BAB IV
ANALISIS UPAYA DAN KENDALA REKONSILIASI KONFLIK PORTO-HARIA
Dengan mencermati realita konflik yang terjadi di Negeri Porto-Haria,
Saparua-Maluku, dalam bab I dan landasan teori pada bab II serta hasil penelitian upaya
yang dilakukan GPM dan alasan-alasan yang menyebabkan belum terciptanya perdamaian
di antara kedua negeri ini hingga saat ini dalam bab III maka dalam bab IV ini akan dibahas
analisa dan pembahasan berdasarkan teori rekonsiliasi konflik terhadap upaya GPM dan
alasan-alasan yang menyebabkan belum terciptanya perdamaian di Porto-Haria. Analisa
dan refleksi ini akan dibahas secara keseluruhan dengan mengacu pada fakta dan realita
yang ada pada bab-bab sebelumnya.
A.Analisa Upaya Gereja dalam Perspektif Teori Rekonsiliasi Konflik
Konflik yang terjadi antara Negeri Porto dan Haria telah terjadi sejak awal abad XIX.
Sebagian besar masyarakat kedua negeri memeluk agama Kristen Protestan, sehingga
masyarakat melihat konflik ini sebagai konflik seagama. Apalagi mengingat bahwa
masyarakat kedua negeri sebagian besar memiliki hubungan persaudaraan karena mereka
telah saling mengawini atau dalam istilah setempat disebut “kawin masuk”/
“masuk-keluar”. Selain itu mereka juga selalu hidup berdampingan satu dengan yang
lainnya, baik karena mereka melakukan aktivitas di tempat yang sama (supir angkot, ojek
Saparua). Oleh karena itu orang sulit percaya bahwa konflik seperti itu bisa terjadi antara
Negeri Porto dan Negeri Haria.
Masyarakat Porto-Haria sesungguhnya tidak dapat lagi memahami letak benar salah
atau baik buruknya konflik. Konflik ini telah membelenggu kehidupan masyarakat
Porto-Haria di dalam sebuah cengkeraman rasa ketidakamanan (insecure) dan
ketidakpastian yang sungguh mendalam. Terhadap fenomena konflik antar jemaat
Porto-Haria dan berdasarkan upaya yang telah dilakukan Sinode GPM, maka pada
hakekatnya sebagai sebuah institusi keagamaan yang dipercaya oleh kedua pihak Sinode
GPM terpanggil untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Pada Bab III telah digambarkan berbagai upaya Gereja dalam merespons fenomena
konflik yang terjadi di Porto-Haria. Gereja sudah melakukan berbagai upaya untuk
mewujudkan suatu perdamaian yang permanen di antara kedua negeri. Dalam perannya,
gereja terus memberikan pendampingan dan selalu “tampil di depan”. Meskipun
upaya-upaya ini bisa berjalan lancar dan hanya menemui kendala yang kecil, konflik antara
kedua negeri ini terus terjadi sewaktu-waktu.
Upaya GPM/gereja terkait dengan misi gereja-gereja untuk mendirikan tanda-tanda
kerajaan Allah berupa pelaksanaan tugas untuk ikut mengusahakan terwujudnya suatu
kehidupan yang damai, penuh kasih dan keutuhan ciptaan. Terkait dengan upaya-upaya
gereja, maka dengan demikian upaya gereja dalam menanggulangi konflik Porto-Haria
selama ini bukan dengan kekerasan (violence) melainkan tanpa kekerasan (non-violence)
perdamaian, keutuhan ciptaan (Integrity of Creation), dan menggunakan Injil sebagai titik
berangkat perjuangan.
Sesuai dengan fungsi dan perannya, menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah, untuk
mewujudkan cinta kasih (love) dan kebenaran (truth), keadilan (justice) dan pengampunan
(forgiveness), pendamaian (reconciliation), perdamaian (peace), serta kesejahteraan
(welfare) dan keutuhan ciptaan (integrity of creation), artinya bahwa sesuai dengan fungsi
dan perannya maka Sinode GPM/gereja dalam memperjuangkan keadilan, harus
memperlihatkan keberpihakannya yang jelas kepada warga yang menderita, tanpa
membedakan suku, agama, ras dan latar belakang sosial lainnya. Gereja terus aktif
memberikan bimbingan-bimbingan, melakukan pergumulan, berupaya membangun
kesadaran umat dan lain-lain.
Secara teoritis, maka berdasarkan realitasnya, ternyata konflik yang terjadi di
Porto-Haria tidak begitu saja (serta merta) terjadi. Konflik merupakan suatu proses yang
terdiri dari berbagai tahapan kerusuhan. Karena melibatkan pihak yang bertindak agresif
dan pihak yang menjadi sasaran, dan dapat dilihat sebagai konflik sosial antar warga.
Konflik yang terjadi di Porto-Haria merupakan konflik sosial. Bagi Weber1, konflik
sosial yang terjadi dikarenakan adanya perubahan-perubahan dalam masyarakat, sekaligus
juga membawa perubahan baru dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat harus
dilihat sebagai sesuatu yang dinamis. Masyarakat tidak bisa dipahami semata-mata sebagai
suatu kesatuan yang terintegrasi secara utuh karena kestabilan masyarakat mengandung
akan sulit dilakukan jika masyarakat hanya dilihat dalam rangka “kestabilan sosial”.
Dengan demikian konflik adalah sebuah konsep komplementer (pelengkap yang setara)
terhadap kestabilan tersebut.
Konflik dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu hal yang mendasar dan
esensial. Konflik mempunyai kekuatan yang membangun karena adanya variabel yang
bergerak bersamaan secara dinamis. Oleh karena itu, konflik yang terjadi di Porto-Haria
dapat dipahami sebagai suatu proses yang wajar terjadi dalam suatu kelompok atau
masyarakat karena dengan konflik, kemungkinan masyarakat akan mengalami suatu
perubahan. Berdasarkan defenisinya konflik didefenisikan sebagai interaksi antara dua
atau lebih pihak, yang saling membutuhkan satu sama lain, namun terpisahkan oleh
perbedaan tujuan, di mana setidaknya salah satu dari pihak tersebut menyadari perbedaan
yang ada. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, konflik Porto-Haria telah terjadi
berulang kali dengan berbagai pemicu. Jika dilihat dari isu pemicu konflik kedua negeri
saat ini, maka dapat dikatakan bahwa, tujuan dari masyarakat Porto yaitu ingin merebut apa
yang dilihat sebagai milik mereka, baik tanah maupun Air Raja. Sebaliknya, masyarakat
Haria ingin mempertahankan apa yang dilihat sebagai milik mereka sejak zaman dahulu
kala. Padahal awalnya masyarakat kedua negeri tidak terlalu mempedulikan ‘batas
wilayah’, mereka selalu hidup berdampingan sehingga tidak diketahui secara pasti di mana
batas wilayahnya. Dari sini mungkin bisa dilihat bahwa salah satu pemicu konflik antara
kedua negeri seagama ini adalah keserakahan. Tiap pihak menghendaki apa yang
diciptakan Tuhan untuk dapat dijaga dan digunakan bersama, menjadi miliknya sendiri.
Resolusi konflik berarti menghentikan konflik dengan cara-cara yang analistis masuk
yang mendasar yang harus dipenuhi jika ingin menciptakan masyarakat yang stabil.2
Berdasarkan pandangan di atas maka dalam rangka menyelesaikan konflik, upaya gereja
dalam menyelesaikan konflik lebih didasarkan pada tugas dan panggilan gereja dalam
menghadirkan kedamaian bagi seluruh umat manusia demi terwujudnya cinta kasih,
kebenaran, keadilan, pengampunan, pendamaian, perdamaian, kesejahteraan dan keutuhan
ciptaan, sebagai titik berangkat perjuangan. Pada Bab III dapat dilihat bahwa
ketidaksepahaman, adanya dendam dan faktor ekonomi adalah beberapa alasan yang
menyebabkan belum terciptanya perdamaian/rekonsiliasi antara Porto-Haria. Agar dapat
menciptakan masyarakat yang stabil, nilai-nilai dan kebutuhan ini harus dipenuhi.
Dari teori rekonsiliasi yang dicetuskan oleh Geiko Muller - Fahrenholz, Duane Ruth
Heffelbower dan John W. De Gruchy3, meskipun berbeda-beda dan perlu melalui beberapa
tahap, dapat dilihat bahwa ketiga teori rekonsiliasi ini dititikberatkan pada terwujudnya
‘pengampunan’ atau ‘mewujudkan kesepahaman’ di antara kedua pihak yang berkonflik.
Rekonsiliasi sejati tidak mungkin bisa terwujud selama kesepahaman belum tercapai atau
tidak disertai dengan permintaan maaf dari pihak yang menyakiti dan pemberian maaf dari
pihak yang tersakiti. Selain itu perlu diingat bahwa pengampunan bukanlah suatu proses
yang otomatis. Sebuah rekonsiliasi yang dipaksakan hanya akan melahirkan rekonsiliasi
palsu (false reconciliation) dan berumur pendek. Rekonsiliasi sejati baru akan terjadi
ketika kedua belah pihak sama-sama menyepakati ditempuhnya jalan pemaafan. Kedua
2 Janie Leatherman, William De Mars, dkk, Memutus Siklus Kekerasan: Pencegahan Konflik dalam
belah pihak harus mampu membangun suasana saling percaya dan bersedia mewujudkan
sebuah hubungan yang baru, meski ia lebih sulit diciptakan, karena seringkali pihak yang
bersengketa tidak bersedia menempuh jalan pemaafan.
Gereja telah berupaya mewujudkan rekonsiliasi dengan melakukan bimbingan khusus
dan mengadakan perjumpaan-perjumpaan untuk menumbuhkan rasa saling percaya antara
masyarakat kedua negeri dan upaya-upaya lainnya, sehingga diharapkan dengan demikian
maka suatu perdamaian yang abadi dapat terwujud. ‘Perjumpaan’ yang dilakukan antara
warga jemaat kedua negeri baik melalui ibadah-ibadah maupun kegiatan-kegiatan cukup
memungkinkan terciptanya suasana saling percaya dan bersedianya para warga untuk
mewujudkan sebuah hubungan baru yang lebih baik. Saat ini, keadaan kedua negeri sudah
kondusif, dan bisa kembali melakukan aktivitas secara berdampingan. Namun, dengan
adanya pihak ketiga yang mengetahui ‘Luka Lama’/ trauma sekaligus dendam, terus
memicu terjadinya konflik, sehingga konflik antara masyarakat kedua negeri kemungkinan
bisa pecah sewaktu-waktu. Masyarakat kedua negeri terjebak dalam ketidaksadaran gerak
pelestarian konflik. Di sinilah letak potensi munculnya konflik yang terus berulang.
Menurut perspektif analisa transaksional, ada tiga peran klasik dalam permainan konflik,
yaitu: persecutor (penganiaya), victim (korban) dan rescuer (penyelamat).4 Dalam hal ini,
warga Porto-Haria berperan sebagai victim (korban), yaitu para warga yang diterpa oleh
tindak kekerasan, serta para warga yang ikut tersuap dan bersedia melakukan tindak
kekerasan. Oleh karena itu, konflik hanya dapat berakhir jika ada kesadaran akan peran dan
setiap pelaku peran menolak untuk menjalankan perannya.
4 Janie Leatherman, William De Mars, dkk, Memutus Siklus Kekerasan: Pencegahan Konflik dalam Krisis
Namun dengan masih adanya ketidaksepahaman antara masyarakat kedua negeri,
atau dengan kata lain belum ada pihak yang mau mengakui kesalahannya/ meminta maaf,
maka rekonsiliasi sejati antara kedua negeri ini belum bisa tercapai. Apalagi mengingat
bahwa konflik tersebut telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa maupun harta yang
kemudian melahirkan dendam, sehingga pihak yang tadinya menjadi ‘korban’ bisa berubah
peran menjadi seorang ‘pelaku’. Dengan demikian maka meskipun gereja telah berupaya
untuk mewujudkan suatu perdamaian, selama kesepahaman atau pemaafan belum bisa
terwujud, perdamaian kedua negeri saat ini masih bersifat semu dan masih membuka
kemungkinan konflik bisa kembali pecah di masa-masa yang akan datang. Atau dengan
kata lain, upaya rekonsiliasi konflik yang dilakukan oleh gereja maupun pemerintah hingga