• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
228
0
0

Teks penuh

(1)

Tingkat Maturasi Serpih Minyak Pada CaCO

3

dan Kaolinite

Dengan Cara Penentuan Energi Aktivasi Menggunakan

Metode Termogravimetri Dan Pirolisis

DISERTASI

ORDAS DEWANTO

1006751325

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM STUDI ILMU MATERIAL

UNIVERSITAS INDONESIA

APRIL

(2)

Tingkat Maturasi Serpih Minyak Pada CaCO

3

dan Kaolinite

Dengan Cara Penentuan Energi Aktivasi Menggunakan

Metode Termogravimetri Dan Pirolisis

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

ORDAS DEWANTO

1006751325

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM STUDI ILMU MATERIAL

UNIVERSITAS INDONESIA

APRIL

(3)

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Disertasi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Ordas Dewanto

NPM : 1006751325

Tanda Tangan :

(4)
(5)

v

KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini, dengan judul: “Tingkat Maturasi Serpih Minyak Pada CaCO3 dan Kaolinite, Dengan Cara Penentuan Energi

Aktivasi Menggunakan Metode Termogravimetri Dan Pirolisis”. Penulisan Disertasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor Program Studi ilmu Material, pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan Disertasi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan Disertasi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada:

(1) Dr. Bambang Soegijono, selaku Promotor yang telah banyak membantu memberikan semangat, mengerti kondisi saya dan menyediakan waktu, tenaga serta pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan Disertasi ini.

(2) Prof. Suharso, Ph.D., selaku Kopromotor yang telah banyak membantu memberikan semangat dan menyediakan waktu, tenaga serta pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan Disertasi ini.

(3) Dr. rer. nat. Abdul Haris, selaku Dekan FMIPA Universitas Indonesia.

(4) Prof. Dr. Agus Setyo Budi, Dr. Budhy Kurniawan, Dr. Ariadne L. Juwono dan Dr. Dede Djuhana yang telah banyak memberikan koreksi, masukan dan saran untuk kesempurnaan penyusunan Disertasi ini.

(5) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moril.

(6) Lemigas yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh literatur dan tambahan data yang saya perlukan, serta membantu beberapa pengukuran dan pengujian dalam pelaksanaan penelitian Disertasi ini.

(7) Laboratorium Kimia Dasar FMIPA Universitas Lampung, Laboratorium Fisika FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta, Laboratorium Kimia FMIPA Universitas Indonesia, Laboratorium Fisika Material FMIPA Universitas Indonesia, Laboratorium Geofisika Fakultas Teknik Universitas Lampung, UPT Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi

(6)

Universitas Lampung, yang telah bersedia membantu pengukuran dan pengujian dalam pelaksanaan penelitian Disertasi ini.

(8) Teman-teman yang telah memberikan bantuan dukungan materi yaitu Bapak dan Ibu: Esti Nugraheni, Dr. Yofentina Iriani, Dr. Mahendra, Dr. Edie Sasito, Anggoro, Ir. Indra, Dr. Basrowi, Dr. Melvi, Tanti, M.T., Ngadinem, Sugiyanto, M.T., Dr. Sri Hastuti, Eko Raharjo, M.H., Wagiso, S.E., Sutarno, M.M., H. Mukharam, M.M., Edi Marsono, S.E., H. Mahrom, S.E., H. Bahrul, Ir. Elma Basri, Wita, Sairul, S.P, Nurmansyah, Heri Syamsul, S.E., Akhmad Dzakwan, Aris Windu, Jatmiko AW, Karyanto, dan Sampurna.

(9) Dr. Maykel, Dr. Iwan S., Dr. Lutfi, Dr. Bambang Irawan, Teguh, Evi, Tamara, Liestiyarini, teman-teman SMAGO 87 dan semua sahabat saya yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan Disertasi ini.

(10) Pimpinan Fakultas Teknik Unila: Prof. Dr. Suharno dan Dr. Muh Sarkowi, Bagus Sapto Mulyatno, M.T., dan semua teman-teman di Fakultas Teknik, yang telah memberikan motivasi dan semangat.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Disertasi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Depok, 27 April 2015

(7)

vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI DISERTASI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ordas Dewanto

NPM : 1006751325

Program Studi : Ilmu Material

Departemen : Universitas Indonesia Fakultas : MIPA

Jenis Karya : Disertasi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Tingkat Maturasi Serpih Minyak pada CaCO3 dan Kaolinite, Dengan Cara Penentuan Energi Aktivasi Menggunakan Metode Termogravimetri Dan Pirolisis.

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok Pada tanggal : 27 April 2015

Yang menyatakan,

(8)

ABSTRAK

Nama : Ordas Dewanto

Program Studi : Ilmu Material

Judul : Tingkat Maturasi Serpih Minyak pada CaCO3 dan Kaolinite, Dengan Cara Penentuan Energi Aktivasi Menggunakan Metode Termogravimetri Dan Pirolisis

Material serpih adalah sejenis serpih minyak yaitu material clay atau karbonat yang mengandung banyak organik belum matang, apabila dipanaskan pada suhu tertentu, kandungan organiknya menjadi matang dan berubah secara fisika dan kimia, sehingga dapat menghasilkan bahan energi seperti migas. Dalam penelitian ini campuran material dimodifikasi dengan perbandingan: A=B, AB dan AB. Pengujian TOC menghasilkan clay-organik (SMC) dan karbonat-organik (SMK) menunjukkan kualitas yang sangat baik sebagai serpih minyak (TOC≥12.0%), yang diperkuat hasil analisis SEM (morfologi dan komposisi) dan XRD (interaksi dua material).

Hasil analisis Termogravimetri menunjukkan energi aktivasi material serpih clay (209-355 kJ/mol) lebih kecil dibanding karbonat (749-1339 kJ/mol), dan temperatur untuk proses reaksi material serpih clay (40-600OC) lebih kecil dibanding karbonat (75-740OC). Karakteristik tersebut menyebabkan tingkat maturasi material serpih clay lebih cepat dibanding karbonat, diperkuat Tmax serpih clay (315-323OC) lebih kecil dibanding Tmax serpih karbonat (415-493OC). CEC 2 (serpih minyak) memiliki karakteristik yang sama dengan serpih clay (Ea=239 kJ/mol dan T=40-600OC). OD1-Ast3 memiliki tingkat maturasi yang paling bagus (Ea=234 kJ/mol dan Tmax=315OC) sesuai dengan serpih minyak (CEC 2). Hasil pengujian Rock

Eval Pyrolisis menunjukkan material serpih clay dan karbonat mempunyai potensi

tinggi (menghasilkan oil dan gas). Hasil pemanasan material serpih diperkuat oleh hasil pengujian FTIR yaitu senyawa dengan gugus fungsi tertentu terlepas dan muncul puncak baru di bilangan gelombang 2900 cm-1 yang menunjukkan keberadaan hidrokarbon ikatan tunggal dari rantai karbon panjang C-H.

Kata kunci:

(9)

ix ABSTRACT

Name : Ordas Dewanto

Programme : Material Sciences

Tittle : Maturation level Oil Shale On CaCO3 and Kaolinite, With Determination Activation Energy by Using Thermogravimetric and Pyrolysis Methods.

The material is a kind of shale oil shale is clay or carbonate material containing organic many immature, when heated to a certain temperature, the organic content of becoming mature and change in physics and chemistry, so it can produce energy materials such as oil and gas. In this study a mixture of materials modified by comparison: A=B, AB and A>B. TOC testing of clay-organic (SMC) produce and organic carbonates (SMK) demonstrate excellent quality as shale oil (TOC≥12.0%), which confirmed the results of scanning electron microscopy (SEM) analysis (morphology and composition) and X-ray diffraction (XRD) (interaction of two materials).

The results of thermogravimetric analysis showed activation energy shale clay material (209-355 kJ/mol) is smaller than the carbonate (749-1339 kJ/mol), and the temperature of the reaction process shale clay material (40-600OC) is smaller than the carbonate (75- 740OC). These characteristics cause the maturation level of clay shale material faster than carbonate, shale clay reinforced Tmax (315-323OC) is smaller than Tmax flakes carbonate (415-493OC). CEC 2 (shale oil) has the same characteristics as the flakes of clay (Ea=239 kJ/mol and T=40-600OC). OD1-Ast3 have the most good maturation rate (Ea=234 kJ/mol and Tmax=315OC) in accordance with the shale oil (CEC 2). Test results show the Rock Eval Pyrolisis clay shale and carbonate material has a high potential (produce oil and gas). Results heating shale material reinforced by FTIR testing results are compounds with specific functional groups apart and a new peak appeared at wavenumber 2900 cm-1 which indicate the presence of hydrocarbons single bonds of the carbon chain length of CH.

Keywords:

(10)

DAFTAR ISI

Halaman:

HALAMAN SAMPUL ………... i

HALAMAN JUDUL ……….. ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ………... iii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iv

KATA PENGANTAR ……… v

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI DISERTASI ……… vii

ABSTRAK ……….. viii

DAFTAR ISI ………... x

DAFTAR GAMBAR ……….. xiii

DAFTAR TABEL ……… xvi

1. PENDAHULUAN ……… 1 1.1 Latar Belakang ………... 1 1.2 Perumusan Masalah ………... 11 1.3 Tujuan Penelitian ………... 11 1.4 Hipotesa Penelitian ……… 12 1.5 Manfaat Penelitian ………. 13 1.6 Batasan Penelitian ……….. 13 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 14 2.1 Clay (Lempung) ………. 14 2.1.1 Karakteristik Clay ……….. 16

2.1.2 Komposisi Mineral Clay…… ……… 18

2.1.3 Jenis-Jenis Clay…… ……….. 19

2.1.4 Clay (Tanah liat) dan Modifikasinya sebagai Katalis ... 22

2.1.5 Proses Pilarisasi Pada Clay Alam ……….. 23

2.1.6 Klasifikasi Clay ………. 24

2.2 Batuan Sedimen Karbonat ………. 27

2.2.1 Karakteristik Komponen Batuan Karbonat Mikrofasies ……… 27

2.2.2 Tekstur Batuan Sedimen Karbonat ……… 28

2.2.3 Reaksi di Karbonat dan Asam Salisilat ……….. 29

2.3 Asam Stearat ……….. 30

2.4 Serpih Minyak ………... 30

2.5 Senyawa Organik ………... 33

2.5.1 Karakteristik Senyawa Organik ………. 33

2.5.2 Klasifikasi Senyawa Organik ………. 35

2.5.3 Senyawa Hidrokarbon ……… 35

2.5.4 Senyawa Hidrokarbon Dan Turunannya ……… 36

2.5.5 Alkana ……… 37

2.6 Kerogen ... 38

(11)

xi

2.6.2 Kerogen Tipe II (oil and gas prone) ……….. 39

2.6.3 Kerogen Tipe III (gas prone) ………. 39

2.6.4 Kerogen Tipe IV (inert) ………. 40

2.7 Pyrolisis ………. 40

2.7.1 S1 (free hydrocarbon) ………. 40

2.7.2 S2 (pyrolisable hydrocarbon) ………. 40

2.7.3 S3 (kandungan CO2) ……….. 41

2.8 Temperatur Maksimum (Tmax) ……… 41

2.9 TOC (Total Organic Carbon) ……… 42

2.10 Thermogravimetric Analysis (TGA) ………...…… 43

2.10.1 Differential Thermal Analysis dan Differential Scanning ………... 44

2.10.2 Aplikasi DTA(DSC) dan TGA ……… 47

2.10.3 Teori Arrhenius………... ………. 50

2.11 Spektrometer Infra Merah (FTIR) 51 3. METODOLOGI PENELITIAN ………. 53

3.1 Tempat dan Peralatan Penelitian ………... 53

3.2 Bahan Penelitian ……… 53

3.3 Metode Penelitian ……….. 53

3.4 Rancangan (design) Penelitian ... 57

3.4.1 Pemilihan Material Clay, Karbonat dan Organik ……….. 57

3.4.2 Karakterisasi Material Clay, Karbonat dan Organik ……….. 57

3.4.3 Pembuatan Material Clay-Organik dan Karbonat-Organik ………. 57

3.4.4 Karakterisasi Material Serpih ……… 58

3.4.5 Pengujian TGA pada Material Clay dan Karbonat ……… 58

3.4.6 Pengolahan Laju Reaksi dan Energi Aktivasi ……… 58

3.4.7 Menentukan Tmax, Laju Reaksi dan Energi Aktivasi ……….. 60

3.4.8 Penambahan Fe dalam Material Serpih ………. 61

3.4.9 Pengujian Pirolisis ………. 61

3.4.10 Penentuan Temperatur Maksimum (Tmax) ……….…….. 62

3.4.11 Pengolahan Data Hasil Pirolisis ……….. 62

3.4.12 Pengujian FTIR Material Serpih ………..……… 63

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64

4.1 Penentuan Material Penelitian …….……….. 64

4.1.1 Pemilihan Material Clay dan Karbonat ……….. 64

4.1.2 Pemilihan Material Organik ………... 64

4.1.3 Pembuatan Material Clay (SMC) dan Karbonat (SMK)………. 65

4.1.4 Hasil Pengujian TOC (Total Organic Carbon) ……….. 66

4.2 Karakterisasi Material ……… 67

4.2.1 Hasil Analisa Dengan Menggunakan SEM ………... 67

4.2.2 Pengukuran Difraksi Sinar-X (XRD) ... 81

(12)

4.3.1 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Karbonat ………. 95

4.3.2 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Clay ……….. 97

4.3.3 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Minyak ……… 100

4.3.4 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Clay Ditambah Fe …… 101

4.3.5 Hasil Pengujian TGA pada Material Serpih Karbonat Ditambah Fe.. 102

4.4 Hasil Pengolahan Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial ……….. 103

4.4.1 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada OD7-Asl1……. 104

4.4.2 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada OD7-Asl2……. 109

4.4.3 Energi Aktivasi (Ea) dan nilai A pada Material OD7-Asl2-Fe…….. 110

4.4.4 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada OD1-Ast1……. 111

4.4.5 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada OD1-Ast2……. 114

4.4.6 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada OD1-Ast3……. 118

4.4.7 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada OD1-Ast2-Fe… 119 4.4.8 Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial pada Material CEC 2.. 119

4.5 Pengaruh Temperatur terhadap Konstanta Kecepatan Reaksi……… 123

4.5.1 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi Serpih OD1-Ast1... 123

4.5.2 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi Serpih OD1-Ast2... 124

4.5.3 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi Serpih OD1-Ast3... 125

4.5.4 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi OD1-Ast2-Fe……. 126

4.5.5 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi Serpih CEC 2……. 127

4.5.6 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi Serpih OD7-Asl1... 128

4.5.7 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi Serpih OD7-Asl2... 129

4.5.8 Hubungan 1/T terhadap k pada Proses Maturasi OD7-Asl2-Fe……. 129

4.6 Pengaruh Temperatur terhadap k pada Proses Maturasi (T vs k)………... 131

4.7 Pengaruh Temperatur terhadap Ea pada Proses Maturasi (T vs Ea)…….. 134

4.8 Lama Pemanasan Material……….. 139

4.9 Hasil Pengujian Pirolisis ……… 140

4.10 Hasil Analisis FTIR pada Organik dan Material Serpih ……….. 142

4.10.1 Spektrum FTIR pada Asam Stearat (C17H35COOH) ………... 142

4.10.2 Spektrum FTIR pada Material Serpih OD1-Ast1………. 144

4.10.3 Spektrum FTIR pada Material Serpih OD1-Ast2 ……… 145

4.10.4 Gabungan Spektrum FTIR pada Material Organik dan Serpih Clay 146 4.10.5 Hasil Analisis FTIR pada Asam Salisilat (C7H6O3) ……… 147

4.10.6 Hasil analisis Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl1…… 148

4.10.7 Hasil analisis Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl2 …... 150

4.10.8 Gabungan Spektrum FTIR pada Organik dan Serpih Karbonat…... 151

4.10.9 Spektrum FTIR Hasil Kalsinasi Material Serpih Clay dan karbonat 152 4.11 Ringkasan Hasil dan Pembahasan……… 153

5. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 159

DAFTAR REFERENSI ……… 161

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman:

Gambar 2.1. Foto Mikrograf SEM Material Serpih Formasi Kelesa ………... 16

Gambar 2.2. Foto Mikrograf SEM batu lumpur Formasi Lakat ………... 17

Gambar 2.3. Difraktogram Sampel lempung Getaan (Qodari, 2010) ……….. 17

Gambar 2.4. Difaktogram sampel lempung Pagedangan (Qodari, 2010) …… 18

Gambar 2.5. Struktur molekul kandite ………. 20

Gambar 2.6. Struktur molekul smectite ……… 21

Gambar 2.7. Struktur molekul illite ……….. 21

Gambar 2.8. Skema sederhana pilarisasi... 22

Gambar 2.9. Struktur skematik dari liat berpilar lapisan lempung …………... 24

Gambar 2.10. Struktur kristal tiga arah dalam ruang sumbu x, y, z ... 26

Gambar 2.11. Struktur tunggal silika tetraeder, penyusunan beberapa silika ... 26

Gambar 2.12. Beberapa tipe ikatan kovalen pada atom C ……… 34

Gambar 2.13. Rantai Karbon: (1) Lurus; (2) Cabang; (3) Lingkar; (4) Jaring.. 34

Gambar 2.14. Bagan Skematik Klasifikasi Hidrokarbon ………. 36

Gambar 2.15. Pembacaan hasil pyrolisis (dimodifikasi dari Peters, 1986)….. 42

Gambar 2.16. Skema termogram bagi reaksi dekomposisi satu tahap ………. 43

Gambar 2.17. Dekomposisi CaCO3 pada atmosfer yang berbeda …………... 44

Gambar 2.18. Metode DTA ……….. 45

Gambar 2.19. Skema perubahan reversibel dan irreversible ……… 47

Gambar 2.20. Skema Kurva DTA memperlihatkan pelelehan Kristal ………. 48

Gambar 3.1. Jenis material yang diambil dari Core pada Facies A, B dan C... 54

Gambar 3.2. Diagram Alir Penelitian……… 56

Gambar 4.1. Material clay dan karbonat yang sudah dibentuk pellet ……….. 64

Gambar 4.2. Proses coring, penentuan jenis material sampai ke pengolahan... 66

Gambar 4.3. Hasil foto SEM pada material clay OD2 (dominasi kaolinite)…. 68 Gambar 4.4. Hasil Edax-SEM pada material clay OD2 ………... 68

Gambar 4.5. Hasil foto SEM pada material clay OD1 ………. 69

Gambar 4.6. Hasil foto SEM pada material organik Asam Stearat (Ast) ……. 71

Gambar 4.7. Hasil foto SEM pada material organik Asam Salisilat (Asl).…... 71

Gambar 4.8. Hasil foto SEM pada material OD1-Ast2 ……… 72

Gambar 4.9. Hasil foto SEM pada material OD2-Ast2 ……… 73

Gambar 4.10. Hasil foto SEM pada serpih clay OD1-Ast2-Fe ……… 75

Gambar 4.11. Hasil foto SEM dan Edax pada material OD7 (Kalsit) ……….. 76

Gambar 4.12. Hasil foto SEM pada material OD8 ………... 77

Gambar 4.13. Hasil foto SEM pada material OD7-Asl2 ……….. 78

Gambar 4.14. Hasil foto SEM pada material OD8-Asl3 ……….. 79

Gambar 4.15. Hasil foto SEM pada material OD7-Asl2-Fe ………. 81

(14)

Gambar 4.17. Hasil karakterisasi XRD pada material serpih OD1-Organik .... 83

Gambar 4.18. Hasil karakterisasi XRD pada material serpih OD2-Organik .... 86

Gambar 4.19. Karakterisasi XRD pada material serpih karbonat... 88

Gambar 4.20. Grafik Hasil TGA untuk Material OD7-Asl2 ……… 95

Gambar 4.21. Grafik Hasil TGA untuk Material OD7-Asl1 ……… 96

Gambar 4.22. Grafik Hasil TGA untuk serpih clay (OD1-Ast2) ………. 97

Gambar 4.23. Grafik Hasil TGA untuk serpih clay (OD1-Ast1) ………. 98

Gambar 4.24. Grafik Hasil Analisa TGA untuk serpih clay (OD1-Ast3) …… 99

Gambar 4.25. Grafik Hasil Analisa TGA untuk serpih minyak (CEC 2) ……. 100

Gambar 4.26. Grafik Hasil Analisa TGA untuk serpih clay OD1-Ast2-Fe …. 101 Gambar 4.27. Grafik Hasil TGA untuk serpih karbonat OD7-Ast2-Fe ……... 102

Gambar 4.28. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD7-Asl1 Tahap-1 ………. 105

Gambar 4.29. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD7-Asl1 Tahap-2 ………. 106

Gambar 4.30. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD7-Asl1 Tahap-3 ………. 107

Gambar 4.31. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD7-Asl1 Tahap-4 ………. 108

Gambar 4.32. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD1-Ast1 Tahap-1 ………. 111

Gambar 4.33. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD1-Ast1 Tahap-2 ………. 112

Gambar 4.34. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD1-Ast1 Tahap-3 ………. 113

Gambar 4.35. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD1-Ast2 Tahap-1 ………. 115

Gambar 4.36. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD1-Ast2 Tahap-2 ………. 116

Gambar 4.37. Grafik ln[-ln(1-x)/T2] vs 1/T, OD1-Ast2 Tahap-3 ………. 117

Gambar 4.38. Energi aktivasi pemanasan clay organik, karbonat dan +Fe…... 121

Gambar 4.39. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada OD1-Ast1……… 124

Gambar 4.40. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada OD1-Ast2……… 125

Gambar 4.41. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada OD1-Ast3……… 126

Gambar 4.42. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada OD1-Ast2-Fe….. 126

Gambar 4.43. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada CEC 2…………. 127

Gambar 4.44. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada OD7-Asl1……… 128

Gambar 4.45. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada OD7-Asl2……… 129

Gambar 4.46. Grafik hubungan antara k vs 1/T (OC-1) pada OD7-Asl2-Fe….. 130

Gambar 4.47. Grafik hubungan antara k vs T (OC) pada OD1-Ast3…………. 131

Gambar 4.48. Hubungan antara energi aktivasi terhadap temperatur tingkat-1... 134

Gambar 4.49. Hubungan antara energi aktivasi terhadap temperatur tingkat-2... 136

Gambar 4.50. Hubungan antara energi aktivasi terhadap temperatur tingkat-3 .. 137

Gambar 4.51. Hubungan antara energi aktivasi terhadap temperatur tingkat-4 .. 138

Gambar 4.52. Grafik penurunan msasa terhadap waktu pada clay-organik….. 139

Gambar 4.53. Grafik penurunan msasa terhadap waktu karbonat-organik ….. 140

Gambar 4.54. Spektrum FTIR pada Asam Stearat, C17H35COOH……… 143

Gambar 4.55. Spektrum FTIR pada material OD1-Ast1………... 144

Gambar 4.56. Spektrum FTIR pada material OD1-Ast2………... 145

Gambar 4.57. Gabungan Spektrum FTIR pada Serpih clay dan Organik……. 147

(15)

xv

Gambar 4.59. Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl1……… 149 Gambar 4.60. Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl1……… 150 Gambar 4.61. Gabungan Spektrum FTIR pada Material Serpih Karbonat ….. 151 Gambar 4.62. Pengukuran FTIR pada hasil pemanasan material serpih MS-1... 152 Gambar 4.63. Pengukuran FTIR pada hasil pemanasan material serpih MS-2... 152

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman:

Tabel 2.1. Kelompok dan komposisi mineral lempung ……….. 19

Tabel 2.2. Komposisi kimia dalam lempung ……….. 19

Tabel 2.3. Mineral-mineral Filosilikat Utama dalam Tanah ... 25

Tabel 2.4. Perbedaan Umum Antara Senyawa Organik dan Anorganik ……… 34

Tabel 2.5. Jenis Senyawa Organik Berdasar Jenis Unsur Penyusunnya ………. 35

Tabel 2.6. Suku pertama sampai dengan 10 senyawa alkana ………. 37

Tabel 2.7. Tmax pada material serpih Clay dan Karbonat ………. 42

Tabel 2.8. Nilai TOC dan kualitas material serpih (Waples, 1985) ……… 43

Tabel 4.1. Hasil pengujian pirolisis pada material serpih clay dan karbonat ….. 65

Tabel 4.2. Hasil Pengujian TOC (Total Organic Carbon) ……….. 66

Tabel 4.3. Data Puncak untuk clay-kaolinite (OD1) ... 82

Tabel 4.4. Nilai 2theta, intensitas puncak tertinggi, d-spacing, hkl clay-organik 85 Tabel 4.5. Nilai 2theta, intensitas, d-spacing, hkl dan senyawa serpih clay….. 87

Tabel 4.6. Nilai 2theta, intensitas, d-spacing, hkl dan senyawa serpih karbonat 90 Tabel 4.7 Hasil karakterisasi XRD pada material serpih OD1-Ast …………... 93

Tabel 4.8 Hasil karakterisasi XRD pada material serpih OD2-Ast ………….. 94

Tabel 4.9. Karakterisasi XRD pada material serpih OD7-Asl ………... 94

Tabel 4.10. Nilai Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial OD7-Asl1 …... 109

Tabel 4.11. Nilai Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial OD7-Asl2 …... 110

Tabel 4.12. Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial OD7-Asl2-Fe …….. 110

Tabel 4.13. Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial Material OD1-Ast1.. 114

Tabel 4.14. Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial Material OD1-Ast2.. 118

Tabel 4.15. Nilai Ea dan A pada Material Serpih OD1-Ast3 ………. 118

Tabel 4.16. Nilai Ea dan A pada Material Serpih OD1-Ast2-Fe ……… 119

Tabel 4.17. Energi Aktivasi dan Faktor Pre Eksponensial Serpih CEC 2 …….. 120

Tabel 4.18. Energi Aktivasi Material Serpih Clay, Karbonat, Penambahan Fe.. 122

Tabel 4.19. Interval temperatur, energi aktivasi, faktor pre-eksponensial…… 133

Tabel 4.20. Hasil Penentuan Nilai Tmax ……… 141

Tabel 4.21. Produk utama material serpih berdasarkan HI dan OI ...………... 141

Tabel 4.22. Potensi material serpih berdasarkan HI dan OI ………... 142

Tabel 4.23. Spektrum FTIR pada Asam Stearat (C17H35COOH) ………... 143

Tabel 4.24. Spektrum FTIR pada Material Serpih OD1-Ast1 ……… 144

Tabel 4.25. Spektrum FTIR pada Material Serpih OD1-Ast2 ………... 146

Tabel 4.26. Spektrum FTIR pada asam salisilat (C7H6O3) ………. 148

Tabel 4.27. Spektrum FTIR pada material serpih OD7-Asl1 ………. 149

(17)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Material serpih adalah sejenis serpih minyak yaitu material clay atau karbonat yang mengandung material organik, dimana serpih minyak tersebut merupakan sumber energi yang dapat menghasilkan minyak bumi dan gas bumi (Kantsler dan Cook, 1980; Dewanto dkk, 2008). Limbah hasil pengolahan material serpih inipun sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, misalnya dalam bidang pertanian dan industri bangunan (Barkia dkk, 2004; AL-Hasan, 2006; Al-Hamaiedh dkk, 2010). Meskipun pada skala produksi komersial akan dihasilkan limbah cukup besar, namun limbah tersebut dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia, misalnya sebagai media tanam, bahan timbunan konstruksi jalan, bahan dasar semen. Potensi lainnya dari produk samping industri antara lain serat karbon, karbon adsorpsi, karbon hitam, bata, dekorasi bangunan, penyubur tanah, pupuk dan bahan dasar industri gelas.

Kogerman (2001) menyebutkan bahwa penelitian serpih minyak menjadi pusat penelitian di Uni Soviet. Terbentuknya lembaga penelitian ini melihat perkembangan riset di bidang material serpih cukup pesat. Berraja, Barkia, Belkbir, dan Jayaweera (1988) mengawali penelitian tentang studi analisis termal pada pembakaran material serpih di Tarfaya. Meskipun metode yang digunakan belum efisien, namun dari hasil penelitian tersebut menghasilkan teori pemanasan yang cukup canggih saat ini, yaitu metode pirolisis. Metode pirolisis sebenarnya sudah mulai dirintis oleh Katz (1983), tetapi masih berkisar pada penelitian tentang keterbatasan pirolisis Rock-Eval dalam menganalisis bahan organik.

Dalam konteks eksplorasi energi baru, saat ini material serpih atau serpih minyak merupakan sumber energi yang sedang ramai dikembangkan agar dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif di masa depan. Dimulai dari pengolahan material organik misal alga yang dikembangkan dengan modifikasi metode untuk dapat menghasilkan minyak dan gas bumi serta bahan pangan. Bahkan bukan hanya pengolahan tetapi sudah sampai pada menciptakan material organik, seperti pembudidayaan alga dan plankton (Endah Febrianty, 2011; Munawar Ali, 2013; Ardiansyah Kurniawan; Sarwono, 2011).

(18)

Gas metan (CBM), batubara muda, dan termasuk material serpih, telah mendapatkan perhatian sebagai sumber energi yang sangat penting karena harga minyak bumi konvensional telah meningkat dan terbatas jumlahnya. Ledakan global dalam produksi serpih minyak, serupa dengan yang terjadi di Amerika Serikat, bisa menurunkan harga minyak mentah sebesar 40 persen dan menambah 3,7 persen hasil ekonomi dunia, menurut sebuah studi yang dirilis oleh M2 World News di Paris (2012). Sebuah studi lembaga konsultan PwC memperkirakan produksi global dari serpih atau minyak padat, bisa menghasilkan hingga 14 juta barel per hari pada 2035, atau sekitar 25 persen dari total suplai minyak dunia.

Menurut hasil penelitian dari Bartis dkk (2005), eksploitasi material serpih yang telah dikumpulkan jadi satu dikirim ke suatu tempat pengolahan dengan cara membakar serpih langsung untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik. Bartis dkk juga melakukan penambangan material serpih di bawah tanah dengan menggunakan metode ruang dan pilar. Kemudian Burnham dkk (2006) melakukan ekstraksi hasil pengolahan material serpih, yang dikerjakan di atas tanah (ex-situ pengolahan), meskipun ada beberapa teknologi baru melakukan ekstraksi hasil pengolahan serpih di bawah tanah di lokasi atau di-insitu pengolahan.

Metode pengolahan dan esktrasi tentunya tidak boleh sembarangan, oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian awal dan detail agar diperoleh hasil yang memuaskan. Salah satu metode tersebut misalnya pirolisis, yaitu analisa komponen hidrokarbon pada material serpih dengan cara melakukan pemanasan bertahap pada sampel dalam keadaan tanpa oksigen pada kondisi atmosfer inert dengan temperatur yang terprogram. Pemanasan ini memisahkan komponen organik bebas (material serpih) dan komponen organik yang masih terikat dalam material serpih (Espitalie et al., 1977). Teknologi konversi melibatkan pemanasan material serpih dalam ketiadaan oksigen sampai suhu di mana material terurai menjadi gas, minyak terkondensasi, dan residu padat. Ini biasanya terjadi pada temperatur antara 450OC (842OF) dan 500OC (932OF) (Youngquist dan Walter, 1998). Proses dekomposisi dimulai pada temperatur yang relatif rendah (300OC/570OF), tetapi hasil yang lebih cepat dan lebih lengkap diperoleh pada suhu yang lebih tinggi (Koel dan Mihkel, 1999).

(19)

Beberapa perusahaan memiliki metode yang dipatenkan untuk mengolah material serpih (serpih minyak) tersebut, namun sebagian besar metode ini tetap dalam fase eksperimental. Ratusan paten untuk teknologi pengolahan material serpih telah dilakukan, namun hanya beberapa lusin saja yang telah dilakukan pengujiannya. Menurut Qian dan Wang (2006) terdapat empat teknologi tetap yang digunakan komersial, yaitu Kiviter, Galoter, Fushun dan Petrosix.

Pengolahan material serpih belum banyak dilakukan di negara Indonesia, namun demikian cadangan material serpih di Indonesia sudah mulai dipetakan. Pusat Sumber Daya Geologi telah melakukan kegiatan penyelidikan material serpih minyak di 53 lokasi di Indonesia (Hadiyanto, 2009). Didukung juga oleh Tobing (2003) melakukan inventarisasi endapan material serpih padat di daerah Ayah. Selain itu Tjahjono (2004) melakukan survey pendahuluan endapan material serpih padat di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah.

Beberapa penelitian pendahuluan tentang serpih minyak atau material serpih ini memotivasi peneliti untuk mengetahui lebih dalam pengaruh material clay dan karbonat terhadap proses pemanasan material organik yang berada dalam material ini. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui tingkat maturasi material organik yang bercampur dengan material clay ataupun organik, serta bagaimana cara meningkatkan maturasi sehingga diharapkan hasil penelitian ini akan menghasilkan sebuah metode baru untuk eksplorasi dan pengolahan sumber energi baru terbarukan. Metode ini diharapkan dapat membantu mengatasi krisis migas di masa yang akan datang dan menunjang pengembangan IPTEKS dalam bidang eksplorasi sumber daya alam. Terakhir perkembangan riset untuk energi alternatif ini diperkirakan dapat dimanfaatkan secara komersial, dan diharapkan bermanfaat sebagai bahan bakar maupun penghasil energi listrik yang cukup handal dan relatif murah bagi industri dan kebutuhan manusia sehari-hari.

Pengolahan material serpih dengan pemanasan tersebut memerlukan beberapa parameter yang tepat, agar reaksi perubahan (maturasi) secara fisika, kimia dan biologi dari material serpih dapat terjadi sesuai yang diinginkan. Beberapa parameter yang berhubungan dengan variasi atau tingkat maturasi organik adalah temperatur, energi aktivasi (berbanding terbalik dengan kecepatan reaksi) dan jenis material. Maturasi dapat diartikan juga sebagai pematangan,

(20)

dalam hal ini adalah pematangan material organik di dalam material karbonat dan clay, sering disebut sebagai material serpih atau serpih minyak. Dengan menentukan tingkat maturasi organik, maka pekerjaan akan lebih terstruktur dan akurat. Reaksi tahap-1 adalah immature, yaitu material organik belum matang; reaksi tahap-2 adalah mature yaitu material organik sudah matang atau mulai crack; reaksi tahap-3 adalah over mature, yaitu material organik dalam kondisi sangat matang (biasanya menghasilkan gas). Tahap-tahap reaksi tersebut berhubungan erat dengan energi aktivasi (termasuk temperatur dan kecepatan reaksi), dan jenis material serpih (clay-organik atau karbonat-organik). Dengan mengetahui nilai parameter (dari hasil penentuan energi aktivasi) dan jenis material tersebut, maka pekerjaan pengolahan material serpih dalam hal pengaturan temperatur dapat ditentukan, sehingga tidak terjadi kesalahan saat proses pemanasan.

Penelitian tentang maturasi material organik di Indonesia telah berhasil baik, dengan tujuan untuk memperkirakan tingkat kematangan material organik dalam material batuan. Penelitian tersebut ternyata sangat membantu untuk menunjang kegiatan eksplorasi hidrokarbon. Dasar penentuan maturasi hidrokarbon, melihat perubahan sifat biologi, kimia dan fisika, salah satunya adalah penentuan parameter perubahan sifat fisika dari material tersebut, dimana analisis perubahan sifat fisika dan kimia merupakan metode yang sering digunakan untuk menentukan salah satu indikator maturasi sebuah material. Beberapa tahun sebelumnya, disebutkan bahwa dasar penentuan maturasi material organik, umumnya menggunakan teknologi geokimia, dimana data geokimia waktu itu merupakan salah satu indikator yang cukup akurat untuk memprediksi maturasi hidrokarbon, sementara metode-metode yang digunakan pun dirasakan masih tergantung pada data-data geokimia. Masalahnya, haruskah indikator untuk mengetahui tingkat kematangan material organik selalu menggunakan data-data geokimia, dan teknologi yang dipakai haruskah selalu memakai teknologi geokimia? Jika hal tersebut berlangsung terus, sedangkan waktu pun terus berjalan seiring dengan perubahan alam dan semakin sulitnya menemukan cadangan-cadangan baru hidrokarbon, tentunya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang cukup komplek. Karena sifat bahan yang mengalamai

(21)

perubahan fisika, biologi dan kimia disebabkan oleh adanya perubahan panas, temperatur dan perubahan fisik, maka berangkat dari perkembangan teknologi termal (panas) dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut, dibuat suatu indikator baru untuk mengetahui tingkat kematangan material organik, dengan menggunakan metode termal yang dihubungkan dengan teknologi geokimia dan parameter petrofisika. Data-data yang dapat menunjukkan tingkat maturasi material organik diantaranya TAI, TTI, Ro, dan sebagainya. Bahkan telah banyak para ahli mengembangkan teknologi geotermal untuk mengetahui tingkat kematangan minyak bumi tersebut, diantaranya Subono dan Siswoyo (1995), Dewanto (2001), Nakayama (1987) dan sebagainya.

Cara pemanfaatan material serpih termasuk teknologi baru dan non konvensional karena tidak sekedar mengebor dan kemudian memproduksi minyak, namun diperlukan lagi sebuah proses penelitian untuk mendapatkan shale oil. Selama ini penelitian-penelitian yang telah berjalan belum banyak yang membahas atau meneliti secara spesifik jenis kandungan material organik yang bercampur dengan material clay atau karbonat dan mendapat perlakuan panas. Material clay tersebut misalnya Al2Si2O5(OH)4 (kaolinite), Mg2Al10Si24O60(OH)12 (Smektit/Montmorillonite), Ky(Al Fe Mg)(Si2-yAly)O5(OH) (Illite), dan (OH)4(Si Al)8(MgFe) (Klorite). Material karbonat adalah calcite (CaCO3, kalsium karbonat), dolomite (CaMg(CO3)2) dan aragonite.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, pada penelitian ini akan diawali dengan melakukan pemilihan jenis material sesuai dengan tujuan, yaitu clay dan karbonat digunakan material alam hasil coring pada proses pengeboran pada kedalaman tertentu. Bersamaan dengan pengukuran porositas () dan permeabilitas (K), maka semua material yang mengisi clay dan karbonat ini dikeluarkan, sehingga tidak ada lagi fluida atupun organik yang menempati material clay dan karbonat. Kemudian melakukan karakterisasi material tersebut agar diperoleh jenis material yang memang betul-betul clay (kaolinite atau illite) dan karbonat (CaCO3). Material organik yang digunakan adalah sesuai dengan organik yang terkandung dalam material serpih alam, yaitu material organik kelompok senyawa siklik berupa asam salisilat (C7H6O3) dan senyawa organik alifatik berupa asam stearat (C17H35COOH) yang merupakan senyawa alifatik

(22)

rantai sedang (lebih dari C25). Material organik tersebut masuk dalam jenis golongan kerogen tipe II (Killops dan Killops, 2005).

Pembuatan material serpih ini yaitu dengan cara mencampur material clay dengan organik, dan material karbonat dengan organik. Pencampuran dilakukan dengan cara variasi perbandingan persen berat, mixing, waktu mixing dan terakhir hasil pengujian TOC (pirolisis) , dimana nilai TOC ≥ 12.0% (Waples, 1985) sebagai syarat material serpih yang baik. Selain itu juga dilakukan penambahan logam Fe pada material serpih (berbasis clay dan karbonat) yang sudah terbentuk. Setelah didapatkan beberapa sampel material serpih (berbasis clay dan karbonat) dengan perbandingan tertentu dan bervariasi, dan material serpih yang ditambah logam Fe, maka dilakukan karakterisasi dan beberapa pengujian yaitu dengan menggunakan alat SEM, XRD, FTIR, TGA dan Pirolisis.

Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk mengetahui perbedaan ukuran partikel pada clay, karbonat, clay-organik, karbonat-organik, dan material serpih yang sudah ditambah dengan logam Fe. Dari hasil analisa SEM-Edax didapatkan morfologi dan unsur-unsur yang terkandung dalam material-material tersebut.

Karakterisasi difraksi sinar-x pada material serpih dan penyangga bertujuan untuk mengetahui jarak ruang basal (d001) dari clay alam dengan clay-organik (masing-masing variasi) dan clay-organik yang telah ditambah dengan logam oksida pilar Fe. Karakterisasi XRD juga dilakukan pada material serpih karbonat, serta karbonat-organik yang telah ditambah dengan logam oksida pilar Fe.

Pengujian pirolisis digunakan untuk menentukan kandungan organik (TOC), kematangan material organik, mendeteksi kandungan minyak/gas yang dihasilkan dan juga digunakan untuk mengidentifikasi ulang tipe dari beberapa campuran material. Proses pemanasan yang dilakukan dengan metode pirolisis mengacu pada para peneliti terdahulu yaitu Katz (1983), Berraja dkk (1988), Kamtono, Praptisih dan Siregar (2005), Heryanto dan Hermiyanto (2006), Hidayat dan Fatimah (2007), Praptisih, Kamtono, Putra dan Hendrizan (2009), Hermiyanto dan Ningrum (2009).

Kegiatan penelitian ini juga menggunakan analisis termal. Dua jenis teknik analisa termal yang utama adalah analisa termogravimetrik (TGA), yang secara otomatis merekam perubahan berat sampel sebagai fungsi dari suhu maupun

(23)

waktu, dan analisa diferensial termal (DTA) yang mengukur perbedaan suhu, T, antara sampel serpih. Teknik yang berhubungan dengan DTA adalah diferential scanning calorimetry (DSC). Dari pengujian yang telah dilakukan dapat diolah menjadi grafik TG (thermogravimetry) dan DTG (differential thermogravimetry). Grafik TG adalah grafik dY/dt terhadap Tsolid. Grafik DTG yaitu grafik d2Y/dt2 terhadap Tsolid. Kedua grafik ini digunakan untuk mencari sifat-sifat pirolisis material serpih (clay dan organik) dan yang telah ditambah dengan logam Fe.

Dengan melakukan serangkaian pengujian untuk memperoleh pasangan

dY/dt dan Tsolid, maka dapat dibuat grafik hubungan antara ln (dY/dt) dengan

1/Tsolid. Grafik yang terbentuk kemudian dicari persamaan garis lurusnya melalui regresi linear, sehingga didapat nilai energi aktivasi dari: E=−aR, nilai faktor pre-eksponensial (A) ditemukan pada saat grafik y=ax+c memotong sumbu y atau 1/Tsolid=0 (Suyitno, 2009; Indrati dkk, 2000; Rufiati, 2011; Cahyadi dkk, 2011).

Perumusan dan analisis energi aktivasi berdasarkan pada beberapa peneliti terdahulu, yaitu: Ravindra Pogaku dkk (2012) melakukan penelitian tentang energi aktivasi dan laju reaksi enzim-katalis. Balloni dkk (1995) melakukan penelitian tentang energi aktivasi SiO2 yang tergantung pada input daya. Plot Arrhenius dalam batas tinggi menunjukkan bahwa energi aktivasi benar-benar tidak tergantung pada rf diterapkan. Tundjung Indrati dkk (2000) melakukan penelitian tentang penentuan energi aktivasi pelet (Th,U)Oz pada tahap pertumbuhan butir menggunakan dilatometer dan Scanning Electrone Microscope (SEM). Metoda perhitungannya dengan metoda yang berdasarkan kurva penyusutan pellet. Cahyadi dkk (2011) melakukan studi perilaku penyalaan partikel batubara Indonesia menggunakan Thermogravimetric Analysis dalam kondisi O2/N2 dan O2/CO2. Sato dkk (2010) melakukan penelitian tentang aktivasi energi bebas yang memiliki ketergantungan terhadap suhu. Ketergantungan suhu ditemukan lebih besar untuk perhitungan. Penentuan energi aktivasi, faktor pre-eksponensial dan kecepatan reaksi dari analisis TGA mengacu dari beberapa beberapa hasil penelitian para peneliti sebelumnya, diantaranya adalah: Katarzyna dkk (2011), Farzuhana dan Zakaria (2013), Dwi Aries Himawanto dkk (2011), Nugroho Dewayantoa (2014), Dwi Aries Himawanto

(24)

(2013), Nukman (2001), Dwi Aries Himawanto dkk (2013), Ahmad Syafiq (2009), Sugeng Riyanto (2009), Any Kurniawati (2012), Eman A. Emam (2013), Tjukup Marnoto dan Endang Sulistyowati (2012), Yan dan Zhang (2014), Sugondo (2012), Harit Sukma (2012), Malika dkk (2014), Yohanes Martono dkk (2012), Cantrell dkk (2010), Suyitno (2009), Siti Diyar Kholisoh (2011), Tri Minarsih (2011), Longbo Jiang dkk (2014).

Hubungan energi aktivasi dengan laju reaksi adalah berbanding terbalik. Semakin besar energi aktivasi maka laju reaksinya semakin lambat karena energi minimum untuk terjadi reaksi semakin besar. Laju reaksi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: suhu, katalisator, luas permukaan dan konsentrasi.

Menaikkan suhu berarti menambahkan energi, sehingga energi kinetik molekul-molekul akan meningkat. Akibatnya molekul-molekul yang bereaksi menjadi lebih aktif mengadakan tumbukan. Dengan kata lain, kenaikan suhu menyebabkan gerakan molekul makin cepat sehingga kemungkinan tumbukan yang efektif makin banyak terjadi.

Katalisator adalah zat yang mempercepat reaksi, tetapi tidak ikut bereaksi. Material clay mampu membuat material organik mature lebih cepat dan bahkan temperatur yang diperlukan untuk perubahan (melalui cracking termal material organik yang tidak menguap) lebih kecil dibandingkan material karbonat (CaCO3). Clay (kaolinite/illite) disini bertindak sebagai katalis, dan menurunkan energi aktivasi (Ea) dari suatu reaksi, sehingga lebih mudah dilampaui oleh molekul-molekul reaktan akibatnya reaksi menjadi lebih cepat. Sesuai hasil penelitian dari Gopalpur Nagendrappa (2002) semua mineral lempung dapat mengkatalisis berbagai reaksi organik yang terjadi di permukaan dan ruang interstitial. Para ahli seperti Milliken dkk, tertarik pada potensi clay ini yang luar biasa sebagai katalis dan relatif baru. Penggunaan katalis dalam minyak bumi industri dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami luar biasa ekspansi. Yang paling penting dari katalis ini digunakan dalam proses cracking, sebagai konsekuensi pertumbuhan dari catalytic cracking, menjadi industri besar. Sebagai saran dari peneliti agar menggunakan modifikasi clay dan jenisnya misal kaolinit. Eman dan Emam (2013), meneliti katalis clay yang telah menarik banyak minat dalam aplikasi katalitik dalam industri minyak bumi. Clay yang digunakan secara

(25)

luas untuk berbagai proses seperti catalytic cracking, hydrocracking, reformasi, isomerisasi, hidrogenasi, alkilasi. Clay yang paling penting digunakan dalam pembuatan katalis adalah kaolinit dan monmorilonit. Masih banyak ahli-ahli yang berhasil menggunakan clay sebagai katalis dalam hubungannya dengan organik, tentunya dengan berbagai metode.

Pada pencampuran reaktan yang terdiri dari dua fase atau lebih, tumbukan berlangsung pada bagian permukaan zat. Laju seperti itu, dapat diperbesar dengan memperluas permukaan sentuhan zat itu dengan cara memperkecil ukuran partikelnya. Makin luas permukaan bidang sentuh, makin cepat laju reaksinya. Penambahan logam Fe pada material serpih (clay dan karbonat), menyebabkan luas permukaan spesifiknya lebih besar, sehingga volume micro porinya juga lebih besar, hal tersebut menyebabkan material organik mature lebih cepat dan bahkan temperatur yang diperlukan untuk perubahan lebih kecil dibandingkan material serpih tanpa Fe.

Metode pilarisasi yang dapat manambah nilai luas permukaan dan volume pori ini dapat mempercepat reaksi dan merubah laju rekasi menjadi lebih besar, hal ini telah banyak dibuktikan oleh beberpa hasil penelitian para ahli. Adi Darmawan dkk (2005) melakukan sintesis clay terpilar Titania dengan cara interkalasi larutan pemilar titanium pada clay dilanjutkan dengan kalsinasi. Hasil ini menunjukkan karakter dari clay terpilar TiO2 yang berfungsi untuk kepentingan adsorpsi atau katalis akan lebih maksimal, sehingga lempung terpilar TiO2 siap untuk aplikasi lebih lanjut sesuai kebutuhan yang diinginkan. Kemudian Tuty Alawiyah dan Iwan Sumarlan (2013) juga berhasil melakukan sintesis TiO-Montmorillonit dengan karakteristik yang sesuai dengan prinsip dasar modifikasi pilarisasi dan pertukaran kation. Kemudian Xiufeng Xu dkk (2004) melakukan penelitian dengan cara penambahan/pilar Ti ke dalam clay-organik, sehingga berfungsi sebagai katalis dari Clay-Organik. Hasilnya menyebabkan kinerja katalitik yang tinggi untuk pembakaran metana di bawah suhu reaksi 400OC-550OC. Kemudian Huan-Yan Xu (2009) dkk melakukan penelitian tentang Katalis Fe-bearing berbasis tanah liat yang berhasil disiapkan dan digunakan sebagai katalis heterogen dalam sistem Fenton seperti untuk perubahan warna asam air limbah fuchsine. Selanjutnya Nicoleta Platon Dkk

(26)

(2013) melakukan penelitian tentang katalis yang disintesis berdasarkan lempung dimodifikasi secara kimia melalui proses pillaring dengan Al (III) dan Fe (III) menggunakan bentonit komersial dan acidtreated montomorillonite. Kandungan zat besi yang lebih tinggi dalam solusi pillaring membuat luas permukaan yang tinggi, sementara kandungan aluminium tinggi menyebabkan luas permukaan kecil. Kemudian Cezar Catrinescu dkk (2002) menyajikan evaluasi kinerja katalitik Fe dan Al berbasis clay dengan menggunakan metode powder. Kedua lempung terpilar sangat aktif dalam penyisihan fenol, memungkinkan penghapusan total fenol. Kemudian Grygar dkk (2007) berhasil memodifikasi sintesis clay (Montmorillonite dan Bentonite) dengan logam Fe dalam dehidrogenasi oksidatif propana untuk propena. Selanjutnya Bankovi dkk (2009) melakukan penelitian tentang Fe-berpilar disintesis dari tanah liat domestik dari Bogovina, untuk katalis tanah liat pada degradasi material organik. Dan masih banyak hasil-hasil penelitian tentang pilarisasi ini dalam hubungannya dengan luas permukaan dan laju reaksi.

Kemudian, laju reaksi dapat dipengaruhi oleh konsentrasi. Makin besar konsentrasi zat reaktan berarti besar kemungkinan terjadinya tumbukan yang efektif, sehingga laju reaksinya akan semakin cepat. Tumbukan yang efektif adalah tumbukan antar molekul yang menghasilkan reaksi, dan hanya dapat terjadi bila molekul yang bertumbukan tersebut memiliki energy aktivasi yang cukup. Energi aktivasi adalah energi minimum yang harus dimiliki molekul agar tumbukannya menghasilkan reaksi.

Pengujian pirolisis selain digunakan untuk menentukan kandungan organik (TOC), untuk menentukan nilai Tmax (temperatur maksimum), perlu juga diketahui besarnya temperatur yang diperlukan molekul air terlepas dari struktur kristal serpih clay dan karbonat. Kemudian temperatur yang diperlukan pada perubahan fasa sempurna, yaitu perubahan struktur pada material clay-organik atau karbonat-organik dan hilangnya molekul air secara kimiawi. Selanjutnya yang terakhir perlu diketahui juga temperatur saat molekul-molekul yang ada di dalam material clay atau karbonat terlepas. Kemudian untuk menentukan kematangan material organik, mendeteksi kandungan migas yang dihasilkan dan digunakan untuk mengidentifikasi ulang tipe dari beberapa campuran material.

(27)

1.2 Perumusan Masalah

Karbonat dan clay merupakan dua jenis material yang selalu dijumpai di alam dan selalu menjadi bahan penelitian para ahli. Jika karbonat atau clay mengandung organik dalam skala yang cukup besar dan berada pada kedalaman tertentu, kemudian mendapat pengaruh panas dan tekanan, maka akan terjadi reaksi atau perubahan, kemudian akan menghasilkan zat baru sebagai energi, yaitu minyak dan gas bumi. Para ahli banyak melakukan penelitian dengan tujuan mendapatkan hasil energi dengan berbagai cara, misal meneliti karakteristik dari material, memodifikasi metode, menciptakan waktu proses yang lebih efisien, dan sampai kepada membuat bahan dasar misal budidaya organik dan sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

1) Bagaimana cara memilih material karbonat alam (CaCO3), clay alam (kaolinite) dan material organik pada serpih minyak?

2) Bagaimana cara membuat material serpih clay (SMC) dan karbonat (SMK), agar sesuai dengan material serpih minyak?

3) Parameter apa yang dapat diperoleh dari metode pirolisis dan analisis Termogravimetri (TGA) sebagai indikator tingkat maturasi SMC dan SMK? 4) Bagaimana pengaruh material serpih clay (SMC) dan karbonat (SMK) serta

penambahan Fe dengan komposisi yang berbeda-beda terhadap nilai parameter Tmax dan energi aktivasi yang diperoleh dari metode pirolisis dan Termogravimetri (TGA)?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Mengkarakterisasi material calcite alam (CaCO3), clay alam (kaolinite), dan bahan organik serpih minyak yaitu material organik kelompok senyawa siklik berupa asam salisilat dan alifatik berupa asam stearat.

2) Menetukan TOC material serpih dengan pengujian Rock-Eval Pyrolysis, sehingga dapat ditentukan material serpih sesuai serpih minyak (TOC≥11%).

(28)

3) Menentukan interval temperatur, energi aktivasi dan laju reaksi untuk masing-masing tahap reaksi pada pemanasan material serpih (hasil analisis TGA), dan menentukan Tmax (hasil Rock-Eval Pyrolysis).

4) Menentukan tingkat maturasi material serpih (CaCO3-C7H6O3, clay-C17H35COOH, dan penambahan Fe) berdasarkan hasil analisis parameter energi aktivasi, temperatur, kecepatan reaksi (hasil TGA) dan Tmax (hasil

Rock-Eval Pyrolysis).

5) Menentukan material serpih clay (SMC) dan karbonat (SMK) yang lebih dominan mempengaruhi nilai energi aktivasi, interval temperatur, kecepatan reaksi dan Tmax, sebagai dasar penentuan tingkat maturasi serpih minyak.

1.4 Hipotesa Penelitian

Hipotesa penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Nilai TOC (total organic carbon) mempengaruhi Tmax (temperatur maksimum) pada material serpih karbonat (SMK) dan clay (SMC), dimana semakin besar nilai TOC maka semakin kecil Tmax.

2) Harga Tmax yang terekam sangat dipengaruhi oleh jenis material serpih, dengan kondisi nilai TOC yang sama, dimana Tmax material serpih clay (SMC) lebih kecil dibanding karbonat (SMK).

3) Dari nomor 2, menyebabkan temperatur tingkat maturasi material serpih clay (SMC) lebih kecil dibanding karbonat (SMK).

4) Semakin besar temperatur semakin cepat endapan terbentuk, maka waktu yang diperlukan untuk mereaksikan CaCO3+C7H6O3, clay+C17H35COOH, CaCO3+C7H6O3+Fe, clay+C17H35COOH+Fe semakin kecil, atau semakin tinggi temperatur pereaksi, makin cepat kecepatan reaksinya.

5) Hubungan energi aktivasi dengan laju reaksi adalah berbanding terbalik. Semakin besar energi aktivasi maka laju reaksinya semakin lambat karena energi minimum untuk terjadi reaksi semakin besar, begitu sebaliknya. 6) Energi aktivasi material serpih clay lebih kecil dibanding karbonat.

7) Perbandingan komposisi (wt.%) clay yang besar dibanding organik menyebabkan material serpih clay (dengan TOC≥11%) memiliki energi aktivasi lebih kecil, sedangkan jika material clay diganti karbonat, maka yang terjadi sebaliknya.

(29)

8) Penambahan logam Fe dan nilai TOC yang besar mempengaruhi energi aktivasi menjadi lebih kecil.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Mengetahui tingkat maturasi material serpih clay (SMC) dan karbonat (SMK) dengan komposisi yang berbeda-beda, sehingga membantu pelaksanaan pengolahan serpih minyak menjadi minyak dan gas bumi atau sejenisnya.

2) Diperoleh metode baru untuk menciptakan waktu reaksi yang lebih efisien, sehingga diharapkan proses konversi material serpih menjadi minyak dan gas dapat dikerjakan sesuai tujuan.

3) Menghasilkan sebuah metode baru untuk eksplorasi sumber energi baru terbarukan, diharapkan dapat membantu mengatasi krisis migas di masa yang akan datang. Hasil penelitian ini sangat menunjang pengembangan IPTEKS dalam bidang eksplorasi sumber daya alam.

1.6 Batasan Penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa hal yang perlu dibatasi, yaitu:

1) Material yang digunakan adalah karbonat alam (CaCO3) dan clay alam yang diambil dari hasil coring pada kedalaman tertentu (2000-3000 m).

2) Material organik yang dipilih adalah kelompok senyawa siklik berupa: naftalen atau asam salisilat (C7H6O3) dan senyawa organik alifatik berupa: asam stearat (C17H35COOH) atau asam laurat.

3) Pembuatan material serpih dilakukan dengan metode perbandingan berat %: a. Clay + C17H35COOH : 50%:50% ; 33%:67%; 67%:33% b. CaCO3 + C7H6O3 : 50%:50% ; 33%:67%; 67%:33% c. (Clay+ C17H35COOH)+Fe : 75%:25%

d. (CaCO3+C7H6O3)+Fe : 75%:25%

4) Dasar menentukan tingkat maturasi, melihat hasil pengujian dan analisis: SEM, XRD, TGA dan Pirolisis, yaitu dengan melihat nilai TOC, Tmax, laju reaksi dan energy aktivasi, serta diperkuat oleh hasil pengujian FTIR.

(30)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Clay (Lempung)

Lempung dapat didefinisikan sebagai campuran partikel-partikel pasir, debu dan bagian-bagian tanah liat yang mempunyai sifat-sifat karakteristik yang berlainan dalam ukuran yang kira- kira sama. Salah satu ciri partikel-partikel tanah liat adalah mempunyai muatan ion positif yang dapat dipertukarkan. Struktur kristal lempung terbentuk dari dua struktur lapisan dasar yaitu silika dan alumina (Grim, 1962). Lapisan silika memiliki rumus molekul (Si4O10)4-. Lapisan ini terbentuk dari satu atom silikon (Si) yang membentuk struktur tetrahedral dengan empat atom oksigen (O2-) atau hidroksi (OH-). Atom silikon berada di pusat tetrahedral. Jarak antara atom-atom oksigen adalah sama. Lempung biasanya muncul dari daerah dengan kondisi geologis tertentu dan bisa terbentuk di laut (marine clay) atau di darat (terrestrial clay), dengan proses pembentukan bisa secara allogenic clay (dari luar cekungan sedimentasi) atau secara authigenic clay (terbentuk di dalam lingkungan sedimentasi, misalnya perubahan atau proses alterasi dari mineral feldspar menjadi mineral lempung) dan juga dapat terbetuk di daerah vulkanik, daerah geotermal dan sebagainya. Pada saat karakterisasi lempung, secara umum tidak memerlukan spesifikasi proses laboratorium yang kaku, tetapi analisa laboratorium ini tetap diperlukan untuk dapat membedakan mutu dari lempung itu sendiri dan untuk dapat diarahkan terhadap penggunaannya. Secara umum untuk mengidentifikasi mineral lempung dilakukan dengan metode difraksi sinar-X atau XRD, untuk mengidentifikasi unsur-unsur yang berada pada lempung digunakan metode XRF sedangkan untuk mengetahui morfologi dari lempung digunakan metode SEM. Kesulitan dalam intepretasi difraktogram yang sering timbul dalam teknik identifikasi ini adalah terjadinya pola difraksi yang kompleks akibat adanya interstratifikasi berbagai jenis mineral lempung dan mineral non lempung dalam lempung alam, dan terbentuknya pita difraksi yang lebar yang disebabkan oleh adanya cacat kristal dan keteraturan kristal lempung yang rendah. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan mineral lempung standar yaitu berupa kaolinit dan monmorilonit murni sebagai pembanding. Tetapi pada

(31)

kenyataannya lempung murni sangat jarang ditemukan. Namun sesungguhnya mineral lempung murni dapat diperoleh dengan cara sintesis ataupun pemisahan mineral lempung utama dalam lempung alam. Pemurnian lempung untuk mendapatkan kaolinit dan monmorilonit murni dapat dilakukan dengan cara pemisahan fraksinasi berat jenis, proses ini dikenal dengan nama benefisiasi.

Lempung merupakan mineral sekunder dan tergolong aluminium filosilikat terhidrasi (Barroroh, 2007). Mineral lempung (clay) sangat umum digunakan dalam industri keramik. Mineral lempung merupakan penyusun batuan sedimen dan penyusun utama dari tanah (Nelson, 2001). Lempung adalah material yang memiliki ukuran diameter partikel < 2 μm dan dapat ditemukan dekat permukaan bumi. Karakteristik umum dari lempung mencakup komposisi kimia, struktur lapisan kristal dan ukurannya. Semua mineral lempung memiliki daya tarik terhadap air. Sebagian mudah untuk membesar dan dapat memiliki volume 2 kali lebih besar dalam keadaan basah. Sebagian besar lempung terbentuk ketika batu berkontak dengan air, udara atau gas. Contohnya adalah batu yang mengalami kontak dengan air yang dipanaskan oleh magma (lelehan batu), batuan sedimen di laut atau di dasar danau. Semua kondisi alam di atas akan membentuk mineral lempung dari mineral sebelumnya (Grim, 1962). Mineral lempung terdiri atas berbagai jenis, antara lain: kaolinit, monmorilonit, illit atau mika, dan antapulgit (Nurahmi, 2001). Mineral lempung yang terbentuk dari erosi benua, tanah dan batuan-batuan laut adalah bagian yang penting untuk lingkaran yang membentuk batuan sedimen. Batuan sedimen dilaporkan mengandung 70% batuan lumpur (terkandung 50% pecahan lempung) dan shale (batuan yang mudah pecah, seperti batuan lumpur mengandung partikel lempung). Karakteristik fisik lempung adalah lengket dan mudah dibentuk saat lembab, tetapi keras dan kohesif saat kering (Nagendrappa, 2002). Sebagian besar lempung memiliki kemampuan menyerap ion dari suatu larutan dan melepaskan ion tersebut bila kondisinya berubah. Molekul air sangat tertarik pada permukaan mineral lempung, oleh karena itu ketika sedikit lempung ditambahkan ke dalam air maka akan terbentuk

slurry karena lempung mendistribusikan dirinya sendiri ke dalam air. Campuran

lempung dalam jumlah besar dan sedikit air akan menghasilkan lumpur yang dapat dibentuk dan dikeringkan untuk menghasilkan bahan yang keras dan padat.

(32)

2.1.1 Karakteristik Clay

Contoh hasil analisis SEM pada material serpih Formasi Kelesa yang dilakukan oleh Heryanto dan Hermiyanto (2006) ditunjukkan dalam Gambar 2.1. Terlihat bahwa mineral penyusun utamanya adalah mineral-mineral lempung. Secara lebih rinci penyusunnya didominasi oleh paduan lembaran lempung smektit-ilit serta sebagian ilit dan kaolinit, yang memperlihatkan tekstur krenulasi, berserat rambut (hairy), berorientasi sedang (sub-oriented), berlembar (fissile),

pseudohexagonal, dan vermiculate. Dijumpai juga kehadiran laumontit

(Ca(Al2Si4O12).4H2O) sebagai tipe mineral zeolit. Mineral lain yang dijumpai pada serpih adalah biotit, felspar, dan pirit framboid, sebagian pirit terlihat dibalut oleh mineral klorit. Hadir juga adanya jejak minyak (oil trace) atau tetesan minyak/bitumen.

Gambar 2.1.

Foto SEM Material Formasi Kelesa, yang menunjukkan Smektit-Ilit (Sm-I); Laumontit (Lm) (Ca(Al2Si4O12).4H2O) Tipe Zeolit; Algae (Al) Tipe Lamalginit;

dan Oil Droplet (do). Perbesaran 3000x. (Heryanto dan Hermiyanto, 2006)

Batuan serpih juga terlihat telah mengalami proses diagenetik yang ditandai oleh hadirnya mineral lempung autogenik yang membentuk paduan lembaran lempung terdiri atas smektit-ilit, ilit, kaolinit, laumontit, dan klorit. Kehadiran kuarsa tumbuh (quartz overgrowth) dan pirit framboid dan juga kompaksi batuan menunjukkan adanya karakter diagenetik. Heryanto dan Hermiyanto (2006) juga melakukan analisis SEM pada material batuan Formasi Lakat (Gambar 2.2), yang

(33)

menunjukkan bahwa massa dasar batulumpur adalah kaolinit dan sedikit smektit-ilit dan smektit. Bahan organik yang teridentifikasi di antaranya adalah vitrinit dan alginit. Kompaksi ditunjukkan oleh adanya orientasi mineral lempung, sedangkan mineral autigenik ditunjukkan dengan adanya kaolinit, smektit, ilit, dan campuran mineral smektit-ilit. Adapun disolusi diperlihatkan oleh adanya pelarutan mineral lempung primer, sementara itu dijumpai juga mineral lempung vermikulit.

Gambar 2.2.

Foto Mikrograf SEM batu lumpur Formasi Lakat yang menunjukkan campuran Kaolinit dan Smektit-Ilit percontoh batuan. Perbesaran 6000x.

(Heryanto dan Hermiyanto, 2006)

(34)

Karakterisasi material clay selain menggunakan SEM, juga menggunakan XRD, sebagai contoh karakterisasi yang dilakukan oleh Qodari (2010). Beliau mengkarakterisasi jenis mineral yang ada pada sampel lempung Pagedangan dan sampel lempung Gataan. Komposisi kimia dari lempung dapat teramati pada difraktogram dari hasil karakterisasi dengan XRD.

Gambar 2.3, menujukkan komposisi kimia lempung asal Desa Getaan adalah SiO2 (cristobalite) dan (Ca,Na)(Si,Al)4O8 (anorthite, sodian, disordered). Selanjutnya dari hasil analisis didapatkan komposisi kimia lempung asal daerah Pagedangan (Gambar 2.4) adalah kaolinite (Al2Si2O5(OH)4) dan (Ca, Na)(Si, Al)4O8 (anothite, sodian, disordered). Kaolinite terbentuk dari perubahan hidrotermal dari mineral-mineral aluminosilikat. Batuan granit merupakan sumber terbesar penghasil kaolinite. Sifat dari kaolinite adalah tidak dapat mengadsorpi air, kaolinite tidak dapat mengembang pada saat kontak dengan air. Sehingga lempung Pagedangan berpotensi dijadikan bahan baku pembuatan keramik bermutu tinggi.

Gambar 2.4. Difaktogram sampel lempung Pagedangan (Qodari, 2010)

2.1.2 Komposisi Mineral Clay

Berdasarkan komposisinya mineral clay dibedakan menjadi beberapa kelompok seperti ditampilkan pada Tabel 2.1, sedangkan komposisi kimia yang terdapat dalam clay menurut metode NLCE (National Laboratory for Civil

(35)

Tabel 2.1. Kelompok dan komposisi mineral clay

Kelompok Struktur Lapisan Komposisi

Kaolinite 1:1 dioktahedral Al2Si2O5(OH)4 Serpentine 1:1 trioktahedral Mg6Si4O10(OH)8 Montmorillonite atau smectite 2:1 dioktahedral atau trioktahedral (Na,Ca)0,3(Al,Mg)2Si4O10 (OH)2. nH2O

Pyrohyllite 2:1 dioktahedral Al2Si4O10(OH)2

Talk 2:1 trioktahedral (Mg,Fe,Al)6(Si,Al)4O10(OH)8 Chlorite 2:2 trioktahedral (Mg,Fe,Al)6(Si,Al)4O10(OH)8 Mika 2:1 dioktahedral atau

trioktahedral

KAl2(AlSi3)O10(OH)

Sumber: Qodari, 2010

Lapisan alumina memiliki rumus molekul Al2(OH)6 dan ini biasa disebut

gibbsite. Struktur ini tersusun satu atom alumunium dan enam atom oksigen yang

membentuk struktur oktahedral. Atom alumunium dapat digantikan oleh atom magnesium membentuk struktur dengan nama brucite, Mg3(OH)6.

Tabel 2.2. Komposisi kimia dalam clay

Senyawa Jumlah (%)

Silika (SiO2) 61,43

Alumina (Al2O3) 18,99

Besi Oksida (Fe2O3) 1,22

Kalsium Oksida (CaO) 0,84

Magnesium Oksida (MgO) 0,91

Sulfur Trioksida (SO3) 0,01

Potasium Oksida (K2O) 3,21

Sodium Oksida (Na2O) 0,15

H2O hilang pada suhu 105 0C 0,60 H2O hilang pada pembakaran diatas 105 0C 12,65 Sumber: Qodari, 2010

2.1.3 Jenis-Jenis Clay

Berdasarkan struktur dan komposisi kimia, lempung dapat dibagi menjadi tiga kelas utama, yaitu kandite, smectite dan illite (Nelson, 2001).

2.1.3.1 Kandite

Kandite adalah jenis mineral lempung yang mempunyai struktur susunan lapisan kristal T-O (tetrahedral-oktahedral) dengan lapisan oktaheral seperti

(36)

struktur gibbsite (Gambar 2.5). Lapisan tersebut bermuatan netral, oleh karena itu ikatan antar lapisannya merupakan ikatan van der Waals yang lemah. Jenis lempung yang terkenal dari golongan kandite adalah kaolinite yang mempunyai rumus molekul Al2Si2O5(OH)4. Jenis lainnya adalah Anauxite, Dickite, dan Nacrite.

Gambar 2.5. Struktur molekul kandite (Qodari, 2010)

Kaolinite terbentuk dari perubahan hidrotermal dari mineral-mineral aluminosilikat. Batuan granit merupakan sumber terbesar penghasil kaolinite. Dalam pembentukannya ion-ion seperti Na+, K+, Mg2+ dan Ca2+ harus disingkirkan terlebih dahulu melalui proses pertukaran ion dengan kondisi pH yang rendah. Sifat dari kaolinite adalah tidak dapat mengadsorpi air, sehingga kaolinite tidak dapat mengembang pada saat kontak dengan air. Oleh karena itu kaolinite banyak digunakan dalam industri keramik. Jenis lempung lain yang masuk dalam kelas kandite adalah halloysite dengan rumus molekul Al2Si2O5(OH)4.4H2O, strukturnya mirip dengan kaolinite namun diantara lapisan T-O terdapat lapisan molekul air.

2.1.3.2 Smectite

Smectite adalah lempung dengan struktur T-O-T. Smectite dapat berstruktur dioktahedral atau trioktahedral (Gambar 2.6). Sifat smectite yang paling penting adalah kemampuannya untuk menyerap molekul H2O di antara lapisan T-O-T, sehingga volumenya akan meningkat jika dikontakkan dengan air. Contoh lempung smectite yang paling terkenal adalah montmorillonite yang mempunyai rumus molekul; (½Ca,Na)(Al,Mg,Fe)4(Si,Al)8O20(OH)4. nH2O.

(37)

Gambar 2.6. Struktur molekul smectite (Qodari, 2010)

Montmorillonite merupakan unsur utama dari bentonite. Montmorillonite terbentuk karena adanya perubahan bentuk dari abu vulkanik yang disebabkan oleh perubahan cuaca. Montmorillonite dapat mengembang sampai beberapa kali dari volume awalnya ketika kontak dengan air (Nelson, 2001). Lapisan dalam montmorillonite biasanya mengandung ion Na+, Ca2+ dan Mg2+ ketika lempung kering dan kation-kation ini berada dalam struktur heksagonal pada unit silika. Namun bila dikontakkan dengan air ion tersebut dapat tergantikan oleh ion-ion baik logam maupun nonlogam seperti H3O+, HN4+, Al3+, Fe3+, R4N+, R4P+ dsb (Nagendrappa, 2002). Sifat inilah yang sangat berguna dari mineral lempung sebagai katalis.

2.1.3.3 Illite

Illite mempunyai rumus molekul (Si8-y,Aly)O20(OH)4 dengan harga y antara 1-1,5. Illite mempunyai struktur dasar yang mirip dengan batuan pembentuk mineral mika.

Gambar

Gambar  2.3,  menujukkan  komposisi  kimia  lempung  asal  Desa  Getaan  adalah  SiO 2   (cristobalite)  dan  (Ca,Na)(Si,Al)4O 8   (anorthite,  sodian,  disordered)
Tabel 2.3  Mineral-mineral Filosilikat Utama dalam Tanah  Tipe Lapisan  Nama Kelompok  Mineral
Tabel 2.4. Perbedaan umum antara senyawa organik dan anorganik  No  Senyawa Organik  Senyawa Anorganik
Tabel 2.8.  Nilai TOC dan kualitas material serpih  % TOC  Kualitas   0,5  Sangat buruk  0,5 – 1,0  Buruk  1,0 – 2,0  Cukup  2,0 – 4,0  Baik  4,0 – 12,0  Sangat baik   12,0  Serpih minyak         Sumber: Waples (1985)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penetapan harga jual oleh XVDKD EDWX EDWD ³5ohima´ GL Kelurahan Kulim Pekanbaru merupakan suatu hal yang cukup sulit karena jika harga ditetapkan terlalu tinggi maka

yang akan diterapkan pada busana yang akan diciptakan adalah kata-kata atau kalimat bermakna positif, membangun citra diri dari perempuan yang positif, singkat atau berbentuk

Produk songket diciptakan dengan bentuk dan kontruksi yang terstruktur, disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.Perkembangan songket dari Kampoeng Tenun Indralaya masih

Hasil wawancara diatas, menurut Kopi Jos dalam penetapkan harga masih terjangkau bagi masyarakat, dan tidak ada target mengenai sasaran pemasaran (semua kalangan). Untuk hasil

Percobaan ini memberikan perbandingan yang baik antara efisiensi lekatan dengan tulangan memikul tarik adalah angkur besi polos dan angkur besi ulir yang di cor

29 Rajah berikut merujuk kepada isu yang menjadi panduan kepada Suruhanjaya Reid dalam menggubal Perlembagaan Tanah Melayu 1957.

Jaringan lokal ini dapat digunakan sebagai alat pemindahan data dari satu komputer ke komputer lain, sehingga pengguna dapat berkomunikasi dengan mudah dalam ruang lingkup satu

desain, maka pada saat itu penglihat yang mengalami bisa disebut melakukan proses perhatian selektif (selective attention). Proses perhatian selektif terjadi karena dengan mempunyai