• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA."

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

1

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penelitian

Remaja memiliki dua cara yang berbeda dalam melalui periode remaja.

Pertama remaja yang berhasil menjalani periode perkembangan ini tanpa melalui

masalah psikologis, sosial, atau kesehatan yang signifikan. Kedua, remaja melalui

periode ini dengan berbagai masalah, di antaranya adalah meningkatnya masalah

kesehatan mental, ancaman terhadap kesehatan fisik, depresi, penyalahgunaan

zat-zat terlarang, kekerasan seksual, kemiskinan, dan konflik dalam keluarga (Lerner

& Steinberg, 2004:263). Berbagai kendala atau peristiwa kemalangan yang terjadi

pada remaja disebut adversitas (Linley & Joseph, 2004: 5).

Adversitas mengacu pada pengalaman negatif yang memiliki potensi

mengganggu fungsi adaptif atau perkembangan. Pengalaman terhadap adversitas

terjadi karena rusaknya kapasitas adaptif individu dengan menurunnya sistem

adaptif perkembangan individu dengan konsekuensi yang permanen. Adversitas

bisa termasuk adversitas akut (bencana alam), kronis (dikucilkan), muncul dalam

lingkungan (konflik orang tua, kemiskinan, kekerasan), atau ada dalam diri

individu itu sendiri (penyakit), pada beberapa level, adversitas berpotensi

menggangu perkembangan dan adaptasi positif individu (Linley & Joseph, 2004:

5). Selain adversitas yang dijelaskan oleh Lerner & Steinberg (2004), adversitas

juga dapat berupa musibah, pengalaman buruk, peristiwa negatif, kejadian tidak

menyenangkan, kondisi sarat resiko (high risk), stressor yang dianggap berat dan

trauma.

Berkenaan dengan adversitas, ada individu yang mampu bertahan dan

pulih dari adversitas yang pernah dialaminya, namun ada pula individu yang gagal

karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Kemampuan

untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau bertahan ditengah

lingkungan dengan tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, hal

tersebut menunjukkan adanya kemampuan tertentu dalam diri individu yang

(2)

2

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit

kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Joseph (Isaacson, 2002)

menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan

diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul

dalam kehidupan. Asumsi mendasar dalam studi mengenai resiliensi adalah

bahwa beberapa individu tetap baik-baik saja meskipun telah mengalami situasi

yang sarat adversitas dan beresiko, sementara beberapa individu lainnya gagal

beradaptasi dan terperosok dalam adversitas atau resiko yang lebih berat lagi

(Schoon, 2006:9).

Berbagai hasil penelitian mengenai resiliensi mengungkapkan pentingnya

resiliensi dalam kehidupan. Penelitian yang dilakukan Reivich di Universitas

Pennsylvania selama kurang lebih dari 15 tahun menemukan bahwa resiliensi

memegang peranan yang penting dalam kehidupan, karena resiliensi merupakan

faktor esensial bagi kesuksesan dan kebahagiaan (Reivich and Shatte,2002:11).

Resiliensi yang menjadi program prevensi bagi anak-anak yang berada dalam

risiko depresi, dapat membantu mereka mengatasi pengaruh negatif dari konflik

keluarga dan rendahnya kohesi keluarga yang mereka alami sehari-hari. Dalam

penelitiannya, Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan pentingnya resiliensi

untuk mengatasi hambatan-hambatan pada masa kecil seperti keluarga yang

berantakan, kehilangan orang tua, kemiskinan, diabaikan secara emosional

ataupun siksaan fisik. Penelitian yang dilakukan oleh Setyowati (2010) mengenai

hubungan resiliensi dan kecerdasan emosional pada pengguna NAPZA

menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara resiliensi dan

kecerdasan emosional, semakin tinggi resiliensinya maka semakin tinggi pula

kecerdasan emosional yang dimiliki pengguna NAPZA.

Sehubungan dengan tingkat resiliensi remaja, beberapa penelitian

menunjukkan rendahnya resiliensi yang dimiliki oleh remaja yang memiliki

pengalaman terhadap adversitas. Hasil penelitian Karina (2014) mengenai profil

resiliensi remaja di kota Malang dengan orang tua bercerai menunjukkan bahwa

remaja dengan orang tua bercerai memiliki resiliensi yang rendah. Hasil penelitian

(3)

3

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

adversitas adalah penelitian yang dilaksanakan oleh Apostelina (2014). Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui resiliensi pada remaja dengan adik penyandang

autis yang dilaksanakan di yayasan rumah cagar autis Bekasi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa resiliensi remaja dengan adik autis berada pada level

medium atau sedang dilihat dari dua faktor yang mempengaruhi resiliensi yakni

faktor resiko (stressor, strain, distress) dan faktor protektif keluarga (relative and

friend support, social support, familly hardiness, and coping-coherence).

Hasil penelitian Napitupulu (2014) mengenai tingkat resiliensi remaja

panti asuhan menunjukkan bahwa remaja panti asuhan memiliki tingkat resiliensi

yang berbeda yang dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan keluarga subjek

penelitian. Penelitian ini juga menunjukkan pentingnya dukungan eksternal bagi

remaja yang tinggal di panti asuhan. Volia (2007) melaksanakan penelitian

mengenai resiliensi pada remaja korban bencana alam di rumah anak madani.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran resiliensi berada pada kategori

sedang. Ditinjau dari kemampuan-kemampuan dasar pengukurnya, sesuai dengan

yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte (2002) ditemukan bahwa klasifikasi

resiliensi pada remaja korban bencana alam di Rumah Anak Madani yang

tertinggi hingga terendah adalah Optimisme, self efficacy, reach out, empathy,

impulse control, causal analysis dan emotional regulation

Berdasarkan studi pendahuluan mengenai tingkat resiliensi pada remaja

PSAA Wisma Putra Ciumbuleuit Bandung dengan menggunakan skala resiliensi

terungkap bahwa mayoritas remaja PSAA Wisma Putra berada pada kategori

sedang yakni sebanyak 61%, selebihnya berada dalam kategori rendah sebanyak

11%, dan kategori tinggi sebesar 28%. Mayoritas remaja PSAA yang berada pada

kategori sedang menunjukkan bahwa resiliensi remaja PSAA masih belum

optimal sehingga perlu ditingkatkan lagi menjadi optimal. Resiliensi sangat

penting bagi remaja PSAA mengingat latar belakang remaja PSAA yang

mengalami berbagai macam adversitas atau kemalangan. Di antara adversitas

tersebut adalah kemiskinan, ditelantarkan, dan ditinggalkan oleh orang tua. Resiko

(4)

4

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

rentan baik terhadap pencapaian tugas-tugas perkembangannya atau berbagai

perilaku maladaptif.

Profil resiliensi remaja PSAA Wisma Putra berdasarkan gender terungkap

bahwa tingkat resiliensi pada remaja laki-laki berada pada 2 kategori, kategori

resiliensi rendah sebanyak 28,6% dan kategori sedang sebanyak 71,4%. Tidak ada

remaja laki-laki PSAA Wisma Putra yang berada pada kategori resiliensi tinggi.

Pada remaja perempuan, 14,3% berada pada kategori resiliensi rendah, 42,9 %

berada pada kategori sedang, dan 42,9% berada pada kategori tinggi. Jumlah

sampel remaja perempuan lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah sampel

remaja laki-laki. Remaja perempuan memiliki kategori resiliensi yang lebih

bervariasi dibanding dengan resiliensi pada remaja laki-laki. Resiliensi pada

remaja perempuan tersebar dalam 3 kategori yakni rendah, sedang, dan tinggi,

dengan presentase terbesar pada kategori sedang. Tetapi remaja laki-laki hanya

berada pada dua kategori resiliensi, yakni rendah dan sedang.

Beberapa laporan hasil survey menjelaskan bahwa rendahnya resiliensi

berhubungan dengan kerentanan remaja terhadap penggunaan obat terlarang, dan

berbagai bentuk kenakalan remaja. Sebuah penelitian dilakukan oleh Skeer

Margie et al (2009) mengenai penyalahgunaan zat-zat kimia oleh remaja.

Penelitian tersebut melibatkan 1421 responden dengan rentang usia 12 sampai 22

tahun yang terlibat dalam Project of Human Development di Chicago selama

tahun 1994-2001. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa rendahnya resliensi

berkorelasi signifikan dengan resiko penyalahgunaan zat-zat kimia selama masa

remaja. Anak-anak yang hidup dalam keluarga dengan tingkat konflik yang lebih

tinggi memiliki resiko menjadi pengguna zat-zat kimia pada masa remaja dan

dewasanya kelak.

Youth Suicide prevention (2010) yang merupakan sebuah lembaga

pencegahan bunuh diri di Australia menjelaskan beberapa faktor penyebab bunuh

diri pada remaja Australia. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah penyakit

mental, penyalahgunaan zat-zat kimia, kemalangan pada masa anak-anak,

bullying, kemiskinan, dan rendahnya resiliensi remaja. Kemalangan pada

(5)

5

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

terhadap tingginya tindakan percobaan bunuh diri. Di Queensland, 34 % remaja

dan anak-anak yang melakukan bunuh diri mengindikasikan kemungkinan

mengalami adversitas. Diantaranya adalah bullying, penyiksaan fisik, kekerasan

seksual, dan kekerasan dalam keluarga. Faktor lain yang mendukung terhadap

bunuh diri remaja Australia adalah ditelantarkan, kesendirian, kesepian, dan

rendahnya harga diri

Berdasarkan berbagai penelitian empiris yang menyatakan pentingnya

resiliensi bagi optimalisasi perkembangan remaja tetapi secara faktual remaja

yang mengalami adversitas memiliki resiliensi yang rendah, maka diperlukan

sebuah metode yang dapat meningkatkan resiliensi remaja.

B.Identifikasi dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Resiliensi merupakan faktor yang sangat penting dalam pencapaian

tugas-tugas perkembangan remaja. Rendahnya resiliensi pada remaja haruslah

dihadapi serius oleh berbagai kalangan, karena menurut Schoon (2006:5)

rendahnya resiliensi dapat membawa pada resiko, remaja beresiko (at risk

adolescence) biasanya menjadi remaja yang rentan (vulnerable adolescence)

dan remaja yang rentan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menjadi

remaja yang bermasalah (troubled adolescence). Resiliensi dipandang oleh

para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa

yang traumatis (Adversitas). Joseph (Isaacson, 2002) menyatakan bahwa

resiliensi adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi

terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan.

Rhodes dan Brown ( Isaacson, 2002) juga menyatakan bahwa anak-anak

yang resilien adalah mereka yang mampu memanipulasi dan membentuk

lingkungannya, menghadapi tekanan hidup dengan baik, cepat beradaptasi pada

situasi baru, mempersepsikan apa yang sedang terjadi dengan jelas, fleksibel

dalam berperilaku, lebih toleran dalam menghadapi frustasi dan kecemasan,

serta meminta bantuan saat mereka membutuhkannya. Sementara itu, Werner

(6)

6

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

untuk secara efektif menghadapi stres internal berupa kelemahan-kelemahan

mereka maupun stres eksternal (misalnya penyakit, kehilangan, atau masalah

dengan keluarga). Demikian pula Hetherington dan Blechman ( Isaacson,

2002) menyatakan bahwa orang yang resilien menunjukkan kemampuan

adaptasi yang lebih dari cukup ketika rnenghadapi kesulitan.

Terdapat beberapa pendekatan dan metode yang digunakan yang telah

terbukti dapat meningkatkan resiliensi. Seperti George Spivack dan Shur yang

menggunakan Interpersonal Cognitive Problem Solving (ICPS) untuk

membantu individu mengatasi tekanan, frustasi, dan kegagalan dalam hidup

(Goldstein & Brooks, 2005: 373). Contoh bagaimana pendekatan problem

solving dapat membantu penyesuaian anak dan perkembangan resiliensi yang

berada dalam resiko tinggi dilakukan dengan membuat ilustrasi perilaku

beresiko tinggi di kelas seperti impulsitas setiap hari. Anak-anak yang

memiliki kemampuan problem solving yang baik akan mengembangkan

keterampilan interpersonal yang efektif, seperti punya banyak teman dan

memiliki kadar frustasi yang lebih rendah. Anak-anak yang dapat

merencanakan tindakannya yang positif memiliki kemampuan yang lebih baik

untuk mengontrol kehidupannya daripada membiarkan orang lain mengatur

kehidupannya. Pada awal tahun 1970an, Shur dan Spivack memulai intervensi

keterampilan ICPS yang sistematik dengan anak usia 4 tahun.

Pendekatan ini mengajarkan anak bagaimana memikirkan cara yang akan

mengatasi masalah sehari-hari. Pelatihannya berisi permainan dan dialog,

didalamnya termasuk keterampilan berbahasa, kata-kata yang mengungkapkan

perasaan, dan keterampilan alternatif solusi. Dalam 3 bulan pelatihan,

anak-anak mampu menurunkan impulsitas dalam menghadapi frustasi dan

peningkatan kesabaran. Secara sosial, anak-anak yang menarik diri dapat lebih

terbuka, lebih mampu mengungapkan perasaannya, dan mampu menurunkan

ketakutan pada anak-anak (Goldstein & Brooks, 2005: 380).

Pearson (2007) menggunakan konseling ekspresif untuk meningkatkan

reiliensi remaja di Australia. Konseling ekspresif merupakan konseling yang

(7)

7

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

resiliensi yang dikembangkan dengan menggunakan konseling ekspresif adalah

fungsi kognitif dan emosional, resolusi konflik, dan kemampuan mereduksi

stres pada individu. Teknik ini mampu meningkatkan resiliensi remaja di

Australia karena mampu mengeksplorasi nilai-nilai positif dalam diri konseli,

mengembangkan kesadaran dan kepedulian terhadap orang lain, meningkatkan

kemampuan intrapersonal, mengembangkan image baru mengenai diri, dan

membantu konseli dalam mengaktifkan imaginasi dan pilihan dalam membuat

keputusan.

Dari sekian banyak teori dan pendekatan konseling atau psikoterapi salah

satu teori atau pendekatan yang dianggap sesuai untuk meningkatkan resiliensi

adalah pendekatan kognitif melalui teknik bibliocounseling. Bibliocounseling

menggunakan pikiran rasional untuk mengubah individu menjadi agen aktif

lingkungan yang mampu menghadapi kesulitan hidup dan berbagai peristiwa

adversitas. Berpikir rasional berarti berpikir ilmiah, jelas dan fleksibel yang

dapat membantu pencapaian tujuan hidup, proses berpikir rasional juga dapat

membawa pada peningkatan resiliensi diri, determinasi diri dan kompetensi

diri. Teknik ini dapat digunakan terhadap konseli dengan isu yang

bermacam-macam, diantaranya adalah konseli dengan penyakit tertentu, kematian

keluarga dekat, perilaku merusak diri sendiri, hubungan keluarga, krisis

identitas, kekerasan etnis dan kekerasan seksual, berbagai isu gender, siswa

dengan kecemasan terhadap pelajaran matematika, isu body image,

penyimpangan seksual, dan remaja dengan orang tua bercerai (Bradley, 2010).

Penelitian mengenai efektivitas bibliocounseling dalam meningkatkan

resiliensi dilakukan oleh Songprakun (2009). Penelitian ini melibatkan 56

partisipan yang didiagnosis mengalami depresi di Thailand. Kelompok

treatmen diberikan intervensi bibiliocounseling, sedangkan kelompok kontrol

diberikan treatmen dan perawatan standar. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara

kelompok intervensi dan kelompok kontrol dalam tingkat resiliensinya.

Penemuan ini memberikan bukti bahwa bibliocounseling efektif dalam

(8)

8

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Bibliocounseling merupakan salah satu intervensi yang jelas dan sangat mudah

untuk diakses dalam meningkatkan pemulihan individu dan meningkatkan

resiliensi. Penelitian bibliocounseling terdahulu lebih fokus pada membantu

remaja yang memiliki masalah orang tua bercerai, bunuh diri, dan orang tua

yang pecandu alkohol. Perkembangan terbaru bibliocounseling lebih fokus

pada meningkatkan keterampilan sosial, perilaku yang positif dan efektif, serta

meningkatkan kemampuan remaja untuk mengatasi masalah (Karacan, 2009:

24).

Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa bibliocounseling merupakan salah

satu teknik yang terbukti efektif dalam meningkatkan resiliensi.

Bibliocounseling adalah salah satu teknik dalam konseling yang berasal dari

rumpun cognitif behavioral therapy yang melibatkan berbagai metode dalam

proses konseling. Metode yang dimaksud diantaranya adalah membaca buku,

mendengarkan cerita dan menonton film. Pemilihan bibliocounseling untuk

meningkatkan resiliensi remaja berdasarkan latar belakang bibliocounseling

yang seringkali digunakan dalam mengatasi masalah yang berhubungan dengan

persitiwa trauma atau masalah pengalaman terhadap peristiwa yang tidak

menyenangkan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, terlihat pentingnya resiliensi bagi

remaja yang memiliki pengalaman adversitas karena dampak rendahnya

resiliensi yang akan menempatkan remaja pada posisi at risk adolescence.

Sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini adalah dibutuhkannya

penanganan yang tepat bagi remaja dengan resiliensi yang rendah. Berdasarkan

rumusan masalah, maka pertanyaan penelitan dalam tesis ini adalah:

a. Bagaimana efektivitas teknik bibliocounseling dalam meningkatkan

resiliensi remaja PSAA Wisma Putra?

b. Teknik bibliocounseling apa (membaca buku, menonton film, dan

mendengarkan cerita) yang paling efektif dalam meningkatkan resiliensi

(9)

9

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

C.Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Memperoleh gambaran empirik mengenai efektivitas bibliocounseling

dalam meningkatkan resiliensi remaja PSAA Wisma Putra

2. Memperoleh gambaran empirik mengenai teknik bibliocounseling

(membaca buku, menonton film, mendengarkan cerita) yang paling efektif

dalam meningkatkan resiliensi remaja PSAA Wisma Putra.

D.Manfaat penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, di antaranya

adalah siswa atau remaja Panti Asuhan, pengurus Panti Asuhan, Guru bimbingan

dan konseling serta para peneliti.

1. Siswa Panti Asuhan

Manfaat penelitian “Efektivitas bibliocounseling untuk Meningkatkan

Resiliensi Remaja” bagi remaja Panti Asuhan di antaranya adalah siswa Panti

Asuhan mendapatkan sebuah layanan yang dapat mengakomodasi dan

memenuhi kebutuhan kesehatan psikologis para remaja di Panti Asuhan.

Penelitian ini akan menjembatani pengungkapan berbagai masalah

perkembangan yang dialami oleh remaja Panti Asuhan mengingat

bibliocounseling yang secara natural tidak hanya mampu meningkatkan

resiliensi saja tetapi juga aspek-aspek yang mendukung optimaslisasi

perkembangan remaja Panti Asuhan lainnya.

2. Pengurus Panti Asuhan

Penelitian ini dapat menghasilkan sebuah alternatif layanan bagi pengurus

Panti Asuhan dalam menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi

siswanya terutama masalah yang berkaitan dengan karakteristik remaja Panti

Asuhan seperti trauma. Dengan penggunaan media yang mudah didapatkan dan

langkah-langkah teknik yang jelas akan sangat mempermudah pengurus Panti

Asuhan dalam melaksanakan teknik ini.

(10)

10

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Guru bimbingan dan konseling atau konselor disekolah dapat memanfaatkan

hasil studi untuk menambah pengetahuan dan keterampilan terkait berbagai

teori dan pendekatan dalam konseling, sebagai referensi dalam melaksanakan

layanan responsif terkait dengan peningkatan resiliensi. Mengingat remaja

Panti Asuhan adalah siswa di sekolah menengah pertama dan sekolah

menengah atas.

4. Penelitian Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi

terkait resiliensi dan bibliocounseling sebagai salah satu teknik bagi

peningkatan resiliensi remaja panti asuhan.

E.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis adalah sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN

BAB II BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN

RESILIENSI REMAJA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

(11)

11

Eem Munawaroh, 2014

(12)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab tiga menjelaskan metodologi penelitian yang terdiri atas pendekatan

penelitian, metode penelitian, lokasi dan subjek penelitian, definisi operasional

variabel, pengembangan instrumen penelitian, teknik analisis data, dan prosedur

penelitian.

A.Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kuantitatif. Pemilihan pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui

teknik bibliocounseling mana yang paling efektif dalam meningkatkan

resiliensi remaja Panti Asuhan. Creswell (2012:13) menyatakan bahwa

penggunaan pendekatan kuantitatif haruslah terlebih dahulu memenuhi

langkah-langkah yang disyaratkan dalam pendekatan ini, diantaranya adalah:

1. Penjelasan mengenai masalah penelitian melalui deskripsi tren atau

kebutuhan hubungan antara variabel.

2. Penjelasan mengenai tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, dan hipotesis

yang spesifik, tajam, terukur dan dapat diobservasi.

3. Pengumpulan data menggunakan instrumen yang sesuai

4. Mengenalisis kecenderungan hasil penelitian dengan menghubungkan

variabel penelitian menggunakan data statistik dan menginterpretasi

hasilnya serta membandingkan dengan penelitian terdahulu dan prediksi

awal (hipotesis).

B.Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen

dengan menggunakan desain Latin-Square jenis within-subject (Heppner,

(13)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

meningkatkan resiliensi siswa Panti Asuhan disajikan secara seimbang dengan

frekuensi yang sama.

Tabel 3. 1

Skema Penelitian Dengan Desain Latin Square

KELOMPOK ASPEK

I HAVE I AM I CAN

A Membaca Buku Story telling Menonton film B Menonton Film Membaca Buku Story telling

C Story telling Menonton film Membaca buku

C.Populasi dan Sampel Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Wisma

Putra Bandung yang beralamat di Jalan Ciumbuleuit No. 105 RT 006 RW 02,

Ciumbuleuit, Cidadap, Bandung, Jawa Barat yang melibatkan 21 remaja PSAA

Wisma Putra sebagai subjek penelitian dan diberikan intervensi

bibliocounseling yakni membaca buku, mendengarkan cerita dan menonton

film.

Pemilihan populasi penelitian remaja PSAA Wisma Putra Bandung

berdasarkan pertimbangan berikut ini:

1. Remaja merupakan salah satu periode dalam perkembangan yang dianggap

sangat penting dan berpengaruh besar terhadap perkembangan individu.

Masa remaja adalah periode transisi atau perubahan dari masa kanak- kanak

ke masa dewasa. Masalah yang terkait dengan periode transisi ini

diantaranya masalah pribadi, sosial, dan munculnya berbagai perilaku

maladaptif atau salah suai.

2. Remaja merupakan periode setelah masa kanak-kanak yang masih memiliki

banyak kesempatan untuk mengembangkan kapasitas resiliensinya dalam

rangka persiapan menghadapi tantangan hidup di masa depan.

3. Remaja PSAA (Panti Sosial Asuhan Anak) merupakan remaja dengan latar

(14)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

kemiskinan, kehilangan orang tua, dan ditelantarkan. Remaja PSAA dengan

adversitas adalah karakteristik sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian

ini.

4. Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Wisma Putra merupakan salah satu panti

sosial dengan salah satu kategori siswanya adalah remaja. PSAA Wisma

Putra memberikan kesempatan kepada para akademisi dan praktisi untuk

mengembangkan keilmuan dan membantu siswa PSAA Wisma Putra untuk

mendapatkan keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkannya.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan random

sampling, yaitu strategi pemilihan sampel yang memberikan kesempatan

kepada semua remaja PSAA Wisma Putra untuk menjadi sampel

(Creswell,2012:208).

D.Definisi Operasional Variabel

Berdasarkan identifikasi masalah, penelitian ini memiliki dua variabel,

yakni 1) Variabel bebas, yaitu teknik bibliocounseling. 2) variabel terikat, yaitu

resiliensi remaja Panti Asuhan. Variabel bebas (independent variable)

berfungsi sebagai strategi fasilitasi pengembangan resiliensi, sedangkan

variabel terikat berfungsi sebagai perilaku sasaran.

Berikut penjelasan definisi operasional kedua variabel tersebut:

1. Resiliensi Remaja

Resiliensi remaja dalam penelitian ini merupakan kapasitas internal

yang dimiliki remaja PSAA Wisma Putra Bandung yang berfungsi untuk

mencegah, menghadapi dan meminimalisir dampak negatif dari adversitas

atau kondisi yang tidak menyenangkan yang terjadi dalam hidup remaja,

kapasitas yang dimaksud adalah:

a. I have, yakni faktor pembentuk resiliensi yang menggambarkan

dukungan eksternal dalam meningkatkan resiliensi.

(15)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

c. I can, yakni kemampuan yang dimiliki Remaja PSAA Wisma Putra

untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi

dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai setingan

kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur

tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat membutuhkannya.

2. Bibliocounseling

Bibliocounseling yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

serangkaian kegiatan pemberian bantuan dari konselor atau peneliti kepada

konseli atau remaja PSAA Wisma Putra Bandung. Bantuan yang diberikan

melibatkan 3 teknik bibliocounseling yakni membaca buku, mendengarkan

cerita, dan menonton film yang diberikan dalam setingan kelompok. Membaca

buku dalam penelitian ini adalah kegiatan memahami bacaan dalam bentuk

novel (Sepatu Dahlan, Surat Kecil untuk Tuhan, dan Ibuk) dengan

mengobservasi kisah, alur cerita, peristiwa, dan karakteristik tokoh, dan

nilai-nilai yang terkandung dalam novel tersebut yang dilanjutkan dengan sesi

konseling kelompok. Menonton film dalam penelitian ini adalah kegiatan

memahami isi film (Laskar Pelangi) dengan mengobservasi kisah, alur cerita,

peristiwa, karakteristik tokoh, dan nilai-nilai dalam film tersebut yang

dilanjutkan dengan sesi konseling kelompok. Mendengarkan cerita dalam

penelitian ini adalah kegiatan memahami sebuah cerita (Pahlawan itu Bernama

Putri Herlina) dengan mengobservasi kisah, alur cerita, peristiwa, karakteristik

tokoh, dan nilai-nilai yang ada dalam cerita tersebut yang dilanjutkan dengan

sesi konseling kelompok.

E.Instrumen Penelitian

1. Jenis Instrumen

Instrumen merupakan alat bantu yang digunakan peneliti dalam

mengumpulkan data agar pengumpulan data berlangsung secara sistematis dan

mendapatkan informasi kuantitatif tentang variasi karakteristik variabel secara

(16)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

instrumen resiliensi yang dibagi ke dalam 3 buah instrumen yang

masing-masing mengungkap aspek resiliensi, yakni instrumen yang mengungkap I

have, Instrumen yang mengungkap I am, dan Instrumen yang mengungkap I

can. Ketiga instrumen tersebut menggunakan skala likert dengan pilihan

jawaban partisipan dimulai dari Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju

(TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS) dengan bobot nilai secara berurutan

,4,3,2,1. Alasan penggunaan instrumen dengan skala likert adalah karena skala

likert mampu mengungkap tingkat resiliensi secara lebih terperinci dan jelas

mengenai resiliensi remaja PSAA Wisma Putra Bandung. Penggunaan pilihan

jawaban partisipan 4-1 dimaksudkan untuk mengungkap jawaban yang lebih

tegas dari partisipan dengan menghilangkan pilihan jawaban yang ragu-ragu.

2. Pengembangan Kisi-Kisi Instrumen

Instrumen dikembangkan dari definisi operasional variabel penelitian

yakni aspek I have, I am, dan I can. Masing-masing aspek dibagi lagi ke dalam

beberapa indikator dan selanjutnya dijabarkan dalam bentuk pernyataan item

instrumen. Berikut disajikan kisi-kisi instrumen skala resiliensi remaja

Tabel 3.2

Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja Aspek I have

Indikator Sub indikator No Item Jumlah

Memiliki kepercayaan terhadap hubungan

Remaja Panti Asuhan memiliki kepercayaan terhadap hubungan dengan keluarga dekat

1,2,3 3

Remaja Panti Asuhan memiliki kepercayaan terhadap hubungan dengan guru atau pengasuh

4,5,6 3

Remaja Panti Asuhan memiliki kepercayaan terhadap hubungan dengan teman

7,8,9 3

Memiliki struktur dan aturan di Panti Asuhan

Remaja penti asuhan mengetahui dan memahami struktur Panti Asuhan

10,11,12, 3

Remaja Panti Asuhan memahami punishment sebagai bagian dari pelanggaran terhadap aturan

(17)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Remaja Panti Asuhan memahami reward sebagai bagian dari kepatuhan

16,17,18 3

Memiliki role model

Remaja Panti Asuhan memiliki role model atau seseorang yang dijadikan teladan dalam hidupnya

19,20,21, 22

4

Remaja Panti Asuhan memiliki role model atau seseorang yang dijadikan teladan dalam hidupnya di sekitar Panti Asuhan

23,24,25 3

Memiliki dorongan untuk mandiri

Remaja Panti Asuhan memiliki motivasi untuk menjadi individu yang mandiri

26,27 2

Remaja Panti Asuhan memiliki akses terhadap kesejahteraan

Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja Aspek I am

Indikator Sub indikator No Item Jumlah

Perasaan dicintai

Remaja Panti Asuhan merasa dicintai dan disukai oleh orang disekitarnya

1,2,3 3

Remaja Panti Asuhan memiliki perasaan sensitif terhadap perasaan orang lain

4,5,6,7,8 5

Remaja Panti Asuhan mengetahui apa yang diharapkan orang lain darinya.

9,10,11,12 4

Mencintai, empati, dan altruis

Remaja Panti Asuhan memiliki perasaan mencintai terhadap orang lain

13,14 2

Remaja Panti Asuhan memiliki perasaan empati terhadap orang lain

15,16,17,18 4

Remaja Panti Asuhan memiliki perasaan altruis terhadap orang lain

19,20,21 3

Memiliki kebanggaan pada diri sendiri

Remaja Panti Asuhan merasa dirinya penting dan berharga bagi orang lain

22,23,24,25 4

Remaja Panti Asuhan memiliki kebanggaan terhadap apa yang dapat dia lakukan dan capai

26,27,28, 3

Remaja Panti Asuhan tidak membiarkan dirinya direndahkan oleh orang lain.

(18)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Remaja Panti Asuhan menunjukkan kepercayaan diri dan harga diri yang tinggi hal dengan caranya sendiri

35,36,37 3

Remaja Panti Asuhan mampu menerima konsekuensi dari perilakunya.

38,39 2

Remaja Panti Asuhan memahami keterbatasan yang dimilikinya dalam menghadapi satu peristiwa akan kehidupan yang lebih baik

44,45,46,47 4

Remaja Panti Asuhan memiliki kepercayaan dan keyakinan akan kuasa tuhan

48,49,50,51,52 5

Tabel 3. 4

Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja Aspek I can

Indikator Sub indikator No Item Jumlah

Kemampuan komunikasi

Remaja Panti Asuhan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya terhadap orang lain

1,2,3,4 4

Remaja Panti Asuhan mampu menjadi pendengar yang baik bagi orang lain

5,6 2

Remaja Panti Asuhan mampu menunjukkan kepedulian terhadap perasaan orang lain

7,8 2

Kemampuan pemecahan masalah

Remaja Panti Asuhan dapat menilai berat atau ringan masalah yang dihadapi

9,10,11,12 4

Remaja Panti Asuhan dapat menilai kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi masalah

13,14,15 3

Remaja Panti Asuhan mengetahui saat yang tepat untuk meminta bantuan orang lain dalam pemecahan masalah

16,17,18 3

Remaja Panti Asuhan memiliki kemampuan untuk meminta bantuan orang lain dalam pemecahan masalah

19,20,21 3

(19)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

solusi yang kreatif dari permasalahan yang dihadapinya

Remaja Panti Asuhanmemiliki ketahanan dalam mengatasi masalah yang dimilikinya

24,25 2

Remaja Panti Asuhan dapat mengidentifikasi (menamai) perasaannya ketika menghadapi masalah atau peristiwa tidak menyenangkan

26 1

Remaja Panti Asuhan mampu mengekspresikan emosinya dalam kata-kata dan perilaku yang tepat dan tidak mengganggu hak orang lain

27,28,2930 4

Remaja Panti Asuhan mampu mengelola dorongan untuk tidak berperilaku dalam cara yang berbahaya dalam menghadapi masalah/peristiwa (memukul, lari, merusak, dan lain-lain )

Remaja Panti Asuhan mengetahui tempramen dirinya dan orang lain

34,35 2

Remaja Panti Asuhan mengetahui seberapa cepat dapat bertindak dalam menghadapi situasi atau masalah

36,37,38 3

Remaja Panti Asuhan mengetahui seberapa banyak masalah yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu

Remaja Panti Asuhan memiliki seseorang yang dapat dipercaya (guru, teman, pengasuh, orang dewasa lainnya)

41,42,43 3

Remaja Panti Asuhan memiliki seseorang yang dapat dimintai bantuan (guru, teman, pengasuh, orang dewasa lainnya)

44,45,46 3

Remaja Panti Asuhan memiliki seseorang yang dapat dijadikan tempat untuk berbagi perasaan, (guru, teman, pengasuh, orang dewasa lainnya)

47,48,49 3

Remaja Panti Asuhan memiliki seseorang yang dapat dimintai bantuan untuk mengeksplorasi cara mengatasi masalah personal dan interpersonal (guru, teman, pengasuh, orang dewasa lainnya)

(20)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

3. Uji Coba Instrumen

a. Uji Kelayakan

Uji kelayakan instrumen dilakukan untuk melihat kesesuaian antara

konstruk, konten/isi, dan redaksi instrumen dengan landasan teoritis,

ketepatan bahasa, dan karakteristik subjek yang menjadi responden atau

yang lebih dikenal dengan penimbangan (judgement) instrumen.

Judgement dapat juga berfungsi sebagai uji validitas internal instrumen.

Ketiga instrumen tersebut masing instrumen aspek I have memiliki 6

indikator dengan 38 butir pernyataan instrumen, instrumen aspek I am

memiliki 5 indikator dengan 51 butir pernyataan, dan instrumen aspek I

can memiliki 5 indikator dengan 52 butir pernyataan.

Penimbangan (judgment) dilakukan terhadap dua orang pakar

bimbingan dan konseling dan satu orang pakar assessmen psikologis,

yaitu Dr. Nurhudaya M,Pd (4 april 2014), Dr. Suherman M,Pd (29 April

2014) dan satu orang praktisi Panti AsuhanFauzi S,Sos, (29 April 2014).

Berdasarkan hasil judgment, terdapat beberapa indikator yang ambigu,

pernyataan instrumen yang tidak sesuai dengan indikator yang dimaksud,

serta jumlah pernyataan yang tidak seimbang. Berdasarkan penimbangan

instrumen penelitian, masing-masing pernyataan dikelompokkan dalam

kualifikasi memadai (M) atau tidak memadai (TM). Kategori antara

memadai atau tidak memadai sebuah instrumen dilihat dari konstruk

instrumen, konten/isi instrumen, dan redaksi instrumen tersebut.

Pernyataan yang berkualifikasi memadai (M) dapat langsung digunakan

sebagai butir item dalam instrumen penelitian sementara pernyataan yang

berkualifikasi tidak memadai (TM) perlu direvisi dan diperbaiki.

b. Uji Keterbacaan

Uji keterbacaan dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana

instrumen dapat difahami oleh responden. Melalui uji keterbacaan ini

dapat diketahui kata-kata yang kurang dipahami serta kalimat yang rancu

(21)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

disederhanakan tanpa mengubah maksud dari pernyataan tersebut. Uji

keterbacaan instrumen dilakukan 3 orang remaja Panti Asuhan PSAA

Wisma Putra yang bukan merupakan sampel penelitian. Setelah

dilakukan uji keterbacaan, butir pernyataan instrumen yang kurang jelas

diperbaiki sesuai kebutuhan sehingga dapat dimengerti oleh responden

usia remaja baru kemudian dilakukan uji validitas butir pernyataan dan

uji reliabilitas instrumen.

c. Uji Validitas Butir Instrumen

Instrumen yang valid adalah alat ukur yang digunakan untuk

mendapatkan data yang valid dan dapat digunakan untuk mengukur apa

yang hendak diukur. Semakin tinggi nilai validitas, semakin valid

instrumen tersebut digunakan di lapangan. Uji coba instrumen penelitian

dilaksanakan terhadap siswa yang bukan subjek penelitian sebenarnya,

namun memiliki karakteristik yang relatif sama dengan subjek penelitian

yang sebenarnya. Untuk keperluan uji coba instrumen penelitian, diambil

responden sebanyak 30 orang siswa panti dari usia remaja Langkah uji

validitas butir pernyataan dilakukan dengan menggunakan teknik

pengolahan statistik yakni korelasi spearmen. Penghitungan validitas

butir pernyataan dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 18.0

for windows.

Berdasarkan hasil penghitungan, terdapat butir item pernyataan

yang tidak valid. Untuk instrumen I have yang awalnya berjumlah 38

butir item menjadi 30 butir pernyataan, instrumen I am yang awalnya

jumlahnya 52 menjadi 45 item valid, Instrumen I can yang awalnya

berjumlah 52 menjadi 39 item valid.

d. Uji Reliabilitas Instrumen

Suatu instrumen memiliki tingkat reliabilitas yang memadai apabila

digunakan mengukur aspek yang hendak diukur beberapa kali hasilnya

sama atau relatif sama. Instrumen yang dapat dipercaya akan

(22)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

dengan tingkat keajegan atau ketetapan hasil pengukuran (Syaodih,

2005). Reliabilitas instrumen secara operasional dinyatakan sebagai

koefisien korelasi (r) (Suryabrata, 1999:41). Untuk mengetahui tingkat

reliabilitas instrumen dilakukan pengujian dengan menggunakan rumus Cronbach’s Alpha(α).

Proses pengujian reliabilitas instrumen ini dilakukan secara statistik

memakai bantuan perangkat lunak SPSS 18.0 for windows. Guilford

(1954; dalam Furqon, 1999) menyatakan harga reliabilitas berkisar antara

-1 sampai dengan +1, harga reliabilitas yang diperoleh berada di antara

rentangan tersebut. Semakin tinggi harga reliabilitas instrumen maka

semakin kecil kesalahan yang terjadi, semakin rendah harga reliabilitas

instrumen maka semakin besar kesalahan yang terjadi. Sebagai tolak

ukur koefisien reliabilitasnya, digunakan kriteria dari Guilford (Subino,

1987), yaitu:

< 0,20 : Derajat keterandalannya sangat rendah

0,21 - 0,40 : Derajat keterandalannya rendah

0,41 – 0,70 : Derajat keterandalannya sedang

0,71 – 0,90 : Derajat keterandalannya tinggi

0,91 – 1,00 : Derajat keterandalannya sangat tinggi

Berdasarkan uji reliabilitas instrumen, maka reliabilitas

masing-masing instrumen dari mulai 1 have, I am dan I can berturut-turut 0,79,

0,81, dan 0,75 yang semuanya berada dalam kategori tinggi (hasil

terlampir).

F. Prosedur Penelitian

Prosedur dalam penelitian ini meliputi tiga tahap, yakni persiapan

penelitian, pelaksanaan penelitian, dan pembuatan laporan penelitian.

Persiapan penelitian meliputi pembuatan instrumen resiliensi remaja yang

(23)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

penyusunan program intervensi bibliocounseling untuk meningkatkan resiliensi

remaja. Pada tahap pelaksanaan, peneliti melaksanakan intervensi yang

meliputi pre test, pelaksanaan intervensi bibliocounseling (membaca buku,

mendengarkan cerita, menonton film) dan post test. Pada tahap terakhir yakni

pembuatan laporan penelitian, peneliti melaporkan setiap tahapan penelitian

dari mulai persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan hasil penelitian

dalam bentuk karya ilmiah (tesis).

G.Teknik Analisis Data penelitian

Untuk mengetahui efektivitas setiap sesi intervensi yakni efektivitas

teknik tertentu pada aspek resiliensi tertentu maka digunakanlah uji t

berpasangan (paired t-test). Untuk mengetahui adanya perbedaan pengaruh tiap

teknik terhadap aspek resiliensi maka digunakanlah analisis statistik one way

anova, dan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh setiap teknik terhadap

aspek resiliensi maka digunakan uji post hoc. Teknik analisis data dilakukan

dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Statistical Product and Service

(24)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pada bab lima dijelaskan mengenai kesimpulan dan rekomendasi.

Kesimpulan merupakan kombinasi dari temuan empiris dan kajian pustaka.

Sementara rekomendasi difokuskan pada upaya untuk mensosialisasikan dan

mengaplikasikan hasil penelitian serta pengembangan keilmuan dari hasil

penelitian yang telah dilaksanakan.

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, teknik membaca buku memiliki skor

rata-rata yang lebih tinggi dalam meningkatkan ketiga aspek resiliensi diikuti dengan

teknik menonton film dan mendengarkan cerita. Aspek resiliensi yang memiliki

rata-rata tertinggi adalah aspek aspek I can dengan indikator kemampuan

berkomunikasi secara interpersonal maupun intrapersonal, kemampuan problem

solving, kemampuan mengelola perasaan dan rangsangan, kemampuan

mengetahui emosi diri dan orang lain, kemampuan untuk menjalin hubungan

yang dapat dipercaya, diikuti oleh aspek I am dengan indikator perasaan dicintai,

mencintai, altruis, memiliki kebanggaan pada diri sendiri, memiliki harapan dan

tanggung jawab, memiliki kepercayaan, harapan dan keyakinan kepada tuhan, dan

yang terakhir adalah aspek I have dengan indikator memiliki hubungan yang

terpercaya, memiliki role model, memiliki struktur dan aturan di panti asuhan,

memiliki dorongan untuk menjadi individu yang mandiri, serta mengetahui akses

terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.

B. Rekomendasi

Berdasarkan pembahasan hasil dan kesimpulan penelitian, rekomendasi

utama dari penelitian ini adalah mengenai bibliocounseling untuk meningkatkan

resiliensi remaja. Rekomendasi ditujukan kepada berbagai pihak terkait,

khususnya bagi pimpinan lembaga-lembaga sosial seperti Panti Sosial Asuhan

(25)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

dan konseling, civitas akademika di program studi bimbingan dan konseling serta

peneliti selanjutnya.

1. Lembaga Sosial (PSAA)

Lembaga sosial seperti Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Wisma Putra

merupakan lembaga yang diberikan amanah oleh pemerintah yang terjun langsung

dalam menangani, mendidik, dan membimbing anak dan remaja yang kurang

beruntung. Selain menyediakan kebutuhan dasar bagi siswa seperti kebutuhan

dasar sandang, pangan dan papan, PSAA diharapkan mampu memfasilitasi

perkembangan positif remaja dalam berbagai aspek. Mengingat remaja PSAA

Wisma Putra adalah remaja denga latar belakang adversitas (kemiskinan,

ditinggalkan orang tua, ditelantarkan), maka PSAA hendaknya menyediakan

sebuah bantuan dalam menyembuhkan aspek psikologis yang diakibatkan oleh

adversitas dan memelihara perkembangan kesehatan psikologis para siswa. Salah

satunya adalah dengan menyediakan intervensi psikologis yang berkelanjutan.

Bibliocounseling merupakan sebuah intervensi yang cukup efisien dan mudah

dilaksanakan. Kemudahan tersebut dilihat dari material intervensi dan tidak

adanya persyaratan khusus bagi pelaksana intervensi sehingga pelaksanaannya

tidak memerlukan ahli tertentu dan bisa dilaksanakan oleh pengurus panti.

2. Konselor atau Guru Bimbingan dan Konseling

Remaja PSAA Wisma Putra adalah siswa siswi di sekolah formal, mereka

menghabiskan sebagian besar waktunya dengan berbagai kegiatan akademik di

sekolah. oleh karena itu, konselor atau Guru bimbingan dan konseling adalah

salah satu pihak yang bertanggung jawab dalam membantu perkembangan remaja

PSAA. Konselor sekolah atau Guru bimbingan dan konseling memiliki

tanggungjawab etis untuk memfasilitasi perkembangan pribadi, sosial dan

akademik seluruh siswa di sekolah tersebut sampai level tertinggi. Resiliensi

merupakan kemampuan yang dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk

menghadapi berbagai tantangan dan tekanan serta menghindarkan siswa dari

kemungkinan untuk mengalami gangguan emosional ataupun keterlibatan dalam

(26)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Penelitian ini menghasilkan program intervensi bibliocounseling untuk

meningkatkan resiliensi remaja berikut pedoman pelaksanaan dan satuan

layanannya. Program intervensi tersebut dapat direkomendasikan bagi konselor

sekolah atau Guru bimbingan dan konseling agar dapat diintegrasikan kedalam

komponen-komponen model bimbingan dan konseling komprehensif, sehingga

intervensi dapat disampaikan dalam bentuk layanan dasar, layanan responsif,

perencanaan individual serta dukungan sistem.

3. Civitas Akademika Bimbingan dan Konseling

Para civitas akademika bimbingan dan konseling hendaknya membekali

diri dengan kemampuan teoritis dan praktis. Keterampilan konseling merupakan

salah satu keterampilan yang memadukan penguasaan teoritis dan keterampilan

praktis yang sangat penting untuk dikuasai mengingat layanan konseling

merupakan salah satu inti dari layanan bimbingan dan konseling di sekolah.

Kajian resiliensi merupakan salah satu kajian penting yang harus difahami oleh

konselor atau guru bimbingan dan konseling mengingat resiliensi adalah salah

satu konsep psikologi positif yang dapat membantu siswa mencapai

perkembangan optimal. Hal ini sesuai dengan tugas pokok guru bimbingan dan

konseling atau konselor yakni memfasilitasi perkembangan peserta didik yang

optimal dalam rangka mencapai tugas-tugas perkembangannya.

4. Peneliti selanjutnya

Selama pelaksanaan penelitian di PSAA Wisma Putra, peneliti

menemukan masih terdapat beberapa siswa yang menunjukkan reaksi yang

berlebihan yang menunjukkan masih adanya trauma psikologis terhadap

adversitas yang pernah dialaminya. Oleh karena itu peneliti sangat

merekomendasikan bagi peneliti selanjutnya untuk memberikan intervensi yang

lebih spesifik dan mendalam. Salah satunya dengan design single subjek dengan

(27)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

DAFTAR PUSTAKA

ABKIN. (2005). Standar Kompetensi Konselor. Bandung: ABKIN.

Al Siebert. (2005). The Resiliency Advantage : Master Change, Thrive Under Pressure, and Bounce Back from Setbacks. California : Berrett-Koehler Publishers, Inc

Al-Zastrouw: 2013. Strategi Kultural Menumbuhkan Budaya Baca; Perspektif

Sosiologi. (Online). Tersedia di

http://rumahbacakomunitas.blogspot.com/2013/04/strategi-kultural menumbuhkan-budaya.html.(4 Agustus 2014)

Apostelina, Eunike. 2014. Resiliensi Keluarga pada Keluarga yang Memiliki Anak Autis. Skripsi pada Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta: Tidak Diterbitkan.

Anesty, E. (2012). Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk meningkatkan Resiliensi Remaja. Tesis pada Sekolah Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Abdullah, M. (2002) Bibliotherapy ( report No. EDO-CS-02-08) Washington, D.C; Office of Educational Research and Improvement. (Eric Document

Reproduction Service No. ED00036)

BKKBN. (2010). Faktor Penyebab Remaja Terlibat Narkoba. (Online). Tersedia: http://www.bkkbn.go.id (Diakses: 29-1-2014)

Borkowski et al. (2007). Risk and Resilience: Adolescent Mothers and Their Children Grow Up. London: Lawrence Erlabum Associates Publisher

Bradley. (2010). 35 Techniques every Counselor Should Know. Ohio : Pearson Education

Breen, P.M & Anderies, J.M. (2011). Resilience: A Literature Review. Arizona State University, New York : Tidak Diterbitkan

Burk, Herbert, M dan Stefflre, Bufford, (1979), Theories of Counseling, New York : McGraw-Hill Book Company.

(28)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Cavanagh, Michael. & Levitov, Justin E. The Counseling Experience, A Theoritical and Practical Approach. Second Adition. United State of America: Waveland Press, Inc.

Chen, J. D. & George, R. A. (2005). Cultivating Resilience in Children From Divorced Families. Retrieved March 16 2008 from SAGE Publications website Tersedia :http:// www.sagepublications.com. (10 Desember 2013)

Corey, G. (2007). Teori dan Praktek Konseling. Bandung: PT Refika Aditama.

Creswell, Jhon.(2012). Educational Research, Planning, Conducting and Evaluating Quantitative and Qualitatif Research. New York: Pearson Education.

Departemen Pendidikan dan kubudayaan/Pusat Bahasa. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-3). Jakarta: Balai Pustaka.

Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Divinyi, Joyce E. (1995). Storry Telling: An Enjoyable and Effective Teurapeutic Tool: New York: Tidak Diterbitkan

Eliasa, Eva Imania dkk.(2007).Bibliotherapy Bertema Karir Untuk Meningkatkan Motivasi Karir Pada Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling. Laporan Hasil Penelitian.Yogyakarta. FIP UNY: Tidak Diterbitkan

Fawzy N & Fouad A. (2010). Psychosocial and Development Status of Orphanage Children: Epidemiological Study. Journal of Psychiatric Zagajig University. 17, (2), 91-100.

Fergus, Stevenson & Zimmerman, Marc A. (2004). Adolescent Resilience: A Framework for Understanding Healthy Development in the Face of Risk. Journal of Public Health. Oktober 2004. 26, 399–419.

Forgan, James. (2002). Using Bibliotherapy to teach Problem Solving. Journal of Psychology 2002. 75, (38), 75-82.

Foss, Elizabeth. (2010). Bibliotherapy: Helping Children Cope with Emotional and Developmental Distress . University of maryland : Tidak diterbitkan.

(29)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Galamedia. (2013). 7000 Remaja Menjadi Pekerja Seks Komersial. (Online). Tersedia: http://www.klik-galamedia.com/7000-remaja-jadi-psk. (29 Januari 2014).

Gandaputra, Androe. (2009). Gambaran Self Esteem Remaja Yang Tinggal di Panti Asuhan. Jurnal Psikologi Universitas Tarumanagara. 7, (2), 25-37.

Goldstein, Sam & Brooks, robert. (2005). Handbook Of Resilience In Children. New Yorl: Springer Science+Business Media, Inc.

Greef, A. (2005). Resilience : Personal Skills for Effective Learning. UK : Crown House Publishing Ltd.

Grotberg, EH. (1999). Inner strength : How to find the resilience to deal with anything. California. New Harbinger Publications

Hamdani. 2014. Menumbuhkan Minat Membaca. (Online). Tersedia di

http://edukasi.kompasiana.com/2014/04/24/menumbuhkan-minat-membaca-650796.html. (4 Agustus 2014)

Hartini, N. (2001). Deskripsi Kebutuhan Psikologi pada Remaja Panti Asuhan. Insan, Media Psikologi. 3, (2), 109 -118.

Hasibuan, Ahmad. 2014. Islam dan Budaya Baca. (Online). Tersedia: http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=440.(4 Agustus 2014)

Heppner, Paul P., (1992). Research Design in Counseling. Belmont, California: Wadsworth, Inc.

Herlina. (2013). Bibliotherapy: Mengatasi Masalah remaja dan Anak Melalui Buku. Bandung: Pustaka Cendekia Press

Hurlock, Elizabeth. (1980). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga

Hutchinson,G.T., & Chapman,B.P. (2005). Logotherapy-Enhanced REBT: An Integration of Discovery and Reason. Journal of Contemporary Psychoterapy,35 (2), 145-155

Isaacson, B.(2002). Characteristics and Enhancement of Resiliency in Young

People : A Research Paper Tersedia

(30)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Karacan, Nurtein. (2009). The Efffect Of Self-Esteem Enrichment Bibliocounseling Program on The Self-Esteem Level of Sixth Grade Students. Tesis Universitas Timur tengah: Tidak Diterbitkan

Karina, Canggih. 2014. Resiliensi Remaja yang Memiliki orang Tua Bercerai. Jurnal Online Psikologi. (2).1.Tersedia di http://ejournal.umm.ac.id

Khamsul, Khotijul. 2010. Strategi Pengembangan dan Minat Membaca. Makalah pada Universitas Sumatera Utara: Tidak Diterbitkan.

Kramer, Karin.(2009). Using Self Help Bibliothreapy In Counselling. Fakultas Pendidikan Universitas Calgary: Tidak diterbitkan

Kristanti.(2013). Stres Pada Remaja Yang Tinggal Di Panti Asuhan. Jurnal Online Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Jurnal Online Psikologi. 1, (2), 53-75.

Fergusson, David & Horwood, Jhon. (2003). Resilience to Childhood Adversity: Result of 21 Year Study. : New Zealand: Cambridge University Press.

Lerner, R.M & Steinberg L. (2004). Handbook of Adolescent Psychology : Second Edition. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.

Linley,P.A, & Joseph, S. (2004). Positive Psychology In Prctice. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Luthans, F., Vogelgesang, G. R. & Lester, P. B. (2006) Human Resource Development Review : Developing the Psychological Capital of Resiliency. Retrieved March 15 2008 from SAGE Publications website Tersedia :www.sagepublications.com.(2 Desember 2013)

Maharani, Putri. (2009). Resiliensi pada Ibu yang Mengidap HIV/AIDS.Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya: Tidak Diterbitkan

Munawaroh, E. (2011). Program Bimbingan Belajar Untuk Meningkatkan Resiliensi Akademik Siswa Boarding School. Skripsi Pada Jurusan PPB UPI Bandung : Tidak diterbitkan.

Muro, J,J. & Kottman. (1995). Guidance and Counseling in The Ellementary and Middle School: A Practical Approach. Medison: Brown and Benchmark

(31)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Napitupulu, Cahya. (2014). Resiliensi Remaja Yatim Piatu di Panti Asuhan Mardi Siswi, Kalasan, Yogyakarta. Skripsi pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma: Tidak Diterbitkan

Neenan, Michael. (2009). Developing Resilience, A Cognitive Behavioral Approach. New York : Routledge

Nezu, Arthur. (2009). Problem Solving Training to Enhance Resilience. Drexel University, USA : Tidak Diterbitkan

Norman, Elaine. (2004). Resiliency Enhancement: Putting The Strengths Perspective Into Social Work Practice. USA : Columbia University Press

Padesky, Christine A. & Mooney Kathleen A. (2012). Strengths-Based Cocgnitive-behavioural Therapy: A Four-Step Model to Build Resiliency. California: Journal on Clinical Psychology and Psychotheraphy.19, 283-290.

Pearson, Mark. (2007). Using Counseling Exspresif Tools to Enhance Emotional Literacy, Emotional Wellbeing, and Resilience: Improving Therapeutik outcomes with Exspressive Therapies. Journal of Counseling, Psychotherapy, and Health. 4, (1), 1-19.

Peters, R.D, Leadbeater, Bonnie, dan McMahon, Robbert J. (2005). Resilience in Children, Families, and Communities Linking Context to Practice and Policy. New York: Kluwer Academic / Plenum Publishers

Pehrsson dkk. (2007). Bibliotherapy With Preadolescents Experiencing Divorce. The Family Journal. 409, (15), 23-37.

Pehrsson, D. E., & McMillen, P. (2007). Bibliotherapy: Overview and implications for counselors (ACAPCD-02). Alexandria, VA: American Counseling Association.

Pur, Ipek (2009). Chinematherapy For Alcohol Dependent Patient. A Thesis of Middle East Technical University. Tidak Diterbitkan.

Prater, M.A.,Johnstun,M.L.,Dyches,T.T.,Johnstun,.M.R. (2006). Using Children’s Books as Bibliotherapy fo At-Risk Students: A Guide for Teachers, dalam Preventing School Failure. Summer 2006, 50,4 Academic Research Library. Utah: Heldref Publication.

(32)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Reivich K dan Shatte, A. (2002). The Resilience factor: 7 essential skill’s for overcoming life’s inevitable obstacles. New York : Random House inc.

Republika. 2013. Angka Perceraian Meningkat Tajam. (online). Tersedia di

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/09/14/mt3zi3-wamenag-angka-perceraian-meningkat-tajam. (Diakses 15 Januari 2014).

Resnick B, Gwyther P, & Roberto A. (2011). Resilience In Aging : Concepts, Research, and Outcomes. New York :Springer

Santrock, Jhon W. (1998). Adolescence (7end.ed). washington. Washington DC, Mc Graw – Hill

Schoon, Ingrid. (2006). Risk and Resilience, Adaptation in Changing Times. New York : Cambridge University Press.

Setyowati, Raharjo. (2010). Keefektifan Konseling untuk Menurunkan Skor Penggunaan NAPZA di Klinik Rumatan Metadon: Tidak Diterbitkan.

Shechtman, Zipora. (2009). Treating Child and Adolescent Agression Through Bibliotherpy. Israel: Springer

Simbolon. (2010). Pengaruh Program Penguatan Keluarga Terhadap Sosial Ekonomi Warga Binaan SOS Desa Taruna Medan. Skripsi pada Universitas Sumatera Utara: Tidak diterbitkan.

Skeer mergie dkk. (2009). A prospective Study of Familial Conflict, Psychological Stress, and the Development of Substance Use Disorders In Adolescence. Journal Of Drug and Alcohol Dependence. 65, (30), 65-72.

Songprakun, Wallapa. (2009). Evaluation of a cognitive behavioural bibliotherapy self-help intervention program on the promotion of resilience in individuals with depression. Victoria University: Tidak Diterbitkan.

Subino. 1987. Konstruksi dan Analisis tes. Suatu Pengantar Teori Tes dan Pengukuran. Jakarta: Dikti

Suryabrata, Sumadi. (1994). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

(33)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Syaodih, Sukmadinata. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda Karya

Teglasi, Hedy.(2003). Bibliotherapy as a method of Treatmen. USA: Springer

Tempo.(2014). Kekerasan Pada Anak Diprediksi Meningkat.(Online). Tersedia: www.tempo.com. Diakses: 30 Januari 2014.

Tugade, M. M. & Fredrickson, B. L. (2004). Resilient Individuals Use Positive Emotions To Bounce Back From Negative Emotional Experiences. Journal of Personality and Social Psychology, 86, 320 – 333.

Youth Suicide prevention. (2010). Suicide Prevention Australia: Tidak Diterbitkan

Volia, Morenda Sitri. (2007). Gambaran Resiliensi Pada Remaja Korban Bencana Alam yang Berada di Rumah Anak Madani. Skripsi Pada Jurusan Psikologi Universitas Sumatera Utara: Tidak Diterbitkan.

Yusuf, Syamsu & Nurihsan, Juntika. (2006). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya.

(34)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

PROGRAM INTERVENSI BIBLIOCOUNSELING (MEMBACA BUKU,

MENONTON FILM, MENDENGARKAN CERITA) UNTUK

MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA

A. RASIONAL

Remaja melalui dua cara yang berbeda dalam melalui periode kedua dalam

hidupnya. Pertama remaja berhasil menjalani periode perkembangan ini tanpa

melalui masalah psikologi, sosial, atau kesehatan yang signifikan. Kedua, remaja

melalui periode ini dengan berbagai masalah, diantaranya adalah meningkatnya

masalah kesehatan mental, ancaman terhadap kesehatan fisik, depresi,

penyalahgunaan zat-zat terlarang, kekerasan seksual, kemiskinan, dan konflik

dalam keluarga (Lerner & Steinberg, 2004:263). Berbagai kendala atau peristiwa

kemalangan yang terjadi pada remaja disebut sebagai adversitas (Linley & Joseph,

2004: 5).

Adversitas mengacu pada pengalaman negatif yang memiliki potensi

mengganggu fungsi adaptif atau perkembangan. Pengalaman terhadap adversitas

terjadi karena rusaknya kapasitas adaptif individu dengan menurunnya sistem

adaptif perkembangan individu dengan konsekuensi yang permanen. Adversitas

bisa termasuk adversitas akut (bencana alam), kronis (dikucilkan), muncul dalam

lingkungan (konflik orang tua, kemiskinan, kekerasan), atau ada dalam diri

individu itu sendiri (penyakit), pada beberapa level, adversitas berpotensi

menggangu perkembangan dan adaptasi positif individu (Linley & Joseph, 2004:

5). Selain adversitas yang dijelaskan oleh Lerner & Steinberg (2004), adversitas

juga dapat berupa musibah, pengalaman buruk, peristiwa negatif, kejadian tidak

menyenangkan, kondisi sarat resiko (high risk), stressor yang dianggap berat dan

trauma.

Dampak negatif dari suatu adversitas atau kemalangan dapat membawa

remaja pada kerentanan terhadap berbagai perilaku malasuai. Hal tersebut dapat

diatasi apabila remaja memiliki kemampuan untuk mengelola dampak negatif dari

Gambar

Tabel 3. 1  Skema Penelitian Dengan Desain Latin Square
Tabel 3.2  Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja Aspek
Tabel 3. 3  Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja Aspek
Tabel 3. 4  Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja Aspek

Referensi

Dokumen terkait

Pencapaian terakhir dari pelatihan ini adalah ranah perilaku remaja mantan pecandu narkoba sebagai subjek penelitian, yaitu para remaja tersebut dapat menerapkan pengetahuan

HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT PADA PENGASUH DENGAN SELF-DISCLOSURE REMAJA DI PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK WISMA PUTRA BANDUNG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Pada bagian ini penulis membahas mengenai keterkaitan antara karakteristik khas yang dimiliki oleh remaja dengan perilaku konsumtif, serta bagaimana perilaku konsumtif

Tugas perkembangan remaja juga diungkapkan Hurlock (2002) diantaranya remaja harus memperoleh pedoman hidup yang dapat digunakan sebagai acuan dalam berperilaku yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara attachment pada pengasuh dengan self-disclosure remaja di Panti Sosial Asuhan Anak Wisma

56 Nusantara of Research, 81, 52-64 karakteristik subjek, yakni siswa MTsN Bahrul Ulum Jombang yang berada di pesantren, memiliki rentang skor 26-52 dengan klasifikasi memiliki

Pemberian sosialisasi ini ialah bentuk pengabdian kepada masyarakat dengan tujuan mengedukasi para remaja terkait faktor protektif dari resiliensi yang dimiliki remaja, sehingga dapat

Resiliensi merupakan kemampuan yang penting untuk dimiliki remaja, dikarenakan tanpa adanya resiliensi maka remaja akan kesulitan dalam menjalani hidup yang berakibat tidak bisa