SKRIPSI
HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN
PERMUSYAWARATAN DESA DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI DESA
PEGUYANGAN KAJA, DENPASAR UTARA
I NYOMAN ARY SUTRISNOPUTRA
NIM. 1003005091
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
SKRIPSI
HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN
PERMUSYAWARATAN DESA DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI DESA
PEGUYANGAN KAJA, DENPASAR UTARA
I NYOMAN ARY SUTRISNOPUTRA
NIM. 1003005091
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN
PERMUSYAWARATAN DESA DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI DESA
PEGUYANGAN KAJA, DENPASAR UTARA
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
I NYOMAN ARY SUTRISNOPUTRA
NIM. 1003005091
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
LembarPersetujuanPembimbing
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL
PEMBIMBING I
Prof. Dr. I WAYAN PARSA,SH.,M.,Hum
NIP: 19591231 198602 1007
PEMBIMBING II
NENGAH SUHARTA, SH.,MH
SKRIPSI INI DIUJI DAN DIPERBAIKI
PADA TANGGAL : 27 JUNI 2016
Ujian Berlangsung :
Hari/Tanggal : Senin, 27 Juni 2016
Jam : 08:30 wita
Tempat : RUANG UJIAN 1
SK. NOMOR : 224/UN14.1.11/PP.05.02/2016
Ketua Penguji Tanda Tangan
Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum (...)
Sekretaris :
Negah Suharta, SH.,MH (…….…………..)
Anggota :
Prof. Dr. Ibrahim R.,SH.,MH (………...)
Anggota :
I Ketut Suardita, SH.,MH (………..)
Anggota :
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu.
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Angrah-Nyalah skripsi ini yang berjudul
“HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN
PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN
DESA DI DESA PEGUYANGAN KAJA DENPASAR UTARA” dapat terselesaikan. Penyusunan skripsi ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
rangkaian kegiatan akademis yang lain, untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum
di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Dalam penyusunan ini penulis telah banyak mendapat bimbingan dan
dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebenar-benarnya
kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana;
2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH, Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Udayana;
3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari SH.,MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Udayana;
4. Bapak Dr. I Gede Yusa, SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
5. Bapak I Ketut Suardita, SH.,MH. Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara
Universitas Udayana
6. Bapak Cokorde Dalem Dahana, SH.,M.Kn sekretaris bagian Hukum
Administrasi Negara Universitas Udayana
7. Bapak Prof. Dr. I Wayan Parsa,SH.,M.,Hum, sebagai pembimbing I yang
telah membimbing dan mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
8. Bapak Nengah Suharta,SH.,MH sebagai dosen pembimbing II yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis untuk untuk menyelesaikan skripsi ini;
9. Bapak I Kadek Sarna,SH.,M.kn sebagai Pembimbing Akademik yang telah
memberikan petunjuk dan arahan selama penulis melakukan perkuliahan di
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
10.I Nyoman Darmadha,SH.,MH dosen yg memberi arahan dan saran terhadap
skripsi ini.
11.I Dewa Gede Dana Sugama,SH.,MH selaku dosen yang selalu mensupport
penuh di dalam pembuatan skripsi.
12.Bapak/Ibu Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana
yang telah memberikan ilmu pengetahuan hukum;
13.Bapak/Ibu Pegawai Tata Usaha serta Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Udayana atas bantuannya dalam hal administrasi kampus dan
peminjaman literature;
14.Bapak I Wayan Sumendra seorang ayah yang selalu mengajarkan
15.Ibu Ni Ketut Kerni.Sos seorang ibu yang selalu mendukung dalam segala hal,
motivasi dll;
16.Ni Luh Eka lestari dan sekeluarga, kakak yang selalu mendukung dan
memberikan uang jajan dalam pembuatan skripsi;
17.Ni Kadek Shinta Sanistya Rahayu yang selalu memberikan semangat, dan
perhatian serta berperan besar dalam penyelesaian skripsi ini.
18.Serta semua teman-teman angkatan 2011 (PENINDAS) yang selalu
mendukung dalam segala hal kesulitan dalam proses pembuatan skripsi ini.
19.Teman – teman KKN Gulingan yang selalu mensupport penuh.
20.I Wayan Suita PLT Kepala Desa di desa peguyangan kaja yang memberikan
informansi tentang Desa.
21.I Wayan Sudarma selaku sekretaris BPD yang menjelaskan kinerja BPD
22.I Made Ardiana selaku ketua STT di desa peguyangan kaja atas
wawancaranya.
Akhirnya semoga budi baik Bapak/Ibu/Saudara/I akan mendapatkan imbalan
yang sesuai dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om
Denpasar, 9 Mei 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM ... i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
SURAT PERSYARATAN KEASLIAN ... xi
ABSTRAK ... xii
ABSTRACT ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.3 Ruang Lingkup Masalah... 9
1.4 Orisinalitas Penelitian ... 10
1.5 Tujuan Penelitian ... 13
1.5.1 Tujuan umum ... 13
1.5.2 Tujuan Khusus ... 13
1.6 Manfaat Penelitian ... 13
1.6.1 Manfaat teoritis ... 13
1.6.2 Manfaat praktis ... 14
1.8 Hipotesis ... 21
1.9 Metode Penelitian ... 22
1.9.1 Jenis penelitian ... 22
1.9.2 Jenis pendekatan ... 23
1.9.3 Sifat penelitian ... 23
1.9.4 Sumber Data ... 24
1.9.5 Teknik Pengumpulan Data ... 26
1.9.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 27
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESA, KEPALA DESA, BADAN PERMUSYAWARATAN DESA, DAN PERATURAN DESA ... 28
2.1 Tentang Desa ... 28
2.1.1 Pembentukan Desa ... 28
2.1.2 Pemerintahan Desa ... 35
2.2 Badan Permusyawaratan Desa ... 38
2.3 Peraturan Desa ... 40
BAB III HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA ... 45
3.1 Pengaturan Tentang Jabatan Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa ... 45
3.1.1 Pengaturan Tentang Jabatan Kepala Desa ... 45
3.2 Hubungan Fungsinaris Antara Kepala Desa Dengan Badan
Permusyaratan Desa Di Desa Peguyangan Kaja ... 62
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DESA ... 68
4.1 Pembentukan Peraturan Desa ... 68
4.2 Faktor-Faktor Yang berpengaruh Dalam Pembentukan Peraturan Desa Di Desa Peguyangan Kaja ... 75
BAB V PENUTUP ... 78
5.1 Kesimpulan ... 78
5.2 Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RESPONDEN
LAMPIRAN :
01.Notulensi Rapat Badan Permusyawaratan Desa
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan
Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi
raanapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang
secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan
duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja
mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka
penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah
tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun.
Denpasar, Mei 2016
Yang menyatakan,
(I Nyoman Ary
Sutrisnoputra)
ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa telah mengatur tentang hubungan kepala desa dengan badan permusyawaratan desa dalam rangka pembentukan peraturan desa. Kepala desa berhak mengajukan rancangan peraturan desa kemudian membahasnya bersama Badan Permusyawaratan desa. Permasalahannya adalah dalam prakteknya apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Disamping itu, apakah faktor yang menghambat dalam pembentukan peraturan desa tersebut.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum empiris, dimana hukum dikonsepkan sebagai pranata sosial secara riil, dan dikaitkan dengan variabel-variabel sosial yang lain. Penelitian ini menggunakan pendekatan fakta, yakni mengamati dan mengumpulkan fakta-fakta yang terdapat di lapangan secara metodis, kemudian dijadikan sebagai bahan untuk menunjang penelitian.
Adapun hasil yang diperoleh yakni, kedudukan antara Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam Pemerintahan Desa adalah sejajar, selain dalam pembentukan Peraturan Desa, dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, hubungan Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa juga terjadi dalam hal pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) dan dalam hal Badan Permusyawaratan Desa melakukan fungsi pengawasan terhadap Kepala Desa. Dalam pembentukan peraturan desa yang benar-benar menampung aspirasi dari masyarakat yang disetujui bersama dan disahkan serta disosialisasikan kepada masyarakat di Desa Peguyangan Kaja. Selain itu dalam pembahasan rancangan peraturan desa tidak dikonsultasikan sebelumnya kepada masyarakat oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.
ABSTRACT
Law No. 6 of 2014 On The village has set about the relationship with the village chief deliberative body of the village in order to establish village regulations. The village chief has the right to submit a draft regulation and then discuss it with the village Village Consultative Body. The problem is that in practice is in conformity with the laws and regulations that govern them. In addition, whether the factors that inhibit the formation of the village regulations.
The research method used is empirical legal research methods, where the law is conceptualized as a social institution in real terms, and is associated with social variables other. This study uses the approach of the fact, that observe and gather the facts contained in the field methodically, then used as materials to support research.
The results obtained namely, position of the head of the village with the Village Consultative Body in the Village Administration is parallel, in addition to the formation of Village Regulations, the Act No. 6 of 2014 About the Village, relationships village chief with the Village Consultative Body also occurs in the discussion of the Budget income and Expenditure Desa (APBDesa) and in the case of the Village Consultative Body perform oversight of the chief. In the establishment of village regulations that actually accommodate the aspirations of the people who agreed with and endorsed and disseminated to the public in the village Peguyangan Kaja. Besides the discussion of the draft regulation was not consulted before the village to the public by the Village Head and Village Consultative Body.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan suatu negara kesatuan yang terdiri dari beberapa pulau
besar dan kecil yang tersebar dari Sabang sampai Merauke yang juga kaya akan
sumber daya alamnya. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik”. Mengingat Negara Indonesia memiliki banyak
pulau besar dan kecil menyebabkan Negara Indonesia terdiri dari beberapa provinsi
yang masing-masing memiliki luas wilayah dan sistem pemerintahan sendiri-sendiri.
Negara Republik Indonesia merupakan salah satu negara kesatuan yang menganut
asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya, dengan memberikan
kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah. Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, antara lain menyatakan bahwa
pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya diterapkan dengan Undang-undang.
Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak
akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat (Negara bagian)
juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan
dibagi dalam daerah yang lebih kecil, yang mana daerah-daerah tersebut bersifat
2
administratif belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan
Undang-undang"1. Dengan demikian, Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan
otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab
kepada daerah. Disamping itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan
dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan
serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Hal tersebut sudah dapat
mencerminkan tujuan dari pembangunan Nasional, dimana tujuan pembangunan
nasional adalah mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata
dan berkesinambungan antara material dan spiritual. Hal ini tercermin didalam alenia
ke empat Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia disusun adalah untuk
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk mewujudkan tujuan dari Pembangunan Nasional tersebut, maka
diperlukan peningkatan dalam bidang pembangunan dan memantapkan
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif di seluruh pelosok daerah. Sejalan
dengan itu, dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan
kedua atas Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
1
HAW Widjaja, 2005, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh.
3
dan selanjutnya disebut dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2008. Pengaturan mengenai
desa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut, dalam
pelaksanaannya belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan
masyarakat Desa yang hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh
tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan
pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat
hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan
pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah,
kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar pemikiran tersebut, pemerintah melakukan
pembaharuan terhadap pengaturan mengenai desa yang kemudian diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Pengertian mengenai desa diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dalam ketentuan pasal tersebut ditetentukan
bahwa:
Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara
4
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa desa adalah merupakan
organisasi pemerintahan terendah. Sebagai suatu organisasi maka desa akan
mempunyai unsur-unsur dari suatu organisasi yaitu : adanya unsur pimpinan, unsur
pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.
Desa dikepalai oleh seorang Kepala Desa, sedangkan yang menjadi pembantu
dalam pelaksanaan tugas dari pimpinan di desa yaitu Sekretariat Desa yang terdiri
dari Sekretaris Desa dan Kepala-Kepala Urusan serta yang menjadi urusan
pelaksanaan adalah kepala dusun. Kepala desa disamping sebagai penyelenggaraan
rumah tangga desa, juga sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan.2
Kepala Desa harus dapat mengatur jalannya pemerintahan dan rumah tangga
desanya sendiri secara terkendali, berkesinambungan, adil dan inerata. Dengan
demikian dapatlah disadari bahwa betapa beratnya fungsi seorang Kepala Desa. Guna
memperlancar pelaksanaan tugas tersebut Kepala Dcsa di bantu oleh perangkat desa.
Mengingat demikian beratnya tugas dari pada Kepala Desa maka seorang Kepala
Desa harus memenuhi beberapa kriteria yang dipergunakan sebagai syarat menjadi
seorang Kepala Desa.3
Dalam rangka melaksanakan urusan-urusan itu, Kepala Desa bertanggung
2
C.S.T Kansil, 1984. Desa Kita Dalam Peraturan Tata Pemerintahan Desa, Cet 1, Ghalia Indonesia. Jakarta.
3
Kartasapoetra, G. 1986, Desa dan Daerah Tata Pemerintahannya, PT. Bina Aksara.
5
jawab kepada rakyat (Masyarakat Desa) melalui Badan Permusyawaratan Desa dan
kemudian menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya tersebut kepada
Bupati dengan tembusan kepada Camat. Badan Permusyawaratan Desa yang
selanjutnya disebut BPD adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintahan desa yang terdiri dan pemuka masyarakat yang ada di desa yang
berfungsi melestarikan adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerinntahan desa. Bertitik tolak pada hal tersebut diatas berarti
bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang kepala desa harus dapat
dikoordinasikan dahulu dengan Badan Permusyawaratan Desa dan Masyarakat Desa,
baik itu dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pembuatan Peraturan Desa dan
segala jenis kegiatan lainnya. Hal ini bertujuan agar segala tindakan yang dilakukan
dan segala bentuk dan pada keputusan dan peraturan yang dibuat atau dikeluarkan
oleh Kepala Desa tidak bertentangan dengan keinginan dan adat-istiadat di dalam
masyarakat desa. Oleh karena itu kedua lembaga dalam Pemerintahan Desa harus
dapat bekerja sama dengan sebaik-baiknya untuk depan menyelenggarakan jalannya
pemerintahan desa.4
Dari ketentuan pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
dapat dilihat bahwa Badan Permusyawaratan Desa dan Kepala Desa mempunyai
4
Dadang Solihin, 2002. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam Era
6
hubungan dalam menyelenggarakan pemerintahan desa. Hubungan diartikan sebagai
"keadaan berhubungan".5 Keadaan yang berhubungan disini adalah berkaitan dengan
tata kerja, diantaranya : structural dan pertanggung jawaban. Mengenai hubungan,
dimana kata Hubungan berasal dari kata Hubung yang diartikan sebagai "jabatan,
peran, kerja, kegunaan, sekelompok pekerjaan, yang satu dengan yang lainnya ada
hubungan erat dalam pelaksanaan tugas pokok".6 Hubungan berkaitan karena jabatan.
Untuk melihat hubungan antara Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan
Desa dalam pembentukan peraturan desa lebih dalam lagi, penulis mengadakan
penelitian di Desa Peguyangan Kaja, Denpasar Utara.
Desa Peguyangan Kaja membawahi 11 Banjar yaitu Banjar Umadesa, Banjar
Pondok, Banjar Benbiyu, Banjar Denyeh, Banjar Punduh kulit, Banjar Batur, Banjar
Dualang, Banjar Saih, Banjar Gunung, Banjar Paang Tebel, Banjar Blusung. Desa
Peguyangan kaja adalah desa yang terletak di kecamatan denpasar utara, karena desa
memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat. Di dalam perjalanannya desa telah berkembang
dalam berbagai bentuk sehingga perlu di lindungi dan diberdayakan agar menjadi
kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat
dalam melaksanakan pemerintahan desa.
5
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, h 358.
6
7
Sedangkan mengenai Peraturan Desa yang terdapat dalam Pasal 69 ayat 3 dan
ayat 9 Undang-undang No. 6 tahun 2014. Menyatakan bahwa Peraturan Desa di
tetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan
Permusyawaratan Desa. Dan Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan
kepada masyarakat desa.
Secara awam masyarakat desa sering diartikan sebagai masyarakat tradisional.
Masyarakat desa dalah masyarakat yang tinggal di suatu wilayah teritorial tertentu
yang di sebut desa. Masyarakat desa merupakan anggota komunitas kecil atar
individu yang bersifat kekeluargaan. Di mana di desa peguyangan kaja yang
mayoritas penduduknya berkecimpung dalam bidang pertanian, menyebabkan
masyarakat tersebut acuh dengan rancangan peraturan di desa karena mereka sibuk
dengan urusan pertaniannya. Dalam pemahaman tentang peraturan desa, masyarakat
desa tersebut kurang paham dan cenderung hanya menerima apa saja keputusan dari
desa. Dan Kurang kritisnya masyarakat terhadap perancangan peraturan desa.
Sebagai suatu Organisasi Pemerintahan terendah yang diakui oleh Undang-
Undang, Desa Peguyangan Kaja memiliki dua lembaga desa yang berperan aktif
didalam kelangsungan pemerintahan yaitu Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan
Desa sebagai unsur dari penyelenggara pemerintahan di desa. Di dalam menjalankan
kinerjanya, Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa diharapkan menjalin
hubungan yang baik dan harmonis.
Desa Peguyangan Kaja dipilih sebagai tempat penelitian karena berdasarkan
8
sangat rendah terhadap peraturan desa yang telah di tetapkan oleh kepala desa dan
badan permusyawaratan desa. Disamping itu juga penelitian di desa ini dimaksudkan
untuk mengetahui penerapan peraturan perundang-undang tentang desa secara
langsung terutama dalam pembentukan peraturan desa.
Peraturan Desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa,
yang dimana peraturan desa merupakan penjabaran dari perundang-undangan yang
lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial masyarakat desa setempat dan
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. Peraturan desa ditetapkan oleh
Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan ditujukan untuk
pembangunan desa agar terwujud masyarakat yang adil, makmur dan merata.
Didalam pembuatan peraturan desa, konsep-konsep atau rancangan peraturan
desa dapat diajukan oleh Kepala Desa maupun oleh Badan Permusyawaratan Desa,
hal ini dikarenakan kedua unsur pemerintahan desa ini memiliki tugas dan hak untuk
mengajukan rancangan peraturan desa dan kemudian dibahas bersama-sama didalam
rapat musyawarah desa. Setelah dibentuk dan ditetapkannya peraturan desa, haruslah
disampakian oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat sebagai bahan
pengawasan dan pembinaan, paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. (pasal 58
PP Rl Nomor 72 Tahun 2005).
Peraturan perundang-undangan tentang desa telah mengatur tentang hubungan
antara kepala desa dengan badan permusyawaratan desa dalam rangka pembentukan
9
membahasnya bersama Badan Permusyawaratan desa. Permasalahannya adalah
dalam prakteknya apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya. Disamping itu, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hubungan
antara kepala desa dengan badan permusyawaratan desa.
Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang
Hubungan dari dua Lembaga Desa yang sangat berperan penting didalam memajukan
kemakmuran masyarakat, yaitu Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa,
didalam melaksanakan kinerjanya untuk memajukan desa. Maka penulis memilih
judul "HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN
PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN
DESA DI DESA PEGUYANGAN KAJA, DENPASAR UTARA”
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang sudah diuraikan diatas, adapun rumusan masalah
yang akan menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana Hubungan Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa
di Desa Peguyangan Kaja ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hubungan Kepala Desa dengan
Badan Permusyawaratan Desa dalam Pembentukan Peraturan Desa ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
10
nantinya pembahasan ini tidak menyimpang dari pokok permasalahan, yang mana
perlu kiranya untuk mengadakan pembatasan terhadap ruang lingkup permasalannya,
yaitu :
a. Permasalah pertama dibahas mengenai hubungan kepala desa dengan badan
permusyawaratan desa.
b. Permasalahan kedua dibahas mengenai faktor-faktor apa yang mempengaruhi
di dalam pembentukan peraturan desa yang dibuat oleh kepala desa dengan
Badan Permusyawaratan Desa.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Skripsi ini merupakan karya asli penulis sehingga dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Untuk menunjukkan orisinalitas dari skripsi
ini, berikut penulis bandingkan perbedaannya dengan penelitian terdahulu yang
sejenis, yaitu:
Indikator Pembeda dari Penelitian :
No. Judul Penulis Penulis Permasalahan
11 Pembentukan
Peraturan Desa Di
Peguyangan Kaja,
Denpasar Utara
Udayana
Tahun
2016
Desa dengan Badan Permusyawaratan
Desa dalam Pembentukan Peraturan
12
1. Bagaimana hubungan fungsional
antara Kepala Desa dengan Badan
Permusyawaratan Desa dalam
rangka pembuatan Peraturan Desa?
2. Hambatan-hambatan apa yang
ditemui dalam pembuatan
2. Hambatan-hambatan apa yang
ditemui dalam pembentukan
peraturan desa yang di buat
13
14
Walaupun ketiga penelitian tersebut memiliki persamaan membahas mengenai
Hubungan Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa Dalam Pembentukan
Peraturan Desa, namun hal yang dibahas oleh penulis memiliki perbedaan dengan
skripsi pembanding. Terdapat dua perbedaan pada hal yang dibahas, perbedaan yang
pertama adalah pada tempat penelitian dari skripsi tersebut. Skripsi yang penulis buat
melakukan penelitian di Desa Peguyangan kaja Denpasar Utara. Sedangkan pada
skripsi pembanding melakukan penelitian di Desa Sumerta Kelod, Kota Denpasar,
dan di desa duda timur kabupaten karangasem. Perbedaan yang kedua pada rumusan
masalahnya berbeda antara penelitian satu dengan penelitian dua dan tiga.
pembahasan bab 2, bab 3 dan bab 4. Skripsi yang penulis buat pada bab 2 membahas
tentang tinjauan umum tentang desa, kepala desa, badan permusyawaratan desa, dan
peraturan desa. Pada bab 3 membahas tentang hubungan kepala desa dengan badan
permusyawaratan desa dalam rangka pembentukan peraturan desa. Pada bab 4
membahas tentang hambatan-hambatan yang ditemui dalam pembentukan peraturan
desa. Pada skripsi pembanding bab 2 membahas tentang tinjauan umum tentang
penyelenggaraan pemerintahan desa dan badan permusyawaratan desa. Bab 3
membahas tentang hubungan fungsional antara kepala desa dengan badan
permusyawaratan desa dalam rangka pembentukan peraturan desa. Bab 4 membahas
15
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.5.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah agar lebih
mengetahui secara mendalam bagaimana hubungan Kepala Desa dengan
Badan Permusyawaratan Desa dalam Pembentukan peraturan desa di desa
Peguyangan Kaja.
1.5.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui hubungan kepala desa dengan badan
permusyawaratan desa di dalam mekanisme Pembentukan Peraturan
Desa.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
Hubungan Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa di
dalam membentuk peraturan desa tersebut.
1.6 Manfaat Hasil Penelitian
1.6.1. Manfaat teoritis.
16
teoritis (keilmuan). Hasil penelitian skripsi yang dibuat untuk memperoleh
gelar sarjana pada fakultas hukum universitas udayana dapat dijadikan
sebagai bahan lampiran lembaga fakultas hukum universitas udayana dan
sebagai refrensi pada perpustakaan.
1.6.2 Manfaat Praktis
1.6.2.1 Manfaat bagi masyarakat dari Penelitian ini diharapkan dapat
memberi pemahaman kepada masyarakat tentang pembuatan
peraturan desa dan memberi pemahaman tentang hubungan kepala
desa dengan badan permusyawaratan desa dalam pembentukan
peraturan desa.
1.6.2.2 Manfaat bagi penulis dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman tentang hubungan Antara kepala desa
dengan badan permusyawaratan desa dalam pembentukan
peraturan desa serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi dalam pembentukan peraturan desa yang dibuat
oleh kepala desa dengan badan permusyawaratan desa.
1.7 Landasan Teoritis
Sebelum membahas permasalahan dalam skripsi ini secara mendalam, maka
terlebih dahulu akan diuraikan beberapa teori, asas-asas, atau landasan-landasan yang
dimungkinkan untuk menunjang pembahasan permasalahan yang ada. Dengan
17
mendukung untuk menyelesaikan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian
ini.
1.7.1 Teori Negara Hukum
Secara embriotik, gagasan Negara Hukum telah dikemukakan oleh
Plato, ketika ia menulis Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di
usia tuanya, sementara dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicos,
belum muncul istilah Negara, hukum7.Negara Indonesia adalah negara
yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) bukan negara yang berdasarkan
atas kekuasaan belaka (machtstaaf). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa
"negara Indonesia adalah Negara Hukum". Negara Hukum harus
memenuhi dua persyaratan yaitu supremacy before the law artinya hukum
diberikan kedudukan tertinggi, berkuasa penuh dalam suatu negara dan
rakyat. Syarat kedua adalah equality before the law artinya semua orang
pejabat pemerintahan maupun masyarakat biasa adalah sama statusnya atau
kedudukannya didalam hukum.8
Sifat Negara Hukum ini hanya dapat ditunjukkan jika alat-alat
perlengkapannya bertindak menurut peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh lembaga pemerintahan yang berwenang dan sesuai dengan
asas legalitas. Frans Magnis Susena mengemukakan ciri-ciri Negara
7
Rindwan HR. 2011, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal..2
8
18 Hukum sebagai berikut:
1. Asas legalitas.
2. Kebebasan/kemandirian kekuasaan kehakiman.
3. Perlindungan hak asasi manusia.
4. Sistem konstitusi/hak dasar.9
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan
sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan
di setiap Negara Hukum terutama bagi Negara-Negara Hukum dalam
sistem Kontinental10. Istilah asas legalitas juga dikenal dalam Hukum
Pidana; nullum delictum sine praevia lage poenali (tidak ada hukuman
tanpa undang-undang), kemudian asas legalitas ini digunakan dalam
bidang Hukum Administrasi Negara yang memiliki makna, "dat het
bestuur aan de wet is onderworpen " (bahwa pemerintah tunduk kepada
undang-undang) atau "het legaliteitsbeginsel houdt in dat alle (algcmene)
de burgers bindende bepalingen op de wet moeten berusten" (asas legalitas
menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warha Negara harus
didasarkan pada undang-undang)11. Asas legalitas ini merupakan prinsip
Negara Hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan "het beginsel
9
Frans Magnis Suseno, 1978, Dasar-Dasar limn Politik. PT. Bumi Aksara, Jakarta, hal.34
10
Rindwan HR, op.cit, hal. 90. 11
19
van wetmatigheid van bestuur" yakni prinsip keabsahan pemerintah.12
Asas Negara Hukum menggambarkan bahwa dalam suatu Negara
Hukum haruslah membuat undang-undang untuk dapat mengikat
masyarakat karena tanpa undang-undang suatu Negara Hukum tidak bisa
mengikat masyarakatnya sendiri.
1.7.2 Teori Negara Kesatuan
Negara kesatuan disebut juga dengan uniterisme atau eenheistaat,
ialah suatu Negara yang merdeka dan berdaulat, di mana di seluruh Negara
yang berkuasa hanyalah satu pemerintah (pusat) yang mengatur seluruh
daerah, jadi tidak terdiri dari beberapa daerah yang berstatus Negara bagian
(deelstaaf) atau Negara dalam Negara. Dengan demikian, dalam Negara
kesatuan hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintah pusat yang
mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang
pemerintahan Negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan
melaksanakan pemerintahan Negara baik di pusat maupun di
daerah-daerah, di dalam maupun di luar negeri.13
Negara kesatuan mewujudkan kebulatan tunggal, mewujudkan
kesatuan, unity, dan yang monosentris berpusat satu. Beberapa macam
12
Rindwan HR. loc.cit 13
20
Negara kesatuan, antara lain: pertama, Negara kesatuan dengan system
sentralisasi, di mana segala urusan diatur oleh pemerintah pusat.
Sedangkan pemerintahan daerah tidak mempunyai hak untuk mengurus
sendiri daerahnya, pemerintah daerah tinggal melaksanakan. Contoh:
Jerman dibawah Hitler. Kedua, Negara kesatuan dengan system
desentralisasi (gedecentraliseerde eenheidsstaaf), di mana kepada
daerah-daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah
tangganya sendiri (otonomi daerah) yang di namakan daerah swatantra
(otonomi) tingkat 1 (Daswati I atau Pemprov) dan Daswati II atau
pemkot/pemkab.14
1.7.3 Teori Kewenangan
Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus
memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang.15
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kewenangan mengandung
arti: (1) hal wewenang, dan (2) hak dan kekuasaan yang dimiliki untuk
memiliki sesuatu. Sedangkan kata wewenang mengandung arti: (1) hak dan
kekuasaan untuk bertindak; kewenangan, (2) kekuasaan membuat
keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang
14
Ibid,h.145 15
21 lain.16
Wewenang menurut H.D. Stout mengatakan bahwa wewenang
adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintah, yang
dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan
perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum
publik di dalam hubungan hukum publik.17
Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan konsep inti dari
hukum tata negara dan hukum administrasi negara.18 Tanpa adanya
kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan atau tindakan pemerintah.
Menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan kewenangan, yakni
fungsi pembuat kebijakan (policy marking) yaitu kekuasaan yang
menentukan tugas (taakstelling) dari alat pemerintah atau kekuasaan yang
menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy
exsecuting) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik
negara yang telah ditentukan (verwezeblikking van de taak).19
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk
16
Balai Pustaka, 1989, Kamus Besar Indonesia, Depdikbud, Jakarta, h. 1010 17
Ibid,h. 101.
18
H.M. Arief Muljadi, 2005, Landascm dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan Rcpublik Indonesia, Prestasi Pustaka, h. 61
19
22
berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak
dan kewajiban (rechten en plichten)20. Wewenang merupakan bagian yang
sangat penting dan bagian awal dari hukum administrasi, karena
pemerintahan (administrasi) baru dapat menjalankan fungsinya adalah atas
dasar wewenang yang diperolehnya, artinya keabsahan tindak
pemerintahan atas dasar wewenang yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan (legalitiet beginselen).21
Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi,
delegasi dan mandat.22 Teori kewenangan menurut H.D. Van Wijk/Willem
Konijnenbelt meliputi atribusi, delegasi dan mandat yang didefinisikan
sebagai berikut:
a. Attributie: toekening van een bestuursbevoegheid door een wetgever
aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan).
b. Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan
aan een under, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya),
c. Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namcns hem
20
Ridwan HR,op.cit,h.102
21
Nomensen Sinamo. 2010, Hukum Administrasi Negara. Jala Pcrmata Akasara, Jakarta,h.87
22
23
uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan
mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas
namanya).23
Menurut Indroharto, terdapat tiga sifat wewenang pemerintahan
yaitu:
1. Wewenang pemerintahan yang bersifat terikat, yakni terjadi apabila
peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang
bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya
sedikit banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus
diambil.
2. Wewenang fakultatif terdapat dalam hal badan atau pejabat tata usaha
negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau
sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat
dilakukan dalam hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana
ditentukan dalam peraturan dasarnya.
3. Wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasamya member!
kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk
menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan
dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup
kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.24
23
Ibid, h.104
24
24
1.8 Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dalam uraian diatas maka dapat ditarik jawaban
sementara dari permasalahan yang diangkat. Dalam hipotesis ini bukan merupakan
jawaban yang sebenarnya untuk menjawab pennasalahan yang diangkat, akan tetapi
harus terlebih dahulu dilakukan penelitian dan pengujian mengenai kebenarannya
melalui suatu penelitian yang berdasarkan data-data yang kemudian dianalisa.
Barulah analisa tersebut dapat diyakini kebenarannya.
Adapun Hipotesis dari permasalahan tersebut adalah :
1. Hubungan kerja dapat berlangsung apabila dalam pembentukan peraturan desa,
kepala desa dan badan permusyawaratan desa telah membahas dan menyepakati
peraturan yang akan dibentuk.
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dalam Pembentukan Peraturan Desa
yang dibuat oleh Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa yaitu:
1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada
Undang- undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
25 karsa manusia di dalam pergaulan hidup25
1.9 Metode Penelitian
1.9.1. Jenis Penelitian
Pengkajian dalam penulisan Skripsi ini termasuk penelitian hukum
empiris. Artinya, penelitian hukum tersebut dalam penulisannya mengkonsepkan
hukum sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan
nyata.26 Dalam konteks ini, sesuatu yang disebutkan sebagai hukum tidak
semata-mata ditimbulkan dan didasarkan dari literatur-literatur hukum, namun
sebagai suatu yang ditimbulkan dari keadaan masyarakat atau proses di dalam
masyarakat berdasarkan suatu gejala yang akan menimbulkan berbagai efek
dalam kehidupan sosial dengan merumuskan kesenjangan antara das sein dan
das solen, yaitu kesenjangan antara teori dengan realita atau fakta hukum.
1.9.2. Jenis pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan fakta (The Fact
Approach). Pendekatan peraturan perundang-undangann (The Statute Approach)
25
Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto 1), h.8.
26
26
yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.27 Sedangkan
pendekatan fakta adalah pendekatan yang melihat langsung
dilapangan/masyarakat berdasarkan fakta yang ada dalam pelaksanaan Peraturan
Daerah Kota Denpasar Tentang Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa
tentang tata cara menjadi anggota, kedudukan dan susunan, rapat , Fungsi /dan
wewenang, pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa. Sesuai
dengan pendekatan peraturan perundang-undangan yang selanjutnya diikuti oleh
konsep-konsep yang berkaitan dengan penelitian ini.
1.9.3. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah bersifat deskriptif. Penelitian
deskriptif pada penelitian secara umum, termasuk pula didalamnya penelitian
ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran
suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala
dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penelitian ini teori-teori, ketentuan
peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur
maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada dan
bahkan jumlahnya cukup memadai.
1.9.4. SumberData
Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu
data primer dan data sekunder, yaitu:
27
27
a. Data primer adalah data-data yang diperoleh langsung dalam penelitian
dilapangan.
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari data kepustakaan (Library
research) yaitu dimana data-data atau bahan penulisan ini diperoleh dari
literatur-literatur dan peraturan Perundang-undangan yang ada kaitannya
dengan masalah.28
Bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
Adapun bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas
(autoritatif) yang terdiri dari (a) peraturan perundang-undangan, (b)
catatan-catatan resmi atau risalah pembuatan suatu peraturan perundang-undangan,
dan (c) putusan hakim29. Adapun bahan-bahan hukum yang digunakan adalah:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (ULID) Tahun 1945;
b) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah;
c) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
d)Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
28
Burhan Ashshofa. 2001, Metode Penelitian Hukum, Rhineka Cipta, Jakarta, hal 103
29
28
e)Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa;
f)Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 Tentang Desa
g)Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 4 Tahun 2007
tentang Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa;
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,
atau pendapat pakar hukum.30 Adapun bahan hukum sekunder yang
digunakan adalah:
a) Berupa Literatur-literatur yang memuat mengenai pandangan dari
beberapa ahli;
b) Bahan-bahan internet yang mendukung.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus (hukum), ensiklopiedia.31 Adapun bahan hukum tersier yang digunakan
adalah :
a. Kamus Hukum;
b. Kamus Besar Bahasa Indonesia
1.9.5 Teknik Pengumpulan data
Dalam penelitian studi empiris ada beberapa teknik-teknik mengumpulkan
30
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h 32.
31
29 data yaitu :
a. Teknik Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum
(baik normatif maupun empiris)
b. Teknik wawancara (interview)
Menurut M Mochtar, teknik wawancara adalah teknik atau metode
memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan tanya
jawab secara langsung (tatap muka), antara pewawancara dengan responden.32
c. Teknik Observasi/pengamatan
Teknik observasi dibedakan menjadi dua yaitu teknik observasi langsung dan
teknik observasi tidak langsung. Yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik observasi langsung dimana dalam pengumpulan data peneliti
mengadakan pengamatan langsung atau tanpa alat terhadap gejala-gejala
subjek yang diselidiki baik pengamatan dilakukan dalam situasi buatan, yang
khusus diadakan.
1.9.6 Pengolahan dan analisis data
Apabila seluruh data yang diperoleh melalui studi kepustakaan atau dengan
wawancara, kemudian data diolah dan dianalisis secara kualitatif yaitu dengan
menghubungkan antara data yang ada yang berkaitan dengan pembahasan dan
selanjutnya disajikan secara deskriptif analisis.
28
BAB II
TINJAUANUMUM TENTANG DESA, KEPALA DESA, BADAN
PERMUSYAWARATAN DESA, DAN PERATURAN DESA
2.1 Tentang Desa
2.1.1 Pembentukan Desa
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 1 angka 1 menyebut bahwa
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau link tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan
asli berdasarkan asal usul yang bersifat istimewa. Pemikiran mengenai
pemerintahan desa berlandaskan keanekaragaman, partisipasi. otonomi asli,
demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Desa dapat melakukan perbuatan
hukum, baik hukum publik maupun hukum privat, memiliki kekayaan, harta
bendadan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut dipengadilan.
Asal kata "Desa" adalah berasal dan bahasa India, yaitu "swadesi".
Swadesi berarti tempat asal, tempat tinggal, negara asal, atau tanah leluhur yang
29
batas yang jelas. Istilah desa ini. juga bisa disebut dengan istilah lain pada
daerah-daerah tertentu. Misalnya saja: Dusun dan Marga bagi masyarakat
Sumatra selatan , Dati di Maluku, Nagari di Minang atau Wanua di Minahasa.
Terjadinya perbedaan istilah desa tersebut tidak lain karena dipengaruhi oleh
budaya dan adat istiadat dari setiap desa.1 Pada hakekatnya bentuk Desa dapat
dibedakan menjadi dua yaitu Desa Geneologis dan Desa Tradisional. Sekalipun
bervariasi nama Desa ataupun daerah hukum yang setingkat Desa di Indonesia,
akan tetapi asas atau landasan hukumnya hampir sama yaitu adat, kebiasaan dan
hukum adat. Desa dapat diartikan sebagai permukiman manusia di luar kota
yang penduduknya berjiwa agraris. Dalam keseharian disebut kampung,
sehingga ada istilah pulang ke kampung atau kampung halaman. Desa adalah
bentuk kesatuan administratif yang disebut kelurahan. Lurahnya kepala desa.
Pendefinisian desa dari segi geografis ini salah satunya dikemukakan oleh
Bintarto. Menurutnya, definisi desa adalah suatu hasil dari perwujudan antara
kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu
adalah suatu wujud atau penampakan dimuka bumi yang ditimbulkan oleh
unsur-unsur fisiografi, social ekonomis, politis, dan kultural yang saling
berinteraksi antar unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah
lain.2
1
Amin Suprihartini, 2007, Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Cet. I, Cempaka Putih,Klaten, h.1.
2
30
Definisi desa dipandang dari pergaulan hidup dikemukakan oleh Bouman,
yaitu sebagai salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak
beberapa ribu orang, dan hampir semuanya saling mengenal. Kebanyakan orang
yang termasuk didalamnya hidup dari pertanian, perikanan, dan sebagainya,
usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Lebih lanjut
Bouman berpendapat bahwa dalam tempat tinggal itu terdapat banyak
ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi dan kaidah-kaidah sosial.3
Desa dipandang dari segi hubungan dengan penempatannya di dalam
susunan tertib pemerintahan muncul dari Departemen Dalam Negeri yang
termaktub dalam Pola Dasar dan Gerakan Operasional Pembangunan
Masyarakat Desa. Adapun pengertian Desa yang dimaksud sebagai berikut:
"Desa atau dengan nama aslinya yang setingkat yang merupakan kesatuan
masyarakat hokum berdasarkan susunan asli adalah suatu 'badan hukum' dan
'badan pemerintahan" yang merupakan bagian wilayah kecamatan atau wilayah
yang melingkunginya.”4
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 200 ayat (2) menyebutkan Pembentukan, penghapusan, dan/atau
penggabungan Desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa
3
Ibid. h. 2.
4
31
masyarakat. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa
Pasal 2 ayat (1) menyebutkan Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan
memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Dapat dilihat dari Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Pemerintah
tersebut bahwa Desa dibentuk atas prakarsa dari masyarakat serta
memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Adapun syarat-syarat dalam pembentukkan desa diatur dalam Pasal 2 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa adalah:
a. jumlahpenduduk;
b. luas wilayah;
c. bagian wilayah kerja;
d. perangkat; dan
e. sarana dan prasarana pemerintahan.
Jika Desa yang kondisi masyarakat dan wilayahnya tidak lagi memenuhi
persyaratan dapat dihapus atau digabung. Pembentukan desa dapat berupa
penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau
pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa
di luar desa yang telah ada.
Menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Yang
dimaksud dengan pembentukan desa adalah tindakan mengadakan desa yang
baru diluar desa yang ada. Ungkapan "mengadakan desa baru" tidak berarti
32
persiapan jauh sebelumnya, seperti halnya desa yang lahir di lokasi-lokasi
transmigrasi, resettlement, dan pradesa.
Pembentukan desa diatur dalam Pasal 7 Ayat (4) huruf a dan Pasal 8
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dalam Pasal 7 Ayat (4) huruf
a disebutkan bahwa Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
pembentukan. Penataan yang dimaksud selanjutnya lebih rinci dijelaskan pada
Pasal 8 yang menyebutkan bahwa:
1)Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf a
merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang ada.
2)Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi Desa.
3)Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. batas usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan;
b. jumlah penduduk, yaitu:
1) wilayah Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepalakeluarga;
(tiga ribu) jiwa atau 600 (enam ratus) kepala keluarga;
5) wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima ratus) kepala keluarga;
6) wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan
Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu)
jiwa atau 400 (empat ratus) kepala keluarga;
7) wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala keluarga;
8) wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling
sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan;
33 (seratus) kepala keluarga.
c. wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah;
d. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;
e. memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung; 5 / 71
f. batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/ Walikota;
g. sarana dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan h. tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya
bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4) Dalam wilayah Desa dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama lain
yang disesuaikan dengan asal usul. adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa.
5) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Desa persiapan.
6) Desa persiapan merupakan bagian dari wilayah Desa induk.
7) Desa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditingkatkan statusnya
menjadi Desa dalam jangka waktu 1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun.
8) Peningkatan status sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan berdasarkan
hasil evaluasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 2 menyebutkan
bahwa pembentukan desa diprakarsai oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Pemerintah dapat memprakarsai pembentukan Desa di
kawasan yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional. Prakarsa
pembentukan Desa dapat diusulkan oleh kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian terkait dimana usul prakarsa pembentukan Desa tersebut
diajukan kepada Menteri. Usul prakarsa pembentukan Desa dibahas oleh
34
nonkementerian pemrakarsa serta pemerintah daerah provinsi dan pemerintah
daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Dalam melakukan pembahasan,
Menteri dapat meminta pertimbangan dari menteri/pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian terkait, jika usul prakarsa disepakati untuk
membentuk Desa, Menteri menerbitkan keputusan persetujuan pembentukan
Desa kemudian Keputusan Menteri tersebut ditindaklanjuti oleh pemerintahan
daerah kabupaten/kota dengan menetapkannya dalam peraturan daerah
kabupaten/kota tentang pembentukan Desa.
Pemerintah daerah kabupaten/kota dalam memprakarsai pembentukan
Desa berdasarkan atas hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa
di wilayahnya. Pemerintah daerah kabupaten/kota dalam memprakarsai
pembentukan Desa harus mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa,
asalusul, adat istiadat. kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta
kemampuan dan potensi Desa.
Pembentukan desa pada umumnya melalui fase persiapan seperti diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya ada sebidang tanah kosong
tiada berpenduduk dan tidak merupakan tanah atau wilayah desa tertentu. Pada
suatu hari tanah itu digarap dan didiami oleh beberapa keluarga yang berasal
dari tempat (desa) asal yang berjauhan letaknya. Setelah jumlah penduduk
daerah itu menginjak angka ratusan, tentu mulai difikirkan soal tata
pemerintahannya, terlebih pula mengingat hubungannya dengan desa asal
35
sendiri, penduduk tersebut memerlukan pembinaan melalui fase persiapan.
2.1.2 Pemerintahan Desa
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menyebut
Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dalam Pasal 200 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari
Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Secara historis desa
rupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di
Indonesia jauh sebelum bangsa ini terbentuk.5 Desa merupakan daerah yang
otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relative
mandiri. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat keberagaman yang tinggi membuat
desa mungkin merupakan wujud bangsa yang paling kongkret.
Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa diselenggarakan
oleh Pemerintah Desa yang meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa dan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa adalah orang yang
mengepalai desa. Kepala desa dalam organisasi pemerintahan desa mempunyai
kedudukan sebagai pemimpin pemerintahan. Dalam kedudukan ini, kepala desa
mempunyai tugas pokok sebagai berikut: Mempimpin, mengkoordinasikan, dan
5
36
mengendalikan pemerintah desa dalam melaksanakan sebagian urusan rumah
tangga desa, urusan pemerintahan umum, pembangunan dan pembinaan
masyarakat, serta menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah
provinsi, dan atau pemerintah kabupaten.6
Dalam Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah tidak dijelaskan
secara jelas mengenai definisi dari Kepala Desa, kepala desa dapat diartikan
sebagai pimpinan penyelenggaraan pemerintahan desa. Kepala Desa bertugas
menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa,
pembinaan keinasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Pemerintah desa berfungsi menyelenggarakan kebijakan pemerintah atasnya
dan kebijakan desa, sedangkan BPD berfungsi menetapkan peraturan desa
bersama dengan kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
desa.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa mengatur bahwa
Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara
berturut-turut atau tidak secara berturut-turut dimana di undang-undang
sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah mengatur bahwa masa jabatan kepala desa adalah 6
(enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya. Dapat dilihat disini bahwa di Undang-Undang Desa yang baru
kepala desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara
6
37
berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Susunan organisasi pemerintahan di setiap desa tidak tentu sama. Hal ini
karena tergantung dari kebutuhan dan keadaan desa masing-masing. Desa
memiliki pemerintahan sendiri. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa pemerintahan desa terdiri atas pemerintah desa (yang meliputi kepala
desa dan perangkat desa) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Lebih
lanjut bisa dirinci sebagai berikut.
a. Kepala desa
b. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
c. Sekretaris desa
d. Kepala urusan pemerintahan
e. Kepala urusan pembangunan
f. Kepala urusan kesejahteraan rakyat
g. Kepala urusan keuangan
h. Kepala urusan umum
Untuk lebih jelasnya lagi perhatikan contoh bagan struktur organisasi
pemerintahan desa di bawah ini :
38
2.2 Badan Permusyawaratan Desa
Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Badan
Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga
yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil
dari pcnduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara
demokratis. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah
Daerah Pasal 209 menyebut Badan Permusyawaratan Desa berfungsi
menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa Pasal 55 menyebut Badan Permusyawaratan Desa mempunyai
fungsi mcmbahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala
Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa dan melakukan
pengawasan kinerja Kepala Desa.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, kedudukan Badan Pennusyawaratan Desa mengalami perubahan. Jika
sebelumnya Badan Pennusyawaratan Desa merupakan unsur penyelenggara
pemerintahan maka sekarang menjadi lembaga desa. Dari fungsi hukum
39
menyalurkan aspirasi, merencanakan APBDes, dan mengawasi pemerintahan
desa. Sedangkan tugasnya adalah menyelenggarakan musyawarah desa
(musdes) dengan peserta terdiri kepala desa, perangkat desa kelompok, dan
tokoh masyarakat. Jumlah pesertanya tergantung situasi kondisi setiap desa.
Musyawarah desa berfungsi sebagai ajang kebersamaan dan membicarakan
segala kebijakan tentang desa.
Badan Pennusyawaratan Desa beranggotakan wakil dari penduduk desa
bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara
musyawarah dan mufakat. Anggota Badan Pennusyawaratan Desa terdiri atas
ketua rukun warga, pemangku adat, golongan pirofesi, dan tokoh atau pemuka
agama serta masyarakat lainnya. Masa Jabatan Badan Permusyawaratan Desa
adalah enam tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk sekali masa
jabatan berikutnya. Peresmian anggota Badan Permusaywaratan Desa
ditetapkan dengan keputusan bupati/wali kota.7
Menurut Pasal 55 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,
Badan Pennusyawaratan Desa mempunyai Fungsi:
a. membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama
Kepala Desa;
b. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
c. melakukan pengawasan kinerja kepala desa.
Dapat dilihat disini bahwa fungsi dari Badan Permusywaratan Desa
7