• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN PENJABAT WALIKOTA MELAKUKAN MUTASI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEWENANGAN PENJABAT WALIKOTA MELAKUKAN MUTASI."

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN PENJABAT WALIKOTA

MELAKUKAN MUTASI

IDA BAGUS DWI GANDA SABO NIM. 1203005197

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

KEWENANGAN PENJABAT WALIKOTA

MELAKUKAN MUTASI

IDA BAGUS DWI GANDA SABO NIM. 1203005197

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

(3)

MELAKUKAN MUTASI

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

IDA BAGUS DWI GANDA SABO NIM. 1203005197

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

(4)

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor : 1310/UN14.1.11.1/PP.05.02/20162013

Ketua : Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H. (...)

(5)
(6)

Dengan doa dan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya penulisan skripsi dapat terselesaikan tepat pada waktunya guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, sehingga judul yang dipilih dalam penulisan skripsi ini adalah “KEWENANGAN PENJABAT WALIKOTA MELAKUKAN MUTASI”

Keberhasilan penyusunan skripsi ini, tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan secara moril maupun materiil oleh semua pihak. Untuk itu melalui kesempatan ini saya sampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana serta selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakutas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(7)

Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana I Ketut Suardita S.H.,M.H yang telah memberikan bimbingan dan menuntun semenjak awal Penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak Dr. Made Gde Subha Karma Resen, S.H.,M.Kn., Dosen Pembimbing II yang telah membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu serta wawasan yang lebih kepada Penulis.

8. Seluruh Staff Laboratorium Hukum, Perpustakaan, dan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

9. Keluarga tercinta, Ida Kade Okarmita (Ayah Kandung), Ida Ayu Putu Sri Adnyani (Ibu Kandung), Ida Bagus Gede Nicko Sabo Adiyana S.E (Kakak Kandung), (Alm.) Ida Kade Okarta (Kakek Kandung), serta (Alm.) Ida Ayu Putu Resik (Nenek Kandung) yang senantiasa memberikan dukungan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Seluruh teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Udayana khususnya Angkatan 2012, dan kawan-kawan di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana (BEM FH UNUD) yang telah memberikan semangat serta mendukung agar Penulis mampu segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

11. Sahabat-sahabat Penulis, Komang Sri Indrawati, Jik Rai, Mbok Gek Anom, Edgar Ryan, Tri Budi Udayana, Clara Huliselan, Rio Eskatara, Ivan

(8)

Alit, Boldes, Intan, Gek in, Turah Anom, Ranu, Juliarta Kolink, Awit, Mia, Edes, Selin, Gung say, Muda-Mudi GNK, dan pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama Penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

12. Keluarga KKN PPM Periode XI pada bulan Agustus di Desa Klumpu, Nusa Penida, yaitu Kak Bima, Kak Jennifer, Kak Adek, Shintia, Lindayani, Tenry Iryma Leoza, Ratih, Icak, Debby, Nandos, Bagus, Loys, Andre, Surya, Igit, Artaya, Erik, Tiara, Vennyta, Jayak, Dhita, Canis yang telah memberikan dukungan selama Penulis menyelesaikan skripsi ini.

Untuk dapat melengkapi dan menyempurnakan skripsi ini, maka Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari semua pihak. Akhir kata, Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Om Santi, Santi, Santi, Om.

Denpasar, 4 April 2016

Penulis

(9)
(10)

HALAMAN SAMPUL DALAM ...i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ...ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ...iv

KATA PENGANTAR ...v

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ...viii

HALAMAN DAFTAR ISI ...ix

ABSTRAK ...xii

ABSTRACT ...xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 6

1.4 Orisinalitas ... 7

1.5 Tujuan Penelitian ... 7

a. Tujuan Umum ... 7

b. Tujuan Khusus ... 8

1.6 Manfaat Penelitian ... 8

a. Manfaat Teoritis ... 8

b. Manfaat Praktis ... 9

1.7 Landasan Teoritis ... 9

(11)

1.8 Metode Penelitian ... 16

1.8.1 Jenis Penelitian ... 16

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 16

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 17

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 19

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 19

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI APARATUR SIPIL NEGARA 2.1 Aparatur Sipil Negara ... 21

2.1.1 Pengertian Aparatur Sipil Negara ... 21

2.1.2 Jenis, Status, dan Kedudukan Aparatur Sipil Negara ... 22

2.1.3 Fungsi, Tugas, dan Peran Aparatur Sipil Negara ... 25

2.1.4 Hak dan Kewajiban Aparatur Sipil Negara ... 25

2.1.5 Pengertian Pejabat Pembina Kepegawaian ... 27

2.2Kewenangam ... 29

2.2.1 Pengertian Kewenangan ... 29

2.2.2 Jenis-jenis Kewenangan ... 30

2.3Mutasi Kepegawaian ... 34

2.3.1 Pengertian Mutasi Kepegawaian ... 34

2.4Jabatan Kepegawaian ... 36

2.4.1 Pengertian Jabatan ... 36

2.4.2 Jenis-jenis Jabatan Aparatur Sipil Negara ... 39

(12)

2.5.3 Jenis-jenis Pelanggaran Disiplin Pegawai Negeri Sipil ... 45 2.5.4 Tingkat dan Jenis Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil ... 46

BAB III DASAR HUKUM PELAKSANAAN MUTASI

3.1Pengaturan pelaksanaan Mutasi berdasarkan UU No. 5 Tahun 2014 .. 49 3.2Pengaturan pelaksanaan Mutasi berdasarkan PP No. 49 tahun 2008... 53 3.3Pengaturan pelaksanaan Mutasi berdasarkan Surat Kepala Badan

Kepegawaian Negara No: K.26-30/V.100 -2/99 ... 58 BAB IV AKIBAT HUKUM TINDAKAN MUTASI

4.1Pelanggaran terhadap Displin Pegawai Negeri Sipil ... 66 4.2Penjatuhan Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil ... 73 BAB V PENUTUP

5.1Kesimpulan ... 79 5.2Saran ... 80

DAFTAR BACAAN LAMPIRAN

(13)

Mutasi adalah suatu kegiatan memindahkan pegawai dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lainnya Mutasi merupakan salah satu bentuk dari pengembangan terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) baik di instansi pemerintah pusat maupun daerah. Pelaksanaan mutasi di bidang kepegawaian lebih diarahkan untuk mencapai peningkatan kinerja secara efisien dan efektif sebagai bagian dari usaha-usaha untuk mempercepat pencapaian tujuan, melalui penempatan orang yang tepat pada tempat yang tepat, dengan tetap mempertimbangkan aspek pembinaan bagi aparatur negara yang meniti beratkan kepada sistem prestasi kerja. Mutasi sering kali dilaksanakan dengan alasan sebagai motivasi agar semangat dalam bekerja serta untuk memenuhi keinginan dari ASN itu sendiri untuk bekerja pada bidang tugasnya masing-masing sesuai dengan minat yang dimilikinya, akan tetapi pelaksanaan mutasi kerja juga sering kali disalah artikan sebagai bentuk hukuman jabatan. Seperti apa yang terjadi di kota Denpasar, seorang penjabat walikota melakukan mutasi terhadap dua orang pegawai ASN yang merupakan pejabat eselon II. Permasalahan yang timbul kemudian adalah apa yang menjadi dasar hukum dari seorang penjabat walikota melakukan mutasi serta apa akibat hukum yang timbul dari tindakan mutasi yang dilakukan oleh penjabat Walikota Denpasar tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Aturan yang seharusnya dipergunakan sebagai dasar hukum atau pedoman dalam melakukan mutasi terhadap ASN adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang, Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, Surat Instruksi Menteri dalam negeri Nomor 820/6040/SJ tentang Mutasi Pegawai Oleh Penjabat Kepala Daerah, dan Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara No: K.26-30/V.100 -2/99 tentang Penjelasan atas Kewenangan Penjabat Kepala Daerah di Bidang Kepegawaian. Berdasarkan semua aturan tersebut seorang penjabat walikota dilarang melakukan tindakan yang dapat menimbulkan akibat hukum yang dalam hal ini mutasi, terkecuali setelah mendapat izin secara tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Akibat hukum yang timbul dari tindakan mutasi yang dilakukan oleh penjabat Walikota Denpasar tersebut adalah dapat dijatuhi sanksi yang berupa tingkat hukuman disiplin berat sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Karena dalam melakukan mutasi penjabat walikota tersebut tidak mendapat izin tertulis dari menteri, maka penjabat walikota itu telah melakukan pelanggaran, dalam bentuk pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan dan penyalahgunakan wewenang.

Kata Kunci : Mutasi, Aparatur Sipil Negara, Penjabat Walikota, Hukuman Disiplin

(14)

mutation itself are to achievean increased performance efficiently and effectively, as a part of efforts to accelerate the achievement of the organisation’s purposes, through the placement of the right people at the right place, while considering the aspects of coaching for the state apparatus which focuses on system performance. The reasons towars mutations are often as the motivation for working and to fulfill the wishes of the aparatur Civil State itself to work in the field of their respective duties in accordance with the interest it has. But, the implementation of the mutations is often misunderstood as a form of punishment. Happened in Denpasar, the acting mayor mutate two employees of the State Civil Apparatus which in echelon II. The problem arises in this case are what is the legal basis of the mutation and what is the legal consequences from the mutation committed by the acting mayor of Denpasar. The method used in this papershall be the normative legal research methods combine with the approach of legislation, case approach, and conceptual approaches. The law used as the basis of law or guidelines in the mutation system towards the state civil aparatusare Law No. 5 of 2014 concerning the Reform of Civil State, The Government Regulation No. 49 of 2008 concerning the Third Amendment of Government Regulation Number 6 of 2005 concerning Election, Legalization of Appointment and Dismissal Regional head and Deputy head, Government Regulation No. 9 of 2003 concerning the Authority, Appointment, Removal and Dismissal of Civil Servants, Letter of Instruction's home affairs minister No. 820/6040 / SJ on Mutation Employees By Acting Regional head, and Letter head of Human Resources country No: K.26-30 / V.100 -2/99 on the explanation of the Authority in the field Acting Regional Head of Human Resources. Based on all these laws, an acting mayor are prohibited to mutate the state civil apparatus, except that acting mayor obtaina written permission from the minister of home affairs. Legal consequences arising from the mutation acts committed by the acting Mayor of Denpasar is a level of severe disciplinary punishment in accordance with Government Regulation No. 53 of 2010 concerning Discipline of Civil Servants, sinceit doesn’t obtain a written permission from the minister, then acting mayor had committed the offense, a violation of the legislation and the missappropriation of authority.

Keywords: Mutation, the State Civil Apparatus, Acting Mayor, Discipline Punishment

(15)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

(16)

(economic and social develovment) yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat.

Penyelenggaraan pemerintahan baru akan terwujud apabila penyelengaraan pemerintahan nasional dilaksanakan secara menyeluruh, terencana, terarah, dan berkesinambungan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Dalam hal ini keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan nasional tergantung pada aspek manusianya yakni sebagai pemimpin, pelaksana, dan pengelola sumber daya yang ada pada negara. Kelancaran penyelanggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional juga sangat tergantung pada kesempurnaan aparatur negara baik ditingkat pusat maupun di daerah. Dalam rangka mewujudkan tujuan nasional yang merupakan cita-cita bangsa, maka diperlukan adanya ASN yang handal sesuai dengan bidang kemampuannya, baik, berwibawa, bebas dari intervensi politik, bermental yang kuat, berdaya guna, adil, bersih dari korupsi, kolusi, nepotisme atau yang disingkat KKN, jujur, bertannggung jawab, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai aparatur negara. Aparatur negara merupakan unsur perekat rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang penuh kesediaan dan ketaatan pada Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945.

(17)

dengan alasan sebagai motivasi agar semangat dalam bekerja serta untuk memenuhi keinginan dari ASN untuk bekerja pada bidang tugasnya masing-masing sesuai dengan minat yang dimilikinya, akan tetapi pelaksanaan mutasi kerja juga sering kali disalah artikan sebagai bentuk hukuman jabatan. Pelaksanaan mutasi sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan peluang untuk ASN mengembankan potensi yang dimilikinya. Mutasi dilaksanakan berdasarkan pada indeks prestasi yang diraih dari seorang ASN melalui penilaian objektif. Selain itu mutasi dilaksanakan agar kinerja ASN dalam melaksanakan tugasnya dapat dilakukan dengan lebih efektif karena mutasi yang tidak dapat meningkatkan efktifitas dan efisiensi tidak ada artinya dan bahkan dapat merugikan instansi pemerintahan itu sendiri. Pelaksanakan mutasi harus dilakukan dengan cara dan prosedur yang tepat sesuai dengan aturan yang berlaku agar mutasi tidak dirasakan sebagai hal yang menakutkan dikalangan ASN, untuk melakukan mutasi jabatan tidaklah mudah terutama dalam menentukan indikator atau ukuran, siapa, kemana, dan bagaimana mekanisme mutasi tersebut. Dengan pertimbangan tersebut maka dari itu mutasi yang dilaksanakan terhadap ASN dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan harus memerlukan pemikiran dan pertimbangan yang matang agar mutasi yang dilakukan terhadap ASN dapat berjalan sesuai prosedur, tepat sasaran dan yang paling penting adalah sudah sesuai serta tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(18)

waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan tidak tertulis yang isinya bersifat umum.1 UU No. 5 tahun 2014 adalah aturan baru yang sudah barang tentu menjadi pedoman dalam pelaksanaan mutasi kepegawaian pada setiap instansi pemerintahan baik itu di tingkat pusat maupun di daerah, akan tetapi pada kenyataannya tidak jarang ditemukan pelaksanaan mutasi terhadap ASN menyalahi aturan. Berkaca pada kasus mutasi yang terjadi di kota Denpasar, dimana seorang penjabat Walikota Denpasar melakukan mutasi terhadap dua orang pegawai ASN yang merupakan pejabat eselon II kota Denpasar.2 Pada kasus mutasi tersebut, mutasi yang dilakukan oleh penjabat Walikota Denpasar dianggap tidak berdasar dan melanggar aturan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, dan Wakil Kepala Daerah (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 nomor 92 dan tambahan lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4865) yang selanjutnya disebut PP No. 49 tahun 2008, karena berdasarkan pasal 132 A yang menyatakan bahwa :

(1) Penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4), atau yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah dilarang:

a. melakukan mutasi pegawai;

1

S.F. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 154-155.

2

(19)

b. membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya;

c. membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan

d. membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

Sedangkan pada UU No. 5 tahun 2014 yang dapat melakukan mutasi adalah pejabat pembina kepegawaian sesuai dengan pasal 73 ayat (2) yang menyatakan bahwa, Mutasi PNS dalam satu intansi pusat atau instansi daerah dilakukan oleh pejabat pembina kepegawaian. Mengenai pejabat pembina kepegawaian diatur dalam pasal 53 UU No. 5 tahun 2014 yang menyatakan bahwa:

Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian utama kepada:

a.menteri di kementerian;

b.pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian;

c.sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga nonstruktural; d.gubernur di provinsi; dan

e.bupati / walikota di kabupaten / kota

(20)

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut dengan mengidentifikasi instrumen hukum nasional Indonesia dalam menyikapi persoalan mengenai pelaksanaan mutasi bagi ASN di instansi pemerintahan dan aturan mana yang harusnya digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan mutasi dengan melihat kasus mutasi yang terjadi di pemerintahan kota Denpasar. Maka permasalahan ini menjadi sangat menarik dan relevan jika dianalisa serta dibahas secara komperhensif dalam pembahasan penulis skripsi yang berjudul “KEWENANGAN PENJABAT WALIKOTA MELAKUKAN MUTASI”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka dapat ditarik sebuah permasalahan yaitu sebagai berikut :

1. Apakah yang menjadi dasar hukum penjabat Walikota untuk melakukan mutasi?

2. Apa akibat hukum yang timbul dari tindakan mutasi yang dilakukan oleh seorang penjabat Walikota apabila dikaitkan dengan kasus mutasi yang dilakukan penjabat Walikota Denpasar terhadap dua orang pejabat eselon II pemerintahan Kota Denpasar?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

(21)

menghindari adanya pembahasan yang jauh menyimpang dari pokok permasalahan. Terhadap permasalahan pertama, dasar hukum yang dimaksud baik itu undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan perundang-undangan yang lainnya yang berkenaan dengan tindakan mutasi yang dilakukan oleh penjabat Walikota terhadap pejabat eselon II di pemerintahan Kota Denpasar. Demikian pula pada permasalahan kedua, akan dikemukakan mengenai apa akibat hukum yang timbul dari tindakan mutasi yang dilakukan oleh seorang penjabat walikota terhadap pejabat eselon II yang merupakan pegawai ASN.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan oleh penulis di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana, judul penelitian KEWENANGAN PENJABAT WALIKOTA MELAKUKAN MUTASI ini belum pernah dikaji secara mendalam dalam bentuk karya ilmiah oleh penulis lain. Dengan hal tersebut dikatakan bahwa penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan dari segi isinya.

1.5 Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini antara lain :

(22)

penulisan ini, turut diupayakan untuk melakukan pengembangan pada bidang hukum pemerintahan, khususnya hukum kepegawain.

2) Sebagai syarat untuk meraih gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:

1) Untuk mengetahui dan menganalisa dasar hukum apa yang digunakan oleh seorang penjabat walikota untuk melakukan mutasi kepegawaian dilingkungan pemerintahan.

2) Untuk mengetahui apa yang menjadi akibat hukum bagi seorang penjabat walikota melakukan mutasi terhadap pejabat yang merupakan Aparatur Sipil Negara.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini dapat diklasifikasikan atas dua hal, baik bersifat teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

(23)

b. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1) Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat sebagai bahan acuan, pertimbangan, dan penyempurnaan bagi penelitian selanjutnya dalam praktek hukum.

2) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan tentang pengaturan mutasi bagi ASN.

3) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dari penulis dalam perkembangan hukum pemerintahan khususnya dan bermanfaat bagi penulis lain dalam penulisan pada masa yang akan datang.

1.7 Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan dalam upaya pembahasan penelitian ini adalah konsep-konsep, asas-asas dan pandangan sarjana sebagai dasar untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini. Adapun landasan teoritis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik 2) Teori Kewenangan

3) Konsep Negara Hukum

1.7.1 Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik

(24)

tersebut digunakan istilah Algemene Beginselen Van Behoorlijke Bestuur yang berkenaan dengan usaha peningkatan perlindungan bagi rakyat terhadap pemerintah.3 Istilah Mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik juga diatur dalan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 nomor 292 dan tambahan lembaran Negara Republik Indonesia nomor 5601) yang kemudian disingkat UU No 30 Tahun 2014 yaitu pasal 1 angka 17 yang menyatakan bahwa :

Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yang selanjutnya disingkat AUPB adalah prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Adapun asas-asas yang tergabung dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah sebagai berikut :

1) Asas Kepastian Hukum (principle of legal security)

Asas yang menghendaki di hormatinya keputusan yang telah diperoleh seseorang berdasarkan surat keputusan dari pemerintah walaupun keputusan itu salah.

2) Asas Keseimbangan (principle of proportionality)

Asas yang menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dengan kealpaan yang dilakukan oleh seorang pegawai.

3) Asas Kesamanan dalam Mengambil Keputusan (principle of equality) Asas ini menghendaki agar badan pemerintahan mengambil tindakan yang sama, tidak bertentangan dengan kasus-kasus yang faktanya sama.

3

(25)

4) Asas Bertindak Cermat (principle of carefulness)

Asas yang menghendaki agar pemerintah atau administrasi bertindak cermat dalam melakukan berbagai aktivitas dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara. 5) Asas Motivasi untuk Setiap Keputusan (principle of motivaton)

Asas yang menghendaki agar keputusan dari badan-badan pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan dan sedapat mungkin alasan dan motivasi tersebut tercantum dalam keputusan.

6) Asas Tidak Mencampuradukan Kewenangan (principle of non misuse of competence)

Asas yang menghendaki pejabat tata usaha negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenangnya melampaui batas.

7) Asas permainan yang layak (principle of fair play)

Asas yang menghendaki warga negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatan untuk membela diri dengan memberikan argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan administrasi.

8) Asas Keadilan dan Kewajaran (principle of reasonable or prohibition of abritrarines)

(26)

9) Asas Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan yang Wajar (principle of meeting raised expectation)

Asas yang menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan yang positif bagi warga negara.

10) Asas Meniadakan Akibat Suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annuled decision)

Asas yang menghendaki agar jika terjadi pembatalan atas suatu keputusan maka akibat dari keputusan tersebut harus dihilangkan sehingga yang bersangkutan dalam hal ini pihak yang dirugikan diberikan ganti rugi atau rehabilitasi.

11) Asas Perlindungan atas Pandangan atau Cara Hidup Pribadi (principle of protecting the personal)

Asas yang menghendaki agar pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap pegawai negeri dan juga tentunya hak kehidupan pribadi setiap warga negara, sebagai konsekuensi negara hukum demokratis yang menjungjung dan melindungi hak asasi manusia setiap warga negara.

12) Asas Kebijaksanaan (sapientia)

(27)

13) Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principle of public service) Asas yang menghendaki pemerintah dalam melaksanakan pemerintahan selalu mengutamakan kepentingan umum yakni, kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banayak.4

Dari uraian mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik kaitannya dengan penelitian ini adalah pejabat pemerintahan tidak akan lagi menyalahgunakan kewenangannya untuk tujuan lain dalam bertindak terhadap PNS atau pegawai yang merupakan bawahannya terutama yang berkaitan dengan tindakan mutasi.

1.7.2 Teori Kewenangan

Setiap penyelenggaran kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi yaitu, kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan

demikian substansi dari asas legalitas adalah wewenang yaitu, “het vermogen tot

het verrichten van bepaalde rechtshandelingen.” Artinya, kemampuan untuk

melakukan tindakan-tindakan tertentu.5 Menurut Bagir Manan, wewenang adalah bahasa hukum dan tidak sama dengan kekuasaan (mact). Kekuasaan hanya menggambarkan hak utuk berbuat dan tidak berbuat. Dalam hukum wewenang adalah hak sekaligus kewajiban.6

Menurut P. Nicolai Kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak

4

SF. Marbun & Moh. Mahfud MD, 1987, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 60.

5

Ridwan HR, 2010, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 98.

6

(28)

melakukan perbuatan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan perbuatan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu.

1.7.3 Konsep Negara Hukum

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat) negara hukum adalah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Itu artinya segala bentuk pelaksanaan mekanisme kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dilakasanakan atas dasar kekuasaan belaka, akan tetapi harus dan wajib berdasarkan pada hukum baik itu hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehinga baik itu anggota masyarakat atau anggota pemerintah wajib mematuhi hukum tersebut.

Konsep negara hukum dianggap sebagai konsep yang universal yang pada implementasinya memiliki berbagai karakteristik yang beraneka ragam hal tersebut dikarenakan adanya pengaruh-pengaruh situasi kesejahteraan serta pengaruh falsafah bangsa dan idiologi negara.7 Menurut Freidrich Julius Stahl konsep negara hukum (rechtsstaat) dalam sistem hukum eropa continental harus mengandung empat syarat yaitu sebagai berikut :

1) Perlindungan Hak Asasi Manusia

2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu 3) Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan

7

(29)

4) Peradilan Administrasi Negara.8

Menurut A.V. Decey Konsep Negara hukum (rule of law) dalam sistem hukum anglo saxon yang harus mengandung tiga syarat yaitu sebagai berikut :

1) Supermasi Aturan-aturan Hukum

2) Kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law) 3) Terjaminnya HAM oleh Undang-undang serta keputusan-keputusan

pengadilan.9

Menurut Sri Soemantri unsur-unsur dari negara hukum (rechtsstaat) ada empat unsur yaitu sebagai berikut :

1) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas, dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum

2) Adanya jaminan Hak Asasi Manusia terhadap warga negara 3) Adanya pembagian kekuasaan dalam ngara

4) Adnya pengawasan dan badan-badan peradilan (rechterlijke controle).10

Konsep negara hukum menggambarkan bahwasanya negara hukum adalah adanya kegiatan-kegiatan ketatanegaraan yang bertumpu pada keadilan, kaitanya dengan penelitian ini dapat dilihat bahwa konsep negara hukum Rechtsstat maupum rule of law sama-sama menjadikan hukum sebagai acuan atau pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

8

Ibid, hml. 3.

9

Ibid, hlm. 3.

10

(30)

1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah dalam penelitian ini, maka penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta doktrin atau ajaran.11 Sistem norma dalam arti yang lebih sederhana adalah sistem kaidah atau aturan. Sehingga penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang memiliki objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum.12 Berdasarkan Hal tersebut maka dapat kita ketahui yang dikaji dalam penelitian hukum normatif meliputi beberapa hal seperti asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Hal ini berkenaan dengan objek penelitian yaitu tindakan mutasi yang dilakukan penjabat Walikota Denpasar terhadap dua orang pejabat eselon II kota Denpasar, termasuk sistematika hukum yang belum jelas mengenai tindakan mutasi yang dilakukan oleh penjabat walikota, serta mencakup akibat hukum dari tindakan mutasi yang dilakukan oleh penjabat walikota terhadap pejabat yang merupakan pegawai ASN. 1.8.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (the statue approach), pendekatan kasus (the case

11

Mukti Fajar, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 34.

12

(31)

approach), dan pendekatan konseptual (the conceptual Approach).13 Pendekatan perundang-undangan (the statute approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang yang bersangkut paut sesuai dengan permasalahan yang ditangani atau akan dibahas.14 Pendekatan kasus (the case approach) dilakukan dengan mengkaji kasus yang digunakan sebagai acuan bagi isu hukum. Sedangkan pendekatan konseptual (the conceptual approach) adalah pendekatan yang mengacu pada penelitian yanng dilakukan terhadap konsep-konsep hukum, sumber-sumber hukum, fungsi hukum lembaga hukum dan sebagainya.15

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Pada penelitian ini digunakan bahan hukum yang bersumber dari:

1. Bahan Hukum Primer, yang terdiri atas asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum ini berupa: peraturan perundang-undangan dalam arti luas, perjanjian, dan keputusan tata usaha negara.16 Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang dipergunakan adalah sebagai berikut :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b) Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil

Negara.

13

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hlm.60.

14

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum Edisi I, Cetakan V, Kencana, Jakarta, hlm.93.

15

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hlm.92.

16

(32)

c) Undang-undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang

e) Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang, Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil

g) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil

h) Surat Instruksi Menteri dalam negeri Nomor 820/6040/SJ tentang Mutasi Pegawai Oleh Penjabat Kepala Daerah.

i) Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara No: K.2630/V.100 -2/99 tentang Penjelasan atas Kewenangan Penjabat Kepala Daerah di Bidang Kepegawaian.

(33)

pandangan dari para ahli hukum (doktrin), hasil penelitian hukum, kamus hukum, ensikloedia hukum serta internet dengan menyebut nama situsnya. Wawancara dengan narasumber seorang ahli hukum untuk memeberikan pendapat hukum tentang suatu fenomena bisa diartikan sebagai bahan sekunder. Namun demikian, perlu dilihat kapasitas keilmuan yang seyogianya tidak terlibat dengan kejadian tersebut agar komentar yang diberikan menjadi objektif.17

3. Bahan hukum tersier atau non hukum, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk, penunjang ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya : buku politik, buku ekonomi, data sensus, laporan tahunan perusahaan, kamus bahas, ensiklopedi, indeks kumulatif dan seterusnya. Bahan hukum ini menjadi penting karena mendukung proses analisis hukum dalam penelitian.18

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan semua bahan hukum yang berkaitan untuk memperoleh data objektif dan akurat terkait masalah yang akan dibahas.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Agar dapat menganalisa bahan-bahan hukum yang telah terkumpul, kemudian digunakan teknik deskripsi yaitu menguraikan suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Setelah bahan hukum dipilih,

17

Mukti Fajar, Op.cit, hlm. 42-43.

18

(34)

dan dianalisis secara kualitatif yaitu dengan mengambil untuk melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum. Kemudian bahan hukum tersebut disusun secara sistematis dan logis, artinya ada hubungan atau adanya keterkaitan yang erat antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lainnya untuk mendapatkan gambaran umum dari permasalahan yang diangkat atau hasil dari penelitian yang disajikan secara deskriptif kualitatif.19

19

(35)

21

TINJAUAN UMUM MENGENAI APARATUR SIPIL NEGARA

2.1 Aparatur Sipil Negara

2.1.1 Pengertian Aparatur Sipil Negara

Sebelum berbicara lebih jauh mengenai ASN, terlebih dahulu perlu diketahui apa yang dimaksud dengan ASN. Pengertian mengenai ASN itu sendiri tertuang pada pasal 1 angka 1 UU No. 5 tahun 2014 yang menyebutkan bahwa ASN adalah profesi bagi PNS dan PPPK yang bekerja pada instansi pemerintah. PNS menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah orang yang bekerja untuk pemerintah atau negara. Menurut Kranenburg PNS adalah pejabat yang ditunjuk, jadi pengertian tersebut tidak termasuk terhadap mereka yang memangku jabatan mewakili seperti anggota parlemen, presiden dan sebagainnya.1 Pengertian PNS menurut Mahfud MD ada dua bagian yaitu :

a. Pengertian Stipulatif adalah pengertian yang diberikan oleh undang-undang tentang PNS sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 2014 yang menyatakan bahwa PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.

b. Pengertian ekstensif adalah pengertian yang hanya berlaku pada hal-hal tertentu. Hal-hal tertentu yang dimaksud adalah lebih kepada beberapa golongan yang sebenarnya bukan PNS. Contoh: ketentuan pasal 92 KUHP

1

(36)

yang berkaitan dengan status anggota dewan rakyat, anggota dewan daerah dan kepala desa. Menurut pasal 92 KUHP dimana dijelaskan bahwa yang termasuk ke dalam PNS adalah orang-orang yang dipilih dalam pemilihan berdasarkan peraturan-peraturan umum dan mereka yang bukan dipilih tetapi diangkat menjadi anggota dewan rakyat dan anggota dewan daerah serta kepala desa dan sebagainya. Pengertian PNS menurut KUHP sangatlah luas akan tetapi pengertian tersebut hanya berlaku dalam hal orang-orang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran jabatan dan tindak pidana lain yang disebutkan dalam KUHP, jadi pengertian ini tidak termasuk dalam hukum kepegawaian.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa PNS adalah orang-orang yang bekerja di lingkungan instansi pemerintahan sesuai dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan UU No. 5 tahun 2014.

2.1.2 Jenis, Status, dan Kedudukan Apratur Sipil Negara a. Jenis ASN

Mengenai jenis pegawai ASN diatur pada pasal 6 UU No. 5 tahun 2014. Dimana pegawai ASN terdiri atas PNS dan PPPK.

b. Status ASN

(37)

Mengenai status ASN diatur pada pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 5 tahun 2014 yang menyatakan bahwa :

(1) PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat pembina kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional.

(2) PPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat pembina kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan Undang-Undang ini.

c. Kedudukan

Rumusan kedudukan pegawai ASN didasarkan pada pokok-pokok pikiran bahwa pemerintah tidak hanya menjalankan fungsi umum pemerintahan, tetapi juga harus mampu melaksanakan fungsi pembangunan atau dengan kata lain pemerintah bukan hanya menyelenggarakan tertib pemerintahan, tetapi juga harus mampu menggerakan dan memperlancar pembangunan untuk kepentingan rakyat banyak. C.F Strong, dalam bukunya yang berjudul Modern Political Constitutions berpendapat bahwa :

Government in the broader sense is charged with the maintenance of the peace and security of in a state therefore must have first, military power; second, the means of making laws; thirdly, financial, power or the ability to extract sufficient money from the comunity to defray the cost of defending the state and of enforcing the law it makes on the state behalf.2

Artinya pemerintah dalam arti yang lebih luas dibebankan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan di negara oleh karena itu harus memiliki pertama, kekuatan militer; kedua, sarana pembentukan hukum; Ketiga, keuangan, kekuasaan atau kemampuan untuk mengambil uang yang cukup dari masyarakat

2

(38)

untuk membiayai biaya membela negara dan menegakkan hukum itu atas nama negara

Pegawai ASN mempunyai peran yang amat sangat penting sebab pegawai ASN merupakan unsur dari aparatur negara untuk menyelenggarakan, dan melaksanakan pemerintahan serta pembangunan nasional dalam rangka mencapai tujuan negara. Kelancaran dari penyelengaraan dan pelaksanaan pemerintahan serta pembangunan nasional dalam rangka mencapai tujuan negara sangat tergantung sekali pada kesempurnaan aparatur negara.

(39)

Kedudukan ASN berdasarkan UU No. 5 tahun 2014 diatur dalam pasal 8 dimana ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara.

2.1.3 Fungsi, Tugas, dan Peran Apratur Sipil Negara

Berdasarkan UU No. 5 tahun 2014, Fungsi, Tugas, dan Peran dari ASN diatur dalam BAB IV pasal 10, pasal 11, dam pasal 12. Yaitu sebagai berikut : a. Berdasarkan pada pasal 10 pegawai ASN memiliki fungsi sebagai pelaksana

kebijakan publik, pelayan publik, dan perekat dan pemersatu bangsa.

b. Berdasarkan pada pasal 11 pegawai ASN mempunyai tugas untuk melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh pejabat pembina kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas, dan mempererat persatuan dan kesatuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. c. Berdarkan Pasal 12 peran dari pegawai ASN adalah sebagai perencana,

pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik KKN. 2.1.4 Hak dan Kewajiban Aparatur Sipil Negara

(40)

mendalam dapat dikatakan pula bahwa manusia adalah zoon politicon. Berdasarkan perkembangan dunia modern, dalam prosesnya setiap individu akan berinteraksi dalam masyarakat yang semakin meluas dan perkembangan berikutnya adalah dimulainya konsep organisasi yang melingkupi bidang pemerintahan, sehingga manusia dapat dikatakan sebagai homo administratikus dan organization man.3

Berdasarkan UU No. 5 tahun 2014, hak dari pegawai ASN diatur pada pasal 21. Dimana seorang PNS berhak memperoleh beberapa hal seperti gaji, tunjangan, dan fasilitas, cuti, jaminan pensiun dan jaminan hari tua, perlindungan dan pengembangan kompetensi. Selanjutnya kewajiban dari pegawai ASN adalah segala sesuatu yang wajib dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Menurut Sastra Djatmika, kewajiban pegawai ASN dibagi dalam tiga jenis yaitu, kewajiban yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai pegawai negeri pada umumnya, kewajiban berdasarkan pangkat dan jabatan, serta kewajiban-kewajiban lain.4

Berdasarkan UU No. 5 tahun 2014, kewajiban dari Pegawai ASN diatur pada pada pasal 23 yang menyatakan bahwa:

Pegawai ASN wajib:

a. setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah;

b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;

c. melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang;

(41)

e. melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab;

f. menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan;

g. menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

h. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2.1.5 Pengertian Pejabat Pembina Kepegawaian

Berdasarkan UU No. 5 tahun 2014 pejabat pembina kepegawaian merupakan seorang pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting, seseorang yang diamanahi kedudukan dalam sebuah organisasi atau institusi karena dianggap amat jujur dalam melaksanakan tugasnya. Pejabat pembina kepegawaian mempunyai kewenangan untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN serta pembinaan terhadap manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2003 tentang Wewnang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian PNS (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 nomor 15 dan tambahan lembaran Negara Republik Inonesia nomor 4263) yang selanjutnya disingkat PP No. 9 tahun 2003, mengenai pejabat pembina kepegawaian diatur dalam pasal 1 angka 3, angka 4, dan angka 5.

a. Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa :

(42)

Struktural Eselon I dan bukan merupakan bagian dari Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen.

b. Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa pejabat pembina kepegawaian daerah Provinsi adalah seorang Gubernur.

c. Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa pejabat pembina kepegawaian daerah kabupaten/kota adalah seorang Bupati/Walikota.

(43)

2.2 Kewenangan

2.2.1 Pengertian Kewenangan

Secara umum berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia yang dimaksud dengan kewenangan adalah hak dan kekusaan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu.5 Menurut F.P.C.L. Tonnaer kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.6 Kemudian menurut F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek kewenangan memiliki kedudukan yang penting yaitu sebagai konsep inti dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Merujuk akan hal tersebut H.D. Stout berpendapat bahwa wewenang itu adalah sebuah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh hukum publik di dalam hubungan hukum publik.7

Berdasarkan pendapat dari Harbet A Simon yang menyatakan bahwa pengertian wewenang adalah kekuasaan untuk mengambil suatu keputusan yang membimbing tindakan-tindakan individu lainnya.Wewenang merupakan hubungan antara dua individu dimana salah satunya adalah atasan dan yang lainnya bawahan.8 Sedangkan menurut Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa

5

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003, edisi ketiga, Balai Pustaka Jakarta, hlm.1272.

6

Ridwan HR, Op.cit, hlm.98.

7

ibid, hlm. 99.

8

(44)

wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya ada tiga komponen hukum yaitu sebagai berikut :

1) Pengaruh, Komponen pengaruh ini menekankan pengunaan wewenang yang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum.

2) Dasar Hukum, komponen dasar hukum ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa wewenang itu harus mempunyai dasar hukum yang jelas.

3) Komfomitas Hukum, komponen komfornitas hukum ini dimakasudkan untuk menjelaskan bahwa wewenang itu haruslah mempunyai suatu standar yaitu standar umum untuk semua jenis wewenang dan standar khusus untuk semua wewenang.9

Menurut S.F. Marbun dalam bukunya yang berjudul Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia menyatakan bahwa wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan untuk bertindak sesuai dengan yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Sedangkan menurutnya secara pribadi kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu, maupun kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan secara bulat yang berasal dari kekuasaan legislatif maupun kekuasaan dari pemerintah. Jadi kewenangan merupakan kumpulan dari wewenang-wewenang.10

2.2.2 Jenis-Jenis Kewenangan

9

Philipus M Hadjon, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gdjah Mada University Perss, Yogyakarta, hlm.135.

10

(45)

a) Berdasarkan Sumber dan Cara Memperoleh Kewenangan

Berdasarkan dengan pilar negara hukum, yaitu asas legalitas atau legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur, maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari undang-undang, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritik kewenangan yang bersumber dari peraturann perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Berdasarkan buku DR Ridwan HR, HD Van Wijk/Willem Konijnenbelt menjelaskan mengenai Kewenangan yang diperoleh melalui tiga cara tersebut yaitu sebagai berikut:

1) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. Artinya bahwa wewenang untuk membuat suatu keputusan langsung bersumber pada undang-undang. Kewenangan ini disebut juga kewenangan asli.

2) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada pemerintahan lainnya. Artinya adalah adanya penyerahan wewenang untuk membuat keputusan oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain, atau dengan kata lain pemindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi atau yang disebut delegans kepada yang menerima delegasi atau yang disebut delegataris.

(46)

bawahan untuk membuat suatu keputusan atas namanya sebagai pejabat yang memberikan mandat dan tanggung jawab pemberi mandat bukan menjadi tanggung jawab dari penerima mandat atau yang disebut mandataris.11

Mengenai atribusi, delagasi, dan mandat diatur juga pada UU No. 30 Tahun 2014 pada pasal 1 angka 21, angka 22, dan angka 23 yaitu sebagai berikut: a. Berdasarkan pasal 1 angka 21 atribusi adalah pemberian kewenangan kepada badan atau pejabat pemerintahan oleh Undang Dasar 1945 atau Undang-Undang.

b. Berdasarkan pasal 1 angka 22 delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari badan atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.

c. Berdasarkan pasal 1 angka 23 mandat adalah pelimpahan kewenangan dari badan atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.

Berdasarkan keterangan tersebut tampak bahwa mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting dalam kajian hukum administrasi negara karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum dalan penggunan wewenang. Setiap pemberian kewenangan kepada pejabat

11

(47)

pemerintahan pasti tersirat di dalamnya pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.12

b) Berdasarkan Sifat dari Kewenanagan

Menurut kepustakaan terdapat pembagian wewenang berdasarkan sifat yakni terikat, fakultatif, dan bebas. Hal ini berkaitan dengan kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan (beschikkingen) oleh organ pemerintah. Lebih lanjut Indroharto dalam bukunya DR Ridwan HR menjelaskan mengenai wewenang yang bersifat terikat, fakultatif, dan bebas yaitu sebagai berikut :

1) Wewenang Terikat adalah wewenang yang terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus diambil, dengan kata lain, terjadi apabila peraturan dasar menentukan isi dari keputusan yang harus diambil secara terperinci.

2) Wewenang Fakultatif adalah wewenang yang terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya, atau sedikit banyak masih ada pilihan sekalipun pilihan tersebut hanya dapat dilakukan dalam hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan dasar.

3) Wewenang Bebas adalah wewenang yang terjadi ketika peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara dalam

12

(48)

menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberi ruang lingkup kebebasan kepada kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.13

2.3 Mutasi Kepegawaian

2.3.1 Pengertian Mutasi Kepegawaian

Pada dasarnya mutasi adalah usaha menempatkan pegawai pada pekerjaan dan jabatan yang sesuai. Kata mutasi atau pemindahan secara umum tidaklah suatu hal yang dianggap tabu melainkan sudah sangat dikenal oleh masyarakat khususnya di kalangan PNS. Mutasi atau pemindahan adalah suatu kegiatan memindahkan pegawai dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lainnya yang dianggap setingkat atau sejajar.14 Akan tetapi mutasi tidak selamanya sama dengan pemindahan. Mutasi meliputi beberapa kegiatan yaitu, memindahkan pegawai, pemindahan tanggung jawab, pemindahan status kepegawaian, dan sejenisnya. Adapun pemindahan dimaksudkan hanya terbatas pada mengalihkan pegawai dari satu tempat ke tempat lain.15 Mutasi atau pemindahan merupakan suatu aktifitas rutin dan mutlak yang harus dilakukan khususnya pada pegawai di sebuah organisasi dalam rangka untuk mengembangkan pegawai menjadi lebih bertanggung jawab dalam pengembangan dan pembinaannya berdasarkan pada prinsip The Right Man in The Right Place yang artinya orang yang tepat pada tempat yang tepat. Karena tidak selamanya pegawai yang ditempatkan pada pekerjaan atau jabatannya pada suatu organisasi akan merasa cocok dan nyaman

13

Ibid, hlm. 107-109.

14

Fathoni, Abdurrahmat, Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 32.

15

(49)

dengan pekerjaan atau jabatan maupun lingkungan keja mereka. Hal tersebut bisa disebabkan oleh kemampuan dan kualifikasi yang dimiliki oleh pegawai tidak sesuai dengan beban tugas dan pekerjaan yang dibebankan dipundak mereka ataupun lingkungan pekerjaan yang kurang memberikan semangat dan kegairahan kepada mereka. Namun juga bukan merupakan suatu hal yang mustahil yang menjadi penyebab utama akan hal tersebut adalah lingkungan pekerjaan yang tiba-tiba berubah ataupun karena pribadi dari pegawai itu sendiri juga mengalami perubahan. Apabila terjadi gejala yang demikian maka akan dapat dijadikan bukti konkret adalah kuantitas dan kualitas kerja mereka, walaupun di sisi lain banyak faktor yang dapat dilihat, misalnya displin kerja, semangat atau kegairahan kerja, kelalaian atau kemangkiran, pemborosan, sering terjadi kerusakan dan sebagainya.16 Berdasarkan hal tersebut maka dengan demikian mutasi itu dilaksanakan dengan tujuan agar pekerjaan dapat dilakukan secara lebih efektif dan lebih efisien.

Berdasarkan dari beberapa pengertian tersebut, dapat diasumsikan bahwa pelaksanaan mutasi di bidang kepegawaian lebih diarahkan untuk mencapai peningkatan kinerja secara efisien dan efektif sebagai bagian dari usaha-usaha untuk mempercepat pencapaian tujuan, melalui penempatan orang yang tepat pada tempat yang tepat, dengan tetap mempertimbangkan aspek pembinaan bagi aparatur negara yang meniti beratkan kepada sistem prestasi kerja.

16

(50)

2.4 Jabatan Kepegawaian 2.4.1 Pengertian Jabatan

Jabatan ialah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara atau kepentingan umum. Tiap jabatan adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi yang disebut negara.17 Selain itu jabatan merupakan sekumpulan pekerjaan yang berisi tugas-tugas yang sama atau berhubungan satu dengan yang lain, dan yang dalam pelaksanaannya meminta suatu kecakapan, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang juga sama meskipun tersebar di berbagai tempat.

Menurut Logeman jabatan adalah suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang. Menurut Bagir Manan, jabatan adalah lingkungan pekerjaan tetap yang berisi fungsi-fungsi tertentu yang secara keseluruhan mencerminkan tujuan dan tata kerja suatu organisasi.18 Negara berisi dengan berbagai jabatan atau lingkungan kerja tetap dengan berbagai fungsi untuk mencapai tujuan negara, dengan kata lain jabatan adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan atau dilakukan guna kepentingan negara. Jabatan itu bersifat tetap, sementara pemegang jabatan (ambtsdrager) dapat berganti-ganti. F.C.M.A. Michiels mengatakan, jabatan itu tetap para pejabat yang dapat berganti-ganti sebagai akibat dari adanya pemilihan atau pengangkatan.19

17

E. Utrecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hlm. 200.

18

Ridwan HR, Op.cit, hlm. 70.

19

(51)

Berdasarkan pada hukum administrasi yang menempatkan organ atau jabatan pemerintahan sebagai salah satu objek kajian utama, mengenal karakteristik dari jabatan pemerintahan merupakan sesuatu yang tak terelakkan. meskipun orang atau jabatan pemerintahan dapat melakukan perbuatan hukum perdata, mewakili badan hukum induknya, namun yang terpenting dalam konteks hukum administrasi negara adalah mengetahui organ atau jabatan pemerintahan dalam melakukan perbuatan hukum yang bersifat publik.20 P. Nicolai dan kawan-kawan menyebutkan beberapa ciri atau karakteristik yang terdapat pada jabatan atau organ pemerintahan, yaitu:

a) Organ pemerintahan menjalankan wewenang atas nama dan tanggung jawab sendiri, yang dalam pengertian modern, diletakan sebagai pertanggungjawaban politik dan kepegawaian atau tanggung jawab pemerintah sendiri di hadapan Hakim. Organ pemerintahan adalah pemikul kewajiban tanggung jawab.

b) Pelaksanaan wewenang dalam rangka menjaga dan mempertahankan norma hukum administrasi, organ pemerintahan dapat bertindak sebagai pihak tergugat dalam proses peradilan, yaitu dalam hal ada keberatan, banding, atau perlawanan.

c) Di samping sebagai pihak tergugat, organ pemerintahan juga dapat tampil menjadi pihak yang tidak puas, artinya sebagai penggugat.

d) Pada prinsipnya organ pemerintahan tidak memiliki harta kekayaan sendiri. Organ pemerintahan merupakan bagian atau alat dari badan

20

(52)

hukum menurut hukum privat dengan harta kekayaannya. Jabatan bupati/walikota adalah organ-organ dari badan umum kabupaten/kota. Berdasarkan aturan hukum badan umum inilah yang dapat memiliki harta kekayaan, bukan organ pemerintahannya.

Apa yang disebutkan P. Nicolai khususnya pada ciri yang keempat dapat menimbulkan salah pengertian bagi sebagian orang, karena dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan para pejabat itu terlibat dan menggunakan harta dan kekayaan. Ada kesan yang kuat bahwa jabatan pemerintahan itu memiliki harta kekayaan dan digunakan untuk penyelengaraan tugas-tugas pemerintahan. Jika berpegang pada teori tentang badan hukum yang salah satu unsurnya memiliki harta kekayaan, maka apa yang dikemukakan oleh Nicolai tersebut sejalan dengan teori ilmu hukum dimana, jabatan tidak memiliki harta kekayaan. Dimana yang memiliki harta kekayaan adalah badan umum (oopenbaar lichaam) yang menjadi induk dari jabatan tersebut. Pendapat tersebut sama halnya seperti apa dikemukakan F.R. Bothlink, yang menyatakan bahwa, pembebanan untuk membayar ganti kerugian itu tidak diucapkan atau ditujukan terhadap organ, tetapi kepada badan umum terkait, karena hanya badan umum yang dapat membayar sebagai subjek harta kekayaan.21

Antara jabatan dan pejabat diatur dan tunduk pada hukum yang berbeda. Jabatan diatur oleh hukum tata negara dan hukum administrasi negara, sedangkan pejabat diatur dan tunduk pada hukum kepegawaian. Pejabat menampilkan dirinya dalam dua kepribadian yaitu selaku pribadi dan selaku personifikasi dari organ,

21

(53)

yang berarti, selain diatur dan tunduk pada hukum kepegawaian juga tunduk pada hukum keperdataan dalam kapasitasnya selaku individu atau pribadi (privepersoon). Dalam hukum administrasi negara, tindakan hukum jabatan pemerintahan dijalankan oleh jabatan pemerintah. Dengan demikian kedudukan hukum pemerintah berdasarkan hukum publik adalah sebagai wakil (vertegenwoordiger) dari jabatan pemerintahan.22

2.4.2 Jenis-jenis Jabatan Aparatur Sipil Negara

Jabatan ASN pada UU No. 5 tahun 2014 berbeda jauh dengan jabatan PNS yang berdasarkan pada sistem birokrasi baik itu dari segi istilah dan fungsi pokoknya. Kedudukan jabatan PNS pada sistem birokrasi indonesia yang berlaku sebelum diundangkannya UU No. 5 tahun 2014 dianggap belum sempurna menjadi satu pertimbangan pelaksanaan reformasi birokrasi. Pada sistem birokrasi pemerintah sebelum diundangkannya UU No. 5 tahun 2014 dikenal adanya jabatan karier, yaitu sebuah jabatan dalam lingkungan birokrasi yang hanya dapat diduduki oleh PNS. Jabatan karier dimaksud dapat dibedakan menjadi dua macam jabatan yaitu sebagai berikut:

1) Jabatan Struktural, yaitu jabatan yang secara tegas ada dalam struktur organisasi. Kedudukan jabatan struktural bertingkat-tingkat dari tingkat yang terendah (eselon IV/b) hingga yang tertinggi (eselon I/a). Contoh jabatan struktural di PNS Pusat adalah: Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Kepala Biro, dan Staf Ahli. Sedangkan contoh jabatan struktural di PNS Daerah adalah: sekretaris daerah, kepala dinas/badan/kantor,

22

(54)

kepala bagian, kepala bidang, kepala seksi, camat, sekretaris camat, lurah, dan sekretaris lurah.

2) Jabatan Fungsional, yaitu jabatan teknis yang tidak tercantum dalam struktur organisasi, tetapi dari sudut pandang fungsinya sangat diperlukan dalam pelaksansaan tugas-tugas pokok organisasi, misalnya: auditor (Jabatan Fungsional Auditor atau JFA), guru, dosen, dokter, perawat, bidan, apoteker, peneliti, perencana, pranata komputer, statistisi, pranata laboratorium pendidikan, dan penguji kendaraan bermotor.

Berdasarkan pada UU No. 5 tahun 2014 dalam hal jabatan ASN diatur pada pasal 13. Dimana jenis jabatan ASN terdiri dari jabatan administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi. Jabatan administrasi pada ASN seperti yang ada pada pasal 13 tersebut adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan publik, dan administrasi pemerintahan serta pembangunan. Pejabat administrasi adalah pegawai ASN yang menduduki jabatan administrasi pada instansi pemerintah. Jabatan administrasi dibagi lagi menjadi tiga dan diatur dalam pasal 14, dimana jenis jabatan administrasi terdiri atas: a. Jabatan administrator, dimana merupakan jabatan yang bertanggung jawab

memimpin pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.

(55)

c. Jabatan pelaksana, dimana merupakan jabatan yang bertanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.

Jabatan fungsional pada ASN seperti yang ada pada pasal 13 tersebut adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu. Jabatan fungsional dibagi lagi menjadi dua jenis jabatan fungsional sebagaimana yang diatur dalam pasal 18 yang menyatakan bahwa:

Jabatan Fungsional dalam ASN terdiri atas jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan.

(2) Jabatan fungsional keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. ahli utama;

b. ahli madya; c. ahli muda; dan d. ahli pertama.

(3) Jabatan fungsional keterampilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. penyelia; b. mahir; c. terampil; dan d. pemula.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan Fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Jabatan pimpinan tinggi seperti yang ada pada pasal 13 tersebut adalah sekelompok jabatan tertinggi pada instansi dan perwakilan. Jabatan pimpinan tinggi dibagi lagi menjadi tiga jenis jabatan pimpinan tinggi sebagaimana yang diatur dalam pasal 19 yang menyatakan bahwa:

(56)

(2) Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memimpin dan memotivasi setiap Pegawai ASN pada Instansi Pemerintah melalui:

a. kepeloporan dalam bidang: 1. keahlian profesional;

2. analisis dan rekomendasi kebijakan; dan 3. kepemimpinan manajemen.

b. pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan

c. keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN.

(3) Untuk setiap Jabatan Pimpinan Tinggi ditetapkan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang dibutuhkan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang dibutuhkan Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2.5 Disiplin Pegawai Negeri Sipil

2.5.1 Pengertian Disiplin Pegawai Negeri Sipil

Sebelum membahas mengenai displin PNS secara lebih mendalam, ada baiknya terlebih dahulu kita harus mengetahui apa arti atau makna dari displin itu sendiri. Pengertian disiplin dapat dikonotasikan sebagai suatu hukuman, meskipun arti yang sesungguhnya tidaklah demikian. Disiplin berasal dari bahasa latin Disciplina yang berarti latihan atau pendidikan kesopanan dan kerohanian serta pengembangan tabiat. Jadi sifat disiplin berkaitan dengan pengembangan sikap yang layak terhadap pekerjaan.23 Selain itu yang dimaksud dengan disiplin adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan, tingkah laku perorangan, kelompok atau masyarakat yang berupa kepatuhan atau ketaatan terhadap peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah atau etik, norma serta kaidah yang berlaku

23

Referensi

Dokumen terkait

Headline secara terus-menerus dihalaman pertama dengan gambar serta judul yang ditulis dengan ukuran yang cukup besar. Judul berita Republika dengan menggunakan teknik

Untuk koperasi sekunder yang keanggotaannya meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia atau lebih dari satu Daerah Tingkat 1 formulir pendaftaran diserahkan pada DEKOPIN Pusat;..

direkomendasikan : Jika produk ini mengandung komponen dengan batas pemaparan, atmosfir tempat kerja pribadi atau pemantauan biologis mungkin akan diperlukan untuk

dalam kelas boleh digunak digunakan oleh an oleh guru untuk guru untuk mengem mengemukakan masalah dan ukakan masalah dan bagi pelajar- bagi pelajar-pelaja pelajar 

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis morfologi kawasan perkampungan Toraja Utara yang di dalamnya dilakukan analisis struktural kawasan

Bagian Wilayah Perkotaan yang selanjutnya disingkat BWP adalah bagian dari Kabupaten atau kawasan strategis Kabupaten yang akan atau perlu disusun rencana

Batang ebonit.. Misalkan kita mempunyai suatu muatan sumber q berada pada vektor posisi r  yang menghasilkan medan listrik disekitarnya.. Dalam menganalisa gerakan

bahasa asing di pondokpesantren dan para pembelajar lain l.ang berhasil densan baik dalarn mensr-rasai bahasa asing tanpa harus mensesampingkan bahasa vang telah