FIKSASI KAYU AGATHIS DAN GMELINA TERPADATKAN
PADA ARAH RADIAL SERTA OBSERVASI STRUKTUR
ANATOMINYA
ATMAWI DARWIS
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI
TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Fiksasi Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan pada Arah Radial serta Observasi Struktur Anatominya belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2008
ABSTRACT
ATMAWI DARWIS. Fixation of Agathis and Gmelina Densified Woods at Radial Direction and Observation of their Anatomical Structure. Under direction of IMAM WAHYUDI and WAHYU DWIANTO.
Compression of wood is a method to improve wood quality. However, its product namely densified wood, tends to return to the initial shape and size (springback) if the fixation had no completed. This compression process will also result in the changes on wood anatomy structure. The aim of this research was to observe the effect of various compression degrees at radial direction on specific gravity (SG), recovery of set (RS), and anatomical structure of wood of Agathis and Gmelina. The result showed that SG of densified wood increased as the compression degree was increased: the more degree of compression, the higher the SG of densified wood. Heating up to 180oC did not affect the SG, but resulted in the decreasing of RS and the increasing of wood stabilization. Cell woods namely fiber and ray parenchyma on the surface became more collapse and buckle compared to theirs at the center. Collapse and buckle produced a S-shape in wood structure. The fixation after heating up to 180oC for 20 hours either on Agathis or Gmelina densified woods was not completed.
RINGKASAN
ATMAWI DARWIS.Fiksasi Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan pada Arah Radial serta Observasi Struktur Anatominya. Dibimbing oleh IMAM WAHYUDI dan WAHYU DWIANTO
Terbatasnya kayu berkualitas dipasaran mengakibatkan peluang penggunaan kayu hutan rakyat ataupun kayu kelompok jenis cepat tumbuh, akhir-akhir ini meningkat. Kayu-kayu tersebut pada umumnya berkerapatan rendah, kekuatan dan keawetannya rendah sehingga pemanfaatannya terbatas. Agar pemanfaatan kayu-kayu tersebut optimal sehingga mampu menggantikan peranan jenis kayu yang selama ini digunakan, perlu dilakukan modifikasi sifat-sifat dari kayu tersebut.
Modifikasi kayu baik secara fisik, mekanis maupun kimia ataupun kombinasi dari cara-cara tersebut merupakan metode yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sifat-sifat kayu. Salah satunya adalah memadatkan kayu. Pemadatan dapat dilakukan secara impregnasi, kompresi, dan kompregnasi (Kollman et al., 1975). Beberapa produk pemadatan kayu yang telah ada antara lain lignostone, staypack, compreg, impreg, lignofol, kunstharzschichtholz, dan Australian improved wood (Blomberg, 2006).
Selama ini, kayu terpadatkan cenderung pulih kembali mendekati ketebalan semula akibat pengaruh suhu dan kadar air/kelembaban udara (springback). Hal ini menandakan bahwa proses fiksasi belum permanen. Salah satu usaha untuk meningkatkan stabilasi dimensi kayu terpadatkan adalah dengan perlakuan pemanasan. Menurut Inoue dan Norimoto (1991) dalam Dwianto (1999) yang menggunakan kayu Sugi sebagai bahan penelitian, waktu yang diperlukan untuk mencapai fiksasi sempurna adalah 20 jam pada suhu 180oC, 5 jam pada suhu 200oC dan 3 jam pada suhu 220oC.
Pemadatan akan berpengaruh terhadap sel-sel penyusun kayu. Sel-sel kayu yang dipadatkan akan menjadi pipih dan gepeng (collapse), baik berupa elastic buckling, plastic yielding, atau brittle crushing (Wolcott, 1989 dalam Kultikova, 1999). Perubahan struktur anatomi kayu terpadatkan pada jenis softwood dan hardwood diduga akan berbeda karena perbedaan struktur anatomi penyusun kayu: softwood cenderung homogen (sebagian besar didominasi oleh sel trakeid); sedangkan hardwood lebih heterogen dan terdapat sel pembuluh
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat atau persentase pemadatan kayu arah radial terhadap BJ, recovery of set (RS), dan perubahan struktur anatomi pada kayu Agathis dan Gmelina.
Berat Jenis merupakan perbandingan antara berat dan volumenya dalam kondisi kering tanur (BKT/VKT). Selanjutnya dihitung juga BJ setelah kayu padatan dioven kembali pada suhu 180oC selama 5, 10, 15, dan 20 jam dengan rumus yang sama.
Stabilisasi dimensi ditentukan melalui nilai RS-nya. Penentuan RS mengacu pada rumus [(Ti-Ts)/(To-Ts)]x100% (Inoue, 1993), dimana Ti adalah tebal sampel kayu terpadatkan setelah dioven pada suhu 180oC dan direndam selama 24 jam, Ts tebal setelah pemadatan dan pengovenan pada suhu 180oC, dan To adalah tebal kering tanur awal sebelum pemadatan.
Sampel kontrol, sampel terpadatkan, dan sampel terpadatkan yang telah dipanaskan 180oC selama 5 jam dan direndam air selama 24 jam kemudian diamati struktur anatominya dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) JEOL JSM-6360LA. Sampel pengamatan diambil pada bagian permukaan dan bagian tengah dengan cara disayat dengan mikrotom geser. Selanjutnya sampel divakum sampai kering, kemudian dilapisi dengan emas dengan ketebalan 800Å dan siap untuk diamati. Gambar pemotretan kemudian dianalisis dengan Scion Image. Analisis gambar dipergunakan untuk menentukan kebundaran (roundness) rongga sel. Kebundaran ditentukan dengan mengacu pada rumus P2/(4πA) dimana P adalah perimetri/keliling) dan A adalah luas (Russ, 1995 dalam Blomberg et al., 2006).
Data kemudian dianalisis secara faktorial dalam rancangan acak lengkap untuk mengetahui pengaruh faktor variasi jenis kayu (A1: Agathis, A2: Gmelina),
variasi tingkat pemadatan (B1: 12,5 %, B2: 25 %, B3: 37,5 %), dan variasi lamanya
pemanasan (C1: 0 jam, C2: 5 jam, C3: 10 jam, C4: 15 jam, dan C5: 20 jam).
Ulangan yang dipakai dalam penelitian ini sebanyak 3 ulangan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
FIKSASI KAYU AGATHIS DAN GMELINA TERPADATKAN
PADA ARAH RADIAL SERTA OBSERVASI STRUKTUR
ANATOMINYA
ATMAWI DARWIS
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Fiksasi Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan pada Arah Radial serta Observasi Struktur Anatominya
Nama : Atmawi Darwis
NRP : E051060071
Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui
Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S. Dr. Ir. Wahyu Dwianto, M.Agr. Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Juni 2008 ini adalah peningkatan kualitas kayu, dengan judul Fiksasi Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan pada Arah Radial serta Observasi Struktur Anatominya
Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S. sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Wahyu Dwianto, M.Agr. sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberikan masukan serta saran dalam berbagai kesempatan diskusi yang terkait dengan penelitian ini, Dr. Ir. I Ketut Nuridja Pandit, M.S. selaku penguji luar komisi dan Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc selaku pimpinan sidang ujian yang telah banyak memberi masukan dan saran.
2. Rektor Universitas Winaya Mukti, Dekan Fakultas Kehutanan, dan ketua Jurusan Teknologi Hasil Hutan atas kesempatan untuk melanjutkan Program Studi Pasca Sarjana.
3. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang memberikan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS).
4. Staf di Laboratorium Sifat Dasar Bagian Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Peningkatan Sifat Kayu UPT Biomaterial Balitbang LIPI Cibinong dan Laboratorium Geologi Quarter Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Bandung.yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian : Pak Kadiman, Ibu Esti, Pak Wikanda, Pak Wawan serta Pak Yusup Amin.
5. Teman-teman angkatan 2006 di pasca sarjana dan teman-teman seprofesi di Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti yang telah memberi semangat, masukan dan dorongan selama proses belajar.
6. Ayahanda Daspan Muntawiatma (alm) dan Ibunda Sunarti serta keluarga di Bekasi dan Kebumen atas segala doa dan kasih sayangnya.
7. Istriku (Ari Supriyati, Amd) dan kedua putraku (M. Ihsan R. dan A. Nabil M.) tercinta atas kasih, pengorbanan dan dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari kebersamaan kita. Tanpa pengertian dan dukungan keluarga tercinta mustahil studi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Selain itu tesis ini dapat terselesaikan juga atas dukungan dan dorongan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, untuk itu penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 2 Oktober 1975 sebagai anak ke-2 dari pasangan Daspan Muntawiatma dan Sunarti. Penulis menikah dengan Ari Supriyati pada tanggal 9 Februari 2004 dan dari pernikahan ini, penulis telah dikaruniai dua putra yaitu Muhammad Ihsan Ramdhan dan Ahmad Nabil Muharram.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti (UNWIM), lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2006 diterima sebagai mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) dengan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan penulis menyusun tesis dengan judul “Fiksasi Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan pada Arah Radial serta Observasi Struktur Anatominya” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS. sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Dr.Ir.Wahyu Dwianto, M.Agr. sebagai anggota Komisi Pembimbing.
DAFTAR ISI
Struktur Mikroskopis Kayu Terpadatkan ... 10
METODOLOGI ... 12
Anatomi Kayu Agathis Terpadatkan ... 22
Anatomi Kayu Gmelina Terpadatkan ... 26
KESIMPULAN DAN SARAN ... 30
Kesimpulan ... 30
Saran ... 30
DAFTAR PUSTAKA ... 31
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Analisis Ragam BJ Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan ... 19 2. Analisis Ragam Recovery of Set Kayu Agathis dan Gmelina
xiii
5. Hubungan Stress-Strain Kayu Agathis dan Gmelina Jenuh Air ... 17
6. Hubungan antara Tingkat Pemadatan dan Lamanya Pemanasan serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (ukuran gambar 960 x 970 µm2) ... 24
10. Mikrograf SEM: A. Bentuk Dinding Sel Trakeid Kayu Agathis yang Mengalami Penekukan Elastis ( elastic buckling ) akibat Pemadatan 25% dan B. Kontrol (ukuran gambar 190 x 255 µm2) Arah Panah Menunjukkan Arah Pemadatan ... 25
11. Pengaruh Tingkat Pemadatan terhadap Kebundaran Rongga Sel Serabut Kayu Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan (d), serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (r) pada Bagian Permukaan (P) dan Tengah (T) ... 26
12 Mikrograf SEM Kayu Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (ukuran gambar 960 x 970 µm2) ... 27
13 Mikrograf SEM Kayu Awal dan Akhir Gmelina Terpadatkan 12,5% (ukuran gambar 960 x 1280 µm2). Arah Panah Menunjukkan Arah Pemadatan ... 29
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Rataan Nilai Berat Jenis Kayu Agathis dan Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan serta Setelah Dipadatkan dan Dipanaskan pada Suhu 180oC ... 34 2. Rataan Nilai Recovery of Set Kayu Agathis dan Gmelina Sebelum
dan Sesudah Dipadatkan serta Setelah Dipadatkan dan Dipanaskan pada Suhu 180oC ... 35 3. Rataan Nilai Kebundaran Rongga Sel Trakeid Kayu Agathis Sebelum
dan Sesudah Dipadatkan ( d ), serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (r) pada Bagian Permukaan (P) dan Tengah (T) ... 36 4. Rataan Nilai Kebundaran Rongga Sel Serabut Kayu Gmelina Sebelum
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kayu merupakan bahan alam (renewable recources) yang sangat penting
peranannya bagi kehidupan manusia. Hal ini terlihat dari permintaan akan kayu
baik untuk bahan bangunan maupun furniture yang terus meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk. Saat ini pemanfaatan kayu pada
umumnya masih terbatas pada kayu-kayu yang berkualitas tinggi, terutama dari
segi kekuatan dan/atau keawetannya. Kayu-kayu tersebut umumnya dihasilkan
dari tegakan hutan yang berdaur panjang (slow growing species). Pengelolaan
hutan yang tidak berkesinambungan akhir-akhir ini telah mengakibatkan
kayu-kayu yang berkualitas semakin langka dan mahal.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk memenuhi permintaan akan kayu
adalah membangun hutan tanaman dari jenis-jenis cepat tumbuh (fast growing
species) antara lain Gmelina. Melalui hutan tanaman akan diperoleh massa kayu
dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu yang relatif singkat karena daur yang
lebih pendek. Sayangnya, kayu-kayu tersebut pada umumnya berkerapatan
rendah. Karena kerapatan kayu diketahui memiliki korelasi yang positif dengan
sifat fisik dan beberapa sifat mekanik kayu, maka semakin rendah nilai kerapatan
dan/atau BJ kayu akan semakin rendah pula sifat fisik dan mekanik kayunya
(Barnett dan Jeronimidis, 2003). Hal inilah yang mengakibatkan pemanfaatan
kayu-kayu hutan tanaman menjadi terbatas dan tidak seratus persen dapat
menggantikan peranan jenis kayu berkualitas tinggi yang selama ini digunakan
(Haygreen dan Bowyer, 1982).
Modifikasi kayu merupakan langkah yang ditempuh dalam rangka
meningkatkan kualitas kayu dalam hal ini sifat fisis dan mekanisnya sehingga
dapat digunakan sebagai bahan baku industri perkayuan. Modifikasi dapat
dilakukan baik secara fisik, mekanis maupun kimia ataupun kombinasi dari
cara-cara tersebut. Salah satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan sifat fisis dan
mekanis kayu adalah dengan cara memadatkan kayunya (densifying by
compression). Metode ini dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu impregnasi,
2 terpadatkan sudah lama dikenal di berbagai negara dengan nama yang
berbeda-beda seperti lignostone (Jerman), staypack (USA), compreg (USA), impreg
(USA), lignofol (Jerman), kunstharzschichtholz (Jerman), dan Australian
improved wood (Australia) (Blomberg 2006).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan, berat jenis (BJ) dan sifat
mekanis kayu yang dipadatkan meningkat secara signifikan. BJ meningkat sampai
1,25-1,40 kali, sementara keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan tariknya
meningkat secara proposional seiring dengan meningkatnya BJ. Keteguhan tekan
tegak lurus serat juga menjadi lebih besar (FPL, 1999). Menurut Rilatupa (2001)
dan Sulistyono (2001), BJ kayu Agathis terpadatkan dengan tingkat pemadatan
50% meningkat sebesar 90% dari BJ semula, MOE dan keteguhan tekan sejajar
seratnya meningkat lebih dari 100%, sedangkan MORnya meningkat lebih dari
200%. Menurut Wardhani et al (2002), kerapatan dan kekuatan batang kelapa
yang dipadatkan juga meningkat hingga mencapai 80%.
Perubahan sifat akibat pemadatan bersifat sementara, dimana kayu yang
telah dipadatkan cenderung pulih kembali mendekati ke ketebalan semula
(springback) akibat pengaruh suhu dan kadar air/kelembaban udara. Oleh karena
itu dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan agar diperoleh kayu terpadatkan
dengan fiksasi yang sempurna. Salah satunya adalah dengan perlakuan pemanasan
seperti yang dilakukan oleh Inoue dan Norimoto (1991) dalam Dwianto (1999).
Menurut mereka, waktu yang diperlukan untuk mencapai fiksasi pada kayu
terpadatkan adalah 20 jam pada suhu 180oC, 5 jam pada suhu 200oC, dan 3 jam
pada suhu 220oC.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas proses pemadatan adalah
persentase atau banyaknya bagian kayu yang terpadatkan karena pemadatan akan
mempengaruhi sel-sel penyusun kayu. Besar kecilnya tingkat deformasi yang
terjadi berbanding lurus dengan tingkat pemadatannya. Akibat pemadatan, maka
sel-sel kayu akan menjadi pipih (collapse). Perubahan pada sel penyusun kayu
akan mempengaruhi sifat fisis dan mekanis kayu.
Perubahan bentuk sel penyusun pada kayu terpadatkan pada jenis softwood
dan hardwood diduga akan berbeda akibat perbedaan struktur anatomi dari
3 karena didominasi oleh sel trakeid, sedangkan pada hardwood lebih heterogen dan
terdapat komponen pembuluh yang tidak ditemui pada softwood.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan tingkat
pemadatan (compression set) arah radial dan lamanya pemanasan terhadap BJ,
recovery of set (RS), dan perubahan struktur anatomi sel-sel penyusun pada kayu
Agathis dan Gmelina.
Manfaat
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam upaya mengatasi
kesulitan bahan baku industri melalui peningkatan penggunaan kayu terpadatkan
(wood densification) sebagai salah satu alternatif pemanfaatan jenis kayu cepat
tumbuh. Melalui penelitian ini juga diharapkan ditemukan adanya suatu proses
pemadatan terbaik untuk masing-masing jenis kayu yang diteliti.
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini meliputi :
1. Tingkat pemadatan akan meningkatkan nilai BJ kayu terpadatkan
2. Tingkat pemadatan dan lamanya pemanasan akan mempengaruhi recovery of
set (RS) kayu terpadatkan
4
Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran
Sumber Bahan
1. Perlakuan pemanasan setelah
pemadatan
2. Tingkat pemadatan kayu (presentase pemadatan)
5
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salisb)
Pohon Damar termasuk dalam famili Araucariaceae dan dikenal dengan
nama daerah Damar atau Agathis. Daerah penyebaran alami tumbuhan ini mulai
dari Sumatera Barat, Kalimantan, Sulawesi, Maluku sampai ke Irian Jaya (Papua),
baik di dataran rendah maupun tinggi. Jenis yang tumbuh di Jawa adalah Agathis
loranthifolia dan tumbuh sebagai hutan tanaman. Pohon Agathis mempunyai
ketinggian hingga 55 m, dengan diameter batang mencapai 150 cm. Batangnya
berbentuk silindris dan lurus (Martawijaya et al. 1981).
Bagian teras berwarna putih kekuningan sampai kuning jerami,
kadang-kadang agak merah jambu dan dapat berubah coklat emas secara lambat,
sedangkan bagian gubalnya putih dan tidak tegas batasnya dari bagian teras.
Corak kayu umumnya polos. Kayu bertekstur halus merata dengan arah serat
lurus. Permukaan kayu mengkilap dan licin bila diraba. Kayu memiliki tingkat
kekerasan agak lunak sampai agak keras (Mandang dan Pandit 1997).
Struktur anatomisnya kayu Agathis memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
tidak mempunyai pembuluh, sel parenkimnya tidak ada atau jarang, jari-jarinya
sangat sempit, jarang sampai agak jarang dan berukuran pendek, sementara sel
trakeidnya sebagian berisi damar sehingga tampak bintik-bintik berwarna coklat
pada penampang radialnya (Mandang dan Pandit 1997).
Kayu Agathis memiliki BJ rata-rata 0,47 (0,36-0,64). Pada kondisi kering
udara, memiliki keteguhan statis pada batas proporsi 282 kg/cm2, tegangan pada
batas patah (MOR) 503 kg/cm2 dan nilai MOE sebesar 11.200 kg/cm2. Keteguhan
tekan sejajar serat 334 kg/cm2, kekerasan ujung sebesar 225 kg/cm2 dan kekerasan
sisinya 148 kg/cm2. Dengan sifat fisis dan mekanis yang dimilikinya, kayu
Agathis termasuk ke dalam kayu dengan Kelas Kuat III (Martawijaya et al. 1981).
Kayu Agathis umumnya digunakan sebagai bahan bangunan di bawah
atap, perabot rumah tangga, bangunan kapal (tiang layar), panel, barang bubutan,
kayu bentukan, pembungkus, cetakan mesin khususnya untuk papan dan mistar
6 kaki palsu, peti teh, kotak mentega, vinir untuk kayu lapis dekoratif, kertas
bungkus, kertas tulis, kertas cetak dan pulp rayon (Mandang dan Pandit 1997).
Deskripsi Kayu Gmelina (Gmelina arborea )
Pohon Gmelina termasuk dalam famili Verbenaceae dan dikenal dengan
nama daerah Melina. Daerah penyebaran alaminya meliputi Aceh, Sumatera
Utara, dan Sumatera Barat, baik di dataran rendah maupun tinggi. Pohon Gmelina
yang ada di pulau Jawa tumbuh sebagai hutan tanaman. Pohon Gmelina
mempunyai ketinggian antara 20-40 m, dengan diameter batang mencapai 100
cm. Batang pohon berbentuk silindris dan lurus (Martawijaya et al. 1981).
Bagian terasnya berwarna putih atau putih-kekuningan, sedangkan bagian
gubal berwarna putih tetapi tidak tegas batasnya dari kayu teras. Pada bidang
radial dan tangensial tidak bercorak (polos). Kayu bertekstur agak kasar sampai
kasar, arah seratnya lurus sampai sedikit terpadu (Mandang dan Pandit 1997).
Kayu Gmelina memiliki ciri: pori baur, sebagian besar berganda radial
yang terdiri atas 2-4 pori kadang-kadang sampai 5, diameter agak kecil sampai
agak besar, frekuensinya agak jarang sampai jarang, tilosis banyak dijumpai,
bidang perforasi sederhana.
Kayu Gmelina memiliki BJ rata-rata terendah 0,42 dan tertinggi 0,61 dari
5 jenis. Berdasarkan sifat fisis dan mekanis yang dimilikinya, kayu Gmelina
termasuk ke dalam kayu dengan Kelas Kuat III (Martawijaya et al. 1981).
Pada umumnya, kayu Gmelina digunakan sebagai bahan kontruksi ringan,
kayu pertukangan, pembungkus, barang kerajinan, perabot rumah tangga, vinir
hias, lantai, alat musik, korek api, badan kereta dan kapal, dan cocok juga untuk
dibuat pulp (Mandang dan Pandit 1997).
Pemadatan Kayu
Pemadatan kayu merupakan upaya memipihkan atau memampatkan kayu
dengan cara dikempa menggunakan mesin kempa pada suhu, tekanan dan waktu
tertentu. Pemadatan kayu solid ditujukan untuk meningkatkan sifat-sifat kayu baik
7 pengempaan lebih ditujukan untuk membantu meningkatkan ikatan rekat antara
kayu dengan perekatnya (Kollman et al. 1975).
Menurut Kollman et al. (1975), kayu dapat dipadatkan melalui impregnasi
(densifying by impregnation), pengempaan (densifying by compression), dan
kombinasi antara impregnasi dan pengempaan (compregnation). Melalui
impregnasi, rongga kayu diisi dengan berbagai zat yang menyebabkan kayu
menjadi lebih padat. Zat-zat tersebut dapat berupa polimer resin phenol
formaldehyde, larutan vinil, resin alam cair, lilin, sulfur dan logam ringan. Melalui
pengempaan, sifat-sifat kayu dapat dimodifikasi tanpa merusak struktur sel kayu
(dibawah kondisi plastis), sementara melalui kompregnasi, dimana terlebih dahulu
diimpregnasi kemudian baru dikempa, kayu akan menerima kombinasi hasil dua
perlakuan di atas.
Proses pemadatan kayu terbagi dalam tiga tahap, yaitu: (1) pelunakan
(softening/plastization), (2) deformasi (deformation), dan (3) fiksasi (fixation).
Pelunakan dapat dilakukan secara fisik maupun kimia. Secara fisik, pelunakan
terjadi bila tiga komponennya yaitu air dalam kayu, temperatur yang tinggi dan
tekanan ada secara bersama-sama. Pelunakan secara fisik dapat dilakukan melalui
pengovenan, perendaman panas dan dingin, perebusan dan pengukusan dengan
autoklaf, sedangkan secara kimia dengan menggunakan bahan kimia. Menurut
Bodig dan Jayne (1982), plastisasi adalah perubahan karakteristik kayu menjadi
lebih lunak sehingga memungkinkan untuk dilengkungkan atau dibentuk dengan
energi yang lebih rendah dan kerusakan yang lebih kecil, atau dipadatkan. Dengan
kata lain, proses plastisasi dapat menjadikan kayu menjadi lebih lunak sehingga
mudah untuk dibentuk dan dipadatkan.
Pada tahap deformasi, kayu yang dikempa mengalami drying set, yaitu
kondisi dimana kayu telah mengalami perubahan dimensi dan apabila tekanan
dilepaskan, kayu tidak kembali ke bentuk semula. Tahap fiksasi merupakan tahap
akhir dari proses pemadatan. Pada tahap ini, kayu terpadatkan tidak mengalami
perubahan ke bentuk semula atau bersifat permanen. Namun demikian, bila fiksasi
yang terjadi tidak sempurna, maka kayu akan dapat kembali kebentuk dan ukuran
semula bila mendapat pengaruh kelembaban dan perendaman ulang (recovery)
8
Kayu Terpadatkan
Produk kayu yang dipadatkan dikenal sebagai kayu terpadatkan (densified
wood). Berbagai produk kayu terpadatkan sudah lama dikenal di berbagai negara
dengan nama-nama yang berbeda-beda diantaranya adalah lignostone (Jerman),
lignofol (Jerman), kunstharzschichtholz (Jerman), staypak (USA), compreg
(USA), impreg (USA), dan Australian improved wood (Australia) (Blomberg
2006). Staypak merupakan jenis produk kayu solid/utuh terpadatkan yang
dibentuk dengan memadatkan kayu sehingga menyebabkan lignin melunak dan
mengalir dengan cukup untuk merekat bahan-bahan di antara serat selulosa dan
membebaskan tegangan dalam, sedangkan compreg merupakan produk kayu
terpadatkan dengan terlebih dahulu diberikan perlakuan pemberian resin
(impregnasi) seperti phenol formaldehide, kemudian baru dilakukan pemadatan
(FPL, 1999).
Kayu terpadatkan umumnya mempunyai sifat-sifat yang lebih baik
dibandingkan kayu yang tidak dipadatkan (Rilatupa, 2001; Sulistyono, 2001;
Wardhani et al., 2002). Selain itu, kayu terpadatkan memiliki acid resistance yang
lebih baik dibandingkan kayu utuhnya akibat penurunan permeabilitas.
Kemampuan merekat pada kayu terpadatkan sama seperti kayu normalnya (yang
diampelas), akan tetapi kayu terpadatkan tidak dapat dibentuk (FPL, 1999).
Kayu terpadatkan dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Stamm
(1964) menyatakan bahwa kegunaan kayu terpadatkan antara lain adalah untuk
pemintal tenun, kumparan kayu, kayu pemukul, dan pegangan alat. Kegunaan
lainnya adalah untuk baling-baling, mata dadu, dan plat sambungan yang
memerlukan kekuatan gesek tinggi (FPL, 1999). Menurut Dwianto (1999), produk
kayu terpadatkan dapat digunakan untuk lantai, furniture, bahan interior, dan
surface densified wood.
Stabilisasi Dimensi
Salah satu masalah utama yang berkaitan dengan produk kayu terpadatkan
(kecuali pada produk dengan pemberian kadar resin yang tinggi) adalah stabilisasi
dimensinya yang kurang baik. Apabila direndam dalam air atau ditempatkan pada
9 ke bentuk semula. Hal ini menjadi masalah yang serius apabila produk tersebut
digunakan pada lingkungan dengan kelembaban tinggi. Oleh karena itu perlu
ditentukan kondisi pemadatan dimana dapat meminimalisasi pemulihan kembali
setelah dipadatkan.
Pemadatan kayu yang bersifat permanen dapat dilakukan dengan
menggunakan metode (1) perekatan atau modifikasi kimia, (2) perlakuan suhu
tinggi pada kayu kering, dan (3) perlakuan uap air suhu tinggi pada kondisi kayu
basah (steam). Prinsip pemadatan kayu metode (1) adalah dengan memasukkan
perekat atau bahan kimia ke dalam kayu dan proses curing atau polimerisasinya
terjadi pada saat pengempaan dalam kondisi kayu terdeformasi. Perekat yang
digunakan dapat berupa perekat fenol, melamin, urea, tanin atau perekat yang
berasal dari lateks. Sedangkan modifikasi kimia dapat menggunakan metode
formalisasi, esterifikasi atau asetilasi.
Pemadatan kayu metode (2) dapat diterapkan dengan menggunakan alat
kempa panas atau oven pengering. Metode ini membutuhkan waktu yang lama
untuk mencapai fiksasi kayu yang permanen (Inoue dan Norimoto, 1991 dalam
Dwianto, 1999). Menurut mereka, waktu yang diperlukan untuk mencapai fiksasi
pada kayu terpadatkan adalah 20 jam pada suhu 180oC, 5 jam pada suhu 200oC,
dan 3 jam pada suhu 220oC.
Metode (3) adalah memanaskan kayu dengan uap air suhu tinggi (steam
treatment). Metode ini dilakukan dengan memasukkan uap air panas dari boiler ke
dalam autoclave yang dilengkapi alat kempa tahan panas (Inoue et al. 1993).
Kelebihan dari metode ini adalah tercapainya fiksasi permanen yang lebih cepat
jika dibandingkan dengan metode (2) dan tidak banyak mempengaruhi atau
menurunkan sifat mekanik kayu. Fiksasi permanen pada suhu 180oC dapat dicapai
dalam waktu sekitar 10 menit.
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan
stabilisasi kayu dengan berbagai variasi perlakuan. Salah satu upaya yang
dilakukan adalah dengan memberikan perlakuan awal pada kayu sebelum
dipadatkan. Dwianto et al. (1996) menemukan bahwa perlakuan pra pemanasan
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap fiksasi yang terjadi. Fiksasi
10 dari pelepasan tegangan yang tersimpan dalam mikrofibril dan zat-zat matrik di
dinding sel yang terdegradasi.
Struktur Mikroskopis Kayu Terpadatkan
Kayu merupakan material yang tersusun atas sel-sel. Selama proses
pemadatan berlangsung, struktur sel kayu akan mengalami perubahan yang
bersifat permanen. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi sifat fisis dan
mekanis kayu terpadatkan adalah jumlah dan tipe sel kayu yang terpipihkan
(collapse).
Sel-sel yang terpipihkan bisa berbentuk elastic buckling, plastic yielding,
atau brittle crushing, tergantung pada kondisi contoh uji dan bahan-bahan alami
yang terkandung dalam dinding sel (Wolcott 1989 dalam Kultikova 1999). Elastic
buckling dapat didefinisikan sebagai penekukan tanpa mengakibatkan retaknya
dinding sel. Hal tersebut terjadi pada saat polimer-polimer dalam dinding sel
bersifat elastis, dan akan pulih kembali pada saat tekanan ditiadakan. Plastic
yielding terjadi pada saat polimer pada kondisi transisi antara tahap glassy dan
elastis. Pada tahap ini deformasi permanen akan terjadi walaupun tekanan
ditiadakan. Kerusakan dinding sel terjadi saat polimer dalam tahap glassy (Cowie
1991 dalam Kultikova 1999).
Kunesh (1968) menunjukkan bahwa kerusakan akibat pemadatan arah
radial pada kayu solid diawali dengan terjadinya buckling of rays pada bagian
kayu awal. Kerusakan ini akan semakin progresif dengan terjadinya
pembengkokan atau penekukan jari-jari kayu pada seluruh bagian sampel. Tingkat
kerusakan juga berbeda antara bagian kayu juvenil dan kayu dewasa.
Menurut hasil penelitian Kultikova (1999) menggunakan kayu yellow
poplar, tingkat kerusakan pada kayu juvenil umumnya lebih besar dibandingkan
pada kayu dewasa. Hal ini dapat disebabkan karena tipisnya dinding sel dan
kemungkinan juga disebabkan tingginya sudut mikrofibril pada kayu juvenil.
Fenomena yang sama juga ditunjukkan oleh Blomberg et al. (2006), dimana
disebutkan bahwa kerusakan awal saat kayu dikempa terjadi pada bagian kayu
awal karena dinding selnya yang lebih tipis dibanding kayu akhir. Tipisnya
11 biasanya baru berhenti saat mencapai bagian lamela tengah. Secara keseluruhan,
12
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, dari bulan April sampai bulan
Juni 2008 di Laboratorium Sifat Dasar Bagian Peningkatan Mutu Kayu
Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan Laboratorium Peningkatan
Sifat Kayu UPT Biomaterial Balitbang LIPI Cibinong. Pengambilan gambar
dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan di Laboratorium Geologi
Quarter Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Bandung.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah sejumlah papan tangensial kayu Agathis
yang diperoleh dari Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi dan kayu
Gmelina yang diperoleh dari Kampus Fakultas Kehutanan UNWIM Jatinangor,
Sumedang.
Alat utama yang digunakan adalah mesin kempa (dingin dan panas)
rakitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Fisika Terapan LIPI dengan ukuran
plat 30 cm x 30 cm, kemampuan hidrolis maksimum 70 kg/cm2 dan suhu
maksimum 250oC. Peralatan lain yang digunakan antara lain gergaji, oven, jangka
sorong, desikator vakum, timbangan elektrik, Universal Testing Machine (UTM),
slidemicrotome, dan SEM JEOL JSM-6360LA, Jepang.
Metode Penelitian
1. Pembuatan Contoh Uji
Log kayu Agathis dan Gmelina di gergaji menjadi sortimen-sortimen
berbentuk papan tangensial yang bebas cacat. Ukuran akhir contoh uji yang
digunakan adalah 2 cm (L) x 2 cm (T) x 4 cm (R) sebanyak 45 buah per jenis
seperti Gambar 2.
2. Pemilahan Contoh Uji
Contoh uji yang diambil dari bagian kayu teras selanjutnya dipilah berdasarnya
keseragaman berat jenis (BJ)-nya. Penentuan BJ kayu dilakukan dengan
13 dan volume basah. Contoh uji terlebih dahulu dikeringkan dalam oven pada
suhu 60oC selama 3 hari, kemudian diukur beratnya. Nilai berat yang diperoleh
merupakan berat kering tanur.
T
L
R
Gambar 2. Bentuk Contoh Uji
3. Pelunakan
Contoh uji sebelum dipadatkan terlebih dahulu diberi perlakuan awal yakni
direndam dalam air pada suhu kamar, dan selanjutnya di vakum sampai jenuh
air.
4. Pengukuran Stress-Strain
Hubungan antara stress-strain untuk menentukan tingkat pemadatannya
dilakukan pada contoh uji dalam kondisi jenuh air. Pengujian ini dilakukan
dengan cara menekan contoh uji arah radial dengan menggunakan UTM.
5. Pemadatan atau Pengempaan
Contoh uji yang telah mengalami perlakuan awal kemudian dipadatkan dengan
menggunakan kempa panas pada arah radial dengan suhu kempa 100oC hingga
mencapai ketebalan sasaran (compression set). Tebal sasaran ditentukan
berdasarkan hasil uji stress dan strain yang telah lebih dahulu dilakukan.
Berdasarkan hasil pengujian, tingkat pemadatan yang dilakukan terdiri 3 taraf
yaitu 12,5%, 25% dan 37,5%. Lamanya pengempaan tergantung drying set
contoh ujinya.
6. Pengukuran BJ Kayu
Nilai BJ yang diukur adalah BJ kayu sebelum dipadatkan, BJ kayu terpadatkan
dan BJ kayu terpadatkan yang telah dioven kembali pada suhu 180oC. BJ
14
7. Pengujian Tingkat Pemulihan Tebal ( Recovery of Set )
Besarnya recoveryofset (RS) contoh uji yang telah dipadatkan dapat diketahui
dengan terlebih dahulu mengukur dimensi tebalnya. Tebal yang diukur adalah
tebal kondisi kering tanur sebelum dipadatkan (To), tebal setelah dipadatkan
dan dioven pada suhu 180oC selama 0, 5, 10, 15, dan 20 jam (Ts), dan tebal Ts
setelah dilanjutkan dengan perendaman 24 jam dan pengovenan kembali pada
suhu 60oC selama 3 hari sampai kering tanur (Ti). Nilai RS dihitung dengan
persamaan (Inoue, 1993):
8. Pengamatan Struktur Kayu dengan SEM
Sampel kontrol (1), sampel yang telah dipadatkan dan dioven suhu 180oC
selama 5 jam (2), dan sampel (2) yang telah direndam kemudian diamati
struktur anatominya dengan menggunakan SEM. Sampel pengamatan diambil
pada bagian permukaan dan bagian tengah (Gambar 3) dengan cara disayat
mikrotom geser. Selanjutnya sampel divakum sampai kering, kemudian dilapisi
emas dengan ketebalan 800Å dan siap untuk diamati. Gambar pemotretan
kemudian dianalisis dengan Scion Image. Analisis gambar dipergunakan untuk
menentukan kebundaran (roundness) rongga sel. Kebundaran ditentukan
dengan mengacu pada rumus P2/(4πA) dimana P adalah perimetri/keliling) dan
A adalah luas (Russ, 1995 dalam Blomberg et al., 2006).
permukaan
tengah
15 9. Analisis Data dan Rancangan Percobaan
Data kemudian dianalisis secara faktorial dalam rancangan acak lengkap untuk
mengetahui pengaruh faktor variasi jenis kayu (A1: Agathis, A2: Gmelina),
variasi perlakuan tingkat pemadatan (B1: 12,5 %, B2: 25 %, B3: 37,5 %), dan
variasi perlakuan lamanya pemanasan (C1: 0 jam, C2: 5 jam, C3: 10 jam, C4: 15
jam, dan C5: 20 jam). Ulangan yang dipakai dalam penelitian ini sebanyak 3
ulangan. Model umum statistika linier dari penelitian ini adalah :
Yijkl =
µ
+ Ai + Bj + Ck +(AB)ij + (AC)ik + (BC)jk + (ABC)ijk +ε
ijklDimana:
Yijkl = nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j
faktor C taraf ke-k pada ulangan ke-l
µ = rataan umum
Ai = pengaruh utama faktor A taraf ke-i
Bj = pengaruh utama faktor B taraf ke-j
Ck = pengaruh utama faktor B taraf ke-k
(AB)ij = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j
(AC)ik = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor C taraf ke-k
(BC)jk = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-j dan faktor B taraf ke-k
(ABC)ijk = pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i , faktor B taraf ke-j dan faktor C taraf ke-k
ε
ijkl = kesalahan (galat) percobaan pada faktor A taraf ke-i faktor Btaraf ke-j faktor C taraf ke-k ulangan ke-l
Diagram Alir Penelitian
16 Gambar 4. Diagram Alir Penelitian
Contoh Uji ( 2 jenis kayu ) ukuran
2 cm (L) x 2 cm (T) x 4 cm (R)
Perendaman dalam Air pada Suhu Kamar selama ± 1 minggu
Uji
Stress dan Strain
Pengempaan Panas Suhu: 100 0C Sampai drying set
(Mencapai Target Ketebalan: 12,5%, 25%, dan 37,5%) Berat (B1)danTebal Setelah Pemadatan (Ts)
Peng-oven-an pada Suhu 180 0C selama 0, 5, 10, 15, dan 20 jam
Berat Akhir (B2)
Perendaman dalam Air selama 24 Jam
Berat Jenis
Recovery of Set
Struktur Anatomi Pengovenan Contoh Uji
a. Berat Awal (Bo) b. Berat Jenis
c. Tebal Kering Tanur Awal (To)
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
Korelasi antara Stress dan Strain
Hasil pengujian stress dan strain baik untuk kayu Agathis maupun kayu
Gmelina dalam kondisi jenuh air disajikan pada Gambar 5.
0
Gambar 5. Hubungan Stress-Strain Kayu Agathis dan Gmelina Jenuh Air
Dari penelitian diketahui bahwa pada kondisi jenuh air kayu Agathis lebih
lunak dibandingkan kayu Gmelina: pada strain yang sama, dibutuhkan stress yang
lebih rendah. Daerah plastis kayu Agathis lebih lebar (0,05-0,57), sedangkan pada
kayu Gmelina antara 0,03 hingga 0,38. Perbedaan ini ada hubungannya dengan
perbedaan macam sel penyusun dan perbedaan komposisi komponen kimiawi
dinding sel antara kayu Agathis dan Gmelina.
Berat Jenis
Nilai BJ kayu terpadatkan baik untuk Agathis maupun Gmelina disajikan
pada Gambar 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BJ kayu Agathis dan
Gmelina yang terpadatkan lebih tinggi dibandingkan dengan BJ kayu kontrolnya.
Peningkatan nilai BJ terkait dengan meningkatnya tingkat pemadatan, sedangkan
lamanya pemanasan tidak mempengaruhi nilai BJ pada masing-masing tingkat
tingkat pemadatan.
Daerah Plastis Gmelina
18
Agathis 12.5 Agathis 25 Agathis 37.5 Gmelina
12.5
Gambar 6. Hubungan antara Tingkat Pemadatan dan Lamanya Pemanasan pada
Suhu 180oC terhadap BJ Kayu Agathis dan Gmelina
Peningkatan BJ kayu akibat tingkat pemadatan 12,5%, 25% dan 37,5%
pada kayu Agathis berturut turut mencapai 7,14% (0,45), 30,95% (0,55), dan
52,38% (0,64) dibandingkan BJ kontrolnya (0,42), sedangkan pada kayu Gmelina
adalah 6,82% (0,47), 27,27% (0,56) dan 50% (0,66). Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pemadatan merupakan fungsi dari BJ kayu.
Peningkatan nilai BJ kayu terpadatkan ada kaitannya dengan perubahan
bentuk sel-sel penyusunnya. Sel-sel kayu terpadatkan cenderung memipih
sehingga mengurangi volume rongga, yang sekaligus mengurangi volume
kayunya, sementara beratnya tetap. Hal ini berdampak pada meningkatnya nilai
BJ. Semakin tinggi tingkat pemadatan, maka volume sel yang terpadatkan akan
semakin besar sehingga volume kayu semakin berkurang.
Pada kayu Agathis terjadi peningkatan BJ yang relatif lebih tinggi
dibandingkan pada kayu Gmelina pada berbagai tingkat pemadatan. Fenomena ini
terkait dengan perbedaan BJ kayu kontrolnya akibat perbedaan macam sel
penyusun dan ketebalannya. Kayu Agathis lebih homogen karena hanya tersusun
oleh sel-sel trakeida dan jari-jari, sedangkan Gmelina lebih heterogen. Jari-jari
kayu Agathis tergolong uniseriet sementara jari-jari Gmelina multiseriet.
19 untuk dipadatkan. Pengaruh tingkat pemadatan, lamanya pemanasan, dan jenis
kayu terhadap BJ kayu terpadatkan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis Ragam BJ Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan
Sumber
Pada Tabel 1 terlihat bahwa faktor A (jenis kayu) dan faktor B (tingkat
pemadatan) berpengaruh terhadap BJ kayu, sedangkan faktor C (lamanya
pemanasan pada suhu 180oC) tidak. Interaksi antara faktor A dan B menunjukkan
adanya pengaruh yang sangat nyata. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa kayu
Agathis memberikan respon yang berbeda dibandingkan kayu Gmelina.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BJ kayu kontrol menjadi salah
satu parameter yang harus diperhatikan. Kayu ber-BJ rendah relatif lebih mudah
untuk dipadatkan karena berdinding tipis sehingga kurang mampu menahan beban
(Blomberg et al, 2006).
Tingkat Pemulihan Ketebalan/Recovery of Set (RS)
Recovery of set (RS) pada kayu Agathis dan Gmelina terpadatkan
menunjukkan peningkatan seiring dengan tingginya tingkat pemadatan.
Sebaliknya dengan semakin lamanya pemanasan pada suhu 180oC, nilai RS-nya
semakin berkurang. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada tingkat
pemadatan yang sama, maka nilai RS pada kayu Agathis cenderung lebih rendah
dibandingkan pada kayu Gmelina. Perlakuan lamanya pemanasan juga
menunjukkan bahwa nilai RS pada kedua jenis ini berbeda dimana pada kayu
Agathis lebih rendah dibandingkan kayu Gmelina pada lama pemanasan yang
20
Gambar 7. Hubungan antara Tingkat Pemadatan dan Lamanya Pemanasan pada
Suhu 180oC terhadap RS Kayu Agathis dan Gmelina
Proses pemadatan kayu Agathis memerlukan gaya tekan kempa yang
relatif rendah dibandingkan dengan kayu Gmelina. Hal ini dapat dijelaskan
dengan melihat hubungan stress dan strain kedua jenis sebagaimana Gambar 5.
Dalam kondisi jenuh air, kayu Agathis cenderung lebih lunak
dibandingkan kayu Gmelina sehingga gaya tekan yang diperlukan lebih rendah.
Kayu yang dipadatkan dengan gaya tekan yang lebih besar akan memberikan gaya
reaksi yang besar pula sehingga ketika terbebaskan dari gaya tekan tersebut kayu
akan cenderung untuk kembali kebentuk semula yang besar pula. Hal ini yang
menyebabkan nilai RS kayu Gmelina lebih besar dari Kayu Agathis.
Mekanisme terjadinya fiksasi pada kayu yang terpadatkan dapat dilihat
dari fenomena relaksasi tekanan (stress relaxation)-nya. Semakin tinggi nilai
relaksasi tersebut, semakin mudah kayu untuk kembali ke bentuk semula. Dengan
kata lain kayu belum terfiksasi. Pada contoh uji yang dipadatkan dalam kondisi
jenuh air, relaksasi tekanan akan berkurang secara drastis pada awal-awal sesaat
setelah kayu dipadatkan. Relaksasi tersebut kemudian berangsur-angsur akan
berkurang dan akhirnya akan hilang.
Relaksasi tekanan dipengaruhi oleh suhu pemanasan. Menurut Dwianto
21
bahwa pada pemanasan dengan suhu 100-140oC selama 3 jam relaksasi tekanan
hanya berkurang sekitar 40% dibanding awalnya. Nilai ini cenderung tetap dan
tidak menunjukkan adanya pengurangan meskipun lama pemanasan diteruskan.
Sebaliknya, pada suhu di atas 160oC, penurunan tekanan akan terjadi secara
terus-menerus.
Peningkatan nilai RS sejalan dengan peningkatan tingkat pemadatan kayu
terutama pada perlakuan tanpa pemanasan. Tingkat pemadatan yang tinggi
mengakibatkan volume sel-sel yang terpadatkan juga semakin banyak, sehingga
energi untuk kembali ke bentuk semula juga semakin tinggi.
Pemanasan akan mempengaruhi komponen kimia penyusun kayu.
Menurut Stamm (1956) dalam Sundqvist (2004), akan terjadi perubahan besar
pada komponen-komponen kimia penyusun kayu apabila kayu dipanaskan pada
suhu 150-250oC. Pada suhu 150oC terlihat bahwa degradasi hemiselulosa
mencapai empat kali lebih besar dibandingkan selulosa, sedangkan kecepatan
degradasi lignin setengah dari selulosa. Degradasi hemiselulosa akan dominan
pada pemanasan suhu dibawah 200oC. Menurut Dwianto et al. (1998),
pengempaan pada suhu di atas 180ºC menyebabkan terdegradasinya komponen
hemiselulosa dan lignin, dan sebagai akibatnya maka tegangan yang tersimpan
dalam mikrofibril akan terbebaskan (relaksasi). Selama proses pengempaan,
lignin yang merupakan polimer berikatan silang (cross-link) akan melunak dan
mengalir karena pengaruh tekanan uap panas, sehingga mampu mengisi ruang
matriks yang ada di dalam kayu. Rusaknya molekul air akibat perlakuan suhu
tinggi menyebabkan terjadinya kerusakan pada ikatan H antar molekul-molekul di
dalam matriks hemiselulosa-lignin (Amin dan Dwianto, 2006).
Menurut Mitsui et al (2007), perlakuan pemanasan suhu 140oC hingga 100
jam pada kayu Sitka spruce (Picea sitchensis) akan mendegradasi
kelompok-kelompok hidroksil selulosa yang diawali dari daerah amorphous, berlanjut ke
semikristalin dan diakhiri di daerah kristalin. Perubahan dari amorphous menjadi
kristalin akan mengakibatkan penurunan daya serap air sehingga kayu akan lebih
stabil. Hal ini akan meningkatkan kestabilan dimensi kayu. Perubahan ini juga ada
hubungannya dengan penurunan berat pada kayu yang dipanaskan. Lamanya
22 sampel. Semakin lama kayu dipanaskan, semakin tinggi pula penurunan beratnya
(Dwiyanto et al., 1998).
Pengaruh tingkat pemadatan, lamanya pemanasan, dan jenis kayu terhadap
RS kayu yang terpadatkan disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa
faktor A (jenis kayu), faktor B (tingkat pemadatan), dan faktor C (lamanya
pemanasan pada suhu 180oC) berpengaruh terhadap nilai recovery of set kayu
terpadatkan. Interaksi antara faktor A dan C serta interaksi faktor B dan C
menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap RS yang terjadi.
Tabel 2. Analisis Ragam Recovey of Set Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan
Sumber
Total 89 51.376,402
Anatomi Kayu Agathis Terpadatkan
Struktur mikroskopis kayu Agathis pada penampang lintang baik kontrol
(tanpa pemadatan), terpadatkan, maupun terpadatkan dan dioven pada suhu 180ºC
selama 5 jam serta direndam kembali dalam air selama 24 jam menunjukkan
adanya perubahan bentuk terutama pada sel trakeid dan jari-jari kayu. Pada kayu
terpadatkan, sel trakeid cenderung memipih sementara jari-jarinya melengkung
(tidak lurus). Pada kayu terpadatkan yang sudah direndam kembali, sel trakeid
masih tampak memipih dan kelurusan jari-jari belum sempurna. Perubahan bentuk
sel trakeid diukur dari nilai kebundaran rongganya: semakin besar nilai
kebundaran atau roundness-nya (>1), maka akan semakin pipih sel trakeidnya
23
Gambar 8. Pengaruh Tingkat Pemadatan terhadap Kebundaran Rongga Sel
Trakeid Kayu Agathis Sebelum dan Sesudah Dipadatkan (d), serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (r) pada Bagian Permukaan (P) dan Tengah (T).
Gambar 8 memperlihatkan dengan jelas bahwa tingkat pemadatan
mempengaruhi bentuk rongga sel trakeid. Semakin tinggi tingkat pemadatan,
semakin pipih bentuk sel trakeidnya (roundness semakin besar). Hal ini
mengakibakan bergesernya arah jari-jari: dimana jari-jari semakin tidak lurus.
Pemipihan diawali pada bagian permukaan. Sel-sel di bagian permukaan
cenderung lebih pipih dan gepeng (collapse), sementara yang di bagian dalam
tidak mengalami perubahan yang berarti.
Pada kayu terpadatkan yang kemudian direndam kembali, sel-sel yang
telah pipih tadi bertendensi untuk kembali ke bentuk semula. Kemampuan sel-sel
tersebut untuk kembali ke bentuk semula dipengaruhi oleh tingkat pemadatannya.
Semakin tinggi tingkat pemadatan, semakin tinggi kemampuan kayu untuk ke
bentuk semula. Kemampuan untuk kembali ke bentuk semula (recovery)
ditunjukkan dengan semakin berkurangnya nilai roundness-nya dibanding nilai
24
Kontrol Kayu Terpadatkan Recovery
12,5% Permukaan 12,5% Permukaan
Arah Pemadatan
12,5% Tengah 12,5% Tengah
25% Permukaan 25% Permukaan
25% Tengah 25% Tengah
37,5% Permukaan 37,5% Permukaan
37,5% Tengah 37,5% Tengah
Gambar 9. Mikrograf SEM Kayu Agathis Sebelum dan Sesudah Dipadatkan, serta
25 Pemadatan kayu juga mempengaruhi penampilan jari-jari kayu pada
penampang lintang. Tampak bahwa jari-jari kayu terutama yang terdapat di bagian
permukaan akan mengalami pelengkungan tetapi tidak sampai tertekuk (Gambar
9). Keadaan ini akibat pemipihan sel-sel trakeid yang relatif seragam (Gambar
10A). Dilain pihak, jari-jari pada bagian tengah sampel cenderung tidak berubah
karena tekanan pada bagian dalam tersebut relatif lebih rendah sehingga tidak
mampu memipihkan sel trakeid yang ada. Akibatnya jari-jari juga tidak berubah.
Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa bagian corner cell dari sel
trakeid yang collapse akan saling bertautan dan membentuk struktur yang
menyerupai huruf S dengan sel trakeid disebelahnya (Gambar 10A). Sebagai
pembanding disajikan mikrograf SEM kayu kontrolnya (Gambar 10B).
A B
Gambar 10. Mikrograf SEM Bentuk Dinding Sel Trakeid Kayu Agathis yang
mengalami Penekukan Elastis (elastic buckling) akibat Pemadatan
(25%) (ukuran gambar 190 x 255 µm2). Arah panah menunjukkan
arah pemadatan.
Dari gambar di atas terlihat bahwa penekukan yang terjadi pada dinding
sel trakeid tidak menyebabkan terjadinya keretakan pada dinding sel. Jenis
perubahan ini dikategorikan dalam elastic buckling. Hal ini dimungkinkan karena
contoh uji kayu yang dipadatkan dalam kondisi jenuh air (bersifat elastis)
26 Anatomi Kayu Gmelina Terpadatkan
Struktur mikroskopis kayu Gmelina pada penampang lintang baik kontrol
(tanpa pemadatan), terpadatkan, maupun pada kayu terpadatkan yang dioven pada
suhu 180ºC selama 5 jam dan direndam kembali selama 24 jam menunjukkan
adanya perubahan pada bentuk sel serabut dan jari-jari kayu. Perubahan bentuk sel
serabut kayu Gmelina sebagaimana juga pada sel trakeid kayu Agathis juga dilihat
dari nilai kebundarannya: semakin tinggi nilainya (>1), maka serabut akan
semakin pipih (Gambar 11). Hal ini juga dapat dilihat pada Gambar 12.
0
Gambar 11. Hubungan antara Tingkat Pemadatan terhadap Kebundaran Rongga
Sel Serabut Kayu Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan (d), serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (r) pada bagian permukaan (P) dan tengah (T).
Gambar 11 dan 12 memperlihatkan adanya perubahan tingkat kebundaran
sel pada sampel sebelum dan sesudah dipadatkan serta setelah kayu terpadatkan
direndam kembali dalam air selama 24 jam. Semakin tinggi tingkat pemadatan,
27
Kontrol Kayu Terpadatkan Recovery
12,5% Permukaan A 12,5% Permukaan R
Arah Pemadatan
12,5% Tengah A 12,5% Tengah R
25% Permukaan A 25% Permukaan R
25% Tengah A 25% Tengah R
37,5% Permukaan A 37,5% Permukaan R
37,5% Tengah A 37,5% Tengah R
Gambar 12. Mikrograf SEM Kayu Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan,
dan Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (ukuran gambar 960 x
28 Seperti halnya pada trakeid kayu Agathis, serabut kayu Gmelina juga
mengalami pemipihan terberat pada bagian permukaan dibandingkan pada bagian
tengah. Hal serupa juga dialami oleh sel-sel pembuluhnya. Sel pembuluh
cenderung lebih mudah pipih dibandingkan dengan sel serabut di sekitarnya. Hal
ini disebabkan sel-sel pembuluh memiliki rongga sel yang lebih besar dan dinding
sel yang lebih tipis dibandingkan sel serabut. Memipihnya sel pembuluh dan sel
serabut tersebut mengakibatkan jari-jari kayu mengalami penekukan mengikuti
arah deformasi yang terjadi (Gambar 12).
Sel serabut dan pembuluh yang ter-deformasi ternyata belum mengalami
fiksasi yang sempurna meskipun dipanaskan pada suhu 180oC selama 5 jam. Hal
ini dapat dilihat dari adanya perubahan bentuk kebundaran rongga-rongga sel
setelah kayu terpadatkan tersebut kembali direndam selama 24 jam dalam air.
Nilai kebundaran setelah direndam ternyata lebih kecil dibandingkan dengan nilai
kebundaran pada kayu terpadatkan (Gambar 11). Hasil pengamatan SEM
menunjukkan kebundaran bentuk rongga sel pada kayu terpadatkan yang
kemudian direndam kembali cenderung ke bentuk semula. Kemampuan kayu
untuk kembali kebentuk semula dipengaruhi oleh tingkat pemadatannya. Semakin
tinggi tingkat pemadatan kayu akan meningkatkan kemampuan kayu untuk
kebentuk semula.
Kayu terpadatkan ternyata juga memberikan dampak yang berbeda pada
bagian kayu awal dan kayu akhir (Gambar 13). Bagian kayu awal (sisi atas) ketika
dipadatkan, cenderung akan mengalami deformasi yang lebih besar dibandingkan
kayu akhir. Hal ini ada hubungannya dengan ukuran rongga dan ketebalan dinding
sel. Sel-sel penyusun kayu akhir umumnya lebih sempit dan lebih tebal
dibandingkan kayu awal sehingga lebih tahan menahan gaya tekan.
Dinding sel baik serabut maupun pembuluh juga mengalami pemipihan
(collapse) akibat proses pemadatan. Hal ini dapat terlihat dengan jelas terutama
pada bagian permukaan kayu dimana deformasi yang terjadi lebih besar.
29 Gambar 13. Mikrograf SEM Kayu Awal dan Akhir Gmelina Terpadatkan
(12,5%) (ukuran gambar 960 x 1280 µm2). Arah panah
menunjukkan arah pemadatan.
Sama halnya dengan kayu Agathis, bagian corner cell dari sel-sel serabut
yang bersebelahan juga saling bertautan dan membentuk struktur yang
menyerupai huruf S (Gambar 14A). Gambaran permukaan kayu Gmelina kondisi
control disajikan pada Gambar 14B.
A B
Gambar 14. Mikrograf SEM Bentuk Dinding Serabut: A. Kayu Gmelina setelah
Pemadatan (25%) dan B. Kontrol. (ukuran gambar 60 x 84 µm2).
30
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Pemadatan dapat meningkatkan BJ kayu terpadatkan baik pada Agathis
maupun Gmelina: semakin tinggi tingkat pemadatan, semakin besar nilai
BJ-nya.
2. Pemanasan pada suhu 180oC pada berbagai tingkat pemadatan baik pada
Agathis maupun Gmelina tidak mempengaruhi nilai BJ, tetapi menurunkan
recovery of set dan sekaligus meningkatkan stabilisasi dimensi kayu
terpadatkan: semakin lama pemanasan, semakin rendah recovery of set-nya.
3. Recovery of set kayu Gmelina lebih tinggi dibandingkan recovery of set kayu
Agathis.
4. Kayu terpadatkan baik Agathis maupun Gmelina yang direndam kembali
dalam air setelah dipanaskan pada suhu 180ºC hingga 20 jam ternyata belum
mengalami fiksasi yang sempurna.
5. Akibat pemadatan terjadi perubahan struktur anatomi kayu dimana sel-sel
penyusun kayu yang berada di bagian permukaan terutama sel trakeid pada
Agathis serta sel serabut dan sel pembuluh pada Gmelina akan lebih pipih
(collapse): semakin tinggi tingkat pemadatan, maka sel-sel tersebut akan
semakin pipih. Jari-jari kayu Agathis melengkung, sedangkan jari-jari kayu
Gmelina tertekuk. Bagian corner cell dari sel serabut ataupun sel trakeid yang
bersebelahan akan saling bertautan dan membentuk struktur yang menyerupai
huruf S.
Saran
Karena pemanasan dalam oven pada suhu 180oC selama 20 jam ternyata
belum mampu menghasilkan fiksasi yang sempurna, maka disarankan:
1. Waktu pemanasan diperpanjang (>20 jam)
2. Suhu ditingkatkan sampai batas aman
31
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Y. dan W. Dwianto. 2006. Pengaruh Suhu dan Tekanan Uap Air terhadap
Fiksasi Kayu Kompresi dengan menggunakan Close System Compression.
J. Ilmu dan Kayu Tropis 4 (2). 55-60. Bogor.
Barnett, J.R. and G. Jeronimidis. 2003. Wood Quality and Its Biological Basis. Blackwell Publishing Ltd.
Blomberg, J. 2006. Mechanical and Physical Properties of Semi-Isostatically Densified Wood. Thesis unpublished.
Blomberg, J., B. Persson, and U. 2006. Bexell. Effect of Semi-isostatic Densification on Anatomi and Cell-shape Recovery on Soaking. Holzforschung 60. 322-331.
Bodig, J. and B. A. Jayne. 1982. Mechanics of Wood and Wood Composites. Van Nostrand Reinhold Company. New York.
Dwianto, W., F. Tanaka, M. Inoue, and M. Norimoto. 1996. The Permanent Fixation of Compressive Deformation in Wood by Heat Treatment. In Preceedings from The Third Pacific Rim Bio-Based Composites Symposium, Kyoto, Japan. pp.231-239.
Dwianto, W., T. Morooka, and M. Norimoto. 1998. The Compressive Stress
Relaxation of Wood during Heat Treatment. Mokuzai Gakkaishi 44 (6),
403-409.
Dwianto, W. 1999. Mechanism of Permanent Fixation of Radial Compressive Deformation of Wood by Heat or Steam Treatment. Thesis Tidak Diterbitkan.
[FPL] Forest Product Laboratory. 1999. Wood Handbook: Wood as An Engineering Material. Forest Product Society.
Haygreen, J.G. and J. L. Bowyer. 1982. Forest Products and Wood Science: An Introduction. The Iowa State University Press. Ames, Iowa.
Inoue, M., M. Norimoto, M. Tanahashi, and R. M. Rowell. 1993. Wood and Fiber Science 25(3): 224-235.
Kollman, F. F. P., E. W. Kuezi, and A. J. Stamm. 1975. Principles of Wood Science and Technology Vol II. Springer Verlag. Berlin.
32 Kunesh, R.H. 1968. Strength and Elastic Properties of Wood in Transverse
Compression. Forest Products Journal 18(1): 65-72.
Mandang, Y. I. dan I. K. N. Pandit. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Yayasan Prosea Bogor dan Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan. Bogor.
Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir, dan S. A. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Balai Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Mitsui, K., T Inagaki, and S. Tsuchikawa. 2008. Monitoring of Hydroxyl Groups in Wood during Heat Treatment Using NIR Spectroscopy.
Biomacromolecules , 9, 286–288
Rilatupa, J. 2001. Keandalan Papan Lapis dari Kayu Damar (Agathis loranthifolia
Salisb) Terpadatkan sebagai Pelat Buhul Atap Bangunan Bentang Lebar. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Thesis Tidak Diterbitkan
Stamm, A. J. 1964. Wood and Cellulose Science. The Ronald Press Company. New york.
Sulistyono. 2001. Studi Kelayakan Teknis, Sifat Fisis, Sifat Mekanis dan
Keandalan Kontruksi Kayu Agatis (Agathis loranthifolia Salisb)
Terpadatkan. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Thesis Tidak Diterbitkan.
Sundqvist, B. 2004. Colour Change and Acid Formation in Wood During Heating. LuleÅ University of Technology. Thesis unpublished.
Wardhani, I. Y., S. Suryokusumo, dan Y.S. Hadi. 2002. Pemadatan Kayu Kelapa
(Cocos nucifera L). Proseding Seminar Nasional V Mapeki, Bogor. Hal.
33
34 Lampiran 1. Rataan Nilai Berat Jenis Kayu Agathis dan Gmelina Sebelum
dan Sesudah Dipadatkan serta Setelah Dipadatkan dan
Dipanaskan pada Suhu 180oC
Jenis Kayu
Tingkat Pemadatan
(%)
Lama Pemanasan (jam)
0 5 10 15 20
Agathis (0,42)
12,5 0,45 0.45 0,45 0,45 0,45
25 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55
37,5 0,64 0,64 0,64 0,64 0,64
Gmelina (0,44)
12,5 0,47 0,47 0,47 0,47 0,47
25 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56
35
Lampiran 2. Rataan Nilai Recovery of Set (%) Kayu Agathis dan Gmelina
Sebelum dan Sesudah Dipadatkan serta Setelah Dipadatkan dan
Dipanaskan pada Suhu 180oC
Jenis Kayu
Tingkat Pemadatan
(%)
Lama Pemanasan (jam)
0 5 10 15 20
Agathis 12,5 55,86 11,28 4,5 2,99 2,03
25 64,06 13,56 5,81 4,03 2,77
37,5 67,34 15,52 6,35 4,85 3,53
Gmelina 12,5 63,37 25,08 12,14 7,73 4,54
25 72,12 26,86 12,92 8,34 5,08
36 Lampiran 3. Rataan Nilai Kebundaran Rongga Sel Trakeid Kayu Agathis
Sebelum dan Sesudah Dipadatkan (d), serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (r) pada Bagian Permukaan (P) dan Tengah (T)
Perlakuan Densified(d) Recovery(r)
Kontrol 1,20 ± 0,09
12,5% P 2,74 ± 0,81 1,62 ± 0,55
12,5% T 1,24 ± 0,10 1,24 ± 0.05
25,0% P 2,96 ± 0,54 1,63 ± 0,51
25,0% T 1,34 ± 0,16 1,28 ± 0,09
37,5% P 3,78 ± 1,37 2,14 ± 0,28
37 Lampiran 4. Rataan Nilai Kebundaran Rongga Sel Serabut Kayu Gmelina
Sebelum dan Sesudah Dipadatkan (d), serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (r) pada Bagian Permukaan (P) dan Tengah (T)
Perlakuan Densified (d) Recovery (r)
Kontrol 1,24 ± 0,06
12,5% P 2,24 ± 0,81 1,35 ± 0,17
12,5% T 1,31 ± 0,06 1,25 ± 0,09
25,0% P 3,77 ± 1,38 1,76 ± 0,26
25,0% T 1,36 ± 0,17 1,29 ± 0,10
37,5% P 4,90 ± 2,17 2,40 ± 0,17