• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Penggunaan pendekatan atau perspektif yang beragam atas kepemimpinan,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Penggunaan pendekatan atau perspektif yang beragam atas kepemimpinan,"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Kepemimpinan Transformasional

Penggunaan pendekatan atau perspektif yang beragam atas kepemimpinan, selain melahirkan definisi kepemimpinan yang beragam juga melahirkan teori kepemimpinan yang beragam pula. Setiap pendekatan yang digunakan melahirkan berbagai macam teori kepemimpinan. Luthans (2006:638) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sekelompok proses, kepribadian, pemenuhan, perilaku tertentu, persuasi, wewenang, pencapaian tujuan, interaksi, perbedaan peran, inisiasi struktur, dan kombinasi dari dua atau lebih dari hal-hal tersebut. Khuntia dan Suar (2004) menyatakan bahwa semua teori mengenai kepemimpinan menekankan pada tiga gagasan yang dibangun baik secara bersama-sama maupun terpisah yaitu: (1) rasionalitas, perilaku, dan kepribadian pemimpin; (2) rasionalitas, perilaku, dan kepribadian pengikut; dan (3) faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas, iklim organisasi, dan budaya. Menurut Rivai dan Mulyadi (2012:133), kepemimpinan pada dasarnya: melibatkan orang lain, melibatkan distribusi kekuasaan yang tidak merata antara pemimpin dan anggota kelompok, menggerakkan kemampuan dengan menggunakan berbagai bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi tingkah laku bawahan, dan menyangkut nilai. Empat sifat umum yang mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, yaitu: (1)

(2)

kecerdasan, (2) kedewasaan, (3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap hubungan kemanusiaan.

James MacGregor Burns dalam Luthans (2006:653) mengidentifikasikan dua jenis kepemimpinan politis, yaitu transaksional dan transformasional. Kepemimpinan transaksional tradisional mencakup hubungan pertukaran antara pemimpin dan pengikut, tetapi kepemimpinan transformasional lebih mendasarkan pada pergeseran nilai dan kepercayaan pemimpin, serta kebutuhan pengikutnya. Kepemimpinan transaksional adalah resep bagi keadaan seimbang, sedangkan kepemimpinan transformasional membawa keadaan menuju kinerja tinggi pada organisasi yang menghadapi tuntutan pembaruan dan perubahan. Karakteristik dan pendekatan pemimpin transaksional yaitu (Luthans, 2006:654):

1) Penghargaan kontingen, yaitu kontrak pertukaran penghargaan dengan usaha yang dikeluarkan, menjanjikan penghargaan untuk kinerja baik, mengakui pencapaian atau prestasi.

2) Manajemen berdasarkan kekecualian (aktif), yaitu: mengawasi dan mencari pelanggaran terhadap aturan dan standar, mengambil tindakan korektif. 3) Manajemen berdasarkan kekecualian (pasif), yaitu: intervensi hanya jika

standar tidak dipenuhi.

4) Sesuka hati, yaitu: menghindari tanggung jawab, menghindari pengambilan keputusan.

Adapun karakteristik dan pendekatan pemimpin transformasional yaitu (Luthans, 2006:654):

(3)

mendapatkan respek dan kepercayaan.

2) Inspirasi, yaitu: mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan simbol- simbol untuk memfokuskan usaha, mengekspresikan tujuan penting dalam cara yang sederhana.

3) Stimulasi intelektual, yaitu: menunjukkan inteligensi, rasional, pemecahan masalah secara hati-hati.

4) Memperhatikan individu, yaitu: menunjukkan perhatian terhadap pribadi, memperlakukan karyawan secara individual, melatih, menasehati.

Hughes et al. (2012:542) mengemukakan bahwa pemimpin

transformasional memiliki visi, keahlian retorika, dan pengelolaan kesan yang baik dan menggunakannya untuk mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan pengikutnya. Pemimpin transformasional diyakini lebih berhasil dalam mendorong perubahan organisasi karena tergugahnya emosi pengikut serta kesediaan mereka untuk bekerja mewujudkan visi sang pemimpin. Sementara itu, pemimpin transaksional tidak memiliki sifat pemimpin tadi, maupun mampu mengembangkan ikatan emosi yang kuat dengan pengikutnya ataupun menginspirasi pengikut untuk melakukan lebih dari yang mereka pikir bisa. Pemimpin transaksional diyakini memotivasi pengikut dengan cara menetapkan tujuan dan menjanjikan imbalan bagi kinerja yang baik. Kepemimpinan transaksional hanya melanggengkan status quo, penggunaan imbalan oleh pemimpin tidak menghasilkan perubahan jangka panjang seperti pada kepemimpinan transformasional. Luthans (2006:654) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional lebih sering memakai taktik legitimasi dan

(4)

melahirkan tingkat identifikasi dan internalisasi yang lebih tinggi, memiliki kinerja yang lebih baik, dan mengembangkan pengikutnya.

Menurut Robbins dan Judge (2008:91), kepemimpinan transformasional lebih unggul daripada kepemimpinan transaksional, dan menghasilkan tingkat upaya dan kinerja para pengikut yang melampaui apa yang bisa dicapai kalau pemimpin hanya menerapkan pendekatan transaksional.

Berdasarkan kajian kepemimpinan tersebut, tulisan ini akan membahas mengenai kepemimpinan berdasarkan pendekatan transformasional. Pendekatan transformasional merupakan pendekatan atau perspektif yang paling populer yang digunakan dalam mempelajari kepemimpinan pada saat ini, serta dipandang sesuai dengan obyek yang akan diteliti.

Antonakis et al. (2003) mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai sebuah perilaku yang bersifat proaktif, meningkatkan perhatian atas kepentingan bersama kepada para pengikut, dan membantu para pengikut mencapai tujuan pada tingkatan yang paling tinggi. Khuntia dan Suar (2004) menekankan bahwa dalam kepemimpinan transformasional, pemimpin merubah kepercayaan, nilai, dan perilaku para pengikut sehingga konsisten dengan visi organisasi. Khuntia dan Suar (2004) menegaskan bahwa pemimpin yang menerapkan kepemimpinan transformasional memberikan pengaruhnya kepada para pengikut dengan melibatkan pengikutnya berpartisipasi dalam penentuan tujuan, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan memberikan umpan balik melalui pelatihan, pengarahan, konsultasi, bimbingan, dan pemantauan atas tugas yang diberikan. Pemimpinan

(5)

transformasional adalah pemimpin yang mendorong para pengikutnya untuk merubah motif, kepercayaaan, nilai, dan kemampuan sehingga minat dan tujuan pribadi dari para pengikut dapat selaras dengan visi dan tujuan organisasi Goodwin et al., 2001).

Krishnan (2005) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional merubah dan memperluas minat para pengikutnya, dan menghasilkan kesadaran akan penerimaan tujuan dan misi bersama. Nguni (2005) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional memerlukan peningkatan level motivasi dari para pengikut melebihi nilai yang dipertukarkan dan melebihi dari apa yang diharapkan oleh para pengikut, dengan demikian para pengikut dapat mencapai kinerja pada level yang lebih tinggi dan terwujudnya aktualisasi diri. Karakteristik penting dari kepemimpinan transformasional meliputi: (a) menantang status quo, (b) terlibat dalam pembuatan visi untuk masa depan organisasi, dan (c) mempromosikan perubahan yang tepat dalam nilai-nilai, sikap dan perilaku pengikut dengan menggunakan taktik dan strategi pemberdayaan.

Asgari et al. (2008) menyatakan bahwa pemimpin transformasional memotivasi para pengikutnya dengan mengajak para pengikutnya untuk menginternalisasi dan memprioritaskan kepentingan bersama yang lebih besar di atas kepentingan pribadi. Yukl (2010:320) mengemukakan bahwa para pemimpin transformasional membuat para pengikut menjadi lebih menyadari kepentingan dan nilai dari pekerjaan dan membujuk pengikut untuk tidak mendahulukan kepentingan diri sendiri demi organisasi. Para pemimpin mengembangkan keterampilan dan keyakinan pengikut untuk menyiapkan mereka mendapatkan tanggung jawab yang lebih banyak dalam sebuah organisasi yang memberikan

(6)

wewenang. Para pemimpin memberikan dukungan dan dorongan saat diperlukan untuk mempertahankan antusiasme dan upaya menghadapi halangan, kesulitan dan kelelahan. Dengan kepemimpinan transformasional, para pengikut merasakan kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap pemimpin, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang awalnya diharapkan dari mereka.

Para pemimpin transformasional yang sesungguhnya yakni ketika mereka memberikan kesadaran tentang apa itu benar, baik, indah, ketika mereka membantu meninggikan kebutuhan dari para bawahan dalam mencapai apa yang diinginkan dan dalam mencapai aktualisasi, para pemimpin membantu dalam mencapai tingkat kedewasaan moral yang lebih tinggi, dan ketika para pemimpin itu mampu menggerakkan para bawahannya untuk melepaskan kepentingan diri mereka sendiri untuk kebaikan group, organisasi, maupun masyarakat (Sopiah, 2008:295). Rivai dan Mulyadi (2012:132) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dengan apa yang sesungguhnya diharapkan bawahan itu dengan meningkatkan nilai tugas, dengan mendorong bawahan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi kepentingan organisasi yang dibarengi dengan menaikkan tingkat kebutuhan bawahan ke tingkat yang lebih baik.

Menurut Robbins dan Judge (2008:90), pemimpin transformasional adalah pemimpin yang menginspirasi para pengikutnya untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi mereka demi kebaikan organisasi dan mereka mampu memiliki pengaruh yang luar biasa pada diri para pengikutnya. Mereka menaruh perhatian terhadap kebutuhan pengembangan diri para pengikutnya, mengubah

(7)

kesadaran para pengikut atas isu-isu yang ada dengan cara membantu orang lain memandang masalah lama dengan cara yang baru, serta mampu menyenangkan hati dan menginspirasi para pengikutnya untuk bekerja keras guna mencapai tujuan-tujuan bersama. Luthans (2006:653-654) menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional yang efektif memiliki karakter sebagai berikut.

1) Mereka mengidenditifikasi dirinya sebagai alat perubahan 2) Mereka berani

3) Mereka mempercayai orang 4) Mereka motor penggerak nilai 5) Mereka pembelajar sepanjang masa

6) Mereka memiliki kemampuan menghadapi kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian

7) Mereka visioner

Yukl (2010:316-319) mengemukakan beberapa pedoman bagi para pemimpin yang berusaha untuk menginspirasikan dan memotivasi pengikut, yaitu: 1) Menyatakan visi yang jelas dan menarik

Para pemimpin transformasional memperkuat visi yang ada atau membangun komitmen terhadap sebuah visi baru. Sebuah visi yang jelas mengenai apa yang dapat dicapai organisasi atau akan jadi apakah sebuah organisasi itu akan membantu orang untuk memahami tujuan, sasaran dan prioritas dari organisasi.

(8)

Tidaklah cukup hanya menyampaikan sebuah visi yang menarik, pemimpin juga harus meyakinkan para pengikut bahwa visi itu memungkinkan.

Amatlah penting untuk membuat hubungan yang jelas antara visi itu dengan sebuah strategi yang dapat dipercaya untuk mencapainya. Hubungan ini lebih mudah dibangun jika strateginya memiliki beberapa tema jelas yang relevan dengan nilai bersama dari para anggota organisasi.

3) Bertindak secara rahasia dan optimis

Para pengikut tidak akan meyakini sebuah visi kecuali jika pemimpinnya memperlihatkan keyakinan diri dan pendirian. Pemimpin harus tetap optimis tentang kemungkinan keberhasilan organisasi dalam mencapai visinya, khususnya dalam menghadapi halangan dan kemunduran sementara. Keyakinan dan optimisme seorang pemimpin dapat amat menular. Keyakinan diperlihatkan baik dalam perkataan maupun tindakan.

4) Memperlihatkan keyakinan terhadap pengikut

Pengikut akan memiliki kinerja yang lebih baik saat pemimpinnya memiliki harapan yang tinggi bagi mereka dan memperlihatkan keyakinan terhadap mereka.

5) Menggunakan tindakan dramatis dan simbolis untuk menekankan nilai-nilai penting

Tindakan dramatis dengan perilaku kepemimpinan yang konsisten dengan visi organisasi merupakan cara efektif untuk menekankan nilai penting. Tindakan simbolis untuk mencapai sebuah sasaran penting atau mempertahankan sebuah nilai penting akan memberikan pengaruh saat pemimpin itu membuat

(9)

resiko kerugian pribadi yang cukup besar, membuat pengorbanan diri, atau melakukan hal-hal yang tidak konvensional.

6) Memimpin dengan memberikan contoh

Salah satu cara seorang pemimpin mempengaruhi komitmen bawahan adalah dengan menetapkan sebuah contoh dari perilaku yang dapat dijadikan contoh dalam interaksi keseharian dengan bawahan. Seorang pemimpin yang meminta bawahan untuk membuat pengorbanan khusus harus menetapkan sebuah contoh dengan melakukan hal yang sama. Nilai-nilai yang menyertai seorang pemimpin harus diperlihatkan dalam perilakunya sehari-hari, dan harus dilakukan secara konsisten bukan hanya saat diperlukan.

7) Memberikan kewenangan kepada orang-orang untuk mencapai visi itu Pemimpin mendelegasikan kewenangan kepada bawahan untuk keputusan tentang bagaimana melakukan pekerjaan. Ini berarti pemimpin meminta bawahan untuk menentukan sendiri cara terbaik untuk menerapkan strategi atau mencapai sasaran.

Menurut Robbins dan Judge (2008:91) dan Cavazotte (2012), terdapat empat komponen kepemimpinan transformasional, yaitu:

1) Idealized Influence (Pengaruh Ideal)

Idealized influence adalah perilaku pemimpin yang memberikan visi dan misi, memunculkan rasa bangga, serta mendapatkan respek dan kepercayaan bawahan. Idealized influence disebut juga sebagai pemimpin yang kharismatik, dimana pengikut memiliki keyakinan yang mendalam pada pemimpinnya, merasa bangga bisa bekerja dengan pemimpinnya, dan

(10)

mempercayai kapasitas pemimpinnya dalam mengatasi setiap permasalahan. 2) Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional)

Inspirational motivation adalah perilaku pemimpin yang mampu mengkomunikasikan harapan yang tinggi, menyampaikan visi bersama secara menarik dengan menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan upaya bawahan, dan menginspirasi bawahan untuk mencapai tujuan yang menghasilkan kemajuan penting bagi organisasi.

3) Intellectual Stimulation (Stimulasi Intelektual)

Intellectual stimulation adalah perilaku pemimpin yang mampu meningkatkan kecerdasan bawahan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi mereka, meningkatkan rasionalitas, dan pemecahan masalah secara cermat.

4) Individualized Consideration (Pertimbangan Individual)

Individualized consideration adalah perilaku pemimpin yang memberikan perhatian pribadi, memperlakukan masing-masing bawahan secara individual sebagai seorang individu dengan kebutuhan, kemampuan, dan aspirasi yang berbeda, serta melatih dan memberikan saran. Individualized consideration dari kepemimpinan transformasional memperlakukan masing-masing bawahan sebagai individu serta memonitor dan menumbuhkan peluang.

2.1.2 Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting (Luthans, 2006:243). Rivai dan Mulyadi (2012:246) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah penilaian dari

(11)

pekerja tentang seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.

Menurut Porter (1961) dalam Ardana dkk. (2008:23), kepuasan kerja adalah selisih dari sesuatu yang seharusnya ada dengan sesuatu yang sesungguhnya ada (faktual). Semakin kecil selisih kondisi yang seharusnya ada dengan kondisi yang sesungguhnya ada (faktual), seseorang cenderung merasa semakin puas. Garboua dan Montmarquette (2004) menyatakan bahwa kepuasan kerja menggambarkan perasaan pekerja yang didasari atas pengalaman kerjanya. Gibson et al. (2009:152) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap para pekerja mengenai pekerjaannya yang dihasilkan dari persepsi mereka terhadap pekerjaannya berdasarkan faktor-faktor yang terdapat dalam lingkungan kerja seperti gaya penyelia, kebijakan dan prosedur, afiliasi kelompok kerja, kondisi kerja, dan manfaat lainnya bagi pekerja.

Robbins dan Judge (2008:107) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Dalam konsep tersebut, pekerjaan seseorang lebih dari sekedar aktivitas mengatur kertas, menulis kode program, menunggu pelanggan, atau mengendarai sebuah truk. Setiap pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan kerja dan atasan-atasan, mengikuti peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan organisasional, memenuhi standar-standar kinerja, menerima kondisi-kondisi kerja yang kurang ideal, dan lain-lain. Ini berarti bahwa penilaian seorang karyawan tentang seberapa ia merasa puas atau tidak puas dengan pekerjaan merupakan penyajian yang rumit dari sejumlah

(12)

elemen pekerjaan yang berlainan. Luthans (2006:243) menyatakan terdapat tiga dimensi kepuasan kerja, yaitu:

1) Kepuasan kerja merupakan respons emosional terhadap situasi dan kondisi kerja. Dengan demikian, kepuasan kerja dapat dilihat dan dapat diduga. 2) Kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai

memenuhi atau melampaui harapan. Misalnya, jika anggota organisasi merasa bahwa mereka bekerja terlalu keras daripada yang lain dalam departemen, tetapi menerima penghargaan lebih sedikit, maka mereka mungkin akan memiliki sikap negatif terhadap pekerjaan, pimpinan, atau rekan kerja mereka. Sebaliknya, jika mereka merasa bahwa mereka diperlakukan dengan baik dan dibayar dengan pantas, maka mereka mungkin akan memiliki sikap positif terhadap pekerjaan mereka.

3) Kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan.

Lebih lanjut, Luthans (2006:243) mengemukakan bahwa karyawan yang tingkat kepuasannya tinggi cenderung memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, mempelajari tugas yang berhubungan dengan pekerjaan baru dengan lebih cepat, memiliki sedikit kecelakaan kerja, mengajukan lebih sedikit keluhan, meningkatkan kinerja, mengurangi pergantian karyawan dan ketidakhadiran. Cara-cara untuk meningkatkan kepuasan kerja, diantaranya: 1) Membuat pekerjaan menjadi menyenangkan

2) Memiliki gaji, benefit, dan kesempatan promosi yang adil

3) Menyesuaikan orang dengan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahlian mereka

(13)

4) Mendesain pekerjaan agar menarik dan menyenangkan

Hughes et al. (2012:337) menyatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan sikap seseorang mengenai kerja, dan ada beberapa alasan yang membuat kepuasan kerja merupakan konsep yang penting bagi pemimpin. Penelitian menunjukkan pekerja yang puas lebih cenderung bertahan bekerja untuk organisasi. Pekerja yang puas juga cenderung terlibat dalam perilaku organisasi yang melampaui deskripsi tugas dan peran mereka, serta membantu mengurangi beban kerja dan tingkat stres anggota lain dalam organisasi. Pekerja yang tidak puas cenderung bersikap menentang dalam hubungannya dengan kepemimpinan dan terlibat dalam berbagai perilaku yang kontraproduktif. Ketidakpuasan juga alasan utama seseorang meninggalkan organisasi.

Castillo dan Cano (2004) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan kepuasan dan ketidakpuasan kerja, yaitu:

1) Pengakuan (recognition)

Tindakan berupa pujian ataupun sikap menyalahkan yang disampaikan oleh atasan, rekan sejawat, manajemen, klien, dan atau masyarakat umum.

2) Pencapaian (achievement)

Segala upaya yang dilakukan untuk meraih keberhasilan termasuk mengambil sikap atas kegagalan yang terjadi.

3) Kesempatan berkembang (possibility of growth)

Adanya kesempatan untuk berkembang yang tercermin dari perubahan status.

(14)

4) Kemajuan (advancement)

Perubahan nyata yang terjadi pada status pekerjaan. 5) Gaji (salary)

Konsekuensi dari kompensasi yang memainkan peran utama. 6) Hubungan antar pribadi (interpersonal relations)

Hubungan yang terjalin antara atasan, bawahan, dan rekan sejawat. 7) Pengawasan (supervision)

Kemampuan pengawas dalam mendelegasikan tanggung jawab dan membimbing bawahan.

8) Tanggung jawab (responsibility)

Kepuasan yang timbul berasal dari adanya kendali dan tanggung jawab yang diberikan dalam suatu pekerjaan.

9) Administrasi dan kebijakan (policy and administration)

Tindakan dimana beberapa aspek atau secara keseluruhan berdampak pada kepuasan kerja.

10) Kondisi kerja (working condition)

Berhubungan dengan kondisi kerja secara fisik seperti fasilitas kerja dan kualitas pekerjaan.

11) Pekerjaan itu sendiri (work it self)

Kinerja pekerjaan secara nyata yang berhubungan dengan kepuasan kerja. Schleicher et al. (2004); Luthans (2006:243); Robbins dan Judge (2008:108);

Azeem (2010) mengungkapkan bahwa terdapat lima komponen kepuasan kerja, yaitu:

(15)

1) Pembayaran (Pay)

Sejumlah upah yang diterima dan tingkat di mana hal ini bisa dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi. Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah bagi setiap pegawai dimana para pegawai mengharapkan pembayaran yang diterima sesuai dengan beban kerja yang mereka dapatkan. Selain itu para pegawai membandingkan apakah dengan beban kerja yang sama, para pegawai tersebut mendapatkan gaji yang sama atau berbeda. Hal ini mempengaruhi kepuasan yang mereka rasakan.

2) Pekerjaan (Job)

Pekerjaan yang diberikan dianggap menarik, memberikan kesempatan untuk pembelajaran bagi pegawai serta kesempatan untuk menerima tanggung jawab atas pekerjaan. Pegawai akan merasa senang dan tertantang bila diberikan pekerjaan yang dapat membuat mereka mengerahkan semua kemampuannya. Sementara apabila beban dan tantangan pekerjaan yang diberikan jauh dibawah kemampuan yang mereka miliki, para pegawai cenderung merasa bosan. Akan tetapi apabila diberikan beban kerja dan tanggung jawab lebih besar, kemungkinan timbul rasa frustrasi sebagai akibat dari kegagalan pegawai dalam memenuhi tuntutan kerja yang telah diberikan oleh organisasi. 3) Kesempatan promosi (Promotion opportunities)

Adanya kesempatan bagi pegawai untuk maju dan berkembang dalam organisasi, misalnya: kesempatan untuk mendapatkan promosi, penghargaan, kenaikan pangkat serta pengembangan individu. Hal ini terkait dengan pengembangan diri setiap pegawai. Pegawai memiliki keinginan untuk terus maju

(16)

puas apabila organisasi memberikan kesempatan untuk berkembang dan mendapatkan promosi ke jenjang yang lebih tinggi.

4) Atasan (Supervisor)

Kemampuan atasan untuk menunjukkan minat dan perhatian tentang pegawai, memberikan bantuan teknis, serta peran atasan dalam memperlakukan pegawai mempengaruhi perilaku pegawai dalam pekerjaannya sehari-hari. Selain itu atasan dituntut memiliki kemampuan dalam melakukan pengambilan keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak kepada para bawahannya.

5) Rekan kerja (Co-workers)

Sejauh mana rekan kerja pandai secara teknis, bersahabat, dan saling mendukung dalam lingkungan kerja. Peranan rekan kerja dalam interaksi yang terjalin diantara pegawai mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan pegawai. Perselisihan yang timbul diantara sesama pegawai meskipun bersifat sepele dapat mempengaruhi perilaku pegawai dalam pekerjaannya sehari-hari.

Dalam mengukur kepuasan kerja, salah satu alat ukur yang digunakan adalah dengan menggunakan Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ) yang dikembangkan oleh Weiss et al. (1967) dalam Sopiah (2008) dan dalam Nguni (2005). MSQ short form ini terdiri dari beberapa pertanyaan yang digunakan untuk mengukur komponen-komponen dalam kepuasan kerja. Aspek-aspek yang diukur

(17)

sehingga dapat memberikan gambaran komponen-komponen mana yang mengalami kepuasan dan ketidakpuasan.

2.1.3 Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Huang (2012) mengemukakan tiga kategori perilaku pekerja, yaitu: (1) berpartisipasi, terikat dan berada dalam suatu organisasi; (2) harus menyelesaikan suatu pekerjaan dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh organisasi; serta (3) melakukan aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi persepsi perannya dalam organisasi. Kategori terakhirlah yang sering disebut sebagai organizational citizenship behavior (OCB) atau the extra-role behavior (Huang, 2012).

Robbins dan Judge (2008:40) mendefinisikan OCB sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Shweta dan Srirang (2009) menyatakan bahwa OCB ditandai dengan usaha dalam bentuk apapun yang dilakukan berdasarkan kebijaksanaan pegawai yang memberikan manfaat bagi organisasi tanpa mengharapkan imbalan apapun.

Kumar et al. (2009) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang memberikan kontribusi pada terciptanya efektifitas organisasi dan tidak berkaitan langsung dengan sistem reward organisasi. Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa OCB merupakan:

1) Perilaku bebas pekerja yang tidak diharapkan maupun diperlukan, oleh karena itu organisasi tidak dapat memberikan penghargaan atas munculnya perilaku tersebut ataupun memberikan hukuman atas ketiadaan

(18)

perilaku tersebut.

2) Perilaku individu yang memberikan manfaat bagi organisasi akan tetapi tidak secara langsung maupun eksplisit diakui dalam sistem penghargaan formal organisasi.

3) Perilaku yang bergantung pada setiap individu untuk memunculkan ataupun menghilangkan perilaku tersebut dalam lingkungan kerja.

4) Perilaku yang berdampak pada terciptanya efektifitas dan efisiensi kerja tim dan organisasi, sehingga memberikan kontribusi bagi produktifitas organisasi secara keseluruhan.

Organ et al. (2006:8) menggambarkan OCB sebagai perilaku individual yang bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan (agregat) meningkatkan efisiensi dan efektifitas fungsi-fungsi organisasi. Bersifat bebas dan sukarela, karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau deskripsi jabatan yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi, melainkan sebagai pilihan personal. Organ et al. (2006:8-10) menguraikan definisi tersebut ke dalam beberapa poin sebagai berikut:

1) Perilaku individu yang bebas.

Maksudnya adalah bahwa perilaku tertentu yang dimunculkan dalam konteks tertentu bukan merupakan persyaratan mutlak yang tercantum dalam deskripsi pekerjaan yang harus dijalankan oleh seorang individu. Hal ini menyebabkan setiap individu memiliki pilihan secara bebas, apakah akan memunculkan OCB atau tidak, karena seseorang tidak akan dihukum karena tidak

(19)

mempraktekkan perilaku tersebut.

2) Tidak secara langsung dan eksplisit diakui oleh sistem penghargaan formal.

Beberapa pekerjaan mencantumkan standar minimal seperti pengalaman, pengetahuan, dan kompetensi untuk memenuhi tanggung jawab pekerjaan secara tertulis. Ketika berbagai tuntutan tersebut dicantumkan dalam deskripsi pekerjaan, atau kontrak kerja, maka perilaku yang timbul dalam rangka memenuhi kewajiban tersebut bukanlah merupakan OCB. Dalam hal ini bukan berarti perilaku yang termasuk OCB tidak akan mendapatkan penghargaan sama sekali. Sebagai contoh ketika seseorang menunjukkan OCB, perilaku yang dimunculkan tersebut dapat merubah pandangan rekan kerja serta atasan dalam mempertimbangkan orang tersebut untuk direkomendasikan agar diberikan kesempatan pekerjaan dengan tanggung jawab lebih besar, diusulkan oleh atasannya untuk dinaikkan gajinya, atau direkomendasikan oleh rekan kerja dan atasannya untuk mendapatkan promosi jabatan. Organ et al. menyatakan bahwa perbedaan penting yang mendasari pemberian imbalan atau penghargaan yang diberikan tersebut tidak ditetapkan dalam kontrak kerja atau tidak terdapat dalam kebijakan dan prosedur formal organisasi. Pemberian imbalan tersebut bersifat alamiah dan terdapat ketidakpastian dari segi waktu dan cara mendapatkan imbalan tersebut.

3) Secara bersama-sama mendorong fungsi efisiensi dan efektifitas organisasi. Pengertian secara bersama-sama mengandung maksud bahwa OCB muncul pada setiap individu, pada kelompok, hingga pada tingkatan organisasi secara

(20)

luas. Organ et al. mengungkapkan bahwa beberapa penelitian mengenai OCB secara umum telah dikaitkan dengan indikator efisiensi dan efektivitas pada organisasi seperti efisiensi operasi, kepuasan pelanggan, kinerja keuangan, dan pertumbuhan pendapatan.

OCB sangat penting artinya untuk menunjang keefektifan fungsi-fungsi organisasi, terutama dalam jangka panjang. Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB mempengaruhi keefektifan organisasi karena beberapa alasan: (1) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas rekan kerja; (2) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial; (3) OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumber daya organisasi untuk tujuan-tujuan produktif; (4) OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumber daya organisasi secara umum untuk tujuan-tujuan pemeliharaan karyawan; (5) OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-aktivitas koordinasi antar anggota-anggota tim dan antar kelompok-kelompok kerja; (6) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan sumber daya manusia yang handal; (7) OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi; (8) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi secara lebih efektif terhadap perubahan-perubahan lingkungannya.

Shweta dan Srirang (2010) mengemukakan bahwa konsep OCB pertama kali diperkenalkan oleh Smith, Organ, dan Near pada tahun 1983 yang menggambarkan OCB dalam dua komponen yaitu altruism dan generalized compliance (bentuk lain dari conscientiousness). Kemudian Organ pada tahun 1988 menambahkan sportsmanship, courtesy, dan civic virtue sebagai

(21)

komponen lain pada OCB disamping altruism dan generalized compliance. Williams dan Anderson (1991) mengelompokkan OCB dalam dua kategori yang berbeda yaitu: OCBI – perilaku yang mengarah pada individu dalam organisasi, terdiri dari altruism dan courtesy; dan OCBO – perilaku yang mengarah pada peningkatan efektivitas organisasi, terdiri dari conscientiousness, sportsmanship dan civic virtue. Dalam penelitian ini, komponen OCB yang digunakan merupakan komponen yang dikemukakan oleh Konovsky dan Organ (1996); Jahangir et al. (2004); Organ et al. (2006:22); DiPaola dan Neves (2009); Ahmed et al. (2012), Chiang dan Hsieh (2012), yaitu:

1) Altruism

Altruism adalah perilaku berinisiatif untuk membantu atau menolong rekan kerja dalam organisasi secara sukarela. Secara lebih rinci, komponen altruism memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Membantu rekan kerja yang beban kerjanya berlebih.

b. Menggantikan peran atau pekerjaan rekan kerja yang berhalangan hadir. c. Rela membantu rekan kerja yang memiliki masalah dengan pekerjaan. d. Membantu rekan kerja yang lain agar lebih produktif.

e. Membantu proses orientasi lingkungan kerja atau memberi arahan kepada pegawai yang baru meskipun tidak diminta.

2) Courtesy

Courtesy adalah perilaku individu yang menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari perselisihan antar anggota dalam organisasi. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang

(22)

menghargai dan memperhatikan orang lain. Secara lebih rinci, komponen courtesy memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Menghormati hak-hak dan privasi rekan kerja.

b. Mencoba untuk tidak membuat masalah dengan rekan kerja. c. Mencoba menghindari terjadinya perselisihan antar rekan kerja.

d. Mempertimbangkan dampak terhadap rekan kerja dari setiap tindakan yang dilakukan.

e. Berkonsultasi terlebih dahulu dengan rekan kerja yang mungkin akan terpengaruh dengan tindakan yang akan dilakukan.

3) Sportsmanship

Sportsmanship adalah kesediaan individu menerima apapun yang ditetapkan oleh organisasi meskipun dalam keadaan yang tidak sewajarnya. Secara lebih rinci, komponen sportsmanship memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Tidak menghabiskan waktu untuk mengeluh atas permasalahan yang sepele.

b. Tidak membesar-besarkan permasalahan yang terjadi dalam organisasi. c. Menerima setiap kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh organisasi. d. Mentolerir ketidaknyamanan yang terjadi di tempat kerja.

4) Conscientiousness

Conscientiousness adalah pengabdian atau dedikasi yang tinggi pada pekerjaan dan keinginan untuk melebihi standar pencapaian dalam setiap aspek. Secara lebih rinci, komponen conscientiousness memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

(23)

dahulu.

b. Menyelesaikan tugas sebelum waktunya.

c. Selalu berusaha melakukan lebih dari apa yang seharusnya dilakukan. d. Secara sukarela melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi organisasi

disamping tugas utama.

e. Tidak membuang-buang waktu kerja.

f. Tidak mengambil waktu istirahat secara berlebihan.

g. Mematuhi peraturan dan ketentuan organisasi meskipun dalam kondisi tidak ada seorang pun yang mengawasi.

5) Civic Virtue

Civic virtue adalah perilaku individu yang menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki tanggung jawab untuk terlibat, berpartisipasi, turut serta, dan peduli dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan organisasi. Secara lebih rinci, komponen civic virtue memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Peduli terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam organisasi.

b. Turut serta dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi. c. Mengambil inisiatif untuk memberikan rekomendasi atau saran inovatif

untuk meningkatkan kualitas organisasi secara keseluruhan.

Perilaku organizational citizenship behavior (OCB) pada penelitian ini diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Nguni (2005) dimana responden diminta untuk menunjukkan sejauh mana mereka setuju dengan pernyataan yang mencerminkan perilaku OCB.

(24)

Shweta dan Srirang (2010) menyajikan sebuah tinjauan yang komprehensif berupa kerangka kerja untuk mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi OCB, diantaranya:

1) Disposisi individu dan motif individu

Disposisi individu seperti positive affectivity, negative affectivity, conscientiousness, agreeableness, dan juga locus of control memainkan peranan penting dalam menentukan tingkat OCB yang ditampilkan oleh pegawai. Selain disposisi individu, pegawai didorong oleh motivasi baik intrinsik atau ekstrinsik untuk menunjukkan OCB.

2) Kohesivitas kelompok

Pegawai pada umumnya berhubungan langsung dengan kelompok kerja dalam pekerjaannya. Hal ini secara jelas memberikan pengaruh pada sikap dan perilaku pegawai tersebut. Kohesivitas kelompok mendorong munculnya OCB yang bertujuan untuk lebih mempererat hubungan agar kelompok menjadi kuat dan efektif.

3) Sikap Pegawai

OCB tergantung pada sikap positif karyawan terhadap pekerjaan mereka serta terhadap organisasi, yang meliputi:

a. Komitmen Organisasi

Dalam beberapa kasus, tingkat komitmen organisasi mempengaruhi timbulnya OCB. Tingginya tingkat komitmen organisasi tercermin dalam keterlibatan pegawai dalam permasalahan organisasi di luar penugasan secara umum.

(25)

b. Kepuasan Kerja

Berbagai studi menunjukkan hubungan yang positif antara kepuasan kerja dengan OCB.

4) Kepemimpinan Transformasional

Pegawai yang paling mungkin terlibat dalam OCB adalah dalam kondisi manajer menampilkan perilaku kepemimpinan transformasional seperti mempunyai visi, menjadi teladan, menyegarkan intelektual bawahan, dan mengkomunikasikan harapan kinerja yang tinggi. Jelas sekali bahwa perhatian pada munculnya OCB pegawai bergantung pada efektivitas kepemimpinan yang berjalan dalam organisasi.

5) Keadilan Organisasi

Keadilan organisasi mencerminkan sejauh mana pegawai merasa diperlakukan adil oleh organisasi. Organisasi yang mengikuti prinsip-prinsip umum keadilan organisasi akan memastikan bahwa keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional telah memiliki ukuran yang baik dalam organisasi. Masing-masing komponen dalam keadilan organisasi memberikan kontribusi yang sangat penting dalam membentuk OCB pegawai dalam organisasi.

Dalam Ghazzawi (2008) dinyatakan bahwa hasil penelitian meta-analisis dari 55 studi oleh Organ dan Ryan (1995) menunjukkan bahwa hubungan kepuasan kerja dan perilaku kewargaan organisasi (OCB) lebih kuat dari hubungan antara kepuasan dan kinerja, setidaknya di antara kelompok-kelompok non-profesional dan non- manajerial. Dalam review kuantitatif yang sama, sikap

(26)

lainnya seperti keadilan yang dirasakan, komitmen organisasi, dan dukungan pemimpin berkorelasi dengan perilaku kewargaan organisasi (OCB) hampir pada tingkat yang sama dengan korelasi dengan kepuasan kerja (Organ dan Ryan, 1995).

2.1.4 Komitmen Organisasional

Komitmen organisasional didefinisikan oleh Durkin dan Bennet (1999) sebagai perasaan yang kuat dan erat dari seseorang terhadap tujuan dan nilai suatu organisasi dalam hubungannya dengan peran mereka terhadap upaya pencapaian tujuan dan nilai-nilai tersebut. Luthans (2006:249) menyatakan bahwa komitmen organisasional merupakan sikap yang menunjukkan loyalitas karyawan dan merupakan proses berkelanjutan bagaimana seorang anggota organisasi

mengekspresikan perhatian mereka kepada kesuksesan dan kebaikan

organisasinya. Lebih lanjut sikap loyalitas ini diindikasikan dengan tiga hal, yaitu: (1) keinginan kuat seseorang untuk tetap menjadi anggota organisasinya; (2) kemauan untuk mengerahkan usahanya untuk organisasinya; (3) keyakinan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. Komitmen organisasional akan membuat pekerja memberikan yang terbaik kepada organisasi tempat dia bekerja. Pekerja dengan komitmen yang tinggi akan lebih berorientasi pada kerja. Pekerja yang memiliki komitmen organisasional tinggi akan cenderung senang membantu dan dapat bekerjasama.

Curtis dan Wright (2001) mengemukakan bahwa komitmen didefinisikan sebagai kekuatan identifikasi individu yang berada dalam sebuah organisasi. Jika seseorang memiliki komitmen untuk organisasi, ia akan memiliki identifikasi

(27)

yang kuat dengan organisasi, memiliki nilai-nilai keanggotaan, setuju dengan tujuan dan sistem nilai, kemungkinan akan tetap di dalamnya, dan akhirnya, siap untuk bekerja keras demi organisasinya.

John dan Taylor (1999); Allen dan Meyer (1991); Sopiah (2008:163-164) mengemukakan suatu model anteseden (faktor-faktor yang mendahului) dari komitmen organisasional yaitu:

1) Karakteristik Pribadi

Beberapa karakteristik pribadi dianggap memiliki hubungan dengan komitmen organisasional yaitu usia dan masa kerja, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan jenis kelamin.

2) Karakteristik Pekerjaan

Karakteristik pekerjaan merupakan posisi pekerjaan, yaitu karakteristik yang berkaitan dengan peran, self-employment, otonomi, jam kerja, tantangan dalam pekerjaan, serta tingkat kesulitan dalam pekerjaan.

3) Pengalaman Kerja

Pengalaman kerja dipandang sebagai suatu kekuatan sosialisasi utama yang mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan ikatan psikologis dengan organisasi.

4) Karakteristik Struktural

Karakteristik struktural adalah karakteristik yang dikembangkan untuk meningkatkan komitmen individu kepada organisasi, meliputi kemajuan karir dan peluang promosi di masa yang akan datang, besar atau kecilnya organisasi, bentuk organisasi, dan tingkat pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan.

(28)

mengimplementasikan sistem manajemen dalam membantu memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada diri karyawan:

1) Berkomitmen pada nilai utama manusia

Membuat aturan tertulis, mempekerjakan manajer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi.

2) Memperjelas dan mengkomunikasikan misi

Memperjelas misi dan ideologi, berkarisma, menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai, membentuk tradisi.

3) Menjamin keadilan organisasi

Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif, menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif.

4) Menciptakan rasa komunitas

Membangun homogenitas berdasarkan nilai, keadilan, berkumpul bersama, serta menekankan kerjasama, saling mendukung, dan kerja tim.

5) Mendukung perkembangan karyawan

Melakukan aktualisasi, memberikan pekerjaan menantang, memajukan dan memberdayakan, mempromosikan dari dalam, menyediakan aktivitas perkembangan, menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan. Tett dan Meyer (1993); Meyer et al. (2002); Karakus dan Aslan (2008); Luthans (2008:249); Aydogdu dan Asikgil (2011) mengemukakan tiga dimensi dari komitmen organisasional yaitu sebagai berikut:

1) Komitmen afektif (affective comitment)

(29)

keterlibatan seorang karyawan pada suatu organisasi. Komitmen afektif seseorang akan menjadi lebih kuat bila pengalamannya dalam suatu organisasi konsisten dengan harapan-harapan dan memuaskan kebutuhan dasarnya dan sebaliknya. Komitmen afektif menunjukkan kuatnya keinginan seseorang untuk terus bekerja bagi suatu organisasi karena ia memang setuju dengan organisasi itu dan memang berkeinginan melakukannya. Karyawan yang mempunyai komitmen afektif yang kuat tetap bekerja dengan organisasi karena mereka menginginkan untuk bekerja pada organisasi itu.

2) Komitmen berkelanjutan (continuance commitment)

Komitmen berkelanjutan merupakan komitmen karyawan yang

didasarkan pada pertimbangan apa yang harus dikorbankan bila meninggalkan organisasi atau kerugian yang akan diperoleh karyawan jika tidak melanjutkan pekerjaannya dalam organisasi. Tindakan meninggalkan organisasi menjadi sesuatu yang beresiko tinggi karena karyawan merasa takut akan kehilangan sumbangan yang mereka tanamkan pada organisasi itu dan menyadari bahwa mereka tak mungkin mencari gantinya. Karyawan yang mempunyai komitmen kontinuan yang tinggi akan berada dalam organisasi karena mereka memang membutuhkan untuk bekerja pada organisasi itu.

3) Komitmen normatif (normative commiment)

Komitmen normatif merupakan komitmen karyawan terhadap organisasinya karena kewajibannya untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis, atau dengan kata lain keyakinan yang dimiliki karyawan tentang

(30)

tanggung jawabnya terhadap organisasi. Tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan. Komitmen ini berkaitan dengan perasaan karyawan terhadap keharusan untuk tetap bertahan dalam organisasi. Oleh karena itu, karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena merasa wajib atau sudah seharusnya untuk loyal kepada organisasi tersebut.

Penelitian ini mencoba untuk meneliti pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap OCB dan komitmen organisasional dengan mediasi kepuasan kerja. Dipilihnya variabel-variabel tersebut berangkat dari fenomena yang telah dikemukakan pada Bab 1 bahwa meningkatnya kepuasan kerja guru SMA di kabupaten Lombok Timur dan perubahan perilaku kepemimpinan (dalam hal ini Kepala Sekolah) telah memunculkan perilaku-perilaku yang mengarah pada OCB dan peningkatan komitmen organisasional.

2.2 Hipotesis

2.2.1 Hubungan Kepemimpinan Transformasional dengan OCB

Lian dan Tui (2012) melakukan penelitian pada 347 responden yang mewakili industri seperti perusahaan jasa, manufaktur, pertambangan dan konstruksi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap OCB bawahan. Menurut Jahangir et al. (2004), gaya kepemimpinan memiliki pengaruh yang kuat pada kesediaan karyawan untuk terlibat dalam OCB. Barbuto (2005) menyatakan bahwa pengikut pemimpin transformasional memiliki rasa kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan rasa hormat terhadap pemimpin dan

(31)

termotivasi untuk melakukan perilaku ekstra peran atau OCB.

Lamidi (2008) menemukan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh langsung yang signifikan dan positif terhadap OCB dan komitmen organisasional. Penelitian yang dilakukan oleh Nguni (2005) pada sekolah-sekolah dasar dan sekolah menengah di Tanzania juga menunjukkan pengaruh yang signifikan dan positif antara kepemimpinan transformasional terhadap perilaku OCB dari para guru.

Penelitian yang dilakukan oleh Piccolo dan Colquitt (2006) menemukan bahwa efek tidak langsung melengkapi efek langsung dari kepemimpinan transformasional terhadap kinerja tugas dan OCB melalui mekanisme karakteristik pekerjaan, motivasi intrinsik, dan komitmen pada tujuan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang diungkapkan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H1 : Kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB.

2.2.2 Hubungan Kepemimpinan Transformasional dengan Kepuasan Kerja

Griffith (2004) membuktikan bahwa sekolah di mana kepala sekolahnya nenerapkan gaya kepemimpinan transformasional memiliki staf sekolah yang lebih puas dengan pekerjaan mereka. Zahari dan Shurbagi (2012) melakukan penelitian terhadap karyawan dari National Oil Corporation Libya. Hasil penelitiannya menunjukkan hubungan positif yang signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional dengan kepuasan kerja karyawan. Al-Swidi et al. (2012) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional telah

(32)

terbukti memiliki efek signifikan pada kepuasan kerja karyawan melalui peningkatan persepsi pemberdayaan karyawan.

Yang dan Islam (2012) melakukan penelitian untuk menunjukkan pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja dengan menggunakan perspektif bisnis dari balanced scorecard, dan menunjukkan hasil yang signifikan. Demikian juga halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Yang, Mu-Li (2012), menemukan bahwa dimensi kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang diungkapkan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H2 : Kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja.

2.2.3 Hubungan Kepemimpinan Transformasional dengan Komitmen Organisasional

Tuna et al. (2011) melakukan penelitian pada industri rumah sakit di Turki dan menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional meningkatkan komitmen dan loyalitas karyawan terhadap organisasi. Ismail et al. (2011) melakukan penelitian terhadap karyawan sebuah anak perusahaan AS di Malaysia Timur, yang menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional berkorelasi positif dan signifikan dengan komitmen organisasional. Demikian juga halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Farahani et al. (2011) membuktikan bahwa terdapat hubungan langsung dan positif antara kepemimpinan transformasional dengan komitmen organisasional. Yang, Mu-Li (2012) menemukan bahwa dimensi kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh

(33)

yang signifikan terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dunn et al. (2012) terhadap organisasi di AS dan Israel memberikan bukti yang mendukung bahwa perilaku pemimpin transformasional secara signifikan dan positif berhubungan dengan komitmen organisasional.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang diungkapkan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H3 : Kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional

2.2.4 Hubungan Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasional

Harrison dan Hubbard (1998) menemukan bahwa kepuasan kerja, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan usia adalah prediksi dari komitmen organisasional. Aydogdu dan Asikgil (2011) meneliti hubungan antara variabel kepuasan kerja dan komitmen organisasional, yang membuktikan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang signifikan dan positif terhadap tiga dimensi komitmen organisasional, yaitu komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, dan komitmen normatif. Hubungan positif moderat signifikan juga ditemukan antara aspek kepuasan kerja, faktor demografi, dan komitmen organisasional pada penelitian yang dilakukan oleh Azeem (2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Karim dan Rehman (2012) menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan keadilan organisasi secara signifikan mempengaruhi komitmen organisasional. Karyawan yang puas cenderung lebih setia kepada organisasi mereka dan mempertahankan sikap positif terhadap pekerjaan

(34)

mereka. Oleh karena itu, mereka tidak mungkin untuk mengganti pekerjaan mereka dan mereka mempertimbangkan pekerjaan yang ada lebih baik daripada yang lainnya.

Andini (2006) menemukan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap komitmen organisasional. Demikian juga halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Koh dan Boo (2004) menunjukkan hubungan yang signifikan dan positif antara kepuasan kerja dan komitmen organisasional.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang diungkapkan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H4 : Kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional

2.2.5 Hubungan OCB dengan Komitmen Organisasional

Menurut Sloat (1999) OCB merupakan perilaku yang selalu mengutamakan kepentingan orang lain, hal itu diekspreskikan dalam tindakan yang mengarah pada hal-hal yang bukan untuk memenuhi kepentingan pribadi, melainkan untuk kepentingan mewujudkan kesejahteraan orang lain. Semakin tinggi OCB kryawan makan keinginan untuk terus bekerja bagi suatu organisasi;

Mahendra (2009) menemukan bahwa OCB berpengaruh positif terhadap komitmen organisasional. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang diungkapkan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: H5 : OCB berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen

(35)

2.3 Kerangka Konseptual

Berdasarkan beberapa kajian pustaka dan hasil-hasil studi empiris yang telah diuraikan diatas, maka dapat disusun model penelitian sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka konseptual Kepemimpinan Tranformasional OCB Kepuasan Kerja Komitmen organisasi

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Citra (2011) menunjukkan bahwa sikap siswa sebelum dan sesudah penyuluhan baik dengan metode ceramah terdapat perbedaaan rerata nilai

Kehadiran kepemilikan saham oleh manajerial dapat digunakan untuk mengurangi agency cost karena dengan begitu manajer diharapkan merasakan langsung manfaat dari setiap

Persiapan paling awal yang dilakukan oleh praktikan adalah mengikuti kuliah pengajaran mikro. Disini praktikan sekaligus melakukan praktik mengajar pada kelas yang kecil

Secara teoritis, penelitian ini memberikan sumbangan ilmu tentang :.. Tingkat pengetahuan masyarakat Desa Dengkeng, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten tentang bencana gempa

Ruang lingkup zakat profesi adalah seluruh pendapatan yang dihasilkan seseorang yang biasanya dalam bentuk gaji, upah, honorarium, dan nama lainya yang sejenis sepanjang

Dilihat dari prinsip kesantunan, dalam tuturan ini Arsene Wenger mematuhi maksim kebijaksanaan, karena dengan mengatakan bahwa dia tidak melihat insiden

penggandaan uang dengan praktik memberikan komisi dan bonus dari hasil perekrutan atau pendaftaran mitra usaha yang baru atau bergabung dan bukan dari hasil

Metode analisis yang digunakan untuk menganalisa kebutuhan perangkat lunak adalah dengan cara mengumpulkan informasi dan data-data yang dibutuhkan baik dari buku-buku referensi