• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN Tinggi Bidang Petik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMBAHASAN Tinggi Bidang Petik"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Tinggi Bidang Petik

Tinggi bidang petik tanaman teh adalah salah satu hal yang penting dalam menunjang pelaksanaan kegiatan pemetikan. Kenaikan bidang petik setiap tahunnya berkisar antara 10-15 cm dan pertumbuhan tanaman teh secara alami dapat mencapai 12-15 m. Ketinggian bidang petik yang ideal untuk pemetikan adalah sekitar 110-120 cm. Jika ketinggian bidang petik telah melebihi 125 cm, akan menimbulkan kesulitan dalam pemetikan, maka untuk memudahkan pemetikan dilakukan pemangkasan setiap empat tahun sekali (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006).

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, rata-rata tinggi bidang petik di Unit Perkebunan Tanjungsari mengalami kenaikan dari tanaman tahun pangkas I hingga III, kemudian mengalami penurunan pada tanaman tahun pangkas IV (Gambar 15). Data tinggi bidang petik merupakan peubah acak kontinu karena merupakan data yang diperoleh dari hasil pengukuran. Rata-rata tinggi bidang petik di Unit Perkebunan Tanjungsari yaitu untuk tahun pangkas I mencapai 84.37 cm, tahun pangkas II mencapai 87.75 cm, tahun pangkas III mencapai 93.27 cm, dan tahun pangkas IV mencapai 92.37 cm.

Gambar 15. Rata-rata Tinggi Bidang Petik Berdasarkan Tahun Pangkas di Unit Perkebunan Tanjungsari pada Tahun 2011

(2)

Penurunan tinggi bidang petik pada tanaman tahun pangkas IV disebabkan oleh keterampilan tenaga pemetik, yaitu pelaksanaan pemetikan dilakukan hingga berada di bawah bidang petik (terlalu dalam) sehingga menyebabkan bidang petik menjadi rendah. Berkaitan dengan tahun pangkas, semakin tua tahun pangkas, maka akan semakin lama pertumbuhan tunas baru (Setyamidjaja, 2000).

Pertumbuhan tunas baru yang lebih lambat menyebabkan pertambahan tinggi bidang petik semakin rendah karena pada tahun pangkas IV didominasi oleh pucuk burung. Menurut informasi dari wawancara dengan Kepala Subbagian Kebun (Kasubag), pucuk burung akan mengalami perubahan menjadi pucuk peko kembali setelah 95 hari. Pembilasan merupakan salah satu Program Recovery yang sedang diterapkan oleh Unit Perkebunan Tanjungsari, guna mengurangi tertinggalnya pucuk burung yang tertinggal di atas bidang petik.

Hasil yang diperoleh berdasarkan uji t-student, rata-rata tinggi bidang petik untuk tanaman teh tahun pangkas I, II, dan III menunjukan tidak berbeda dengan standar yang berlaku dari tiga perkebunan yaitu Unit Perkebunan Tanjungsari, PT Tambi, Wonosobo; Perkebunan Rumpun Sari Kemuning, PT Sumber Abadi Tirta Sentosa, Solo; Perkebunan Rumpun Sari Medini, Kendal. Uji t-student digunakan untuk membandingkan tinggi petik di Unit Perkebunan Tanjungsari dengan beberapa standar kebun lainnya. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 17, 18, dan 19.

Lain halnya pada tanaman tahun pangkas IV, karena berdasarkan uji t-student, hasilnya menunjukan bahwa rata-rata tinggi bidang petik hasil pengamatan berbeda nyata dengan rata-rata tinggi bidang petik dari standar tiga perkebunan lainnya. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 17. Perbandingan Rata-rata Hasil Tinggi Bidang Petik Tahun Pangkas I dengan Beberapa Standar Kebun

Tinggi Bidang Petik n (jumlah) Rata-rata Tinggi Bidang Petik (cm)

Hasil Pengamatan 9 84.32a

Standar Kebun 3 76.67a

Sumber : Hasil Pengamatan dan Data Sekunder

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata berdasarkan uji t-student dengan taraf 5%

(3)

Tabel 18. Perbandingan Rata-rata Hasil Tinggi Bidang Petik Tahun Pangkas II dengan Beberapa Standar Kebun

Tinggi Bidang Petik n (jumlah) Rata-rata Tinggi Bidang Petik (cm)

Hasil Pengamatan 9 87.75a

Standar Kebun 3 90.00a

Sumber : Hasil Pengamatan dan Data Sekunder

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata berdasarkan uji t-student dengan taraf 5%

Tabel 19. Perbandingan Rata-rata Hasil Tinggi Bidang Petik Tahun Pangkas III dengan Beberapa Standar Kebun

Tebal Daun Pemeliharaan n (jumlah) Rata-rata Tinggi Bidang Petik (cm)

Hasil Pengamatan 9 93.27a

Standar Kebun 3 103.33a

Sumber : Hasil Pengamatan dan Data Sekunder

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata berdasarkan uji t-student dengan taraf 5%

Tabel 20. Perbandingan Rata-rata Hasil Tinggi Bidang Petik Tahun Pangkas IV dengan Beberapa Standar Kebun

Tinggi Bidang Petik n (jumlah) Rata-rata Tinggi Bidang Petik (cm)

Hasil Pengamatan 9 92.37a

Standar Kebun 3 116.67b

Sumber : Hasil Pengamatan dan Data Sekunder

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata berdasarkan uji t-student dengan taraf 5%

Tinggi bidang petik tanaman pada tahun pangkas IV di Unit Perkebunan Tanjungsari hanya mencapai 92.36 cm. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan standar tinggi bidang petik pada tanaman tahun pangkas IV di Unit Perkebunan Tanjungsari sebesar 130 cm, di Perkebunan Rumpun Sari Kemuning, Solo, sebesar 105 cm dan Perkebunan Rumpun Sari Medini, Kendal, sebesar 115 cm.

Rendahnya tinggi bidang petik di Unit Perkebunan Tanjungsari juga disebabkan oleh penggunaan gunting petik yang dapat menyebabkan luka petik yang ditimbulkan terlalu banyak dan dalam sehingga tinggi bidang petik menjadi rendah, serta pembentukan tunas baru juga membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pemetikan secara manual.

(4)

Tanaman tahun pangkas IV di Unit Perkebunan Tanjungsari tetap akan mengalami pemangkasan meskipun tingginya masih dapat dicapai oleh pemetik.

Hal ini disesuaikan dengan standar gilir pangkas yang telah ditetapkan oleh Unit Perkebunan Tanjungsari yaitu empat tahun sekali. Pemangkasan juga dilakukan atas dasar kondisi tanaman yang telah mengalami penurunan pertumbuhan pucuk peko, penurunan produktivitas, serta sebagai langkah peremajaan tanaman. Pada tahun ini, pelaksanaan pemangkasan terjadi keterlambatan, yang seharusnya telah dilakukan pada bulan Februari, maka saat ini baru dimulai pada bulan April dan hanya untuk beberapa areal kebun saja, sisanya akan dilanjutkan pada bulan November.

Berdasarkan hasil uji korelasi antara tinggi bidang petik (Y) dengan tahun pangkas (X), diperoleh persamaan y = 2.952x + 82.06 dengan koefisien korelasi (r) 0.92. Persamaan tersebut menunjukkan adanya hubungan yang positif dan untuk nilai r menunjukkan keeratan yang tinggi antara nilai X dan Y. Hubungan yang positif memiliki arti bahwa, semakin tua tahun pangkas, maka tinggi bidang petik akan semakin tinggi.

Tebal Daun Pemeliharaan

Tebal daun pemeliharaan harus cukup memadai karena berperan dalam pengadaan fotosintat yaitu untuk menunjang pertumbuhan pucuk. Selain itu, tebal daun pemeliharaan juga harus dipertahankan untuk menjaga agar tanaman tetap dalam kondisi pertumbuhan yang sehat. Ketebalan daun pemeliharaan yang optimal adalah 15-20 cm (Setyamidjaja, 2000).

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, rata-rata tebal daun pemeliharaan di Unit Perkebunan Tanjungsari adalah 29 cm. Jika diamati berdasarkan tahun pangkasnya (Tabel 6), maka hasilnya menunjukan bahwa rata- rata tebal daun tertinggi ada pada tanaman tahun pangkas III, kemudian tahun pangkas I, IV, dan yang terkecil adalah tahun pangkas II. Hasil tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman teh pada tiap tahun pangkas yang diamati, untuk tahun pangkas I klonnya adalah Gambung 7 (Blok Kutilang, Murai, dan Gelatik), tahun pangkas II adalah Gambung 7 (Blok Kutilang dan Gelatik) dan TRI 2024 (Blok Murai), tahun pangkas III klonnya adalah Gambung 7 (Blok Murai dan Gelatik) dan tanaman yang berasal dari biji hasil persilangan dua jenis klon

(5)

(seedling) (Blok Kutilang), sedangkan tahun pangkas IV terdiri dari klon TRI 2024 (Blok Murai dan Gelatik) dan Gambung 7 (Blok Kutilang).

Pelaksanaan pemetikan sangat berkaitan erat pertumbuhan tunas-tunas baru. Kecepatan pertumbuhan tunas dipengaruhi oleh daun-daun tua yang berada di bawah bidang petik yang disebut tebal daun pemeliharaan. Rata-rata ketebalan daun terbesar ada pada Blok Gelatik, yang didominasi oleh klon Gambung 7.

Klon Gambung 7 memiliki jarak antar ruas daun yang paling lebar yaitu 4-5 cm dibandingkan dengan TRI 2024 yang hanya memiliki jarak antar buku yaitu 3 cm, serta 2-3 cm untuk tanaman yang berasal dari biji hasil persilangan dua jenis klon (seedling), sehingga klon Gambung 7 memiliki tebal daun dengan rata-rata yang terbesar dari yang lainnya. Selain itu, kondisi kebun yang sedang dalam kondisi tidak sehat juga mempengaruhi ketebalan daun pemeliharaan yang ada, seperti serangan Blister blight yang mencapai 21.81% serta kurangnya kebutuhan unsur hara tambahan yang diperlukan tanaman. Tipisnya daun pemeliharaan pada tahun pangkas II dan IV juga dapat disebabkan penggunaan gunting petik, karena dapat menyebabkan lapisan daun pemeliharaan akan semakin tipis karena pemetikan yang tidak dilakukan secara selektif.

Terkait dengan gilir petik, yaitu gilir petik yang panjang, menyebabkan semakin tebalnya daun pemeliharaan, karena banyak tunas yang tumbuh akan semakin tinggi. Tetapi, hal tersebut mengalami penyimpangan pada Unit Perkebunan Tanjungsari karena pada blok yang memiliki gilir petik paling panjang, tebal daun pemeliharaan paling tipis. Hal ini terjadi kondisi kebun yang sedang dalam kondisi tidak sehat juga mempengaruhi ketebalan daun pemeliharaan yang ada, seperti serangan cacar daun (Blister blight) serta kurangnya kebutuhan unsur hara tambahan yang diperlukan tanaman sehingga sulit untuk mempertahankan tebal daun pemeliharaan. Blok Kutilang merupakan blok yang memiliki ketinggian yang paling tinggi sehingga kelembaban udaranya tinggi. Hal tersebut menyebabkan mudahnya tanaman teh pada Blok Kutilang terserang penyakit cacar daun yang dapat menyebabkan tipisnya daun pemeliharaan.

Berdasarkan analisis dengan uji t-student menunjukan bahwa rata-rata tebal daun pemeliharaan hasil pengamatan berbeda nyata dengan rata-rata tebal

(6)

daun pemeliharaan dari tiga standar perkebunan (Unit Perkebunan Tanjungsari, PT Tambi,Wonosobo; Perkebunan Rumpun Sari Kemuning, PT Sumber Abadi Tirta Sentosa, Solo; Perkebunan Rumpun Sari Medini, Kendal) yaitu hanya sebesar 23 cm. Hasil tersebut menunjukan bahwa tebal daun pemeliharaan di Unit Perkebunan Tanjungsari cukup tebal bila dibandingkan dengan beberapa standar perkebunan, meskipun kondisi kebun sedang tidak sehat. Hasil perbandingan analisis tebal daun pemeliharaan dengan beberapa standar perkebunan dengan menggunakan uji t-student tersebut dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Perbandingan Rata-rata Hasil Tebal Daun Pemeliharaan dengan Beberapa Standar Kebun

Tebal Daun Pemeliharaan n (jumlah) Rata-rata tebal daun pemeliharaan (cm)

Hasil Pengamatan 9 29.04a

Standar Kebun 3 23.33b

Sumber : Hasil Pengamatan

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata berdasarkan uji t-student dengan taraf 5%

Berdasarkan hasil uji korelasi antara tebal daun pemeliharaan (Y) dengan tahun pangkas (X), diperoleh persamaan yaitu y = -0.417x + 30.45 dengan koefisien korelasi (r) 0.18. Persamaan tersebut menunjukkan adanya hubungan yang negatif dan untuk nilai r menunjukkan keeratan yang rendah antara nilai X dan Y. Hubungan yang negatif memiliki arti, bahwa nilai dari tebal daun pemeliharaan di Unit Perkebunan Tanjungsari tidak begitu dipengaruhi oleh tahun pangkas. Rata-rata tebal daun pemeliharaan berdasarkan tahun pangkas dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Rata-rata Tebal Daun Pemeliharaan Berdasarkan Tahun Pangkas di Unit Perkebunan Tanjungsari pada Tahun 2011

(7)

Saat ini, Unit Perkebunan Tanjungsari sedang melaksanakan Program Recovery, salah satu kegiatannya adalah untuk menaikkan tebal daun pemeliharaan yaitu penggabaran. Dengan adanya kegiatan penggabaran diharapkan mampu menaikkan tebal daun pemeliharaan menjadi 45 cm atau jumlah daun yang sejajar sebanyak 8 buah dari standar tebal daun pemeliharaan yang telah ditentukan yaitu 15-20 cm atau jumlah daun yang sejajar sebanyak 3-4 daun. Selain itu, untuk jangka panjang, kegiatan penggabaran dimaksudkan untuk meningkatkan produksi serta produktivitas pucuk daun teh di Unit Perkebunan Tanjungsari.

Persentase Potensi Tumbuh Pucuk

Pucuk adalah hasil utama yang dipanen dari tanaman teh yang akan menentukan kualitas dari teh jadi. Ketersediaan pucuk sebagai bahan baku pengolahan harus selalu tersedia di atas bidang petik agar keberlanjutan produksi tetap terjaga. Potensi pucuk pada bidang petik dipengaruhi oleh ketersediaan pucuk burung dan pucuk peko. Pucuk peko adalah pucuk yang berada dalam periode aktif yang ditandai dengan bentukan daun yang menggulung, sedangkan pucuk burung adalah pucuk yang berada dalam periode dorman yang ditandai dengan bentukan pucuk seperti titik.

Keberadaan pucuk juga menjadi indikator akan kondisi tanaman, jika kondisi tanaman sehat dan kebutuhan unsur hara cukup maka periode pucuk peko akan semakin lama. Sebaliknya, jika tanaman dalam kondisi yang tidak sehat dan kekurangan unsur hara maka periode pucuk burung akan semakin lama.

Munculnya pucuk burung dapat digunakan sebagai indikasi menurunnya kesehatan tanaman (Gustiya, 2005).

Pada Gambar 17, terlihat bahwa persentase pucuk burung tertinggi ada pada tanaman tahun pangkas ke-IV mencapai 64.95%. Hal ini terjadi karena semakin tua tahun pangkasnya, maka semakin banyak cabang yang tumbuh sehingga terjadi persaingan antar pucuk yang semakin besar dalam mendapatkan fotosintat. Hal ini akan menyebabkan pertumbuhan pucuk terhambat atau pucuk dalam kondisi dorman karena kurangnya penyaluran hasil fotosintat. Semakin banyak pucuk burung pada bidang petik, maka akan menyebabkan jumlah pucuk yang akan dipetik pada siklus berikutnya akan terbatas.

(8)

Terkait dengan semakin banyaknya cabang pada perdu, akan menyebabkan cadangan hara (pati) yang ada akan lebih terkonsetrasi ke pertumbuhan akar-akar, sehingga penyaluran fotosintat untuk pertumbuhan pucuk berkurang yang mengakibatkan pucuk tumbuh lebih banyak dalam kondisi dorman. Selain itu, semakin tua umur cabang, maka tingkat dormansi tunas semakin kuat sehingga semakin lama pertumbuhan tunas (pucuk peko) (Sukasman, 1988).

Menurut hasil wawancara pihak dengan Kepala Subbagian Kebun, hal itu disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan pucuk burung menjadi pucuk peko yang memerlukan waktu selama 95 hari. Salah satu Program Recovery yang sedang diterapkan oleh Unit Perkebunan Tanjungsari, guna mengurangi tertinggalnya pucuk burung yang tertinggal di atas bidang petik adalah pembilasan. Pembilasan dilakukan dengan melakukan pemetikan kembali untuk pucuk burung yang masih tertinggal di atas bidang petik.

Pada Gambar 17, terlihat bahwa pertumbuhan pucuk burung pada tahun pangkas I di Unit Perkebunan Tanjungsari, cukup tinggi (mencapai 45.35%) dibandingkan dengan standar di perkebunan lain, seperti pada Unit Perkebunan Tambi yang hanya mencapai 25.63% (Qibtiyah, 2009). Hal tersebut dipengaruhi oleh keterampilan tenaga pemetik yang sering kali tidak bersih dalam melakukan pemetikan. Artinya, masih banyak pucuk burung yang tertinggal di atas bidang petik, yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pucuk peko karena periode pucuk burung yang lama. Penggunaan gunting petik juga cenderung menyebabkan tenaga pemetik menjadi kurang selektif. Kesehatan tanaman juga sangat mempengaruhi kondisi pucuk di lapang.

Persentase pucuk burung yang tinggi di atas bidang petik, akan menyebabkan tanaman akan semakin tidak produktif. Beberapa kerugian akan muncul seperti semakin banyaknya hasil fotosintat yang digunakan untuk pertumbuhan pucuk burung dan proses pertumbuhan pucuk burung membutuhkan waktu yang lama yaitu 95 hari dan hasilnya hanya akan berupa peko nagok. Peko nagok adalah pertumbuhan peko setelah melalui fase burung, tetapi memiliki pertumbuhannya yang lambat yaitu tiga bulan.

(9)

Gambar 17. Hubungan antara Tahun Pangkas dengan Persentase Potensi Tumbuh Pucuk

Persentase pucuk peko tertinggi ada pada tanaman tahun pangkas ke-I yang mencapai 54.65%. Semakin banyaknya pucuk peko di atas bidang petik, maka akan semakin tinggi potensi pucuk yang dapat dipetik. Pada tanaman tahun pangkas II dan III, persentase pucuk peko masih relatif tinggi karena pada tahun pangkas tersebut tanaman masih dalam kondisi yang optimal dalam produksi.

Tetapi, pada tahun pangkas III, persentase pucuk burung juga sudah mulai tinggi.

Hal ini bisa terjadi terkait dengan keterampilan pemetik, apabila pemetikan tidak dilakukan dengan bersih atau banyak meninggalkan pucuk burung di atas bidang petik maka akan meningkatkan persentase pucuk burung.

Dalam hal jumlah tumbuhnya pucuk, maka jumlah pucuk tertinggi di Unit Perkebunan Tanjungsari terjadi pada tanaman tahun pangkas I, sedangkan jumlah pertumbuhan pucuk terendah terjadi pada tanaman tahun pangkas IV. Hal ini terjadi semakin lama umur tahun pangkas tanaman, maka pertumbuhan pucuk akan semakin lambat. Pada akhirnya produksi dan produktivitas juga akan ikut menurun.

Pada Tabel 8, juga terlihat bahwa pertumbuhan pucuk pada tanaman tahun pangkas II lebih rendah dibandingkan dengan tanaman tahun pangkas III. Hal ini disebabkan oleh kondisi kebun yang tidak sehat sehingga sangat mempengaruhi jumlah pucuk yang dapat tumbuh. Kekurangan unsur tambahan (pupuk) yang diperlukan juga menjadi faktor yang menyebabkan kondisi tanaman tidak sehat.

Selain itu, serangan hama dan penyakit yang terjadi di Unit Perkebunan Tanjungsari juga dapat mengurangi jumlah pucuk yang dapat tumbuh.

(10)

Berdasarkan hasil uji korelasi antara persentase potensi tumbuh pucuk baik pucuk peko ataupun pucuk burung (Y) dengan tahun pangkas (X), diperoleh persamaan untuk pucuk peko, y = -5.88x + 62.46 dengan koefisien korelasi (r) 0.912 dan untuk pucuk burung, y = 6.08x + 37.20 dengan koefisien korelasi (r) 0.907. Untuk pucuk peko, persamaan tersebut menunjukkan adanya hubungan yang negatif dan untuk nilai r menunjukkan keeratan yang tinggi antara nilai X dan Y. Hubungan yang negatif memiliki arti bahwa, semakin bertambahnya tahun pangkas, maka persentase pucuk peko akan semakin menurun.

Untuk pucuk burung, persamaan tersebut menunjukkan adanya hubungan yang positif dan untuk nilai r menunjukkan keeratan yang tinggi juga antara nilai X dan Y. Hubungan yang positif memiliki arti bahwa, semakin bertambahnya tahun pangkas, maka persentase pucuk burung akan semakin meningkat.

Diameter Bidang Petik

Salah satu faktor yang menunjang untuk pertumbuhan pucuk pada tanaman teh adalah kondisi bidang petik tanaman. Bidang petik harus terpelihara agar mampu menghasilkan pucuk dalam jumlah yang tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan bahwa rata-rata diameter bidang petik di Unit Perkebunan Tanjungsari yaitu 124.20 cm. Berdasarkan umur tahun pangkasnya, diameter mengalami pertambahan ukuran semakin dengan bertambahnya umur pangkas dan mencapai ukuran terbesar pada tanaman tahun pangkas III, lalu mengalami penurunan pada tanaman tahun pangkas IV.

Ukuran diameter bidang petik terbesar pada tanaman tahun pangkas III, hal ini disebabkan oleh adanya jenis tanaman seedling, yang memiliki morfologi perdu yang paling besar, sehingga mempengaruhi hasil rata-rata dari tanaman tahun pangkas III. Diameter bidang petik selain dipengaruhi oleh umur pangkas, juga dipengaruhi oleh jenis klon dan kesehatan tanaman.

Penurunan pada tahun pangkas IV juga dapat terjadi karena kesehatan tanaman yang tidak sehat, seperti adanya serangan penyakit Blister blight dan jenis klon yang semakin mudah terserang penyakit ini yaitu klon TRI 2024. Klon tersebut merupakan jenis klon yang mudah terserang penyakit cacar daun dan memiliki ukuran daun yang lebih kecil jika dibandingkan dengan Gambung 7 sehingga berpengaruh pada diameter bidang petik.

(11)

Pengaruh penurunan diameter bidang petik pada tahun pangkas IV juga terjadi karena semakin lambatnya tanaman dalam menghasilkan pucuk, dan tanaman lebih cenderung tumbuh ke fase generatif yaitu pembentukan buah dan bunga sehingga cenderung mengalami penurunan diameter bidang petik. Hasil pengamatan rata-rata diameter bidang petik di Unit Perkebunan Tanjungsari dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Rata-rata Diameter Bidang Petik Berdasarkan Umur Pangkas di Unit Perkebunan Tanjungsari

Blok

Rata-rata Diameter Bidang Petik Tahun Pangkas ke-

I II III IV

...cm...

Kutilang 126.22 105.09 159.12 107.98

Murai 110.60 134.57 114.43 142.64

Gelatik 114.30 118.70 130.33 126.48

UP Tanjungsari 117.04 119.45 134.63 125.70

Sumber : Hasil Pengamatan

Gilir Petik

Gilir petik adalah jangka waktu antara satu pemetikan dengan pemetikan berikutnya pada areal (kebun) yang sama, dan dihitung dalam hari. Menurut Pusat Penelitian Gambung Teh dan Kina (2006), panjang pendeknya gilir petik tergantung pada kecepatan pertumbuhan pucuk, sedangkan kecepatan pertumbuhan pucuk dipengaruhi oleh iklim, umur pangkas, kesehatan tanaman, dan ketinggian tempat.

Daur petik yang tepat akan menghasilkan mutu pucuk yang bermutu tinggi (Suwardi, 1999). Standar gilir petik di Unit Perkebuan Tanjungsari adalah 9-11 hari, tetapi standar pada setiap blok berbeda-beda. Berdasarkan pengamatan langsung yang telah dilakukan selama Maret-Mei 2011, gilir petik di Unit Perkebunan Tanjungsari mengalami beberapa perubahan atau pergeseran yakni menjadi lebih panjang dari standar yang telah ditetapkan (Tabel 7). Adanya penyimpangan data hasil pengamatan disebabkan oleh pengamatan yang dilakukan bersamaan dengan Program Recovery yang sedang dilaksanakan di Unit Perkebunan Tanjungsari. Program Recovery yang ada sedang melaksanakan

(12)

perlakuan-perlakuan baru yang berbeda dengan standar yang ada, seperti perlakuan penggabaran dan skipping off.

Penggabaran dan skipping off merupakan tindakan meniadakan kegiatan pemetikan untuk beberapa waktu. Penggabaran dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pemetikan seperti biasa, lalu selanjutnya dibiarkan selama 2-3 siklus petik yang bertujuan untuk meninggikan tebal daun pemeliharaan. Skipping off dilakukan dengan melakukan pemetikan tanpa memperhitungkan jenis pucuk yang dipetik karena lebih memfokuskan untuk meratakan bidang petik. Tujuan dari skipping off adalah untuk meratakan bidang petik dan untuk menyehatkan kembali tanaman yang sedang dalam kondisi tidak baik. Perlakuan skipping off dilaksanakan selama dua bulan. Dengan adanya kegiatan penggabaran dan skipping off , maka gilir petik menjadi lebih lama untuk beberapa areal kebun.

Tetapi, gilir petik akan semakin pendek pada areal kebun dalam kondisi normal (tidak mendapat perlakuan dalam Program Recovery). Hal ini terjadi karena untuk menyesuaikan dengan areal kebun yang ada yang tidak mendapatkan perlakuan, sehingga pelaksanaan pemetikan dapat menjadi lebih cepat.

Pada blok yang letaknya paling tinggi memiliki siklus petik yang lebih panjang dari standar yang ditetapkan yaitu mencapai 8-17 hari. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan pucuk berlangsung lebih lama karena terkait dengan intensitas cahaya matahari dan suhu udara yang rendah. Semakin tinggi ketinggian kebun, maka akan memperpanjang gilir petiknya. Kesehatan tanaman juga mempengaruhi gilir petik, yang terkait dengan pertumbuhan pucuk. Tetapi, karena kondisi tanaman di Unit Perkebunan Tanjungsari sedang tidak sehat, maka gilir petiknya semakin panjang.

Selain itu, gilir petik yang semakin lama juga dipengaruhi oleh pelaksanaan kegiatan-kegiatan kebun lainnya yang saat ini banyak mengalami kemunduran dalam pelaksanaan waktu seperti pemupukan yang membutuhkan waktu yang lebih lama, sehingga mempengaruhi gilir petik. Penggunaan tenaga pemetik untuk kegiatan pemupukan terkadang juga dilakukan karena kurangnya tenaga kerja untuk melakukan pemupukan, sehingga hal tersebut juga sangat mempengaruhi kegiatan pemetikan. Dampak dari terlalu panjangnya gilir petik yaitu akan mengakibatkan pucuk lewat petik (kaboler). Beberapa kerugian akibat

(13)

kaboler yaitu mutu pucuk akan menurun, pucuk yang dihasilkan tidak seragam, hama dan penyakit akan lebih cepat berkembang.

Hanca Petik

Luas areal yang harus selesai dipetik dalam satu hari disebut dengan hanca petik. Hanca petik per dari tiap blok berbeda-beda karena ditentukan berdasarkan luas areal yang dipetik/hari, jumlah patok/ha dan jumlah tenaga pemetik. Terkait dengan gilir petik, maka gilir petik memiliki hubungan yang negatif dengan hanca petik, semakin gilir petik semakin pendek maka akan semakin besar hanca petik maka dan begitu juga sebaliknya.

Berdasarkan hasil pengamatan, hanca petik pada blok yang memiliki ketinggian tertinggi yaitu Blok Kutilang lebih besar dari blok yang lebih rendah ketinggiannya yaitu Blok Murai dan Gelatik (Tabel 9). Hal ini disebabkan karena pengaruh jumlah tenaga petik, semakin banyak tenaga petik maka hanca petik semakin kecil. Hal ini terlihat pada hasil pengamatan, yaitu pada Blok Gelatik dan

Murai dengan jumlah tenaga petiknya lebih banyak yaitu masing-masing 60 orang, hanca petiknya lebih kecil dibandingkan dengan Blok Kutilang yang

hanya berjumlah 50 orang.

Selain itu, luasan areal yang paling luas menyebabkan Blok Kutilang (57.79 ha) menyebabkan memiliki hanca petik terbesar dibandingkan dengan Blok Murai (53.12 ha) dan Blok Gelatik (54.19 ha). Semakin baik kondisi pucuk dengan diikuti luas areal yang semakin luas, maka hanca petik akan semakin besar juga dan begitu juga sebaliknya.

Realisasi penyelesaian hanca petik di lapang dengan rencana yang ditetapkan (2-2.5 patok atau 0.08-0.1 ha/HK) sering kali tidak selalu sama, tetapi hanca petik per pemetik di Unit Perkebunan Tanjungsari hampir mendekati standar yang telah ditentukan yaitu pada Blok Murai dan Blok Gelatik yaitu masing-masing 0.066 ha/HK (1.65 patok/HK) dan 0.073 ha/HK (1.83 patok/ha).

Hal ini disebabkan oleh terbatasnya waktu kegiatan pemetikan dan untuk mengatasi hal ini, biasanya hanca petik yang belum terselesaikan akan diselesaikan keesokan harinya.

(14)

Jumlah Tenaga Petik

Unit Perkebunan Tanjungsari memiliki tiga blok yang terdiri dari enam kemandoran petik dengan jumlah keseluruhan untuk tenaga pemetik yaitu 170 orang. Berdasarkan hasil perhitungan, rasio tenaga kerja pada tahun 2011 di Unit Perkebunan Tanjungsari adalah 1.13, sehingga untuk menyelesaikan kegiatan pemetikan pada areal produktif seluas 165.10 ha dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 186 orang. Hal tersebut menunjukan bahwa Unit Perkebunan Tanjungsari memiliki jumlah tenaga pemetik yang sesuai dengan kebutuhan berdasarkan rasio tenaga pemetik sehingga memiliki peluang dan memudahkan

dalam pencapaian target produksi tahun 2011 yang telah ditentukan yaitu 2 023 ton/tahun (Tabel 14).

Areal kebun Unit Perkebunan Tanjungsari yang dikelilingi oleh desa-desa juga memudahkan perusahaan dalam pencarian tenaga pemetik, sehingga jumlahnya menjadi berlebih. Selain itu, upah yang diberikan oleh perusahaan sudah cukup mampu memenuhi kebutuhan dan telah disesuiakan dengan waktu pekerjaan yang maksimal hanya empat jam dalam sehari, sehingga memudahkan dalam mencari tenaga pemetik.

Kapasitas Petik

Kapasitas petik adalah banyaknya pucuk yang mampu dipetik oleh tenaga pemetik dalam satu hari kerja. Standar kapasitas petik (basic yield) di Unit Perkebunan Tanjungsari yaitu 60 kg dengan menggunakan alat berupa gunting petik, dan 45 kg secara manual. Tetapi saat ini, pada Unit Perkebunan Tanjungsari secara keseluruhan, teknik pemetikan telah menggunakan gunting petik sejak tahun 1995. Kapasitas petik yang dihasilkan oleh seorang pemetik berbeda-beda, tergantung dari keadaan pucuk di lapang, keadaan cuaca, keterampilan pemetik, populasi tanaman di blok yang akan dipetik, topografi kebun, serta umur tahun pangkas.

Pada Tabel 10, terlihat bahwa rata-rata kapasitas petik yang mampu dicapai pada Unit Perkebunan Tanjungsari pada Februari hingga Mei 2011 hanya sebesar 33.53 kg, nilai tersebut masih dibawah standar yang telah ditetapkan. Hal tersebut terjadi terutama disebabkan oleh kondisi kebun yang sedang tidak sehat

(15)

sehingga mempengaruhi keadaan pucuk di lapang. Kondisi kebun yang tidak sehat disebabkan oleh adanya serangan penyakit cacar daun (Blister blight) dan hama Empoasca sp. yang cukup tinggi sehingga mempengaruhi dalam pertumbuhan pucuk.

Akibat serangan penyakit cacar daun, dapat menurunkan produksi pucuk hingga mencapai 50%. Sama halnya dengan hama Empoasca sp. yang akan menurunkan produksi sekitar 50% dalam 45 hari (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006). Jumlah tenaga pemetik yang cukup banyak juga mempengaruhi kapasitas tiap pemetik, karena semakin banyak jumlah tenaga pemetik, maka kapasitas pemetik akan semakin kecil. Selain itu, rendahnya kapasitas petik juga dapat disebabkan karena rata-rata realisasi hanca petik tidak mencapai standar yang ditetapkan (Tabel 9). Hal ini juga terkait dengan terbatasnya waktu kegiatan pemetikan.

Kapasitas petik di Unit Perkebunan Tanjungsari juga mengalami peningkatan dari mulai Maret hingga Mei 2011, dan kapasitas petik tertinggi terjadi pada mulai Mei. Hal tersebut juga dapat menunjukkan bahwa Program Recovery yang sedang dilaksanakan di Unit Perkebunan Tanjungsari sudah mulai terlihat hasilnya yang cukup baik untuk perusahaan dalam peningkatan produksi pucuk.

Terkait dengan keterampilan pemetik, masih banyak ditemukan pucuk yang belum siap untuk dipetik karena hal tersebut dapat mengurangi cadangan potensi pucuk pada siklus berikutnya, tertinggalnya pucuk burung di atas bidang petik yang menyebabkan pertumbuhan pucuk menjadi lebih lama. Selain itu, teknis pelaksanaan yang melebihi batas bidang petik juga dapat menyebabkan terganggunya kondisi tanaman yang akan menimbulkan ketidakrataan dalam pertumbuhan pucuk pada siklus petik selanjutnya dan hal ini dapat mempengaruhi kapasitas petik menjadi berkurang.

Tingkat produktivitas tenaga petik dapat diketahui dengan melakukan analisis terhadap 10 tenaga petik yang digolongkan berdasarkan usia, pangalaman kerja (lama kerja) dan pendidikan. Data diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan petik, mandor petik dan laporan produksi harian. Pada Tabel 11, dapat dilihat bahwa rata-rata kapasitas petik berdasarkan usia yaitu antara range usia

(16)

20-40 dengan usia 41-55 berbeda, bahkan rata-ratanya lebih besar pada usia 41-55. Berdasarkan hasil uji t-student, perbedaan usia tidak berbeda nyata yang berarti tidak berpengaruh nyata terhadap kapasitas petik, terlihat dari usia yang lebih produktif tidak selalu memiliki rata-rata kapasitas yang lebih besar. Hal tersebut lebih disebabkan oleh kondisi kebun yang tidak sehat sehingga mempengaruhi pertumbuhan pucuk dan berpengaruh juga terhadap kapasitas petik.

Untuk rata-rata kapasitas pemetik berdasarkan pengamalan kerja (lama kerja), didapatkan bahwa rata-rata kapasitas petik dengan pengalaman kerja

≤20 tahun lebih kecil dari rata-rata kapasitas petik yang berpengalaman kerja

>20 tahun. Tetapi berdasarkan hasil uji t-student (Tabel 12), pengalaman kerja tidak berbeda nyata terhadap rata-rata kapasitas petik dan dapat diartikan bahwa pengalaman kerja tidak terlalu berpengaruh nyata terhadap kapasitas petik, karena lebih dipengaruhi oleh kondisi pucuk di lapang.

Untuk rata-rata kapasitas petik berdasarkan pendidikan, meskipun kapasitas petik dengan latar belakang pendidikan tidak tamat sekolah dasar (SD) lebih besar dari petik dengan latar pendidikan lulus sekolah dasar, tetapi berdasarkan hasil uji t-student, latar belakang pendidikan yang berbeda tidak berpengaruh nyata pada rata-rata kapasitas petik, dapat dilihat pada Tabel 13, yang menunjukkan bahwa rata-rata kedua kelompok tersebut tidak berbeda nyata.

Hal ini dapat terjadi, karena dalam pemetikan, tenaga kerja yang terampil lebih dibutuhkan dibandingkan dengan latar belakang pendidikan.

Analisis Petik dan Analisis Pucuk

Kegiatan penting pasca pemetikan adalah analisis hasil petikan, yang meliputi analisis petik dan analisis pucuk. Menurut Suwardi (1999), analisis petik merupakan tahap awal dari pengujian mutu. Analisis petik dilakukan untuk menilai kondisi kebun, pelaksanaan pemetikan, dan keterampilan pemetik, sedangkan analisis pucuk dilakukan untuk memperkirakan mutu teh jadi yang memenuhi syarat olah dan menentukan hasil premi pemetik.

Berdasarkan hasil analisis petik yang dilakukan oleh penulis, didapatkan rata-rata persentase untuk pucuk halus sebesar 7.03%, pucuk medium 45.75%, pucuk kasar 30.28% dan pucuk rusak 16.94% (Tabel 15). Pada Unit Perkebunan

(17)

Tajungsari, persentase pucuk halus relatif tinggi, dan dapat dikatakan bahwa tenaga pemetik yang ada dinilai kurang terampil, karena toleransi terambilnya pucuk halus dalam petikan maksimal 5%. Tingginya pucuk halus yang terambil disebabkan oleh pelaksanaan pemetikan oleh tenaga pemetik yang kurang selektif.

Rata-rata terbesar dari hasil analisis petikan adalah pucuk medium (p+3, b+2, dan b+3) yang mencapai 45.75% melebihi persentase pucuk medium.

Pelaksanaan pemetikan pada Unit Perkebunan Tanjungsari dapat dikatakan telah memenuhi kriteria pemetikan yaitu persentase pucuk medium paling besar dibandingkan dengan persentase pucuk lainnya. Tetapi, hasil pengamatan juga menunjukan bahwa persentase pucuk kasar cukup tinggi yaitu mencapai 30.28%.

Tingginya persentase pucuk kasar dalam analisis petik disebabkan oleh gilir petik yang terlalu panjang sehingga tanaman lewat masa petik (kaboler).

Penyebab utama persentase pucuk rusak yang cukup tinggi (16.94%) adalah penggunaan gunting petik dalam pelaksanaan pemetikan, karena kemungkinan besar hasil petikan yang masih dalam gunting petik akan mengalami petikan untuk yang kedua kalinya. Kerugian lain dari pemakaian gunting petik antara lain menurunnya tebal daun pemeliharaan (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006).

Analisis pucuk yang telah dilakukan (Tabel 16), menunjukan bahwa rata- rata pucuk yang memenuhi syarat olah (MS) adalah 45.49% dan yang tidak memenuhi syarat olah (TMS) adalah 54.01%. Nilai tersebut belum memenuhi standar perusahaan yaitu mininal analisis pucuk 55% MS. Hal tersebut terjadi karena banyaknya pucuk yang rusak akibat penggunaan gunting, gilir petik yang terlalu panjang, serta adanya serangan penyakit.

Gilir petik yang terlalu panjang akan mengurangi mutu pucuk yang memenuhi syarat olah karena pucuk di atas bidang petik menjadi kaboler (lewat petik). Adanya serangan penyakit yaitu penyakit cacar daun teh juga akan menyebabkan meningkatnya pucuk yang tidak memenuhi syarat olah. Perlakuan pucuk yang terlalu dijejal saat dimasukkan ke dalam waring dan kelebihan kapasitas angkut saat pengangkutan pucuk dari ke kebun ke pabrik juga akan meningkatkan persentase pucuk rusak. Selain itu, banyaknya pucuk rusak juga dapat disebabkan oleh berlebihnya penggunaan kapasitas waring, karena kapasitas

(18)

maksimal waring penyimpan pucuk adalah 20 kg dan jika lebih dari itu pucuk menjadi rusak (Pusat Penelitian teh dan Kina, 2006).

Sarana Transportasi Pucuk

Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas mutu pucuk adalah proses pengangkutan pucuk dari kebun menuju pabrik. Pengangkutan pucuk di Unit Perkebunan Tanjungsari dilakukan dengan menggunakan truk yang memiliki berat kosong 2 950 kg dengan kapasitas angkut barang 4 620 kg dan kapasitas angkut orang maksimal tiga orang.

Kapasitas angkut pucuk yang optimal yaitu 2 500 kg dan maksimal 3 000 kg. Unit Perkebunan Tanjungsari memiliki truk yang berjumlah tiga unit, masing- masing satu unit untuk satu blok. Jumlah truk tersebut sangat cukup dalam proses pengangkutan pucuk dari kebun ke pabrik, meskipun terkadang terjadi penjejalan waring pucuk saat ditumpuk di dalam truk. Rata-rata proses pengangkutan pucuk hanya dilaksanakan satu kali saja. Realisasi pucuk per hari selama Januari hingga Mei 2011 dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Realisasi Pucuk per Hari di Unit Perkebunan Tanjungsari pada Bulan Januari-Mei 2011

Bulan Jumlah Produksi UP Tanjungsari Produksi Pucuk per Hari Rencana Realisasi

...kg...

Januari 173 000 123 023 1 322.8

Februari 171 000 111 229 1 324.2

Maret 179 000 119 796 1 288.1

April 174 000 153 858 1 709.5

Mei 177 000 182 489 1 962.2

Rata-rata 174 800 138 079 1 521.4

Sumber : Laporan Produksi Unit Perkebunan Tanjungsari 2011

Menurut Pusat Penelitian Teh dan Kina (2006), kapasitas angkut truk maksimal untuk mencegah terjadinya kerusakan adalah 2 000 kg atau setengah daya angkut kendaraan. Hasil pengamatan dan data produksi menunjukkan bahwa rata-rata jumlah pucuk yang dapat diangkut per harinya selama bulan Januari hingga Mei 2011 hanya sebesar 1 521.4 kg. Hasil tersebut menunjukan jumlah pucuk yang diangkut tidak melebihi batas optimal, tetapi sebaran pucuk sering

(19)

kali tidak merata di beberapa blok yang ada, sehingga terkadang mengakibatkan adanya penjejalan waring pucuk saat ditumpuk di dalam truk.

Kelebihan kapasitas angkut juga dapat disebabkan oleh pertimbangan supir akan waktu dan penggunaan bahan bakar jika harus mengangkut pucuk sampai dua kali, karena jarak antara kebun dengan pabrik Unit Perkebunan Tambi yang cukup jauh sehingga jika dilakukan sampai dua kali akan mengakibatkan semakin lamanya kegiatan penimbangan di pabrik. Selain itu, ketidakhadiran supir pengangkut pucuk juga dapat menyebabkan proses pengangkutan pucuk dilakukan sekaligus (dua blok), karena keterbatasan supir pengangkut pucuk. Hal tersebut akhirnya mengakibatkan terjadinya penjejalan waring pucuk saat ditumpuk di dalam truk.

Penanganan pucuk dengan dijejal sebenarnya akan menimbulkan beberapa resiko, seperti terjatuhnya waring dari truk karena tumpukan yang terlalu tinggi dan melebihi kapasitas maksimal angkut yang telah ditentukan. Akibat utama yang muncul dengan adanya penjejalan pucuk adalah menurunkan kualitas pucuk yang dihasilkan. Kondisi truk pada saat pengangkutan pucuk diusahakan dalam keadaan bersih, bebas dari kotoran, dan dialasi dengan terpal pada bagian atas dan dasar truk.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, pucuk di dalam truk pada bagian dasarnya sering tidak dialasi dengan terpal dan hanya bagian atas saja yang dilapisi terpal. Hal ini akan mengurangi kebersihan dari pucuk, karena fungsi dari penggunaan terpal baik pada di bagian atas maupun di bagian alas adalah untuk menjaga kebersihan pucuk agar tetap terjamin. Selain itu, terpal pada bagian atas berfungsi agar pucuk terhindar dari sinar matahari langsung dan siraman air hujan.

Pengangkutan pucuk dilakukan oleh tenaga pengangkut dan harus dilakukan secara hati-hati untuk mengurangi kerusakan pucuk dalam waring.

Produktivitas Berdasarkan Tahun Pangkas

Berdasarkan laporan produksi pada tahun 2010 (Tabel 4), terlihat bahwa produktivitas pucuk kering di Unit Perkebunan Tanjungsari mengalami peningkatan dari tahun pangkas I hingga tahun pangkas III. Pencapaian produktivias pucuk kering tertinggi terjadi pada tanaman tahun pangkas III yaitu sebesar 2 563 kg/ha/tahun. Tetapi mengalami penurunan pada tahun pangkas IV,

(20)

hal ini disebabkan kondisi tanaman pada tahun pangkas IV telah mengalami penurunan (lambat) dalam menghasilkan jumlah pucuk teh terutama pucuk peko dan lebih didominasi oleh pertumbuhan pucuk burung (Gambar 17), sehingga harus dilakukan pemangkasan sebagai langkah untuk peremajaan. Periode aktif (peko) berkurang, karena secara fisiologis cabang dan ranting yang semakin tua akan menyebabkan fase pertumbuhannya lebih mengarah pada fase generatif, karena sebagian energi yang ada akan digunakan untuk pembentukan bunga dan buah.

Selain itu, penurunan ditahun pangkas IV juga disebabkan oleh bertambahnya umur pangkas, karena semakin tua umur pangkas, maka produktivitas tanaman akan semakin menurun. Meskipun pencapaian produktivitas pucuk kering di tahun pangkas IV masih cukup tinggi, tetapi pada tahun berikutnya tanaman tersebut harus dipangkas karena menyesuaikan dengan siklus pangkas yang ditentukan yaitu setiap empat tahun sekali. Produktivitas Tanaman Teh Berdasarkan Tahun Pangkas di Unit Perkebunan Tanjungsari pada Tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Produktivitas Tanaman Teh Berdasarkan Tahun Pangkas di Unit Perkebunan Tanjungsari pada Tahun 2010

Kondisi kebun (tanaman) yang sedang tidak sehat sangat mempengaruhi nilai dari produksi dan produktivitas pucuk baik kering maupun basah, yaitu seperti adanya serangan penyakit cacar daun mencapai 21.81%, hama Empoasca sp. mencapai 11%, adanya penurunan tinggi bidang petik, diamater bidang petik dan tebal daun pemeliharaan pada tanaman tahun pangkas IV. Oleh

(21)

sebab itu, saat ini di Unit Perkebunan Tanjungsari sedang dilaksanakan Program Recovery (Program Pemulihan) yang bertujuan untuk menyehatkan kondisi kebun.

Berdasarkan hasil uji korelasi antara produktivitas pucuk kering (Y) dengan tahun pangkas (X), diperoleh bahwa persamaan y = 75.2x + 2173 dengan koefisien korelasi (r) 0.99. Persamaan tersebut menunjukkan adanya hubungan yang positif dan untuk nilai r menunjukkan keeratan yang sangat tinggi antara nilai X dan Y karena nilainya mendekati 1. Hubungan yang positif memiliki arti bahwa, semakin tua tahun pangkas, maka produktivitas pucuk kering akan semakin tinggi. Tetapi, tidak demikian di Unit Perkebunan Tanjungsari yaitu pada tahun pangkas ke-IV yang mengalami penurunan.

Gambar

Gambar 15.  Rata-rata Tinggi  Bidang Petik    Berdasarkan Tahun Pangkas  di Unit  Perkebunan Tanjungsari pada Tahun 2011
Tabel  21. Perbandingan Rata-rata Hasil Tebal Daun Pemeliharaan dengan    Beberapa Standar Kebun
Gambar  17.  Hubungan  antara  Tahun  Pangkas  dengan  Persentase  Potensi  Tumbuh Pucuk
Gambar  18.   Produktivitas Tanaman Teh  Berdasarkan Tahun Pangkas di   Unit  Perkebunan Tanjungsari pada Tahun 2010

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian kecepatan kritis dipengaruhi oleh sudut belok roda sendiri, dimana semakin besar sudut kendaraan tersebut berbelok maka semakin kecil kecepatan yang

Daya putus daging terendah didapat pada level penambahan ampas VCO 2,0% dalam pakan yaitu 3,38 kg/cm 2 , hal ini disebabkan karena daging pada perlakuan ampas VCO 2,0% memiliki

dapat disimpulkan bahwa adanya hamabatan yang besar bagi pendatang baru dan memiliki hubungan yang baik dengan pemasok dapat menjadi peluang bagi UD.Budi Veneer

Sebelumnya Saya ingin mengatakan kepada Anda semua bahwa ini adalah kali pertama Saya “pecah telor” alias baru kali ini dapat dollar langsung dari AssociatedContent (AC) yang

Bedasarkan hasil analisis data asosiasi antara variabel persepsi kualitas dan loyalitas merek pada penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagaian besar dari responden

Secara umum dapat dijelaskan bahwa dana per- imbangan sangat berperan penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi, sehingga menjadi bagian dari perhatian khusus bagi

Dari beberapa pengertian penilaian autentik dapat disimpulkan bahwa penilaian autentik adalah penilaian yang dilakukan guru untuk menilai secara nyata yang telah

3) sistem pembuangan terpusat skala kecil pada kawasan permukiman padat perkotaan yang tidak terlayani sistem jaringan air limbah terpusat dan/atau komunal kota dalam