commit to user
i
KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU
BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI
Penulisan Hukum
( Skripsi )
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
GINANJAR WAHYUDI
NIM. E1107155
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user PER
P
KAJIAN TENTAN
BENTU
Disetujui untuk dipertahan
( Skripsi ) Fakultas H
Dosen Pembimbing I
Winarno Budyatmojo, S.H
NIP. 19600525 1987021002
ii
ERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
ANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU
TUK TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh
GINANJAR WAHYUDI
NIM. E1107155
ahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan H
as Hukum Universitas Sebelas Maret Surakart
Surakarta, 08 April 2011
Dosen Pembimbing II
o, S.H., M.S. Sabar Slamet, S.H., M
002 NIP. 19560727 198601
TU
san Hukum
arta
ing II
., M.H.
commit to user P
P
KAJIAN TENTAN
BENTU
Telah diterima dan dipe
ukum ( Skripsi ) Fakul
Pada
Hari
Tanggal
1. Ismunarno, S.H., M.H
Ketua
2. Sabar Slamet, S.H., M.H
Sekretaris
3. Winarno Budyatmoj Anggota
(Moh
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
ANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU
TUK TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh
GINANJAR WAHYUDI
NIM. E1107155
ipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penul
ultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surak
:
: Rabu
: 20 April 2011
DEWAN PENGUJI
., M.Hum. ( ... )
., M.H. ( ... )
ojo, S.H., M.S. ( ... )
Mengetahui
Dekan,
ohammad Jamin, S.H., M.Hum.) NIP. 196109301986011001
TU
ulisan H
rakarta
... )
... )
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : GINANJAR WAHYUDI
NIM : E1107155
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum ( skripsi ) berjudul :
”KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK
TINDAK PIDANA KORUPSI” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang
bukan karya saya dalam penulisan hukum ( skripsi ) ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan
saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan penulisan hukum ( skripsi ) dan gelar yang saya peroleh dari
penulisan hukum ( skripsi ) ini.
Surakarta, 02 Mei 2011
Yang membuat pernyataan
GINANJAR WAHYUDI
NIM. E1107155
commit to user
v ABSTRAK
Ginanjar Wahyudi, 2011, KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penulisan hukum yang berjudul Kajian Tentang Penyuapan Sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Korupsi bertujuan untuk mengetahui ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi dalam Hukum Pidana serta mengetahui sistem hukum pidana dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Penulisan hukum ini termasuk penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber bahan hukum sekunder baik yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara dokumentasi bahan hukum sekunder yang berbentuk peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, artikel maupun dokumen lain yang kemudian dikategorisasikan menurut pengelompokannya yang tepat. Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun bahan hukum yang diperlukan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis diperoleh bahwa penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tindak pidana penyuapan diatur pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b dan c, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengertian tentang penyuapan, jenis-jenis penyuapan, dan ketentuan mengenai unsur tindak pidana penyuapan merupakan ruang lingkup dari tindak pidana penyuapan. Kemudian sistem hukum pidana dalam penegakan hukum tindak pidana penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi meliputi sistem pemidanaan dan sistem pembaharuan hukum pidana. Sistem pemidanaan terdiri dari segi fungsional dan segi substantif. Sistem pemidanaan segi fungsional dimaksudkan berfungsinya sistem pemidanaan sebagai keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) sebagai konkretisasi pidana dan bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga sesorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Sedangkan dari segi substantif diartikan sistem pemidanaan sebagai keseluruhan sistem norma hukum pidana materiel untuk pemidanaan dan pelaksanaan pidana. Sistem pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya termasuk bidang penal policy yang merupakan bagian
dan terkait erat dengan law enforcement policy, criminal policy, dan social policy.
Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari memperbaharui substansi hukum, bagian kebijakan memberantas kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat
sebagai social defence dan social welfare serta penegakan hukum pidana.
Implikasi teoritis penelitian ini adalah perlu adanya pemahaman yang komprehensif mengenai tindak pidana penyuapan dalam berbagai aspek untuk efektifitas implementasi ketentuan tindak pidana penyuapan, sedangkan implementasi praktisnya adalah bahwa penelitian ini dapat digunakan sebagai wacana yang dapat memberikan pengertian tentang tindak pidana penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
commit to user
vi
ABSTRACT
Ginanjar Wahyudi, 2011, A STUDY ON BRIBERY AS ONE OF CORRUPTION CRIME. Law Faculty of UNS.
This research is entitled A Study on bribery as one of corruption crime aims to find out scope and regulation of bribery as one of corruption crime forms in Penal Law as well as to find out the penal law system in the law enforcement of corruption crime.
This study belongs to a normative law research using secondary law material sources including primary, secondary and tertiary law materials. Technique of collecting data employed in this research was documenting the secondary law material constituting the legislation, book, journal, article or other document that was then categorized into their own category properly. In this research, the writer employed library study technique to collect and to organize the law material needed.
Considering the result of research conducted by the writer, it can be found that bribery is one of corruption crime as governed in the legislation. The bribery crime is governed in the Articles 5 clause (1) letters a and b, 5 clause (2), 6 clause (1) letters a and b, 6 clause (2), 11, 12 letters a, b, and c, 13 of Act Number 20 of 2001 about the Amendment of Act Number 31 of 1999 about Corruption Crime Eradication. The definition of bribery, type of bribery, and provision concerning the bribery crime element are the scope of bribery crime. Then the penal law system in the law enforcement of bribery crime as one of corruption crime forms includes condemnation system and penal law reformation system. Condemnation system consists of functional and substantive aspects. Functional aspect of condemnation system is aimed at the functioning of condemnation system as a whole system (legislation) as criminal concretization and how the penal law is enforced or operated concretely so that someone is sentenced with criminal sanction (punishment). Meanwhile, the substantive aspect is defined as condemnation system as a whole system of material criminal law norm for the condemnation and punishment implementation. The reformation of penal law system is essentially included in penal policy constituting a part closely related to law enforcement policy, criminal policy, and social policy. This aspect can be meant that criminal law reformation is a part of reforming the law substance, how the policy of eradicating crime is in the attempt of protecting society as social defense and social welfare as well as penal law enforcement.
The theoretical implication of this research is there should be a comprehensive conception of bribery crime in various aspects for the effectiveness of bribery crime provision implementation, while the practical implication is that this research can be used as the discourse that can give definition about bribery crime as one of corruption crime forms.
commit to user
vii
MOTTO
“Sesungguhnya ALLAH SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum
apabila mereka sendiri tidak merubahnya”
(QS. AR-Ro’ad :11)
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu
telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”
(Q.S Alam Nasyrah: 6-8)
“Tuntutlah ilmu tetapi tidak melupakan ibadah dan kerjakanlah ibadah tetapi
tidak boleh melupakan ilmu”
(David J. Schwartz)
“Kamu maju bukan dengan memperbaiki apa yang sudah terjadi melainkan
menggapai ke arah apa yang belum terjadi”
(Kahlil Gibran)
“Mengetahui kekurangan diri sendiri adalah tangga untuk mencapai cita-cita
dan berusaha mengisi kekurangan tersebut adalah keberanian luar biasa”
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta dan terima
kasih kepada:
1. Allah SWT sang penguasa alam atas segala karunia, rahmat dan nikmat
yang telah diberikan-Nya;
2. Nabi Muhammad SAW, sebagai Uswatun Hasanah yang telah memberi
suri tauladan yang baik bagi umatnya;
3. Ayahanda Sukidi dan Ibunda Saniyem yang telah memberikan kasih
sayang, doa, motivasi, dan dukungan kepada Penulis dalam penyelesaian
skripsi ini;
4. Adikku Bagus Wulandono yang telah memberikan semangat dan
dukungan kepada Penulis;
5. Kekasihku Febriana Sanjaya atas segala cinta, kasih sayang, doa,
dukungan, motivasi, dan pengorbanan yang senatiasa dibaerikan untukku;
6. Sahabat-sahabatku yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
7. Teman-teman Fakultas Hukum UNS angkatan 2007;
8. Semua pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini;
9. Almamaterku, Fakultas Hukum UNS, yang telah memberi bekal ilmu
pengetahuan dan pengalaman untuk menghadapi kehidupan yang
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut Asma Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, serta
diiringi rasa syukur kehadirat Illahi Rabbi, penulisan hukum (Skripsi) yang
berjudul “KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU
BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI” dapat penulis selesaikan dengan
lancar.
Penyusunan penulisan hukum skripsi ini mempunyai tujuan yang utama
untuk melengkapi salah satu syarat dalam mencapai derajat sarjana (S1) dalam
bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini tidak luput dari
kekurangan, baik dari segi materi yang disajikan maupun dari segi analisanya,
namun penulis berharap bahwa penulisan hukum ini mampu memberikan manfaat
baik bagi penulis maupun bagi pembacanya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang
tulus kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non
materiil, sehingga penulisan hukum (Skripsi) ini dapat diselesaikan, terutama
kepada :
1. Allah SWT., atas segala rahmat dan karunianya;
2. Nabi Muhammad SAW., semoga penulis dapat istiqomah dijalan-Nya hingga
akhir jaman;
3. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan ijin dan kesempatan
kepada penulis untuk dapat melaksanakan Penulisan Hukum ini;
4. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III yang telah
membantu dalam pemberian ijin dilakukannya penulisan ini;
5. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah membantu dalam
pemberian ijin dilakukannya penulisan ini;
6. Bapak Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. dan Bapak Sabar Slamet, S.H., M.H.,
commit to user
menyediakan waktu dan
bagi penulis.
7. Seluruh Dosen Fakultas
saya sebutkan satu pers
berharganya bagi hidup da
8. Seluruh Pimpinan dan S
Maret, atas semua kem
telah diberikan;
9. Pengelola Penulisan Huk
10.Semua keluargaku terut
yang selalu memberika
doa yang tiada henti, sem
11.Semua teman-temanku
skripsi ini memberika
memberikan semangat u
12.Seluruh mahasiswa Fa
khususnya angkatan 200
13.Pihak-pihak lain yang t
bantuan baik materiil m
Penulis menyadari
dari sempurna, mengingat
dengan lapang dada penul
bersifat membangun dari se
Demikian,
mudah-manfaat bagi kita semua
masyarakat umum.
x
dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan
kultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang tida
ersatu, atas semua ilmu pengetahuan yang tiada
dup dan kehidupan penulis;
n Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas
kemudahan, fasilitas serta kesempatan-kesempat
n Hukum (PPH) Fakultas Hukum UNS;
rutama bapak dan ibuku, Bapak Sukidi dan Ibu
ikan cinta, kepercayaan, nasehat, dorongan, bant
, semangat, salah satu motivatorku untuk segera lul
nku yang telah banyak berkontribusi dalam pen
rikan pemikiran dalam skripsi ini, membant
gat untuk segera lulus;
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret S
2007 terima kasih semangat yang telah diberikan;
g tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, ata
maupun imateriil.
ri sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini ma
gat keterbatasan dan kemampuan penulis. Oleh ka
nulis ingin mengharapkan segala saran dan krit
semua pihak untuk kesempurnaan penulisan huk
-mudahan penulisan hukum ini dapat mem
ua, terutama untuk penulis, akademis, prakti
Surakarta, 02 Mei 2011
Ginanjar Wahyudi
NIM. E1107155
dan arahan
tidak dapat
ada terkira
tas Sebelas
patan yang
bu Saniyem
bantuan dan
lulus;
penyusunan
bantu dan
Surakarta
kan;
atas semua
masih jauh
h karena itu
kritik yang
n hukum ini.
emberikan
ktisi serta
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vii
HALAMAN MOTTO ... viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Metode Penelitian ... 9
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ... 13
1. Kajian Tentang Hukum Pidana ... 13
a. Pengertian Hukum Pidana ... 13
b. Pembagian Hukum Pidana ... 14
c. Asas-Asas Hukum Pidana ... 14
2. Kajian Tentang Tindak Pidana / Delik ... 15
a. Pengertian Tindak Pidana / Delik ... 15
b. Macam-Macam Tindak Pidana / Delik ... 18
commit to user
xii
3. Kajian Tentang Tindak Pidana Korupsi ... 19
a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 19
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi ... 21
c. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi ... 23
4. Kajian Tentang Penyuapan ... 24
a. Pengertian Penyuapan ... 24
b. Jenis-Jenis Penyuapan ... 25
5. Kajian tentang Gratifikasi ... 26
a. Pengertian Gratifikasi ... 26
b. Subyek Gratifikasi ... 30
c. Obyek Gratifikasi ... 31
B. Kerangka Pemikiran ... 33
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Ruang Lingkup dan Pengaturan Penyuapan Sebagai Salah Satu Bentuk Tindak Pidana Korupsi ... 35
B. Sistem Hukum Pidana dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi ... 57
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ... 68
B. Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xiii
[image:13.595.168.435.238.498.2]DAFTAR GAMBAR
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (extra ordinarycrime) yang
telah tumbuh seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Semakin hari
perkembangan korupsi di Indonesia bukan lagi semakin berkurang, tetapi semakin
meluas. Gejala pertumbuhan tindak pidana korupsi yang semakin meluas inilah
yang menimbulkan kerisauan dan keprihatinan bangsa Indonesia, karena kondisi
seperti ini tentu semakin memperburuk citra bangsa di masyarakat internasional.
Korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan terjadi di seluruh
negara di dunia. Korupsi tidak hanya dihadapi oleh negara-negara berkembang,
tetapi juga negara-negara maju. Korupsi merupakan salah satu tantangan yang
harus dihadapi dunia, karena korupsi mengancam kehidupan manusia,
menghambat pembangunan kesejahteraan, menambah kemiskinan dan
menyengsarakan rakyat. Perbuatan korupsi juga dapat merusak sektor
pembangunan ekonomi bangsa serta citra pelaku bisnis Indonesia dalam skala
global yang semakin kompetitif dalam menghadapi perdagangan bebas. Jika
korupsi tidak berhasil ditanggulangi, diberantas atau diatasi dalam jangka pendek,
maka Indonesia akan sulit untuk keluar dari krisis karena para pelaku bisnis
tersebut tidak dapat melakukan good business atau bisnis yang baik
Berdasarkan survei Political Economic Risk Consultancy (PERC)
menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di kawasan Asia. “Posisi
Indonesia lebih buruk dari India, Vietnam, Filipina dan Thailand. Sebelumnya
hasil survei Transparency International (TI) yang berbasis di Berlin Jerman pada
Tahun 2009, Indonesia menduduki ranking 111 dari 180 negara” (Chandra
Sridjaja Pradjonggo, 2010: 7). Transparency International merupakan sebuah
lembaga yang bertujuan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor
pemerintahan dan salah satu aktivitasnya adalah mendorong pemberantasan
korupsi. Di samping itu, penelitian lain menunjukkan bahwa korupsi memiliki
commit to user
2
sejarah panjang dan telah membudaya di Indonesia. Seperti dikatakan Farid
Haryanto bahwa:
Corruption has a long history in Indonesia, China, India, South Korea, Thailand, and other countries in Asia. Given such prevalence and persistence, one may be tempted to think that corruption is indeed something deeply ingrained in the culture of those countries, and that corruption has blossomed plainly because it does not run against, if not accepted by, the dominant culture of those countries. It is said that Confucianism, Javanese culture, and maybe some other belief systems as well, gave justification to the existence of a centralized, benevolent monarchy as a legitimate form of moral goverment. But it is also said that “power corrupts, and absolute power corrupts absolutely”. These seem to propose that corruption is indeed already embedded in the mindset of Asians, and that corruption is a part of a way of life, and not simply a fact of life (Farid Haryanto, 2005:39).
(Korupsi memiliki sejarah panjang di Indonesia, Cina, India, Korea Selatan, Thailand, dan negara-negara lain di Asia. Suatu prevalensi tersebut dan ketekunan, salah satu mungkin dilakukan untuk berpikir bahwa korupsi sesungguhnya sesuatu yang besar, yang tertanam dalam budaya banyak negara, dan korupsi yang telah berkembang dengan jelas karena tidak dijalankan, jika tidak diterima dari budaya yang dominan di banyak negara. Dikatakan bahwa Konfusianisme, budaya Jawa, dan mungkin beberapa sistem keyakinan lain juga, memberikan pembenaran terhadap keberadaannya dipusatkan, kekuasaan pusat seperti legitimasi dari moral pemerintah. Tetapi juga mengatakan bahwa "kekuatan korup, dan kekuasaan korup yang mutlak". Ini sepertinya menyatakan bahwa korupsi memang sudah tertanam dalam pola pikir orang Asia, dan korupsi yang merupakan bagian dari cara hidup, dan bukan hanya kenyataan hidup).
Secara umum, tindak pidana korupsi secara material diatur didalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam undang-undang
tersebut tidak tercantum secara jelas rumusan mengenai pengertian korupsi itu
sendiri. Namun dapat disimpulkan dalam Pasal 2 bahwa tindak pidana korupsi
adalah perbuatan yang secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.
Korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia. Bahkan berbagai
kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi
commit to user
3
Penanggulangan korupsi di era tersebut maupun dengan menggunakan perangkat
perundang-undangan yang ada masih banyak menemui kegagalan. Keadaan
demikian akan menggoyahkan demokrasi sebagai sendi utama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum
serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat sejahtera. Hal yang sama
juga disampaikan oleh Arsil dalam jurnal hukum yang berjudul Teknik Perangkap
untuk Para Koruptor mengemukakan bahwa “Tingginya angka korupsi di
Indonesia disebabkan tidak hanya terjadi di tingkatan elit, tetapi terdapat hampir
di seluruh lapisan institusi negara ini” (Arsil, 2005: 121). Tingkatan korupsi di
masing-masing lapisan tersebut juga beragam, mulai dari korupsi yang jumlahnya
kecil-kecilan hingga korupsi besar-besaran yang mencapai angka trilyunan rupiah.
Suatu kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan
negara. Hal itu karena beberapa pasal tindak pidana korupsi dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUTPK) merumuskan adanya
unsur merugikan keuangan negara. Tetapi, untuk kejahatan suap-menyuap tidak
ada kaitannya dengan kerugian uang negara, meskipun perbuatan tersebut
dikualifikasikan sebagai kejahatan korupsi. Tidak semua suap-menyuap adalah
kejahatan korupsi. Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
suap-menyuap merumuskan perbuatan itu sebagai tindak pidana suap saja,
misalnya suap yang menyangkut kepentingan umum, baik aktif maupun pasif.
Suap terhadap pejabat bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 dan suap dalam kaitan dengan pemilihan umum dan pemilihan kepala
daerah (money politics), yang dalam praktik penegakan hukum tindak pidana suap
ini kurang terangkat ke permukaan. Hal ini dikarenakan jarang digunakan oleh
penegak hukum sekalipun perbuatan suap-menyuap semacam itu marak terjadi di
masyarakat.
Salah satu tindak pidana dalam tindak pidana korupsi yang diatur oleh
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Tindak pidana
Penyuapan. Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-undang
commit to user
4
meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Ada unsur-unsur yang esensial
dari delik suap yaitu menerima hadiah atau janji, berkaitan dengan kekuasaan
yang melekat pada jabatan, bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat pasal-pasal
mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan Pasal 210) maupun penyuapan
pasif (Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420) yang kemudian semuanya ditarik
dalam Pasal 1 ayat (1) sub c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang sekarang
menjadi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian juga dengan
penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) sub d Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1971 (sekarang Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) dan
delik suap pasif dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001.
Pemberantasan korupsi di Indonesia sudah diawali sejak Tahun 1957
dengan dikeluarkannya peraturan penguasa militer tentang Pemberantasan
Korupsi. Pada Tahun 1958 dijadikan peraturan penguasa perang pusat yang
dimaksudkan untuk memberantas tindak pidana korupsi dalam skala nasional.
Peraturan tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dengan
didasari pemikiran bahwa korupsi sangat merugikan keuangan negara dan
menghambat pembangunan nasional, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 yang memperluas rumusan tindak pidana korupsi, mempermudah
pembuktian dan mempercepat prosedur penyidikan, penuntutan maupun
pemeriksaan pengadilan. Setelah era reformasi, dibuatlah Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 yang diharapkan dapat lebih efektif dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi. Kemudian Undang-Undang ini diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 untuk dijadikan sarana
pemberantasan korupsi. Dalam kenyataannya dengan berbagai perangkat
perundang-undangan tersebut tidak tampak hasil yang dicapai, meskipun sekarang
sudah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan
commit to user
5
Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, IGM Nurdjana
mengemukakan bahwa “fenomena buruknya penyelenggaraan sistem hukum
pidana yang senantiasa muncul dalam masyarakat adalah setiap peluang terjadinya
korupsi selalu tidak lepas adanya indikasi kontroversi putusan peradilan dan hasil
penanganan korupsi yang dianggap mandul” (IGM Nurdjana, 2010: 11). Hampir
setiap informasi media cetak, elektronik, digital internet memuat tentang korupsi
yang memberikan gambaran lemahnya upaya pemberantasan korupsi yang jika
dikaji lebih mendalam. Maka terdapat kompleksitas dan problematik dalam sistem
hukum pidana yang dianut di Indonesia dan berdampak pada sistem peradilan
pidana.
Dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia, IGM
Nurdjana berpendapat bahwa:
Penegakan hukum senatiasa dihadapkan pada problematika sistem hukum pidana khususnya pengaturan berbagai peraturan perundang-undangan pidana yang memuat unsur-unsur korupsi yang berimplikasi pada kekuatan
hukum pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga diperlukan judicial
review atau uji materiil perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (IGM Nurdjana, 2010:7).
Penulis beranggapan berbeda dengan pendapat IGM Nurdjana, bahwa
dengan membuat dan mengganti atau memperbaiki peraturan
perundang-undangan belum tentu berakibat penegakan hukum dalam mengatasi korupsi
dapat terwujud. Hal ini tidak benar, karena penyebab utama bukanlah pada
perangkat hukumnya melainkan pada para penegak hukumnya. Gagalnya
pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggara negara
banyak ikut campur dalam urusan penegakan hukum yang mempengaruhi dan
mengatur proses jalannya peradilan. Tidak dapat dipungkiri lagi dan sudah
menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum dirusak oleh adanya budaya suap
yang memang sulit dibuktikan secara hukum.
Ukuran keberhasilan upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi, seharusnya tidak semata-mata diletakkan pada keberhasilan mengadili
atau memasukkan sebanyak mungkin koruptor ke penjara, melainkan seharusnya
commit to user
6
pembangunan sistem yang tidak korup. Karena tanpa perubahan sistemik maka
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi hanya memproduksi
koruptor-koruptor baru. Hal senada juga disampaikan oleh IGM Nurdjana bahwa
“terbangunnya sistem yang transparan dan demokratis akan berdampak besar pada
upaya membatasi peluang para koruptor yang memegang kekuasaan untuk
melakukan penyalahgunaan kekuasaannya di kemudian hari” (IGM Nurdjana,
2010:117).
Dalam hubungannya dengan pemberantasan korupsi juga diperlukan
kesadaran hukum masyarakat, dimana kesadaran hukum tersebut merupakan
tujuan dari penegakan hukum tindak pidana korupsi. Terbentuknya kesadaran
hukum dapat menunjang keberhasilan dari upaya penegakan hukum yang juga
dipengaruhi oleh adanya pemahaman hukum masyarakat tentang hukum itu
sendiri. Menurut penulis bahwa para pejabat atau penyelenggara negara
merupakan bagian dari masyarakat, sehingga kesadaran hukum dari para pejabat
atau penyelenggara negara sangat diperlukan untuk mengurangi tingginya angka
korupsi di Indonesia.
Dengan berbagai ketentuan-ketentuan mengenai penyuapan yang
merupakan tindak pidana korupsi, terdapat masalah-masalah yang belum dikaji
secara khusus dan perlu adanya penelitian untuk mengetahui informasi dalam
memahami permasalahan yang muncul. Diantaranya masalah ruang lingkup dan
pengaturan penyuapan sebagai salah satu delik tindak pidana korupsi dalam
hukum pidana untuk memberikan kepastian dalam penegakan hukumnya.
Masalah lain yang juga menarik untuk diteliti adalah masalah bagaimana
penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyuapan tersebut, karena
hanya dengan penegakan hukum yang tepatlah yang akan menciptakan rasa
keadilan masyarakat. Dengan masalah-masalah yang telah disebutkan diatas maka
penulis menaruh minat yang besar untuk meneliti tentang penyuapan dengan
segala aspeknya yang dituangkan dalam suatu bentuk penulisan hukum dengan
judul “KAJIAN TENTANG PENYUAPAN SEBAGAI SALAH SATU
commit to user
7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka penulis dapat
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu
bentuk tindak pidana korupsi?
2. Bagaimanakah sistem hukum pidana dalam penegakan hukum terhadap
tindak pidana penyuapan yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana
korupsi?
C. Tujuan Penelitian
Dalam setiap penelitian pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud
penelitian. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui ruang lingkup dan pengaturan tentang penyuapan
sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
b. Untuk mengetahui sistem hukum pidana dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana penyuapan yang merupakan salah satu bentuk
tindak pidana korupsi.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam
menyusun karya ilmiah untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan
dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan
pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan
praktek yang sangat berarti bagi penulis serta memberi manfaat bagi
commit to user
8
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi peneliti
sendiri maupun bagi masyarakat umum. Adapun manfaat yang diharapkan dalam
penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan hukum pidana khususnya.
c. Untuk mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh selama menjalani
kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti yaitu ruang
lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak
pidana korupsi dan sistem hukum pidana dalam penegakan hukum
penyuapan yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
b. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas bagi
penulis sebagai calon sarjana hukum sebagai bekal untuk masuk kedalam
instansi atau institusi penegak hukum, maupun untuk praktisi hukum
yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat di
tegakkan.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan
serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan
masalah yang diteliti, seperti anggota keluarga dan masyarakat serta
terutama bagi aparat penegak hukum agar lebih memperhatikan segala
commit to user
9
E. Metode Penelitian
Berbicara mengenai metode penelitian, M. Iqbal Hasan mengemukakan
pendapat bahwa “metode penelitian adalah cara atau jalan yang ditempuh
sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, memiliki langkah-langkah
sistematis yang menyangkut masalah kerjanya yaitu cara kerja untuk dapat
memahami sasaran penlitian melalui prosedur dan teknik penelitian” (M. Iqbal
Hasan, 2002: 20).
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, guna menjawab isu
hukum yang dihadapi. Peter Mahmud Marzuki menambahkan bahwa “Penelitian
hukum tidak diperlukan adanya hipotesis, sehingga di dalam penelitian hukum
juga tidak dikenal istilah data” (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35).
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum
normatif, disebut juga penelitian doktrinal. “Pada penelitian hukum doktrinal,
sering kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah
atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap
pantas” (Amiruddin, 2008: 118).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini didasarkan pada ilmu hukum. Penulis
mengutip pendapat dari Peter Mahmud Marzuki bahwa “ilmu hukum
mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif yang
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum” (Peter Mahmud Marzuki,
2005: 22). Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang
substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dipelajari oleh
commit to user
10
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini
adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). Berbicara
mengenai hal ini, Johnny Ibrahim berpendapat bahwa “suatu penelitian
normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena
yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus
sekaligus tema sentral suatu penelitian” (Johnny Ibrahim, 2006: 302).
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Penelitian
Jenis bahan hukum yang digunakan penulis adalah bahan hukum
sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa penelitian
hukum tidak diperlukan adanya hipotesis dan juga tidak dikenal istilah data.
Sehingga penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum yang terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat.
Bahan hukum primer terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan
dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak
dikodifikasi seperti hukum adat, dan yurisprudensi.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang,
hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan penulis adalah
studi kepustakaan atau dokumen. Pengumpulan bahan hukum dilakukan
dengan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan
klarifikasi dan analisis menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara
commit to user
11
kepustakaan, diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga disajikan
dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan.
6. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum menurut Patton dalam bukunya Lexy J.
Moleong adalah “proses pengorganisasikan dan mengurutkan bahan hukum
ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar” (Lexy J. Moleong, 2009:
280). Pengolahan dan analisis data bahan hukum dasarnya tergantung pada
jenis datanya. Penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder
saja terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum
tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal
dalam ilmu hukum.
Suatu analisis yuridis normatif pada hakikatnya menekankan pada
metode deduktif sebagai pegangan utama, dan metode induktif sebagai tata
kerja penunjang. Analisis normatif terutama mempergunakan bahan-bahan
kepustakaan sebagai sumber bahan hukum penelitiannya. Adapun tahap-tahap
dari analisis yuridis normatif menurut pendapat Amiruddin adalah sebagai
berikut:
a. Merumuskan asas-asas hukum, baik dari bahan hukum sosial
maupun dari bahan hukum positif tertulis;
b. Merumuskan pengertian-pengertian hukum;
c. Pembentukan standar-standar hukum; dan
d. Perumusan kaidah-kaidah hukum (Amiruddin, 2008: 166).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan,
serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika
commit to user
12
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka
teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis
menguraikan Kajian Tentang Hukum Pidana, Kajian Tentang
Tindak Pidana, Kajian Tentang Korupsi, Kajian Tentang
Penyuapan, dan Kajian Tentang Gratifikasi.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis membahas dan menjawab permasalahan
yang telah ditentukan yaitu:
1. Ruang lingkup dan pengaturan penyuapan sebagai salah satu
bentuk tindak pidana korupsi.
2. Sistem hukum pidana dalam penegakan hukum penyuapan
yang merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
BAB IV : PENUTUP
Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang
simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan
permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan
atas hasil keseluruhan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
13
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Kerangka Teori
1. Kajian Tentang Hukum Pidana
a. Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi
pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. Menurut Moeljatno dalam
bukunya asas-asas hukum pidana mengemukakan hukum pidana adalah
sebagai berikut:
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang
telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidan itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2002: 01).
Hukum pidana mempunyai obyek kajian yaitu aturan hukum
pidana yang berlaku di suatu negara, sebagai ilmu pengetahuan hukum
pidana. Tujuannya untuk menyelediki pengertian obyektif dari hukum
pidana positif. Pidana dapat diartikan sebagai penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Beratnya pidana atau sanksi di dalam hukum
pidana, maka ada yang menyebutkan bahwa hukum pidana seperti
“pedang bermata dua”. Artinya bahwa disamping hukum itu seharusnya
melindungi orang-orang dari perampasan hak asasinya, justru dalam
penjatuhan pidana, hukum pidana merampas hak asasi tersebut dari
mereka yang melakukan tindak pidana.
commit to user
14
b. Pembagian Hukum Pidana
Ditinjau dari berbagai segi, hukum pidana dapat dibagi menjadi
berbagai klasifikasi sebagai berikut:
1) Hukum pidana materiil, yaitu aturan-aturan yang menetapkan dan
merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan yang
memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan
mengenai pidana.
2) Hukum pidana formil, yaitu mengatur bagaimana negara dengan
perantara alat-alat perlengkapannya melaksanakan haknya
mengenakan pidana.
3) Hukum pidana obyektif (ius poenale), yaitu hukum pidana yang
memuat keharusan atau larangan dengan disertai ancaman hukuman.
4) Hukum pidana subyektif (ius punindi), yaitu hak negara menghukum
seseorang berdasarkan hukum obyektif.
5) Hukum pidana umum, yaitu hukum pidana yang memuat
aturan-aturan yang berlaku bagi setiap orang.
6) Hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang memuat aturan
yang berlaku bagi golongan orang-orang tertentu atau berkaitan
dengan jenis perbuatan tertentu.
7) Hukum pidana kodifikasi, yaitu hukum pidana yang tersusun dalam
suatu buku undang-undang secara sistematis dan tuntas.
8) Hukum pidana yang tidak dikodifikasi, yaitu hukum pidana yang
berupa peraturan-peraturan yang tersebar dalam berbagai
perundang-undangan. Misalnya: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c. Asas-Asas Hukum Pidana
Beberapa asas hukum pidana adalah sebagai berikut:
1) Asas Legalitas
Istilah bahasa latin disebut “Nullum delictum nulla poena sine
commit to user
15
ketentuan perundang-undangan yang telah mengatur sebelumnya.
Asas ini termuat di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2) Asas Lex Temporis Delicti
Artinya bahwa peraturan perundang-undangan mengenai perbuatan
yang dilarang dan pidananya, yang dapat digunakan untuk menuntut
dan menjatuhkan pidana adalah perundang-undangan yang ada pada
waktu perbuatan tersebut dilakukan.
3) Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen straft zonder schuld)
Artinya bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana baru dapat
dipidana jika ada unsur kesalahan.
4) Asas Teritorial
Artinya perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi
kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan di dalam wilayah
kedaulatan Indonesia.
5) Asas Nasional Aktif
Artinya perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi setiap
warga negara Indonesia yang melakukan kejahatan tertentu di luar
Indonesia.
6) Asas Nasional Pasif
Artinya perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara
Indonesia dan orang asing yang menyerang kepentingan hukum
Indonesia.
7) Asas Universal
Artinya perundang-undangan pidana Indonesia memberikan
perlindungan kepada kepentingan dunia internasional baik di
wilayah Indonesia sendiri maupun di wilayah bebas.
2. Kajian Tentang Tindak Pidana atau Delik
a. Pengertian Tindak Pidana atau Delik
Pada umumnya jika terjadi tindak pidana maka pemerintah yang
commit to user
16
permintaan dari orang yang terkena tindak pidana segera bertindak
melakukan penyidikan, pengusutan, penuntutan dan memberikan
hukuman kepada orang yang bersalah atas perbuatan tindak pidana itu
(Winarno Budyatmojo, 2009:83).
Tindak pidana (strafbaarfeit) merupakan suatu pengertian dasar
dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain
halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau
Verbrechen atau Misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum)
atau secara kriminologis. Para ahli hukum memberikan pengertian
mengenai tindak pidana (strafbaarfeit) dan unsur-unsurnya adalah
sebagai berikut:
1) D. Simons mengemukakan Strafbaarfeit adalah “een
strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”.
Jadi unsur-unsur strafbaarfeit adalah:
a) Perbuatan manusia (positief atau negatief; berbuat atau
tidak berbuat atau membiarkan).
b) Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld).
c) Melawan hukum (onrechtmatige).
d) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband
staand).
e) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
(toerekeningsvatbaar persoon).
Simons menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur
subyektif dari strafbaar feit. Yang disebut sebagai unsur
obyektif adalah:
(a) Perbuatan orang.
(b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
(c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan
itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau
“dimuka umum”.
Unsur subyektif dari strafbaar feit adalah:
(a) Orang yang mampu bertanggung jawab.
(b) Adanya kesalahan. Perbuatan harus dilakukan dengan
kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
2) W.P.J. Pompe berpendapat bahwa “menurut hukum positif
commit to user
17
dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam
hukum positif, sifat melawan hukum (wederrechttelijkheid)
dan kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya
tindak pidana (strafbaar feit). Untuk penjatuhan pidana tidak
cukup dengan adanya tindak pidana, disamping itu harus ada orang yang dapat dipidana. Orang yang dapt dipidana tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum dan kesalahan.
3) Moeljatno mengemukakan dalam pidatonya memberi arti
kepada perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur sebagai berikut:
a) Perbuatan (manusia).
b) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini
merupakan syarat formil).
c) Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).
Syarat formil itu harus ada karena adanya asas legalitas yang termuat dalam pasal 1 KUHP. Sedangkan adanya syarat materiil karena perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, oleh karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan masyarakat. Moeljatno berpendapat bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal tersebut melekat pada orang yang berbuat. Jadi untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian Moeljatno, maka tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka. Disamping itu, orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab (Sudarto, 1990:41-43).
Delik adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana. Perlu diperhatikan adanya asas legalitas yang
menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana, jika tidak ditentukan lebih dahulu dalam
perundang-undangan (Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang
dapat dipidana, apabila mempunyai kesalahan. Untuk menjatuhkan
pidana kepada seseorang, selain orang tersebut melakukan perbuatan
yang dilarang, perlu diperhatikan adanya kesalahan, sesuai asas tidak ada
commit to user
18
yang melakukan perbuatan pidana harus dapat dipertanggungjawabkan.
Perlu diperhatikan adanya golongan orang-orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan, misalnya anak yang belum dewasa, orang gila.
Maka dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat adanya perbuatan pidana
atau delik adalah:
1) Adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang.
2) Perbuatan tersebut sudah dirumuskan di dalam undang-undang dan
bersifat melawan hukum.
3) Adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan dan adanya
kemampuan untuk bertanggungjawab.
4) Harus ada ancaman hukumannya.
b. Macam–macam Tindak Pidana atau Delik
1) Delik formil, adalah perbuatan pidana yang sudah dilakukan dan
melanggar ketentuan yang sudah dirumuskan didalam pasal
undang-undang yang bersangkutan.
2) Delik materiil, adalah perbuatan pidana yang dilarang yaitu akibat
yang timbul dari perbuatan tersebut.
3) Delik dolus, adalah perbuatan pidana yang dilakukan dengan
sengaja.
4) Delik culpa, adalah perbuatan pidana yang dilakukan dengan alpa.
5) Delik aduan, perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang
lain artinya suatu tindak pidana yang hanya dapatdituntut jika ada
laporan bersifat aduan kepada aparat penegak hukum dari pihak yang
dirugikan.
6) Delik politik, adalah perbuatan pidana yang ditujukan kepada
keamanan negara baik langsung maupun tidak langsung.
c. Tempat dan Waktu Terjadinya Tindak Pidana
Untuk dapat menentukan secara pasti tentang waktu dan tempat
kejadian dilakukannya suatu tindak pidana itu tidaklah mudah. Hal ini
commit to user
19
manusia, dimana pada waktu melakukan tindakannya, sering kali
manusia telah menggunakan alat yang dapat menimbulkan suatu akibat
pada waktu dan tempat yang berbeda dimana manusia tersebut telah
menggunakan alat-alat yang bersangkutan. Dapat pula terjadi bahwa
perbuatan dari seorang pelaku telah menimbulkan akibat pada tempat dan
waktu yang berbeda dari pada waktu dan tempat dimana pelaku tersebut
telah melakukan perbuatannya. Jadi dalam hal ini yang dimaksud dengan
tempos delicti adalah waktu dimana terjadinya suatu tindak pidana dan
yang dimaksud dengan locus delicti adalah tempat dimana tindak pidana
tersebut dilakukan.
Menurut Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh lamintang
mengemukakan bahwa “yang harus dipandang sebagai tempat dan waktu
dilakukannya tindak pidana itu pada dasarnya adalah tempat dimana
seorang pelaku telah melakukan perbuatannya secara materiil”
(Lamintang, 1997:229). Yang harus dianggap sebagai locus delicti itu
adalah :
1) Tempat dimana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri
perbuatannya.
2) Tempat dimana alat yang telah dipergunakan oleh seorang itu
bekerja.
3) Tempat dimana akibat langsung dari suatu tindakan itu telah timbul.
4) Tempat dimana akibat konsitutif itu telah timbul.
3. Kajian Tentang Tindak Pidana Korupsi
a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi menurut Fockema Andreae sebagaimana dikutip
dalam bukunya Andi Hamzah yang berjudul Pemberantasan Korupsi
Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional mengemukakan
bahwa kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus.
Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata asal
commit to user
20
seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan
Belanda yaitu corruptie. Arti harfiah kata tersebut ialah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
menfitnah. Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
bahasa Indonesia disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya (Andi
Hamzah, 2007:5).
Definisi korupsi menurut organisasi transparansi internasional
adalah sebagai berikut:
Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepadanya (Firman Wijaya, 2008:9)
Pengertian korupsi yang sangat sederhana tidak dapat dijadikan
tolok ukur atau standar perbuatan korupsi. Lubis dan Scott dalam
pandangannya tentang korupsi disebutkan bahwa:
Dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintahdapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela (IGM Nurdjana, 2010:16).
Secara sosiologis, menurut Syeh Husein Alatas, ada tiga tipe
fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni penyuapan
(brybery), pemerasan dan nepotisme. Lebih lanjut syeh Husein Alatas
dalam monografnya yang berjudul “The Sociology of corruption: the
nature, function, couses, and prevention of corruption” menyatakan
bahwa menurut pemakaian umum, istilah “korupsi” yaitu apabila seorang
commit to user
21
swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian
istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan
menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang menggoda juga
tercakup dalam konsep tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh
Firman Wijaya bahwa “Pemerasan yaitu permintaan
pemberian-pemberian atau hadiah dalam pelaksanaan tugas-tugas publik, juga
dipandang sebagai korupsi” (Firman Wijaya, 2008:8).
Dalam definisi korupsi, IGM Nurdjana mengemukakan terdapat
tiga unsur dari pengertian korupsi yaitu:
1) Menyalahgunakan kekuasaan;
2) Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik sektor publik
maupun sektor swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi;
3) Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi
orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya) (IGM Nurdjana, 2010: 15).
Korupsi merupakan sesuatau yang busuk, jahat dan merusak. Jika
membicarakan korupsi akan menemukan kenyataan semacam itu karena
korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk,
jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan
kekuasaan serta faktor ekonomi politik. Dengan demikian, korupsi
memiliki arti yang sangat luas menurut Evi Hartanti adalah sebagai
berikut:
1) Korupsi yaitu penyelewengan atau penggelapan untuk
kepentingan pribadi dan orang lain;
2) Korupsi merupakan busuk, rusak, suka memakai barang atau
uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi (Evi Hartanti, 2007:09).
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
commit to user
22
1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2) Dalam hal tindak pidan korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 2 adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang;
2) Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
3) Dengan cara melawan hukum;
4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Penyalahgunaan wewenang yang terdapat dalam Pasal 3
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan delik
inti (Bestanddeel delict). Delik penyalahgunaan wewenang diatur dalam
Pasal 3 yang dinyatakan sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 3 adalah sebagai berikut:
1) Setiap orang;
2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
commit to user
23
4) Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
5) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
c. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
Menurut Gerald E. Caiden (1998) sebagaimana dikutip oleh
Rudyct dengan judul Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara dan
Upaya Penangulangannya dalam http://rudyct.com/ memaparkan secara
rinci bahwa bentuk-bentuk korupsi yang umum di kenal dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara antara lain adalah:
1) Berkhianat, transaksi luar negeri ilegal dan penyelundupan;
2) Menggelapkan barang milik lembaga, negara, swastanisasi anggaran
pemerintah, menipu dan mencuri;
3) Menggunakan uang negara/lembaga yang tidak tepat, memalsukan
dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke
rekening pribadi, menggelapkan pajak dan menyalagunakan dana;
4) Menyalahgunakan wewenang, menipu, mengecoh, mencurangi,
memperdaya dan memeras;
5) Penyuapan dan penyogokan, mengutip pungutan dan meminta
komisi;
6) Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik
pemerintah/negara, dan surat izin pemerintah;
7) Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan
pinjaman uang;
8) Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan;
9) Menerima hadiah, uang pelicin dan hiburan dan perjalanan yang
tidak pada tempatnya, dan;
10) Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan
commit to user
24
4. Kajian Tentang Penyuapan
a. Pengertian Penyuapan
Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam
undang-undang sebagai suatu hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan
atau diterima meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Ada 3 unsur
yang esensial dari delik suap yaitu:
1) Menerima hadiah atau janji;
2) Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan;
3) Bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat pasal-pasal
mengenai delik penyuapan aktif (Pasal 209 dan Pasal 210) maupun
penyuapan pasif (Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420) yang kemudian
semuanya ditarik dalam Pasal 1 ayat (1) sub c UU Nomor 3 Tahun 1971
yang sekarang menjadi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Demikian juga dengan penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal
1 ayat (1) sub d Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (sekarang Pasal
13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) dan delik suap pasif dalam
Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, pelaku yang memberi suap (delik suap aktif) dan yang
menerima suap (delik suap pasif) adalah subyek tindak pidana korupsi
dan penempatan status sebagai subyek ini tidak memiliki sifat
eksepsionalitas yang absolut.
Dengan demikian makna suap telah diperluas, introduksi norma
regulasi pemberantasan korupsi telah menempatkan Actief Omkoping
(suap aktif) sebagai subyek tindak pidana korupsi, karena selama ini
delik suap dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengatur
Passief Omkoping (suap pasif). Delik suap tidaklah selalu terikat persepsi
commit to user
25
pemberian janji saja adalah tetap obyek perbuatan suap. Adanya
percobaan (pogging) suap saja sudah dianggap sebagai delik selesai yang
berarti adanya prakondisi sebagai permulaan pelaksanaan dugaan suap
itu sudah dianggap sebagai tindak pidana korupsi. Si penerima wajib
membuktikan bahwa pemberian itu bukan suap, karenanya terdakwa
akan membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah berhubungan dengan
jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
sedangkan unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada dugaan
terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum. Definisi suap menerima
gratifikasi dirumuskan pada penjelasan Pasal 12B Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 dan dari penjelasan Pasal 12B ayat (1) dapat
ditarik beberapa kesimpulan seperti pengertian suap aktif, artinya tidak
bisa untuk mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan dengan
menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi menurut pasal ini.
Dengan demikian, luasnya pengertian suap gratifikasi ini, maka tidak
bisa tidak, akan menjadi tumpang tindih dengan pengertian suap pasif
pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 huruf a, b dan c
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang masih dapat diatasi
melalui ketentuan hukum pidana pada Pasal 63 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana mengenai perbarengan perbuatan (concursus
idealis).
b. Jenis Penyuapan
Penyuapan terdiri dari dua jenis yaitu sebagai berikut:
1) Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan
sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat
dengan sikap batin subjek hukum berupa niat (oogmerk) yang
bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara
negara atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dari
pemberian hadiah atau janji tersebut, berarti subjek hukum
commit to user
26
didorong oleh kepentingan pribadi, agar penyelenggara negara atau
pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau janji berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan
kewajibannya. Meskipun pejabat yang bersangkutan menolak
pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah
memenuhi rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik penyuapan
aktif, mengingat perbuatannya sudah selesai (voltoid).
2) Penyuap pasif adalah pihak yang menerima pemberian atau janji
baik berupa uang maupun barang. Bila dikaitkan dengan Badan
Usaha Milik Negara, rumusan delik ini, dapat dikenakan kepada
Anggota Komisaris, Direksi atau Pejabat di lingkungan Badan Usaha
Milik Negara bilamana kapasitasnya masuk dalam pengertian
pegawai negeri (karena menerima gaji/upah dari keuangan negara)
sebagaimana yang diatur didalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Apabila pegawai negeri tersebut menerima pemberian atau
janji dalam pasal ini, berarti pegawai negeri/penyelenggara negara
dimaksud akan menanggung beban moril untuk memenuhi
permintaan pihak yang memberi atau yang menjanjikan tersebut.
Selain penyuapan aktif dan pasif tersebut yang lazim juga terjadi
terkait dengan praktek korupsi adalah penggelapan dan pemerasan.
Larangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi jenis ini adalah
perbuatan menggelapkan uang atau surat berharga yang menjadi
tanggungjawab jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga
tersebut diambil atau digelapkan orang lain.
5. Kajian Tentang Gratifikasi
a. Pengertian Gratifikasi
Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi seba