• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSAAN NEUROPATI OTONOMIK JANTUNG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DIAGNOSIS DAN PENATALAKSAAN NEUROPATI OTONOMIK JANTUNG."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Tinjauan Pustaka

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSAAN NEUROPATI OTONOMIK JANTUNG

Ayu Wulan Sari, Wira Gotera, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Salah satu komplikasi serius dari Diabetes Melitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2 yang sering diabaikan adalah Cardiac Autonomic Neuropathy (CAN) atau neuropati otonomik jantung.Komplikasi ini meliputi kerusakan pada serabut saraf simpatis dan parasimpatis yang menginervasi jantung dan pembuluh darah, yang mengakibatkan kelainan pada kontrol denyut jantung dan dinamika vaskular (1). Keterlibatan serabut saraf somatis dan otonom sebagai komplikasi kronis pada pasien DM menunjukkan patofisiologi yang sangat kompleks, tetapi kontrol glukosa yang buruk dipercaya berperan penting pada patogenesis terjadinya neuropati otonomik jantung (2,3).

Diabetes mellitus mengenai kurang lebih 250 juta penduduk dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (3). Prevalensi neuropati otonomik jantung ditemukan sebesar 25,3% pada DM tipe 1 dan 34,3% pada DM tipe 2 (2,4).

(2)

Fisiologi Sistem Saraf Otonom Jantung

Jantung dipersarafi oleh kedua divisi sistem saraf otonom, yang dapat memodifikasi kecepatan serta kekuatan kontraksi. Saraf parasimpatis ke jantung, yaitu saraf vagus mempersarafi atrium, terutama nodus Sino Atrial (SA) dan nodus AtrioVentrikel (AV). Pengaruh sistem saraf parasimpatis pada nodus SA adalah menurunkan kecepatan denyut jantung, sedangkan pengaruhnya ke nodus AV adalah menurunkan eksitabilitas nodus tersebut dan memperpanjang transmisi impuls ke ventrikel. Dengan demikian, di bawah pengaruh parasimpatis jantung akan berdenyut lebih lambat, waktu antara kontraksi atrium dan ventrikel memanjang dan kontraksi atrium melemah (8).

Sebaliknya, sistem saraf simpatis, yang mengontrol kerja jantung pada situasi darurat atau sewaktu berolahraga, mempercepat denyut jantung melalui efeknya pada jaringan pemacu. Efek utama stimulasi simpatis pada nodus SA adalah meningkatkan kecepatan depolarisasi, sehingga ambang lebih cepat dicapai. Stimulasi simpatis pada nodus AV mengurangi perlambatan nodus AV dengan meningkatkan kecepatan penghantaran. Selain itu, stimulasi simpatis mempercepat penyebaran potensial aksi di seluruh jalur penghantar khusus (8,9).

Patofisiologi Neuropati Otonomik Jantung

Walaupun telah dilakukan penelitian yang intensif, namun etiologi dan mekanisme patologi dari neuropati otonomik jantung masih belum jelas. Sejauh ini, banyak literatur telah menyatakan bahwa sistem saraf otonom, yaitu parasimpatis dan simpatis mengalami kerusakan serat saraf yang progresif selama perjalanan penyakit diabetes. Saraf parasimpatis dan simpatis berfungsi mengatur denyut jantung, tekanan darah dan kontraksi jantung untuk mempertahankan homeostasis. Apabila terjadi gangguan pada integritas dari sistem kardiovaskular, akan menyebabkan komplikasi yang berpotensi mengancam nyawa penderita DM.

(3)

a. Aktivasi jalur polyol

Pada kondisi hiperglikemia, glukosa akan masuk jalur poliol karena heksokinase jenuh. Terdapat perbedaan utama ekspresi enzim pada jalur poliol di epineurial arteri dan jaringan endoneurial. Aldosa reduktase banyak diekspresikan baik di jaringan endoneurial maupun di arteri epineurial sedangkan SDH (sorbitol dehydrogenase) sedikit diekspresikan di endoneurial tapi banyak di arteri epineuron. Aldosa reduktase merubah glukosa menjadi sorbitol, yang menyebabkan penurunan glutathion dan NO akibat penggunaan NADPH. Sorbitol yang meningkat dalam sel, meningkatkan osmolit dalam sel. Sebagai kompensasi untuk keseimbangan osmolit, mioinositol menjadi berkurang yang menyebabkan fosfatidilinositol menurun, yang akan menekan produksi DAG (Diacylglycerol) dan akhirnya menurunkan PKC (bentuk α). Sebagai hasil akhir akan menurunkan aktivitas Na+/K+ ATPase. Menurunnya glutathion dan NO juga meningkatkan kepekaan sel terhadap proses stres oksidatif. Sebaliknya, jalur poliol yang diatur oleh SDH diaktifkan di dinding vaskular pada keadaan hiperglikemia. Akibatnya terjadi perubahan reaksi redok dari NAD/NADH, yang mengkonversi glyceraldehid 3-phosphate (Glycer-3) menjadi asam fosfatidil. Peningkatan DAG meningkatkan aktivitas PKC (bentuk ) sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan penurunan aliran darah neuronal.

b. Stress Oksidatif

Hiperglikemia kronis menyebabkan stres oksidatif pada jaringan yang cendrung menyebabkan pasien DM mengalami komplikasi. Mekanisme yang mendasari stres oksidatif pada hiperglikemia kronis dan perkembangan dari neuropati telah diperiksa pada model binatang. Pada neuropati otonomik bukan saja terjadi kerusakan neuron tetapi kemampuan untuk beregenerasi juga terganggu, khususnya pada small caliber fiber. Mekanisme yang mengawali hilangnya regenerasi sel saraf termasuk kerusakan kerja insulin, hilangnya sistem growth factor dan penurunan bentuk spesifik dari PKC.

c. Aktivasi Protein Kinase C

(4)

meningkatkan aktivitas vasokontriktor endotelin-1 dan penurunan aktivitas vasodilator endotelhelial nitric oksida sinthase (eNOS) menyebabkan vasokonstriksi dan menurunkan aliran darah ke serat saraf .

d. Akumulasi AGEs

Peningkatan glukosa intraseluler meningkatkan pembentukan AGE, melalui glikosilasi non enzimatik protein seluler. Glikosilasi non enzimatik ini merupakan hasil interkasi glukosa dengan asam amino protein. Peningkatan produksi AGE akan meningkatkan angiotensin II (vasokonstriktor) dan sintesis FFA dan terjadi aktivasi protein kinase C yang selanjutnya menyebabkan kerusakan endotel.

e. Iskemia dan hipoksi endoneuronal

Disebabkan oleh peningkatan resistensi di sistem vaskular dan menurunkan aliran darah ke serat saraf. Hipoksia menyebabkan kerusakan kapiler dan disfungsi aksonal.

f. Destruksi dari faktor pertumbuhan serat saraf dan transport aksonal

Faktor pertumbuhan serat saraf diinervasi oleh sistem saraf simpatis. Suatu kondisi hiperglikemi akan menurunkan produksi dari faktor pertumbuhan untuk endotel dan sel neuronal dan menyebabkan degenerasi serat saraf

g. Gangguan metabolismse Free Fatty Acid (FFA)

Defisiensi FFA akan menyebabkan akumulasi asam linoleic dan memicu perubahan pada membran sel sehingga menyebabkan penurunan aliran darah neuronal.

h. Mekanisme imunologi

Perubahan yang progresif dari sistem imun juga diduga berperan, namun masih dalam tahap penelitian.

Manifestasi Klinis Neuropati Otonomik Jantung

(5)

a. Takikardi saat istirahat

Abnormalitas pada variasi denyut jantung merupakan tanda awal dari

gangguan neuropati otonomik jantung. Takikardi saat istirahat dan denyut

jantung yang tetap merupakan tanda lanjutan adanya gangguan vagal pada

pasien DM. Denyut jantung saat istirahat berkisar antara 90-100 kali per menit

dan meningkat bertahap sampai 130 kali per menit. Denyut jantung yang

menetap yang tidak berespon saat aktivitas fisik sedang, stress, atau saat tidur

mengindikasikan adanya denervasi jantung.

b. Intoleransi terhadap aktivitas fisik

Disfungsi otonom menimbulkan gangguan respon jantung terhadap latihan,

baik itu denyut jantung, tekanan darah dan mengurangi peningkatan curah

jantung sebagai respon terhadap latihan fisik. Pasien DM yang kemungkinan

mengalami neuropati otonomik jantung harus dilakukan stress cardiac test sebelum menjalani program latihan fisik.

c. Instabilitas kardiovaskular preoperatif dan perioperatif

Angka morbiditas dan mortalitas kardiovaskular perioperatif meningkat 2-3 kali lipat pada pasien DM dibandingkan pasien non DM. Pasien DM yang akan menjalani tindakan dengan anestesi umum akan mengalami derajat penurunan denyut jantung dan tekanan darah yang tinggi selama diinduksi obat anestesi dan sedikit meningkat setelah ekstubasi. Pemberian vasopressor lebih dibutuhkan pada pasien DM dengan neuropati otonomik jantung dibandingkan dengan yang tanpa gangguan neuropati otonom. Respon otonomik yang normal berupa vasokonstriksi dan takikardi tidak memberikan kompensasi yang adekuat terhadap efek vasodilatasi dari obat anestesi.

d. Hipotensi Ortostatik

(6)

aktivasi baroreseptor, refleks simpatik sentral, menghasilkan peningkatan tahanan vaskular perifer dan akselerasi jantung. Pada pasien DM, hipotensi ortostatik terjadi akibat kerusakan pada serat vasomotor eferen simpatetik, teutama pada vaskulatur splanchnic.

e. Silent Myocardial Ischemia

Disfungsi serat saraf otonom aferen menyebabkan penurunan sensitivitas terhadap iskemia miokardial dengan mengubah transmisi nyeri, sehingga keluhan angina sulit untuk dikenali. Mekanisme yang mendasari terjadi silent myocardial ischemia sangat kompleks dan masih belum dapat dimengerti sepenuhnya. Pada pasien yang asimtomatik, screening rutin untuk mengetahui penyakit jantung coroner masih kontroversial. Hal ini juga tidak mendapatkan rekomendasi dari American Diabetes Association (ADA), karena dianggap tidak mempengaruhi terapi. Skrining masih bisa dipertimbangkan pada pasien DM dengan risiko tinggi, misalnya dengan penyakit arteri perifer, proteinuria dan pasien yang akan memulai program latihan fisik berat (14,17).

f. Abnormalitas interval QT

QT interval pada EKG menggambarkan durasi depolarisasi dan repolarisasi ventrikel. Nilai QT correction yang lebih besar dari 440 ms menunjukkan pemanjangan dari QT interval. Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan langsung antara neuropati otonomik jantung dengan pemanjangan QT interval pada pasien DM yang mengalami komplikasi disfungsi otonom. Pasien ini cenderung akan mengalami aritmia ventrikel yang mengancam nyawa seperti torsades de pointes dan kematian mendadak. Mekanisme yang mendasari belum dipahami sepenuhnya, tetapi beberapa studi menduga perubahan inervasi simpatetik jantung kemungkinan menyebabkan pemanjangan QT interval.

g. Sindrom kematian mendadak

Signifikansi neuropati otonomik jantung sebagai penyebab independen dari kematian mendadak pada pasien DM masih dipertanyakan. Pada studi

Rochester Diabetic Neuropathy, dinyatakan bahwa semua kasus kematian

mendadak pada individu dengan atau tanpa diabetes menderita juga penyakit

(7)

Diagnosis Neuropati Otonomik Jantung

Sampai saat ini tidak ada bukti bahwa satu tes variasi denyut jantung lebih

unggul dibandingkan tes lainnya dalam mendiagnosis kecurigaan neuropati

otonomik jantung. Lebih jauh lagi, definisi diagnosis neuropati otonomik jantung

itu sendiri dibuat berdasarkan beberapa tes sehingga mampu menurunkan angka

positif palsu. Dalam pedoman diagnosis dikatakan bahwa dibutuhkan

penggunaan beberapa tes untuk menilai fungsi vagal dan simpatetik (5).

Konsensus Toronto terbaru menyimpulkan terdapat lima metode yang sensitif dan spesifik untuk menunjukkan kemungkinan terjadi neuropati otonomik jantung, yaitu :

a. Heart Rate Variability (HRV) menggunakan ratio dari R-R interval pada EKG. Heart Rate Variability dinilai melalui perhitungan indeks berdasarkan pada analisis statistic interval R-R (time-domain analysis) atau analisis spektral (frequency-domain analysis). Untuk pengukuran statistik interval R-R, terdapat beberapa variabel yang dihitung, antara lain NN (interval RR), NN50 (jumlah NN yang memiliki interval >50 ms), pNN50 (perbandingan antara NN50 dan NN), RMSSD estimasi HRV jangka pendek, SDNN (standar deviasi dari semua NN interval, dan SDANN (standar deviasi dari rata-rata NN interval dalam 5 menit dari seluruh pengukuran 24 jam). Terdapat 3 frekuensi yang digunakan untuk analisis HRV, yaitu: Very-low frequency (VLF) component (0.003 Hz-0.04 Hz), berhubungan dengan fluktuasi tonus vasomotor (termoregulasi), dimediasi secara primer oleh sistem simpatetik, Low-frequency (LF) component (0.04 Hz- 0.15 Hz), menggambarkan gelombang Mayer, berhubungan dengan refleks baroreseptor, di bawah pengaruh kontrol simpatetik dengan modulasi vagal, High frequency (HF) component (0.15 Hz-0.4 Hz), berhubungan dengan aktivitas pernafasan, dibawah kontrol sistem parasimpatetik.

(8)

yang berbeda. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil tes antara lain: umur, denyut jantung, laju pernafasan, tekanan darah, makanan, kopi, aktivitas fisik, posisi, status volum, mental, merokok dan waktu pemeriksaan.

Sinyal elektrokardiografi (EKG) merupakan sinyal AC dengan rentang frekuensi 0.05 Hz-100 Hz. EKG dapat digunakan untuk menilai neuropati otonom kardiovaskular dengan mengukur interval waktu pada sinyal EKG, yaitu: variasi dari interval R-R pada HF, LF dan VLF, variasi interval R-R dengan membandingkan R-R inspirasi dengan ekspirasi (expiration/inspiration ratio), variasi interval R-R diukur selama monitor EKG pada detak ke -15 dan ke-30 setelah berdiri (30:15 ratio), variasi dari interval R-R dengan valsava maneuver (Valsava ratio) dan respon tekanan darah sistolik akibat perubahan posisi. Berdasarkan analisis komputer, kriteria definitif Neuropati Otonomik Jantung ditegakkan apabila ditemukan 3 abnormal dari 7 parameter tersebut (spesifitas: 100%). Borderline atau incipient apabila didapatkan 2 abnormalitas (spesifitas: 98%). Apabila tidak memiliki analisis sistem komputer, maka 4 tes terakhir harus dilakukan dan definitif ditegakkan jika ditemukan 2 abnormalitas dari 4 parameter.

Diantara tes HRV tersebut yang paling sensitif untuk mendeteksi abnormalitas pada pasien DM saat istirahat adalah koefisien variasi dari Low Frequency (LF).

b. Baroreflex sensitivity (BRS)

Baroreflex sensitivity adalah suatu teknik yang digunakan untuk menilai fungsi barorefleks dari jantung dengan mengkombinasi nilai dari denyut jantung dan tekanan darah. Teorinya teknik ini adalah untuk mengevaluasi dua serat aferen dari Autonomic Nervus Sistem (ANS) dari sistem kardiovaskular, yaitu serat saraf simpatetik (vasokontriksi arteri) dan saraf vagal (bradikardi atau takikardi) sebagai respon akibat perubahan dari tekanan darah. Sensitivitas dan spesivisitas dari metode ini masih dalam penelitian.

c. Muscle sympathetic nerve activity (MSNA)

(9)

d. Mengukur Plasma level of catecholamine (PLC)

Evaluasi PLC (adrenaline, noradrenaline dan metabolitnya) belum terbukti berguna untuk menstaging atau mendiagnosis Neuropati Otonomik Jantung. e. Cardiac sympathetic mapping (CSM).

Teknik pencitraan untuk menilai inervasi dari saraf simpatetik melalui scintigrafi adalah dengan PET dan SPECT. CSM dengan radiolabel katekolamin secara aktif mampu ditangkap oleh serat terminal simpatetik. Karena biaya yang mahal dan kurangnya referensi dan metodologi standar mengenai teknik ini, maka tidak direkomendasikan sebagai tes rutin untuk mendiagnosis Neuropati Otonomik Jantung.

Sampai saat ini, Cardiovaskular Autonomic Reflexs Test (CARTs) merupakan tes standar emas untuk mendiagnosis Neuropati Otonomik Jantung pada penderita DM. Tes fungsi otonom parasimpatis lebih sensitif untuk mendeteksi neuropati otonom jantung dibandingkan dengan tes fungsi simpatis (9,19).

Beberapa tes yang digunakan untuk mendeteksi neuropati otonomik jantung, antara lain :

1. Heart Rate Response to Deep Breathing.

Pada tes ini pasien istirahat dengan posisi terlentang, bernafas 6 kali per menit (5 detik inspirasi dan 5 detik ekspirasi) dan denyut jantung dimonitor dengan EKG, kemudian dihitung selisih denyut jantung maksimal dengan denyut jantung minimal. Apabila didapatkan nilai perbedaan denyut jantung >15 kali/menit (normal), 11-14 kali/menit (borderline) dan <10 kali/menit (abnormal). Kesimpulan dari tes ini adalah bahwa variasi denyut jantung saat bernafas tergantung pada aktivitas saraf parasimpatis. Tes ini dalam banyak penelitian dipertimbangkan sebagai tes reflex otonom yang paling baik untuk menilai neuropati otonomik jantung.

2. Heart Rate Response to Valsalva Maneuver.

(10)

meniup. Apabila rasio valsava >1,21 (normal), 1,11-1,20 (borderline) dan <1.10 (abnormal). Pada sebagian besar kasus, respon refleks terhadap Valsava manuver akan menyebabkan takikardi dan vasokonstriksi perifer dan peningkatan tekanan darah selama diberikan tekanan, dan terjadi bradikardi setelah tekanan dilepaskan. Pada pasien dengan neuropati otonomik jantung, respon denyut jantung akan berubah, dimana terjadi penurunan tekanan darah saat mendapat tekanan dengan fase pemulihan yang sangat lambat. Kesimpulan dari tes ini adalah apabila ditemukan respon denyut jantung, mengindikasikan adanya disfungsi pada serat sarf simpatetik dan parasimpatetik.

3. Heart Rate Response to Standing.

Normalnya denyut jantung akan meningkat dengan cepat setelah berdiri, mencapai maksimal denyut jantung pada detak ke-15 setelah berdiri kemudian diikuti oleh refleks bradikardi pada detak ke-30. Rasio antara interval R-R pada detak ke-15 dan detak ke-30 yang terlihat pada EKG disebut dengan ratio 30:15. Rasio ini menggambarkan fungsi parasimpatetik. Apabila didapatkan rasio >1,03 (normal), 1,01-1,03 (borderline) dan <1,01 (abnormal). Pada pasien DM dengan neuropati otonomik jantung, rasio 30:15 akan menurun dari nilai normal.

4. Blood Pressure Response to Standing.

Terjadinya hipotensi ortostatik akibat kerusakan serat saraf simpatetik, sehingga respon tekanan darah terhadap perubahan posisi dari tidur ke berdiri sering digunakan untuk menilai disfungsi simpatetik. Normalnya memang terjadi penurunan tekanan darah apabila seseorang berdiri dari posisi terlentang. Pada pasien DM dengan neuropati otonomik jantung, Disebut abnormal apabila didapatkan penurunan tekan darah diastolic > 10 mmHg atau sistolik >30 mmHg dalam waktu 2 menit setelah berdiri.

5. Blood Pressure Response to Sustained Handgrip.

(11)

handgrip. Hasilnya berupa perbedaan diantara tingginya tekanan diastolic selama beban handgrip dengan rata-rata tekanan diastolic sebelum dimulai handgrip. Normal apabila peningkatan tekanan diastolic >16 mmHg, borderline jika 11-15 mmHg dan abnormal bila <10 mmHg. Pasien DM dengan neuropati otonomik jantung mengalami sedikit peningkatan tekanan darah diastolic (12).

Staging dari Neuropati Otonomik Jantung

Kriteria untuk staging Neuropati Otonomik Jantung adalah (10,16):

(1) Posible/early apabila didapatkan satu abnormalitas dari CARTs

(2) Definitif/comfirmed apabila minimal 2 hasil dari CARTs yang abnormal

[image:11.595.131.496.338.547.2]

(3) Severe/advanced bila ada hipotensi ortostatik dan abnormalitas CARTs.

Gambar 1. Staging dari Neuropati Otonomik Jantung(10)

Penatalaksanaan Neuropati otonomik jantung

Penatalaksanaan Neuropati Otonomik Jantung diantaranya adalah: a. Perubahan gaya hidup

b. Nutrisi yang seimbang dan aktivitas fisik yang tepat akan membantu memperbaiki level sensitivias insulin, membatasi asupan garam 2-4 g/d, batasi dan stop merokok, stop minum alkohol, batasi asupan kafein.

(12)

Resistensi Insulin memegang peranan penting dalam pathogenesis miokardial pada pasien DM. dan tentu saja, agen farmakologi yang digunakan dalam pengobatan DM juga harus memiliki kemampuan memperbaiki kerusakan fungsi dan struktur pada sistem kardiovaskular (6,15).

d. Antineural autoimmunity human immunoglobulin

Human immunoglobulin yang diberikan secara intravena direkomendasikan untuk pasien dengan neuropati diabetik yang menunjukkan gejala autoimunitas antineural. Efek samping pemberian terapi ini adalah sakit kepala, dan bahkan reaksi anapilaktik (6,8).

e. Aktivasi antioksidan

Salah satu mekanisme patogenesis dari neuropati adalah stress oksidatif, jadi pemberian antioksidan adalah suatu keharusan. Terapi yang sangat potensial saat ini adalah α-LA. Mekanisme kerja dari α-LA belum dipahami sepenuhnya. Ada dua hipotesis mengenai mekanisme kerja dari α-LA. Pertama, α-LA menyebabkan proliferasi dari sel neuroblastoma. Perubahan pada membrane sel yang dimediasi oleh grup sulhydril dari α-LA diduga menyebabkan efek ini. α-LA meningkatkan proses ekspansi dan memperbaiki struktur dan fungsi membrane terminal saraf. Pemberian α-LA menstimulasi regenerasi dari saraf terminal pada kasus denervasi parsial. Kedua, mekanisme yang paling mungkin adalah kemampuan α-LA sebagai pengikat radikal bebas (“cleaner”) (6,8,13).

f. Vitamin

Benfotiamine (vitamin B1) memiliki potensi terapi yang cukup luas, memiliki efisiensi yang baik pada obat-obat yang mengandung derivate tiamin dengan tujuan mengatur aktivitas dari proses radikal bebas, memperbaiki disfungsi endotel pada kasus penyakit kardiovaskular, menstabilkan efek antioksidan. Pengobatan neuropati otonomik jantung dengan mengkombinasi tiamin dan α-LA berefek signifikan pada neuropati otonom (6,10).

g. ( -linolenic acid,acetyl L-carnitine)

(13)

mengaktivasi metabolism glukosa, meningkatkan suplay energy dan fungsi ventrikel kiri (6).

h. Pengobatan dengan ω -3 and ω -6 PUFAs

Analisis studi eksperimental dan klinis membuktikan bahwa ω-3 PUFA menghambat penyerapan kolesterol dalam usus dan sintesis dalam hati, menyebabkan peningkatan clearance lipoprotein dalam darah, mencegah perkembangan IR pada diabetes eksperimental, menurunkan tingkat BP , dosis-dependen mencegah perkembangan diabetes, meningkatkan sensitivitas trombosit ke ADP dan kolagen, memberikan kontribusi untuk perubahan positif dalam parameter koagulasi, migrasi sel endotel, menghambat proliferasi sel otot polos (7,13,17).

Manajemen hipotensi ortostatik yang bergejala

Identifikasi penyebab lain hipotensi ortostatik, seperti volume depletion, obat-obat

psikotropik, diuretic dan antagonis α-adrenoreceptor sangat penting dalam

manajemen hipotensi ortostatik. Mengedukasi pasien tentang gerakan bertahap

jika akan berubah posisi, menganjurkan aktifitas fisik ringan, posisi kepala yang

lebih tinggi saat tidur, physical counter-manoeuvres (seperti menyilangkan kaki, membungkuk, skuat, dan menegangkan otot), menggunakan kursi lipat portable,

meningkatkan asupan garam dan elektrolit bila tidak ada kontraindikasi, minum

air (2– 2.5 l/hari) dan meningkatkan asupan garam ( > 8 g atau 150 mmol per hari) efektif untuk memperbaiki hipotensi ortostatik dan menghindari makanan tinggi karbohidrat. Agen yang dapat menambah volume plasma (fludrocortisone)

dan selektif α1-adrenergik agonis (midodrine) adalah obat lini pertama dalam

terapi hipotensi ortostatik. Midodrine memiliki efek pressor melalui penyempitan

pembuluh darah arteri dan vena. Dosis harus disesuaikan secara individual

(hingga dua sampai empat kali 10 mg / hari). Efek samping adalah reaksi

pilomotor, pruritus, hipertensi terlentang, bradikardia, gejala gastrointestinal, dan

(14)
[image:14.595.124.532.89.474.2]

Gambar 2. Manajemen pasien DM dengan hipotensi ortostatik (15)

Prognosis

(15)

Ringkasan

Salah satu komplikasi serius Diabetes Melitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2 yang sering diabaikan adalah neuropati otonomik jantung. Kontrol glikemik yang buruk memiliki peran kunci pada patogenesis terjadinya neuropati otonomik jantung. Pengenalan neuropati otonomik jantung sedini mungkin sangat perlu, mengingat prognosisnya yang buruk, mortalitas yang tinggi akibat dari komplikasi dan progresifitas dari DM itu sendiri.dan dapat terjadi hal yang fatal seperti kematian mendadak. Penatalaksanaan neuropati otonomik jantung bertujuan untuk mengontrol glukosa secara optimal dan terapi gejala kardiovaskular yang terjadi.

Daftar Pustaka

1. Vinik A, Ziegler D. Diabetic Cardiovaskular Autonomic Neuropathy. Circulation 2007;115: 387-397.

2. Oakley I, Emond L. Diabetic Cardiac Autonomic Neuropathy and Anesthetic Management: Review of the Literature. AANA Journal2011;79: 473-479.

3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta. PERKENI; 2011.

4. Busui R. Cardiac Autonomic Neuropathy in Diabetes. Diabetes Care2010;33: 434-41.

5. Rolim L, Souza J, Dib S. Tests for Early Diagnosis of Cardiovaskular Autonomic Neuropathy: Critical Analysis and Relevance. Front Endocrinol 2013;4: 1-4.

6. Serhiyenko V, Serhiyenko A. Diabetic Cardiac Autonomic Neuropathy: Do We Have Any Treatment Perspectives?. World J Diabetes 2015;6: 245-258.

7. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes, Diabetes Care 2015;38(Suppl.1): S58-S66.

8. Klabunde R. Autonomic Neural Control. Cardiovaskular Physiology Concepts. 3rd ed. United States of America; Data Reproductions Corporations; 2011.pp 118-138.

(16)

10.Spallone V, Ziegler D, Freeman R., Bernardi L, Frontoni S, Busui R.., Cardiovaskular Autonomic Neuropathy in Diabetes: Clinical Impact, Assessment, Diagnosis, and Management. Diabetes Metab Res and Rev 2011;27: 639–653.

11. Yulizal O, Denervasi Otonomik Kardiak pada Penderita DM Tipe 2: Perbandingan Antara yang mendapat Terapi Insulin dengan Obat Hipoglikemik Oral. USU. Institutional. Repository. (serial online), Mar., Diunduh dari: URL: http://repository.usu.ac.id/ 123456789/09E00065.pdf, akses 18 Mei 2015.

12. Timar R, Popescu S, Simu M., Diaconu , Timar B. QTc Interval and Insulin Resistance in Type 2 Diabetes Mellitus. Eur Sci Jour 2013; 9: 70-77.

13. Stevens M., Shefner J, Nathan D, Dashe J. Diabetic Autonomic Neuropathy. Up To Date. (serial online), Mar., Diunduh dari:

http://www.uptodate.com/contents/diabetic-autonomic-neuropathy?, akses 18 Mei 2015.

14. Canani et al. Cardiovaskular Autonomic Neuropathy in Type 2 Diabetes Mellitus Patients with Peripheral Artery Disease. dms journal 2015; 5: 2-9.

15. Maser R, Lenhard M. Review: Cardiovaskular Autonomic Neuropathy Due to Diabetes Mellitus: Clinical Manifestations, Consequences, and Treatment. J Clin Endocrinol Metab 2005;10: 5896–903.

16. Brownlee M. Complications of Diabetes Mellitus. In: Melmed S, Polonsky K, Larsen R, Henry M., Hetherington P., eds. Williams Textbook of Endocrinology. 12th ed. Philadelphia: ElSevier Saunders;2011.pp 1508-1513.

17. Ryden et al. ESC Guidelines on Diabetes, Pre-diabetes, and Cardiovascular Diseases Developed in Collaboration with the EASD. eur heart j 2013;10: 1-63.

18. Lahrmann H. Orthostatic Hypotention. In: Gilhus N, Barnes P, Brainin M.,Gilhus N., eds. European Handbook of Neurological Management. 2nd ed. Austria: Blackwell Publishing;2011.pp 469-475

19. Basu A, Bandyopadhyay R, Chakrabarti S, Paul R, Santra S. A Study on The Prevalence of Cardiac Autonomic Neuropathy in Type-2 diabetes in Eastern India. JIACM 2010;190-4.

Gambar

Gambar 1. Staging dari Neuropati Otonomik Jantung (10)
Gambar 2. Manajemen pasien DM dengan hipotensi ortostatik (15)

Referensi

Dokumen terkait

Yang tidak termasuk adalah: (1) gangguan jiwa klasik yang memiliki gejala fisik sebagai bagian dari gangguan (cth., gangguan konversi, yaitu gejala fisik ditimbulkan oleh

Dengan demikian maksud dari judul di atas adalah penelitian untuk mengetahui cara guru dalam menyampaikan materi dengan pembelajaran aktif pada mata pelajaran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa kadar asam urat basal mencit (Mus musculus L. Swiss Webster) jantan setelah diberikan perlakuan

Adapun dalam implementasinya dari awal sampai saat ini program ini di kelola secara intensif oleh lembaga khusus yang menangani TIK di Kabupaten Sragen, yaitu Dinas Komunikasi

dipenuhi pada dasarnya hanya dapat dipenuhi dengan cara lain. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar. Suryabrata 18 , ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi

Keenam cara tersebut adalah (1) berpikir konstruktif ketika melihat dan mengalami suatu fenomena; (2) berpikir kritis terhadap peristiwa yang terjadi; (3) memaknai

Penanggulangan tindak pidana judi online baik melalui sarana penal dan non penal sesuai dengan peran Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.2 Tahun 2002

c&lt; Memiliki saluran pengeluaran udara ke lingkungan yang memadai atau memiliki sistem penyaringan udara yang efisien sebelum udara disirkulasikan ke ruang