• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Koordinasi Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan dan Penyidik Polri dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan T1 312015707 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Koordinasi Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan dan Penyidik Polri dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan T1 312015707 BAB II"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Penyidikan dan Penyidik Dalam Perkara Pidana

Dalam perkara pidana, penyelidikan adalah langkah-langkah untuk melakukan penelitian berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan untuk memastikan apakah peristiwa pidana itu benar-benar terjadi atau tidak terjadi.1 Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.2

Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka (2) KUHAP, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan adalah: 3

1

Hartono. Penyelidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 18-19.

2

Lihat Pasal 1 angka (2) KUHAP. 3

(2)

15 a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan-tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan;

b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik; b. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan

perundang-undangan.

c. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya.

Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya.4

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (2) KUHAP, penyidik Polri bertugas dan berkewajiban untuk membuat terang tentang dugaan tindakan pidana yang terjadi. Maksudnya adalah harus Polri sebagai penyidik bukan harus menyatakan bahwa dugaan tindak pidana itu harus tetap dinyatakan sebagai tindak pidana, tetapi bertugas berdasarkan ketentuan peraturan perundangan hukum yang berlaku menyatakan berdasarkan hasil penyidikannya bahwa perkara itu adalah peristiwa pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau bukan merupakan tindak pidana setelah

4

(3)

16 mendapatkan bahan keterangan yang cukup, bahwa perkara itu bukan dalam ranah pidana tetapi dalam ranah perkara lain.5

Mengenai Penyidik, Pasal 1 angka (1) KUHAP menyatakan bahwa:

Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 6

Kewenangan penyidik diatur dalam Pasal 6 KUHAP, yaitu:7 a) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya

tindak pidana.

b) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. f) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

h) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

i) Mengadakan penghentian penyidikan.

j) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, maka harus memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Menurut penjelasan Pasal 6 ayat 2, kedudukan dan kepangkatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum. Peraturan Pemerintah yang

5

Hartono, Op .cit, hal.36 6

Lihat Pasal 1 angka (1) KUHAP. 7

(4)

17 mengatur masalah kepangkatan penyidik adalah berupa PP Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah oleh PP Nomor 58 Tahun 2010.

Adapun kedudukan PPNS dalam sistem peradilan pidana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Selain itu terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Sehingga dapat dikatakan bahwa PPNS merupakan penyidik, disamping penyidik POLRI yang memiliki kedudukan serta berperan penting dalam melakukan penyidikan, dalam kaitannya menegakkan hukum pidana. Adapun PPNS mendapatkan kewenangan untuk menyidik berdasarkan Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya, sehingga penyidikannya terbatas sepanjang menyangkut tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut.

(5)

18 pembantu disamping penyidik.8 Pasal 10 KUHAP menentukan bahwa Penyidik Pembantu adalah Pejabat Kepolisan Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara menurut syarat-syarat yang diatur dengan peraturan pemerintah.

1. Tindak Pidana Kehutanan

Tindak pidana dalam KUHP tidak dirumuskan secara tegas, hanya menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam tataran konsep hal tersebut telah dirumuskan atau diformulasikan dalam konsep Pasal 11 RUU KUHP yang menyatakan bahwa:9

(1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

(2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.

(3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.

Pengertian tindak pidana yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik. Istilah yang digunakan

8

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika,.2000, hal 110.

9

(6)

19 dalam KUHP adalah tindak pidana. Tampaknya para pembentuk undang-undang lebih memilih istilah tindak pidana.

Tindak Pidana Kehutanan tergolong dalam salah satu Tindak Pidana Khusus, dimana pengaturannya diatur secara terpisah dalam sebuah undang-undang Umum. Berdasarkan kajian etimologis tindak pidana berasal dari kata “strafbaarfeit” di mana arti kata ini menurut Simons adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.10

Menurut Pompe, strafbaarfeit itu dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh

pelaku”.11

Sedangkan hukum pidana adalah sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara, yang isinya berupa larangan maupun keharusan, sedang bagi pelanggar terhadap larangan dan keharusan tersebut dikenakan sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara.12 Berdasarkan hal tersebut, maka tindak pidana bidang kehutanan adalah suatu peristiwa yang telah/sedang/akan terjadi berupa perbuatan melanggar larangan atau kewajiban dengan ancaman sanksi pidana dalam kumpulan peraturan hukum yang mengatur mengenai kehutanan yaitu Undang-Undang Nomor. 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan dan/atau Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

10

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hal 56. 11

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 2000, hal 174. 12

(7)

20 Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan bagi barangsiapa yang secara melawan hukum melanggarnya.

2. Polisi Kehutanan

Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan, yang dimaksud dengan Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan/atau daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha pelindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada dalam satu kesatuan komando. Dasar hukum Polisi Kehutanan adalah UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan, UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,PP No.45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan Permenhut Nomor P.75/MENHUT-II/2014 Tahun 2014 tentang Polisi Kehutanan.

Polisi Kehutanan, terdiri atas: a. Polhut pembina; b. Polhut fungsional; dan c. Polhut perhutani.13 Organisasi Polisi Kehutanan Republik Indonesia, meliputi: a. Polhut Pusat; b. Polhut Daerah; dan c.

13

(8)
[image:8.595.100.534.139.633.2]

21 Polhutsus Perhutani.14 Organiasi Polisi Kehutanan Republik Indonesia merupakan satu kesatuan komando operasi.

Gambar 1. Struktur Organisasi Polisi Kehutanan RI15

Pasal 4 Permenhut Nomor P.75/MENHUT-II/2014 Tahun 2014 tentang Polisi Kehutanan menyatakan bahwa tugas dan fungsi Polisi Kehutanan adalah:16

14

Lihat Pasal 17 ayat (1) Permenhut Nomor P.75/MENHUT-II/2014 Tahun 2014 tentang Polisi Kehutanan.

15

Lihat Lampiran Permenhut Nomor P.75/MENHUT-II/2014 Tahun 2014 tentang Polisi Kehutanan.

16

(9)

22 a. melaksanakan perlindungan dan pengamanan hutan, kawasan hutan,

hasil hutan, tumbuhan dan satwa liar; dan

b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, tumbuhan dan satwa liar, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Adapun wewenang dari Polisi Kehutanan berdasarkan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah:17

a. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

b. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

c. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

d. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

e. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang;

17

(10)

23 f. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

3. Konsep Sistem Peradilan Pidana

Menurut Soerjono Soekanto, suatu sistem merupakan keseluruhan terangkai, yang mencakup unsur, bagian, konsistensi, kelengkapan dan konsepsi atau pengertian dasarnya.18

Menurut Lili Rasjididan I.B. Wiyasa Putra, ciri suatu sistem adalah:19

a) Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses)

b) Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung (interdependence of its parts)

c) Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more than the sum of its parts)

d) Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the whole determines the nature of its parts)

e) Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be understood if considered in isolation from the whole)

f) Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis, secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.

18

Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Jakarta: Binacipta, 1983, hal. 3. 19

(11)

24 Menurut Mardjono Reksodiputro, bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi berarti di sini usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.20 Menurut Remington dan Ohlin, bahwa yang dimaksud dengan Sistem Peradilan Pidana adalah sebagai pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.21 Larry J. Siegel dan Joseph J. Senna, memandang Sistem Peradilan pidana sebagai berikut:

Criminal justice may be viewed or defined as the system of law enforcement, adjudication, and correction that is directly involved in the apprehension, prosecution, and control of those charged with criminal offenses.”22

Mardjono Reksodiputro menjelaskan tujuan dari Sistem Peradilan Pidana sebagai berikut:23

a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana

c) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

20

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan. Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007, hal. 84.

21

Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana. Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2013, hal. 12.

22

Larry J. Siegel dan Joseph J. Senna, Essentials of Criminal Justice, USA: Thomson Learning, Inc., 2007, hal 4.

23

(12)

25 Tolib Effendi menjelaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana memiliki dua tujuan besar, yaitu untuk melindungi masyarakat dan menegakan hukum. Namun Tolib Effendi juga menjelaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana memiliki beberapa fungsi penting, antara lain:24

a) Mencegah kejahatan;

b) Menindak pelaku tindak pidana dengan memberikan pengertian terhadap pelaku tindak pidana dimana pencegahan tidak efektif; c) Peninjauan ulang terhadap legalitas ukuran pencegahan dan

penindakan;

d) Putusan pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidak bersalah terhadap orang yang ditahan;

e) Disposisi yang sesuai terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah; f) Lembaga koreksi oleh alat-alat negara yang disetujui oleh masyarakat

terhadap perilaku mereka yang melanggar hukum pidana.

Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana dimplementasikan dalam 4 (empat) sub-sistem kekuasaan, yakni kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili/menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi/pelaksanaan pidana.25 Terkait dengan terjadinya stagnasi atas Sistem Peradilan Pidana secara konvensional, saat ini, para ahli hukum memunculkan istilah baru yaitu Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated criminal justice

system). Terkait dengan istilah tersebut, maka Muladi mencoba

24

Tolib Effendi, Op.cit, hal 13-14. 25

(13)

26 memberikan pandangannya terkait dengan penggunaan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated criminal justice system), dimana Beliau menegaskan bahwa makna Integrated Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam:26

a) sinkronisasi struktural (structural synchronization) adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.

b) sinkronisasi substansial (substantial synchronization) adalah keserempakan dan keselarasan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.

c) sinkronisasi kultural (cultural synchronization) adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

B. Hasil Penelitian: Pengaturan Kewenangan PPNS Kehutanan Dan

Penyidik Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan

Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya.

26

(14)

27 Kewenangan adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.27 Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian kewenangan sebagai berikut :

“Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk

melakukan sesuatu tindak hukum publik”.28

Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :

Wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian

wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan

suatu wewenang pemerintah yang baru”. Pada delegasi terjadilah

pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.29

Pejabat administrasi negara dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan berdasarkan asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur). Asas legalitas sebagai prinsip

27

SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1997, hal 154.

28

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, hal 29. 29

(15)

28 utama dalam penyelenggaraan pemerintahn dalam setiap negara hukum, berarti bahwa setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yakni kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.30 Berdasarkan hal tersebut, maka kewenangan PPNS Kehutanan dan Penyidik Polri yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, baik pada pemerintahan pusat maupun daerah dapat diperoleh melalui atribusi, delegasi dan mandat.

Kepolisian memperoleh atribusi berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sedangkan PPNS Kehutanan memperoleh atribusi berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 jo

UU Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan, UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Atribusi dari undang-undang tersebut melahirkan kewenangan PPNS Kehutanan Dan Penyidik Polri.

Kewenangan polisi sebagai penyidik diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

jo Pasal 6 KUHAP, yaitu:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian. c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka.

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

30

(16)

29 e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Adapun kewenangan PPNS dalam sistem peradilan pidana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.31 KUHAP tidak memberikan wewenang secara rinci kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana Penyidik Polri. Namun dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP jo Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Sedangkan Penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya (vide

Pasal 14 ayat (1) huruf (g) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik)

31

(17)

30 Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Pasal 29 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menyatakan bahwa:

“Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, PPNS diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.”

[image:17.595.101.514.201.729.2]

Adapun kewenangan PPNS Kehutanan dalam penyidikan tindak pidana kehutanan termuat pada Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Pasal 30 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Tabel 1. Kewenangan PPNS Kehutanan dan Penyidik Polri

Penyidik Kewenangan Berdasarkan Peraturan

PPNS Kehutanan

Pasal 1 ayat (1) KUHAP: Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Pasal 29 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan: Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, PPNS diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Kewenangan PPNS Kehutanan dalam Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau

keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

b.melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

(18)

perundang-31 undangan yang berlaku;

e. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

f. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;

g.membuat dan menandatangani berita acara;

h.menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Kewenangan PPNS Kehutanan dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana perusakan hutan; c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau

badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak perusakan hutan;

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan;

e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana perusakan hutan;

f. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana perusakan hutan;

h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat bukti tentang adanya tindakan perusakan hutan;

i. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

j. membuat dan menandatangani berita acara dan surat-surat lain yang menyangkut penyidikan perkara perusakan hutan; dan

(19)

32 Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan: Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana kejahatan dan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Penyidik Polri

Pasal 1 ayat (1) KUHAP: Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Kewenangan Polisi sebagai penyidik diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesiajo Pasal 6 KUHAP, yaitu:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.

b.Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

d.Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g.Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

h.Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

(20)

33 sepanjang menyangkut tindak pidana kehutanan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Hal tersebut mengindikasikan bahwa PPNS Kehutanan pada waktu melaksanakan penyidikan atas tindak pidana kehutanan, apabila menemukan adanya perbuatan yang patut diduga merupakan kejahatan atau pelanggaran yang bersifat pidana umum yang terkait dengan tindak pidana kehutanan, harus segera menyerahkan kepada Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.32

Kewenangan PPNS Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Kehutanan terbatas, sehingga ada poin-poin kegiatan penyidikan yang mau tidak mau PPNS Kehutanan harus meminta bantuan Penyidik Polri antara lain :

1) PPNS Kehutanan bisa menangkap dan menahan tetapi dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri sehingga untuk menangkap atau menahan seorang tersangka PPNS kehutanan harus meminta bantuan atau setidaknya harus berkoordinasi dengan penyidik Polri (vide Pasal 77 ayat 2 huruf f UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan)

2) Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikirim PPNS Kehutanan kepada Jaksa Penuntut Umum harus melalui Penyidik Polri (vide Pasal 32 UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan)

32

(21)

34 3) Penyerahan Berkas Perkara dan tersangka kepada Jaksa Penuntut Umum harus melalui Penyidik Polri (vide Pasal 77 ayat 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).

Karena hal-hal tersebut diatas, sehingga PPNS kehutanan tetap harus berkoordinasi dengan Penyidik Polri yang dalam pelaksanaan koordinasi tersebut.

C. Analisis

1. Kedudukan PPNS Kehutanan dan Penyidik Polri Dalam Sistem

Peradilan Pidana

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif, sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana, oleh karena itu berhubungan erat dengan peraturan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana, karena peraturan perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana “in abstracto” yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum “in concreto”.33 Keterpaduan

tersebut secara filosofis adalah suatu instrumen untuk mewujudkan tujuan nasional dari bangsa Indonesia yang telah dirumuskan oleh The Founding Father dalam UUD 1945, yaitu melindungi masyarakat (social defence) dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial (social welfare).34

33

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2005. hal.197.

34

(22)

35 Adapun kedudukan PPNS Kehutanan dan Penyidik Polri dalam sistem peradilan pidana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.PPNS Kehutanan mendapatkan kewenangan untuk menyidik berdasarkan Undang-Undang Kehutanan yang menjadi dasar hukumnya, sehingga penyidikannya terbatas sepanjang menyangkut tindak pidana kehutanan yang diatur dalam undang-undang tersebut.

Berdasarkan Undang-undang yang menjadi dasar hukumnya tersebut, PPNS Kehutanan merupakan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi kehutanan pusat atau daerah, yang oleh dan atas kuasa undang-undang memiliki wewenang khusus sebagai penyidik.35 Sehingga jika dilihat lebih lanjut dari segi kelembagaan, PPNS bukan merupakan subordinasi dari lembaga kepolisian. Lembaga penyidikan merupakan salah satu subsistem dari sistem peradilan pidana (criminal justice system). Oleh karena itu apabila di dalam lembaga penyidikan terdapat adanya Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), maka dapat dikatakan bahwa PPNS merupakan bagian dari sistem peradilan pidana.

Meskipun PPNS mempunyai tugas dan wewenang tersendiri sesuai dengan lingkup bidang tugas dan spesialisasinya, bukan berarti PPNS merupakan subsistem yang berdiri sendiri dalam sistem peradilan pidana.

35

(23)

36 Sesuai dengan keberadaannya, maka dapat dikatakan PPNS adalah bagian subsistem kepolisian sebagai salah satu subsistem peradilan pidana.36

Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem.37 Sebagai suatu sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau subsistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar dapat mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal. Kombinasi antara efisiensi dan efektivitas PPNS Kehutanan dan Penyidik Polri tersebut sangat penting, sebab belum tentu efisiensi masing-masing subsistem, dengan sendirinya menghasilkan efektivitas. Fragmentasi yang bersifat mutlak pada satu subsistem akan mengurangi fleksibilitas sistem dan pada gilirannya bahkan akan menjadikan sistem tersebut secara keseluruhan disfungsional.38

Muladi pun menyetujui apabila penyebutan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, lebih diarahkan untuk memberikan tekanan, agar integrasi dan koordinasi lebih diperhatikan.39 Lemahnya koordinasi antar PPNS Kehutanan dan Penyidik Polri dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing-masing pihak. Kegiatan koordinasi merupakan suatu bentuk hubungan kerja antara Penyidik Polri dengan PPNS

36

Siti Maimana Sari Ketaren, Alvi Syahrin, Madiasa Ablisar & M.Hamdan, Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Ppns) Perpajakan Dan Penyidik Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana Perpajakan, USU Law Journal, Vol.II-No.2 November 2013, hal 62.

37

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2011, hal. 2. 38

Siti Maimana Sari Ketaren, Alvi Syahrin, Madiasa Ablisar & M.Hamdan, Op.cit. 39

(24)

37 Kehutanan dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang yang menyangkut bidang penyidikan tindak pidana kehutanan atas dasar sendi-sendi hubungan fungsional.

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH), Siti Nurbaya, juga menyatakan penegakan hukum tindak pidana kehutanan dilakukan Penyidik PNS (PPNS) KLH paralel dengan Polri.40 Seperti contoh yang terjadi di Sumbawa, langkah strategis yang ditempuh aparat kepolisian Sumbawa, berupa berkoordinasi dan menggelar operasi gabungan bersama Polisi Kehutanan untuk memberantas illegal logging.41 Kemudian contoh lainnya kasus bencana asap dan kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera pada tahun 2015, penyidikan pemegang konsesi yang terindikasi bertanggung jawab atas kasus tersebut dilakukan melalui koordinasi tim penyidik yang terdiri atas Petugas Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH), Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Polisi Hutan (Polhut), Satuan Polhut Reaksi Cepat (SPORC), dan petugas fungsional perkebunan diterjunkan untuk menyelidiki kebenaran informasi tersebut.42

Menurut Kennet Peak, Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang ideal haruslah memiliki elemen-elemensebagai berikut: 43

40

BeritaSatu, Menteri KLH: Kebakaran Hutan dan Lahan Tanggung Jawab Bersama, http://www.beritasatu.com/kesra/319482-menteri-klh-kebakaran-hutan-dan-lahan-tanggung-jawab-bersama.html, diakses pada tanggal 20 Juli 2016.

41

KabarNTB, Berantas Illegal Logging, Polisi Gandeng TNI dan Polhut, http://kabarntb.com/berantas-illegal-logging-polisi-gandeng-tni-dan-polhut/, diakses pada tanggal 20 Juli 2016.

42

Harian Nasional, 286 Pemegang Konsensi Hutan Diincar, http://www.harnas.co/2015/09/19/286-pemegang-konsensi-hutan-diincar, diakses pada tanggal 20 Juli 2016.

43

(25)

38 1) Rulification to facilitate standard and equal treatment of similar

situations thus written rules are necessary as a legal basic of actions conducted by those agencies functioning within the system. 2) Functional differentiation to ensure a specific sphere of

competence of each agency within the system, so as to : prevent overlapping authority, clarify the responsibility of each agency.

3) Coordination among units to ensure that agency support the other in order to achieve the objective of the system.

4) Expertise derived from special training for each agency.

5) Control mechanism to make sure that each agency and the whole system function.

Berdasarkan paparan di atas, maka PPNS Kehutanan sebagai aparat penyidik tindak pidana dalam lingkup bidang tugasnya melaksanakan penyidikan di bawah koordinasi oleh Penyidik Polri merupakan bagian dari sistem peradilan pidana, karena dalam melaksanakan tugas dan fungsinya bekerjasama dan berinteraksi dengan subsistem-subsistem penegak hukum lain dalam kerangka sistem peradilan pidana terpadu. Demikian pula sebagaimana diungkapkan oleh Romli Atmasasmita, bahwa dengan terciptanya mekanisme kerja antar masing-masing sub-sistem guna terciptanya tolak ukur keberhasilan dalam penanggulangan kejahatan.44 Koordinasi secara berkala antar instansi penyidik mengenai Tindak Pidana Kehutanan sangat diperlukan guna meningkatkan kerjasama dan pengoptimalan tugas dan wewenang.

2. Koordinasi Kewenangan Antara PPNS Kehutanan dan Penyidik Polri

Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan

Pasal 7 ayat (2) KUHAP menjelaskan bahwa PPNS mempunyai wewenang sesuai dengan Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya

44

(26)

39 masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri. Ada dua hal penting yang disebut dalam Pasal itu. Pertama, wewenang PPNS di setiap bidang diatur dalam undang-undang sektoral. Dalam hal ini, PPNS Kehutanan diatur dalam Undang-Undang Kehutanan yang menjadi dasar hukumnya. Kedua,

secara struktural PPNS kehutanan itu berada di bawah „koordinasi dan

pengawasan‟ penyidik Polri.45

Kepolisian di dalam KUHAP disebutkan sebagai koordinasi dan

pengawas. Hal tersebut dimaksudkan bukanlah dalam kegiatan sebagai

koordinasi dan pengawas terhadap instansinya, namun khusus hanya kegiatan dalam pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS. Koordinasi adalah suatu bentuk hubungan kerja antara Penyidik Polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan penyidikan tindak pidana tertentu yang menjadi dasar hukumnya, sesuai sendi-sendi hubungan fungsional.46Pengawasan adalah proses penilikan dan pengarahan terhadap pelaksanaan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk menjamin agar seluruh kegiatan penyidikan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.47

Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa pengemban

45

Hukum Online, Bermula dari Pasal 7 Ayat (2) KUHAP, Jumat, 22 Mei 2015, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt555ecd9fe18b4/bermula-dari-pasal-7-ayat-2-kuhap, diakses pada tanggal 20 Mei 2016.

46

Lihat Pasal 1 angka 5 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Koordinasi, Pengawasan Dan Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

47

(27)

40 fungsi kepolisian adalah Polri yang dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.48 Sedangkan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, Dan Pembinaan Teknis Terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa menyatakan bahwa:

(2) Polri melakukan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis terhadap Polsus, PPNS, dan Pam Swakarsa yang memiliki kewenangan kepolisian secara terbatas, bertujuan untuk meningkatkan kerjasama, menunjang kelancaran pelaksanaan tugas, serta untuk menjamin agar kegiatan yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap pengemban fungsi kepolisian terbatas dilaksanakan secara proporsional dan berjenjang mulai dari tingkat daerah sampai dengan tingkat pusat.

Pasal 32 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menyatakan bahwa PPNS memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum setelah berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.49 Selain itu, Pasal 39 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan menyatakan bahwa: 50

(1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana kejahatan dan

48

Lihat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

49

Lihat Pasal 32 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

50

(28)

41 pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

(2) Dalam rangka kegiatan administrasi penyidikan, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam hal tertentu dapat secara langsung menyampaikan surat pemberitahuan kepada instansi terkait dan tembusannya kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(3) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Pejabat Penyidik Kepolisian Republik Indonesia. Pasal 39 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tersebut mengindikasikan bahwa PPNS Kehutanan dalam melaksanakan kewenangannya sebagai penyidik tidak menjadi subordinasi dari Penyidik Polri tetapi hanya di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri, adapun bentuk koordinasi dan pengawasannya telah diatur dalam KUHAP, yaitu:

1) Untuk kepentingan penyidikan Penyidik Polri memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada PPNS (vide Pasal 107 ayat (1) KUHAP); 2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana

sedang dilakukan penyidikan oleh PPNS kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum maka PPNS melaporkan hal ini kepada Penyidik Polri (vide Pasal 107 ayat (2) KUHAP), dalam ketentuan KUHAP tidak disebutkan bahwa PPNS harus memberitahukan (melaporkan) dimulainya penyidikan kepada penuntut umum hal ini diatur dalam Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999; 3) Dalam hal perkara pidana telah selesai disidik oleh PPNS, maka hasil

(29)

42 juga diatur dalam ketentuan Pasal 77 ayat (3) undang-undang kehutanan yang menyebutkan bahwa PPNS memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai ketentuan KUHAP.

4) Dalam hal PPNS menghentikan penyidikan maka penghentian penyidikan tersebut harus diberitahukan kepada penyidik polri dan penuntut umum (vide Pasal 109 ayat (3) KUHAP).

Sedangkan koordinasi penyidikan antara PPNS Kehutanan dan Penyidik Polri sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, Dan Pembinaan Teknis Terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsadilaksanakan dengan cara:

a. menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dari PPNS serta meneruskan kepada Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. merencanakan kegiatan dalam rangka pelaksanaan penyidikan bersama sesuai kewenangan masing-masing;

c. memberikan bantuan teknis, taktis, tindakan upaya paksa, dan konsultasi penyidikan kepada PPNS;

(30)

43 e. menghadiri atau menyelenggarakan gelar perkara yang ditangani oleh

PPNS;

f.menerima pemberitahuan mengenai penghentian penyidikan dari PPNS dan diteruskan ke Penuntut Umum;

g. tukar menukar data dan informasi mengenai dugaan tindak pidana yang penyidikannya dilakukan oleh PPNS; dan

h. menghadiri rapat berkala yang diselenggarakan oleh PPNS.

Sehingga dari ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa PPNS Kehutanan dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik harus berkoordinasi dengan Penyidik Polri sebelum melakukan penyidikan agar terjadi kesinkronan atau kesatuan pemahaman serta gerak serta tindakan apa yang dilakukan dalam melakukan penyidikan dan oleh karenanya, penyidik polri harus berperan aktif dalam memberikan bantuan serta petunjuk kepada PPNS dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik. Dengan demikian, dengan adanya koordinasi dan pengawasan dari Penyidik Polri, diharapkan tidak menimbulkan suatu permasalahan dengan sistem peradilan pidana yang ada, yakni dalam hubungannya dengan Penyidik Polri.

Sistem peradilan pidana, disamping dapat dipandang sebagai

physical system dapat juga dipandang sebagai abstract system. Sebagai

physical system (sistem fisik), sistem peradilan pidana terdiri dari beberapa elemen/komponen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai satu tujuan baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Sebagai

(31)

44 muatan-muatan berupa gagasan–gagasan atau ide-ide atau konsep-konsep yang merupakan susunan yang teratur satu sama lain berada dalam saling ketergantungan.51

[image:31.595.102.520.217.620.2]

Berdasarkan paparan sebelumnya, maka koordinasi kewenangan antara PPNS Kehutanan dan Penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana kehutanan dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Koordinasi Kewenangan Antara PPNS Kehutanan Dan Penyidik Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan52

Berdasarkan Gambar 2 dapat dijelaskan bahwa proses koordinasi dan pengawasan pada penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polri adalah dimulai dari dikirimnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh PPNS Kehutanan. Apabila dalam suatu perkara tersebut diperlukan suatu upaya Pemanggilan, Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan, maka PPNS Kehutanan berkoordinasi dengan Penyidik Polri. Berkas perkara yang dibuat oleh PPNS Kehutanan

51

Nyoman Serikat Putra Jaya, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008, hlm 8.

52

(32)

45 dikirim kepada Penyidik Polri untuk selanjutnya dilihat apakah sudah benar atau masih ada yang kurang. Jika berkas tersebut masih kurang lengkap maka Penyidik Polri mengembalikan berkas tersebut dengan memberitahukan letak kekurangannya, sebaliknya jika berkas perkara sudah dirasa lengkap, maka melalui Penyidik Polri berkas dikirim ke Penuntut Umum. Penuntut umum melihat apakah berkas sudah lengkap apabila lengkap, maka tidak perlu dikembalikan lagi melalui Penyidik Polri kepada PPNS Kehutanan. Penyerahan berkas perkara merupakan penyerahan tahap ke-I (satu) untuk selanjutnya dilakukan penyerahan tahap ke-II (dua), yakni penyerahan barang bukti dan tersangka.53

Pembinaan Penyidik Polri yang dilakukan oleh Pembinaan Kemampuan (BIN Puan) kepada PPNS Kehutanan adalah dengan diadakannya diklat rutin yang dilakukan yakni setahun sekali, diklat tersebut diikuti oleh seluruh PPNS. Diklat yang dilakukan mempunyai tujuan yakni agar kinerja dari seluruh PPNS dapat maksimal. Pengawasan yang dilakukan oleh Penyidik Polri pada saat proses Penyidikan, sekiranya diperlukan bantuan taktis maupun bantuan teknis yang dilakukan oleh Bantuan Penyidikan (BAN Sidik) untuk selanjutnya mengirimkan team guna menindak lanjuti permintaan PPNS Kehutanan.54

53 Ibid 54

Gambar

Gambar 1. Struktur Organisasi Polisi Kehutanan RI15
Tabel 1. Kewenangan PPNS Kehutanan dan Penyidik Polri
Gambar 2. Koordinasi Kewenangan Antara PPNS Kehutanan Dan

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan formulasi insektisida nabati dari limbah penyulingan nilam di Kecamatan Belik dan Watukumpul, dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan dan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : Gaya kepemimpinan, Kompetensi dan Kompensasi secara parsial hanya Gaya Kepemimpinan yang tidak berpengaruh terhadap kinerja

Dalam Ketentuan hukum di Indonesia, pengaturan mengenai kejahatan terhadap prostitusi secara online secara khusus diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11

a) masyarakat kecamatan Darul Imarah tidak terpengaruh oleh iklan layanan masyarakat hemat listrik yang dilakukan oleh PLN di media komunikasi yakni televisi,

Hasil pengujian DSC pada Gambar 4–8 menunjukkan bahwa metode UNIFAC dapat digunakan untuk melakukan perhitungan prediksi kesetimbangan cair-cair sistem PP-MNR.

dan perpanjangan putus, kekerasan dan compression set menggunakan metode ASTM. Morfologi termoplastik vulkanisat diuji menggunakan SEM dan DTA. Hasil pengujian..

Teknik untuk memperoleh bibit tanaman baru dengan cara menumbuhkan sebagian jaringan tumbuhan dalam media khusus dengan hasil yang sama dengan sifat induknya, lebih cepat, dan

Metode dakwah yang melingkupi pendekatan dakwah, strategi dakwah, metode dan teknik dakwah, dan taktik dakwah ini sangat penting dalam proses dakwah. Secara