• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI OLEH: BAGUS HARDIANTO HAMA PENYAKIT TANAMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI OLEH: BAGUS HARDIANTO HAMA PENYAKIT TANAMAN"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

UJI EFEKTIVITAS Setora nitens-Nuclear Polyhedrosis Virus (Sn-NPV) TERHADAP LARVA Setora nitens Walker (Lepidoptera: Limacodidae) DI LABORATORIUM PT. HARI SAWIT JAYA, KEBUN NEGERI LAMA

GRUP, LABUHAN BATU, SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH:

BAGUS HARDIANTO 140301018

HAMA PENYAKIT TANAMAN

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020

(2)

UJI EFEKTIVITAS Setora nitens-Nuclear Polyhedrosis Virus (Sn-NPV) TERHADAP LARVA Setora nitens Walker (Lepidoptera: Limacodidae) DI LABORATORIUM PT. HARI SAWIT JAYA, KEBUN NEGERI LAMA

GRUP, LABUHAN BATU, SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH:

BAGUS HARDIANTO 140301018

HAMA PENYAKIT TANAMAN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk dapat Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara, Medan

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2020

Universitas Sumatera Utara

(3)
(4)

ABSTRACT

Bagus Hardianto 2020, “The Effectiveness Test of Setora nitens-Nuclear Polyhedrosis Virus (Sn-NPV) against Setora Nitens Walker Larva (Lepidoptera:

Limacodidae) at the Laboratory of PT. Hari Sawit Jaya, Kebun Negeri Lama Group, Labuhan Batu, North Sumatra ”, under the guidance of Maryani Cyccu Tobing and Mukhtar I Pinem S. nitens is one of the important pests in oil palm plants. This study aimed to test various Sn-NPV concentrations against several stages of S. nitens. This research was conducted at the laboratory of PT. Hari Sawit Jaya, Kebun Negeri Lama Group, Labuhan Batu, North Sumatra from December 2019 until January 2020. This study used a Factorial Completely Randomized Design (CRD) with 2 factors. The first factor was the concentration of Sn-NPV (0, 103 POB / ml, 104 POB / ml, and 105 POB / ml), while the second factor was the size of S. nitens larvae (small, medium, and large). The results showed that treatment with a concentration of 105 POB / ml Sn-NPV could kill S. nitens larvae within 26.24 hours, the fastest mortality was in the treatment of S.

nitens larvae stage, namely 1-2 instars in 32.67 hours, treatment with 104 POB concentrations / ml Sn-NPV can kill S. nitens larvae by 100% at 9 days, S. nitens larvae infected with Sn-NPV virus show symptoms of brownish green cuticle color with poor feeding response and movement, then die with a blackish brown cuticle color. Further research is needed in the field to test the Sn-NPV concentration of 104 POB / ml.

Keywords: Sn-NPV, S. nitens larvae, oil palm

Universitas Sumatera Utara

(5)

ABSTRAK

Bagus Hardianto 2020, “Uji EfektivitasSetora nitens-Nuclear Polyhedrosis Virus (Sn-NPV) terhadap Larva Setora nitens Walker (Lepidoptera: Limacodidae) di Laboratorium PT. Hari Sawit Jaya, Kebun Negeri Lama Grup, Labuhan Batu, Sumatera Utara”, di bawah bimbingan Maryani Cyccu Tobing dan Mukhtar I Pinem S. nitens merupakan salah satu hama penting pada tanaman kelapa sawit.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji berbagai konsentrasi Sn-NPV terhadap beberapa stadia S. nitens. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium PT. Hari Sawit Jaya, Kebun Negeri Lama Grup, Labuhan Batu, Sumatera Utara dari bulan Desember 2019 sampai Januari 2020. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 2 faktor. Faktor 1 adalah konsentrasi Sn-NPV (0, 103 POB/ml, 104 POB/ml, dan 105 POB/ml) sedangkan faktor 2 adalah ukuran larva S. nitens (kecil, sedang, dan besar). Hasil penelitian diperoleh perlakuan konsentrasi 105 POB/ml Sn-NPV dapat membunuh larva S. nitens dalam waktu 26,24 jam, kematian tercepat pada perlakuan stadia larva S. nitens yaitu instar 1-2 dalam waktu 32,67 jam, perlakuan konsentrasi 104 POB/ml Sn- NPV dapat membunuh larva S. nitens sebesar 100% pada 9 hsa, larva S. nitens yang terinfeksi virus Sn-NPV menunjukkan gejala warna kutikula hijau kecoklatan dengan respon makan dan gerakan yang kurang, lalu mati dengan warna kutikula coklat kehitaman. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dilapangan untuk menguji Sn-NPV konsentrasi 104 POB/ml.

Kata Kunci: Sn-NPV, larva S. nitens, kelapa Sawit

(6)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Penelitian yang berjudul “Uji Efektivitas Setora nitens-Nuclear Polyhedrosis Virus (Sn-NPV) Terhadap Larva Setora nitens Walker (Lepidoptera:

Limacodidae) di Laboratorium PT. Hari Sawit Jaya, Kebun Negeri Lama Grup, Labuhan Batu, Sumatera Utara” merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pembimbing Prof. Dr. Dra. Maryani Cyccu Tobing, MS, selaku Ketua dan Ir. Mukhtar I Pinem, M.Agr, selaku Anggota telah memberikan kritik dan saran mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.

Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga laporan penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2020 Penulis

Universitas Sumatera Utara

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR... . v

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Hipotesa Penelitian... 3

1.4 Kegunaan Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... . 4

2.1 Biologi Ulat Api Setora nitens Walker (Lepidoptera: Limacodidae) ...4

2.1.1 Telur ... 5

2.1.2 Larva... 6

2.1.3 Pupa ... 6

2.1.4 Imago ... 7

2.2 Pengendalian Hayati . ... 7

2.3 Gejala Serangan Ulat Api S. nitens Walker (Lepidoptera: Limacodidae) ... 8

2.4 Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) ... 9

2.4.1 Biologi Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV)... ... 9

2.5 Mekanisme Infeksi NPV ... 11

2.6 Gejala Serangan NPV... ... 12

BAB III METODE PENELTIAN... 13

3.1 Tempat Waktu Penelitian ... 13

3.2 Bahan dan Alat ... 13

3.3 Metode Penelitian ... ... 13

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... ...15

3.4.1 Persiapan Media Penelitian ... ... 15

3.4.2 Penyediaan Sn-NPV ... ...15

3.4.3 Penyediaan Larva S. nitens... ...15

3.4.4 Pengenceran konsentrasi Sn-NPV . ... 15

3.4.5Inokulasi virus Sn-NPV ke potongan daun kelapa sawit ... ...16

3.4.6 Larva S. nitens dimasukkan ke dalam gelas plastik berisi potongan daun yang sudah di inokulasi Sn-NPV ... ...16

3.5 Peubah Pengamatan ... 16

3.5.1 Lama Kematian Sasaran ... ...16

3.5.2 Persentase Mortalitas S. nitens ... 17

3.5.3 Gejala Infeksi Sn-NPV ... 17

(8)

iii BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Waktu Kematian larva ulat api S. nitens ... 18 4.2 Mortalitas Larva Ulat Api S. nitens ... 19 4.3 Gejala Infeksi Sn-NPV terhadap Larva Ulat Api S. nitens ... 23 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 28 5.2 Saran ... 28 DAFTAR PUSTAKA... 29

Universitas Sumatera Utara

(9)

DAFTAR TABEL

No. Keterangan Hlm.

1. Pengaruh Konsentrasi Sn-NPV Terhadap Waktu Kematian (jam) pada Berbagai Stadia Larva S. nitens ... 18 2. Mortalitas larva S. nitens dengan Konsentrasi Sn-NPV Berbeda dan

Beberapa Stadia Umur pada 1-10 hsa ... 20 3. Gejala Stadia Larva S. nitens Yang Terinfeksi Oleh Berbagai Perlakuan

Konsentrasi Sn-NPV ... 23

(10)

v

DAFTAR GAMBAR

No. Keterangan Hlm.

1. S. nitens Walker ... 4

2. Telur S. nitens Walker ... 4

3. Larva S. nitens Walker ... 5

4. Pupa S. nitens Walker ... 6

5. Imago S. nitens Walker ... 7

6. Larva S. nitens pada perlakuan kontrol yang mati ... 27

7. Larva S. nitens mati pada perlakuan D1 (Sn-NPV konsentrasi 103) ... 27

8. Larva S. nitens mati pada perlakuan D2 (Sn-NPV konsentrasi 104) ... 27

9. Larva S. nitens mati pada perlakuan D3 (Sn-NPV konsentrasi 105) ... 27

Universitas Sumatera Utara

(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu dari beberapa palma yang menghasilkan minyak untuk tujuan komersial. Bagian tanaman kelapa sawit yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah buahnya yang tersusun dalam sebuah tandan yang biasanya disebut dengan tandan buah segar (TBS) (Frey dan Sofyan, 2012).

Perkembangan industri kelapa sawit saat ini sangat pesat dimana terjadi peningkatan baik luas areal maupun produksi kelapa sawit seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat. Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tahun 2019 sebesar 14. 724. 420 ha dengan produksi 45. 861. 121 ton CPO meningkat 6,5% dari produksi di tahun 2018 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019).

Salah satu kendala dalam budidaya tanaman kelapa sawit adalah serangan hama yang dapat menyebabkan kerusakan pada

tanaman hingga berdampak pada penurunan tingkat produksi kelapa sawit. Hama dapat menyerang kelapa sawit sejak tahap pra-pembibitan hingga menghasilkan (Murdani et al., 2012).

Gangguan yang mampu menurunkan produktivitas kelapa sawit yakni organisme pengganggu tanaman. diantaranya ulat pemakan daun kelapa sawit.

Ulat pemakan daun kelapa sawit terdiri dari ulat api (Setothosea asigna, Setora

nitens, Darna trima), ulat kantong (Metisa plana) dan ulat bulu (Dasychira inclusa) merupakan hama yang paling sering menyerang

kelapa sawit. Untuk daerah tertentu, ulat api dan ulat kantong sudah menjadi

(12)

2

endemik sehingga sangat sulit dikendalikan. Kejadian yang sering terjadi di perkebunan kelapa sawit adalah terjadi suksesi hama ulat bulu dari ulat api atau ulat kantong apabila kedua hama ini dikendalikan secara ketat. Meskipun tidak mematikan tanaman, hama ini sangat merugikan secara ekonomi. Daun yang habis akan sangat mengganggu proses fotosintesis tanaman kelapa sawit, yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kelapa sawit. Biasanya produksi

akan turun 2 tahun setelah terjadi serangan ulat api maupun ulat kantong (Susanto et al., 2012).

Gejala serangan yang disebabkan ulat api yaitu helaian daun berlubang atau habis sama sekali sehingga hanya tinggal tulang daun saja. Gejala ini dimulai dari daun bagian bawah. Dalam kondisi yang parah tanaman akan kehilangan daun sekitar 90% pada tahun pertama setelah serangan dapat menurunkan produksi sekitar 69% dan sekitar 27% pada tahun kedua (Susanto et al, 2010).

Ulat muda biasanya bergerombol di sekitar tempat letakan telur dan mengikis daun mulai dari permukaan bawah daun kelapa sawit serta meninggalkan epidermis daun bagian atas. Mulai instar ke 3 biasanya ulat memakan semua helaian daun dan meninggalkan lidinya saja dan sering di sebut gejala melidi. Serangan hama ulat api menyebabkan proses fotosintesis tanaman kelapa sawit akan terhambat, sehingga berpengaruh pada pertumbuhan dan produksi kelapa sawit, pada tanaman menghasilkan (TM) berdampak pada penurunan produksi hingga 70% pada 1 kali serangan dan 93% pada serangan ulangan dalam tahun yang sama (Manik, 2012).

Selama ini pengendalian ulat api dilakukan secara kimiawi menggunakan insektisida kimia golongan piretroid, seperti deltametrin dan dimetoat dengan cara fogging, dan dibarengi dengan pengendalian secara biologi, pemanfaatan bakteri seperti Bacillus thuringiensis, pengendalian hayati yang memanfaatkan agen hayati

Universitas Sumatera Utara

(13)

seperti predator Sycanus dichotomus (musuh alami) bagi ulat pemakan daun kelapa sawit (UPDKS).

Salah satu cara untuk mengendalikan hama ulat api yaitu dengan penggunaan NPV (Nuclear Polyhedrosis Virus). NPV merupakan agensia hayati yang bersifat patogen bila termakan larva (racun oral). NPV mampu menginfeksi serangga yang telah resisten terhadap insektisida, relatif persisten di pertanaman dan tanah, serta tidak meninggalkan residu dialam. (Yusniati, 2013).

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji berbagai konsentrasi Setora nitens- Nuclear Polyhedrosis Virus (Sn-NPV) terhadap berbagai stadia larva S. nitens pada tanaman kelapa sawit di PT. Hari Sawit Jaya, Kebun Negeri Lama Grup.

1.3 Hipotesa Penelitian

Ada konsentrasi Setora nitens-Nuclear Polyhedrosis Virus (Sn-NPV) yang efektif untuk mengendalikan berbagai stadia larva S. nitens pemakan daun tanaman kelapa sawit.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian berguna untuk melengkapi data penyusunan skripsi dan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan serta sebagai sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.

(14)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ulat Api Setora nitens Walker (Lepidoptera: Limacodidae)

Klasifikasi S. nitens menurut Simanjuntak et al,. (2011) Ulat api termasuk ke dalam family Limacodidae, ordo Lepidoptera. Ulat ini dicirikan dengan adanya satu garis membujur ditengah punggung yang berwarna keunguan. Untuk S. nitens selama perkembangannya, Ulat api berganti kulit 7-8 kali dan mampu menghabiskan helaian daun seluas 400 cm2 (Susanto et al., 2010).

2.1.1 Telur

Telur S. nitens biasanya terdapat pada pelepah daun ke 6 – 17. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir. Seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur sekitar 300 – 400 butir. Bentuk dan warnanya hampir sama dengan Setothosea asigna hanya saja peletakan telur antara satu sama lain tidak saling tindih. Telur menetas setelah 4-7 hari. Telurnya berbentuk pipih dan bening, lebarnya 3 mm, diletakkan pada permukaan bawah daun 3-5 deretan, kadang kala sampai 20 deretan (Sudharto et al., 2011).

Gambar 2. Telur S. nitens Walker (Sumber : Susanto et al., 2010)

Gambar 1. S. nitens Walker (Sumber : Susanto et al., 2010)

Universitas Sumatera Utara

(15)

2.1.2 Larva

Larva mula-mula berwarna hijau kekuningan kemudian hijau dan biasanya berubah menjasi kemerahan menjelang masa pupa. Panjangnya mencapai 40 mm, mempunyai 2 rumpun bulu kasar di kepala dan dua rumpun di bagian ekor. Larva ini dicirikan dengan adanya satu garis membujur ditengah punggung yang berwarna biru keunguan. Perilaku ulat ini sama dengan ulat Setothosea asigna.

Stadia ulat berlangsung sekitar 50 hari (Susanto et al., 2010).

Larva yang baru menetas hidup berkelompok, mengikis daging daun dari permukaan bawah dan meninggalkan epidermis bagian atas permukaan daun (Manik, 2012). Pada instar 2-3 larva memakan daun mulai dari ujung ke arah bagian pangkal daun. Selama perkembangannya larva berganti kulit 7-8 kali.

Larva berwarna cokelat kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di bagian punggungnya. Selain itu di bagian punggung juga dijumpai duri-duri yang kokoh.

Larva instar terakhir (instar ke-9) berukuran panjang 35 mm dan lebar 15 mm.

Stadia larva ini berlangsung selama 26-33 hari (Simanjuntak et al., 2011).

Gambar 3. Larva S. nitens Walker (Sumber : Susanto et al., 2010)

(16)

6 2.1.3 Pupa

Pupanya bulat berdiameter 15 mm dan berwarna cokelat. Pupa terletak di permukaan tanah sekitar piringan atau di bawah pangkal batang kelapa sawit.

Stadia pupa berkisar antara 17-27 hari. Imago S. nitens berupa ngengat jantan dengan lebar rentang sayap sekitar 35 mm dan betina sedikit lebih lebar. Ngengat berwarna cokelat kelabu dengan garis hitam pada tepi sayap depan, dengan panjang 20 mm pada betina, dan lebih pendek pada jantan . Ngengat aktif pada senja dan malam hari sedangkan pada siang hari hinggap di pelepah-pelepah tua atau pada tumpukan daun yang telah dibuang dengan posisi terbalik (Simanjuntak et al., 2011).

Ulat api termasuk serangga dengan metamoorfosis sempurna dengan stadia telur, larva dan imago umumnya terdapat pada daun kelapa sawit, kepompong terbungkus pada pupa (kokon) yang terletak ditanah atau pringan tanaman kelapa sawit. Stadia imago berupa ngengat yang aktif terbang pada malam hari (Susanto et al., 2010).

Pupa diselubungi oleh kokon yang terbuat dari air liur ulat, berbentuk bulat telur dan berwarna coklat gelap. Larva yang akan menjadi pupa akan menjatuhkan diri pada permukaan tanah yang relatif gembur di sekitar piringan atau pangkal batang kelapa sawit. Kokon jantan dan betina masing-masing berukuran 20 mm dan 20 mm. Stadia pupa berlangsung selama ± 10-14 hari (Susanto et al., 2012).

Gambar 4. Pupa S. nitens Walker (Sumber : Falahudin, 2012)

Universitas Sumatera Utara

(17)

2.1.4 Imago

Imago S. nitens berupa ngengat yang mempunyai lebar rentangan sayap sekitar 35mm, pada sayap depan berwama cokelat dengan garis-garis yang berwama lebih gelap. Ngengat aktif pada senja dan malam hari, pada waktu siang hari hinggap di pelepah-pelepah daun tua dengan posisi terbalik. Setiap ngengat betina mampu menghasilkan telur hingga ± 300 butir (Simanjuntak et al., 2011).

2.2 Pengendalian Hayati

Mikroorganisme entomopatogenik dapat mengurangi atau bahkan menggantikan insektisida kimia golongan piretroid, seperti deltametrin dan dimetoat dalam pengendalian ulat api di perkebunan kelapa sawit. Biaya pengendalian hayati juga lebih murah, yaitu hanya 7% dari biaya pengendalian secara kimiawi. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, penggunaan insektisida alami menjadi pilihan bagi para pengusaha kelapa sawit. Insektisida hayati mikroorganisme entomopatogenik kini telah banyak digunakan dalam mengendalika ulat api, baik di perkebunan negara, swasta maupun rakyat (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2011).

Beberapa agensia hayati telah banyak digunakan untuk mengendalikan ulat api, antara lain Bacillus thuringiensis, Cordyceps militaris dan Multi-Nucleo

Gambar 5. Imago S. nitens Walker (Sumber : Simanjuntak et al., 2011)

(18)

8

Polyhydrosis Virus (MNPV), dan Beauveria bassiana. Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. adalah salah satu jamur entomopatogenik yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai agensia pengendali hayati. (Tarigan et al., 2013)

Secara teknis, pengendalian hayati lebih unggul dibandingkan pengendalian secara kimiawi, karena selain efektif dan efisien juga ramah lingkungan. Pengendalian hayati ulat api pada kelapa sawit dapat dengan mikroorganisme entomopatogenik, yaitu virus β Nudaurelia, multiple nucleopolyhedrovirus (MNPV), dan jamur Cordyceps aff. militaris. Virus β Nudaurelia dan MNPV efektif untuk mengendalikan hama pada stadium ulat, sedangkan jamur Cordyceps aff. militaris efektif untuk kepompong (Pusat Peneltian Kelapa Sawit, 2011)

Pengendalian ulat dengan cara biologis dapat di lakukan dengan menggunakan insektisida biologis yang siap pakai yang mengandung bakteri Bacillus thuringiensis (Hindrayani et al., 2013)

Menanam bunga pukul delapan Turnera sp, sebagai habitat bagi organism parasitoit dewasa karena memiliki nectar sebagai sumber makanan mereka. Ketika mereka bertelur, mereka akan mulai mencari tubuh serangga untuk meletakkan telurnya. Bunga pukul delapan Turnera sp berfungsi sebagai lokasi hidup kumbang yang dapat membunuh larva ulat api (Lubis et al., 2013)

2.3 Gejala Serangan Ulat Api S. nitens Walker (Lepidoptera: Limacodidae) Hama ini termasuk dalam kelompok hama yang menyerang daun tanaman kelapa sawit pada fase larva. Larva instar pertama memakan mesofil daun dari permukaan bawah dan meninggalkan epidermis daun sebelah atas. Pada serangan berat hama ini dapat memakan seluruh permukaan daun tanaman sehingga daun

Universitas Sumatera Utara

(19)

tanaman tampak melidi. Seekor ulat api jenis ini mampu mengonsumsi daun seluas 300-500 cm2 (Syahputra, 2013).

Menurut Susanto et al. (2012) serangan ulat api maupun ulat kantung tidak mematikan tanaman, namun tetapi dengan adanya serangan dari hama ini daun pada tanaman kelapa sawit akan mengalami kerusakan dan akan mengganggu proses fotosintesis tanaman kelapa sawit, yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kelapa sawit.

Ulat api S. nitens menyerang daun kelapa sawit sampai tertinggal hanya lidinya. Jika 50% daun rusak maka produksi segera turun 58%. Tahun ke dua tinggal 22%. Tahun ke tiga hanya 11%. Itu jika seranganya hanya sekali. Jika melihat siklus ulat api, mampu empat kali terjadi explosive / meledak (Susanto et al, 2012).

2.4 Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV)

2.4.1 Biologi Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV)

Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) termasuk dalam famili Baculoviridae.

Famili ini dibagi menjadi 2 genus yaitu polyhedrovirus (NPV) dan granulovirus (GVs). Sekarang ini istilah nuclear polyhedrosis virus dan granulosis diganti menjadi nucleopolyhedrovirus dan granulovirus (Hunter-Fujita, 1998) dalam (Yustiani, 2013).

Baculoviridae adalah kelompok utama virus yang menyerang arthropoda (Herniou & Jehle, 2007). Nucleo polyhedrosis virus merupakan genus terpenting dari famili Baculoviridae, karena sekitar 40% jenis virus yang dikenal menyerang serangga termasuk dalam genus ini. NPV paling banyak pada ordo Lepidoptera (86%) dan sedikit pada ordo Hymenoptera (7%) serta ordo Diptera (3%). Selain

(20)

10

itu, NPV juga telah diketahui menyerang ordo Coleoptera, Trichoptera, dan Neuroptera.

Beberapa keunggulan penggunaan NPV antara lain memiliki inang sangat spesifik, mampu menginfeksi serangga yang telah resistan terhadap insektisida, relatif persisten di pertanaman dan tanah, serta tidak meninggalkan residu di alam.

Umumnya NPV menginfeksi stadia larva Lepidoptera, sedikit sekali laporan yang

menyebutkan bahwa NPV dapat menginfeksi pupa dan imago (Yusniati, 2013).

Penamaan NPV disesuaikan dengan nama inang dimana pertama kali diisolasi dan diidentifikasi (CABI 2000). Secara umum virus serangga dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu virus yang mempunyai Inclucion Body (IB) dan virus Non Inclusion Body (tanpa IB). Inclucion Body merupakan badan pembawa virus yang terbuat dari matrik protein, dan mempunyai bentuk seperti kristal tidak beraturan. Matrik inilah yang sering disebut Polyhedral Inclusion Body (PIB).

Bentuk polyhedra dapat berupa dodecahedra, kubus dan tidak beraturan.

Diameter polyhedra berukuran 0,05-15,00 μm. Di dalam PIB terdapat bagian NPV yang bersifat mematikan serangga yaitu nukleokapsid yang terletak di dalam virion berbentuk tongkat berukuran panjang 336 μm dan berdiameter 62 μm.

Virion dibungkus dalam satu membran disebut envelop, di dalam satu virion terdapat satu atau lebih nukleokapsid. NPV adalah nukleokapsid berbentuk batang yang mengandung untaian ganda asam dioksiribonukleat (DNA) yang panjang 250-400 nm dan lebar 40-70 nm (Lacey, 1997 ; Yin et al., 2003 ; Gong et al., 2004) dalam (Riyanto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

(21)

2.5 Mekanisme Infeksi NPV

NPV merupakan agensia hayati yang bersifat patogen bila termakan larva (racun oral). Proses infeksi pada tubuh serangga dapat terjadi jika usus serangga pada kondisi alkalis (pH>9). Pada kondisi alkalis, selubung protein akan lepas dan polyhedra atau virion virus akan mengadakan replikasi sehingga virion-virion baru akan terbentuk (Smits, 1987) dalam (Moekasan, 1998). Sedangkan menurut Flispen (1995) dalam (Hermawan et al., 2009), Virus ini membentuk polihedra yang tersusun dari protein polihedrin, yang akan larut pada saluran pencernaan larva bagian tengah (midgut) yang bersifat basa (pH 9,5-11).

Setelah polihedra larut, virion akan lepas dan menembus membran peritrofik dari saluran pencernaan larva. Kemudian, virion akan terus masuk ke dalam sel-sel saluran pencernaan larva, bereplikasi dan menghasilkan budded virus yang akan menyebar untuk menginfeksi sel-sel lain dalam tubuh serangga (Hawtin et al., 1992 ; Volkman, 1997) dalam (Hermawan et al., 2009).

Sedangkan menurut Flispen (1995) dalam (Hermawan et al., 2009), bila polihedra sudah larut maka virion akan lepas dan mulai menginfeksi sel-sel tubuh serangga yang dimulai dari sel-sel saluran pencernaan. Selanjutnya, penyebaran infeksi virus akan semakin cepat saat virus sudah bereplikasi dalam sel-sel tubuh serangga, hingga akhirnya serangga mati karena seluruh sel tubuhnya lisis.

Menurut Smits (1987) dalam Moekasan (1998), Virion yang baru terbentuk akan menginfeksi sel-sel hemocoel (rongga tubuh) dan jaringan lain seperti lemak tubuh, sel epidermis, hemolimfa dan trakea. Pada jaringan-jaringan tersebut, virion-virion akan mengambil tempat, sehingga terjadi lisis. Larva akan mati setelah sebagian besar jaringan tubuhnya terinfeksi.

(22)

12

Menurut Aizawa (1963) dalam (Moekasan, 1998) proses penularan NPV dapat terjadi melalui mulut dan luka. Penyebaran virus ini melalui berbagai cara dan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain cuaca. Virus yang berada pada tanaman dapat disebarkan oleh angin dan hujan. Beberapa jenis predator termasuk burung dan parasitoid dapat juga menjadi agens penyebaran virus (Untung, 2006) dalam (Yustiani, 2013).

2.6 Gejala Serangan NPV

Larva yang terinfeksi NPV memperlihatkan gejala pergerakan larva menjadi lambat, kutikula larva berwarna keabu-abuan, permukaan kulitnya mengkilat dan tubuhnya sedikit membengkak. Larva yang mengalami gejala tersebut apabila disentuh malas bergerak dan akhirnya larva akan mati. Kulit larva yang terinfeksi virus akan menjadi sangat rapuh sehingga tubuh larva akan mudah pecah bila tersentuh. Kutikula tubuh yang pecah tersebut akan mengeluarkan cairan kental yang berwarna kecoklatan (Embriani, 2014). Sedangkan menurut Bedjo (2012) larva yang terinfeksi NPV menunjukkan gejala yang khas hingga kematiannya, seperti aktivitas makan berkurang atau berhenti, gerakan lamban, integumen berubah warna menjadi buram, tubuh lemas dan lembek. Integumen mudah pecah dan hancur, jika hal ini terjadi tubuh larva akan mengeluarkan cairan berisi polyhedra. Ulat muda (instar I-III) mati dalam 2 hari, sedangkan ulat tua (instar IV-VI) dalam 4-9 hari setelah polihedra tertelan (Bedjo, 2012).

Universitas Sumatera Utara

(23)

BAB III

METODELOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium PT. Hari Sawit Jaya, Kebun Negeri Lama Grup, Labuhan Batu, Sumatera Utara dengan ketingitian tempat

± 25 mdpl dimulai dari bulan Desember 2019 sampai Januari 2020.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah gelas plastik dengan ukuran tinggi 11cm

dan diameter atas 8cm dan bawah 6cm , potongan daun kelapa sawit, virus Sn-NPV dan larva S. nitens yang berukuran kecil, sedang, besar.

Alat yang digunakan adalah kain kasa, gunting, pisau, pulpen, buku, kertas label, kamera, wadah plastik

3.3 Metode Penelitian

Peneltian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 2 faktor yaitu konsentrasi virus Sn-NPV dan ukuran larva S. nitens (kecil, sedang, besar) masing-masing dengan tiga ulangan.

Faktor I : Konsentrasi Setora nitens-Nuclear Polyhedrosis Virus (Sn-NPV) D0 : Kontrol (tanpa virus Sn-NPV)

D1 : Sn-NPV konsentrasi 103 POB/ml D2 : Sn-NPV konsentrasi 104 POB/ml D3 : Sn-NPV konsentrasi 105 POB/ml Faktor II : Ukuran larva S. nitens

B1 : 5 ekor larva kecil (instar 1-2) B2 : 5 ekor larva sedang (instar 3-5) B3 : 5 ekor larva besar (instar 6-8)

(24)

14

Sehingga diperoleh 12 kombinasi perlakuan, yaitu : Jumlah Perlakuan (t) : 12

Jumlah Ulangan (r) : 3 (t-1) (r - 1) ≥ 15 (12 - 1) (r-1) ≥ 15 11r-11 ≥ 15 11r ≥ 15+11 11r ≥ 26 r ≥ 26/11 r ≥ 2,36 = 3

Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini yaitu (Gomez & Gomez 1995):

Yijk =  + i + Aj + Ek + (AE) jk +Eijk Keterangan :

Yijk : Hasil pengamatan yang diperoleh pada perlakuan konsentrasi virus Sn-NPV ke j (j = 1, 2, 3 dan 4) dan ukuran larva S. nitens ke k (k = 0, 1, 2 dan 3) pada blok ke i (i = 1, 2, dan 3).

 : Nilai tengah

i : Pengaruh blok ke i

Aj : Konsentrasi virus Sn-NPV ke j Ek : Ukuran larva S. nitens ke k

(AE)jk : Pengaruh konsentrasi virus Sn-NPV ke j dan ukuran larva S.nitens ke k.

Eijk : Pengaruh error dari perlakuan konsentrasi virus Sn-NPV ke j dan ukuran larva S. nitens ke k pada blok ke i

Universitas Sumatera Utara

(25)

3.4 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Persiapan media penelitian

Media penelitian yang digunakan adalah gelas plastik dengan ukuran tinggi 11cm dan diameter atas 8cm dan bawah 6 cm, potongan kain kasa yang berfungsi sebagai penutup gelas plastik dan sebagai jalur masuknya udara agar larva S. nitens tetap mendapatkan udara yang cukup. Gelas plastik yang digunakan sebanyak 36 buah.

3.4.2 Penyediaan Setora nitens-Nuclear Polyhedrosis Virus (Sn-NPV)

Setora nitens-Nuclear Polyhedrosis Virus (Sn-NPV) yang akan diuji diperoleh langsung dari Laboratorium Biologi Departemen Proteksi Tanaman, Research and Development Centre Asian Agri, PT. Nusa Pusaka Kencana – Bahilang, Tebing Tinggi.

3.4.3 Penyediaan larva S. nitens

Larva S. nitens instar 2,4,6 yang akan diuji diambil (dikutip) langsung dari lapangan di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Hari Sawit Jaya, Kebun Negeri Lama Grup, Labuhan Batu, Sumatera Utara.

Larva S. nitens yang sudah diambil dari lapangan, kemudian dikelompokkan sesuai instar yang sudah di tetapkan dan dipuasakan selama 24 jam sebelum aplikasi Sn-NPV.

3.4.4 Pengenceran konsentrasi virus Sn-NPV

Sn-NPV yang diperoleh dari Laboratorium Biologi Departemen Proteksi Tanaman, Research and Development Centre Asian Agri, PT. Nusa Pusaka Kencana – Bahilang, Tebing Tinggi, berkonsentrasi 1010. Kemudian dilakukan pengenceran konsentrasi 1010 POB/ml menjadi 103 POB/ml, 104 POB/ml dan 105

(26)

16

POB/ml dengan cara memasukkan 1ml Sn-NPV murni di encerkan dengan 9ml aquades ke dalam gelas ukur 10ml, lalu diaduk sampai tercampur rata berulang- ulang sampai mendapatkan konsentrasi yang ditentukan.

3.4.5 Inokulasi Sn-NPV ke potongan daun kelapa sawit

Inokulasi dilakukan dengan menyelupkan potongan daun kelapa sawit berukuran 1cm x 1cm ke dalam cairan Sn-NPV sesuai konsentrasi yang sudah ditentukan selama 15 detik, kemudian dimasukkan 5 potongan daun yang sudah dikontaminasikan oleh Sn-NPV kedalam gelas plastik/media penelitian.

3.4.6 Larva S. nitens dimasukkan ke dalam gelas plastik berisi potongan daun yang sudah di inokulasi Sn-NPV

Larva S. nitens yang telah dikutip dari lapangan dan dipuasakan selama 24 jam, kemudian dimasukkan ke dalam gelas plastik berisi potongan daun yang sudah diberi Sn-NPV dengan konsentrasi yang sudah ditentukan.

Setiap hari selama penelitian berlangsung, pakan larva S. nitens diganti dengan daun kelapa sawit yang segar.

3.5 Peubah Amatan

3.5.1 Waktu Kematian Larva S. nitens

Waktu kematian diperoleh dari perhitung waktu sejak aplikasi Sn-NPV dan inokulasi larva S. nitens pada daun kelapa sawit sampai larva S. nitens terinfeksi dan mati. Pengamatan dilakukan 2 kali sehari pada pukul 08-00 dan 16.00 WIB selama 10 hari berturut-turut.

Universitas Sumatera Utara

(27)

3.5.2 Persentase Mortalitas Larva S. nitens

Pengamatan terhadap larva S. nitens yang mati dilakukan setiap hari, dimulai 1 hari setelah aplikasi. Persentase mortalitas S. nitens dihitung dengan menggunakan rumus : P = x 100%

Keterangan :

P = Persentase mortalitas larva a = Jumlah larva yang mati b = Jumlah larva yang diamati (Patahuddin, 2005).

3.5.3 Gejala infeksi Setora nitens-Nuclear Polyhedrosis Virus (Sn-NPV)

Pengamatan dilakukan 2 kali sehari pada jam 08.00 dan 16.00 WIB.

terhadap larva S. nitens untuk melihat gejala infeksi yang disebabkan oleh Sn-NPV.

(28)

18 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Waktu Kematian larva S. nitens

Hasil pengamatan terhadap waktu kematian berbagai stadia larva S. nitens akibat perlakuan konsentrasi Sn-NPV disajikan pada Tabel 1 dan Lampiran 1.

Tabel 1. Pengaruh konsentrasi Sn-NPV terhadap waktu kematian (jam) pada berbagai stadia larva Setora nitens

Konsentrasi Ukuran Larva

Rataan

B1 B2 B3

D0 47,89 48,53 48,64 48,36 a

D1 30,83 32,43 35,20 32,82 b

D2 28,27 28,80 31,79 29,62 c

D3 23,68 26,35 28,69 26,24 d

Rataan 32,67 c 34,03 b 36,08 a

Keterangan : D0 = Kontrol, D1 = Sn-NPV konsentrasi 103 POB/ml, D2 = Sn-NPV konsentrasi 104 POB/ml, D3 = Sn-NPV konsentrasi 105 POB/ml B1 = Instar 1-2, B2 = Instar 3-5, dan B3 = Instar 6-8. Angka yang diikuti notasi yang tidak sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada perlakuan konsentrasi Sn-NPV (D) berpengaruh nyata terhadap waktu kematian larva S. nitens dari stadia yang berbeda. Diperoleh hasil waktu kematian terlama pada perlakuan D0 (kontrol) yaitu 48,36 jam, lalu meningkat dan berbeda nyata waktu kematiannya pada D1 (Sn-NPV konsentrasi 103 POB/ml) selama 32,82 jam, meningkat dan berbeda nyata pada D2 (Sn-NPV konsentrasi 104 POB/ml) selama 29,62 jam, dan semakin meningkat dan berbeda nyata pada D3 (Sn-NPV konsentrasi 105 POB/ml) selama 26,24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi Sn-NPV (D) maka waktu kematian larva S. nitens semakin cepat. Hal ini sesuai dengan penelitian Hermawan et al. (2009) yang meyatakan bahwa semakin tinggi

Universitas Sumatera Utara

(29)

konsentrasi virus maka penyebaran infeksi virus akan semakin cepat saat virus bereplikasi dalam sel-sel tubuh serangga, hingga akhirnya serangga mati karena sel tubuhnya lisis.

Pada perlakuan ukuran larva S. nitens (B) berpengaruh nyata terhadap waktu kematian larva S. nitens. Diperoleh hasil kematian terlama pada perlakuan B3 (instar 6-8) selama 36,08 jam, meningkat dan berbeda nyata pada B2 (instar 3- 5) selama 34,03 jam, dan semakin meningkat dan berbeda nyata ada B1 (instar 1- 2) selama 32,67 jam. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar ukuran larva S, nitens maka semakin lama kematiannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Bedjo (2012) yang menyatakan bahwa ulat muda (instar I-III) mati dalam 2 hari, sedangkan ulat tua (instar IV-VI) dalam 4-9 hari setelah polihedra tertelan.

Interaksi antara perlakuan konsentrasi virus Sn-NPV (D) dan ukuran larva S. nitens (B) tidak berpengaruh nyata pada parameter waktu kematian larva ulat api S. nitens. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara perlakuan konsentrasi Sn-NPV (D) dan ukuran larva S. nitens (B) dalam mempengaruhi waktu kematian larva S. nitens.

4.2 Persentase Mortalitas Larva Setora nitens

Hasil pengamatan terhadap persentase mortalitas berbagai stadia larva S. nitens akibat perlakuan konsentrasi Sn-NPV disajikan pada Tabel 2 (Lampiran 2 – 12).

(30)

20

Tabel 2. Persentase mortalitas larva Setora nitens dengan konsentrasi Sn-NPV berbeda dan beberapa stadia umur pada 1-10 hsa

Universitas Sumatera Utara

(31)

Keterangan : D0 = Kontrol, D1 = Sn-NPV konsentrasi 103POB/ml, D2 = Sn-NPV konsentrasi 104 POB/ml, D3 = Sn-NPV konsentrasi 105 POB/ml, B1 = Instar 1-2, B2 = Instar 3-5, dan B3 = Instar 6-8. Angka yang diikuti notasi yang tidak sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada perlakuan konsentrasi Sn-NPV (D) berpengaruh nyata terhadap persentase mortalitas larva S. nitens. Perlakuan kontrol (D0) mulai mengalami kematian pada 7 hsa di instar kecil (B1) perlakuan dan pada 9 hsa di intstar sedang dan besar (B2 dan B3). Pada perlakuan Sn-NPV konsentrasi 103 POB/ml (D1) mulai mengalami kematian pada 3 hsa di instar kecil (B1) dan pada 4 hsa di instar sedang dan besar (B2 dan B3). Pada perlakuan Sn-NPV konsentrasi 104 POB/ml (D2) mulai mengalami kematian pada 3 hsa di instar kecil dan sedang (B1 dan B2) dan pada 4 hsa di instar besar (B3). Pada pelakuan Sn-NPV konsentrasi 105 POB/ml (D3) mulai mengalami kematian pada 4 hsa di seluruh instar (B1, B2 dan B3). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi virus (D) maka semakin cepat larva S. nitens mengalami kematian. Hal ini sesuai dengan penelitian Arlita (2014) yang menyatakan bahwa

(32)

22

dalam waktu 1 – 2 hari setelah polihedra tertelan, larva yang terinfeksi akan mengalami gejala abnormal secara morfologis, fisiologis dan perilakunya.

Pada perlakuan kontrol (D0) larva S. nitens mengalami kematian dikarenakan larva S. nitens tidak dapat beradaptasi pada lingkungan baru (wadah gelas plastik) meskipun sudah diberi potongan daun kelapa sawit sebagai makanannya. Pada perlakuan Sn-NPV konsentrasi 103 POB/ml (D1) mortalitas larva mencapai 98%, sedangkan perlakuan Sn-NPV pada konsentrasi 104 POB/ml dan 105 POB/ml (D2 dan D3) mortalitas mencapai 100% pada 10 hsa.

Pada perlakuan ukuran larva S. nitens (B) berpengaruh nyata terhadap persentase kematian larva S. nitens. Persentase terendah diperoleh pada perlakuan instar (B3) sebesar 80%, lalu meningkat pada instar sedang dan kecil (B2 dan B1) sebesar 83%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar ukuran larva S. nitens yang diaplikasikan Sn-NPV maka semakin kecil persentase mortalitasnya.

Interaksi antara perlakuan konsentrasi Sn-NPV (D) dan ukuran larva S. nitens (B) berpengaruh nyata terhadap persentase mortalitas larva S. nitens pada 5 hsa. Hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan D3B1 (Sn-NPV konsentrasi 105 POB/ml dengan instar 1-2) sebesar 67% dan terkecil pada D0B1 (kontrol dengan instar 1-2) 0%. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi virus Sn-NPV konsentrasi 105 POB/ml terhadap instar 1-2 menghasilkan mortalitas tertinggi.

Universitas Sumatera Utara

(33)

4.3 Gejala Infeksi Sn-NPV terhadap Larva S. nitens

Hasil pengamatan terhadap gejala larva S. nitens yang terinfeksi Sn-NPV mulai dari 1 sampai 10 hsa disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Gejala stadia larva Setora nitens yang terinfeksi oleh berbagai perlakuan konsentrasi Sn-NPV

(34)

24

Universitas Sumatera Utara

(35)

Tabel 3 menunjukkan bahwa larva S. nitens yang terinfeksi Sn-NPV baru menunjukkan gejala perubahan warna berkisar 2-4 hsa, kecuali pada perlakuan kontrol (D0) tidak ada yang terinfeksi meskipun pada pengamatan hari ke-7 larva S. nitens ada yang mati dikarenakan larva S. nitens tidak dapat beradaptasi pada lingkungan baru (wadah gelas plastik) meskipun sudah diberi potongan daun kelapa sawit sebagai makanannya.

(36)

26

Pada perlakuan Sn-NPV konsentrasi 103 POB/ml (D1) dan Sn-NPV konsentrasi 104 POB/ml (D2) mulai menunjukkan gejala terinfeksi yaitu perubahan warna kutikula dan respon terhadap makanan sudah berkurang pada 4 hsa diseluruh instar (B1, B2 dan B3) (Gambar 6-9). Pada perlakuan Sn-NPV konsentrasi 105 POB/ml (D3) mulai menunjukkan gejala terinfeksi yaitu perubahan warna kutikula dan respon terhadap makanan yang sudah berkurang pada 3 hsa diseluruh instar (B1, B2 dan B3). Hal ini sesuai dengan penelitian Bedjo (2012), yang menyatakan bahwa larva yang terinfeksi NPV menunjukkan gejala yang khas hingga kematiannya, seperti aktivitas makan berkurang atau berhenti, gerakan lamban, integumen berubah warna menjadi buram, tubuh lemas dan lembek. Integumen mudah pecah dan hancur, jika hal ini terjadi tubuh larva akan mengeluarkan cairan berisi polyhedra dan literatur Embriani (2014) yang menyatakan bahwa Kulit larva yang terinfeksi virus akan menjadi sangat rapuh sehingga tubuh larva akan mudah pecah bila tersentuh. Kulit tubuh yang pecah tersebut akan mengeluarkan cairan kental yang berwarna kecoklatan.

Hasil penelitian ini diperoleh bahwa semakin tinggi konsentrasi Sn-NPV yang diaplikasikan maka semakin cepat larva S. nitens mengalami gejala terinfeksi. Hal ini sesuai dengan penelitian Arlita (2014) yang menyatakan bahwa dalam waktu 1 – 2 hari setelah polihedra tertelan, larva yang terinfeksi akan mengalami gejala abnormal secara morfologis, fisiologis dan perilakunya.

Universitas Sumatera Utara

(37)

Gambar 6. Larva Setora nitens pada perlakuan kontrol yang mati

Gambar 7. Larva Setora nitens mati pada perlakuan D1 (Sn-NPV konsentrasi 103 POB/ml)

Gambar 8. Larva Setora nitens mati pada perlakuan D2 (Sn-NPV konsentrasi 104 POB/ml)

Gambar 9. Larva Setora nitens mati pada perlakuan D3 (Sn-NPV konsentrasi 105 POB/ml)

(38)

28 BAB V KESIMPULAN Kesimpulan

1. Kematian tercepat diperoleh pada perlakuan konsentrasi 105 POB/ml Sn-NPV dalam waktu 26,24 jam dan pada perlakuan stadia larva S. nitens yaitu instar 1-2 dalam waktu 32,67 jam.

2. Perlakuan konsentrasi 104 POB/ml Sn-NPV dapat membunuh larva S. nitens sebesar 100% pada 9 hsa.

3. Larva S. nitens yang terinfeksi Sn-NPV menunjukkan gejala warna kutikula hijau kecoklatan dengan respon makan dan gerakan yang kurang, lalu mati dengan warna kutikula coklat kehitaman.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan di lapangan untuk menguji Sn-NPV konsentrasi 104 POB/ml

Universitas Sumatera Utara

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Arlita, D. I., Hadiastono, T., Martosudiro, M., & Bedjo, B. (2014). Pengaruh Suhu Awal Terhadap Infektivitas Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) JTM 97C Untuk Mengendalikan Crocidolomia binotalis Zell.(Lepidoptera: Pyralidae) Pada Tanaman Kubis (Brassica oleracea var.

capitata L.). J. Hama dan Penyakit Tumbuhan, 2(3), pp-28.

Bedjo. 2012. Pengaruh Konsentrasi HaNPV Terhadap Penekanan Populasi Hama Pemakan Polong Kedelai Helicoverpa armigera. Suara Perlindungan Tanaman. 2(2):6-10.

CAB INTERNATIONAL. 2000. Crop Protection Compendium. Wallingford, UK Cory JS, Green BM, Paul RK, and Hunter-Fujita F. 2005. Genotypic and

phenotypic diversity of a Baculovirus population within an individual insect host J. Invertebr. Pathol. 89: 101-111.

Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019. Statistika Produksi Tanaman Perkebunan Tahun 2019. Jakarta.

Edwards, C. H. dan Penney, D. E.(2008) Elementary Differential Equations Sixth Edition, Pearson Education, Inc., New Jersey.

Embriani. 2014. Manfaat NPV Mengendalikan Ulat Grayak (Spodoptera litura).

http://www.ditjenbun.pertanian.go.id, (Diakses 19 Agustus 2014).

Falalla hudin, I. 2012. Peranan Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina) Dalam Pengendalian Biologis Pada Perkebunan Kelapa sawit. Conference Proceeding Annual International On Islamic Studies (AICISS VII) Program studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah IAIN. Raden Fatah Palembang.

Frey, R dan Sofyan, T. 2012. Petunjuk Teknik Budidaya Kelapa Sawit Ramah Lingkungan Untuk Petani Kecil. Kemitraan PANECO, YEL, ICRAF/World Agroforestry Center. Univ. Syah Kuala-Banda Aceh, Pemerintahan Kabupaten Nagan Raya dan PT. Socfin Indonesia (Socfindo).

Gomez, K.A. & Gomez, A.A. 1995. Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian Edisi Kedua (Endang Sjamsuddin & Justika S. Bahrsjah. Terjemahan).

Jakarta: UI Press.

Hermawan, W. Erawan, E, S. Hadiansyah, C. 2009. Efek Antifeedant Andrografolida Terhadap Aktivitas Kelenjar Pencernaan Ulat Daun Plutella xylostella L: Bionatura.

(40)

30

Herniou EA, Olezewski JA, and Cory JS. 2003. The genome sequence and evolution of baculoviruses. J Annu Rev Entomol. 48:211–234.

doi:10.1146/annurev.ento. 48.091801.112756.

Hidrayani, Rusli R, Lubis YS. 2013. Keanekaragaman Spesies Parasitoid Telur Hama Lepidoptera dan Parasitisasinya pada Beberapa Tanaman di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. J Natur Indo. 15(1): 9-14.

Jehle JA, Lange M, Wang H, Hu Z, Wang Y, and Hauschild R. 2007. Molecular identification and phylogenetic analysis of Baculoviruses from Lepidoptera. J. Virol. 346(1):180–193.

Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der, Penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baruvan Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Infonesie.

Manik, E. B. 2012. Efektifitas Pengendalian Hama Ulat Api (S.asigna) Dengan Metode Fogging di Tanaman Kelapa Sawit di Pusat Penelitian Aek Pancur. Tugas Akhir Stipap Medan.

Moekasan TK. 1998. Biologi SeNPV (Spodoptera exigua Nuclear Polyhedrosis Virus). In : Sastrosiswojo S. and Duriat AS (Eds.) SeNPV Insektisida Mikroba untuk Pengendalian Hama Ulat Bawang, Spodoptera exigua.

Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran., Bandung. pp.3-6.

Murdani, Erwin, Maryani, Lahmuddin dan Priwiratama. 2012. Efikasi Beberapa Formulasi Metarhizium Anisopliae Terhadap Larva Oryctes rhinoceros L.

(Coleoptera: Scarabaeidae) Di Insektarium Alumnus. Jurnal Online Agroekoteknologi.

Pahan, Iyung. 2008. Kelapa sawit. Jakarta : Penebar Swadaya, cetakan VI.

Patahuddin, 2005. Uji Beberapa Konsentrasi dan Resistensi Beauveria bassiana Vuillemin Terhadap Mortalitas Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera : Noctuidae) Pada Tanaman Bawang Merah.

Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2011. EWS: Ulat Api, Ulat Kantong, Ulat Bulu.

Pematang Siantar.

Riyanto. 2008. Potensi Agen Hayati Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) untuk Pengendalian Spodoptera Litura Fabricus. Forum MIPA 12(2):1-10.

Simanjuntak D., T. A. Rozziansha P., Priwiratama H., Sudharto., Sipayung A., Desimer de Chenon R., Prasetyo AE. Dan Susanto A. 2011. Informasi Organisme Pengganggu tanaman Setora nitens Walker. Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Universitas Sumatera Utara

(41)

Susanto, A., Purba R.Y dan Prasteyo A. E. 2010. Hama dan Penyakit Kelapa Sawit Volume 1. PPKS Press, Medan.

Susanto, A., dan Priwiratama, H. 2012, EWS: Ulat Api, Ulat Kantung, Ulat Bulu.

Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Tarigan, B., Syahrial, dan M.U. Tarigan. 2013. Uji Efektifitas Beauveria basianna dan Bacillus thuringiensis terhadap Ulat Api (Setothosea asigna Eeck, Lepidoptera, Limacodidae) di Laboratorium. Jurnal Agroteknologi. 1(4):

139-146.

Untung, K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. hal. 273.

Yustiani VA. 2013. Teknik Formulasi SpltNPV. http://ditjenbun.pertanian.go.id/

(Diakses 19 Agustus 2014).

Gambar

Gambar 1. S. nitens Walker  (Sumber : Susanto et al., 2010)
Gambar 3. Larva S. nitens Walker  (Sumber : Susanto et al., 2010)
Gambar 4. Pupa S. nitens Walker  (Sumber : Falahudin, 2012)
Gambar 5. Imago S. nitens Walker  (Sumber : Simanjuntak et al., 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

39 Ayi Sobarna Strategi Pengembangan Pesantren Mahasiswa sebagai Competitive Advantage Perguruan Tinggi Umum: Studi Kasus pada Universitas Islam Bandung Universitas Islam Bandung

Internet memasuki daerah era baru dengan digunakan WWW atau yang sering disebut World Wide Web (Jaringan Dunia Luas) yaitu sebuah bagian dari internet yang

Organ tersebut berperan penting pada proses absorpsi cairan yang berasal dari  tubulus seminiferus testis, pematangan, penyimpanan dan penyaluran spermatozoa ke  ductus

c) Koordinasi dalam monitoring dan pengawasan umum terhadap bidang perencanaan, pelaksanaan dan pencapaian rencana kerja Sat sabhara yang meliputi

Selain itu susunan bunga simetris, posisi pada tangkai tegak dan kerapatan bunga mekar pada tangkai saling bersentuhan (rapat) yang merupakan tipe ekshibisi modern.

Seksi Pembangunan Masyarakat Kelurahan Seksi Kesejahteraan Sosial Sekretariat Sub Bagian Umum Sub Bagian Kepegawaian Sub Keuangan Seksi Pelayanan Umum Jabatan Fungsional

Dari hasil analisa dan kriteria desain yang dihasilkan, maka kriteria dan konsep permukiman tanggap kebakaran yang sebaiknya dipertimbangkan pada permukiman di Kelayan

MA6281 “Analisis Data dengan Copula” Bab 1: Fungsi distribusi bivariat Bab 2: Data dan volatilitas Bab 3: Konsep Copula.. Ilustrasi Jenis Data Volatilitas