BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi adalah istilah yang sudah lama dikenal dalam masyarakat Indonesia.
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana tidak hanya di
lembaga legislatif, yudikatif maupun eksekutif, namun korupsi dapat terjadi pada
semua sisi kehidupan dan aktivitas masyarakat. Korupsi telah menjadi ciri
penyelenggaraan birokrasi dan bisnis nasional. Korupsi bukanlah semata-mata atau
bahkan terutama masalah yang dihadapi oleh negara-negara berkembang saja.
Kejadian-kejadian di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan secara jelas bahwa
tidak pada tempatnya negara-negara industri menggurui negara-negara sedang
berkembang mengenai korupsi. Seperti halnya masalah korupsi di Italia, demokrasi
dan pasar bebas bukanlah satu-satunya alat penangkal korupsi.1
Gunar Myrdal menyebut korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang
tidak wajar yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintah atau
usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak wajar, serta kegiatan
lainnya seperti penyokongan. Sementara Myrdal tampaknya menggunakan istilah
korupsi dalam arti yang luas yang meliputi juga kolusi dan nepotisme. Sedangkan
Edelhers lebih senang menggunakan istilah white collar crime2
1
Jeremi Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 1.
untuk perbuatan
2 White collar crime
korupsi ini, sedangkan menurut Hamzah menyebutkan pengertian korupsi di
Malaysia disana tidak digunakan kata korupsi tetapi memakai peraturan anti
kekuasaan.3
Hamzah menyebutkan pengertian korupsi secara harfiah (literal/ mendasar)
dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah
yang sangat luas pengertiannya. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah
korupsi bermacam ragam pula. Pendekatan sosiologis seperti halnya yang dilakukan
oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain
artinya kalau terhadap hal yang sama dilakukan pendekatan normatif, politik ataupun
ekonomi.4
Undang-undang tindak pidana korupsi mensyaratkan untuk adanya tindak
pidana korupsi haruslah terjadi kerugian negara. Kerugian negara menurut Pasal 1
angka 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah
berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya
sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Menurut Djoko Sumaryanto, kerugian negara dalam hal ini bukanlah
kerugian negara dalam pengertian di dunia perusahaan/ perniagaan, melainkan suatu
kerugian yang terjadi karena sebab perbuatan (perbuatan melawan hukum). Dalam
kaitan ini faktor-faktor lain yang menyebabkan kerugian negara adalah penerapan
kebijakan yang tidak benar, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
barang, untuk menghindari pembayaran atau kehilangan uang atau barang, atau untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan maupun bagi diri sendiri.
3
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia masalah dan pemecahannya, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001), hal. 11.
4Ibid
Sebenarnya pengelolaan keuangan negara melupakan identitasnya pada saat diserahi
tugas untuk mengurus keuangan negara sehingga negara mengalami kerugian.
Kerugian keuangan negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik disengaja
maupun kelalaian.5
Ketika faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kerugian keuangan negara
tersebut dikaji dalam aspek hukum, kerugian negara berada dalam rana hukum
publik, seperti hukum keuangan negara dan hukum pidana. Kedua jenis hukum ini
memiliki substansi yang berbeda tetapi tetap pada tujuan yang sama berupa
menempatkan keuangan negara dalam kedudukan normal. Hal ini didasarkan bahwa
keuangan negara merupakan daya dukung dalam rangka mencapai tujuan negara
sebagaimana dimaksudkan dalam alenia keempat Pembukaan Undang-undang Dasar
1945.
Kerugian negara dan tuntutan ganti kerugian merupakan substansi dalam
hukum keuangan negara yang melibatkan pihak pengelola keuangan negara dengan
pihak berwenang melakukan tuntutan ganti kerugian. Ketika salah satu pihak tidak
dapat melaksanakan fungsinya, berarti terdapat kendala terhadap penegakan hukum
keuangan negara. Kendala itu harus dikesampingkan sehingga tujuan negara yang
5
hendak dicapai dapat memperoleh pembiayaan sebagaimana yang diamanatkan
dalam anggaran negara.6
Modus operandi korupsi yasng bersifat individual sudah mulai tertinggal,
dimensi baru kejahatan korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
oleh pejabat publik, dikenal dengan korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan,
yaitu selalu berkaitan dengan masalah kebijakan. Di satu sisi kebijakan yang ada,
dimanfaatkan untuk melakukan korupsi. Di sisi lain ada keterbatasan pemahaman
dari sebagian aparat penegak hukum terhadap makna “penyalahgunaan wewenang”
dalam ranah Hukum Administrasi Negara yang dipersamakan dengan unsur
“melawan hukum” dalam ranah hukum pidana
Terkaitnya hukum pidana dalam masalah kerugian negara karena perbuatan
itu dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi sehingga
menimbulkan kerugian keuangan negara atau bahkan perekonomian negara. Hal ini
didasarkan bahwa kerugian keuangan negara atau perekonomian perekonomian
negara merupakan salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di lain
pihak, sebenarnya hukum perdata tidak menjangkau mengenai kerugian negara dan
penyelesaiannya walaupun terdapat prosedur tuntutan ganti kerugian negara dan
penyelesaiannya, maupun penjatuhan sanksi berupa ganti kerugian.
Ketidakterjangkauan hukum perdata disebabkan substansi hukum yang terkandung di
6
dalamnya hanya bersifat keperdataan, yakni mengatur hubungan hukum antara
seseorang dengan orang lain saja.7
Timbulnya kerugian negara menurut Yunus Husein sangat terkait dengan
berbagai transaksi, seperti transaksi barang dan jasa, transaksi yang terkait dengan
utang piutang, dan transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan.8
Sebenarnya pengembalian kerugian negara tanpa melalui peradilan sangat
lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan melalui peradilan. Hal ini didasarkan
bahwa pengembalian kerugian negara tanpa melalui peradilan sangat mudah
penyelesaiannya karena tidak menggunakan prosedur yang berbelit-belit. Disamping
itu, waktu yang dibutuhkan sangat singkat karena tidak dikenal upaya hukum seperti
banding, kasasi dan peninjauan kembali berbeda dengan prosedur melalui peradilan
yang membutuhkan waktu yang cukup lama, namun tidak berarti terjadi perbuatan Ketika
negara mengalami kerugian karena akibat pengelolaan keuangan negara dan telah
diupayakan pengembaliannya melalui prosedur ganti kerugian berdasarkan hukum
keuangan negara. Prosedur yang ditempuh berdasarkan hukum keuangan negara
merupakan cara pengembalian keuangan negara sebagai akibat kerugian negara tanpa
melalui peradilan. Pada hakikatnya, pengembalian kerugian negara tanpa melalui
peradilan lebih difokuskan kepada aspek administrasi tetapi tetap berada dalam
koridor hukum keuangan negara.
7Ibid
, hal. 111. 8
yang sewenang-wenang atas diri yang diminta pertanggung jawabannya terhadap
kerugian negara akibat perbuatan pada saat mengelola keuangan negara.9
Tatkala prosedur tanpa melalui peradilan ternyata pengembalian kerugian
negara tidak dapat dikembalikan, berarti prosedur melalui peradilan harus digunakan
agar keuangan negara berada pada posisi yang sama sebelum dikelola. Prosedur
melalui peradilan didasarkan pada instrumen hukum perdata, tetapi keduanya
mengandung prosedur bukan merupakan hambatan atau kendala untuk
mengembalikan kerugian negara karena substansi hukum itu yang menyebabkan
timbulnya perbedaan dalam penerapannya di pengadilan termaksud.
Kerugian negara akibat dari pengelolaan keuangan negara yang menyimpang
atau melanggar hukum wajib dikembalikan agar keuangan negara berada dalam
keadaan semula untuk membiayaai pelaksanaan pemerintahan negara dalam rangka
mencapai tujuan negara. Upaya negara untuk mengembalikan kerugian akibat
ditimbulkan oleh pengelolaan keuangan negara yang menyimpang atau melanggar
hukum, telah disiapkan instrumen hukum yang berada dalam konteks hukum pidana.
Walaupun telah ada, bila moral dan komitmen penegak hukum tidak menunjang
untuk ditegakkan berarti instrument hukum pidana hanya bersifat cita-cita hukum
belaka.
Oleh karena itu, adalah suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian
menerapkan sebuah kebijakan hukum pidana (dalam hal ini tertuang dalam produk
9
perundang-undangan) dalam mengupayakan kembalinya uang negara yang hilang
akibat tindak pidana korupsi. Instrumen hukum pidana yang terkait dengan
pengembalian kerugian negara melalui peradilan adalah Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi. Perubahan itu dilakukan karena tindak pidana korupsi tergolong
sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra
ordinary crime). Dengan demikian, kerugian negara dalam kacamata instrumen
hukum pidana adalah tindak pidana korupsi yang memerlukan pemberantasan
dengan tindak pidana lainnya seperti pembunuhan.
Menurut Barda Nawawi Arief10 berbagai langkah kebijakan penanggulangan korupsi yang ada, terkesan bahwa strategi kebijakan lebih terfokus pada upaya
melakukan pembaruan undang-undang (law reform). Upaya melakukan
pembaharuan undang-undang memang merupakan langkah yang sepatutnya
dilakukan. Masalah korupsi sarat dengan berbagai kompleksitas masalah, maka
seyogyanya ditempuh pendekatan integral11
10
Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Penanggulangan Korupsi di Indonesia (Beberapa Catatan terhadap RUU tentang Perubahan UU No. 31/1999), makalah Seminar Nasional Pemberantasan dan Penanggulangan Korupsi dengan Sistem Pembuktian Terbalik, (Surakarta: Fakultas Hukum UNS, 10 Juli 2001), hal. 2.
. Tidak hanya melakukan law reform
(reformasi hukum), akan tetapi juga seyogyanya disertai dengan social economic
political cultural, moral and administrative reform (reformasi sosial, ekonomi,
politik dan adminstrasi).
11
Menurut Barda Nawawi Arief12
Upaya pemulihan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, merupakan
salah satu tujuan utama dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Salah satu
upaya untuk mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi adalah
dengan diadakannya ketentuan tentang pembayaran uang pengganti. Keputusan
tentang pembayaran uang pengganti ini pertama kali muncul dalam Undang-Undang
No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu di dalam
Pasal 34 sub c, sebagai pidana tambahan. Di dalam penjelasan Undang-Undang No.
3 Tahun 1971 disebutkan bahwa tujuan dari pidana pembayaran uang pengganti
adalah untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari usaha pengembalian kerugian
negara ataupun perekonomian negara.
dilihat sebagai suatu kesatuan proses, maka
tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis. Dari tahap
kebijakan legislatif inilah diharapkan adanya suatu garis pedoman untuk tahap-tahap
berikutnya. Dalam konteks pembicaraan tentang pidana pembayaran uang pengganti,
dimana melalui kebijakan legislatif telah dirumuskan di dalam Undang-Undang No.
31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka akan sangat
menarik untuk mengkaji apakah pidana tambahan pembayaran uang pengganti
tersebut telah memenuhi syarat untuk dipakai sebagai garis pedoman untuk
tahap-tahap berikutnya.
Terhadap terpidana perkara korupsi selain pidana badan (penjara) dan/ atau
denda, juga dijatuhi pidana tambahan antara lain pembayaran uang pengganti yang
12
besarnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi.
Dalam praktiknya hampir tidak ada terpidana yang membayar uang pengganti
dengan berbagai dalih, misalnya tidak punya lagi uang atau aset. Sikap terpidana
yang tidak mau atau mampu membayar uang pengganti itu sebenarnya sudah bisa
diketahui oleh penyidik dan penuntut umum sejak sebelum perkara dilimpahkan ke
pengadilan, menghadapi terpidana seperti ini, seyogyanya penuntut umum menuntut
hukuman badan (penjara) maksimum sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang.
Konsep pidana uang pengganti menurut ahli hukum pidana Romli
Atmasasmita dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan
sanksi pidana seberat mungkin agar mereka jera. Menilik sistem pemidanaan yang
dianut undang-undang korupsi baik yang lama maupun yang baru, setiap orang
memang sudah sepatutnya takut untuk melakukan korupsi.13
Pertimbangan lain yang melatarbelakangi munculnya konsep pidana uang
pengganti adalah dalam rangka mengembalikan uang negara yang melayang akibat
suatu tindak pidana korupsi. Pemikiran ini sejalan dengan definisi dari korupsi itu
sendiri. Menurut undang-undang, salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah
adanya tindakan yang merugikan keuangan negara. Dengan adanya unsur ini maka
setiap terjadi suatu tindak pidana korupsi maka akan menimbulkan kerugian pada
keuangan negara.
Ketentuan tentang pidana pembayaran uang pengganti di dalam
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur
13
Pasal 18 sub b yang menyatakan “selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah
pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyaknya sama dengan harta benda
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”. Ketentuan ini sedikit berbeda bila
dibandingkan dengan ketentuan pidana pembayaran yang ada dalam Undang-Undang
No. 3 Tahun 1971. Didalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 ada ketentuan yang
menyebutkan bahwa dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana yang
lamanya tidak melebihi ancaman dari pidana pokoknya. Ketentuan demikian itu tidak
terdapat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971.
Dalam persfektif politik kriminal, maka pidana pembayaran uang pengganti
dipandang sebagai suatu usaha rasional14
Sebagai sarana yang cukup strategis untuk memulihkan kerugian negara
akibat tindak pidana korupsi, pidana tambahan pembayaran uang pengganti harus
dapat dilaksanakan seoptimal mungkin. Kalau melihat materi ketentuan pidana
tambahan pembayaran uang pengganti yang ada dalam Undang-Undang No. 31 untuk menekan kerugian yang ditimbulkan
oleh tindak pidana korupsi. Perumusan sanksi pidana pembayaran uang pengganti
dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi merupakan suatu kebijakan legislatif, pidana pembayaran uang pengganti
sebagai suatu produk kebijakan legislatif tentu saja harus dirumuskan secara hati-hati
dan tidak boleh menimbulkan kebingungan dan pelaksanaannya nanti.
14
tahun 1999, seakan-akan memberikan harapan yang besar bahwa kerugian negara
dapat dipulihkan. Harapan yang begitu besar tersebut seakan-akan menjadi redup,
setelah melihat kenyataan yang sesungguhnya, dimana dari tahun ketahun kerugian
negara akibat tindak pidana korupsi berhasil dipulihkan justru semakin mengecil.
Tentu saja patut dipertanyakan keefektifan dari pidana tambahan pembayaran uang
pengganti yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku korupsi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa masalah di seputar
ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti cukup banyak dan sangat
menarik untuk dilakukan pengkajian melalui penelitian. Dalam penelitian ini, akan
dilakukan kajian penelitian terhadap beberapa aspek dari ketentuan tentang pidana
pembayaran uang pengganti dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
B. Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah latar belakang lahirnya pengaturan tentang uang pengganti
dalam kebijakan hukum tindak pidana korupsi?
2. Bagaimanakah penerapan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana
korupsi dikaitkan dengan tujuan pemidanaan?
3. Apa hambatan penerapan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi?
1. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang lahirnya pengaturan
tentang uang pengganti dalam kebijakan hukum tindak pidana korupsi
2. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan pembayaran uang pengganti
dalam tindak pidana korupsi dikaitkan dengan tujuan pemidanaan
3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan penerapan uang pengganti
dalam tindak pidana korupsi.
D. Manfaat Penelitian 1. Teoretis
a. Memberikan masukan pada pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan hukum pidana pada khususnya.
b. Menambah pengetahuan mengenai upaya pengembalian kerugian
keuangan negara melalui penerapan pembayaran uang pengganti
2. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau bahan
pertimbangan bagi pembentuk undang-undang dalam melakukan peninjauan
terhadap undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi melalui
penerapan kosenp pembayaran uang pengganti. Penyempurnaan atau
perbaikan terhadap ketentuan pidana pembayaran uang pengganti perlu
dilakukan agar ketentuan itu bisa dipakai sebagai sarana yang efektif dan
memadai dalam upaya memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana
E. Keaslian Penelitian
Setelah melakukan penelusuran kepustakaan, maka diketahui belum ada
tulisan yang mengangkat mengenai “Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah
Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana
Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi”. Penulisan
ini dilakukan berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi dan juga hukum keuangan negara. Memang ada penelitian sebelumnya yang
dilakukan:
1. Abu Bokar Tombak/ 037005001, Judul Penelitian “Pengembalian Kerugian
Keuangan Negara sebagai Salah Satu Faktor yang Meringankan Hukuman
dalam Tindak Pidana Korupsi.” Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Konsep dan ketentuan-ketentuan bagaimana yang mendasari peraturan
perundang-undangan untuk menanggulagi kerugian keuangan negara
dalam tindak pidaua korupsi?
b. Bagaimana pengaturan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi
yang mengembalikan kerugian keuangan negara?
2. Haswandi/ 982105011, Judul Penelitian “Tanggung Jawab Pelaku Tindak
(Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)”, Permasalahan yang
diteliti adalah
a. Bagaimana pelaksanaan pengembalian dan pembayaran uang pengganti
kerugian yang diderita negara oleh pelaku tindak pidana korupsi atau ahli
warisnya yang diputus oleh Pengadilan Negeri Lubuk Pakam ditinjau dari
aspek hukum perdata?
b. Masalah-masalah apa saja yang dihadapi jaksa selaku pengacara negara
dalam melakukan penuntutan tanggungjawab perdata terhadap pelaku
tindak pidana korupsi atau ahli warisnya maupun sebagai eksekutor dalam
pelaksanaan putusan hakim tentang pembayaran uang pengganti kerugian
terhadap negara serta bagaimana upaya mengatasinya?
Jika dibandingkan permasalahan yang diteliti sebelumnya sebagaimana
disebutkan di atas dengan penelitian yang dilakukan ini adalah berbeda. Oleh karena
itu, tulisan ini merupakan sebuah karya asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan
yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari
proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga tulisan ini dapat
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berhubungan yang
dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu.15 Fungsi teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses terjadi.16 Suatu teori harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan
ketidakbenarannya.17 Sehingga kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang
menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis,18
Barda Nawawi Arief mengemukakan beberapa tahap dalam pemidanaan,
yaitu:
yang akan dijadikan sebagai
landasan pemikiran dalam penelitian ini.
a. Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang;
b. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang, yaitu hakim;
c. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.19
Secara keseluruhan pelaksanaan pemidanaan diharapkan merupakan satu
jalinan mata rantai yang saling berkaitan dalam satu kebulatan sistem. Sebagai satu
kesatuan dalam keseluruhan mekanisme penanggulangan kejahatan, maka harus ada
15
J.J.H.Bruggink, “Refleksi Tentang Hukum”, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 2.
16
J. J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, edt. M. Hisyam, (Jakarta: FE UI, 1996), hal. 203.
17Ibid,
hal. 16. 18
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. 19
jalinan mata rantai antara setiap tahap pemidanaan. Ini berarti tahap pemberian
pidana tidak dapat dilepaskan dari tahap penetapan pidana dan pelaksanaan pidana
dan menjalin ketiga tahap pemidanaan itu menjadi satu kesatuan tidak lain adalah
tujuan pemidanaan itu sendiri.20
Dari semua tujuan pemidanaan yang ada, secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi empat tujuan pemidanaan yang utama, yaitu:
a. Incapacitation, yang berarti mencegah orang melakukan kembali kejahatan
dengan menahannya. Sanksi diberikan untuk mengasingkan tidak untuk
mengurangi kecendrungan pelaku kejahatan pada kejahatan kemudian,
dengan memberikan perlakuan untuk mengubah tingkah laku atau
kepribadian seseorang, tetapi menghalangi kemungkinan perilaku jahat
setidak-tidaknya bila pelaku kejahatan berada dalam pengawasan.
b. Deterrence, pada umumnya berarti mencegah kejahatan dalam masyarakat
luas dengan memberikan contoh seseorang yang melakukan kejahatan. Jadi
sekalipun tidak diperlukan membatasi pelaku kejahatan secara khusus dengan
memenjarakannya, dia masih dapat menerima bentuk penjara jangka panjang
sebagai peringatan bagi pelaku kejahatan potensial yang mungkin sebaliknya
melakukan kejahatan yang sama. Pencegahan dibagi menjadi dua, yaitu:
Specific deterrence21
20
Barda Nawawi Arief, Ibid, hal. 115.
yang dirancang untuk mencegah pelaku kejahatan
21
melakukan kembali kejahatan dan general deterrence22
c. Rehabilitation, adalah termasuk tujuan pidana yang dirancang untuk
memberikan perlakuan, terhadap perilaku para pelaku kejahatan, kepribadian,
atau sejarah umum pribadi yang mungkin memiliki peranan penting bagi
perilaku jahat. Menghukum orang ke penjara untuk direhabilitasi sama
dengan mengirim orang sakit ke rumah sakit untuk menerima perawatan
untuk orang sakit;
(pencegahan secara
umum) dirancang untuk mencegah pelaku kejahatan potensial dengan
membuat contoh menangkap pelaku kejahatan;
d. Punishment, tujuan pemidanaan ini agak berbeda dari tiga tujuan ide
masing-masing komponen incapacitation, deterrence dan rehabilitation adalah
bersifat future-oriented (berorientasi ke masa depan), dimana mereka telah
dirancang untuk mencegah kejahatan tambahan oleh pelaku kejahatan atau
lainnya. Pemidanaan bagaimanapun juga berfokus pada perilaku jahat dimasa
lalu pelaku kejahatan dan diberikan untuk perilaku tersebut. Sekarang tujuan
pemidanaan sering disebut “just deserts (ganjaran yang setimpal)” atau
“commensurate deserts (ganjaran yang sepadan)” yang menyiratkan bahwa
hal tersebut adalah tujuan yang tepat dari sistem peradilan pidana sesuai
kerugian akibat perbuatannya.23
22
Pencegahan dengan pemberian hukuman berfungsi sebagai contoh yang akan menghalangi mereka yang berniat melakukan kejahatan.
23
Sementara itu Anthoni Duff dan David Garland sebagaimana dikutip
Harkristuti Harkrisnowo mengelompokkan berbagai tujuan pemidanaan yang ada ke
dalam dua golongan besar, yakni “konsekuensialis”, benar tidaknya sesuatu
tergantung semata-mata pada konsekuensi secara menyeluruh. Ringkasnya, jika
konsekuensinya baik, maka tindakan tersebut benar, namun apabila konsikuensinya
buruk, maka tindakan itu salah. Oleh karenanya, untuk mencari pembenaran bagi
pemidanaan, maka harus dibuktikan bahwa: a) pidana itu membawa kebaikan; b)
pidana mencegah kejadian yang lebih buruk; dan c) tidak ada alternatif lain yang
dapat memberikan hasil yang setara baiknya.24
Dalam persfektif ini, pencegahan kejahatan merupakan tujuan utama
pemidanaan. Dengan asumsi bahwa kejahatan merupakan suatu perilaku (baik secara
aktual maupun potensial) yang mengakibatkan kerugian, maka layaklah apabila
pelakunya dikenakan kerugian pula, yakni melalui penjatuhan pidana. Hal ini patut
dilakukan agar tidak terjadi atau timbul kerugian yang lebih besar dimasa depan.
Aliran ini berkarakter instrumentalis (berdasarkan ketentuan hukum positif) dan
berorientasi ke depan (forwardlooking), dan menitik beratkan pada asas kemanfaatan
penjatuhan pidana; hal yang sangat terkenal di kalangan para penganut utilitarian
klasik (meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum) yang
menggarisbawahi the greatest happiness for the greatest number (kebahagiaan
24
terbesar untuk jumlah terbesar).25 Bentham dengan tegas menyatakan bahwa the greaest happiness of the greatest number hanya dapat diperoleh jika hukum ditaati.
Hanya penderitaan dan kesenangan yang dapat memberikan manfaat nyata tindakan
dan dalam kehidupan pribadi serta publik berada dalam analisis terakhir dimana
segala perhatian dengan kebahagiaan maksimum.26
Dalam hal penetapan pidana, Beccaria sebagai pelopor teori utilitarian yang
mendasarkan pada teori kontrak sosial menyatakan bahwa tiap-tiap individu
menyerahkan kebebasannya kepada negara. Dimana perbuatan manusia adalah
bersifat purposive (bertujuan) dan ini didasarkan pada sifat hedonism atau prinsip
kesenangan dan kesusahan, dimana manusia memilih perbuatan-perbuatan yang
membawa kesusahan. Sedangkan Bentham memperkenalkan prinsip-prinsip moral
dan legislasi dengan kalimat klasiknya: “Nature has place mankind under
governance of two sovereign master, pain and pleasure. It is for them alone to point
out what we ought to do, as well as determine what we shall do (Alam telah
menempatkan manusia di bawah perintah dua kekuasaan utama, penderiaan dan
kesenangan. Hal itu untuk mereka sendiri menunjukkan apa yang dilakukan, seperti
halnya menetapkan apa yang dikerjakan).”27
25Ibid ,
hal. 11-12.
Sehingga dari keduanya kelihatan
bahwa setiap orang mempunyai kebebasan kehendak (free will) dalam memilih
perbuatan yang akan memberikan kesenangan dan menghindari
perbuatan-perbuatan yang membawa kesusahan.
26
Samuel Enoch Stumpt, Philosophy, History & Problems, Fourt Adition, (McGraw-Hill International Editions, 1989), hal. 365.
Konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari prinsip-prinsip tersebut adalah
sebagai berikut:28
Pertama; hukum dapat memerintahkan menghukum kejahatan dimana
kekuasaan ini hanya terletak pada legislator yang merupakan representasi dari
masyarakat keseluruhan kesatuan dari kontrak sosial. Hal ini karena tiap-tiap
individu telah menyerahkan kebebasannya kepada negara agar masyarakat dapat
hidup sehingga hukum melindungi / mempertahankan keseluruhan kebebasan yang
dikorbankan terhadap perampasan kemerdekaan orang yang dikorbankan oleh orang
lain.
Kedua: kekuasaan yang berkuasa yang merupakan representasi masyarakat
itu sendiri hanya dapat membuat hukum secara umum yang mengikat pada semua
anggota tetapi dia secara jelas tidak dapat menghakimi seseorang yang melanggar
kontrak sosial, sehingga negara hanya membuat undang-undang tetapi tidak
memberikan kekuasaan untuk menentukan siapa yang melanggar undang-undang
tersebut tetapi dilakukan oleh pihak lain yaitu hakim.
Ketiga; kekerasan yang ekstrim dari pemidanaan dapat menunjukkan
sesuatu menjadi tidak berguna, hal ini akan bertentangan dengan keadilan dan sifat
dari kontrak sosial itu sendiri.
Beccaria tidak percaya dengan pidana yang berat atau kejam, pencegahan
akan datang tidak dari pidana yang berat tetapi dari pidana yang patut (appropriate)
28
yang tepat (prompt) dan pasti (inevitable). Penjatuhan pidana harus dilakukan dengan
alasan utama yaitu untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan untuk
mencegah orang melakukan kejahatan. Dan pidana harus dirancang untuk
masing-masing kejahatan menurut tingkatnya yang akan menghasilkan lebih banyak
kesusahan daripada kesenangan terhadap mereka yang melakukan perbuatan.
Dalam penerapan pidana; kekuasaan untuk menginterpretrasikan hukum
pidana tidak dapat diletakkan pada hakim pidana, hal ini tepat karena mereka bukan
pembuat hukum. Sehingga dengan demikian tugas seorang hakim hanya semata-mata
sebagai alat undang-undang yang hanya menentukan salah tidaknya seseorang dan
kemudian menetapkan pidananya.
Bentham mengemukakan bahwa sanksi adalah apa yang dapat memberikan
kekuatan mengikat (what gives binding force) kepada tuntutan perilaku (rule of
conduct) atau hukum. Sanksi tersebut dibagi menjadi empat yaitu: sanksi fisik/ badan
(physical), politik, moral dan agama. Legislator memahami bahwa seseorang merasa
terikat untuk melakukan hanya jika undang-undang yang jelas ketika undang-undang
mempunyai sanksi yang jelas yang berhubungan dengannya dan sanksi berisi
beberapa bentuk penderitaan jika model perilaku dinyatakan legislator sebagai
kejahatan terhadap masyarakat. Kesepakatan telah memberikan arti konkrit pada
ditentukan tetapi berprospek penderitaan jika seseorang tidak mentaati moral atau
kewajiban hukum.29
Dalam pelaksanaan pidana pada akhirnya, apapun jenis dan bentuk sanksi
dalam hukum pidana yang akan ditetapkan, tujuan pemidanaan yang harus menjadi
patokan. Karena itu, tujuan pemindanaan yang harus menjadi patokan. Oleh karena
itu harus ada kesamaan pandang atau pemahaman yang sama pada setiap tahap
kebijakan legislasi tentang apa hakikat atau maksud dari sanksi pidana dan atau
tindakan itu sendiri. Adanya tujuan pemidanaan yang harus dijadikan patokan dalam
rangka menunjang bekerjanya sistem peradilan ini, menurut istilah Muladi untuk
menciptakan sinkronisasi yang bersifat fisik, yaitu sinkronisasi structural (structural
synchronization), sinkronisasi substansial (substantial synchroni-zation), dan dapat
pula bersifat sinkronisasi cultural (cultural synchronization). Dalam sinkronisasi
struktural, keserempakan dan keselarasan ditentukan dalam mekanisme administrasi
peradilan pidana (the administration of justice) dalam kerangka hubungan antar
lembaga penegak hukum. Sedangkan menyangkut sinkronisasi substansial, maka
keserampakan itu mengandung makna baik vertikal maupun horizontal dalam
kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sementara menyangkut sinkronisasi
kultural mengandung makna untuk selalu serempak dalam menghayati
29 Ibid
pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya
sistem peradilan pidana. Persoalan dalam menetapkan sanksi dalam hukum pidana,
apapun jenis dan bentuk sanksinya harus didasarkan dan diorientasikan pada tujuan
pemidanaan. Setelah tujuan pemidanaan ditetapkan, barulah jenis dan bentuk sanksi
apa yang paling tepat bagi pelaku kejahatan ditentukan.30
2. Konsepsi
Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai
suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan
pertimbangan.31 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi,
antara abstraksi dan realitas.32 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan
defenisi operasional.33
Pentingnya defenisi adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran
yang berbeda dari satu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
dirumuskan serangkaian defenisi sebagai berikut:
a. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
30
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 95. 31
Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal. 122.
32
Masri Singarimbun dan Sifian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 34.
33
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.34
b. Kerugian negara adalah berkurangnya uang, surat berharga, dan barang
yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum
baik sengaja maupun lalai.35
c. Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) tambahan
dalam perkara korupsi. Pidana pembayaran uang pengganti merupakan
konsekuensi dari akibat tindak pidana korupsi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga untuk
mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam
bentuk pembayaran uang pengganti.36
d. Tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang tercantum pada Pasal 2 s/d
Pasal 16 Undang-Undang ini, yang meliputi: delik merugikan keuangan
Negara (Pasal 2 dan Pasal 3); delik penyuapan (Pasal 5, 6, dan 11); delik
penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, 9, dan 10); delik pemerasan dalam
jabatan (Pasal 12); delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7);
dan delik gratifikasi (Pasal 12 B, 12 C dan Pasal 13).
34
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 1 angka 1 35
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 angka 22 36
G. Metode Penelitian
Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”.
Namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan
kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:37
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian,
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan,
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.
Agar penelitian tersebut memenuhi syarat keilmuan, maka diperlukan
pedoman yang disebut metode penelitian. Metode penelitian adalah cara-cara berfikir
dan berbuat, yaitu dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian dan
untuk mencapai suatu tujuan penelitian.38
Penulisan sebagai salah satu jenis karya tulis ilmiah membutuhkan data-data
yang mempunyai nilai kebenaran yang dapat dipercaya. Untuk memperoleh data-data
sebagaimana yang dimaksud, maka dilakukan suatu metode tertentu, karena setiap
cabang ilmu pengetahuan mempunyai metode penulisan tersendiri.
Maka dalam tulisan hukum secara otomatis metode yang dipakai adalah
metode penulisan hukum. Metode penulisan ini merupakan pedoman atau petunjuk
dalam mempelajari, menganalisa, memahami serta menemukan penyelesaian bagi
permasalahan yang dihadapi.
37
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2000), Hal. 5. 38
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian yang berbasis kepada ilmu hukum
normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji
berbagai aspek hukum, dari segi ketentuan perundang-undangan yang berlaku
mengenai ketentuan pidana tambahan uang pengganti .
Menurut Sunaryati Hartono, “dalam penelitian hukum normatif dapat mencari
asas hukum dan pembentukan asas hukum baru”.39
Sedangkan menurut Bagir Manan, “penelitian normatif adalah penelitian
terhadap kaedah dan asas hukum yang ada”.
40
Soerjono Soekanto menyatakan penelitian hukum normatif adalah “penelitian
terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum,
dan perbandingan hukum”.
41
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Bersifat deskriptif maksudnya dari
penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sitematis tentang
permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta
yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab
permasalahan. Jadi deskriptif analisis yaitu mendeskripsikan, menggambarkan,
menelaah dan menjelaskan secara analisis permasalahan yang dikemukakan
terperinci tentang hal tertentu dan pada saat tertentu. Biasanya dalam penelitian ini,
39
C. F. G. Sunaryati Hartono, Op. Cit., Hal. 141. 40
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), Hal. 13.
peneliti sudah mendapatkan atau mempunyai gambaran yang berupa awal tentang
permasalahan yang akan diteliti.42 Penelitian bersifat deskriptif analisis adalah “suatu penelitian yang berusaha menggambarkan fakta dan data-data mengenai tugas dan
tanggung jawab Pengurus, kemudian melakukan penyusunan, pengolahan dan
penilaian terhadap data-data yang ditemukan sehingga diperoleh gambaran lengkap
dan menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti”.43
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif. Pendekatan normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif, serta kemudian
dihubungkan dengan perkembangan yang ada di tengah masyarakat.44
2. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang
berwenang.45
42Ibid
, hal 63.
Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahannya, Undang-Undang No.
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan peraturan perundang-undangan lain yang
terkait.
43
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Hal. 36
44
Johnny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, (Jakarta: Banyumedia, 2007), Hal. 295
45
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan
dengan akibat hukum terhadap pembayaran uang pengganti sebagai salah satu bentuk
pengembalian kerugian keuangan negara, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal
hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari
internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.
c. Bahan Hukum Tertier
Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang
mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus,
ensiklopedia dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi
pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak
maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan
perundang-undangan.
4. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu suatu analisis data yang
jawaban-jawaban dari informan yaitu hakim dan jaksa, yangdicari hubungan antara
data yang satu dengan data yang lain kemudiandisusun secara sistematis.
“Metode analisis data kualitatif dilakukan dengan cara menyeleksi data yang
telah terkumpul dan memberikan penafsiran terhadap data-data itu kemudian
menarik kesimpulan”.46
46