• Tidak ada hasil yang ditemukan

A~a n = B~b~b 1 n = C~c b ~c s ~c a ~c n = D~d n = i~i n= L~l n = o~o n = = h.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A~a n = B~b~b 1 n = C~c b ~c s ~c a ~c n = D~d n = i~i n= L~l n = o~o n = = h."

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Lokus o~O yang terpaut kromosom X akan memberikan tiga macam warna fenotipe yaitu oranye (a1), tortoiseshell (a2) dan bukan oranye (a3) dengan jumlah a1 +a2 + a3 = n.

Frekuensi alel ditentukan dengan menggunakan metode maximum likelihood dengan asumsi perbandingan jantan dan betina adalah 1:1 dengan cara:

( ) ( )

(

5 3

)

2

( )

0

3 3 2

3 3 2 1 2 3 2 1

3 2 1 2 1

= + + + + +

− + + +

o o

o

q a a a q a a a

q a a a a a

(

q

)(

q

)(

q

)

n q

SE= o1+ o 1− o 2− o /3

Karakter ekor yang diduga bersifat poligen, frekuensi alel ekor normal dan ekor pendek dalam suatu populasi dihitung dengan qM = D/n, dan qm = 1- qM, dengan standar eror :

(

q q

)

n

SE= M. m /

(Nozawa et al. 2004)

Nilai heterozigositas (h) dan heterozigositas rataan (Ĥ) yang diperlukan untuk mengetahui keragaman suatu alel dalam suatu populasi dihitung dengan cara:

(

1

) (

2 1

)

2 − 2

= n

x n

hi i Hˆ =

hi/nh

dimana hi = nilai heterozigositas lokus i, xi = frekuensi alel dari lokus i dan nh = jumlah lokus yang diamati. Nilai standar eror untuk nilai h dan Ĥ sebagai berikut:

( ) ( ( ) ) ( ( ) )

[ ]

( )

5 . 2 0 2 2 2

2 3

1 2 2 2 2 2 2

⎟⎟

⎜⎜

− +

= −

∑ ∑ ∑ ∑

n n

x x x x

SEhi n i i i i

(Nei 1987) HASIL

Jumlah sampel kucing yang diperoleh dari 10 kecamatan Jakarta Timur adalah 2084 individu. Data sampel yang diperoleh, kemudian dianalisis menjadi frekuensi (q) alel dan heterozigositas (h) yang ditunjukkan pada Tabel 2, dan heterozigositas rataan (Ĥ) pada Tabel 3.

Frekuensi alel dan Heterozigositas Lokus A~a

Alel A (tipe liar) pada lokus A~a yang mengekspresikan pola Agouti pada dasar rambut kucing (Gambar 1). Di wilayah Jakarta Timur lokus ini memiliki nilai frekuensi yang

lebih rendah dibandingkan dengan alel a (tipe mutan), yaitu sebesar 40.3% dan 59.7%

(Tabel 2). Heterozigositas pada lokus A~a sangat tinggi yaitu sebesar 48.1%.

Tabel 2 Frekuensi alel dan heterozigositas setiap lokus pada populasi kucing yang berada di 10 kecamatan di Jakarta Timur

*(-) ekor panjang; (+) ekor pendek

Gambar 1 Kucing dengan pola Agouti (tanda panah), genotipe A-B-C- D-ii T-.

Lokus Alel Frekuensi Alel heterozigositas (q) (h) A~a

n = 1626

A a

0.403±0.010 0.597±0.010

0.481±0.003

B~b~b1 n = 2084

B b b1

0.644±0.011 0.254±0.019 0.101±0.013

0.509±0.019

C~cb~cs~ca~c n = 2084

C cb cs ca c

0.863±0.011 0.011±0.038 0.012±0.027 0.026±0.020 0.088±0.011

0.246±0.009

D~d n = 2058

D d

0.837±0.011 0.163±0.011

0.273±0.008

i~I n= 2059

i I

0.980±0.011 0.020±0.011

0.168±0.007

L~l n = 2084

L l

0.895±0.011 0.105±0.011

0.188±0.008

o~O n = 2084

o O

0.685±0.009 0.315±0.009

0.432±0.005

S~s n = 2059

S s

0.528±0.010 0.472±0.010

0.499±0.001

T~Ta~tb

n = 1299 T

Ta tb

0.639±0.019 0.163±0.011 0.198±0.014

0.422±0.019

w~W n= 2084

w W

0.994±0.001 0.006±0.001

0.168±0.007

m~M * n = 2084

+ -

0.428±0.011 0.572±0.011

0.490±0.002

(2)

Lokus B~b~b1

Besar nilai frekuensi alel B yang mengekspresikan warna hitam, alel b yang mengekpresikan warna cokelat, dan alel b1 yang mengekspresikan warna cinnamon pada lokus B~b~b1 (Gambar 2) secara berturut- turut di wilayah Jakarta Timur sebesar 64.4%, 25.4% dan 10.1% (Tabel 2). Kucing yang memiliki alel b1 sangat jarang ditemukan, bahkan di Kecamatan Duren Sawit dan Makasar tidak ditemukan alel b1. Heterozigositas lokus B~b~b1 di wilayah Jakarta Timur paling tinggi dibandingkan dengan lokus yang lain, yaitu sebesar 50.9%

(Tabel 2).

(a) (b)

(c)

Gambar 2 Kucing dengan ekspresi dari lokus B~b~b1. (a) Solid black dengan genotipe aa B-C-D-ii; (b) Chocolate classic tabby dengan genotipe A-bb C-D-ii tbtb ; (c) Cinnamon mackerel tabby dengan genotipe A-b1b1 C-D-ii T-.

Lokus C~cb~cs~ca~c

Alel C yang mengekspresikan pigmentasi penuh memiliki nilai frekuensi alel sebesar 86.3%. Alel cb, cs dan ca yang mengekspresikan warna burmese, siamese dan albino dengan iris biru sangat jarang ditemukan. Kucing yang memiliki alel cb, cs, ca dan c ditunjukkan pada Gambar 3 dan 4.

Alel cs hanya ditemukan di kecamatan Pulogadung, Kramat Jati, dan Makasar dengan frekuensi sebesar 2%, 1.6% dan 9.4%

(Lampiran 4). Besar nilai frekuensi alel cb, cs, ca dan c di wilayah Jakarta Timur secara berturut-turut sebesar 1.1%, 1.2%, 2.6% dan 8.8% (Tabel 2).. Nilai heterozigositas lokus ini secara keseluruhan memiliki persentasi yang kecil, yaitu sebesar 24.6%.

(a) (b)

(c) (b)

Gambar 3 Kucing dengan ekspresi lokus C~cb~cs-ca~c. (a) Seal tabby point dengan genotipe A-B-cscs ii; (b) Blue Burmese dengan genotipe aaB-cbcb dd I- ll; (c) Albino blue eyes dengan genotipe W-;caca ii; (d) Albino dengan genotipe W-; cc ii.

(a)

(b) Gambar 4 Ekspresi cac yang bersifat kodominan.

Solid white (albino), odd eye kinky tail (W-; cac Mm); (b) ekspresi alel ca terlihat pada mata sebelah kiri (biru) dan alel c terlihat pada mata sebelah kanan (kuning).

Lokus D~d

Di wilayah Jakarta Timur, Alel D yang mengekspresikan warna pekat memiliki nilai frekuensi sebesar 83.7%. Alel d yang mengekspresikan warna pudar memiliki nilai frekuensi sebesar 16.3%. Nilai heterozigositas (h) dari lokus ini sebesar 27.3%. Alel d akan berinteraksi dengan alel B menjadi warna blue, interaksi dengan alel b menjadi warna lilac, dan interaksi dengan alel b1 menjadi warna light lilac, serta interaksi dengan alel O pada lokus o~O akan menjadi warna krem (Gambar 5).

(3)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 5 Kucing dengan ekspresi lokus D~d. (a) blue tabby mackerel dengan genotipe A-B-C-dd ii T-. (b) Lilac (platinum) Burmese dengan genotipe aabbC-dd ii.

(c) Light lilac tabby spotted dengan genotipe A-b1b1C-dd ii T-. Cream mackerel tabby dengan genotipe C-dd ii OO T-.

Lokus i~I

Gen inhibitor (I) pada lokus i~I mengekspresikan warna perak, sedangkan alel i mengekspresikan warna selain perak (pigmentasi normal) (Gambar 6). Kucing yang memiliki alel I sangat jarang ditemukan dengan nilai frekuensi alel sebesar 2.0%, sedangkan alel i sangat banyak ditemukan, dengan frekuensi alel sebesar 98%. Nilai heterozigositas lokus ini yaitu sebesar 16.8%

menunjukkan bahwa lokus ini bersifat relatif seragam.

Gambar 6 Kucing dengan ekspresi lokus i~I.

Silver classic tabby dengan genotipe A-B-C-D-I-tbtb.

Lokus L~l

Alel L mengekspresikan rambut pendek, sedangkan alel l mengekspresikan rambut panjang pada kucing (Gambar 7). Alel L memiliki nilai frekuensi alel sebesar 89.5%, sedangkan alel l memiliki nilai frekuensi alel sebesar 10.5%. kucing yang memiliki alel l sangat jarang ditemukan di Jakarta Timur, bahkan di dua kecamatan yaitu Jatinegara dan

Cakung (Lampiran 4) tidak ditemukan. Nilai heterozigositas lokus L~l yaitu sebesar 18.8%.

Gambar 7 Chocolate, white longhair dan long tail (aabbC-D-ii ll mm).

Lokus o~O

Lokus o~O yang terpaut kromosom X bersifat kodominan dalam keadaan heterozigot. Ekspresi dari lokus ini menghasilkan tiga fenotipe yaitu oranye (OO), non oranye (oo) dan tortoiseshell (Oo) (Gambar 8). Alel o memiliki nilai frekuensi alel sebesar 68.5% sedangkan alel O memiliki nilai frekuensi alel sebesar 31.5%. Nilai heterozigositas (h) lokus ini cukup tinggi yaitu sebesar 43.2% (Tabel 2).

(a) (b)

(c)

Gambar 8 (a) Red mackerel tabby (C-D-ii OO T-).

(b) Brown abyssinian tabby (A-B-C-D-ii oo Ta-). (c) Tortoiseshell and white (Calico) (aaB-C-D-ii Oo S-).

Lokus S~s

Spot putih pada kucing disandikan oleh alel S yang memiliki sifat dominan terhadap alel s yang menyandikan warna normal (tanpa daerah putih) pada kucing. Nilai frekuensi alel S lebih tinggi dibandingkan dengan alel s, dengan persentasi sebesar 52.8% dan 47.2%

(Tabel 2). Nilai heterozigositas lokus S~s cukup tinggi yaitu sebesar 42.2%. Morfologi kucing yang memiliki alel S ditunjukkan oleh Gambar 9.

(4)

Gambar 9 Kucing dengan daerah putih (tanda panah) dengan genotipe A-B-C-D-ii T- S-.

Lokus T~Ta~tb

Alel T yang mengekspresikan pola tabby mackerel bersifat dominan terhadap alel Ta yang mengekspresikan pola tabby Abyssinian, dan tb yang mengekspresikan tabby classic. Kucing yang memiliki alel T di Jakarta Timur lebih mendominasi dibandingkan dengan alel Ta dan tb (Gambar 7). Hal tersebut dapat dilihat dari besar frekuensi alel T yaitu 63.9%, sedangkan frekuensi alel Ta dan tb secara berturut-turut sebesar 16.3% dan 19.8% (Tabel 2). Nilai heterozigositas lokus ini sebesar 42.2%.

(a) (b)

(c)

Gambar 10 Ekspresi lokus Ta~T~tb pada kucing.

(a) Brown abyssinian tabby dengan genotipe A-B-C-D-ii Ta-. (b) Red classic tabby dengan genotipe C-D-ii O- tbtb. (c) Red mackerel tabby dengan genotipe C-D-ii O-T-.

Lokus w~W

Rambut putih polos pada kucing disandikan oleh alel W (Gambar 12). Kucing yang berambut putih polos sangat jarang dijumpai di wilayah Jakarta Timur dengan nilai frekuensi alel sebesar 0.6% (Tabel 2), bahkan di tiga kecamatan yaitu Jatinegara, Pasar Rebo, dan Cakung tidak ditemukan kucing yang memiliki alel W tersebut (Lampiran 4). Presentase frekuensi alel w sangat tinggi di Wilayah Jakarta Timur yaitu

sebesar 99.4% (Tabel 2). Lokus ini juga memiliki heterozigositas yang sangat kecil yaitu sebesar 1.2% (Tabel 2). Kecamatan Pasar Rebo memiliki nilai heterozigositas tertinggi dibandingkan dengan kecamatan yang lainnya dengan nilai sebesar 2.9%

(Lampiran 4).

Gambar 11 Solid White dengan genotipe W- caca mm.

Lokus m~M

Panjang ekor dikendalikan oleh gen Manx. Genotipe Mm mengekspresikan ekor pendek, sedangkan genotipe mm mengekspresikan ekor panjang. Besar nilai frekuensi kucing ekor pendek lebih kecil dibandingkan dengan kucing ekor panjang yaitu secara berturut-turut sebesar 42.8% dan 57.2% (Tabel 2). Nilai heterozigositas (h) lokus ini yaitu sebesar 49%. Ekspresi lokus ini dapat dilihat pada gambar 12.

(a)

(b)

Gambar 12 (a) Karakter ekor panjang (C-ddii ll OO mm). (b) karakter ekor pendek (C-D-ii L- Mm OO).

(5)

Heterozigositas Rataan (Ĥ)

Nilai heterozigositas rataan (Ĥ) digunakan untuk melihat keragaman genetika dari multi lokus pada suatu populasi (Avise 1994). Nilai Heterozigositas rataan (Ĥ) pada 11 lokus secara keseluruhan di Jakarta Timur sebesar 31.8% (Tabel 3).

Tabel 3 Nilai heterozigositas rataan (Ĥ) pada 11 lokus di Jakarta Timur

dibandingkan dengan Indonesia dan Asia

Kecamatan Ĥ Ĥ* Ĥ**

Matraman 0.324 0.314 0.334 Cipayung 0.341 0.336 0.352 Jatinegara 0.261 0.305 0.302 Ciracas 0.298 0.339 0.354 Cakung 0.281 0.284 0.280 Pasar rebo 0.323 0.316 0.332 Duren sawit 0.298 0.302 0.311 Pulogadung 0.372 0.381 0.368 Kramat jati 0.359 0.352 0.380 Makasar 0.324 0.319 0.343 Rata-rata 0.318 0.325 0.336

* tanpa lokus B~b dan L~l sebagai pembanding terhadap populasi di Indonesia (Nozawa et al. 1983)

** tanpa lokus B~b dan i~I sebagai pembanding terhadap populasi di Asia (Kawamoto et al. 2002)

PEMBAHASAN Frekuensi alel pada 11 lokus

Nilai frekuensi alel tipe mutan pada lokus A~a dan S~s memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan tipe liarnya (Tabel 2). Hasil tersebut menandakan bahwa penyebaran kucing dengan alel mutan tersebut cukup luas di wilayah Jakarta Timur. Nozawa et al. (1983) menyatakan bahwa kucing yang memiliki alel S banyak dijumpai pada negara- negara di seluruh dunia.

Pada populasi kucing di Jakarta Timur ditemukan lokus baru yaitu lokus B~b~b1 dan L~l. Di wilayah Jakarta, Nozawa et al. (1983) tidak menemukan kedua lokus tersebut.

Besarnya nilai frekuensi alel B, b, dan b1 berturut-turut sebesar 64.4%, 25.4%, dan 10.1% (Tabel 2). Frekuensi B yang besar dibandingkan dengan dua alel yang lainnya disebabkan alel B bersifat dominan, sedangkan dua alel yang lainnya bersifat resesif (Vella et al.1999).

Lokus C~cb~cs~ca~c merupakan lokus yang memiliki banyak alel dibandingkan dengan lokus lainnya yang terdapat pada F.

domesticus. Beberapa alel pada lokus ini merupakan alel yang menjadi ciri khas pada kucing di beberapa negara. Kucing yang memiliki alel cb dan cs sangat banyak ditemukan di Thailand, sedangkan alel ca dan c banyak ditemukan di Amerika dan beberapa negara di Eropa (Vella et al. 1999; Nozawa et al. 2004). Kucing yang memiliki alel cb, cs, ca, dan c juga ditemukan di Jakarta Timur dengan nilai frekuensi alel secara berturut- turut sebesar 1.1%, 1.2%, 2.6%, dan 8.8%

(Tabel 2). Nozawa et al. (1983) tidak menemukan alel cb, cs, ca, dan c pada populasi kucing di Jakarta. Hal tersebut menandakan bahwa pada populasi kucing di Jakarta Timur telah ditemukan alel baru. Kemunculan alel- alel tersebut disebabkan oleh kucing-kucing non lokal yang dipelihara oleh manusia di wilayah Jakarta Timur. Penyebaran alel-alel tersebut diduga disebabkan oleh perkawinan acak yang terjadi antara kucing lokal dengan non lokal.

Alel O di Jakarta Timur memiliki nilai frekuensi alel sebesar 31.5% (Tabel 2). Garcia et al. (2005) menyatakan bahwa alel O merupakan alel dari karakter kucing Asia.

Nilai frekuensi alel O di Asia (Pakistan, Arab, Hongkong, dan Singapura) lebih tinggi dibandingkan Amerika Latin. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Nozawa et al.(2004) yang menyatakan bahwa Asia Tenggara dan Timur memiliki nilai frekuensi alel O lebih tinggi, yaitu 30% hingga 50%, dibandingkan Eropa dan Amerika Utara. Jadi dapat dikatakan bahwa frekuensi alel O yang merupakan karakter kucing Asia, cukup tinggi di Jakarta Timur.

Alel w pada lokus w~W memiliki nilai frekuensi alel tertinggi (99.4%), sedangkan alel W memiliki nilai frekuensi alel terendah (0.6%) dibandingkan dengan alel lainnya pada lokus yang berbeda (Tabel 2). Nilai frekuensi alel w yang tinggi disebabkan oleh dominasi tipe liar (Robinson 1991). Kucing yang memiliki alel W sangat jarang ditemukan di Jakarta Timur, bahkan di beberapa kecamatan yaitu Jatinegara, Cakung dan Duren Sawit, kucing tersebut tidak ditemukan (Lampiran 3).

Hal tersebut terjadi karena alel W merupakan karakter dari kucing Eropa, sehingga alel ini jarang ditemukan di Indonesia. Kemunculan kucing yang memiliki alel W diduga karena terjadi perkawinan silang antara kucing lokal dengan non lokal yang berasal dari Eropa (Nozawa et al. 2004). Vella et al. (1999)

Gambar

Tabel 2  Frekuensi alel dan heterozigositas  setiap lokus pada populasi kucing  yang berada di 10 kecamatan di  Jakarta Timur
Gambar  2  Kucing dengan ekspresi dari lokus  B~b~b 1 . (a) Solid black dengan genotipe  aa B-C-D-ii; (b) Chocolate classic tabby  dengan genotipe A-bb  C-D-ii t b t b  ; (c)  Cinnamon mackerel tabby dengan  genotipe A-b 1 b 1  C-D-ii T-
Gambar 5   Kucing dengan ekspresi lokus D~d. (a)  blue tabby mackerel dengan genotipe  A-B-C-dd ii T-
Gambar 11  Solid White dengan  genotipe W- c a c a  mm.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari tokoh-tokoh politik Indonesia pasca Proklamasi, didalamnya terdapat empat tulisan Aidit yang menggambarkan pola pemikiran

Ada sudut pandang yang sama pada berita ditanggal 15 September 2019 tersebut dari kedua media online itu yakni sama-sama memberitakan bentuk protes masyarakat terhadap kabut asap

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh usia, hipertensi, diabetes DM, hiperkolesterol, dan kebiasaan merokok terhadap kejadian presbikusis di RSUP Dr..

Berdasarkan hasil analisis unit aktivitas yang dilakukan terhadap lipase yang dihasilkan, didapatkan hasil pada konsentrasi induser, olive oil, 2%, dedak padi

Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1 bahwa dari 153 embrio tahap 1 sel hasil ICSI ditransfer ke 12 ekor resipien menghasilkan 33 (22%) embrio tertanam di rahim, selanjutnya

Dimohon konfirmasi ke sekolah bahwa hari Sabtu Dosen Pembimbing tdk bisa Hadir (087820215158). Konfirmasi dengan sekolah/lembaga Mitra Konfirmasi dengan sekolah/lembaga

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PERMAINAN TIMEZONE BAGI KALANGAN REMAJA DI SOLO GRAND MALL (Studi Fenomenologi tentang Gaya Hidup Remaja yang Gemar Bermain

Kendaraan ini di produksi oleh tangan-tangan kreatif anak bangsa yang awalnya di buat dari barang-barang bekas onderdil mobil-mobil rusak dengan mesin diesel