• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi adalah istilah yang sudah lama dikenal dalam masyarakat Indonesia.

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana tidak hanya di

lembaga legislatif, yudikatif maupun eksekutif, namun korupsi dapat terjadi pada

semua sisi kehidupan dan aktivitas masyarakat. Korupsi telah menjadi ciri

penyelenggaraan birokrasi dan bisnis nasional. Korupsi bukanlah semata-mata atau

bahkan terutama masalah yang dihadapi oleh negara-negara berkembang saja.

Kejadian-kejadian di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan secara jelas bahwa

tidak pada tempatnya negara-negara industri menggurui negara-negara sedang

berkembang mengenai korupsi. Seperti halnya masalah korupsi di Italia, demokrasi

dan pasar bebas bukanlah satu-satunya alat penangkal korupsi.1

Gunar Myrdal menyebut korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang

tidak wajar yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintah atau

usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak wajar, serta kegiatan

lainnya seperti penyokongan. Sementara Myrdal tampaknya menggunakan istilah

korupsi dalam arti yang luas yang meliputi juga kolusi dan nepotisme. Sedangkan

Edelhers lebih senang menggunakan istilah white collar crime2

1

Jeremi Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 1.

untuk perbuatan

2 White collar crime

(2)

korupsi ini, sedangkan menurut Hamzah menyebutkan pengertian korupsi di

Malaysia disana tidak digunakan kata korupsi tetapi memakai peraturan anti

kekuasaan.3

Hamzah menyebutkan pengertian korupsi secara harfiah (literal/ mendasar)

dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah

yang sangat luas pengertiannya. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah

korupsi bermacam ragam pula. Pendekatan sosiologis seperti halnya yang dilakukan

oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain

artinya kalau terhadap hal yang sama dilakukan pendekatan normatif, politik ataupun

ekonomi.4

Undang-undang tindak pidana korupsi mensyaratkan untuk adanya tindak

pidana korupsi haruslah terjadi kerugian negara. Kerugian negara menurut Pasal 1

angka 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah

berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya

sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Menurut Djoko Sumaryanto, kerugian negara dalam hal ini bukanlah

kerugian negara dalam pengertian di dunia perusahaan/ perniagaan, melainkan suatu

kerugian yang terjadi karena sebab perbuatan (perbuatan melawan hukum). Dalam

kaitan ini faktor-faktor lain yang menyebabkan kerugian negara adalah penerapan

kebijakan yang tidak benar, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.

barang, untuk menghindari pembayaran atau kehilangan uang atau barang, atau untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan maupun bagi diri sendiri.

3

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia masalah dan pemecahannya, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001), hal. 11.

4Ibid

(3)

Sebenarnya pengelolaan keuangan negara melupakan identitasnya pada saat diserahi

tugas untuk mengurus keuangan negara sehingga negara mengalami kerugian.

Kerugian keuangan negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang

nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik disengaja

maupun kelalaian.5

Ketika faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kerugian keuangan negara

tersebut dikaji dalam aspek hukum, kerugian negara berada dalam rana hukum

publik, seperti hukum keuangan negara dan hukum pidana. Kedua jenis hukum ini

memiliki substansi yang berbeda tetapi tetap pada tujuan yang sama berupa

menempatkan keuangan negara dalam kedudukan normal. Hal ini didasarkan bahwa

keuangan negara merupakan daya dukung dalam rangka mencapai tujuan negara

sebagaimana dimaksudkan dalam alenia keempat Pembukaan Undang-undang Dasar

1945.

Kerugian negara dan tuntutan ganti kerugian merupakan substansi dalam

hukum keuangan negara yang melibatkan pihak pengelola keuangan negara dengan

pihak berwenang melakukan tuntutan ganti kerugian. Ketika salah satu pihak tidak

dapat melaksanakan fungsinya, berarti terdapat kendala terhadap penegakan hukum

keuangan negara. Kendala itu harus dikesampingkan sehingga tujuan negara yang

5

(4)

hendak dicapai dapat memperoleh pembiayaan sebagaimana yang diamanatkan

dalam anggaran negara.6

Modus operandi korupsi yasng bersifat individual sudah mulai tertinggal,

dimensi baru kejahatan korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)

oleh pejabat publik, dikenal dengan korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan,

yaitu selalu berkaitan dengan masalah kebijakan. Di satu sisi kebijakan yang ada,

dimanfaatkan untuk melakukan korupsi. Di sisi lain ada keterbatasan pemahaman

dari sebagian aparat penegak hukum terhadap makna “penyalahgunaan wewenang”

dalam ranah Hukum Administrasi Negara yang dipersamakan dengan unsur

“melawan hukum” dalam ranah hukum pidana

Terkaitnya hukum pidana dalam masalah kerugian negara karena perbuatan

itu dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi sehingga

menimbulkan kerugian keuangan negara atau bahkan perekonomian negara. Hal ini

didasarkan bahwa kerugian keuangan negara atau perekonomian perekonomian

negara merupakan salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi sebagaimana

dimaksud dalam Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di lain

pihak, sebenarnya hukum perdata tidak menjangkau mengenai kerugian negara dan

penyelesaiannya walaupun terdapat prosedur tuntutan ganti kerugian negara dan

penyelesaiannya, maupun penjatuhan sanksi berupa ganti kerugian.

Ketidakterjangkauan hukum perdata disebabkan substansi hukum yang terkandung di

6

(5)

dalamnya hanya bersifat keperdataan, yakni mengatur hubungan hukum antara

seseorang dengan orang lain saja.7

Timbulnya kerugian negara menurut Yunus Husein sangat terkait dengan

berbagai transaksi, seperti transaksi barang dan jasa, transaksi yang terkait dengan

utang piutang, dan transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan.8

Sebenarnya pengembalian kerugian negara tanpa melalui peradilan sangat

lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan melalui peradilan. Hal ini didasarkan

bahwa pengembalian kerugian negara tanpa melalui peradilan sangat mudah

penyelesaiannya karena tidak menggunakan prosedur yang berbelit-belit. Disamping

itu, waktu yang dibutuhkan sangat singkat karena tidak dikenal upaya hukum seperti

banding, kasasi dan peninjauan kembali berbeda dengan prosedur melalui peradilan

yang membutuhkan waktu yang cukup lama, namun tidak berarti terjadi perbuatan Ketika

negara mengalami kerugian karena akibat pengelolaan keuangan negara dan telah

diupayakan pengembaliannya melalui prosedur ganti kerugian berdasarkan hukum

keuangan negara. Prosedur yang ditempuh berdasarkan hukum keuangan negara

merupakan cara pengembalian keuangan negara sebagai akibat kerugian negara tanpa

melalui peradilan. Pada hakikatnya, pengembalian kerugian negara tanpa melalui

peradilan lebih difokuskan kepada aspek administrasi tetapi tetap berada dalam

koridor hukum keuangan negara.

7Ibid

, hal. 111. 8

(6)

yang sewenang-wenang atas diri yang diminta pertanggung jawabannya terhadap

kerugian negara akibat perbuatan pada saat mengelola keuangan negara.9

Tatkala prosedur tanpa melalui peradilan ternyata pengembalian kerugian

negara tidak dapat dikembalikan, berarti prosedur melalui peradilan harus digunakan

agar keuangan negara berada pada posisi yang sama sebelum dikelola. Prosedur

melalui peradilan didasarkan pada instrumen hukum perdata, tetapi keduanya

mengandung prosedur bukan merupakan hambatan atau kendala untuk

mengembalikan kerugian negara karena substansi hukum itu yang menyebabkan

timbulnya perbedaan dalam penerapannya di pengadilan termaksud.

Kerugian negara akibat dari pengelolaan keuangan negara yang menyimpang

atau melanggar hukum wajib dikembalikan agar keuangan negara berada dalam

keadaan semula untuk membiayaai pelaksanaan pemerintahan negara dalam rangka

mencapai tujuan negara. Upaya negara untuk mengembalikan kerugian akibat

ditimbulkan oleh pengelolaan keuangan negara yang menyimpang atau melanggar

hukum, telah disiapkan instrumen hukum yang berada dalam konteks hukum pidana.

Walaupun telah ada, bila moral dan komitmen penegak hukum tidak menunjang

untuk ditegakkan berarti instrument hukum pidana hanya bersifat cita-cita hukum

belaka.

Oleh karena itu, adalah suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian

menerapkan sebuah kebijakan hukum pidana (dalam hal ini tertuang dalam produk

9

(7)

perundang-undangan) dalam mengupayakan kembalinya uang negara yang hilang

akibat tindak pidana korupsi. Instrumen hukum pidana yang terkait dengan

pengembalian kerugian negara melalui peradilan adalah Undang-Undang Tindak

Pidana Korupsi. Perubahan itu dilakukan karena tindak pidana korupsi tergolong

sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra

ordinary crime). Dengan demikian, kerugian negara dalam kacamata instrumen

hukum pidana adalah tindak pidana korupsi yang memerlukan pemberantasan

dengan tindak pidana lainnya seperti pembunuhan.

Menurut Barda Nawawi Arief10 berbagai langkah kebijakan penanggulangan korupsi yang ada, terkesan bahwa strategi kebijakan lebih terfokus pada upaya

melakukan pembaruan undang-undang (law reform). Upaya melakukan

pembaharuan undang-undang memang merupakan langkah yang sepatutnya

dilakukan. Masalah korupsi sarat dengan berbagai kompleksitas masalah, maka

seyogyanya ditempuh pendekatan integral11

10

Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Penanggulangan Korupsi di Indonesia (Beberapa Catatan terhadap RUU tentang Perubahan UU No. 31/1999), makalah Seminar Nasional Pemberantasan dan Penanggulangan Korupsi dengan Sistem Pembuktian Terbalik, (Surakarta: Fakultas Hukum UNS, 10 Juli 2001), hal. 2.

. Tidak hanya melakukan law reform

(reformasi hukum), akan tetapi juga seyogyanya disertai dengan social economic

political cultural, moral and administrative reform (reformasi sosial, ekonomi,

politik dan adminstrasi).

11

(8)

Menurut Barda Nawawi Arief12

Upaya pemulihan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, merupakan

salah satu tujuan utama dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Salah satu

upaya untuk mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi adalah

dengan diadakannya ketentuan tentang pembayaran uang pengganti. Keputusan

tentang pembayaran uang pengganti ini pertama kali muncul dalam Undang-Undang

No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu di dalam

Pasal 34 sub c, sebagai pidana tambahan. Di dalam penjelasan Undang-Undang No.

3 Tahun 1971 disebutkan bahwa tujuan dari pidana pembayaran uang pengganti

adalah untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari usaha pengembalian kerugian

negara ataupun perekonomian negara.

dilihat sebagai suatu kesatuan proses, maka

tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis. Dari tahap

kebijakan legislatif inilah diharapkan adanya suatu garis pedoman untuk tahap-tahap

berikutnya. Dalam konteks pembicaraan tentang pidana pembayaran uang pengganti,

dimana melalui kebijakan legislatif telah dirumuskan di dalam Undang-Undang No.

31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka akan sangat

menarik untuk mengkaji apakah pidana tambahan pembayaran uang pengganti

tersebut telah memenuhi syarat untuk dipakai sebagai garis pedoman untuk

tahap-tahap berikutnya.

Terhadap terpidana perkara korupsi selain pidana badan (penjara) dan/ atau

denda, juga dijatuhi pidana tambahan antara lain pembayaran uang pengganti yang

12

(9)

besarnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi.

Dalam praktiknya hampir tidak ada terpidana yang membayar uang pengganti

dengan berbagai dalih, misalnya tidak punya lagi uang atau aset. Sikap terpidana

yang tidak mau atau mampu membayar uang pengganti itu sebenarnya sudah bisa

diketahui oleh penyidik dan penuntut umum sejak sebelum perkara dilimpahkan ke

pengadilan, menghadapi terpidana seperti ini, seyogyanya penuntut umum menuntut

hukuman badan (penjara) maksimum sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang.

Konsep pidana uang pengganti menurut ahli hukum pidana Romli

Atmasasmita dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan

sanksi pidana seberat mungkin agar mereka jera. Menilik sistem pemidanaan yang

dianut undang-undang korupsi baik yang lama maupun yang baru, setiap orang

memang sudah sepatutnya takut untuk melakukan korupsi.13

Pertimbangan lain yang melatarbelakangi munculnya konsep pidana uang

pengganti adalah dalam rangka mengembalikan uang negara yang melayang akibat

suatu tindak pidana korupsi. Pemikiran ini sejalan dengan definisi dari korupsi itu

sendiri. Menurut undang-undang, salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah

adanya tindakan yang merugikan keuangan negara. Dengan adanya unsur ini maka

setiap terjadi suatu tindak pidana korupsi maka akan menimbulkan kerugian pada

keuangan negara.

Ketentuan tentang pidana pembayaran uang pengganti di dalam

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur

13

(10)

Pasal 18 sub b yang menyatakan “selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah

pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyaknya sama dengan harta benda

yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”. Ketentuan ini sedikit berbeda bila

dibandingkan dengan ketentuan pidana pembayaran yang ada dalam Undang-Undang

No. 3 Tahun 1971. Didalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 ada ketentuan yang

menyebutkan bahwa dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang

mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana yang

lamanya tidak melebihi ancaman dari pidana pokoknya. Ketentuan demikian itu tidak

terdapat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971.

Dalam persfektif politik kriminal, maka pidana pembayaran uang pengganti

dipandang sebagai suatu usaha rasional14

Sebagai sarana yang cukup strategis untuk memulihkan kerugian negara

akibat tindak pidana korupsi, pidana tambahan pembayaran uang pengganti harus

dapat dilaksanakan seoptimal mungkin. Kalau melihat materi ketentuan pidana

tambahan pembayaran uang pengganti yang ada dalam Undang-Undang No. 31 untuk menekan kerugian yang ditimbulkan

oleh tindak pidana korupsi. Perumusan sanksi pidana pembayaran uang pengganti

dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi merupakan suatu kebijakan legislatif, pidana pembayaran uang pengganti

sebagai suatu produk kebijakan legislatif tentu saja harus dirumuskan secara hati-hati

dan tidak boleh menimbulkan kebingungan dan pelaksanaannya nanti.

14

(11)

tahun 1999, seakan-akan memberikan harapan yang besar bahwa kerugian negara

dapat dipulihkan. Harapan yang begitu besar tersebut seakan-akan menjadi redup,

setelah melihat kenyataan yang sesungguhnya, dimana dari tahun ketahun kerugian

negara akibat tindak pidana korupsi berhasil dipulihkan justru semakin mengecil.

Tentu saja patut dipertanyakan keefektifan dari pidana tambahan pembayaran uang

pengganti yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku korupsi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa masalah di seputar

ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti cukup banyak dan sangat

menarik untuk dilakukan pengkajian melalui penelitian. Dalam penelitian ini, akan

dilakukan kajian penelitian terhadap beberapa aspek dari ketentuan tentang pidana

pembayaran uang pengganti dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah latar belakang lahirnya pengaturan tentang uang pengganti

dalam kebijakan hukum tindak pidana korupsi?

2. Bagaimanakah penerapan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana

korupsi dikaitkan dengan tujuan pemidanaan?

3. Apa hambatan penerapan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi?

(12)

1. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang lahirnya pengaturan

tentang uang pengganti dalam kebijakan hukum tindak pidana korupsi

2. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan pembayaran uang pengganti

dalam tindak pidana korupsi dikaitkan dengan tujuan pemidanaan

3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan penerapan uang pengganti

dalam tindak pidana korupsi.

D. Manfaat Penelitian 1. Teoretis

a. Memberikan masukan pada pengetahuan di bidang ilmu hukum pada

umumnya dan hukum pidana pada khususnya.

b. Menambah pengetahuan mengenai upaya pengembalian kerugian

keuangan negara melalui penerapan pembayaran uang pengganti

2. Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau bahan

pertimbangan bagi pembentuk undang-undang dalam melakukan peninjauan

terhadap undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi melalui

penerapan kosenp pembayaran uang pengganti. Penyempurnaan atau

perbaikan terhadap ketentuan pidana pembayaran uang pengganti perlu

dilakukan agar ketentuan itu bisa dipakai sebagai sarana yang efektif dan

memadai dalam upaya memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana

(13)

E. Keaslian Penelitian

Setelah melakukan penelusuran kepustakaan, maka diketahui belum ada

tulisan yang mengangkat mengenai “Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah

Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana

Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi”. Penulisan

ini dilakukan berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan tindak pidana

korupsi dan juga hukum keuangan negara. Memang ada penelitian sebelumnya yang

dilakukan:

1. Abu Bokar Tombak/ 037005001, Judul Penelitian “Pengembalian Kerugian

Keuangan Negara sebagai Salah Satu Faktor yang Meringankan Hukuman

dalam Tindak Pidana Korupsi.” Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Konsep dan ketentuan-ketentuan bagaimana yang mendasari peraturan

perundang-undangan untuk menanggulagi kerugian keuangan negara

dalam tindak pidaua korupsi?

b. Bagaimana pengaturan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi

yang mengembalikan kerugian keuangan negara?

2. Haswandi/ 982105011, Judul Penelitian “Tanggung Jawab Pelaku Tindak

(14)

(Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)”, Permasalahan yang

diteliti adalah

a. Bagaimana pelaksanaan pengembalian dan pembayaran uang pengganti

kerugian yang diderita negara oleh pelaku tindak pidana korupsi atau ahli

warisnya yang diputus oleh Pengadilan Negeri Lubuk Pakam ditinjau dari

aspek hukum perdata?

b. Masalah-masalah apa saja yang dihadapi jaksa selaku pengacara negara

dalam melakukan penuntutan tanggungjawab perdata terhadap pelaku

tindak pidana korupsi atau ahli warisnya maupun sebagai eksekutor dalam

pelaksanaan putusan hakim tentang pembayaran uang pengganti kerugian

terhadap negara serta bagaimana upaya mengatasinya?

Jika dibandingkan permasalahan yang diteliti sebelumnya sebagaimana

disebutkan di atas dengan penelitian yang dilakukan ini adalah berbeda. Oleh karena

itu, tulisan ini merupakan sebuah karya asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan

yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari

proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga tulisan ini dapat

(15)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berhubungan yang

dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu.15 Fungsi teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses terjadi.16 Suatu teori harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan

ketidakbenarannya.17 Sehingga kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang

menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis,18

Barda Nawawi Arief mengemukakan beberapa tahap dalam pemidanaan,

yaitu:

yang akan dijadikan sebagai

landasan pemikiran dalam penelitian ini.

a. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang;

b. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang, yaitu hakim;

c. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.19

Secara keseluruhan pelaksanaan pemidanaan diharapkan merupakan satu

jalinan mata rantai yang saling berkaitan dalam satu kebulatan sistem. Sebagai satu

kesatuan dalam keseluruhan mekanisme penanggulangan kejahatan, maka harus ada

15

J.J.H.Bruggink, “Refleksi Tentang Hukum”, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 2.

16

J. J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, edt. M. Hisyam, (Jakarta: FE UI, 1996), hal. 203.

17Ibid,

hal. 16. 18

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. 19

(16)

jalinan mata rantai antara setiap tahap pemidanaan. Ini berarti tahap pemberian

pidana tidak dapat dilepaskan dari tahap penetapan pidana dan pelaksanaan pidana

dan menjalin ketiga tahap pemidanaan itu menjadi satu kesatuan tidak lain adalah

tujuan pemidanaan itu sendiri.20

Dari semua tujuan pemidanaan yang ada, secara garis besar dapat

dikelompokkan menjadi empat tujuan pemidanaan yang utama, yaitu:

a. Incapacitation, yang berarti mencegah orang melakukan kembali kejahatan

dengan menahannya. Sanksi diberikan untuk mengasingkan tidak untuk

mengurangi kecendrungan pelaku kejahatan pada kejahatan kemudian,

dengan memberikan perlakuan untuk mengubah tingkah laku atau

kepribadian seseorang, tetapi menghalangi kemungkinan perilaku jahat

setidak-tidaknya bila pelaku kejahatan berada dalam pengawasan.

b. Deterrence, pada umumnya berarti mencegah kejahatan dalam masyarakat

luas dengan memberikan contoh seseorang yang melakukan kejahatan. Jadi

sekalipun tidak diperlukan membatasi pelaku kejahatan secara khusus dengan

memenjarakannya, dia masih dapat menerima bentuk penjara jangka panjang

sebagai peringatan bagi pelaku kejahatan potensial yang mungkin sebaliknya

melakukan kejahatan yang sama. Pencegahan dibagi menjadi dua, yaitu:

Specific deterrence21

20

Barda Nawawi Arief, Ibid, hal. 115.

yang dirancang untuk mencegah pelaku kejahatan

21

(17)

melakukan kembali kejahatan dan general deterrence22

c. Rehabilitation, adalah termasuk tujuan pidana yang dirancang untuk

memberikan perlakuan, terhadap perilaku para pelaku kejahatan, kepribadian,

atau sejarah umum pribadi yang mungkin memiliki peranan penting bagi

perilaku jahat. Menghukum orang ke penjara untuk direhabilitasi sama

dengan mengirim orang sakit ke rumah sakit untuk menerima perawatan

untuk orang sakit;

(pencegahan secara

umum) dirancang untuk mencegah pelaku kejahatan potensial dengan

membuat contoh menangkap pelaku kejahatan;

d. Punishment, tujuan pemidanaan ini agak berbeda dari tiga tujuan ide

masing-masing komponen incapacitation, deterrence dan rehabilitation adalah

bersifat future-oriented (berorientasi ke masa depan), dimana mereka telah

dirancang untuk mencegah kejahatan tambahan oleh pelaku kejahatan atau

lainnya. Pemidanaan bagaimanapun juga berfokus pada perilaku jahat dimasa

lalu pelaku kejahatan dan diberikan untuk perilaku tersebut. Sekarang tujuan

pemidanaan sering disebut “just deserts (ganjaran yang setimpal)” atau

“commensurate deserts (ganjaran yang sepadan)” yang menyiratkan bahwa

hal tersebut adalah tujuan yang tepat dari sistem peradilan pidana sesuai

kerugian akibat perbuatannya.23

22

Pencegahan dengan pemberian hukuman berfungsi sebagai contoh yang akan menghalangi mereka yang berniat melakukan kejahatan.

23

(18)

Sementara itu Anthoni Duff dan David Garland sebagaimana dikutip

Harkristuti Harkrisnowo mengelompokkan berbagai tujuan pemidanaan yang ada ke

dalam dua golongan besar, yakni “konsekuensialis”, benar tidaknya sesuatu

tergantung semata-mata pada konsekuensi secara menyeluruh. Ringkasnya, jika

konsekuensinya baik, maka tindakan tersebut benar, namun apabila konsikuensinya

buruk, maka tindakan itu salah. Oleh karenanya, untuk mencari pembenaran bagi

pemidanaan, maka harus dibuktikan bahwa: a) pidana itu membawa kebaikan; b)

pidana mencegah kejadian yang lebih buruk; dan c) tidak ada alternatif lain yang

dapat memberikan hasil yang setara baiknya.24

Dalam persfektif ini, pencegahan kejahatan merupakan tujuan utama

pemidanaan. Dengan asumsi bahwa kejahatan merupakan suatu perilaku (baik secara

aktual maupun potensial) yang mengakibatkan kerugian, maka layaklah apabila

pelakunya dikenakan kerugian pula, yakni melalui penjatuhan pidana. Hal ini patut

dilakukan agar tidak terjadi atau timbul kerugian yang lebih besar dimasa depan.

Aliran ini berkarakter instrumentalis (berdasarkan ketentuan hukum positif) dan

berorientasi ke depan (forwardlooking), dan menitik beratkan pada asas kemanfaatan

penjatuhan pidana; hal yang sangat terkenal di kalangan para penganut utilitarian

klasik (meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum) yang

menggarisbawahi the greatest happiness for the greatest number (kebahagiaan

24

(19)

terbesar untuk jumlah terbesar).25 Bentham dengan tegas menyatakan bahwa the greaest happiness of the greatest number hanya dapat diperoleh jika hukum ditaati.

Hanya penderitaan dan kesenangan yang dapat memberikan manfaat nyata tindakan

dan dalam kehidupan pribadi serta publik berada dalam analisis terakhir dimana

segala perhatian dengan kebahagiaan maksimum.26

Dalam hal penetapan pidana, Beccaria sebagai pelopor teori utilitarian yang

mendasarkan pada teori kontrak sosial menyatakan bahwa tiap-tiap individu

menyerahkan kebebasannya kepada negara. Dimana perbuatan manusia adalah

bersifat purposive (bertujuan) dan ini didasarkan pada sifat hedonism atau prinsip

kesenangan dan kesusahan, dimana manusia memilih perbuatan-perbuatan yang

membawa kesusahan. Sedangkan Bentham memperkenalkan prinsip-prinsip moral

dan legislasi dengan kalimat klasiknya: “Nature has place mankind under

governance of two sovereign master, pain and pleasure. It is for them alone to point

out what we ought to do, as well as determine what we shall do (Alam telah

menempatkan manusia di bawah perintah dua kekuasaan utama, penderiaan dan

kesenangan. Hal itu untuk mereka sendiri menunjukkan apa yang dilakukan, seperti

halnya menetapkan apa yang dikerjakan).”27

25Ibid ,

hal. 11-12.

Sehingga dari keduanya kelihatan

bahwa setiap orang mempunyai kebebasan kehendak (free will) dalam memilih

perbuatan yang akan memberikan kesenangan dan menghindari

perbuatan-perbuatan yang membawa kesusahan.

26

Samuel Enoch Stumpt, Philosophy, History & Problems, Fourt Adition, (McGraw-Hill International Editions, 1989), hal. 365.

(20)

Konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari prinsip-prinsip tersebut adalah

sebagai berikut:28

Pertama; hukum dapat memerintahkan menghukum kejahatan dimana

kekuasaan ini hanya terletak pada legislator yang merupakan representasi dari

masyarakat keseluruhan kesatuan dari kontrak sosial. Hal ini karena tiap-tiap

individu telah menyerahkan kebebasannya kepada negara agar masyarakat dapat

hidup sehingga hukum melindungi / mempertahankan keseluruhan kebebasan yang

dikorbankan terhadap perampasan kemerdekaan orang yang dikorbankan oleh orang

lain.

Kedua: kekuasaan yang berkuasa yang merupakan representasi masyarakat

itu sendiri hanya dapat membuat hukum secara umum yang mengikat pada semua

anggota tetapi dia secara jelas tidak dapat menghakimi seseorang yang melanggar

kontrak sosial, sehingga negara hanya membuat undang-undang tetapi tidak

memberikan kekuasaan untuk menentukan siapa yang melanggar undang-undang

tersebut tetapi dilakukan oleh pihak lain yaitu hakim.

Ketiga; kekerasan yang ekstrim dari pemidanaan dapat menunjukkan

sesuatu menjadi tidak berguna, hal ini akan bertentangan dengan keadilan dan sifat

dari kontrak sosial itu sendiri.

Beccaria tidak percaya dengan pidana yang berat atau kejam, pencegahan

akan datang tidak dari pidana yang berat tetapi dari pidana yang patut (appropriate)

28

(21)

yang tepat (prompt) dan pasti (inevitable). Penjatuhan pidana harus dilakukan dengan

alasan utama yaitu untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan untuk

mencegah orang melakukan kejahatan. Dan pidana harus dirancang untuk

masing-masing kejahatan menurut tingkatnya yang akan menghasilkan lebih banyak

kesusahan daripada kesenangan terhadap mereka yang melakukan perbuatan.

Dalam penerapan pidana; kekuasaan untuk menginterpretrasikan hukum

pidana tidak dapat diletakkan pada hakim pidana, hal ini tepat karena mereka bukan

pembuat hukum. Sehingga dengan demikian tugas seorang hakim hanya semata-mata

sebagai alat undang-undang yang hanya menentukan salah tidaknya seseorang dan

kemudian menetapkan pidananya.

Bentham mengemukakan bahwa sanksi adalah apa yang dapat memberikan

kekuatan mengikat (what gives binding force) kepada tuntutan perilaku (rule of

conduct) atau hukum. Sanksi tersebut dibagi menjadi empat yaitu: sanksi fisik/ badan

(physical), politik, moral dan agama. Legislator memahami bahwa seseorang merasa

terikat untuk melakukan hanya jika undang-undang yang jelas ketika undang-undang

mempunyai sanksi yang jelas yang berhubungan dengannya dan sanksi berisi

beberapa bentuk penderitaan jika model perilaku dinyatakan legislator sebagai

kejahatan terhadap masyarakat. Kesepakatan telah memberikan arti konkrit pada

(22)

ditentukan tetapi berprospek penderitaan jika seseorang tidak mentaati moral atau

kewajiban hukum.29

Dalam pelaksanaan pidana pada akhirnya, apapun jenis dan bentuk sanksi

dalam hukum pidana yang akan ditetapkan, tujuan pemidanaan yang harus menjadi

patokan. Karena itu, tujuan pemindanaan yang harus menjadi patokan. Oleh karena

itu harus ada kesamaan pandang atau pemahaman yang sama pada setiap tahap

kebijakan legislasi tentang apa hakikat atau maksud dari sanksi pidana dan atau

tindakan itu sendiri. Adanya tujuan pemidanaan yang harus dijadikan patokan dalam

rangka menunjang bekerjanya sistem peradilan ini, menurut istilah Muladi untuk

menciptakan sinkronisasi yang bersifat fisik, yaitu sinkronisasi structural (structural

synchronization), sinkronisasi substansial (substantial synchroni-zation), dan dapat

pula bersifat sinkronisasi cultural (cultural synchronization). Dalam sinkronisasi

struktural, keserempakan dan keselarasan ditentukan dalam mekanisme administrasi

peradilan pidana (the administration of justice) dalam kerangka hubungan antar

lembaga penegak hukum. Sedangkan menyangkut sinkronisasi substansial, maka

keserampakan itu mengandung makna baik vertikal maupun horizontal dalam

kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sementara menyangkut sinkronisasi

kultural mengandung makna untuk selalu serempak dalam menghayati

29 Ibid

(23)

pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya

sistem peradilan pidana. Persoalan dalam menetapkan sanksi dalam hukum pidana,

apapun jenis dan bentuk sanksinya harus didasarkan dan diorientasikan pada tujuan

pemidanaan. Setelah tujuan pemidanaan ditetapkan, barulah jenis dan bentuk sanksi

apa yang paling tepat bagi pelaku kejahatan ditentukan.30

2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai

suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan

pertimbangan.31 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi,

antara abstraksi dan realitas.32 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan

defenisi operasional.33

Pentingnya defenisi adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran

yang berbeda dari satu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini

dirumuskan serangkaian defenisi sebagai berikut:

a. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat

dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun

30

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 95. 31

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal. 122.

32

Masri Singarimbun dan Sifian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 34.

33

(24)

berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.34

b. Kerugian negara adalah berkurangnya uang, surat berharga, dan barang

yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum

baik sengaja maupun lalai.35

c. Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) tambahan

dalam perkara korupsi. Pidana pembayaran uang pengganti merupakan

konsekuensi dari akibat tindak pidana korupsi yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga untuk

mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam

bentuk pembayaran uang pengganti.36

d. Tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang tercantum pada Pasal 2 s/d

Pasal 16 Undang-Undang ini, yang meliputi: delik merugikan keuangan

Negara (Pasal 2 dan Pasal 3); delik penyuapan (Pasal 5, 6, dan 11); delik

penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, 9, dan 10); delik pemerasan dalam

jabatan (Pasal 12); delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7);

dan delik gratifikasi (Pasal 12 B, 12 C dan Pasal 13).

34

Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 1 angka 1 35

Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 angka 22 36

(25)

G. Metode Penelitian

Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”.

Namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan

kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:37

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian,

2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan,

3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.

Agar penelitian tersebut memenuhi syarat keilmuan, maka diperlukan

pedoman yang disebut metode penelitian. Metode penelitian adalah cara-cara berfikir

dan berbuat, yaitu dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian dan

untuk mencapai suatu tujuan penelitian.38

Penulisan sebagai salah satu jenis karya tulis ilmiah membutuhkan data-data

yang mempunyai nilai kebenaran yang dapat dipercaya. Untuk memperoleh data-data

sebagaimana yang dimaksud, maka dilakukan suatu metode tertentu, karena setiap

cabang ilmu pengetahuan mempunyai metode penulisan tersendiri.

Maka dalam tulisan hukum secara otomatis metode yang dipakai adalah

metode penulisan hukum. Metode penulisan ini merupakan pedoman atau petunjuk

dalam mempelajari, menganalisa, memahami serta menemukan penyelesaian bagi

permasalahan yang dihadapi.

37

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2000), Hal. 5. 38

(26)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang berbasis kepada ilmu hukum

normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji

berbagai aspek hukum, dari segi ketentuan perundang-undangan yang berlaku

mengenai ketentuan pidana tambahan uang pengganti .

Menurut Sunaryati Hartono, “dalam penelitian hukum normatif dapat mencari

asas hukum dan pembentukan asas hukum baru”.39

Sedangkan menurut Bagir Manan, “penelitian normatif adalah penelitian

terhadap kaedah dan asas hukum yang ada”.

40

Soerjono Soekanto menyatakan penelitian hukum normatif adalah “penelitian

terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum,

dan perbandingan hukum”.

41

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Bersifat deskriptif maksudnya dari

penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sitematis tentang

permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta

yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab

permasalahan. Jadi deskriptif analisis yaitu mendeskripsikan, menggambarkan,

menelaah dan menjelaskan secara analisis permasalahan yang dikemukakan

terperinci tentang hal tertentu dan pada saat tertentu. Biasanya dalam penelitian ini,

39

C. F. G. Sunaryati Hartono, Op. Cit., Hal. 141. 40

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), Hal. 13.

(27)

peneliti sudah mendapatkan atau mempunyai gambaran yang berupa awal tentang

permasalahan yang akan diteliti.42 Penelitian bersifat deskriptif analisis adalah “suatu penelitian yang berusaha menggambarkan fakta dan data-data mengenai tugas dan

tanggung jawab Pengurus, kemudian melakukan penyusunan, pengolahan dan

penilaian terhadap data-data yang ditemukan sehingga diperoleh gambaran lengkap

dan menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti”.43

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif. Pendekatan normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji

penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif, serta kemudian

dihubungkan dengan perkembangan yang ada di tengah masyarakat.44

2. Sumber Data

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

berwenang.45

42Ibid

, hal 63.

Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahannya, Undang-Undang No.

17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara, dan peraturan perundang-undangan lain yang

terkait.

43

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Hal. 36

44

Johnny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, (Jakarta: Banyumedia, 2007), Hal. 295

45

(28)

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan

dengan akibat hukum terhadap pembayaran uang pengganti sebagai salah satu bentuk

pengembalian kerugian keuangan negara, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal

hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari

internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang

mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus,

ensiklopedia dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi

pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak

maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan

perundang-undangan.

4. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu suatu analisis data yang

(29)

jawaban-jawaban dari informan yaitu hakim dan jaksa, yangdicari hubungan antara

data yang satu dengan data yang lain kemudiandisusun secara sistematis.

“Metode analisis data kualitatif dilakukan dengan cara menyeleksi data yang

telah terkumpul dan memberikan penafsiran terhadap data-data itu kemudian

menarik kesimpulan”.46

46

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penyususnan skripsi adalah untuk mengetahui apakah peningkatan minat belajar IPA dapat diupayakan melalui model pembelajaran NHT siswa kelas V SD N 1 Ampel

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yang didapat siswa dalam pembelajaran pekerjaan mekanik elektro berwawasan lingkungan adalah tinggi,

THE USE OF AUDIO VISUAL AIDS IN IMPROVING STUDENTS’ VOCABULARY MASTERY IN WRITING DESCRIPTIVE TEXTS.. (A Quasi-Experimental Study at the Second Year Students of a Junior High

PERANAN GURU BIDANG STUDI AKIDAH AKHLAK DALAM MENGENDALIKAN KENAKALAN SISWA DI MTs. AL MANAR MEDAN

Total uang yang diterima atau terkumpul dalam satu periode (Samuelson, 1999: 214) Jumlah pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan produk tahu Data diperoleh

Deret bilangan jumlah yang ditunjuk untuk suku- suku dari suatu barisan bilangan.

Berhubung peluang untuk terjadi beban hidup penuh yang membebani dan semua unsur struktur pemikul secara serempak selama umur gedung tersebut adalah sangat kecil, maka pada

Assalamu Alaikum wr wb para pengunjung Sejarah Mula, pada kesempatan kali ini kami akan sedikit memberikan informasi tentang Sejarah 4 Perang Besar Islam yang Terjadi Saat