod kojim se dobavlja ulje p en mora biti znatno manji od srednjeg površinskog tlaka p kako bi

Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang pertama adalah, dalam penelitian ini tidak membahas tentang menggambar sketsa, melainkan hanya membahas

[r]

Selain itu ketidaksesuaian antara kebutuhan peralatan pertahanan negara serta kemampuan teknis dan finansial industri nasional di sisi lain merupakan salah satu

Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber, menemukan teori-teori yang berkaitan dengan kesadaran diri lalu mengkaji