• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam kehidupannya.

Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) diartikan sebagai tugas yang muncul pada saat atau sekitar periode tertentu dari kehidupan individu. Salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa dini yaitu mulai membentuk keluarga (Havighurst, dalam Hurlock, 1999). Kelley dan Convey (dalam Lemme, 1995) menyatakan bahwa membangun dan mempertahankan hubungan dengan pasangan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam perkembangan individu dewasa. Kebanyakan individu dewasa menginginkan hubungan cinta mereka dikokohkan dalam sebuah pernikahan (Kail & Cavanaugh, 2000).

Berdasarkan sensus di Amerika Serikat pada tahun 2002, meskipun satu di antara tiga pernikahan berakhir dengan perceraian, namun 95% orang dewasanya memilih menikah sebagai poin penting dalam kehidupan mereka, dan sebagian besar dari mereka memilih menikah dengan individu yang mereka cintai (Sigelman & Rider, 2003).

Bhrem (2002) menyatakan bahwa pernikahan merupakan ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam; dimana dua individu berikrar di depan umum didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya. Usia pernikahan rata-rata pada individu dewasa dini adalah 24 tahun

(2)

untuk pria, dan 21 tahun untuk wanita (Bhrem, 2002). Di Indonesia sendiri, usia rata-rata wanita menikah adalah 21 tahun dan pria 24 tahun (Xenos, dalam Sarwono, 2002)

Secara umum, pernikahan merupakan upacara pengikatan janji nikah yang dilaksanakan dengan menggunakan adat atau aturan tertentu, yang kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu. Sedangkan perkawinan, meskipun seringkali dibedakan dengan kata nikah, memiliki inti makna yang sama dengan pernikahan, yaitu upacara bersatunya pria dan wanita membentuk satu keluarga (Wikipedia, 2007).

Dalam hal kepuasan hidup, dari 2164 kasus yang dipilih secara random, Campbell (dalam Domikus, 1999) menemukan bahwa orang-orang yang terikat dalam pernikahan merasakan kepuasan hidup yang lebih tinggi dibandingkan ketika mereka menduda, menjanda atau sebelum menikah. Kepuasan hidup yang diperoleh melalui pernikahan ini disebabkan karena hampir seluruh dimensi kebutuhan manusia dapat dipenuhi melalui pernikahan, sebagaimana dikemukakan oleh Walgito (dalam Domikus, 1999) bahwa melalui pernikahan manusia dapat memenuhi kebutuhan fisiologis atau biologis, psikologis, sosial, dan religius.

Pernikahan bukanlah peristiwa hidup yang tunggal, tetapi merupakan satu set tahapan dimana pasangan mencoba untuk mencapai keseimbangan antara ketergantungan dan otonomi sebagaimana mereka bernegosiasi terhadap masalah kontrol, kekuasaan, dan otoritas (Kovacs, dalam Kurdek, 1999)

(3)

Dalam suatu pernikahan, umumnya pasangan akan melewati tahapan yang selanjutnya disebut oleh Duvall (dalam Lefrancois, 1993) sebagai family life cycle. Menurut Duvall (dalam Domikus, 1999), setiap tahap dalam siklus

kehidupan keluarga tersebut mempunyai ciri khusus dalam tugas dan tujuannya.

Misalnya, pada keluarga awal, titik berat tujuan adalah melepaskan diri dari campur tangan orangtua dan mengakomodasi peran baru sebagai orangtua atau calon orangtua.

Pada tahap keluarga awal, pasangan dihadapkan pada tugas-tugas penting yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan seksual dan perkembangan pernikahan yang harmonis. Pada tahap ini juga, pasangan mulai membuat keputusan penting mengenai rencana memiliki anak dan jumlah anak yang diinginkan, juga pertimbangan perubahan aktivitas yang mungkin terjadi pada pasangan dikarenakan kehadiran anak, dampak potensial penurunan pendapatan yang disebabkan biaya yang harus dikeluarkan untuk merawat anak (Lefrancois, 1993). Kebanyakan data menunjukkan bahwa pada tahap ini kepuasan pasangan mencapai tingkat yang paling tinggi.

Memasuki periode kelahiran anak, sekalipun pernikahan dianggap sebagai jalan terbaik untuk memiliki anak serta mengembangkan keturunan (Papalia, 2000), kelahiran anak pertama juga memberikan dampak yang besar bagi pasangan karena anak memaksa pasangan untuk menambah peran baru sebagai ibu dan ayah, padahal sebelumnya sudah memiliki identitas sebagai pasangan.

Pandangan umum yang selama ini dipegang oleh calon orangtua adalah bahwa memiliki anak akan membuat pasangan semakin dekat. Sebagian besar

(4)

orangtua mengatakan bahwa memiliki anak akan meningkatkan kehidupan dan membawa kebahagiaan dan pemenuhan hidup (Emery & Tuer, dalam Sigelman &

Rider, 2003). Seperti yang diungkapkan melalui proses wawancara dengan salah seorang wanita menikah yang belum memiliki anak (G, 23 tahun) akan keinginannya yang besar untuk segera memiliki anak pada usia pernikahan dua tahun:

”Punya anak, ya pengenlah... siapa juga yang gak pengen punya anak.

Kan rumah jadi rame, ada yang diajak ketawa...”

Namun kenyataannya, masa awal menjadi orangtua merupakan transisi kehidupan yang penuh tekanan yang meliputi perubahan positif maupun negatif (Cowan & Cowan; Monk et al, dalam Sigelman & Rider, 2003 ). Orangtua sering melaporkan bahwa terasa sekali penurunan jumlah waktu yang dapat dilalui bersama setelah kelahiran anak pertama (Campbell, dalam Sadarjoen, 2005).

Selain itu, kepuasan pernikahan juga menurun pada tahun-tahun pertama pernikahan setelah bayi lahir (Belsky, Lang, & Rovine; Gottman & Notarius, dalam Sigelman & Rider, 2003). Penurunan ini biasanya lebih tajam pada wanita daripada pria, pada dasarnya disebabkan tanggung jawab terhadap anak lebih berat pada ibu dan apa yang mereka peroleh sebagai pembagian tugas yang tidak adil. Ibu baru sering merasa terperangkap, terisolasi, dan diliputi oleh tanggungjawabnya; sementara ayah baru khawatir mengenai keuangan (Fox, dalam Sigelman & Rider, 2003). Sekalipun baik suami maupun istri bekerja di luar rumah, wanita tetap menghabiskan waktu dua kali lebih banyak dibandingkan pria untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, dan para ayah menyumbang 60 persen dari waktu yang ada untuk mengasuh anak (Then, 2002).

(5)

Pada umumnya wanita lebih sensitif daripada pria dalam menghadapi masalah dalam hubungan pernikahannya. Istri lebih merasa tertekan, frustrasi dan tidak puas terhadap pernikahan dibanding suami; istri memikul sebagian besar tanggung jawab pemeliharaan anak dan urusan rumah tangga, bahkan ketika mereka bekerja penuh waktu di luar rumah, dan mereka menceritakan banyak perasaan negatif tentang kehidupan pernikahan (Bernard; Barecca, dalam Then, 2002).

Hasil survei di Amerika Serikat menemukan bahwa para istri cenderung memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang lebih rendah (56%) dibandingkan dengan para suami (60%) (Unger & Crawford, dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004).

Namun menariknya, wanita menikah memperoleh keuntungan dari segi kesehatan hanya ketika pernikahannya bahagia (Hess & Soldo, dalam Prasetya, 2005). Dalam pengaruh perubahan emosi anak-anak mereka, kepuasan pernikahan pada ibu (istri) ditemukan lebih krusial dibandingkan kepuasan pernikahan pada ayah (suami) (Belsky & Fish, dalam Prasetya, 2005). Penemuan lain menunjukkan bahwa memiliki pernikahan bahagia atau pernikahan berkualitas tampaknya lebih krusial dan signifikan menguntungkan istri daripada suami.

Seiring bertambahnya usia dan jumlah anak dalam keluarga, bersamaan dengan itu pula terjadi berbagai perubahan dalam penyesuaian terhadap berbagai tuntutan peran sebagai ibu dan ayah. Orangtua dihadapkan pada penyesuaian dalam hal finansial demi memenuhi kebutuhan anak-anak, penyediaan tempat, perlengkapan, waktu, perhatian, juga masalah-masalah yang berkaitan dengan

(6)

pengasuhan anak. Selain itu, pasangan masih mempunyai tugas penting lainnya yaitu mempertahankan pernikahan yang bahagia dan memuaskan (Lefrancois, 1993).

Menaghan (dalam Sadarjoen, 2005) menambahkan bahwa ketika anak berada pada periode remaja, orangtua mungkin merasa tidak nyaman dengan pola asuh yang telah diterapkan. Moral kehidupan keluarga sering jatuh. Sementara itu, akan sampai saatnya kedua pasangan mengalami kejadian final yaitu pada saat anak terakhir keluar dari rumah dan dirasakan sebagai signal emptynest yang merupakan pertanda akhir dari aktivitas parental.

Pada masa emptynest, terjadi perubahan dalam peran dan gaya hidup orangtua, khususnya bagi ibu yang memusatkan hidup mereka pada pengasuhan anak (Sigelman & Rider, 2003). Pada umumnya, hubungan dengan anak yang telah meninggalkan rumah menjadi sangat dekat dan sangat positif, dan orangtua menilai pengalaman emptynest lebih positif (Borland, dalam Lefrancois, 1993).

Faktanya, banyak orangtua yang melihat kepergian anak meninggalkan rumah sebagai waktu untuk membangun kembali kehidupan pribadi yang bebas sebagai orang dewasa (Glick & Lin, dalam Lefrancois, 1993).

Sementara kehadiran anak dalam keluarga menyebabkan penurunan dalam kepuasan pernikahan, namun keluarnya anak dari rumah menyebabkan peningkatan kembali kepuasan pernikahan (Gagnonet et al L; White & Edwards, dalam Sigelman & Rider, 2003). Pada masa emptynest, wanita seringkali merasa bahwa pernikahan mereka lebih ”adil” dan pasangan mereka lebih bisa mengakomodasi kebutuhan mereka (Mackey & O’Brien; Suitor, dalam Sigelman

(7)

& Rider, 2003). Beberapa pasangan mulai memperbaharui hubungan mereka pada masa emptynest dan memanfaatkan waktu senggang sebagai kegiatan peningkatan diri secara individual, juga keterlibatan yang lebih besar dengan pasangan, hobi, dan komunitas (Hoyer & Roodin, 2003).

Dilihat dari sudut pandang teori Barat, Nock (dalam Lefrancois, 1993) mengatakan bahwa pasangan yang paling berbahagia adalah pasangan tanpa anak, baik itu pasangan yang belum memiliki anak, pasangan yang tidak akan pernah memiliki anak, dan pasangan dimana anak-anak mereka telah meninggalkan rumah. Pasangan tanpa anak memiliki kemungkinan paling kecil untuk bercerai.

Sementara itu, Gunarsa (2003) menyatakan bahwa dalam kebudayaan Timur status anak dipandang sebagai pemberian yang akan membawa rezekinya masing-masing. Hal ini berarti bahwa semakin banyak anak maka semakin banyak pula rezeki yang akan diperoleh. Selain itu, anak merupakan faktor yang penting, bahkan mungkin pula “tidak adanya anak” hanya merupakan faktor yang dikambinghitamkan sebagai alasan untuk membenarkan kekurangan diri pasangan dan sebagai alasan perceraian. Namun, disisi lain, pasangan mungkin merasa bahwa pernikahan tidak dapat dipertahankan lagi karena kehadiran anak dimana terjadinya peningkatan biaya hidup yang tidak seimbang dengan hasil usaha mencari nafkah, sehingga timbul masalah-masalah yang sulit diatasi yang akibatnya menambah penderitaan pasangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa adanya anak maupun tidak adanya anak dalam keluarga dapat menyebabkan runtuhnya impian mengenai pernikahan yang bahagia. Faktor ada anak atau tidak ada anak

(8)

seolah-olah tidak penting dalam menciptakan keluarga sejahtera, karena kedua hal ini bisa saja menyebabkan terjadinya perceraian.

Data menunjukkan bahwa kemungkinan perceraian tertinggi terjadi selama tahun-tahun pertama perkawinan, puncaknya antara dua sampai empat tahun perkawinan. Diantara perkawinan yang berakhir dengan perceraian, waktu median perpisahan adalah 6,6 tahun, dan waktu median perceraian terjadi pada delapan tahun perkawinan (Kreider & Fields, dalam Newman & Newman, 2004). Akan tetapi, tidak semua pasangan yang berpisah akan mengalami perceraian secara legal (Bhrem, 2002).

Selain itu, berdasarkan data faktual tentang kasus perceraian di Indonesia yang diperoleh dari Pengadilan Agama Bandung pada tahun 1998 terdapat 1145 kasus perceraian. Jumlah kasus perceraian ini semakin meningkat pada tahun- tahun berikutnya sejumlah 1212 kasus perceraian pada tahun 1999 dan sejumlah 1387 kasus perceraian pada tahun 2000. Hasil pencatatan data kasus perceraian tersebut adalah hasil pencatatan kasus perceraian dari Pengadilan Agama Islam, belum termasuk kasus perceraian yang diputuskan oleh Kantor Catatan Sipil, yang terkait dengan agama yang dipeluk pasangan pernikahan. Berdasarkan data tersebut, kasus perceraian umumnya terjadi pada kisaran usia perkawinan sekitar dua hingga lima belas tahun dengan kisaran jumlah anak dua hingga empat orang (Sadarjoen, 2005).

Sementara itu, angka perceraian di kota Medan dari tahun ke tahun beranjak naik. Sebanyak 802 kasus (2000), 813 kasus (2001), 933 kasus (2002), 967 kasus (2003), 1.035 kasus (2004) dan 2005 meningkat lagi. Diprediksi

(9)

minimal ada 1.075 perkara. Usia perceraian yang cenderung usia muda banyak terjadi pada 2005, dimulai dari usia 20-an sampai 30-an. Namun kebanyakan perceraian terjadi pada usia pernikahan yang masih baru, misalnya baru berjalan dua tahun dan sudah mempunyai anak. (Sobardi, dalam WASPADA, 2005)

Secara umum, kepuasan pernikahan merupakan hal yang subjektif, tergantung pada bagaimana pernikahan bertahan dengan adanya harapan individu.

Sebuah pasangan mungkin menganggap pernikahan mereka sangat memuaskan, sementara bagi pasangan lain pernikahan tampak membosankan dan tidak menyenangkan (Scanzoni & Scanzoni, 1976). Pernikahan yang membosankan dan tidak menyenangkan dapat mengarah kepada ketidakpuasan pasangan terhadap pernikahan, dan perceraian merupakan salah satu indikasi tidak adanya kepuasan dalam pernikahan (Bagus, dalam Suara Merdeka, 2004).

Berdasarkan data diatas, tampak bahwa dalam setiap tahapan dalam pernikahan memberikan implikasi bervariasi terhadap puas tidaknya pasangan terhadap pernikahannya. Sebagian pasangan mungkin mampu bertahan mempertahankan pernikahannya sesuai dengan janji nikah yang pernah diucapkan, sementara pasangan lainnya mengakhiri hubungan pernikahan dengan perceraian yang belakangan ini merupakan fenomena umum terjadi di masyarakat.

Wanita, sebagai bagian dari sebuah pernikahan juga memperoleh dampak dari puas tidaknya ia dalam pernikahannya. Oleh karena itulah maka peneliti ingin melihat dan mengetahui lebih jauh apakah ada perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita ditinjau dari tahap-tahap pernikahan.

(10)

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dan mengetahui apakah ada perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita ditinjau dari tahapan pernikahan.

C. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan wacana pengetahuan di bidang psikologi perkembangan, khususnya perkembangan keluarga mengenai perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita ditinjau dari tahapan pernikahan.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam hal:

a. Membantu melihat bagaimana perbedaan kepuasan pernikahan pada wanita dalam setiap tahapan pernikahannya sehingga dapat diambil langkah selanjutnya untuk mengantisipasi dampak dari ketidakpuasan pasangan terhadap pernikahan.

b. Sebagai wacana bagi para pekerja dalam bidang konseling pernikahan dan lembaga-lembaga penasehat pernikahan untuk dapat memberikan konsultasi kepada pasangan menikah yang mengalami masalah dalam pernikahannya mencakup area-area penting berkaitan dengan kepuasan pernikahan.

(11)

D. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah yang akan dibahas, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Pada bab ini akan diuraikan tinjauan kritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang pernikahan, tahapan pernikahan, kepuasan pernikahan, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan.

Bab III : Metode Penelitian

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode-metode dasar dalam penelitian yaitu identifikasi variabel, definisi operasional, subjek penelitian, instrumen dan alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel dan metode analisis data.

Referensi

Dokumen terkait

Jenis pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang dapat dijadikan sebagai dasar pembedaan dalam masyarakat. Seseorang yang bekerja di kantor dianggap lebih

Hasil penelitian menunjukkan, eksperimen berbasis pemecahan masalah ( problem solving) dapat meningkatkan semua aspek keterampilan berpikir kritis yang diuji

Facebook adalah situs jaringan sosial dimana para pengguna dapat bergabung dalam komunitas seperti kota, kerja, sekolah, dan daerah untuk melakukan koneksi

- LP BPTP NTB didukung oleh personil yang mempunyai kualifikasi yang memadai dengan menempatkan sesuai keahliannya, yang didukung dengan pendidikan, pelatihan dan.. pengalaman

Dengan diterapkannya konseling realita bermanfaat dalam menolong konseli sehingga memiliki kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannyaa sendiri dan dapat

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah mendasarkan pada prinsip otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. Tujuan dari pemberian otonomi tersebut adalah untuk memberdayakan

(Wawancara dengan bapak NF. Dari hasi wawancara tersebut dapat kita ketahui bahwa Organisasi pemerintah terkhususnya Kecamatan Tamalate dalam hal berkomunikasi biasanya

Kursi roda bisa baring/rebahan , kursi roda bisa setenggah rebahan, Pilih Yang Mana ?.. 什麼是(Apa itu) No Lift