1
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Penelitian
Remaja memiliki dua cara yang berbeda dalam melalui periode remaja.
Pertama remaja yang berhasil menjalani periode perkembangan ini tanpa melalui
masalah psikologis, sosial, atau kesehatan yang signifikan. Kedua, remaja melalui
periode ini dengan berbagai masalah, di antaranya adalah meningkatnya masalah
kesehatan mental, ancaman terhadap kesehatan fisik, depresi, penyalahgunaan
zat-zat terlarang, kekerasan seksual, kemiskinan, dan konflik dalam keluarga (Lerner
& Steinberg, 2004:263). Berbagai kendala atau peristiwa kemalangan yang terjadi
pada remaja disebut adversitas (Linley & Joseph, 2004: 5).
Adversitas mengacu pada pengalaman negatif yang memiliki potensi
mengganggu fungsi adaptif atau perkembangan. Pengalaman terhadap adversitas
terjadi karena rusaknya kapasitas adaptif individu dengan menurunnya sistem
adaptif perkembangan individu dengan konsekuensi yang permanen. Adversitas
bisa termasuk adversitas akut (bencana alam), kronis (dikucilkan), muncul dalam
lingkungan (konflik orang tua, kemiskinan, kekerasan), atau ada dalam diri
individu itu sendiri (penyakit), pada beberapa level, adversitas berpotensi
menggangu perkembangan dan adaptasi positif individu (Linley & Joseph, 2004:
5). Selain adversitas yang dijelaskan oleh Lerner & Steinberg (2004), adversitas
juga dapat berupa musibah, pengalaman buruk, peristiwa negatif, kejadian tidak
menyenangkan, kondisi sarat resiko (high risk), stressor yang dianggap berat dan
trauma.
Berkenaan dengan adversitas, ada individu yang mampu bertahan dan
pulih dari adversitas yang pernah dialaminya, namun ada pula individu yang gagal
karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Kemampuan
untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau bertahan ditengah
lingkungan dengan tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, hal
tersebut menunjukkan adanya kemampuan tertentu dalam diri individu yang
2
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit
kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Joseph (Isaacson, 2002)
menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan
diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul
dalam kehidupan. Asumsi mendasar dalam studi mengenai resiliensi adalah
bahwa beberapa individu tetap baik-baik saja meskipun telah mengalami situasi
yang sarat adversitas dan beresiko, sementara beberapa individu lainnya gagal
beradaptasi dan terperosok dalam adversitas atau resiko yang lebih berat lagi
(Schoon, 2006:9).
Berbagai hasil penelitian mengenai resiliensi mengungkapkan pentingnya
resiliensi dalam kehidupan. Penelitian yang dilakukan Reivich di Universitas
Pennsylvania selama kurang lebih dari 15 tahun menemukan bahwa resiliensi
memegang peranan yang penting dalam kehidupan, karena resiliensi merupakan
faktor esensial bagi kesuksesan dan kebahagiaan (Reivich and Shatte,2002:11).
Resiliensi yang menjadi program prevensi bagi anak-anak yang berada dalam
risiko depresi, dapat membantu mereka mengatasi pengaruh negatif dari konflik
keluarga dan rendahnya kohesi keluarga yang mereka alami sehari-hari. Dalam
penelitiannya, Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan pentingnya resiliensi
untuk mengatasi hambatan-hambatan pada masa kecil seperti keluarga yang
berantakan, kehilangan orang tua, kemiskinan, diabaikan secara emosional
ataupun siksaan fisik. Penelitian yang dilakukan oleh Setyowati (2010) mengenai
hubungan resiliensi dan kecerdasan emosional pada pengguna NAPZA
menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara resiliensi dan
kecerdasan emosional, semakin tinggi resiliensinya maka semakin tinggi pula
kecerdasan emosional yang dimiliki pengguna NAPZA.
Sehubungan dengan tingkat resiliensi remaja, beberapa penelitian
menunjukkan rendahnya resiliensi yang dimiliki oleh remaja yang memiliki
pengalaman terhadap adversitas. Hasil penelitian Karina (2014) mengenai profil
resiliensi remaja di kota Malang dengan orang tua bercerai menunjukkan bahwa
remaja dengan orang tua bercerai memiliki resiliensi yang rendah. Hasil penelitian
3
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
adversitas adalah penelitian yang dilaksanakan oleh Apostelina (2014). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui resiliensi pada remaja dengan adik penyandang
autis yang dilaksanakan di yayasan rumah cagar autis Bekasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa resiliensi remaja dengan adik autis berada pada level
medium atau sedang dilihat dari dua faktor yang mempengaruhi resiliensi yakni
faktor resiko (stressor, strain, distress) dan faktor protektif keluarga (relative and
friend support, social support, familly hardiness, and coping-coherence).
Hasil penelitian Napitupulu (2014) mengenai tingkat resiliensi remaja
panti asuhan menunjukkan bahwa remaja panti asuhan memiliki tingkat resiliensi
yang berbeda yang dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan keluarga subjek
penelitian. Penelitian ini juga menunjukkan pentingnya dukungan eksternal bagi
remaja yang tinggal di panti asuhan. Volia (2007) melaksanakan penelitian
mengenai resiliensi pada remaja korban bencana alam di rumah anak madani.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran resiliensi berada pada kategori
sedang. Ditinjau dari kemampuan-kemampuan dasar pengukurnya, sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte (2002) ditemukan bahwa klasifikasi
resiliensi pada remaja korban bencana alam di Rumah Anak Madani yang
tertinggi hingga terendah adalah Optimisme, self efficacy, reach out, empathy,
impulse control, causal analysis dan emotional regulation
Berdasarkan studi pendahuluan mengenai tingkat resiliensi pada remaja
PSAA Wisma Putra Ciumbuleuit Bandung dengan menggunakan skala resiliensi
terungkap bahwa mayoritas remaja PSAA Wisma Putra berada pada kategori
sedang yakni sebanyak 61%, selebihnya berada dalam kategori rendah sebanyak
11%, dan kategori tinggi sebesar 28%. Mayoritas remaja PSAA yang berada pada
kategori sedang menunjukkan bahwa resiliensi remaja PSAA masih belum
optimal sehingga perlu ditingkatkan lagi menjadi optimal. Resiliensi sangat
penting bagi remaja PSAA mengingat latar belakang remaja PSAA yang
mengalami berbagai macam adversitas atau kemalangan. Di antara adversitas
tersebut adalah kemiskinan, ditelantarkan, dan ditinggalkan oleh orang tua. Resiko
4
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
rentan baik terhadap pencapaian tugas-tugas perkembangannya atau berbagai
perilaku maladaptif.
Profil resiliensi remaja PSAA Wisma Putra berdasarkan gender terungkap
bahwa tingkat resiliensi pada remaja laki-laki berada pada 2 kategori, kategori
resiliensi rendah sebanyak 28,6% dan kategori sedang sebanyak 71,4%. Tidak ada
remaja laki-laki PSAA Wisma Putra yang berada pada kategori resiliensi tinggi.
Pada remaja perempuan, 14,3% berada pada kategori resiliensi rendah, 42,9 %
berada pada kategori sedang, dan 42,9% berada pada kategori tinggi. Jumlah
sampel remaja perempuan lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah sampel
remaja laki-laki. Remaja perempuan memiliki kategori resiliensi yang lebih
bervariasi dibanding dengan resiliensi pada remaja laki-laki. Resiliensi pada
remaja perempuan tersebar dalam 3 kategori yakni rendah, sedang, dan tinggi,
dengan presentase terbesar pada kategori sedang. Tetapi remaja laki-laki hanya
berada pada dua kategori resiliensi, yakni rendah dan sedang.
Beberapa laporan hasil survey menjelaskan bahwa rendahnya resiliensi
berhubungan dengan kerentanan remaja terhadap penggunaan obat terlarang, dan
berbagai bentuk kenakalan remaja. Sebuah penelitian dilakukan oleh Skeer
Margie et al (2009) mengenai penyalahgunaan zat-zat kimia oleh remaja.
Penelitian tersebut melibatkan 1421 responden dengan rentang usia 12 sampai 22
tahun yang terlibat dalam Project of Human Development di Chicago selama
tahun 1994-2001. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa rendahnya resliensi
berkorelasi signifikan dengan resiko penyalahgunaan zat-zat kimia selama masa
remaja. Anak-anak yang hidup dalam keluarga dengan tingkat konflik yang lebih
tinggi memiliki resiko menjadi pengguna zat-zat kimia pada masa remaja dan
dewasanya kelak.
Youth Suicide prevention (2010) yang merupakan sebuah lembaga
pencegahan bunuh diri di Australia menjelaskan beberapa faktor penyebab bunuh
diri pada remaja Australia. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah penyakit
mental, penyalahgunaan zat-zat kimia, kemalangan pada masa anak-anak,
bullying, kemiskinan, dan rendahnya resiliensi remaja. Kemalangan pada
5
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
terhadap tingginya tindakan percobaan bunuh diri. Di Queensland, 34 % remaja
dan anak-anak yang melakukan bunuh diri mengindikasikan kemungkinan
mengalami adversitas. Diantaranya adalah bullying, penyiksaan fisik, kekerasan
seksual, dan kekerasan dalam keluarga. Faktor lain yang mendukung terhadap
bunuh diri remaja Australia adalah ditelantarkan, kesendirian, kesepian, dan
rendahnya harga diri
Berdasarkan berbagai penelitian empiris yang menyatakan pentingnya
resiliensi bagi optimalisasi perkembangan remaja tetapi secara faktual remaja
yang mengalami adversitas memiliki resiliensi yang rendah, maka diperlukan
sebuah metode yang dapat meningkatkan resiliensi remaja.
B.Identifikasi dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Resiliensi merupakan faktor yang sangat penting dalam pencapaian
tugas-tugas perkembangan remaja. Rendahnya resiliensi pada remaja haruslah
dihadapi serius oleh berbagai kalangan, karena menurut Schoon (2006:5)
rendahnya resiliensi dapat membawa pada resiko, remaja beresiko (at risk
adolescence) biasanya menjadi remaja yang rentan (vulnerable adolescence)
dan remaja yang rentan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menjadi
remaja yang bermasalah (troubled adolescence). Resiliensi dipandang oleh
para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa
yang traumatis (Adversitas). Joseph (Isaacson, 2002) menyatakan bahwa
resiliensi adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi
terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan.
Rhodes dan Brown ( Isaacson, 2002) juga menyatakan bahwa anak-anak
yang resilien adalah mereka yang mampu memanipulasi dan membentuk
lingkungannya, menghadapi tekanan hidup dengan baik, cepat beradaptasi pada
situasi baru, mempersepsikan apa yang sedang terjadi dengan jelas, fleksibel
dalam berperilaku, lebih toleran dalam menghadapi frustasi dan kecemasan,
serta meminta bantuan saat mereka membutuhkannya. Sementara itu, Werner
6
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
untuk secara efektif menghadapi stres internal berupa kelemahan-kelemahan
mereka maupun stres eksternal (misalnya penyakit, kehilangan, atau masalah
dengan keluarga). Demikian pula Hetherington dan Blechman ( Isaacson,
2002) menyatakan bahwa orang yang resilien menunjukkan kemampuan
adaptasi yang lebih dari cukup ketika rnenghadapi kesulitan.
Terdapat beberapa pendekatan dan metode yang digunakan yang telah
terbukti dapat meningkatkan resiliensi. Seperti George Spivack dan Shur yang
menggunakan Interpersonal Cognitive Problem Solving (ICPS) untuk
membantu individu mengatasi tekanan, frustasi, dan kegagalan dalam hidup
(Goldstein & Brooks, 2005: 373). Contoh bagaimana pendekatan problem
solving dapat membantu penyesuaian anak dan perkembangan resiliensi yang
berada dalam resiko tinggi dilakukan dengan membuat ilustrasi perilaku
beresiko tinggi di kelas seperti impulsitas setiap hari. Anak-anak yang
memiliki kemampuan problem solving yang baik akan mengembangkan
keterampilan interpersonal yang efektif, seperti punya banyak teman dan
memiliki kadar frustasi yang lebih rendah. Anak-anak yang dapat
merencanakan tindakannya yang positif memiliki kemampuan yang lebih baik
untuk mengontrol kehidupannya daripada membiarkan orang lain mengatur
kehidupannya. Pada awal tahun 1970an, Shur dan Spivack memulai intervensi
keterampilan ICPS yang sistematik dengan anak usia 4 tahun.
Pendekatan ini mengajarkan anak bagaimana memikirkan cara yang akan
mengatasi masalah sehari-hari. Pelatihannya berisi permainan dan dialog,
didalamnya termasuk keterampilan berbahasa, kata-kata yang mengungkapkan
perasaan, dan keterampilan alternatif solusi. Dalam 3 bulan pelatihan,
anak-anak mampu menurunkan impulsitas dalam menghadapi frustasi dan
peningkatan kesabaran. Secara sosial, anak-anak yang menarik diri dapat lebih
terbuka, lebih mampu mengungapkan perasaannya, dan mampu menurunkan
ketakutan pada anak-anak (Goldstein & Brooks, 2005: 380).
Pearson (2007) menggunakan konseling ekspresif untuk meningkatkan
reiliensi remaja di Australia. Konseling ekspresif merupakan konseling yang
7
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
resiliensi yang dikembangkan dengan menggunakan konseling ekspresif adalah
fungsi kognitif dan emosional, resolusi konflik, dan kemampuan mereduksi
stres pada individu. Teknik ini mampu meningkatkan resiliensi remaja di
Australia karena mampu mengeksplorasi nilai-nilai positif dalam diri konseli,
mengembangkan kesadaran dan kepedulian terhadap orang lain, meningkatkan
kemampuan intrapersonal, mengembangkan image baru mengenai diri, dan
membantu konseli dalam mengaktifkan imaginasi dan pilihan dalam membuat
keputusan.
Dari sekian banyak teori dan pendekatan konseling atau psikoterapi salah
satu teori atau pendekatan yang dianggap sesuai untuk meningkatkan resiliensi
adalah pendekatan kognitif melalui teknik bibliocounseling. Bibliocounseling
menggunakan pikiran rasional untuk mengubah individu menjadi agen aktif
lingkungan yang mampu menghadapi kesulitan hidup dan berbagai peristiwa
adversitas. Berpikir rasional berarti berpikir ilmiah, jelas dan fleksibel yang
dapat membantu pencapaian tujuan hidup, proses berpikir rasional juga dapat
membawa pada peningkatan resiliensi diri, determinasi diri dan kompetensi
diri. Teknik ini dapat digunakan terhadap konseli dengan isu yang
bermacam-macam, diantaranya adalah konseli dengan penyakit tertentu, kematian
keluarga dekat, perilaku merusak diri sendiri, hubungan keluarga, krisis
identitas, kekerasan etnis dan kekerasan seksual, berbagai isu gender, siswa
dengan kecemasan terhadap pelajaran matematika, isu body image,
penyimpangan seksual, dan remaja dengan orang tua bercerai (Bradley, 2010).
Penelitian mengenai efektivitas bibliocounseling dalam meningkatkan
resiliensi dilakukan oleh Songprakun (2009). Penelitian ini melibatkan 56
partisipan yang didiagnosis mengalami depresi di Thailand. Kelompok
treatmen diberikan intervensi bibiliocounseling, sedangkan kelompok kontrol
diberikan treatmen dan perawatan standar. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol dalam tingkat resiliensinya.
Penemuan ini memberikan bukti bahwa bibliocounseling efektif dalam
8
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Bibliocounseling merupakan salah satu intervensi yang jelas dan sangat mudah
untuk diakses dalam meningkatkan pemulihan individu dan meningkatkan
resiliensi. Penelitian bibliocounseling terdahulu lebih fokus pada membantu
remaja yang memiliki masalah orang tua bercerai, bunuh diri, dan orang tua
yang pecandu alkohol. Perkembangan terbaru bibliocounseling lebih fokus
pada meningkatkan keterampilan sosial, perilaku yang positif dan efektif, serta
meningkatkan kemampuan remaja untuk mengatasi masalah (Karacan, 2009:
24).
Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa bibliocounseling merupakan salah
satu teknik yang terbukti efektif dalam meningkatkan resiliensi.
Bibliocounseling adalah salah satu teknik dalam konseling yang berasal dari
rumpun cognitif behavioral therapy yang melibatkan berbagai metode dalam
proses konseling. Metode yang dimaksud diantaranya adalah membaca buku,
mendengarkan cerita dan menonton film. Pemilihan bibliocounseling untuk
meningkatkan resiliensi remaja berdasarkan latar belakang bibliocounseling
yang seringkali digunakan dalam mengatasi masalah yang berhubungan dengan
persitiwa trauma atau masalah pengalaman terhadap peristiwa yang tidak
menyenangkan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, terlihat pentingnya resiliensi bagi
remaja yang memiliki pengalaman adversitas karena dampak rendahnya
resiliensi yang akan menempatkan remaja pada posisi at risk adolescence.
Sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini adalah dibutuhkannya
penanganan yang tepat bagi remaja dengan resiliensi yang rendah. Berdasarkan
rumusan masalah, maka pertanyaan penelitan dalam tesis ini adalah:
a. Bagaimana efektivitas teknik bibliocounseling dalam meningkatkan
resiliensi remaja PSAA Wisma Putra?
b. Teknik bibliocounseling apa (membaca buku, menonton film, dan
mendengarkan cerita) yang paling efektif dalam meningkatkan resiliensi
9
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
C.Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah:
1. Memperoleh gambaran empirik mengenai efektivitas bibliocounseling
dalam meningkatkan resiliensi remaja PSAA Wisma Putra
2. Memperoleh gambaran empirik mengenai teknik bibliocounseling
(membaca buku, menonton film, mendengarkan cerita) yang paling efektif
dalam meningkatkan resiliensi remaja PSAA Wisma Putra.
D.Manfaat penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, di antaranya
adalah siswa atau remaja Panti Asuhan, pengurus Panti Asuhan, Guru bimbingan
dan konseling serta para peneliti.
1. Siswa Panti Asuhan
Manfaat penelitian “Efektivitas bibliocounseling untuk Meningkatkan
Resiliensi Remaja” bagi remaja Panti Asuhan di antaranya adalah siswa Panti
Asuhan mendapatkan sebuah layanan yang dapat mengakomodasi dan
memenuhi kebutuhan kesehatan psikologis para remaja di Panti Asuhan.
Penelitian ini akan menjembatani pengungkapan berbagai masalah
perkembangan yang dialami oleh remaja Panti Asuhan mengingat
bibliocounseling yang secara natural tidak hanya mampu meningkatkan
resiliensi saja tetapi juga aspek-aspek yang mendukung optimaslisasi
perkembangan remaja Panti Asuhan lainnya.
2. Pengurus Panti Asuhan
Penelitian ini dapat menghasilkan sebuah alternatif layanan bagi pengurus
Panti Asuhan dalam menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi
siswanya terutama masalah yang berkaitan dengan karakteristik remaja Panti
Asuhan seperti trauma. Dengan penggunaan media yang mudah didapatkan dan
langkah-langkah teknik yang jelas akan sangat mempermudah pengurus Panti
Asuhan dalam melaksanakan teknik ini.
10
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Guru bimbingan dan konseling atau konselor disekolah dapat memanfaatkan
hasil studi untuk menambah pengetahuan dan keterampilan terkait berbagai
teori dan pendekatan dalam konseling, sebagai referensi dalam melaksanakan
layanan responsif terkait dengan peningkatan resiliensi. Mengingat remaja
Panti Asuhan adalah siswa di sekolah menengah pertama dan sekolah
menengah atas.
4. Penelitian Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi
terkait resiliensi dan bibliocounseling sebagai salah satu teknik bagi
peningkatan resiliensi remaja panti asuhan.
E.Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis adalah sebagai berikut:
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB II BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN
RESILIENSI REMAJA
BAB III METODE PENELITIAN
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
11
Eem Munawaroh, 2014
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Bab tiga menjelaskan metodologi penelitian yang terdiri atas pendekatan
penelitian, metode penelitian, lokasi dan subjek penelitian, definisi operasional
variabel, pengembangan instrumen penelitian, teknik analisis data, dan prosedur
penelitian.
A.Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif. Pemilihan pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui
teknik bibliocounseling mana yang paling efektif dalam meningkatkan
resiliensi remaja Panti Asuhan. Creswell (2012:13) menyatakan bahwa
penggunaan pendekatan kuantitatif haruslah terlebih dahulu memenuhi
langkah-langkah yang disyaratkan dalam pendekatan ini, diantaranya adalah:
1. Penjelasan mengenai masalah penelitian melalui deskripsi tren atau
kebutuhan hubungan antara variabel.
2. Penjelasan mengenai tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, dan hipotesis
yang spesifik, tajam, terukur dan dapat diobservasi.
3. Pengumpulan data menggunakan instrumen yang sesuai
4. Mengenalisis kecenderungan hasil penelitian dengan menghubungkan
variabel penelitian menggunakan data statistik dan menginterpretasi
hasilnya serta membandingkan dengan penelitian terdahulu dan prediksi
awal (hipotesis).
B.Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen
dengan menggunakan desain Latin-Square jenis within-subject (Heppner,
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
meningkatkan resiliensi siswa Panti Asuhan disajikan secara seimbang dengan
frekuensi yang sama.
Tabel 3. 1
Skema Penelitian Dengan Desain Latin Square
KELOMPOK ASPEK
I HAVE I AM I CAN
A Membaca Buku Story telling Menonton film B Menonton Film Membaca Buku Story telling
C Story telling Menonton film Membaca buku
C.Populasi dan Sampel Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Wisma
Putra Bandung yang beralamat di Jalan Ciumbuleuit No. 105 RT 006 RW 02,
Ciumbuleuit, Cidadap, Bandung, Jawa Barat yang melibatkan 21 remaja PSAA
Wisma Putra sebagai subjek penelitian dan diberikan intervensi
bibliocounseling yakni membaca buku, mendengarkan cerita dan menonton
film.
Pemilihan populasi penelitian remaja PSAA Wisma Putra Bandung
berdasarkan pertimbangan berikut ini:
1. Remaja merupakan salah satu periode dalam perkembangan yang dianggap
sangat penting dan berpengaruh besar terhadap perkembangan individu.
Masa remaja adalah periode transisi atau perubahan dari masa kanak- kanak
ke masa dewasa. Masalah yang terkait dengan periode transisi ini
diantaranya masalah pribadi, sosial, dan munculnya berbagai perilaku
maladaptif atau salah suai.
2. Remaja merupakan periode setelah masa kanak-kanak yang masih memiliki
banyak kesempatan untuk mengembangkan kapasitas resiliensinya dalam
rangka persiapan menghadapi tantangan hidup di masa depan.
3. Remaja PSAA (Panti Sosial Asuhan Anak) merupakan remaja dengan latar
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
kemiskinan, kehilangan orang tua, dan ditelantarkan. Remaja PSAA dengan
adversitas adalah karakteristik sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian
ini.
4. Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Wisma Putra merupakan salah satu panti
sosial dengan salah satu kategori siswanya adalah remaja. PSAA Wisma
Putra memberikan kesempatan kepada para akademisi dan praktisi untuk
mengembangkan keilmuan dan membantu siswa PSAA Wisma Putra untuk
mendapatkan keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkannya.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan random
sampling, yaitu strategi pemilihan sampel yang memberikan kesempatan
kepada semua remaja PSAA Wisma Putra untuk menjadi sampel
(Creswell,2012:208).
D.Definisi Operasional Variabel
Berdasarkan identifikasi masalah, penelitian ini memiliki dua variabel,
yakni 1) Variabel bebas, yaitu teknik bibliocounseling. 2) variabel terikat, yaitu
resiliensi remaja Panti Asuhan. Variabel bebas (independent variable)
berfungsi sebagai strategi fasilitasi pengembangan resiliensi, sedangkan
variabel terikat berfungsi sebagai perilaku sasaran.
Berikut penjelasan definisi operasional kedua variabel tersebut:
1. Resiliensi Remaja
Resiliensi remaja dalam penelitian ini merupakan kapasitas internal
yang dimiliki remaja PSAA Wisma Putra Bandung yang berfungsi untuk
mencegah, menghadapi dan meminimalisir dampak negatif dari adversitas
atau kondisi yang tidak menyenangkan yang terjadi dalam hidup remaja,
kapasitas yang dimaksud adalah:
a. I have, yakni faktor pembentuk resiliensi yang menggambarkan
dukungan eksternal dalam meningkatkan resiliensi.
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
c. I can, yakni kemampuan yang dimiliki Remaja PSAA Wisma Putra
untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi
dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai setingan
kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur
tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat membutuhkannya.
2. Bibliocounseling
Bibliocounseling yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
serangkaian kegiatan pemberian bantuan dari konselor atau peneliti kepada
konseli atau remaja PSAA Wisma Putra Bandung. Bantuan yang diberikan
melibatkan 3 teknik bibliocounseling yakni membaca buku, mendengarkan
cerita, dan menonton film yang diberikan dalam setingan kelompok. Membaca
buku dalam penelitian ini adalah kegiatan memahami bacaan dalam bentuk
novel (Sepatu Dahlan, Surat Kecil untuk Tuhan, dan Ibuk) dengan
mengobservasi kisah, alur cerita, peristiwa, dan karakteristik tokoh, dan
nilai-nilai yang terkandung dalam novel tersebut yang dilanjutkan dengan sesi
konseling kelompok. Menonton film dalam penelitian ini adalah kegiatan
memahami isi film (Laskar Pelangi) dengan mengobservasi kisah, alur cerita,
peristiwa, karakteristik tokoh, dan nilai-nilai dalam film tersebut yang
dilanjutkan dengan sesi konseling kelompok. Mendengarkan cerita dalam
penelitian ini adalah kegiatan memahami sebuah cerita (Pahlawan itu Bernama
Putri Herlina) dengan mengobservasi kisah, alur cerita, peristiwa, karakteristik
tokoh, dan nilai-nilai yang ada dalam cerita tersebut yang dilanjutkan dengan
sesi konseling kelompok.
E.Instrumen Penelitian
1. Jenis Instrumen
Instrumen merupakan alat bantu yang digunakan peneliti dalam
mengumpulkan data agar pengumpulan data berlangsung secara sistematis dan
mendapatkan informasi kuantitatif tentang variasi karakteristik variabel secara
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
instrumen resiliensi yang dibagi ke dalam 3 buah instrumen yang
masing-masing mengungkap aspek resiliensi, yakni instrumen yang mengungkap I
have, Instrumen yang mengungkap I am, dan Instrumen yang mengungkap I
can. Ketiga instrumen tersebut menggunakan skala likert dengan pilihan
jawaban partisipan dimulai dari Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju
(TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS) dengan bobot nilai secara berurutan
,4,3,2,1. Alasan penggunaan instrumen dengan skala likert adalah karena skala
likert mampu mengungkap tingkat resiliensi secara lebih terperinci dan jelas
mengenai resiliensi remaja PSAA Wisma Putra Bandung. Penggunaan pilihan
jawaban partisipan 4-1 dimaksudkan untuk mengungkap jawaban yang lebih
tegas dari partisipan dengan menghilangkan pilihan jawaban yang ragu-ragu.
2. Pengembangan Kisi-Kisi Instrumen
Instrumen dikembangkan dari definisi operasional variabel penelitian
yakni aspek I have, I am, dan I can. Masing-masing aspek dibagi lagi ke dalam
beberapa indikator dan selanjutnya dijabarkan dalam bentuk pernyataan item
instrumen. Berikut disajikan kisi-kisi instrumen skala resiliensi remaja
Tabel 3.2
Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja Aspek I have
Indikator Sub indikator No Item Jumlah
Memiliki kepercayaan terhadap hubungan
Remaja Panti Asuhan memiliki kepercayaan terhadap hubungan dengan keluarga dekat
1,2,3 3
Remaja Panti Asuhan memiliki kepercayaan terhadap hubungan dengan guru atau pengasuh
4,5,6 3
Remaja Panti Asuhan memiliki kepercayaan terhadap hubungan dengan teman
7,8,9 3
Memiliki struktur dan aturan di Panti Asuhan
Remaja penti asuhan mengetahui dan memahami struktur Panti Asuhan
10,11,12, 3
Remaja Panti Asuhan memahami punishment sebagai bagian dari pelanggaran terhadap aturan
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Remaja Panti Asuhan memahami reward sebagai bagian dari kepatuhan
16,17,18 3
Memiliki role model
Remaja Panti Asuhan memiliki role model atau seseorang yang dijadikan teladan dalam hidupnya
19,20,21, 22
4
Remaja Panti Asuhan memiliki role model atau seseorang yang dijadikan teladan dalam hidupnya di sekitar Panti Asuhan
23,24,25 3
Memiliki dorongan untuk mandiri
Remaja Panti Asuhan memiliki motivasi untuk menjadi individu yang mandiri
26,27 2
Remaja Panti Asuhan memiliki akses terhadap kesejahteraan
Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja Aspek I am
Indikator Sub indikator No Item Jumlah
Perasaan dicintai
Remaja Panti Asuhan merasa dicintai dan disukai oleh orang disekitarnya
1,2,3 3
Remaja Panti Asuhan memiliki perasaan sensitif terhadap perasaan orang lain
4,5,6,7,8 5
Remaja Panti Asuhan mengetahui apa yang diharapkan orang lain darinya.
9,10,11,12 4
Mencintai, empati, dan altruis
Remaja Panti Asuhan memiliki perasaan mencintai terhadap orang lain
13,14 2
Remaja Panti Asuhan memiliki perasaan empati terhadap orang lain
15,16,17,18 4
Remaja Panti Asuhan memiliki perasaan altruis terhadap orang lain
19,20,21 3
Memiliki kebanggaan pada diri sendiri
Remaja Panti Asuhan merasa dirinya penting dan berharga bagi orang lain
22,23,24,25 4
Remaja Panti Asuhan memiliki kebanggaan terhadap apa yang dapat dia lakukan dan capai
26,27,28, 3
Remaja Panti Asuhan tidak membiarkan dirinya direndahkan oleh orang lain.
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Remaja Panti Asuhan menunjukkan kepercayaan diri dan harga diri yang tinggi hal dengan caranya sendiri
35,36,37 3
Remaja Panti Asuhan mampu menerima konsekuensi dari perilakunya.
38,39 2
Remaja Panti Asuhan memahami keterbatasan yang dimilikinya dalam menghadapi satu peristiwa akan kehidupan yang lebih baik
44,45,46,47 4
Remaja Panti Asuhan memiliki kepercayaan dan keyakinan akan kuasa tuhan
48,49,50,51,52 5
Tabel 3. 4
Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja Aspek I can
Indikator Sub indikator No Item Jumlah
Kemampuan komunikasi
Remaja Panti Asuhan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya terhadap orang lain
1,2,3,4 4
Remaja Panti Asuhan mampu menjadi pendengar yang baik bagi orang lain
5,6 2
Remaja Panti Asuhan mampu menunjukkan kepedulian terhadap perasaan orang lain
7,8 2
Kemampuan pemecahan masalah
Remaja Panti Asuhan dapat menilai berat atau ringan masalah yang dihadapi
9,10,11,12 4
Remaja Panti Asuhan dapat menilai kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi masalah
13,14,15 3
Remaja Panti Asuhan mengetahui saat yang tepat untuk meminta bantuan orang lain dalam pemecahan masalah
16,17,18 3
Remaja Panti Asuhan memiliki kemampuan untuk meminta bantuan orang lain dalam pemecahan masalah
19,20,21 3
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
solusi yang kreatif dari permasalahan yang dihadapinya
Remaja Panti Asuhanmemiliki ketahanan dalam mengatasi masalah yang dimilikinya
24,25 2
Remaja Panti Asuhan dapat mengidentifikasi (menamai) perasaannya ketika menghadapi masalah atau peristiwa tidak menyenangkan
26 1
Remaja Panti Asuhan mampu mengekspresikan emosinya dalam kata-kata dan perilaku yang tepat dan tidak mengganggu hak orang lain
27,28,2930 4
Remaja Panti Asuhan mampu mengelola dorongan untuk tidak berperilaku dalam cara yang berbahaya dalam menghadapi masalah/peristiwa (memukul, lari, merusak, dan lain-lain )
Remaja Panti Asuhan mengetahui tempramen dirinya dan orang lain
34,35 2
Remaja Panti Asuhan mengetahui seberapa cepat dapat bertindak dalam menghadapi situasi atau masalah
36,37,38 3
Remaja Panti Asuhan mengetahui seberapa banyak masalah yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu
Remaja Panti Asuhan memiliki seseorang yang dapat dipercaya (guru, teman, pengasuh, orang dewasa lainnya)
41,42,43 3
Remaja Panti Asuhan memiliki seseorang yang dapat dimintai bantuan (guru, teman, pengasuh, orang dewasa lainnya)
44,45,46 3
Remaja Panti Asuhan memiliki seseorang yang dapat dijadikan tempat untuk berbagi perasaan, (guru, teman, pengasuh, orang dewasa lainnya)
47,48,49 3
Remaja Panti Asuhan memiliki seseorang yang dapat dimintai bantuan untuk mengeksplorasi cara mengatasi masalah personal dan interpersonal (guru, teman, pengasuh, orang dewasa lainnya)
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
3. Uji Coba Instrumen
a. Uji Kelayakan
Uji kelayakan instrumen dilakukan untuk melihat kesesuaian antara
konstruk, konten/isi, dan redaksi instrumen dengan landasan teoritis,
ketepatan bahasa, dan karakteristik subjek yang menjadi responden atau
yang lebih dikenal dengan penimbangan (judgement) instrumen.
Judgement dapat juga berfungsi sebagai uji validitas internal instrumen.
Ketiga instrumen tersebut masing instrumen aspek I have memiliki 6
indikator dengan 38 butir pernyataan instrumen, instrumen aspek I am
memiliki 5 indikator dengan 51 butir pernyataan, dan instrumen aspek I
can memiliki 5 indikator dengan 52 butir pernyataan.
Penimbangan (judgment) dilakukan terhadap dua orang pakar
bimbingan dan konseling dan satu orang pakar assessmen psikologis,
yaitu Dr. Nurhudaya M,Pd (4 april 2014), Dr. Suherman M,Pd (29 April
2014) dan satu orang praktisi Panti AsuhanFauzi S,Sos, (29 April 2014).
Berdasarkan hasil judgment, terdapat beberapa indikator yang ambigu,
pernyataan instrumen yang tidak sesuai dengan indikator yang dimaksud,
serta jumlah pernyataan yang tidak seimbang. Berdasarkan penimbangan
instrumen penelitian, masing-masing pernyataan dikelompokkan dalam
kualifikasi memadai (M) atau tidak memadai (TM). Kategori antara
memadai atau tidak memadai sebuah instrumen dilihat dari konstruk
instrumen, konten/isi instrumen, dan redaksi instrumen tersebut.
Pernyataan yang berkualifikasi memadai (M) dapat langsung digunakan
sebagai butir item dalam instrumen penelitian sementara pernyataan yang
berkualifikasi tidak memadai (TM) perlu direvisi dan diperbaiki.
b. Uji Keterbacaan
Uji keterbacaan dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana
instrumen dapat difahami oleh responden. Melalui uji keterbacaan ini
dapat diketahui kata-kata yang kurang dipahami serta kalimat yang rancu
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
disederhanakan tanpa mengubah maksud dari pernyataan tersebut. Uji
keterbacaan instrumen dilakukan 3 orang remaja Panti Asuhan PSAA
Wisma Putra yang bukan merupakan sampel penelitian. Setelah
dilakukan uji keterbacaan, butir pernyataan instrumen yang kurang jelas
diperbaiki sesuai kebutuhan sehingga dapat dimengerti oleh responden
usia remaja baru kemudian dilakukan uji validitas butir pernyataan dan
uji reliabilitas instrumen.
c. Uji Validitas Butir Instrumen
Instrumen yang valid adalah alat ukur yang digunakan untuk
mendapatkan data yang valid dan dapat digunakan untuk mengukur apa
yang hendak diukur. Semakin tinggi nilai validitas, semakin valid
instrumen tersebut digunakan di lapangan. Uji coba instrumen penelitian
dilaksanakan terhadap siswa yang bukan subjek penelitian sebenarnya,
namun memiliki karakteristik yang relatif sama dengan subjek penelitian
yang sebenarnya. Untuk keperluan uji coba instrumen penelitian, diambil
responden sebanyak 30 orang siswa panti dari usia remaja Langkah uji
validitas butir pernyataan dilakukan dengan menggunakan teknik
pengolahan statistik yakni korelasi spearmen. Penghitungan validitas
butir pernyataan dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 18.0
for windows.
Berdasarkan hasil penghitungan, terdapat butir item pernyataan
yang tidak valid. Untuk instrumen I have yang awalnya berjumlah 38
butir item menjadi 30 butir pernyataan, instrumen I am yang awalnya
jumlahnya 52 menjadi 45 item valid, Instrumen I can yang awalnya
berjumlah 52 menjadi 39 item valid.
d. Uji Reliabilitas Instrumen
Suatu instrumen memiliki tingkat reliabilitas yang memadai apabila
digunakan mengukur aspek yang hendak diukur beberapa kali hasilnya
sama atau relatif sama. Instrumen yang dapat dipercaya akan
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
dengan tingkat keajegan atau ketetapan hasil pengukuran (Syaodih,
2005). Reliabilitas instrumen secara operasional dinyatakan sebagai
koefisien korelasi (r) (Suryabrata, 1999:41). Untuk mengetahui tingkat
reliabilitas instrumen dilakukan pengujian dengan menggunakan rumus Cronbach’s Alpha(α).
Proses pengujian reliabilitas instrumen ini dilakukan secara statistik
memakai bantuan perangkat lunak SPSS 18.0 for windows. Guilford
(1954; dalam Furqon, 1999) menyatakan harga reliabilitas berkisar antara
-1 sampai dengan +1, harga reliabilitas yang diperoleh berada di antara
rentangan tersebut. Semakin tinggi harga reliabilitas instrumen maka
semakin kecil kesalahan yang terjadi, semakin rendah harga reliabilitas
instrumen maka semakin besar kesalahan yang terjadi. Sebagai tolak
ukur koefisien reliabilitasnya, digunakan kriteria dari Guilford (Subino,
1987), yaitu:
< 0,20 : Derajat keterandalannya sangat rendah
0,21 - 0,40 : Derajat keterandalannya rendah
0,41 – 0,70 : Derajat keterandalannya sedang
0,71 – 0,90 : Derajat keterandalannya tinggi
0,91 – 1,00 : Derajat keterandalannya sangat tinggi
Berdasarkan uji reliabilitas instrumen, maka reliabilitas
masing-masing instrumen dari mulai 1 have, I am dan I can berturut-turut 0,79,
0,81, dan 0,75 yang semuanya berada dalam kategori tinggi (hasil
terlampir).
F. Prosedur Penelitian
Prosedur dalam penelitian ini meliputi tiga tahap, yakni persiapan
penelitian, pelaksanaan penelitian, dan pembuatan laporan penelitian.
Persiapan penelitian meliputi pembuatan instrumen resiliensi remaja yang
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
penyusunan program intervensi bibliocounseling untuk meningkatkan resiliensi
remaja. Pada tahap pelaksanaan, peneliti melaksanakan intervensi yang
meliputi pre test, pelaksanaan intervensi bibliocounseling (membaca buku,
mendengarkan cerita, menonton film) dan post test. Pada tahap terakhir yakni
pembuatan laporan penelitian, peneliti melaporkan setiap tahapan penelitian
dari mulai persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan hasil penelitian
dalam bentuk karya ilmiah (tesis).
G.Teknik Analisis Data penelitian
Untuk mengetahui efektivitas setiap sesi intervensi yakni efektivitas
teknik tertentu pada aspek resiliensi tertentu maka digunakanlah uji t
berpasangan (paired t-test). Untuk mengetahui adanya perbedaan pengaruh tiap
teknik terhadap aspek resiliensi maka digunakanlah analisis statistik one way
anova, dan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh setiap teknik terhadap
aspek resiliensi maka digunakan uji post hoc. Teknik analisis data dilakukan
dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Statistical Product and Service
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pada bab lima dijelaskan mengenai kesimpulan dan rekomendasi.
Kesimpulan merupakan kombinasi dari temuan empiris dan kajian pustaka.
Sementara rekomendasi difokuskan pada upaya untuk mensosialisasikan dan
mengaplikasikan hasil penelitian serta pengembangan keilmuan dari hasil
penelitian yang telah dilaksanakan.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, teknik membaca buku memiliki skor
rata-rata yang lebih tinggi dalam meningkatkan ketiga aspek resiliensi diikuti dengan
teknik menonton film dan mendengarkan cerita. Aspek resiliensi yang memiliki
rata-rata tertinggi adalah aspek aspek I can dengan indikator kemampuan
berkomunikasi secara interpersonal maupun intrapersonal, kemampuan problem
solving, kemampuan mengelola perasaan dan rangsangan, kemampuan
mengetahui emosi diri dan orang lain, kemampuan untuk menjalin hubungan
yang dapat dipercaya, diikuti oleh aspek I am dengan indikator perasaan dicintai,
mencintai, altruis, memiliki kebanggaan pada diri sendiri, memiliki harapan dan
tanggung jawab, memiliki kepercayaan, harapan dan keyakinan kepada tuhan, dan
yang terakhir adalah aspek I have dengan indikator memiliki hubungan yang
terpercaya, memiliki role model, memiliki struktur dan aturan di panti asuhan,
memiliki dorongan untuk menjadi individu yang mandiri, serta mengetahui akses
terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.
B. Rekomendasi
Berdasarkan pembahasan hasil dan kesimpulan penelitian, rekomendasi
utama dari penelitian ini adalah mengenai bibliocounseling untuk meningkatkan
resiliensi remaja. Rekomendasi ditujukan kepada berbagai pihak terkait,
khususnya bagi pimpinan lembaga-lembaga sosial seperti Panti Sosial Asuhan
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
dan konseling, civitas akademika di program studi bimbingan dan konseling serta
peneliti selanjutnya.
1. Lembaga Sosial (PSAA)
Lembaga sosial seperti Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Wisma Putra
merupakan lembaga yang diberikan amanah oleh pemerintah yang terjun langsung
dalam menangani, mendidik, dan membimbing anak dan remaja yang kurang
beruntung. Selain menyediakan kebutuhan dasar bagi siswa seperti kebutuhan
dasar sandang, pangan dan papan, PSAA diharapkan mampu memfasilitasi
perkembangan positif remaja dalam berbagai aspek. Mengingat remaja PSAA
Wisma Putra adalah remaja denga latar belakang adversitas (kemiskinan,
ditinggalkan orang tua, ditelantarkan), maka PSAA hendaknya menyediakan
sebuah bantuan dalam menyembuhkan aspek psikologis yang diakibatkan oleh
adversitas dan memelihara perkembangan kesehatan psikologis para siswa. Salah
satunya adalah dengan menyediakan intervensi psikologis yang berkelanjutan.
Bibliocounseling merupakan sebuah intervensi yang cukup efisien dan mudah
dilaksanakan. Kemudahan tersebut dilihat dari material intervensi dan tidak
adanya persyaratan khusus bagi pelaksana intervensi sehingga pelaksanaannya
tidak memerlukan ahli tertentu dan bisa dilaksanakan oleh pengurus panti.
2. Konselor atau Guru Bimbingan dan Konseling
Remaja PSAA Wisma Putra adalah siswa siswi di sekolah formal, mereka
menghabiskan sebagian besar waktunya dengan berbagai kegiatan akademik di
sekolah. oleh karena itu, konselor atau Guru bimbingan dan konseling adalah
salah satu pihak yang bertanggung jawab dalam membantu perkembangan remaja
PSAA. Konselor sekolah atau Guru bimbingan dan konseling memiliki
tanggungjawab etis untuk memfasilitasi perkembangan pribadi, sosial dan
akademik seluruh siswa di sekolah tersebut sampai level tertinggi. Resiliensi
merupakan kemampuan yang dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk
menghadapi berbagai tantangan dan tekanan serta menghindarkan siswa dari
kemungkinan untuk mengalami gangguan emosional ataupun keterlibatan dalam
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Penelitian ini menghasilkan program intervensi bibliocounseling untuk
meningkatkan resiliensi remaja berikut pedoman pelaksanaan dan satuan
layanannya. Program intervensi tersebut dapat direkomendasikan bagi konselor
sekolah atau Guru bimbingan dan konseling agar dapat diintegrasikan kedalam
komponen-komponen model bimbingan dan konseling komprehensif, sehingga
intervensi dapat disampaikan dalam bentuk layanan dasar, layanan responsif,
perencanaan individual serta dukungan sistem.
3. Civitas Akademika Bimbingan dan Konseling
Para civitas akademika bimbingan dan konseling hendaknya membekali
diri dengan kemampuan teoritis dan praktis. Keterampilan konseling merupakan
salah satu keterampilan yang memadukan penguasaan teoritis dan keterampilan
praktis yang sangat penting untuk dikuasai mengingat layanan konseling
merupakan salah satu inti dari layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Kajian resiliensi merupakan salah satu kajian penting yang harus difahami oleh
konselor atau guru bimbingan dan konseling mengingat resiliensi adalah salah
satu konsep psikologi positif yang dapat membantu siswa mencapai
perkembangan optimal. Hal ini sesuai dengan tugas pokok guru bimbingan dan
konseling atau konselor yakni memfasilitasi perkembangan peserta didik yang
optimal dalam rangka mencapai tugas-tugas perkembangannya.
4. Peneliti selanjutnya
Selama pelaksanaan penelitian di PSAA Wisma Putra, peneliti
menemukan masih terdapat beberapa siswa yang menunjukkan reaksi yang
berlebihan yang menunjukkan masih adanya trauma psikologis terhadap
adversitas yang pernah dialaminya. Oleh karena itu peneliti sangat
merekomendasikan bagi peneliti selanjutnya untuk memberikan intervensi yang
lebih spesifik dan mendalam. Salah satunya dengan design single subjek dengan
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
DAFTAR PUSTAKA
ABKIN. (2005). Standar Kompetensi Konselor. Bandung: ABKIN.
Al Siebert. (2005). The Resiliency Advantage : Master Change, Thrive Under Pressure, and Bounce Back from Setbacks. California : Berrett-Koehler Publishers, Inc
Al-Zastrouw: 2013. Strategi Kultural Menumbuhkan Budaya Baca; Perspektif
Sosiologi. (Online). Tersedia di
http://rumahbacakomunitas.blogspot.com/2013/04/strategi-kultural menumbuhkan-budaya.html.(4 Agustus 2014)
Apostelina, Eunike. 2014. Resiliensi Keluarga pada Keluarga yang Memiliki Anak Autis. Skripsi pada Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta: Tidak Diterbitkan.
Anesty, E. (2012). Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk meningkatkan Resiliensi Remaja. Tesis pada Sekolah Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Abdullah, M. (2002) Bibliotherapy ( report No. EDO-CS-02-08) Washington, D.C; Office of Educational Research and Improvement. (Eric Document
Reproduction Service No. ED00036)
BKKBN. (2010). Faktor Penyebab Remaja Terlibat Narkoba. (Online). Tersedia: http://www.bkkbn.go.id (Diakses: 29-1-2014)
Borkowski et al. (2007). Risk and Resilience: Adolescent Mothers and Their Children Grow Up. London: Lawrence Erlabum Associates Publisher
Bradley. (2010). 35 Techniques every Counselor Should Know. Ohio : Pearson Education
Breen, P.M & Anderies, J.M. (2011). Resilience: A Literature Review. Arizona State University, New York : Tidak Diterbitkan
Burk, Herbert, M dan Stefflre, Bufford, (1979), Theories of Counseling, New York : McGraw-Hill Book Company.
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Cavanagh, Michael. & Levitov, Justin E. The Counseling Experience, A Theoritical and Practical Approach. Second Adition. United State of America: Waveland Press, Inc.
Chen, J. D. & George, R. A. (2005). Cultivating Resilience in Children From Divorced Families. Retrieved March 16 2008 from SAGE Publications website Tersedia :http:// www.sagepublications.com. (10 Desember 2013)
Corey, G. (2007). Teori dan Praktek Konseling. Bandung: PT Refika Aditama.
Creswell, Jhon.(2012). Educational Research, Planning, Conducting and Evaluating Quantitative and Qualitatif Research. New York: Pearson Education.
Departemen Pendidikan dan kubudayaan/Pusat Bahasa. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-3). Jakarta: Balai Pustaka.
Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Divinyi, Joyce E. (1995). Storry Telling: An Enjoyable and Effective Teurapeutic Tool: New York: Tidak Diterbitkan
Eliasa, Eva Imania dkk.(2007).Bibliotherapy Bertema Karir Untuk Meningkatkan Motivasi Karir Pada Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling. Laporan Hasil Penelitian.Yogyakarta. FIP UNY: Tidak Diterbitkan
Fawzy N & Fouad A. (2010). Psychosocial and Development Status of Orphanage Children: Epidemiological Study. Journal of Psychiatric Zagajig University. 17, (2), 91-100.
Fergus, Stevenson & Zimmerman, Marc A. (2004). Adolescent Resilience: A Framework for Understanding Healthy Development in the Face of Risk. Journal of Public Health. Oktober 2004. 26, 399–419.
Forgan, James. (2002). Using Bibliotherapy to teach Problem Solving. Journal of Psychology 2002. 75, (38), 75-82.
Foss, Elizabeth. (2010). Bibliotherapy: Helping Children Cope with Emotional and Developmental Distress . University of maryland : Tidak diterbitkan.
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Galamedia. (2013). 7000 Remaja Menjadi Pekerja Seks Komersial. (Online). Tersedia: http://www.klik-galamedia.com/7000-remaja-jadi-psk. (29 Januari 2014).
Gandaputra, Androe. (2009). Gambaran Self Esteem Remaja Yang Tinggal di Panti Asuhan. Jurnal Psikologi Universitas Tarumanagara. 7, (2), 25-37.
Goldstein, Sam & Brooks, robert. (2005). Handbook Of Resilience In Children. New Yorl: Springer Science+Business Media, Inc.
Greef, A. (2005). Resilience : Personal Skills for Effective Learning. UK : Crown House Publishing Ltd.
Grotberg, EH. (1999). Inner strength : How to find the resilience to deal with anything. California. New Harbinger Publications
Hamdani. 2014. Menumbuhkan Minat Membaca. (Online). Tersedia di
http://edukasi.kompasiana.com/2014/04/24/menumbuhkan-minat-membaca-650796.html. (4 Agustus 2014)
Hartini, N. (2001). Deskripsi Kebutuhan Psikologi pada Remaja Panti Asuhan. Insan, Media Psikologi. 3, (2), 109 -118.
Hasibuan, Ahmad. 2014. Islam dan Budaya Baca. (Online). Tersedia: http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=440.(4 Agustus 2014)
Heppner, Paul P., (1992). Research Design in Counseling. Belmont, California: Wadsworth, Inc.
Herlina. (2013). Bibliotherapy: Mengatasi Masalah remaja dan Anak Melalui Buku. Bandung: Pustaka Cendekia Press
Hurlock, Elizabeth. (1980). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga
Hutchinson,G.T., & Chapman,B.P. (2005). Logotherapy-Enhanced REBT: An Integration of Discovery and Reason. Journal of Contemporary Psychoterapy,35 (2), 145-155
Isaacson, B.(2002). Characteristics and Enhancement of Resiliency in Young
People : A Research Paper Tersedia
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Karacan, Nurtein. (2009). The Efffect Of Self-Esteem Enrichment Bibliocounseling Program on The Self-Esteem Level of Sixth Grade Students. Tesis Universitas Timur tengah: Tidak Diterbitkan
Karina, Canggih. 2014. Resiliensi Remaja yang Memiliki orang Tua Bercerai. Jurnal Online Psikologi. (2).1.Tersedia di http://ejournal.umm.ac.id
Khamsul, Khotijul. 2010. Strategi Pengembangan dan Minat Membaca. Makalah pada Universitas Sumatera Utara: Tidak Diterbitkan.
Kramer, Karin.(2009). Using Self Help Bibliothreapy In Counselling. Fakultas Pendidikan Universitas Calgary: Tidak diterbitkan
Kristanti.(2013). Stres Pada Remaja Yang Tinggal Di Panti Asuhan. Jurnal Online Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Jurnal Online Psikologi. 1, (2), 53-75.
Fergusson, David & Horwood, Jhon. (2003). Resilience to Childhood Adversity: Result of 21 Year Study. : New Zealand: Cambridge University Press.
Lerner, R.M & Steinberg L. (2004). Handbook of Adolescent Psychology : Second Edition. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.
Linley,P.A, & Joseph, S. (2004). Positive Psychology In Prctice. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Luthans, F., Vogelgesang, G. R. & Lester, P. B. (2006) Human Resource Development Review : Developing the Psychological Capital of Resiliency. Retrieved March 15 2008 from SAGE Publications website Tersedia :www.sagepublications.com.(2 Desember 2013)
Maharani, Putri. (2009). Resiliensi pada Ibu yang Mengidap HIV/AIDS.Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya: Tidak Diterbitkan
Munawaroh, E. (2011). Program Bimbingan Belajar Untuk Meningkatkan Resiliensi Akademik Siswa Boarding School. Skripsi Pada Jurusan PPB UPI Bandung : Tidak diterbitkan.
Muro, J,J. & Kottman. (1995). Guidance and Counseling in The Ellementary and Middle School: A Practical Approach. Medison: Brown and Benchmark
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Napitupulu, Cahya. (2014). Resiliensi Remaja Yatim Piatu di Panti Asuhan Mardi Siswi, Kalasan, Yogyakarta. Skripsi pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma: Tidak Diterbitkan
Neenan, Michael. (2009). Developing Resilience, A Cognitive Behavioral Approach. New York : Routledge
Nezu, Arthur. (2009). Problem Solving Training to Enhance Resilience. Drexel University, USA : Tidak Diterbitkan
Norman, Elaine. (2004). Resiliency Enhancement: Putting The Strengths Perspective Into Social Work Practice. USA : Columbia University Press
Padesky, Christine A. & Mooney Kathleen A. (2012). Strengths-Based Cocgnitive-behavioural Therapy: A Four-Step Model to Build Resiliency. California: Journal on Clinical Psychology and Psychotheraphy.19, 283-290.
Pearson, Mark. (2007). Using Counseling Exspresif Tools to Enhance Emotional Literacy, Emotional Wellbeing, and Resilience: Improving Therapeutik outcomes with Exspressive Therapies. Journal of Counseling, Psychotherapy, and Health. 4, (1), 1-19.
Peters, R.D, Leadbeater, Bonnie, dan McMahon, Robbert J. (2005). Resilience in Children, Families, and Communities Linking Context to Practice and Policy. New York: Kluwer Academic / Plenum Publishers
Pehrsson dkk. (2007). Bibliotherapy With Preadolescents Experiencing Divorce. The Family Journal. 409, (15), 23-37.
Pehrsson, D. E., & McMillen, P. (2007). Bibliotherapy: Overview and implications for counselors (ACAPCD-02). Alexandria, VA: American Counseling Association.
Pur, Ipek (2009). Chinematherapy For Alcohol Dependent Patient. A Thesis of Middle East Technical University. Tidak Diterbitkan.
Prater, M.A.,Johnstun,M.L.,Dyches,T.T.,Johnstun,.M.R. (2006). Using Children’s Books as Bibliotherapy fo At-Risk Students: A Guide for Teachers, dalam Preventing School Failure. Summer 2006, 50,4 Academic Research Library. Utah: Heldref Publication.
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Reivich K dan Shatte, A. (2002). The Resilience factor: 7 essential skill’s for overcoming life’s inevitable obstacles. New York : Random House inc.
Republika. 2013. Angka Perceraian Meningkat Tajam. (online). Tersedia di
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/09/14/mt3zi3-wamenag-angka-perceraian-meningkat-tajam. (Diakses 15 Januari 2014).
Resnick B, Gwyther P, & Roberto A. (2011). Resilience In Aging : Concepts, Research, and Outcomes. New York :Springer
Santrock, Jhon W. (1998). Adolescence (7end.ed). washington. Washington DC, Mc Graw – Hill
Schoon, Ingrid. (2006). Risk and Resilience, Adaptation in Changing Times. New York : Cambridge University Press.
Setyowati, Raharjo. (2010). Keefektifan Konseling untuk Menurunkan Skor Penggunaan NAPZA di Klinik Rumatan Metadon: Tidak Diterbitkan.
Shechtman, Zipora. (2009). Treating Child and Adolescent Agression Through Bibliotherpy. Israel: Springer
Simbolon. (2010). Pengaruh Program Penguatan Keluarga Terhadap Sosial Ekonomi Warga Binaan SOS Desa Taruna Medan. Skripsi pada Universitas Sumatera Utara: Tidak diterbitkan.
Skeer mergie dkk. (2009). A prospective Study of Familial Conflict, Psychological Stress, and the Development of Substance Use Disorders In Adolescence. Journal Of Drug and Alcohol Dependence. 65, (30), 65-72.
Songprakun, Wallapa. (2009). Evaluation of a cognitive behavioural bibliotherapy self-help intervention program on the promotion of resilience in individuals with depression. Victoria University: Tidak Diterbitkan.
Subino. 1987. Konstruksi dan Analisis tes. Suatu Pengantar Teori Tes dan Pengukuran. Jakarta: Dikti
Suryabrata, Sumadi. (1994). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Syaodih, Sukmadinata. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda Karya
Teglasi, Hedy.(2003). Bibliotherapy as a method of Treatmen. USA: Springer
Tempo.(2014). Kekerasan Pada Anak Diprediksi Meningkat.(Online). Tersedia: www.tempo.com. Diakses: 30 Januari 2014.
Tugade, M. M. & Fredrickson, B. L. (2004). Resilient Individuals Use Positive Emotions To Bounce Back From Negative Emotional Experiences. Journal of Personality and Social Psychology, 86, 320 – 333.
Youth Suicide prevention. (2010). Suicide Prevention Australia: Tidak Diterbitkan
Volia, Morenda Sitri. (2007). Gambaran Resiliensi Pada Remaja Korban Bencana Alam yang Berada di Rumah Anak Madani. Skripsi Pada Jurusan Psikologi Universitas Sumatera Utara: Tidak Diterbitkan.
Yusuf, Syamsu & Nurihsan, Juntika. (2006). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Eem Munawaroh, 2014
BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
PROGRAM INTERVENSI BIBLIOCOUNSELING (MEMBACA BUKU,
MENONTON FILM, MENDENGARKAN CERITA) UNTUK
MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA
A. RASIONAL
Remaja melalui dua cara yang berbeda dalam melalui periode kedua dalam
hidupnya. Pertama remaja berhasil menjalani periode perkembangan ini tanpa
melalui masalah psikologi, sosial, atau kesehatan yang signifikan. Kedua, remaja
melalui periode ini dengan berbagai masalah, diantaranya adalah meningkatnya
masalah kesehatan mental, ancaman terhadap kesehatan fisik, depresi,
penyalahgunaan zat-zat terlarang, kekerasan seksual, kemiskinan, dan konflik
dalam keluarga (Lerner & Steinberg, 2004:263). Berbagai kendala atau peristiwa
kemalangan yang terjadi pada remaja disebut sebagai adversitas (Linley & Joseph,
2004: 5).
Adversitas mengacu pada pengalaman negatif yang memiliki potensi
mengganggu fungsi adaptif atau perkembangan. Pengalaman terhadap adversitas
terjadi karena rusaknya kapasitas adaptif individu dengan menurunnya sistem
adaptif perkembangan individu dengan konsekuensi yang permanen. Adversitas
bisa termasuk adversitas akut (bencana alam), kronis (dikucilkan), muncul dalam
lingkungan (konflik orang tua, kemiskinan, kekerasan), atau ada dalam diri
individu itu sendiri (penyakit), pada beberapa level, adversitas berpotensi
menggangu perkembangan dan adaptasi positif individu (Linley & Joseph, 2004:
5). Selain adversitas yang dijelaskan oleh Lerner & Steinberg (2004), adversitas
juga dapat berupa musibah, pengalaman buruk, peristiwa negatif, kejadian tidak
menyenangkan, kondisi sarat resiko (high risk), stressor yang dianggap berat dan
trauma.
Dampak negatif dari suatu adversitas atau kemalangan dapat membawa
remaja pada kerentanan terhadap berbagai perilaku malasuai. Hal tersebut dapat
diatasi apabila remaja memiliki kemampuan untuk mengelola dampak negatif dari