• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Toksoplasmosis

Epidemiologi Penyakit Toksoplasmosis

Toxoplasmosis disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii. Parasit ini termasuk protozoa subfilum apicomplexa, kelas sporozoa, sub kelas coccidia. Toxoplasma gondii mula – mula ditemukan pada binatang pengerat/ rodentia di Afrika Utara yaitu

Ctenodactylus gundi pada tahun 1909 oleh Nicolle dan Manceaux.. Janku pada tahun 1923

menggambatkan adanya chorioretinitis yang disebabkan oleh Toksoplasma sedangkan pada tahun 1939 Wolf dan kawan – kawan mengisolasi parasit ini serta menentukannya sebagai penyebab penyakit kongenital pada neonatus. Pada tahun 1970 parasit yang sudah dikenal sebagai pathogen pada manusia selama setengah abad ini diklasifikasikan secara taksonomi dalam coccidia dan diketahui bahwa bangsa kucing adalah hospes definitifnya serta menjadi jelas bahwa dalam siklus hidupnya terdapat siklus seksual yang terjadi pada pada bangsa kucing (felidae) dan hal ini mempunyai implikasi epidemiologik yang penting untuk transmisi parasit ini (Neva FA dan Brown HW, 1994 ; Dubey, 2010).

Toxoplasma gondii ditemukan di seluruh dunia. Data serologi menunjukkan bahwa

30-40% penduduk dunia terinfeksi Toxoplasma gondii, sehingga toksoplasmosis merupakan penyakit infeksi yang paling banyak diderita penduduk bumi (Soedarto, 2012). Terjadinya penyakit toksoplasmosis pada manusia atau hewan lainnya tidak terlepas dari keberadaan kucing yang mengeluarkan ookista bersama fesesnya yang mencemari lingkungan. Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10 juta ookista sehari selama 2 minggu (Chahaya, 2003).

(2)

Distribusi geografis dari Toxoplasma gondii ini bersifat kosmopolitan dan dapat menginfeksi berbagai jenis hewan maupun manusia. Pada penelitian Hutchison pada tahun 1965 menyatakan bahwa bila kucing memakan tikus yang terinfeksi Toxoplasma gondii dapat menyebabkan kucing tersebut akan tertular dan dalam fesesnya akan mengandung ookista Toxoplasma gondii. Bahkan Feses tersebut dapat mencemari air serta di dalam air parasit ini akan bertahan selama setahun atau lebih (Natadisastra dan Agoes, 2009)

Kista Toxoplasma gondii dalam daging dapat bertahan hidup pada suhu -4C sampai tiga minggu, Kista tersebut akan mati jika daging dalam keadaan beku pada suhu -15C selama tiga hari dan pada suhu -20C selama dua hari (Chahaya, 2003). Apabila daging dipaparkan dengan suhu 65 C selama 4-5 menit maka kista dalam daging tersebut akan mati, demikian juga hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat (WHO, 1979 ; Chahaya, 2003). Tercemarnya alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk infektif parasit ini pada waktu pengolahan makanan merupakan salah satu sumber untuk penyebaran

Toxoplasma Gondii.

Diketahuinya siklus hidup Toksoplasma gondii maka usaha pencegahannya diharapkan lebih mudah dilakukan. Baru pada tahun 1970 siklus hidup parasit ini menjadi lebih jelas yaitu ketika ditemukannya siklus seksualnya pada kucing. Setelah dikembangkannya test serologis yang sensitive oleh Sabin dan Feldman tahun 1970 maka diketahui bahwa zat anti Toxoplasma gondii dapat ditemukan secara kosmopolitan terutama di daerah dengan iklim panas dan lembab (Gandahusada et al., 2004)

Pada manusia seroprevalensi Toxoplasma gondii yang di periksa dengan tes warna di berbagai negara adalah : USA 13-68%, Austria 62%, El Salvador 40-93%, Finlandia 7-35%, Inggris 8-25%, Paris 33-87%, Tahiti 45-77% (Gandahusada, 1994 ; Chahaya, 2003).

(3)

Di Jepang 59-79% pada pekerja rumah potong hewan dan 21,7% pada populasi dengan umur sama (Konishi, 1986 ; Chahaya, 2003). Di beberapa negara toksoplasmosis yang terjadi secara kongenital sebanyak 0,25-7% dari setiap 1000 kelahiran hidup (Chahaya, 2003)

Morfologi Dan Siklus Hidup Penyakit Toksoplasmosis

Toxoplasma Gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, yang terdapat dalam

tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit) (WHO 1979 ; Chahaya, 2003).

Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing dan ujung lain agak membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron dan mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan golgi (Levine, 1990 ; Dubey, 2010).

Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding, ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi beberapa bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista dalam tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama otak, otot jantung dan otot bergaris (Krahenbuhl dan Remington, 1982 ; Chahaya, 2003).

Di dalam otak bentuk kista lonjong dan bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel otot. Kista ini merupakan stadium istirahat dari Toksoplasma gondii. Menurut (Levine, 1990), pada infeksi kronis kista dapat ditemukan dalam organ tubuh terutama otak. Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron, ookista mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas. Pada

(4)

perkembangan selanjutnya ke dua sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi empat sporozoit yang berukuran 8 x 2 mikron dan sebuah benda residu (Frenkel, 1989 ; Levine, 1990).Toxoplasma Gondii dalam klasifikasi termasuk kelas Sporozoasida, karena berkembang biak secara seksual dan aseksual yang terjadi secara bergantian (Levine, 1990).

Kucing dan golongan felidae lainnya merupakan hospes definitif dari Toksoplasma

gondii. di dalam usus kecil kucing, sporozoit menembus sel epitel dan tumbuh menjadi

trofozoit. Inti trofozoit membelah menjadi banyak sehingga terbentuk skizon. Skizon matang kemudian pecah dan menghasilkan banyak merozoit (skizogoni). Siklus aseksual ini dilanjutkan dengan siklus seksual. Merozoit masuk ke dalam sel epitel dan membentuk makrogametosit dan mikrogametosit yang menjadi makrogamet dan mikrogamet (gametogoni). Setelah terjadi pembuahan terbentuk ookista, yang akan dikeluarkan bersama feses kucing (Krahenbuhl dan Remington, 1982 ; Chahaya, 2003)

Bila ookista tertelan oleh mamalia seperti domba, babi, sapi dan tikus serta ayam atau burung, maka di dalam tubuh hospes perantara akan terjadi siklus hidup aseksual yang menghasilkan takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten) (Chahaya, 2003).

Apabila kucing yang merupakan hospes definitif memakan hospes perantara yang terinfeksi maka berbagai stadium seksual di dalam sel epitel usus muda akan terbentuk lagi. Jika hospes perantara yang dimakan kucing mengandung kista Toksoplasma gondii, maka masa prepatennya 2-3 hari. Tetapi bila ookista tertelan langsung oleh kucing, maka masa

(5)

prepatennya 20-24 hari. Dengan demikian kucing lebih mudah terinfeksi oleh kista daripada oleh ookista (Cox, 1982 ; Levine, 1990)

Gambar 1. Siklus hidup Toxoplasma Gondii, sumber infeksi pada manusia (Frankel, 1989)

Cara penularan penyakit Toksoplasmosis

Menurut Soulsby (1986) dalam Siregar (2012) penularan toksoplasmosis dapat terjadi dengan cara kongenital dan akuitasi (dapatan). Cara penularan kongenital adalah dengan masuknya organisme parasit tersebut melalui plasenta dari ibu yang dipindahkan dari hospes definitif (kucing) yang terinfeksi yang menular ke fetusnya (bayi). Kucing biasanya menderita toksoplasmosis karena didalam fesesnya terdapat ookista dari parasit tersebut, namun tidak menunjukkan gejala atau asimtomatik. Penularan dengan cara akuitasi

(6)

dapat terjadi selama periode embrionik melalui berbagai cara, misalnya per oral, melalui luka, melalui telur cacing dan sebagainya. Penularan yang paling sering terjadi pada manusia dan hewan termasuk unggas adalah melalui makanan yang terkontaminasi oleh ookista dari feses kucing atau sebangsanya. Pada kenyataannya, infeksi yang terjadi melalui ookista dari kucing, ternyata kurang berperan menimbulkan toxoplasma jika dibandingkan dengan infeksi yang diperoleh melalui daging yang tercemar kista (Boch, 1992) . Terjadinya penyakit toksoplasmosis secara perolehan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan lingkungan yang tercemar ookista yang terdapat pada feses kucing (Dubey, 1993 ; Siregar, 2012).

Setelah terinfeksi Toxoplasma Gondii di dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, dimana parasit menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak, dimana parasit mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga merupakan fase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal (Chahaya, 2003)

Toksoplasmosis dapatan biasanya tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. tetapi bila ibu hamil mendapat infeksi primer, ada kemungkinan bahwa 50% akan melahirkan anak dengan toksoplasmosis kongenital. Gejala yang dijumpai pada orang dewasa maupun anak-anak umumnya ringan. Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada toksoplasmosis dapatan adalah limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dan sakit kepala (Zaman dan Keong, 1988 ; Chahaya, 2003)

(7)

Pada infeksi akut, limfadenopati sering dijumpai pada kelenjar getah bening darah leher bagian belakang. Gejala tersebut dapat disertai demam, mialgia, malaise. Bentuk kelainan pada kulit akibat toksoplasmosis berupa ruam makulopapuler yang mirip kelainan kulit pada demam tifus, sedangkan pada jaringan paru terjadi pneumonia interstial (Chahaya, 2003).

Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital dapat bermacam-macam. Ada yang tampak normal pada waktu lahir dan gejala klinisnya baru timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun. Ada gambaran eritroblastosis, hidropsfetalis dan triad klasik yang terdiri dari hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran intrakranial atau tetrade sabin yang disertai kelainan psikomotorik (Zaman dan Keong, 1988 ; Chahaya 2003). Toksoplasmosis kongenital dapat menunjukkan gejala sangat berat dan menimbulkan kematian penderitanya karena parasit telah tersebar luas di berbagai organ penting dan juga pada sistem syaraf penderita (Dubey, 2010).

Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa, misalnya retardasi mental dan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan sikatriks pada retina yang dapat kambuh pada masa anak-anak, remaja atau dewasa. Korioretinitis karena toksoplasmosis pada remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi kongenital. (Dubey, 2010)

Akibat kerusakan pada berbagai organ, maka kelainan yang sering terjadi bermacam-macam jenisnya. Kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu selama kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat berat ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan lesi mata (Dubey, 2010)

(8)

Infeksi Toksoplasma gondii pada individu dengan imunodefisiensi menyebabkan manifestasi penyakit dari tingkat ringan sedang sampai berat, tergantung kepada derajat imunodefisiensinya (Cornain et al., 1990). Menurut Gandahusada et al., pada penderita imunodefisiensi, infeksi Toksoplasma gondii menjadi nyata, misalnya pada penderita karsinoma, leukimia atau penyakit lain yang diberi pengobatan kortikosteroid dosis tinggi atau radiasi. Gejala yang timbul biasanya demam tinggi, disertai gejala susunan syaraf pusat karena adanya ensefalitis difus. Gejala klinis yang berat ini mungkin disebabkan oleh eksaserbasi akut dari infeksi yang terjadi sebelumnya atau akibat infeksi baru yang menunjukkan gejala klinis yang dramatis karena adanya imuno-defisiensi.

Pencegahan Toksoplasmosis

Pengendalian populasi kucing merupakan salah satu faktor yang dapat menekan kejadian toksoplasmosis, karena kucing mengeluarkan berjuta juta ookista dalam fesesnya, yang dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah yang teduh dan lembab. Untuk mencegah hal ini, maka dapat juga dilakukan dengan cara mencegah infeksi pada kucing, yaitu dengan memberi makanan yang matang sehingga kucing tidak berburu tikus atau burung (Chahaya, 2003). Bila kucing diberikan monensin 200 mg/kg melalui makanannya, maka kucing tersebut tidak akan mengeluarkan ookista bersama fesesnya, tetapi ini hanya dapat digunakan untuk kucing peliharaan (Frenkel dan Smith, 1982 ; Chahaya, 2003).

Untuk mencegah terjadinya infeksi oleh ookista yang berada di dalam tanah, dapat dilakukan dengan bahan bahan kimia seperti formalin, amonia dan iodin dalam bentuk larutan serta air panas 70C yang disiramkan pada feses kucing (Chahaya, 2003). Kista jaringan dalam hospes perantara (kambing, sapi, babi dan ayam) sebagai sumber infeksi

(9)

dapat dimusnahkan dengan memasaknya sampai 66C atau mengasap dan sampai matang sebelum dimakan. Yang paling penting untuk dicegah adalah terjadinya toksoplasmosis kongenital, karena anak yang lahir cacat dengan retardasi mental dan gangguan motorik, merupakan beban masyarakat. Pencegahan dengan tindakan abortus artefisial yang dilakukan selambat-lambatnya sampai usia kehamilan 21-24 minggu, dapat mengurangi kejadian toksoplasmosis kongenital sampai 50%, hal ini dikarenakan lebih dari 50% kejadian toxoplasma kongenital diakibatkan infeksi primer pada primer pada trimester terakhir kehamilan (Wilson dan Remington, 1980 ; Chahaya, 2003). Pencegahan dengan obat-obatan, terutama pada ibu hamil yang diduga menderita infeksi primer dengan

Toxoplasma gondii, dapat dilakukan dengan spiramisin. Vaksin untuk mencegah infeksi

toksoplasma gondii pada manusia belum tersedia sampai saat ini.

Selain pencegahan pada kucing, Lopez (2000) juga menyebutkan bahwa terdapat beberapa upaya pencegahan mengenai infeksi toksoplasma gondii yang telah di publikasikan oleh CDC, dimana untuk mencegah toksoplasmosis dan penyakit bawaan makanan lainnya, maka makanan harus dimasak dengan suhu yang aman. Semua masakan atau makanan yang terbuat dari daging, kemungkinan terbesar infeksi Toxoplasma gondii pada manusia berasal dari makan daging yang kurang masak (Iskandar, 2005). Begitu pula dengan buah dan sayur, harus dikupas dan dicuci sebelum makan. Sedangkan untuk peralatan makan harus selalu dicuci dengan air sabun terutama pada peralatan makan yang kontak dengan daging.

Penggunaan APD seperti alas kaki dan selop tangan dapat meminimalkan penularan penyakit toksoplasmosis. Kontak dengan tanah tanpa menggunakan APD merupakan media yang paling potensial tercemar oleh ookista, bila terdapat kucing disekitarnya. Daya tahan ookista cukup lama pada tanah yang lembab dan terhindar dari sinar matahari langsung.

(10)

Menghindari kontak dengan feses kucing atau kontaminannya, karena kucing merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya toksoplasmosis, karena kucing mengeluarkan banyak ookista dalam fesesnya, yang dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah yang teduh dan lembab (Sukaryawati, 2011). Berdasarkan hal tersebut masyarakat khususnya ibu hamil tidak dianjurkan untuk kontak langsung dengan feses kucing karena akan berdampak terinfeksi toksoplasma gondii pada janin dan bayi.

Upaya pencegahan lainnya adalah dengan melakukan skrining infeksi toksoplasma gondii (Ricci, 2003). Di Italia, skrining serologis dianjurkan untuk mencegah toksoplasmosis kongenital sebagai bagian dari perawatan antenatal. Skrining serologis dinilai memadai bila dilakukan sebelum konsepsi atau pada minggu ke-12 kehamilan, dan secara berkala diulang selama kehamilan bila negatif (Tomasoni, 2010).

Skrining untuk diagnosis infeksi maternal umumnya dilakukan dengan tes serologi menggunakan spesimen darah untuk melihat keberadaan IgG dan IgM spesifik terhadap toxoplasma oleh tenaga kesehatan (Khurana et al., 2010). Menurut Montonya dan Liesenfel (2004) dalam Subrata (2012) beberapa metode Indirect haemaglutination test (IHAT), Latex

Agglutination test (LAT) dan Enzym linked imonosorbent assay (ELISA) serta metode Sabin Fieldman Dye Test.

Polymerase Chain Reaction

Salah satu cara untuk menegakkan diagnosis penyakit toksoplasmosis adalah dengan melakukan tes Polymerase Chain Reaction (PCR). Tes PCR digunakan untuk mendeteksi DNA parasit pada cairan tubuh dan jaringan, sehingga penyakit toksoplasmosis dapat dideteksi secara dini dengan cepat dan tepat terutama toksplasmosis kongenital prenatal dan

(11)

post natal serta toksoplasmosis akut pada ibu hamil dan penderita imunokompromais (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008)

Teknik PCR ini dapat mendeteksi toksoplasma yang berasal dari darah, cairan serebrospinal, dan cairan amnion. PCR untuk mendeteksi DNA Toxoplasma gondii pada cairan serebrospinal cukup sensitif dan sangat spesifik untuk diagnosis ensefalitis toksoplasmik. Cairan serebrospinal pada pasien ensefalitis dapat normal atau menunjukkan pleositosis, kadar protein meningkat. Respons terhadap terapi empiris dapat digunakan juga untuk diagnosis. Hampir 90% pasien baik secara klinis maupun radiologis memberikan respons terhadap terapi toksoplasmosis serebral pada hari ke 14 setelah pengobatan (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008)

Pencemaran Sumber Air

2.2.1. Definisi Pencemaran Air

Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air menyatakan bahwa, pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas perairan turun sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Dari rumusan tersebut, secara singkat pencemaran air dapat dikatakan sebagai turunnya kualitas air karena masuknya komponen-kompoen pencemar dari kegiatan manusia atau proses alam, sehingga air tersebut tidak memenuhi syarat atau bahkan mengganggu pemanfaatannya. Terjadinya pencemaran perairan danau dapat ditunjukkan oleh dua hal, yaitu (1) adanya pengkayaan unsur hara yang tinggi, sehingga terbentuk komunitas biota

(12)

dengan produksi yang berlebihan, (2) air diracuni oleh zat kimia toksik yang menyebabkan lenyapnya organisme hidup, bahkan mencegah semua kehidupan di perairan (Southwick, 1976). Senada dengan hal tersebut Saeni (1989) menyatakan bahwa pencemaran yang terjadi di perairan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) pencemaran kimiawi berupa bahan-bahan organik, mineral, zat-zat beracun dan radioaktif, (2) pencemaran fisik berupa lumpur dan uap panas, dan (3) pencemaran biologis berupa berkembangbiaknya ganggang, tumbuh-tumbuhan pengganggu air, kontaminasi organisme mikro yang berbahaya atau dapat berupa gabungan ketiga pencemaran tersebut.

Penyakit toksoplasmosis dapat juga ditularkan melalui perantara air, salah satu wabah terkait waterborne disease akibat Toxoplasma gondii terjadi pada tahun 1995 di Victoria, British Colombia, sumber air yang terkontaminasi ookista, di minum tanpa melalui proses filtrasi terlebih dahulu, sehingga diperkirakan 2894-7718 orang di wilayah tersebut terinfeksi Toksoplasma gondii (Bowie et al, 1997 ; Dubey, 2010).

Selain di daerah Victoria, terjadi juga waterborne disease akibat Toksoplasma gondii di Santa Isabel do Ivai, Brasil yang mengakibatkan 155 orang menderita toksoplasmosis akibat meminum air dari tangki penampungan yang tidak di filtrasi (de Moura et al., 2006). Minum air tanpa proses filtrasi juga menjadi penyebab tingginya prevalensi infeksi Toksoplasma gondii pada anak-anak di pedesaan Guatemala (Jones et al, 2005).

Beberapa hasil studi epidemiologi di negara-negara industri yang memeriksa daging dan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan tanah yang terinfeksi Toksoplasma gondii mengindikasikan bahwa sebagian besar infeksi manusia tidak dapat dijelaskan oleh paparan tanah dan kontaminasi makanan (Cook et al., 2000 ; Boyer et al., 2005). Ada kemungkinan bahwa konsumsi air yang tidak diproses dengan baik atau dikonsumsi langsung dari sungai,

(13)

danau atau kolam dapat menjelaskan terjadinya penularan infeksi Toksoplasma gondii pada manusia (Dubey, 2010).

Sumber Air

Sistem air kota yang digunakan tanpa filter dan chloraminated air permukaan adalah kemungkinan sumber kontaminasi oleh cougar dan/atau feses kucing domestik (Aramini et

al, 1999 ; Aubert dan Villena, 2009). Pada tahun 1999, air minum juga dilaporkan sebagai

perantara infeksi di antara umat Jaina, yang merupakan sebuah komunitas ketat vegetarian di kota tersebut. (Hall et al, 1999 ; Aubert dan Villena, 2009).

Di antara sebagai jenis protozoa parasit yang dapat mencemari air minum,

Toksoplasma gondii adalah salah satu yang memiliki dampak besar terhadap kesehatan

manusia dan hewan. Invasi Toxoplasma gondii mungkin sangat berbahaya, terutama wanita hamil sehubungan dengan kemungkinan terjadinya cacat bawaan pada janin, serta bagi orang-orang dengan defisiensi imun, yang dapat menyebabkan perubahan sistemik parah atau bahkan kematian (Jacek et al., 2007).

Air menjadi salah satu perantara penularan parasit Toxoplasma gondii, dimana air merupakan tempat hidupnya ookista dari toxoplasma. Ookista yang dapat hidup di air adalah ookista yang bersporulasi. Ookista yang bersporulasi ini dapat hidup dan tetap menginfeksi di air selama 54 bulan pada suhu 4C (IOWA State University, 2005)

Keberadaan Hewan Peliharaan

Hewan peliharaan merupakan sumber penularan Toxoplasma Gondii terutama kucing sebagai hospes definitif. Berdasarkan hasil penelitian Dwinata et al tahun 2009 bahwa

(14)

kepemilikan kucing merupakan faktor risiko terjadinya Toksoplasmosis pada Ibu hamil di Kabupaten Badung (RR = 2,154 ci = 95% (1,567-2,961)) dan p (0,000) < (0,05). Dan bahwa membersihkan feses kucing juga merupakan faktor risiko terjadinya Toksoplasmosis pada Ibu hamil di Kabupaten Badung (RR = 4,473 CI = 95% (2,129-9,395)) dan p (0,001)<0,05). Keadaan tersebut disebabkan ada kontak secara langsung maupun tidak langsung dengan feses kucing yang mengandung ookista Toxoplasma Gondii. (Dwinata, et al 2009 ; Dewi P, I.G.A.M. 2012).

Selain bangsa felidae, hewan peliharaan maupun hewan liar yang berada disekitar manusia dapat terinfeksi Toxoplasma Gondii, dan sekaligus dapat menularkan penyakit Toksoplasmosis kepada manusia. Berdasarkan data hasil serodiagnostik pada hewan yang terinfeksi Toxoplasma Gondii, pada anjing (59%), kucing (34%), babi (30%), sapi (47%), kambing (48%) (Chahaya, 2003)

Gambar

Gambar 1. Siklus  hidup Toxoplasma Gondii, sumber  infeksi pada manusia (Frankel, 1989)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa materi kubus dan balok dengan menggunakan model pembelajaran pembelajaran JIGSAW dan GI (Group

Berangkat dari beberapa penjelasan tersebut, dapat dikemukan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar, yakni suatu kegiatan membimbing, pengajaran dan atau latihan

Hal tersebut dikarenakan faktor kebersihan kandang yang belum terjaga dengan baik maupun dari segi pakan yang diberikan kurang terjaga kebersihannya pada

Orally Disintegrating Tablet (ODT) atau Fast Release Tablet adalah sediaan padat yang hancur secara cepat dalam mulut dan residunya mudah ditelan Telah dilakukan penelitian

Tesirlerin kolaylıkla aktarılabilmesi için az önce el tutma yönteminde aktarmış olduğumuz nefes alma yöntemini kullanınız. Her bir yeni pasa başlarken derin bir nefes

Standar persyaratan kebutuhan operasi pencarian dan pertolongan ini sebagai bahan masukan bagi pimpinan Badan SAR Nasional dalam menetapkan kebijakan penyelenggaraan

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Penerapan Token Economy