• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA Model Berbasis Agen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA Model Berbasis Agen"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

5 2. TINJAUAN PUSTAKA

Model Berbasis Agen

Pemodelan berbasis agen merupakan sebuah pendekatan baru untuk memodelkan sistem yang terdiri dari agen-agen otonom yang saling berinteraksi. Menurut Axelrod dan Tesfatsion (2005), metode pemodelan berbasis agen memiliki dua sifat yaitu sistem tersusun dari agen-agen yang saling berinteraksi dan sistem menunjukkan kemunculan sifat tertentu yaitu sifat yang timbul dari interaksi agen yang tidak dapat disimpulkan hanya dengan menggabungkan sifat-sifat agen. Menurut Yasik (2009), pemodelan berbasis agen adalah suatu metode yang menggunakan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) untuk mendapatkan pemahaman mengenai suatu sistem dengan membangun agen yang dirancang untuk meniru secara detil atribut dan perilaku agen di alam nyata. Menurut Macal dan North (2005), akar utama pemodelan berbasis agen tersebut terletak di dalam bidang pemodelan human social behavior dan individual decision making. Pemodelan berbasis agen sebenarnya tidak sama dengan simulasi berorientasi objek, walaupun pemodelan berbasis agen memanfaatkan paradigma berorientasi objek sebagai landasan penting untuk pemodelan agen. Sedangkan jika ditinjau secara historis, pemodelan berbasis agen telah memiliki akar yang kuat di dalam bidang Multi-Agen

Systems (MAS) dan robotics dari bidang Artificial Intelligence (AI).

Menurut Wahono (2001), secara prinsip sebuah agen atau agen cerdas adalah sebuah perangkat lunak outonomous yang hidup, aktif, dan mampu beradaptasi secara mandiri, proaktif terhadap setiap kondisi lingkungan yang diciptakannya. Pada hakekatnya karakteristik dan atribut dari agen sebagai berikut:

1. Otonom

Agen dapat melakukan tugas secara mandiri dan tidak dipengaruhi secara langsung oleh user, agen lain ataupun oleh lingkungan. Pencapaian tujuan dalam melakukan tugasnya secara mandiri, agen harus memiliki kemampuan kontrol terhadap setiap aksi yang mereka perbuat, baik aksi ke luar maupun ke dalam

2. Intelligence, Reasoning, dan Learning

Setiap agen harus mempunyai standar minimum untuk bisa disebut agen, yaitu intelegensi. Konsep intelegensia, ada tiga komponen yang harus dimiliki: internal

knowledge base, kemampuan reasoning berdasar pada knowledge base yang

dimiliki, dan kemampuan belajar untuk beradaptasi dalam perubahan lingkungan. 3. Delegatif

Agen bergerak dalam kerangka menjalankan tugas yang diperintahkan oleh user. Fenomena pendelegasian ini adalah karakteristik utama suatu program disebut

agen.

4. Reaktif

Karakteristik agen yang lain adalah kemampuan untuk bisa cepat beradaptasi dengan adanya perubahan informasi yang ada dalam suatu lingkungan. Lingkungan itu bisa mencakup: agen lain, user, adanya informasi dari luar, dan sebagainya.

5. Proaktif dan Berorientasi Tujuan

Agen tidak hanya dituntut bisa beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, tetapi juga harus mengambil inisiatif langkah penyelesaian apa yang harus diambil. Untuk itu agen harus didesain memiliki tujuan yang jelas, dan selalu berorientasi kepada tujuan yang diembannya.

(2)

6

6. Kemampuan koordinasi dan komunikasi

Agen harus memiliki kemampuan berkomunikasi dengan user dan juga agen lain. 7. Mobility dan Stationary

Khusus untuk mobile agent harus memiliki kemampuan yang merupakan karakteristik tertinggi yang dimiliki yaitu mobilitas. Berkebalikan dari hal tersebut adalah stationary agent. Namun demikian keduanya tetap memiliki kemampuan untuk mengirim pesan dan berkomunikasi dengan agen lain. Penggambaran agen terlihat pada Gambar 1.

Agen - atribut - aturan prilaku - memori - sumber

- pengalaman pembuatan keputusan - aturan untuk modifikasi aturan prilaku

Lingkungan

Gambar 1 Agen (Macal dan North,2005)

Pemodelan berbasis agen merupakan metodologi ilmiah ketiga untuk melakukan penelitian ilmiah, sebagai tambahan untuk metodologi ilmiah tradisional yang bertumpu pada proses deduktif dan induktif (Axelrod, 1997). Konsep agen diperkenalkan pertama kali oleh Carl Hewitt (1977) dengan concurrent actor model yang menjelaskan bahwa obyek yang dia sebut actor mempunyai karakteristik

autonomous, interaktif, dan bisa merespon pesan yang datang dari lain obyek sejenis

(Wahono, 2001). Aktor ini kemudian disebut sebagai agen. Konsep ini kemudian berkembang pada tahun 1990 dengan titik fokus pada pemodelan internal agent secara simbolik, interaksi, koordinasi, dan komunikasi antar agen dalam kerangka

multi agent system. Selanjutnya pada tahun 1990 sampai sekarang fokus penelitian

mengarah kepada pengembangan teori agen, arsitektur agen dan bahasa pemrograman yang digunakan dengan knowledge based technology.

Pemodelan menggunakan Sistem Multi Agen telah dilakukan sejak tahun 1996 dengan penggunaan Knowledge Query and Manipulation Language (KQML) untuk pertukaran informasi dan pengetahuan (Barbuceanu, 1996). Sistem Multi Agen tumbuh bersama seiring perkembangan kebutuhan pemodelan dan programming yang memiliki mobilitas tinggi, autonomous, memiliki komponen-komponen program yang loosely coupled, pola kegiatan usaha yang terdistribusi, dan kemampuan untuk mempelajari perilaku strategis dan dinamis (Macal dan North, 2005). Kemudian Sistem Multi Agen berkembang pula sejalan dengan perkembangan sarana dan teknologi kecerdasan buatan. Penggunaan sistem multi agen berkembang tidak hanya pada bidang engineering dan robotics, bahkan berkembang ke bidang ekonomi, dan sosial. Perkembangan penggunaan sistem multi agen karena sifatnya yang memberi keleluasaan bertindak dan berperan kepada aktor sesuai dengan kondisi yang dihadapi dan tujuan yang ingin dicapai. Sistem multi agen memungkinkan kemampuan belajar seperti halnya pendekatan neural network

(3)

7 dengan diberikan kumpulan data untuk dikuasai polanya, kemudian dapat bertindak terhadap data yang dimasukkan kemudian menggunakan prosedur atau logika yang telah diperbaharui.

Happe (2004) melakukan penelitian sistem multi agen dengan mempelajari dan menyusun model berbasis agen dari perilaku para aktor perkebunan dalam perundingan harga dan biaya produk, kebijakan struktural pertanian agar sesuai dengan persyaratan Eropa. Penelitian yang sama dilakukan oleh Fang (2007) menggunakan pendekatan agen untuk pemodelan negosiasi penjual dan pembeli dalam managemen rantai pasok. Pembeli harus bernegosiasi dengan banyak calon pemasok dan harus membagi pesanannya ke beberapa pemasok yang berbeda sesuai dengan hasil negosiasi.

Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa konsep agen mulai banyak digunakan dalam berbagai bidang, mulai sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan. Penelitian North et al. (2002) menggunakan EMCAS, sebuah model simulasi berbasis agen untuk melihat pasar energi listrik di Illinois untuk menyelidiki restrukturisasi pasar, deregulasi dan memahami dampak terhadap pasar yang semakin kompetitif terhadap harga, ketersediaan dan kehandalan energi listrik. Konsep agen juga digunakan penyelesaian permasalahan manajemen rantai pasok dengan menggunakan agen untuk mewakili keanekaragaman peran dan fungsi aktor dalam sistem angkutan, bagaimana mereka berinteraksi melalui pasar dan bagaimana interaksi antara aktor yang ditetapkan di pasar melalui kontrak, biaya logistik, pemilihan jasa pengiriman pihak ketiga, dan jalur sistem baru dalam rantai pasokan dapat disimulasikan beserta skenario kebijakan yang akan diambil. (Roorda et al. 2010). Putro et al. (2009) menggunakan simulasi berbasis agen SOARS (spot

oriented agent role simulator) dalam mensimulasikan interaksi dinamis antara

unggas dengan aktivitas manusia dalam penyebaran flu burung di Bandung. Hasil penelitian berupa kebijakan dalam mengatasi berkembangnya wabah flu burung di Bandung.

Simulasi model berbasis agen SOARS dikenalkan pertama kali oleh Tanuma

et al. (2005) merupakan sebuah bahasa simulasi pemrograman untuk pemodelan

berbasis agen pada ranah sosial dan organisasi. Konsep ini menurut Tanuma digunakan untuk menjembatani kesenjangan antara pendekatan fungsional dan pendekatan dari bawah (bottom up approach). Konsep SOARS dibangun dari dua komponen yaitu agen dan kedudukan agen. Masing masing komponen mempunyai beberapa variabel yang melekat pada masing masing komponen tersebut. Dua komponen dasar tersebut terlihat pada Gambar 2.

(4)

8 Agen Aturan Variabel - Kata kunci - Nilai Numerik - Kumpulan - Daftar - Nilai Kemungkinan - Variabel lokasi - Variabel kelas Lokasi Aturan Variabel - Kata kunci - Nilai Numerik - Kumpulan - Daftar - Nilai Kemungkinan - Variabel lokasi - Variabel kelas Lainnya - Tahapan - Waktu - Formulasi Matematika

Gambar 2 Komponen dasar SOARS (Deguchi, 2006)

Variabel-variabel yang ada pada masing-masing komponen merupakan informasi tentang keadaan agen dan tempat interaksinya, nilai riil yang ada di lapangan, desain akses antar agen dan nilai kemungkinan dari agen dan interaksinya.

Tahapan simulasi model menggunakan SOARS dimulai dengan menentukan waktu kegiatan yang disebut sebagai tahapan (stage). Kemudian membagi setiap tahapan menjadi beberapa tahapan mulai dari mengidentifikasi, memproses dan memutuskan. Pembagian tahapan tersebut bisa menggunakan tahap awal, tahap utama, dan tahap akhir dari sebuah simulasi. Setiap tahapan, agen dan kedudukan agen melaksanakan aktivitas dan berperan aktif, mengikuti beberapa aturan yang telah dibuat dan digunakan. Tahapan pemodelan SOARS dapat dilihat pada Gambar 3.

Langkah langkah Tahap 1 Tahap ke-n Tahap 2 Tahap Aturan Aturan Agen Aturan lokasi perintah Aturan lokasi kondisi kondisi perintah kondisi Aturan lokasi perintah

Aturan Agen Aturan Agen

maka maka maka

jika Lain jika Lain jika

Aturan Aturan Lokasi Aturan Aturan Agen

Gambar 3 Tahapan model SOARS (Deguchi, 2006)

Klaster Minapolitan

Klaster industri merupakan penggabungan berbagai kelompok industri yang kompetitif dimana dalam proses kegiatannya saling terkait baik secara horizontal

(5)

9 maupun vertikal (EDA, 1997). Bappenas (2004) memberi batasan klaster sebagai konsentrasi geografis antara perusahaan yang saling terkait dan bekerjasama dalam hal antara lain pemasok barang, penyedia jasa, industri terkait, serta beberapa institusi pendidikan dan bidang khusus misalnya lembaga standarisasi dan lain lain sebagai pelengkap. Porter (1998) mengemukakan klaster industri sebagai konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan, penyedia jasa pendukung dan berbagai institusi yang mendukung kegiatan sebuah industri.

Klaster industri memiliki beberapa komponen pengisi yang mempunyai peran masing-masing, terdapat industri inti, industri pemasok kepada pelaku industri inti, industri pendukung bagi industri inti, lembaga jasa layanan. Semua kompenen saling berhubungan secara intensif dan membentuk kerja sama antar masing masing komponen. (Bergman dan Feser, 2000).

Pengembangan klaster industri memberikan manfaat ekonomi yang signifikan dan meningkatkan daya saing industri. Beberapa manfaat diantaranya adalah meningkatkan efisiensi dan produktivitas bagi perusahaan dalam sebuah klaster, disertai dengan peningkatan kemampuan inovasi yang melibatkan lembaga penelitian. Manfaat lain adalah klaster memiliki keunggulan dalam memanfaatkan aset sumber daya secara kolektif untuk mendorong diversifikasi produk dan mendorong terjadinya spesialisasi produksi sesuai dengan kompetensi inti serta mendorong transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif (Porter, 1998).

Pendekatan klaster industri dalam mendukung peningkatan daya saing komoditas, tertuang dalam salah satu agenda kebijakan yang merupakan prioritas pembangunan nasional sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2000 dan tetap menjadi agenda utama dalam pengembangan ekonomi lokal dalam Rencana pembangunan jangka Menengah Nasional tahap kedua Tahun 2010 – 2014 (Bappenas, 2008). Program revitalisasi perikanan, konsep klaster industri dapat digunakan dalam meningkatkan peran sektor perikanan dalam pembangunan nasional. Konsep Klaster industri perikanan menekankan keterlibatan dan keterkaitan seluruh stakeholder dalam pengelolaan industri perikanan mulai industri hulu sampai industri hilir. Mereka terdiri dari elemen masyarakat lokal, pemerintah daerah, pihak perguruan tinggi maupun lembaga riset lainnya, investor, dan berbagai stakeholder lainnya yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung.

Minapolitan dalam Renstra Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010-2014 merupakan upaya percepatan pengembangan pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan sebagai berikut:

1. Meningkatkan produksi perikanan, produktivitas usaha, dan meningkatkan kualitas produk kelautan dan perikanan,

2. Meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan yang adil dan merata,

3. Mengembangkan kawasan Minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah dan sentra-sentra produksi perikanan sebagai penggerak ekonomi rakyat. Konsep Minapolitan dikuatkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 18/men/2011 menyatakan Minapolitan adalah konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan komoditas utama produk kelautan dan perikanan. Sebagai adopsi dari Agropolitan, konsep Minapolitan didefinisikan sebagai kawasan perdesaan yang disiapkan, mempunyai kelengkapan sarana dan prasarana dalam menunjang pengembangan kawasan melalui pembentukan titik tumbuh suatu klaster

(6)

10

kegiatan perikanan dengan sistem agribisnis berkelanjutan yang meliputi produksi, pengolahan dan pemasaran, sampai jasa lingkungan sebagai sistem kemitraan di dalam satu wilayah (CPRI, 2010).

Konsep Minapolitan merupakan sebuah konsep pengembangan wilayah yang didasarkan paradigma baru pembangunan berkelanjutan pada pengembangan suatu wilayah. Menurut Djakapermana (2010) pengembangan wilayah dewasa ini didasarkan pada optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki suatu wilayah secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan.

Kawasan Minapolitan ini terdiri dari sentra-sentra produksi, perdagangan komoditas kelautan dan perikanan, jasa, perumahan, serta kegiatan lain yang terkait. Kriteria Minapolitan meliputi wilayah pesisir dan perairan daratan, yang mempunyai wilayah inti dibangunnya agroindustri pengolahan. Industri inti mengelola komoditas unggulan yang dapat mendatangkan manfaat ekonomi, bagi masyarakat maupun perusahaan dan sekaligus memberikan manfaat untuk pengembangan agroindustri secara keseluruhan. Tujuan Minapolitan dalam pedoman umum Minapolitan ditujukan untuk mendorong percepatan pengembangan wilayah melalui kegiatan perikanan sebagai kegiatan utama, meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat hinterland yang dikembangkan. Pengembangan tidak saja on

farm tetapi juga off farm seperti sarana perikanan dan jasa penunjang lainnya.

Konsep Minapolitan dikembangkan melalui prinsip prinsip kerakyatan dan keadilan, keswadayaan, kewirausahaan dan profitabilitas, kemitraan saling memberdayakan dan prinsip keberlanjutan. Pengembangan Minapolitan harus didukung berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat dan daerah, investor, perguruan tinggi dan lembaga riset, masyarakat lokal dan berbagai stakeholder yang terkait secara langsung maupun tidak langsung seperti terlihat pada Gambar 4.

Stakeholder UMKM Ventura LKM Dana Bergulir Bank Pembiayaan Pemasaran Teknologi Perguruan Tinggi Koperasi Petambak Petambak Petambak

Kelompok Petani Ikan / Petambak

Pemberdayaan Masyarakat/ Pendampingan

(7)

11 Konsep pengembangan Minapolitan yang digagas CPRI lebih menekankan bagaimana pemberdayaan kelompok petambak dalam usaha meningkatkan produksi perikanan. Hal ini memang menjadi focus pengembangan, namun demikian hal penting yang perlu menjadi perhatian adalah kelompok pedagang di kawasan Minapolitan yang kurang mendapatkan perhatian dalam skema pengembangan. Kelompok pedagang mempunyai peranan yang penting dalam menyalurkan produksi udang petambak ke agroindustri udang sebagai industri inti dalam kawasan Minapolitan. Pengembangan tanpa memperhatikan keberadaan pedagang tentunya akan mengakibatkan terganggunya sistem rantai pasokan dalam kawasan Minapolitan. Karena itu perlunya perhatian lebih dalam pengembangan Minapolitan, sehingga nantinya diharapkan sistem rantai pasokan dapat berjalan lebih optimal.

Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management)

Menurut Simchi-Levi et al. (2000) manajemen rantai pasok adalah sebuah pendekatan yang dipakai untuk mengintegrasikan aktivitas supplier, pabrikan, pergudangan dan konsumen. Integrasi tersebut agar produk dan jasa yang dihasilkan dapat didistribusikan dengan jumlah, tempat dan waktu yang tepat. Tujuan akhir adalah meminimalkan keseluruhan biaya dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada konsumen. Terdapat tiga jenis aliran dalam sistem rantai pasok yaitu aliran barang, aliran uang dan aliran informasi. Aliran barang berawal dari penghasil barang menuju ke konsumen, aliran uang merupakan kebalikan dari aliran barang yaitu dari konsumen ke penghasil barang. Aliran informasi dalam sistem rantai pasok bisa terjadi dua arah, dari produsen ke konsumen dan sebaliknya. Gambaran aliran dalam sistem rantai pasok ditunjukkan pada Gambar 5.

Konsumen

Tambak Udang

Tambak Udang PedagangPedagang Industri pengolahanIndustri pengolahan PasarPasar

Aliran Informasi

Aliran Kebutuhan / Uang

Aliran Kebutuhan / Uang

Aliran Pasokan

Aliran Pasokan

Gambar 5 Aliran rantai pasok

Salah satu faktor kunci dalam meningkatkan performa sistem rantai pasok adalah aliran informasi tentang produk yang dibutuhkan oleh konsumen. Kecepatan aliran informasi sangat menentukan tingkat efektifitas proses pengadaan barang dan jasa. Pertukaran data dan informasi yang akurat dan cepat hanya bisa difasilitasi oleh penggunaan informasi teknologi yang terintegrasi dari mulai pabrikan, supplier, transporter, sampai dengan konsumen.

Menurut Austin (1981) agroindustri adalah pusat dari rantai pertanian yang penting. Agroindustri membutuhkan pasokan bahan baku yang berkualitas dan

(8)

12

jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Menurut Brown (1994) untuk mendapatkan pasokan bahan baku kualitas maka diperlukan standar dasar komoditas, sedangkan kuantitas pasokan perlu memperhatikan produktivitas tanaman. Setiap perusahaan diposisikan dalam sebuah lapisan jejaring dan keterlibatan minimal satu rantai pasok, sehingga bisa dalam satu waktu terjadi proses pararel dan sekuensial (Vorst, 2004). Gambar 6 merupakan aliran bahan di setiap tingkatan rantai pasok dalam konteks jejaring rantai pasok pertanian menyeluruh.

Gambar 6 Skema rantai pasok pertanian (Vorst, 2004)

Menurut Heizer dan Render (2001), sebuah perusahaan harus memutuskan strategi rantai pasokan dalam memenuhi kebutuhan produksinya. Strategi pertama adalah negosiasi dengan banyak pemasok dan memainkan satu pemasok dengan yang lainnya. Strategi yang kedua adalah mengembangkan hubungan jangka panjang bekerja sama dengan sedikit pemasok yang akan bekerja sama dengan pembeli untuk memuaskan pelanggan akhir. Strategi yang ketiga adalah integrasi vertikal, dimana perusahaan dapat memutuskan untuk menggunakan integrasi vertikal ke belakang dengan membeli pemasoknya. Strategi yang keempat adalah kombinasi beberapa pemasok dan integrasi vertikal, dimana pemasok menjadi bagian koalisi perusahaan. Terakhir, strategi kelima adalah mengembangkan perusahaan-perusahaan maya. Ballou (2004) menambahkan pendekatan yang inovatif dalam strategi rantai pasokan dapat memberikan keunggulan kompetitif pada perusahaan.

Porter (1980) menyatakan bahwa persaingan dapat dipandang sebagai pengelolaan sumberdaya sedemikian rupa sehingga melampaui kinerja kompetitor. Untuk melaksanakannya, perusahaan perlu memiliki keunggulan kompetitif yang merupakan jantung kinerja perusahaan dalam sebuah pasar yang semakin kompetitif. Keunggulan kompetitif akan dapat dicapai bila perusahaan mampu memberikan

customer value yang lebih tinggi dari kompetitor untuk biaya yang sama atau customer value yang sama untuk biaya yang lebih rendah.

Analisa rantai pasok erat kaitannya dengan rantai nilai komoditas. Rantai nilai merupakan sebuah rangkaian kegiatan untuk mengubah bahan baku menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah bagi pelanggan. Analisis rantai nilai sangat bermanfaat untuk menciptakan keunggulan kompetitif dalam kondisi persaingan yang semakin ketat, karena rantai nilai mengidentifikasi hubungan internal dan eksternal sehingga dapat membantu perusahaan dalam mencapai keunggulan biaya

P em an gku Ke pe n ti n gan l ai n n ya Agroindustri Pedagang Besar Pedagang Kecil Petambak

(9)

13 maupun dengan strategi diferensiasi. Jadi esensi analisis rantai nilai adalah menentukan secara tepat dimana segmen perusahaan dalam rantai mulai dari desain sampai dengan distribusi.

Identifikasi sumber-sumber dan potensi keunggulan kompetitif bagi suatu perusahaan, diperlukan suatu alat analisis yang disebut konsep rantai nilai (Porter, 1985). Analisa rantai nilai perusahaan dapat menentukan dan mengidentifikasi hubungan yang terdapat dalam perusahaan, baik hubungan eksternal maupun hubungan internal. Hubungan internal akan menjaga keterkaitan antara aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan sebagai bagian dari rantai nilai, sedangkan hubungan eksternal akan menjaga keterkaitan antara aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dengan pemasok dan konsumennya. Porter (1993) membagi aktivitas-aktivitas kedalam dua kategori. Pertama adalah aktivitas-aktivitas primer, merupakan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan penciptaan fisik produk, penjualan dan distribusin serta layanan purnajual. Aktivitas ini terdiri dari inbound logistics, kegiatan operasi,

outbound logistics, pemasaran dan penjualan serta pelayanan. Kedua adalah aktivitas

pendukung, merupakan aktivitas yang menyediakan dukungan bagi berlangsungnya aktivitas primer. Aktivitas ini terdiri dari pengadaan dan pembelian, pengembangan teknologi, manajemen sumber daya manusia) dan infrastruktur perusahaan.

Agroindustri Udang Berkelanjutan

Keberlanjutan adalah suatu keadaan berkesinambungan dimana kegunaan yang diperoleh dari suatu obyek atau sumberdaya pada masa mendatang tidak berkurang dibandingkan saat ini (Fauzi, 2006). Keberlanjutan merupakan permasalahan yang kompleks karena mencakup berbagai aspek atau dimensi keberlanjutan, seperti dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan (Hall, 2002). Penilaian keberlanjutan yang hanya menitikberatkan pada salah satu dimensi saja ternyata menyebabkan ketimpangan dan berdampak buruk pada dimensi lainnya. Sebagai contoh, kemajuan industri dan pembangunan yang sangat pesat pada pertengahan abad ke-20 dibanyak negara di dunia, telah memberikan keuntungan finansial dan ekonomi yang sangat besar, justru berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan pengurasan sumberdaya alam sehingga berpengaruh buruk terhadap berlangsungnya industri itu sendiri, lingkungan dan sumberdaya yang dirasakan pada tahun 1980-an (Glavic dan Krajnc, 2003).

Soekartawi (2002) menyatakan bahwa keberlanjutan mencakup tiga dimensi yaitu ekonomi, sumberdaya dan sosial. Agroindustri berkelanjutan jika secara ekonomi mempunyai produktivitas dan keuntungan yang dapat ditingkatkan dalam waktu yang relatif lama (nacessary) sehingga dapat mencukupi kebutuhan masa sekarang dan akan datang. Agroindustri berkelanjutan berkaitan dengan terjaganya sumberdaya atas ketersediaan bahan baku yang lestari (sufficient) dan peduli terhadap lingkungan dengan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.

Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung tiga dimensi utama meliputi dimensi ekonomi, ekologi dan sosial. Suatu kawasan pembangunan secara ekonomi berkelanjutan jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan, menghindarkan ketidakseimbangan ekstrim antar sektor yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor primer, sektor sekunder, dan sektor tersier. Dimensi ekologi dapat dikatakan berkelanjutan jika sumberdaya

(10)

14

alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebihan, tidak terjadi pembuangan limbah yang melampaui batas asimilasi lingkungan. Dimensi ekologi pada pemanfaatan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dikatakan berkelanjutan jika diiringi dengan upaya pengembangan bahan subtitusinya secara memadai. Suatu kawasan secara sosial dikatakan berkelanjutan apabila seluruh kebutuhan dasar bagi semua penduduk terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, kesetaraan gender, dan terdapatnya akuntabilitas serta partisipasi politik (Dahuri, 2003).

Konsep keberlanjutan dalam konteks industri, dapat ditetapkan untuk industri sebagai bagian dari strategi bisnis untuk mencapai keberhasilan perusahaan dalam jangka panjang. Terminologi pembangunan berkelanjutan saat ini, semakin berkembang seiring dengan peningkatan kesadaran terhadap arti penting keberlanjutan. Ometto et al. (2007) mengembangkan sistem simbiosis agroindustri gula tebu dengan menggunakan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, prosedur operasional, serta politik dan kelembagaan sebagai upaya meningkatkan keberlanjutan agroindustri gula. Dimensi lingkungan seperti penggunaan energi, air dan limbah, dimensi sosial meliputi persamaan hak, etika perdagangan, dan dimensi ekonomi meliputi keahlian tenaga keja, dan inovasi berbasis pengetahuan digunakan oleh Defra (2006) sebagai langkah untuk strategi keberlanjutan industri pangan.

Komoditas udang Indonesia pernah mencatat masa keemasan sekitar tahun 1980 an, ditandai dengan komoditas udang windu menjadi primadona ekspor yang menyumbang 15 persen dari total ekspor nonmigas. Pada tahun 1985 sampai 1988, misalnya, terjadi kenaikan ekspor udang dari 30.800 ton senilai 202,3 juta dollar AS menjadi 56.552 ton senilai 499,85 juta dollar AS. Produksi udang Indonesia mencapai 410 ribu ton di tahun 2008 dengan total nilai Rp10 triliun. Namun demikian, puncak produksi udang tidak diikuti dengan upaya mempertahankan mutu induk, perbaikan kualitas tambak, dan daya dukung lingkungan sehingga pada tahun 2009 produksi udang nasional sekitar 350 ton, produksi ini menurun dari target yang telah di tetapkan sebesar 540 ton (Nurdjana, 2010).

Penurunan produksi udang mengakibatkan beberapa perusahaan pengolahan udang berhenti beroperasi. Sejak awal tahun 2009, jumlah perusahaan pengolahan udang di Indonesia yang masih beroperasi telah menurun drastis hingga kurang dari 50% dari jumlah semula. Sebagai gambaran di wilayah Sulawesi Selatan pada tahun 2006 terdapat 13 perusahaan pengolahan sedangkan saat ini hanya tersisa 6 perusahaan. Hal yang sama terjadi di wilayah Jawa Timur dimana industri pengolahan yang sebelumnya berjumlah 35 di tahun 2006, saat ini hanya sekitar 16 perusahaan yang masih aktif. Di samping jumlah perusahaan yang berkurang drastis, produksi yang dihasilkan oleh setiap perusahaan pun semakin berkurang sehingga hanya 30-50 % dari kapasitas terpasang. Saat ini sebagian besar industri hanya bisa mengolah 3-5 ton udang per hari atau sekitar 1000 ton per tahun (Ilman, 2010).

Berbagai upaya telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta untuk meningkatkan produksi udang. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mengusahakan jenis udang baru yang dianggap memiliki peluang pasar ekspor, cepat tumbuh dan tahan terhadap penyakit. Adanya udang jenis baru dan budidaya udang dalam tambak intensif dapat meningkatkan harapan peningkatan produksi udang. Hampel dan Winther (1997) menyatakan bahwa budidaya udang di tambak dapat dilakukan dengan beberapa sistem yaitu ekstensif (tradisional), semi intensif dan intensif, bahkan akhir-akhir ini berkembang sistem super intensif.

(11)

15 Perbedaan dari setiap sistem tersebut terletak pada padat penebaran, pola pemberian pakan dan sistem pengelolaan air dan lingkungan.

Hingga saat ini tidak terdapat data resmi yang jelas mengenai luas lahan yang masih aktif beroperasi dan teknologi pengelolaannya. Berdasarkan hasil pemantauan WIIP (Wetlands International Indonesia Programme) ke wilayah-wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi, diperkirakan sekitar 70 persen luasan pertambakan nasional dikelola secara ekstensif. Tambak-tambak ini umumnya tersebar disepanjang pesisir timur Sumatera, pesisir utara Jawa, pesisir Sulawesi selatan, dan pesisir timur Kalimantan. Tambak-tambak dengan teknologi ekstensif menghasilkan panen dalam jumlah yang sangat kecil, antara 10 – 100 kg/ha/musim (Ilman, 2010).

Kelembagaan Permodalan

Lembaga permodalan sering dipandang sebagai kelembagaan pendukung agribisnis yang strategis, mengingat satu kelemahan utama petambak saat ini adalah kurang kuat dalam permodalan karena keterbatasan akses ke lembaga permodalan baik itu akses informasi, tempat dan pengetahuan. Dengan kondisi seperti ini, proses adopsi inovasi teknis berjalan kurang optimal karena ketidakmampuan petambak dalam permodalan.

Kondisi di lapang menunjukkan bahwa pada dasarnya petambak mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menabung, namun petambak tidak mempunyai sistem dan mekanisme yang rapi untuk membangun modal sendiri. Padahal potensi untuk melakukan aktivitas menabung tinggi, terlihat dengan seringnya petambak ikut iuran atau arisan pada komunitas dan acara tertentu. Dengan demikian petambak sebenarnya mempunyai kapasitas untuk menyisihkan hasil usaha mereka.

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) didefiniskan sebagai lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat desa yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal. Saat ini sudah berkembang banyak lembaga keuangan mikro yang dikelola oleh perbankan, pemerintah dan swasta. Banyaknya jenis lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang di Indonesia menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak terjangkau oleh lembaga keuangan formal. Keberadaan lembaga ini telah mengubah dinamika masyarakat dimana lembaga ini telah menumbuhkan minat masyarakat di pedesaan untuk berusaha atau menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil di pedesaan.

Keberadaan lembaga keuangan mikro diharapkan mampu mencakup dua profil sekaligus, yaitu antara institusi sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin tanpa memandang bankable atau tidak, dan institusi komersial yang memperhatikan efisiensi serta efektifitas dalam penyaluran dana keuangannya. Meski berperan sebagai institusi sosial, LKM dapat menjadi institusi komersial dengan cara meminimisasi biaya transaksi dan dengan bantuan kelompok swadaya masyarakat dalam mengkoordinir anggotanya. Faktor kedekatan dengan pihak nasabah dan fleksibilitas aturan, menyebabkan biaya operasional dapat ditekan.

Lembaga keuangan mikro telah lama menjadi sarana yang efektif untuk mengembangkan ekonomi rakyat dan memberdayakan rakyat kecil. Keberadaan LKM tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan modal dan kebutuhan pelayanan keuangan lain bagi ekonomi rakyat yang terbiasa menggunakan metoda dan prosedur sesuai

(12)

16

kebutuhannya. Keuangan mikro merupakan pendekatan terbaik dalam menanggulangi kemiskinan, karena dapat berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan berbagai jasa keuangan, baik untuk kegiatan produktif untuk kegiatan usaha mikro, maupun untuk kegiatan konsumtif keluarga masyarakat miskin tersebut.

Pengembangan LKM diharapkan mampu membantu memecahkan masalah permodalan UMKM yang sebenarnya juga terbentur masalah permodalan. Belum adanya jaringan antara LKM dengan institusi keuangan lainnya menjadi salah satu sebab sulitnya LKM mengembangkan diri. Salah satu pengembangan lembaga permodalan adalah dengan menggabungkan berbagai institusi dalam menopang permodalan dalam LKM, CPRI (2010) mengembangkan model lembaga permodalan yang investasinya merupakan gabungan modal (Blending Financing, Gambar 7) yang dapatkan dari lembaga lembaga permodalan pemerintah seperti PEMP, PNPM, LBDP, perbankkan misalnya KUR Mikro, KKP-E, investor dari perusahaan melalui CSR nya (Corporate

Sosial Responsibility), dan dukungan dana dari masyarakat sebagai pelaku bisnis.

Dukungan dari semua pihak yang terlibat ini diharapkan usaha untuk mengembangkan dan memajukan usaha yang didanai dari lembaga permodalan yang dibentuk dapat tercapai. Berkembangnya usaha nantinya, diharapkan masyarakat merasakan manfaat pembangunan, akan menumbuhkan rasa memiliki pada setiap pembangunan yang ada, sehingga keberlanjutan program pembangunan akan lebih terjamin.

Individu Petani Ikan Kelompok Petani Ikan Koperasi Petani Ikan Lembaga Pendampingan Agroindustri/ Industri BANK CSR Swasta PEMDA PEMP

Kem. Kelautan dan Perikanan LKM

Infrastruktur USAHA MIKRO PERIKANAN

kredit

produk

Capacity building

pembiayaan kredit

Gambar 7 Blending financing (CPRI, 2010)

Pemodelan dan Simulasi

Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Sushill, 1993). Menurut Eriyatno (1999) model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab-akibat. Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah untuk menemukan peubah-peubah yang penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut erat hubungannya dengan pengkajian

(13)

hubungan-17 hubungan yang terdapat diantara peubah-peubah. Formulasi model bertujuan untuk mendapatkan model logis yang dapat merepresentasikan sistem nyata.

Pemodelan merupakan alat uji sistem yang dikembangkan untuk memudahkan mempelajari perilaku suatu sistem. Asyiawati (2002) menjelaskan secara rinci tujuan pemodelan adalah sebagai berikut :

1 Mempelajari gejala-gejala tertentu yang belum ada landasan teorinya. 2 Memecahkan persoalan matematik dari suatu gejala.

3 Mencari hubungan antara dua teori yang tidak berkaitan, dengan menggunakan salah satu teori yang lain atau dengan membuat satu model untuk kedua teori tersebut.

4 Melakukan generalisasi terhadap suatu teori tertentu. 5 Memperjelas teori tentang gejala-gejala tertentu.

6 Mempelajari sistem yang terlampau kecil, terlampau besar atau terlampau berbahaya jika dilakukan eksperimen langsung.

7 Untuk menjembatani kesenjangan antara gagasan yang terlalu abstrak dengan pengamatan nyata atau realitas faktual.

Model dapat dibedakan menjadi banyak katagori, tergantung dari jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian maupun derajat keabstrakannya. Menurut jenisnya model terdiri dari model fisik, diagramatik maupun matematik. Menurut Sushill (1993), pengkatagorian model berdasarkan teknik pemodelannya dapat dikelompokkan atas :

1 Model stokastik, yaitu model yang didasarkan atas teori peluang dan didukung oleh data dan informasi historis yang tidak menentu (uncertainly) untuk melihat peluang di masa mendatang.

2 Model deterministik, yaitu model yang mengasumsikan parameter dari hubungan persamaan ataupun pertidaksamaan secara pasti atau ditentukan untuk melihat tujuan dalam bentuk fungsi matematik.

Model yang telah dibuat kemudian dilakukan simulasi dan validasi. Simulasi dapat diartikan sebagai suatu sistem yang digunakan untuk memecahkan atau menguraikan persoalan-persoalan dalam kehidupan nyata yang penuh dengan ketidakpastian. Simulasi yang dijalankan lebih ditekankan pada pemakaian komputer untuk mendapatkan solusinya (Kakiay, 2004). Sushill (1993) selanjutnya menyatakan bahwa simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut dimasa depan.

Menurut Render dan Stair (1994) simulasi merupakan alat analisis yang secara luas telah banyak digunakan oleh pengambil keputusan dengan berbagai alasan. Simulasi mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut :

1 Simulasi merupakan alat analisis yang efisien dan flekibel.

2 Dapat digunakan untuk menganalisis model-model quantitatif yang kompleks dan rumit yang tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan metode analitik. 3 Menghemat waktu dan sumberdaya karena dilakukan dengan komputer dan

menggunakan model dan tidak berhubungan langsung dengan dunia nyata. 4 Simulasi dapat digunakan untuk melakukan studi pengaruh beberapa variabel

untuk menetapkan yang mana variabel yang paling berpengaruh atau penting. 5 Simulasi memungkinkan penggunaan skenario-skenario yang atraktif sehingga

membantu memberikan alternatif keputusan.

6 Dapat dilakukan berulang-ulang dengan mengubah variabelnya sehingga perilaku sistem pada berbagai keadaan dapat diketahui.

(14)

18

Validasi merupakan penyimpulan apakah model sistem tersebut merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji dimana dapat dihasilkan suatu kesimpulan yang meyakinkan. Validasi merupakan suatu proses yang iteratif yang berupa pengujian-pengujian sebagai proses penyempurnaan model. Hasil validasi akan menimbulkan proses perbaikan dan reformulasi model (Sushill, 1993).

Penelitian Terdahulu dan Posisi Strategis Penelitian Penelitian Terdahulu

Pendekatan berbasis agen telah banyak digunakan dalam beberapa penelitian baik di dalam negeri maupun di luar negeri dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Beberapa kajian penelitian baik bidang sosial, ekonomi dan lingkungan bahkan kemiliteran telah dilakukan. Weidlich, A dan Veit, D (2008) menggunakan pendekatan agen dalam menyelesaikan permasalahan pasar energi listrik yang sangat dinamis dengan keterkaitan berbagai sektor yang komplek. Weidlich, A dan Veit, D mengembangkan apa yang disebut Agent Based

Computational Economic (ACE) dalam mensimulasikan pasar energi listrik dengan

menganalisis struktur pasar dan desain pasar dalam keseluruhan perdagangan energi listrik dengan menggunakan software agen Distributed Artificial Intelligence (DAI) dan Multi-Agent Systems (MAS).

Pendekatan agen digunakan juga dalam Penelitian yang dilakukan oleh Garro dan Russo (2010) dengan menggunakan metode easyABMS dalam menyelesaikan permasalahan logistik menyangkut analisa kebijakan dalam mengelola kendaraan di terminal untuk menanggulangi penumpukan kontainer. Syairudin, et al. (2008) menggunakan pendekatan agen untuk pengembangan model knowledge sharing dalam menjembatani antara industri kecil dan menengah. Hasil penelitian berupa model knowledge sharing yang efektif pada klaster industri kecil dan menengah. Pendekatan agen juga digunakan dalam model simulasi menanggulangi berkembangnya wabah flu burung di Bandung. Hasil simulasi merekomendasikan beberapa kebijakan dalam mengatasi berkembangnya wabah flu burung di Bandung (Putro et al., 2009).

Pendekatan klaster sebagai sebagai sebuah pendekatan yang mampu memberikan manfaat ekonomi yang signifikan dan meningkatkan daya saing industri, telah banyak dilakukan. Dengan kemampuan dalam memanfaatkan aset sumberdaya secara kolektif untuk mendorong diversifikasi, menjadikan pendekatan klaster mampu mendorong transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Mahfud (2004) menggunakan pendekatan klaster untuk pemodelan sistem pengembangan agroindustri minyak atsiri, dimana pengembangan model yang dilakukan mencakup model kelembagaan, model teknologi industri, model kelayakan finansial dan model keseimbangan. Penelitian lain dilakukan oleh Jusar (2006) dengan menggunakan pendekatan klaster untuk model strategi pengembangan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetensi inti dan kelembangaan di daerah kabupaten. Model yang dikembangkan meliputi kompetensi inti, konsentrasi industri, pertumbuhan, kemampuan ekspor, keterkaitan usaha, nilai tambah, strukturisasi sistem dan kinerja klaster. Hasil penelitian ini adalah kemampuan model dalam mengidentifikasi kelompok agroindustri yang berpotensi menjadi klaster unggulan di suatu daerah.

(15)

19 Keberlanjutan merupakan salah satu topik penelitian yang banyak dipilih saat ini terutama berkaitan dengan isu lingkungan. Terminologi pembangunan berkelanjutan semakin berkembang seiring dengan peningkatan kesadaran terhadap arti penting keberlanjutan. Ometto et al. (2007) mengembangkan sistem simbiosis agroindustri gula tebu dengan menggunakan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, prosedur operasional, politik dan kelembagaan sebagai upaya meningkatkan keberlanjutan agroindustri gula. Dimensi lingkungan seperti penggunaan energi, air dan limbah, dimensi sosial meliputi persamaan hak, etika perdagangan, dan dimensi ekonomi meliputi keahlian tenaga keja, dan inovasi berbasis pengetahuan digunakan sebagai langkah untuk strategi keberlanjutan industri pangan (Defra, 2006). Adams dan Ghaly (2007) melakukan sebuah penelitian dengan indikator sistem produksi dan sistem pengolahan sebagai langkah dalam memaksimalkan keberlanjutan industri kopi di Costa Rica.

Posisi Strategis Penelitian

Posisi strategis penelitian merupakan kebaharuan penelitian ini adalah dikembangkannya pemodelan berbasis agen yang dikemas dalam lingkup pendekatan klaster dengan mengakomodasi dimensi-dimensi keberlanjutan dalam mengembangkan konsep Minapolitan. Penelitian ini juga menggunakan análisis sistem dinamik untuk melihat pasokan bahan baku agroindustri udang dalam klaster. Análisis sistem dinamik menghasilkan model dinamik pasokan bahan baku yang diharapkan berguna dalam penentuan strategi peningkatan keberlanjutan pasokan bahan baku agroindsutri udang dalam kawasan Minapolitan bagi pemerintah daerah. Penggunaan pendekatan agen diharapkan terjadi harmonisasi hubungan antar pelaku dan transformasi teknologi untuk meningkatkan kontinuitas dan kualitas produk yang dihasilkan dari masing-masing pelaku. Selain akan terjadi keterbukaan informasi antar pelaku dalam rantai pasok agroindustri udang.

Penggunaan pendekatan klaster dan konsep keberlanjutan akan dihasilkan sebuah model Minapolitan dengan memberikan manfaat ekonomi yang signifikan dan meningkatkan daya saing industri, sehingga mendorong agroindustri lebih kompetitif dan berkelanjutan. Pengembangan kawasan melalui konsep klaster diyakini efektif dalam membangun keunggulan daya saing agroindustri dan pembangunan suatu daerah. Seperti dijelaskan EDA (1997) pengembangan ekonomi berbasis klaster merupakan kunci pengembangan daya saing suatu daerah. Masuknya isu pembangunan berkelanjutan dalam pengembangan suatu wilayah, maka hasil akhir yang didapat adalah sebuah model Agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang berkelanjutan.

Gambar

Gambar 2 Komponen dasar SOARS (Deguchi, 2006)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kasat Reskrim Polres Bengkulu AKP Amsaludin, diketahui bahwa peran polisi pada penyelesaian tindak pidana pencurian dalam keluarga di

penjelasan, aktivitas diskusi dalam perkuliahan 40 % 10 Diharapkan mahasiswa dapat memahami konsep arsitektur system Application Architecture & Model

Hak ekonomi dan budaya ini adalah berkaitan dengan kebutuhan yang bersifat jasmani dan rohani juga perlindungan karya ilmiah, sastra atau seni yang

Berdasarkan hal tersebut dengan hasil observasi dan wawancara yang telah penulis lakukan serta telah dipaparkan di penyajian data, sebenarnya tidak terlihat masalah

Thus, international scheme like Post- Kyoto Protocol, Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD), and the other international scheme is needed to mitigate

Pada proses ini berikan kaptan (dolomite) sebanyak 1- 2.5 ton/ha, berikan kapur ini bersamaan dengan pemberian pupuk kandang. Sedangkan untuk masa pemupukan sebaiknya

Sang Hyang Seri (Persero) perlu mengidentifikasi risiko operasional yang terdapat di dalam unit produksi sehingga nantinya perusahaan dapat melakukan tindakan penanganan

Perbedaan utama antara sistem basis data terpusat dan terdistribusi adalah jika pada sistem basis data terpusat, data ditempatkan di satu lokasi saja dan semua lokasi lain