• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Pembelaan Diri sebagai Alasan Penghapus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Pembelaan Diri sebagai Alasan Penghapus"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

17 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pembelaan Diri sebagai Alasan Penghapus Pidana

1. Pengertian Tentang Pembelaan diri

Menurut Laurences Aulina dalam artikelnya, Pembelaan diri adalah merupakan salah satu hak dan kewajiban yang diberikan undang-undang kepada setiap orang untuk memelihara keselamatan hidupnya, baik keselamatan jiwa, harta benda maupun kehormatannya.7 Pada dasarnya penulis mengartikan bahwa pembelaan diri merupakan suatu hak yang dimiliki oleh naluri setiap orang untuk mempertahankan dirinya maupun orang lain, harta benda dan kehormatannya dari segala ancaman atau serangan perbuatan jahat pihak lain secara melawan hukum.

Pembelaan diri terjadi karena adanya daya paksa dari pihak lain yang mengancam nyawa, harta benda dan kehormatan terhadap pelaku pembelaan diri.

Menurut Andi Hamzah, bahwa daya paksa absolut (vis absoluta) sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, karena di sini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi ia tidak punya pilihan lain sama sekali. Misalnya seseorang yang diangkat oleh orang pegulat yang kuat lalu dilemparkan ke orang lain sehingga orang lain itu tertindas dan cedera. Orang yang dilemparkan itu sendiri sebenarnya menjadi korban juga sehingga sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan menindas orang lain.8

Setelah mengutip dari bukunya Andi Hamzah maka penulis mengartikan bahwa daya paksa absolut tersebut merupakan daya paksa yang bersifat psikis maupun bersifat fisik karena pembuat lah yang dipaksa secara psikis maupun fisik

7 Laurences Aulina (2020), ‘Pembunuhan Karena Pembelaan Diri’. Articles Kenny Wiston Law Office. Hal. 1. https://www.kennywiston.com/pembunuhan-karena-pembelaan-diri/. Diakses pada tanggal 21 November 2020. Pukul 11.57 WIB

8 Andi Hamzah (2010), Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Rineka Cipta. Jakarta Hal. 160.

(2)

18

oleh orang lain untuk melakukan suatu perbuatan atau melakukan delik yang sebenarnya orang atau pembuat tersebut tidak bermaksut untuk melakukan perbuatan melawan hukum.

Seorang tokoh bernama Schaffmeister mengemukakan 3 Asas yang berlaku dalam pembelaan terpaksa, yaitu :

1) Asas Subsidiaritas, maksud daripada asas ini adalah jika ada hal yang dapat dilakukan selain melawan hukum, maka hal itu harus dilakukan terlebih dahulu.

Disini, melakukan suatu tindakan membela diri adalah sebagai langkah yang terakhir untuk dilakukan. Contoh : kalau dalam kondisi terdesak tetapi ada pilihan untuk bisa melarikan diri, maka hal itu harus dilakukan.

2) Asas Proporsionalitas, asas ini mengandung makna bahwa tindakan yang dilakukan tidak boleh berlebihan, maksudnya adanya keseimbangan antara maksud yang ingin disampaikan dengan tindakan yang dilakukan. Contoh sederhana, ketika ada seseorang yang mencuri sandal, kemudian di hukum dengan pidana mati. Disini tidak ada keseimbangan yang terjadi. Hal tersebut malah menjadi berlebihan.

3) Asas culpa in causa, maksudnya adalah seseorang harus tetap mempertanggungjawabkan perbuatanya, karena apa yang dilakukannya hasil daripada perbuatannya sendiri. Maka tidak dapat termasuk kedalam pembelaan terpaksa. Contoh sederhananya, A dan teman-temannya melakuakan suatu perbuatan melawan hukum contoh merampok, tetapi dalam pengaruh Alkohol, hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai hilangnya kemampuan untuk bertanggungjawab, sebab untuk mengkonsumsi alkohol saja sudah suatu perbuatan yang melanggar hukum, maka A dan teman-temannya harus tetap mempertanggungjawabkan perbuatannya.9

Setelah memahami asas-asas diatas, penulis menjelaskan bahwa sebenarnya tindakan atau perbuatan melawan hukum demi melakukan pembelaan diri, terdapat tiga kesalahan yaitu sangaja, kelalaian (culpa), dapat dipertanggung jawabkan. Dan ketiga kesalahan tersebut merupakan unsur subyektif syarat pemidanaan. Disini penulis akan menjelaskan unsur sengaja terlebih dahulu, suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan dengan sengaja jika akibat yang timbul karena perbuatan tersebut dibayangkan, diinginkan, diharapkan dan dikehendaki oleh orang atau pelaku yang melakukan perbuatan tersebut. Jadi seseorang tidak dapat menentukan suatu akibat

9 Ibid. Hal. 212-213.

(3)

19

yang akan terjadi kecuali seseorang hanya bisa membanyangkan, menginginkan, dan mengharapkan suatu akibat yang timbul setelah seseorang tersebut melakukan suatu perbuatan atau tindakan. Kemudian mengenai unsur kelalaian (culpa), penulis menjelaskan bahwa kelalaian (culpa) terdapat diantara sengaja dan kebetulan, akan tetapi unsur culpa merupakan suatu delik semu yang dipandang lebih ringan dibanding dengan unsur sengaja. Jadi barang siapa yang melakukan suatu kejahatan dengan kesengajaan berarti seseorang tersebut mempergunakan kemampuannya dengan salah, sedangkan barang siapa yang melakukan karena kesalahannya (culpa) berarti seseorang tersebut tidak berniat mempergunakan kemampuannya. Jadi unsur kesalahan (culpa) sebenarnya didasari oleh pembuat sama sekali tidak menghendaki akibat atau keadaan yang berhubungan dengan itu.

Selain itu, juga ada unsur kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hal ini terkait antara kesalahan dan melawan hukum yang artinya bahwa tidak mungkin adanya suatu kesalahan tanpa adanya tindakan melawan hukum.

Penulis mengatakan bahwa adanya kesalahan apabila pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Menurut ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUHPidana, menyebutkan unsur- unsur “pembelaan darurat” yaitu :

1. Adanya suatu serangan;

2. Serangan itu datangnya tiba-tiba atau suatu ancaman yang kelak akan dilakukan;

3. Serangan itu melawan hukum;

4. Serangan itu diadakan terhadap diri sendiri, orang lain, kehormatan diri sendiri, kehormatan diri orang lain, harta benda sendiri, dan harta benda orang lain;

5. Pembelaan itu bersifat darurat (noodzakelijk);

6. Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal.10

10 Wenlly Dumgair (2016). ‘Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Dan Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Axces) Sebagai Alasan Penghapus Pidana’, Jurnal, Vol. V No.

(4)

20 2. Alasan Penghapus Pidana

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 ayat (1) telah menjelaskan “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lage Poenali”

yang artinya “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana jika tidak ada aturan hukum yang mengatur sebelumnya”. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak menjelaskan tentang pengertian dan alasan penghapus pidana secara spesifik serta tidak membedakan secara tegas antara alasan pembenar dan alasan pemaaf dalam pengahapus pidana. Namun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya menyatakan dalam beberapa Pasal, yaitu sebagai berikut :

a. Pasal 44 KUHP tentang tidak mampu bertanggung jawab.

b. Pasal 48 KUHP tentang daya paksa atau overmacht.

c. Pasal 49 ayat (1) KUHP tentang pembalasan terpaksa atau noodweer.

d. Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau noodweer exces.

e. Pasal 50 KUHP tentang melaksanakan ketentuan undang-undang.

f. Pasal 51 ayat (1) KUHP tentang menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang.

g. Pasal 51 ayat (2) KUHP tentang menjalankan perintah jabatan yang tidak sah.

Penulis mengatakan bahwa meskipun Tindakan atau suatu perbuatan melawan hukum ini mempunyai sanksi hukum yang tegas namun tidak semua perbuatan melawan hukum dapat dikenakan hukuman pidana, dalam hal ini disebabkan karena adanya alasan-alasan penghapus pidana. Hal ini lah, yang

5. Hal.64. https://media.neliti.com/media/publications/146042-ID-pembelaan-terpaksa- noodweer-dan-pembelaa.pdf. Diakses pada tanggal 25 November 2020. Pukul 02:48 WIB

(5)

21

membuat pelaku tidak dapat diajtuhi hukuman meskipun telah terbukti melakukan suatu perbuatan melawan hukum. Alasan tersebut dibagi menjadi 3 bagian:

a) Alasan Pembenar : intinya alasan ini menghilangkan sifat melawan hukumnya pelaku, dimana tindakan tersebut dipandang sebagai suatu tindakan yang benar dan patut untuk dilakukan. Seperti yang tertera pada Pasal 50 KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Contoh kecilnya seperti ini ketika ada seorang anggota kepolisian memanggil seseorang untuk dimintai keterangan, orang tersebut akhirnya ditahan, itu dinamakan melanggar hak kebebasan seseorang, tetapi hal tersebut dibenarkan dalam undang-undang.

b) Alasan Pemaaf : intinya alasan ini tidak adanya unsur kesalahan didalamnya, alasan ini menghapuskan kesalahan pelaku, pelaku tidak mendapat hukuman. Seperti yang tertera pada Pasal 44 KUHP yang berbunyi “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.” Contohnya seperti ini, ketika saudara sedang jalan seorang diri, kemudian di lempar batu oleh B, yang diketahui bahwa B adalah seseorang dengan gangguan kejiwaan. Perbuatan B yang melakukan pelemparan batu tersebut adalah suatu tindakan melawan hukum, tetapi karena dia cacat jiwa, maka unsur kesalahan didalamnya hilang, sehingga tidak dipidana. Alasan pemaaf ini juga terdapat dalam KUHP mulai dari Pasal 48 sampai dengan Pasal 51.

c) Alasan Penghapus Penuntutan : inti dari persoalan ini bukan dari kedua alasan diatas, tetapi lebih kepada kemanfaatan untuk masyarakat, sebab yang menjadi pertimbangan disini adalah kepentingan umum, maka diharapkan untuk tidak diadakannya penuntutan. Seperti yang tertera pada Pasal 53 KUHP yang berbunyi:

“(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.

(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.”

Contohnya seperti ini : jika ada seorang yang mencoba untuk melakukan suatu tindakan kejahatan, tetapi pelaku sendiri dengan kesadaran dirinya mengurungkan niat tersebut, karena pada saat akan melakukan perbuatan tersebut ternyata banyak polisi di tempat kejadian, atau ada hal lain yang menyebabkan pelaku membatalkan niatnya.”11

11 Dewa Agung Ari Aprillya Devita Cahyani Anak Agung Sagung Laksmi Dewi dan I Made Minggu Widyantara (2019). ‘Analisis Pembuktian Alasan Pembelaan Terpaksa Yang

(6)

22

Penulis memberikan penjelasan mengenai alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan menjadi :

1) Alasan pembenar, yaitu alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum yang terdapat pada perbuatan tersebut sehingga perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa /pelaku menjadi perbuatan yang patut dan benar.

2) Alasan pemaaf, yaitu alasan yang dapat menghapuskan kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa. Jadi, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, dan tetap dikatakan perbuatan pidana, namun terdakwa/ pelaku tidak dapat dipidana karena tidak ada kesalahan.

3) Alasan penghapus penuntutan, dalam hal ini permasalahannya bukan karena terdapat alasan pembenar maupun alasan pemaaf, penulis menegaskan bahwa jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa/pelaku maupun sifatnya orang/ subjek hukum yang melakukan perbuatan tersebut, namun hakim menganggap bahwa atas dasar ada kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan.

B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana 1. Pengertian tentang Tindak Pidana

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya yang berjudul “Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia”, menjelaskan suatu pengertian mengenai tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu Hukum Perdata, Hukum Ketatanegaraan, dan Hukum Tata Usaha Pemerintah, yang oleh pembentuk Undang-Undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana, maka sifat-sifat yang ada dalam suatu tindak pidana tanpa sifat

Melampaui Batas Dalam Tindak Pidana Yang Menyebabkan Kematian’. Jurnal Analogi Hukum , Vol.1 No.2. CC-BY-SA 4.0 License, Universitas Warmadewa. Hal. 150.

https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/analogihukum. Diakses pada tanggal 24 November 2020. Pukul 10.45 WIB.

(7)

23

melanggar hukum.12 Dalam bukunya S.R Sianturi yang berjudul “Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya “, menjelaskan Perumusan

“Strafbaar feit” menurut simons yaitu “Een strafbaar feit” adalah suatu hendeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang- undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.13

Menurut penulis bahwa tindak pidana merupakan perbuatan atau kelakuan manusia yang sudah dirumuskan dalam undang-undang, dan perbuataan tersebut melawan hukum serta dilakukan dengan kesalahan yang disengaja sehingga patut dipidana. Lebih singkatnya, jadi tindak pidana merupakan suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan manusia pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana karena telah melanggar ketentuan peraturan perundan-undangan yang mengaturnya.

Menurut H. J Van Schravendijk dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pidana di Indonesia”, menjelaskan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang boleh dihukum, yaitu kelakuan yang begitu kelakuan yang begitu bertentangan dengan keinsafan hukum asal dilakukan dengan seeorang yang karena itu dapat dipersalahkan.14 Setelah mengutip dan memahami pendapat H. J Van Schravendijk dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pidana di Indonesia”, penulis berpendapat bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang melanggar hukum yang berlaku dengan niat sengaja bukan karena paksaan sehingga seseorang harus mendapat hukuman agar bertanggungjawab atas perbuatannya tersebut.

Dalam bukunya Drs. P.A.F . Lamintang, S.H., dan Franciscus Theojunior Lamintang S.I.Kom, S.H., M.H. yang berjudul “Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia“, menjelaskan bahwa Profesor Simons telah merumuskan strafbaar feit itu sebagai “suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilkukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.15

12 Wijono Prodjodikoro (2003). Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Refika Aditama 2003. Bandung. Hal. 1.

13 S.R Sianturi (1966). Asasasas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya. Percetakan BPK Gunung Mulia, Cet. 4. Jakarta. Hal. 203.

14 Van H, J Scharavendijk (1996). Hukum Pidana di Indonesia. J.B. Wolters. Jakarta. Hal. 87.

15 Drs. P.A.F . Lamintang, S.H., dan Franciscus Theojunior Lamintang S.I.Kom, S.H., M.H.

(2018). Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 183.

(8)

24

Dalam bukunya Tongat, SH., M.Hum yang berjudul “Dasar-Dasar Hukum Pidana Iindonesia Dalam Perspektif Pembaharuan”, menjelaskan bahwa menurut Pompe, strafbaar feit tidak lain adalah feit (tindakan, pen), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang. Menurut Pompe, dalam hukum positif, sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana.16

Jadi, tindak pidana harus dipertanggungjawabkan dihadapan hukum dengan seadil-adilnya demi kepentingan umum dan menciptakan ketertiban hukum sehingga berkurangnya tingkat kejahatan atau tingkat pekanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut Drs. P.A.F . Lamintang, S.H., dan Franciscus Theojunior Lamintang S.I.Kom, S.H., M.H., bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subyektif dan obyektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur ”subyektif” adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur ”obyektif” itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan di mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah : a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam- macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP17;

Setelah memahami pendapat Lamintang diatas, maka penulis menegaskan bahwa pada dasarnya tidak semua perbuatan melawan hukum dapat dikatakan tindak pidana dan harus mendapatkan hukuman karena perbuatan itu dilihat dari

16 Tongat, S.H., M.Hum. (2012). Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan. UMM Press. Malang. Hal. 96.

17 Drs. P.A.F . Lamintang, S.H., dan Franciscus Theojunior Lamintang S.I.Kom, S.H., M.H.

(2018).Op. cit., Hal. 192

(9)

25

niat atau tujuan dari si pelaku, misalnya apabila si pelaku atau seseorang yang melakukan perbuatan tersebut dari awal sudah mempunyai niat atau tujuan untuk membunuh orang lain dengan kesengajaan bukan karena suatu ancaman atau serangan dari orang lain hal ini berarti perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku atau seseorang tersebut dapat dikatakan suatu tindak pidana. Akan tetapi jika si pelaku atau seseorang yang melakukan perbuatan tersebut dari awal tidak mempunyai niat atau tujuan untuk membunuh melainkan untuk membela diri karena adanya suatu ancaman atau serangan yang bisa berakibat fatal bagi keselamatan si pelaku, dalam hal ini si pelaku diperbolehkan untuk membela diri atau mempertahankan keselamatannya dengan cara apapun bahkan menyerang balik kepada orang lain yang menyerangnya terlebih dahulu dan perbuatan si pelaku terbebas dari hukuman karena bukan termasuk tindak pidana.

Menurut S. R. Sianturi, menjelaskan bahwa unsur-unsur tindak pidana, yaitu:

1. Adanya subjek;

2. Adanya unsur kesalahan;

3. Perbuatan bersifat melawan hukum;

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang- undang/perundangan dan terhadap yang melanggarnya diancam pidana;

5. Dalam suatu waktu, tempat dan keadaan tertentu.18

C. Tinjauan Umum Tentang Batasan dan Syarat-Syarat Melakukan Pembelaan Diri Menurut Pasal 49 ayat (1) dan (2) KUHP

1. Batasan Melakukan Pembelaan Diri

Batasan pembelaan diri menurut Schaffmeister, Keijzer, dan Sutorius (1995) adalah pembelaan itu merupakan suatu keharusan dan, meskipun tidak secara eksplisit dicantumkan dalam rumusan delik pasal itu, cara pembelaan haruslah bersifat patut. unsur serangan (aanranding). Suatu tindakan dapat diklasifikasi sebagai serangan jika memenuhi tiga syarat,

18 S.R Sianturi (1966). Loc.cit. Hal. 208.

(10)

26

yaitu melanggar hukum, mendatangkan suatu bahaya yang mengancam secara langsung, dan bersifat berbahaya bagi tubuh, kehormatan, atau benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain. Jika merujuk pada rumusan pasal, juga diharuskan serangan itu bersifat seketika.

Penulis menegaskan bahwa pembelaan diri atau pembelaan terpaksa mempunyai batasan, suatu tindakan atau perbuatan pembelaan diri atau pembelaan terpaksa dapat terbebas dari hukuman pidana jika unsur pembelaan itu bersifat perlu dan perbuatan untuk melakukan pembelaan haruslah dapat dibenarkan. Pembelaan dalam konteks noodweer adalah suatu alasan pembenaran. Artinya, pembelaan itu memang berhak dilakukan dan bukan karena membenarkan sifat dari tindakan itu sendiri.

Berdasarkan pendapat Remmelink, mantan jaksa agung Belanda, pembelaan dapat saja dilakukan seketika setelah serangan terjadi. Dalam hal ini tidak diperbolehkan bertindak dengan rencana lebih dulu, yaitu bertindak setelah memikirkan dan merencanakannya dengan tenang.19

2. Syarat-Syarat Melakukan Pembelaan Diri

Pasal 49 KUHP ayat (1) dan (2) yang berbunyi : (1)"Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum". (2)“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan itu, tidak dipidana”.20

Perbuatan pembelaan terpaksa atau pembelaan diri yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) dibenarkan apabila perbuatan tersebut dilakukan karena terpaksa

19 Petrus Richard Sianturi (2020). ‘Pembelaan Terpaksa Dalam Pembegalan’. Articles Tempo.co. Hal. 1. https://kolom.tempo.co/read/1271981/portal-pengaduan-asn-berlebihan.

Diakses pada tanggal 25 November 2020. Pukul 11.00 WIB

20 Pasal 49 Ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

(11)

27

untuk menyelamatkan nyawa, kehormatan kesusilaan dan harta benda diri sendiri maupun oranglain , sehingga si pelaku atau seseorang yang melakukan pembelaan diri dibenarkan dan bahkan dilindungi oleh hukum yang berlaku.

Maka dari itu si pelaku yang melakukan pembelaan diri seharusnya tidak dapat dijatuhi pidana karena perbuatan pembelaan diri dilakukan secara terpaksa untuk menghindari dari serangan atau ancaman yang datang secara tiba-tiba dari oranglain. Adapun Perbuatan pembelaan terpaksa atau pembelaan diri yang diatur dalam Pasal 49 ayat (2), yaitu perbuatan pembelaan diri yang melampui batas harus dilakukan seperlunya saja, dalam hal ini pembelaan dilakukan seperlunya itu harus disebabkan karena pengaruh dari suatu kegoncangan jiwa yang sangat hebat akibat faktor kemarahan dalam dirinya sehingga mempengaruhi jiwa si pelaku dan bukan semata-mata disebabkan karena ketidaktahuan apa yang harus akan si pelaku lakukan dan adanya rasa takut.

Menurut Satochid Kartanegara, menegaskan bahwa dalam Pasal 49 terdapat syarat-syarat mengenai noodweer. Syarat-syarat itu dapat dibagi dalam 6 jenis, juga dapat dibagi menjadi 5 jenis akan tetapi syarat pokok dari noodweer adalah 2 buah yaitu :

1. Harus ada serangan (aamranding);

2. Terhadap serangan itu perlu dilakukan pembelaan diri.

Disamping kedua syarat pokok itu, juga harus disebut syarat-syarat yang penting yaitu:

a) Tidak terhadap tiap serangan dapat dilakukan pembelaan diri, akan tetapi hanya terhadap serangan yang memenuhi syaratsyarat sebagai berikut yaitu :

1) Serangan itu harus datang mengancam dengan tiba-tiba (orgen blikkelijk of onmiddelijk dreigend)

2) Selanjutnya serangan itu harus wedderechtelijk.

Akan tetapi di samping ketentuan, bahwa serangan itu harus ada pembelaan diri, maka pembelaan diri harus memenuhi syarat yang ditentukan.

b) Tidak tiap pembelaan dapat merupakan noodweer akan tetapi hanya pembelaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai :

1) Pembelaan itu harus geboden.

2) Pembelaan itu harus noodzakelijk.

(12)

28

3) Selanjutnya pembelaan itu harus merupakan pembelaan terhadap diri sendiri atau diri orang lain, kehormatan atau benda. Hanya jika ada serangan yang bertentangan dengan hukum (wederrechtelijk) dan mengancam dengan tiba-tiba terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan atau benda dapat dilakukan pembelaan.

Nampaklah bahwa kepentingan hukum yang dibela itu tidak perlu kepentingan hukumnya sendiri. Dapat juga pembelaan itu dilakukan guna membela kepentingan hukum orang lain21.

Penulis berpendapat bahwa tidak dapat dihukumnya si pelaku yang melakukan pembelaan diri itu sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan kepatutan. Jadi dalam hal ini, pertimbangan yang digunakan harus tetap mengacu bedasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang berlaku maka pada saat mengadili pelaku yang melakukan pembelaan diri harus benar- benar adanya keseimbangan antara kepentingan yang dibela dengan kepentingan yang dikorbankan.

21 Wenlly Dumgair (2016). Loc.cit.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat latar belakang yang sudah disampaikan di dalam bab sebelumnya, maka sangat menarik sekali jika melihat lebih jauh tentang model advokasi yng dilakukan

Citra satelit Landsat-8 yang telah dipilih dilakukan proses pengolahan menggunakan algoritma yang telah ada sebelumnya, sehingga akan didapati nilai kisaran

Tabela 1: Pregled finančnih reklamacij iz naslova imetnikov kartic na bančnih avtomatih Gregor Skok: Avtomatizacija reševanja reklamacij pri kartičnem poslovanju... Pošiljatelj

Diantaranya ; pertama dikatakan mahar jika pemberian materi tersebut dilakukan ketika akad dan atau sesudah akad sedangkan kewajiban materi dalam tradisi pintean

Seseorang pemimpin perlu menzahirkan ketegasannya sekiranya didapati mereka yang di bawah kepimpinannya melakukan kesalahan atau sesuatu yang bertentangan dengan arahan

Sedangkan penjelasan mengenai tujuan Customer Relationship Management (CRM) adalah sebagai berikut: (1) Attraction (daya tarik) – Merupakan strategi yang dimiliki perusahaan

Implementation Of The Science Writing Heuristic (SWH) Approach In 8th Grade Science Classrooms. Washington DC: National Education Association. The Effect of

 Lingkungan binaan lebih daripada hanya sebagai obyek/produk, tapi juga sebagai institusi/ proses.  Ketika sebuah lingkungan dirancang ada empat elemen yang ditata: