• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Gerakan #MeToo merupakan sebuah gerakan yang berfokus pada isu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Gerakan #MeToo merupakan sebuah gerakan yang berfokus pada isu"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gerakan #MeToo merupakan sebuah gerakan yang berfokus pada isu kekerasan seksual. Gerakan ini muncul pada pertengahan bulan Oktober 2017 yang ditandai dengan tersebar luasnya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh Harvey Weinstein sebagai seorang produser terhadap lebih dari 80 aktris Hollywood yang mengungkapkan kasus tersebut secara masal. Kemudian salah satu aktris yaitu Alyssa Milano mengunggah surat terbuka di Twitter dengan tujuan untuk mendorong para perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual untuk berani membuka suara mereka dengan cara berbagi masalahnya menggunakan balasan “#MeToo” di Twitter.1 Pada awalnya, gerakan lewat media sosial ini bertujuan untuk mengubah atau membentuk karakter perempuan agar lebih berani untuk mengungkapkan dan tidak hanya berdiam diri ketika mengalami perlakuan kekerasan seksual dengan tujuan agar tercapainya keadilan bagi mereka sebagai korban.

Gerakan #MeToo yang berkembang lewat media sosial ini telah mendapatkan dukungan dari masyarakat yang ada di berbagai negara-negara Eropa, Afrika, Timur Tengah, Asia, Amerika, dan lain-lain. Di Twitter sendiri, Alyssa

1 Kara Fox dan Jan Diehm, 2017, #MeToo’s global moment: the anatomy of a viral campaign, CNN, diakses dari https://edition.cnn.com/2017/11/09/world/metoo-hashtag-global- movement/index.html (14/6/2018)

(2)

Milano memperoleh sebanyak lebih dari 40 ribu komen dan kemudian menyebar sampai di platform media sosial lain seperti Facebook dan Instagram.2 Sampai dengan akhir bulan Oktober 2017, di Facebook sudah ada lebih dari 2,3 juta tautan yang diunggah mengenai #MeToo dari 85 negara di dalamnya lebih dari 24 juta orang berpartisipasi dalam percakapan dengan mengunggah, bereaksi, dan berkomentar lebih dari 77 juta kali dan Instagram memiliki lebih dari 300 ribu kiriman menggunakan #Metoo.3 Karena gerakan ini kian mendapat sahutan yang sangat banyak dari perempuan-perempuan di lebih dari satu negara, gerakan ini tidak berhenti sampai di situ saja. Gerakan ini kemudian dilanjutkan secara offline oleh perempuan di beberapa negara diantaranya adalah Negara Kanada, Jepang, Korea Selatan, Filipina, Illinois Chicago, California Los Angeles, dan beberapa negara bagian Amerika Serikat yang lain. Gerakan offline yang dimaksudkan disini adalah dilakukannya kampanye atau demonstrasi dengan membawa nama Gerakan

#MeToo sehingga dapat menunjukkan bahwa gerakan ini kemudian menjadi gerakan transnasional karena dilakukan oleh masyarakat lebih dari satu negara di dunia karena adanya komunikasi lintas batas negara.

Selain itu, Menurut WHO dalam laporan yang dirilis dengan London School of Hygiene & Tropical Medicine dan South African Medical Research Council, kekerasan seksual merupakan Epidemi Global dengan presentasi sebanyak 35%

dari semua perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Diantara semua perempuan proporsinya per kawasan adalah di Afrika sebesar 45,6%, Amerika

2 Kat Borgerding, 2017, The ‘Me Too’ Movement Against Sexual Harassment and Assault is Sweeping Social Media, Recode, diakses dari https://www.recode.net/2017/10/16/16482410/me- too-social-media-protest-facebook-twitter-instagram (23/11/2018)

3 Ibid.

(3)

36,1%, Mediterania Timur 36,4%, Eropa 27,2%, Asia Tenggara 40,2%, Pasifik Barat 27,9%, dan Negara berpenghasilan tinggi 32,7%.4

Karena isu yang dibahas yaitu isu kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan isu global yang berarti isu yang dialami oleh banyak perempuan seluruh negara di dunia. Ketidaksetaraan gender, kekerasan seksual masih menjadi masalah besar di seluruh negara-negara di dunia dan untuk mengungkapkannya masih menjadi hal yang sulit karena latar belakang budaya maupun masih tinggi nya budaya patriarki. Hal ini mendatangkan kesadaran dan keberanian bagi perempuan setelah #MeToo mendapatkan banyak dukungan dari perempuan-perempuan lain di seluruh dunia karena memiliki latar belakang pengalaman yang sama. Sehingga Gerakan ini mampu diidentifikasi sebagai Global Social Movement yang merupakan bagian daripada Global Civil Society.

Gerakan #MeToo di Korea Selatan menjadi yang paling berdampak dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga melakukan kampanye sosial ini selain di negara pertama kali gerakan ini muncul yaitu Amerika Serikat. Beberapa negara selain negara bagian Amerika Serikat dan Kanada, negara yang melakukan gerakan ini secara offline pada awal kemunculannya adalah Jepang, Korea Selatan, dan Filipina. Di Korea Selatan, #MeToo mampu menginspirasi banyak perempuan untuk mengungkapkan tuduhan mereka kepada publik dalam berbagai kasus terkenal dan tuduhan-tuduhan tersebut mengilhami mobilisasi demonstrasi massa dan tuntutan reformasi hukum. Sementara itu, di Jepang gerakan tersebut tumbuh

4 World Health Organization, 2013, Violence Against Women: a ‘Global Health Problem of

Epidemic proportions’, Diakses dari

https://www.who.int/mediacentre/news/releases/2013/violence_against_women_20130620/en/

(08/12/2020)

(4)

lebih lambat. Lebih sedikit perempuan yang berani maju ke publik dan lebih banyak yang masih menyembunyikan identitasnya.5 Sedangkan dibandingkan Korea Selatan dan Jepang, Gerakan #MeToo di Filipina hanya dilakukan sebagai bentuk protes terhadap Presiden Filipina Rodrigo Duterte dengan menyebutnya sebagai pelanggar hak-hak perempuan karena kerap melontarkan komentar-komentar seksisme.6 Gerakan yang ada di Filipina tidak mengikuti bentuk Gerakan #MeToo yang dilakukan di Amerika yang juga diadopsi oleh Korea Selatan dan Jepang.

Selain itu, sebagaimana tujuan utama #MeToo adalah agar perempuan berani melaporkan tindakan kekerasan seksual dan menuntut pertanggungjawaban juga perubahan kebijakan. Di Filipina tindakan ini belum begitu terwujud.7

Alasan lain mengapa penulis akan fokus kepada Korea Selatan karena jika dibandingkan dengan Jepang dan Filipina, berdasarkan nilai dari situs Nation Master, nilai kejahatan pemerkosaan di Korea Selatan adalah sebesar 13,5 dan menduduki peringkat ke 20 dari negara-negara di dunia. Angka ini 14 kali lipat lebih besar dari Jepang dengan nilai kejahatan pemerkosaan yaitu 1 yang menduduki peringkat ke 52 dan 2 kali lipat lebih besar dari Filipina dengan nilai kejahatan pemerkosaan yaitu 6,3 yang menduduki peringkat ke 37. Selain itu nilai kejahatan pelecehan di Korea Selatan 34,3 dengan peringkat ke 67 memang lebih

5 Linda Hasunuma dan Ki-young Shin, 2019, #MeToo in Japan and South Korea: #WeToo,

#WithYou, Journal of Women, Politics & Policy, Vol. 40 No. 1, diakses dari https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/1554477X.2019.1563416?needAccess=true (09/04/2021)

6 10 WBNS, 2018, Philippine protest, South Korea’s #Metoo mark Women’s Day, diakses dari https://www.10tv.com/article/news/nation-world/philippine-protest-south-koreas-metoo-mark- womens-day/530-0dd8d3d9-ea77-428a-8bbd-0636231c2d20 (09/04/2021)

7 Devex News, 2018, What #MeToo has Meant Around the World, diakses dari https://www.devex.com/news/what-metoo-has-meant-around-the-world-93871 (09/04/2021)

(5)

kecil dibandingkan dengan Jepang yang memiliki nilai 51 dengan peringkat ke 56 namun lebih besar 343 kali lipat jika dibandingkan dengan Filipina dengan nilai 0,1 dan peringkat ke 93 dari semua negara di Dunia.8

Di Korea Selatan Gerakan #MeToo mulai berkembang pada akhir Januari 2018 yang diawali dari pengakuan seorang jaksa penuntut umum, Seo Ji-hyun dimana ia mengumumkan secara terbuka bahwa seorang Jaksa Senior, Ahn Tae- geun melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap dirinya pada tahun 2010.

Tindakan Seo Ji-hyun ini diakuinya adalah karena terinspirasi dengan gerakan

#MeToo yang dimulai di Amerika Serikat. Tindakan ini kemudian meningkatkan dukungan juga tautan publik yang berujung pada pemaksaan diadakannya penyelidikan.9

Setelah gerakan #MeToo yang dilakukan Seo Ji-hyun, muncul lagi beberapa gerakan yang sama dari kalangan industri hiburan dan dalam beberapa minggu terakhir setelah Gerakan #MeToo berkembang di Korea Selatan, ratusan perempuan dari Konfederasi Serikat Pekerja Korea telah maju dan membawa nama Gerakan #MeToo. Para perempuan menunjukkan dukungan mereka untuk gerakan MeToo dengan berdemonstrasi untuk pekerja wanita. Demonstrasi tersebut dilakukan di pusat Kota Seoul, pada 4 Maret 2018. Sebanyak 79,8% warga dari jumlah 1.013 warga dan 70 ahli kebijakan gender menyatakan dukungan terhadap

8 Crime: Japan and South Korea Compared, NationMaster, diakses dari http://www.nationmaster.com/country-info/compare/Japan/South-Korea/Crime (11/11/2018) Crime: Philippines and South Korea Compared, NationMaster, diakses dari http://www.nationmaster.com/country-info/compare/Philippines/South-Korea/Crime (11/11/2018)

9 Tamar Herman, 2018, #MeToo Begins to Gain Traction In South Korea’s Entertainment World, Billboard, diakses dari https://www.billboard.com/articles/columns/k-town/8216864/metoo-south- korea-movement (7/11/2018)

(6)

gerakan ini. Selain itu sekitar 7 dari 10 warga di Korea Selatan mengatakan tingkat ketertarikan publik terhadap isu kekerasan seksual juga diskriminasi gender meningkat setelah gerakan #MeToo muncul di Korea Selatan. Data ini diperoleh oleh Korean Women’s Development Institute.10 Pemerintah Korea Selatan juga memberikan respon dengan rencana untuk memperpanjang undang-undang terhadap kasus kekerasan seksual.11

Maju dan mengungkapkan diri sebagai korban kekerasan seksual di Korea Selatan akan sangat berdampak pada pekerjaan dan nama baik korban, khususnya perempuan. Masyarakat Korea Selatan juga menganggap gerakan-gerakan feminisme adalah gerakan yang bersifat provokatif yang di mana salah seorang aktris di Korea Selatan pada bulan April 2018 mengunggah sebuah gambar di Instagram, dia memegang kotak telepon yang bertuliskan “Girls can do everything” dan dia dituduh mempromosikan feminisme sehingga dia kemudian harus menghapus unggahannya itu. Feminisme dianggap sebagai bentuk kenakalan oleh pria dan generasi wanita yang lebih tua yang dibesarkan dan dipengaruhi oleh nilai-nilai Konfusianisme.

Fenomena kekerasan seksual, serangan seksual, dan perdagangan seks ilegal tersebar luas di Korea Selatan. Dalam sebuah laporan yang dirilis tahun 2017 Negara ini menderita ketidaksetaraan gender yang mendalam, World Economic Forum memberikan peringkat 118 dari 144 negara kepada Korea Selatan dalam

10 Kim Soo Hyun, 2018, 80% of Koreans Support #MeToo Movement, The Korea Herald, diakses dari http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20180502000760 (7/11/2018)

11 Laura Bicker, 2018, #MeToo Movement Takes Hold in South Korea, BBC News, diakses dari https://www.bbc.com/news/world-asia-43534074 (7/11/2018)

(7)

kategori Global Gender Gap Index.12 Berdasarkan tingkat kejahatan seksual di Korea Selatan yang mendominasi Jepang dan Filipina, masalah kekerasan seksual yang kerap terjadi, dan posisi Korea Selatan pada Global Gender Gap Index yang berada di posisi 118 dari 144 negara yang menunjukkan tingginya tingkat ketidaksetaraan gender di Korea Selatan, serta perkembangan gerakan #MeToo di Korea Selatan. Penulis memilih untuk melihat gerakan #MeToo secara spesifik di Korea Selatan.

Pentingnya tindakan untuk berani melaporkan kekerasan seksual yang diterima kemudian disadari oleh banyak perempuan di dunia di berbagai negara yang ikut melakukan Gerakan #MeToo. Gerakan ini bertujuan untuk membantu perempuan agar mendapatkan keadilan dengan menuntut haknya dan juga bertujuan untuk memecahkan budaya diam yang biasanya selalu dilakukan oleh perempuan setelah mengalami tindakan kekerasan seksual. Tentunya untuk mencapai suatu tujuan dari sebuah gerakan terdapat strategi-strategi yang dilakukan sebelumnya. Disini penulis ingin melihat bagaimana strategi yang dilakukan Gerakan #MeToo di Korea Selatan berdasarkan landasan konsep Global Civil Society. Penulis menggunakan pendekatan strategi untuk menganalisa gerakan ini.

Karena selain strategi, pendekatan lain yang serupa seperti peran dan upaya kurang tepat digunakan karena lebih cocok dilekatkan pada aktor-aktor yang lebih terorganisir. Sementara untuk sebuah Gerakan, pendekatan strategi lebih tepat

12 World Economic Forum, 2017, The Global Gender Gap Report 2017, diakses dari http://www3.weforum.org/docs/WEF_GGGR_2017.pdf (23/11/2018)

(8)

digunakan dengan tidak berfokus pada satu aktor tertentu saja melainkan untuk menjelaskan tindakan aksi kolektif dari berbagai individual dalam masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana strategi Gerakan #MeToo dalam melawan tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan di Korea Selatan?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat: (1) Fenomena kekerasan seksual terhadap perempuan yang meliputi kekerasan seksual secara fisik, verbal dan nonverbal di Korea Selatan; (2) Perkembangan Gerakan #MeToo secara umum di Korea Selatan; dan (3) Strategi Gerakan #MeToo di Korea Selatan sebagai Global Civil Society.

1.3.2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis

Manfaat akademis dari penelitian ini adalah dapat memberikan sumbangan untuk kajian Hubungan Internasional secara spesifik untuk kajian yang membahas mengenai Global Civil Society, Woman Movement, dan kajian tentang isu yang terkait dengan kekerasan seksual di suatu negara.

(9)

b. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya. Khususnya untuk penelitian yang membahas mengenai strategi gerakan yang merupakan bagian dari Global Civil Society dalam suatu negara.

1.4. Penelitian Terdahulu

Perlu diperhatikan bahwa terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang serupa dengan penelitian ini yang dapat peneliti jadikan acuan serta penentuan posisi penulisan sebagai bentuk penegasan akan kebaruan dan orisinalitas penelitian ini. Beberapa diantaranya adalah:

Pertama, Skripsi oleh Isnawaty Endarsih dengan judul Peran Gerakan Women’s Forum Australia (WFA) Terhadap Sexual Harassment dan Seksual Violence pada Perempuan di Australia.13 Skripsi ini membahas tentang masalah kekerasan seksual di Australia yang merupakan masalah feminisme juga menjelaskan tentang perkembangan feminisme di Australia yang ditangani oleh Women’s Forum Australia (WFA) adalah sebuah badan NGO yang memiliki fokus terhadap pendidikan dan perkembangan kebijakan publik tentang sosial, ekonomi, kesehatan, serta isu-isu kultural yang berkenaan dengan permasalahan- permasalahan perempuan di Australia.

13 Isnawaty Endarsih, 2014, Peran Gerakan Women’s Forum Australia (WFA) Terhadap Sexual Harassment dan Sexual Violence Pada Perempuan di Australia, Skripsi, Malang: Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang.

(10)

Pendekatan atau konsep yang digunakan adalah Konsep Feminisme dengan asumsi dasar yaitu sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi kaum pria yang dianggap berlebihan. Selain konsep feminisme digunakan juga konsep Pressure Group dengan asumsi dasar sebagai kelompok yang dapat mempengaruhi atau bahkan membentuk kebijaksanaan pemerintah. Cara yang digunakan adalah melalui persuasi, propaganda, dan lain-lain.

Hasil penelitian ini menunjukkan posisi WRF Australia memiliki peran yaitu membuat forum terkait dengan pengembangan dan memberikan pendidikan untuk pria dan perempuan, kesehatan, kebebasan, dan kesejahteraan dengan fokus khusus pada masalah perilaku yang berbahaya dan kasar terhadap perempuan.

WFA berperan sebagai kelompok penekan dimana WFA menjadi forum yang mewadahi tentang permasalahan perempuan Australia dan berusaha menyuarakan suara perempuan Australia.

Perbedaan penelitian terdahulu pertama dan penelitian penulis adalah terletak pada aktor yang terlibat di mana pada penelitian terdahulu ini membahas Gerakan Women’s Forum Australia dan penelitian penulis membahas Gerakan

#MeToo. Perbedaan juga terletak pada pendekatan yang digunakan dimana penelitian terdahulu ini melihat peran aktor sebagai Pressure Group dan penelitian penulis melihat strategi aktor sebagai Global Civil Society. Sedangkan persamaan terletak pada konteks permasalahan yaitu sama-sama membahas masalah kekerasan seksual.

(11)

Kedua, Skripsi oleh Aulia Magfiroh dengan judul Peran Aksi Slutwalks Sebagai Bentuk Protes Terhadap Sexual Violence di Kanada.14 Skripsi ini membahas tentang Aksi Slutwalks yang menjadi perlawanan perempuan terhadap maraknya kasus kekerasan seksual karena pemerintah dinilai lamban dalam menangani kasus kekerasan seksual. Aksi Slutwalks ini diprakarsai oleh beberapa aktivis di Kanada. Salah satu peran menggunakan konsep Global Civil Society menurut Marc Edelman yang membagi strategi global civil society menjadi empat, yaitu Visibility, Audibility, Lobbying, dan Networking.

Hasil penelitian ini adalah peran gerakan Slutwalk dilakukan dengan tiga strategi dari empat strategi yang sesuai dengan teori yang digunakan. Strategi tersebut adalah strategi Visibility yang dilakukan dengan cara berdemonstrasi.

Kedua, startegi Audibility yang dilakukan dengan cara menyiarkan Slutwalk melalui radio-radio di kanada salah satunya adalah “Radio Canada”. Ketiga, strategi Networking dengan membangun koneksi antara organisasi-organisasi dan LSM- LSM. Dilihat dari peran institusional sendiri tidak ada tanggapan dari pemerintah setelah adanya gerakan Slutwalks ini. Gerakan Slutwalk dinilai sebagai gerakan yang berhasil meningkatkan angka pelaporan kekerasan seksual yang tidak dilaporkan sebelumnya. Setelah gerakan Slutwalks dicetuskan, angka kekerasan seksual di Kanada menurun pada tahun 2013-2014. Gerakan Slutwalks ini menciptakan dampak terhadap beberapa Provinsi di Kanada yang mulai membuat

14 Aulia Magfiroh, 2017, Peran Aksi Slutwalks Sebagai Bentuk Protes Terhadap Sexual Violence di Kanada, Skripsi, Malang: Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang.

(12)

kebijakan terkait kekerasan seksual salah satunya adalah provinsi Ontario dan Manitoba juga Provinsi Nova Scotia.

Perbedaan penelitian terdahulu kedua dengan penelitian penulis adalah terletak pada aktor yang dibahas dimana pada penelitian terdahulu ini, aktor yang dibahas adalah gerakan Slutwalks dan penelitian penulis menggunakan gerakan

#MeToo. Sedangkan persamaan pada penelitian ini adalah penggunaan konsep Global Civil Society dalam melihat strategi sebuah gerakan.

Ketiga, Skripsi oleh Sekti Desy Handayani dengan judul Gerakan Perlawanan Perempuan “The Gulab’s Gang” Terhadap Ketidakadilan Perempuan15. Skripsi ini membahas tentang gerakan perempuan di India yaitu The Gulab’s Gang yang muncul bermula ketika Sampat Pal Devi membantu seorang perempuan yang menerima tindakan kekerasan oleh suaminya. Semakin banyak perempuan maju dan berani bergabung bersama Pal Devi untuk membela setiap perempuan korban kekerasan dan pelecehan seksual, mereka kemudian membentuk Gulabi Gang pada tahun 2006.

Gulabi Gang bekerja dengan upaya pelayanan komunitas gang meliputi pemberian makanan dan distribusi gandum untuk masyarakat di daerah pedesaan, membantu mengurus pensiun janda, yang tidak memiliki bukti mendukung usia mereka untuk menerima dana dari pemerintah, mencegah serta membantu penyalahgunaan perempuan dan anak-anak khususnya perempuan dengan usia di bawah umur, pemerkosaan, pernikahan dini, dan kekerasan dalam rumah tangga,

15 Sekti Desy Handayani, Gerakan Perlawanan Perempuan “The Gulab’s Gang” Terhadap Ketidakadilan Perempuan di India, Malang: Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang.

(13)

merampas hak asasi untuk memperoleh pendidikan yang baik penganiayaan anak, pemberantasan korupsi pejabat negara dan pelecehan seksual.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan upaya yang dilakukan oleh The Gulab’s Gang adalah dengan cara berdemonstrasi dan melakukan berbagai cara untuk penyelesaian kasus. Gulabi Gang muncul karena beberapa alasan yang menjadi alasan yang paling mendasar adalah mengenai adanya pembahasan Feminisme Radikal dimana gerakan perlawanan ini kemudian muncul secara radikal dengan adanya aksi kolektif yang dilakukan oleh kelompok kemudian mengenai ide atau gagasan yang unik diciptakan dengan keterbatasan masalah pendidikan namun mereka mampu menciptakan suatu perubahan sosial yang memberi dampak positif bagi perempuan di India. Perubahan sosial yang mampu mereka lakukan yaitu menyetarakan kemampuan yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki, pemberantasan korupsi, menghukum setiap pelaku kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan dan pelecehan seksual, menjalankan pendidikan pada perempuan usia dini dan menuntaskan kemiskinan di wilayah India bagi yang belum mendapat perhatian cukup baik dari pemerintah.

Perbedaan penelitian terdahulu ketiga dengan penelitian penulis adalah pada konteks studi kasus di mana kasus yang dibahas lebih luas pembahasannya dan bukan merupakan gerakan transnasional dan aktor yang dibahas juga berbeda.

Sedangkan persamaannya adalah kedua penelitian masuk dalam konteks gerakan perempuan.

Keempat, Skripsi oleh Firda Duana Monardi dengan judul Strategi Gerakan Slutwalk Dalam Memperluas Jaringan Transnasional Untuk

(14)

Membela Perempuan Dari Tindakan Pelecehan.16 Skripsi ini membahas tentang gerakan sosial yang berorientasi pada gerakan hak-hak perempuan yang merupakan gerakan Slutwalk. Penulis menjelaskan bagaimana gerakan ini dilakukan untuk mendapatkan dukungan-dukungan dari segala pihak demi terwujudnya perlindungan atas hak-hak perempuan terutama hak-hak terhadap diskriminasi gender. Penulis secara detail juga menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan dalam gerakan ini.

Penulis menggunakan konsep gerakan sosial transnasional yang merupakan sesuatu yang terorganisir, berkelanjutan, dan terdapat kesamaan identitas di antara mereka yang terlibat di dalamnya. Salah satu asumsi dasarnya adalah gerakan sosial yang terjadi dapat dibantu oleh pengaruh globalisasi yaitu penggunaan komunikasi elektronik untuk mengkoordinasikan gerakan secara internasional.

Penulis juga menggunakan pendekatan mobilisasi sumber daya. Pandangan lama tentang pendekatan ini memiliki asumsi bahwa gerakan sosial yang muncul akibat adanya dukungan dari pihak-pihak yang mengalami penindasan, dan terisolasi dalam masyarakat dan menjelaskan kategori-kategori psikologi dalam menjelaskan gerakan sosial baru. Teori ini menyatakan bahwa gerakan sosial muncul karena tersedianya faktor pendukungnya, seperti adanya sumber-sumber pendukung, tersedianya kelompok koalisi dan adanya dukungan dana, adanya tekanan dan upaya pengorganisasian yang efektif serta sumber daya yang penting berupa ideologi. Teori ini digunakan untuk melihat dukungan-dukungan terhadap

16 Firda Duana Monardi, 2017, Strategi Gerakan Slutwalk Dalam Memperluas Jaringan Transnasional Untuk Membela Perempuan Dari Tindakan Pelecehan, Padang: Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Andalas. Diakses dari http://scholar.unand.ac.id/28777/ (15/11/2018)

(15)

gerakan slutwalk. Dukungan-dukungan yang menjadi penggerak dari gerakan ini maupun dukungan-dukungan yang datang untuk mendukung jalannya gerakan ini dan sebagai salah satu tolok ukur progres upaya-upaya yang dilakukan gerakan ini.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa media sosial sebagai komunikasi elektronik yang digunakan untuk membantu melakukan gerakan slutwalk dapat membentuk gerakan transnasional karena media sosial dapat menyumbangkan aktivis sosial dari berbagai negara. Media sosial bisa menghasilkan berbagai macam dukungan dari berbagai negara.

Perbedaan penelitian terdahulu keempat dengan penelitian penulis adalah terletak pada studi kasus di mana pada penelitian terdahulu keempat, studi kasus yang digunakan adalah Gerakan Slutwalks dan fokusnya adalah strategi penyebaran gerakan tersebut sedangkan penelitian penulis adalah fokus pada strategi gerakan

#MeToo di suatu negara. Selain itu konsep yang digunakan juga berbeda.

Sedangkan persamaan terletak pada isu yang menjadi fokus penelitian yaitu isu kekerasan seksual.

Kelima, Skripsi oleh Fenni Ratna Dewi dengan judul Pengaruh Gerakan

#MeToo Terhadap Perubahan Kebijakan Tentang Pelecehan Seksual Di Amerika Serikat Tahun 2017-201917. Skripsi ini membahas tentang pengaruh gerakan #MeToo terhadap perubahan kebijakan tentang pelecehan seksual serta fenomena gerakan #MeToo yang merupakan Transnational Advocacy Network di

17 Fenni Ratna Dewi, 2019, Pengaruh Gerakan #MeToo Terhadap Perubahan Kebijakan Tentang Pelecehan Seksual di Amerika Serikat Tahun 2017-2019, Yogyakarta: Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia, diakses dalam https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/16247/15323120.pdf?sequence=10&isAllowe d=y (09/07/2020)

(16)

Amerika Serikat. Peneliti menjelaskan bahwa pelecehan seksual yang terjadi di Amerika Serikat sangat minim dilaporkan karena permasalahan dalam sistem hukum menegenai pelecehan seksual. Penulis menganalisa Transnational Advocacy Network dari Gerakan #MeToo melalui berbagai aktivisme gerakan yang berhubungan dengan aktor-aktor di luar negaranya untuk mencapai tujuannya dengan mengidentifikasi proses pembentukan gerakan dan taktik gerakan dalam upaya memengaruhi perilaku negara untuk merespon masalah yang diadvokasikan.

Hasil dari penelitian ini adalah #MeToo sebagai jaringan transnasional mempengaruhi kebijakan suatu negara dalam hal ini Amerika Serikat dengan keberhasilan 3 taktik. Taktik pertama yaitu Information Politics dilakukan melalui aktivisme para aktor Gerakan #MeToo Amerika Serikat dalam membingkai isu agar semakin terdengar oleh para pembuat kebijakan mengenai isu yang diadvokasikan.

Taktik kedua yaitu Symbolic Politics yaitu penggunaan tagar #MeToo sebagai klaim atas masalah pelecehan seksual, melalui acara Golden Globe Awards dimana para aktivis menggunakan pakaian serba hitam dan pin Time’s Up yang digunakan sebagai simbol solidaritas terhadap masalah pelecehan seksual. Taktik yang ketiga adalah Leverage Politics diidentifikasi melalui dampak #MeToo yang berhasil menjatuhkan para pelaku pelecehan seksual dari pekerjaannya melalui peningkatan tuduhan.

Perbedaan dari penelitian terdahulu kelima ini dengan penelitian penulis terletak pada studi kasus penelitian yang mana penelitian ini menjelaskan gerakan

#MeToo di negara Amerika Serikat. Persamaan penelitian terdahulu dengan

(17)

penelitian ini adalah sama-sama membahas mengenai taktik ataupun strategi gerakan #MeToo untuk mencapai tujuannya.

Keenam, Skripsi oleh Maghfira Adzhani Diva dengan judul Pengaruh

#MeToo Sebagai Gerakan Sosial Dalam Membentuk Opini Publik Amerika Serikat18. Skripsi ini membahas mengenai pengaruh gerakan #MeToo dalam membentuk opini publik Amerika Serikat melalui media sosial Twitter. Penelitian ini menggunakan analisis model komunikasi pertama Schramm. Teori ini menunjukkan bagaimana proses komunikasi berlangsung, dengan hambatan dan timbal balik yang pasti muncul. Gerakan #MeToo menggunakan media Twitter untuk menyampaikan pesan gerakannya pada masyarakat. Dengan kecepatan yang dimiliki Twitter, gerakan #MeToo dapat dengan mudah menyalurkan pesan dan mengubah opini publik Amerika Serikat. Dengan menggunakan model komunikasi Schramm gerakan sosial melalui media dilihat pengaruhnya dengan mengukur keberhasilan komunikasi antara gerakan sosial dan opini publik.

Perbedaan penelitian terdahulu keenam dengan penelitian penulis terletak pada penelitian terdahulu ini tidak mengutamakan analisa mengenai taktik maupun strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan gerakan #MeToo namun peneliti melihat bagaimana gerakan #MeToo akan membentuk opini publik Amerika Serikat dengan strategi penyampaian pesan melalui media sosial Twitter.

Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian penulis terletak pada topik

18 Maghfira Adzhani Diva, 2019, Pengaruh #MeToo Sebagai Gerakan Sosial Dalam Membentuk Opini Publik Amerika Serikat, Bandung: Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan, diakses dari http://repository.unpar.ac.id (07/07/2020)

(18)

pembahasan mengenai gerakan #MeToo yang difokuskan di satu negara dengan melihat bagaimana gerakan tersebut mencapai tujuannya.

Ketujuh, Jurnal oleh Haldhianty Fitri Ramadhani, Sukma Sushanti, A.A Bagus Surya Widya Nugraha dengan judul Upaya Gerakan #MeToo Mengurangi Kekerasan Seksual Pada Perempuan di India Tahun 201819. Jurnal ini membahas mengenai gerakan #MeToo dalam mengurangi jumlah kekerasan seksual di India pada tahun 2018. Berbagai upaya dilakukan gerakan

#MeToo untuk mencapai tujuannya salah satunya melakukan kampanye melalui media sosial. Penelitian ini menggunakan metode kuasi-kualitatif dengan kerangka konseptual gerakan sosial dan feminisme radikal dalam upayanya, gerakan #MeToo menjadi wadah bagi perempuan India dalam menghadapi pelecehan seksual dan mengubah pola pikir masyarakat tentang pelecehan seksual. Gerakan ini mendesak perempuan India untuk berani menyampaikan dan menuntut tentang pelecehan seksual yang mereka alami.

Perbedaan penelitian terdahulu ketujuh ini dengan penelitian penulis terletak pada studi kasus penelitian yaitu melihat gerakan #MeToo di negara India.

Sedangkan persamaan penelitian terletak pada fokus pembahasan yaitu bagaimana gerakan #MeToo dapat mencapai tujuannya yakni pada penelitian terdahulu ini memfokuskan tujuan penelitian untuk melihat upaya apa yang dilakukan untuk mengubah pola pikir masyarakat India.

19 Haldhianty Fitri Rakhmadhani, dkk, Januari 2020, Upaya Gerakan #MeToo Mengurangi Kekerasan Seksual Pada Perempuan di India Tahun 2018, diakses dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/hi/article/view/56971 (09/07/2020)

(19)

Kedelapan, Working Paper oleh Nony Natadia Ernel dengan judul Gerakan Sosial Perempuan dalam Isu Kekerasan Seksual yang Terjadi di Indonesia dan India20. Makalah ini membahas tentang kemajuan gerakan sosial perempuan di negara Indonesia dan India. Peneliti membahas mengenai Indonesia dan India berdasarkan tingginya jumlah masyarakat sipil di kedua negara ini.

Landasan konseptual yang digunakan adalah konsep kekerasan seksual, pendekatan Fungsional Struktural, konsep gerakan sosial di mana menurut Molyneux terdapat lima alasan mengapa akhirnya terbentuk gerakan sosial perempuan, yaitu adanya budaya, terbentuknya keluarga, pembentukan politik, bentukan dari tingkat solidaritas perempuan, dan karakter masyarakat sipil dalam konteks negara dan regional. Molyneux juga mendefinisikan gerakan perempuan menjadi dua jenis.

Pertama adalah gerakan perempuan yang dimobilisasi dengan adanya pemimpin gerakan, anggota dan pengikut, dan program politis, dan yang kedua adalah aktivitas politik gerakan perempuan juga bisa dikualifikasi dengan adanya gerakan yang bukan karena solidaritas maupun kesadaran yang kuat dengan kelompok lain.

Di India upaya untuk mengatasi kekerasan seksual adalah pemerintah memperkenalkan KUHP India (India Penal Code-IPC) dimana kejahatan pelecehan seksual dianggap sebagai pelanggaran dengan hukuman 3 tahun penjara atau denda, sementara gerakan perempuan yang ada di India antara lain adalah Geng Gulabi untuk menyuarakan upaya keadilan terhadap perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan di Indonesia, gerakan perempuan

20 Natadia Ernel, Februari 2018, Gerakan Sosial Perempuan dalam Isu Kekerasan Seksual yang Terjadi di Indonesia dan India, Working Paper, Universitas Indonesia, diakses dari www.researchgate.net (12/11/2018)

(20)

ditandai dengan Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 yang dikenal dengan hari ibu. Sementara gerakan perempuan di Indonesia dikenal dengan nama Gerwani pada tahun 1957 dengan memperjuangkan hak-hak perempuan. Selain itu terdapat beberapa LSM-LSM yaitu LSM solidaritas perempuan di Jakarta, Yayasan Perempuan Mardika, PPSW, APIK, LSPPA. Di Indonesia gerakan perempuan dalam melawan kekerasan dan pelecehan seksual cenderung lebih kepada aksi masa melalui demo untuk memaksa pemerintah dalam menunjukkan keseriusan dalam upaya penanggulangan kekerasan seksual dan pemanfaatan media sosial yang juga menyuarakan kampanye anti kekerasan yang dilakukan oleh pegiat perempuan. Diadakannya diskusi ilmiah guna meningkatkan kesadaran dan pendidikan terhadap perempuan agar memiliki pengetahuan terkait dengan kekerasan seksual. Berbeda dengan India strategi yang dilakukan adalah turut serta ikut dalam sidak penyelesaian kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.

Perbedaan penelitian terdahulu kedelapan dengan penelitian penulis adalah terletak pada konteks pembahasan di mana pada penelitian terdahulu ini dalam melihat peran terdapat perbandingan antara studi kasus yang sama namun dalam dua tempat yang berbeda dan perbedaan yang lain juga terletak pada penggunaan konsep untuk melihat peran. Sedangkan persamaannya adalah sama-sama membahas gerakan perempuan juga dengan konteks permasalahan yang sama yaitu permasalahan kekerasan seksual.

Kesembilan, Jurnal oleh Najamuddin Khairur Rijal dan Palupi Anggraheni dengan judul Strategi Global Civil Society di Level Lokal: Kasus

(21)

Earth Hour Malang21. Jurnal ini membahas tentang strategi Aktor Global Civil Society yaitu Earth Hour Malang dalam mengampanyekan gaya hidup hijau dan mendorong kesadaran masyarakat untuk peduli pada lingkungan di Kota Malang.

Jurnal ini menggunakan konsep Global Civil Society dengan strategi visibility dan audibility dengan data yang dikumpulkan adalah melalui wawancara dengan aktivis Earth Hour Malang dan studi dokumentasi serta data sekunder dari buku, jurnal, artikel daring, berita, dan lain-lain.

Hasil dari penelitian ini adalah Earth Hour Malang telah melakukan banyak strategi visibility maupun audibility. Strategi visibility yang dilakukan sepanjang tahun 2015-2018 adalah dengan melakukan aksi street campaign di Car Free Day (CFD) Kota Malang yaitu pemberian hadiah bibit tanaman kepada masyarakat dan penukaran kantong plastik dengan tas daur ulang; melakukan City Park Campaign yaitu kegiatan biopori di Taman Merbabu, Sambang Baby Tree di Taman Mojolangu, Cafe Night Campaign, School Campaign dilakukan di SD, SMP, dan SMA terkait sampah, pemanfaatan sampah, dan hemat energi; memberikan wawasan mengenai green living dengan mengunjungi Kampung 3G yang menerapkan konsep go green; Zero Emission Day Run (ZEDAR) yang digelar untuk mengkampanyekan Hari Bebas Emisi; Aksi Nanem Mangroves Nang Pantai Tamban (Namaste) dengan menanam bibit bakau di sekitar muara Pantai Tamban;

menyelenggarakan Green Valuable Festival (G-Velfest) merupakan aksi puncak dari rangkaian aksi #BeliYangBaik; Aksi menghadap laut di Pantai Goa Cina untuk

21 Najamuddin Khairur Rijal dan Palupi Anggraheni, 2019, Strategi Global Civil Society di Level Lokal: Kasus Earth Hour Malang, Intermestic: Journal of International Studies, Volume 4, No.1,

Bandung: Universitas Padjajaran, diakses dari

http://intermesticjournal.fisip.unpad.ac.id/index.php/intermestic/article/view/138 (19/10/2020)

(22)

membersihkan sampah anorganik; dan Earth Hour Day setiap Sabtu pekan terakhir bulan Maret dengan mematikan listrik selama satu jam pada pukul 20.30-21.30.

Earth Hour Malang juga melakukan kampanye daring yaitu melalui tagar

#SeninBawaTumblr, #PlastikTakAsik, #SabtuPreiBBM, #AyoBawaBekal dan mengedukasi masyarakat dengan momentum peringatan hari-hari tertentu terkait dengan keselamatan lingkungan. Selain itu Strategi Audibility yang dilakukan sepanjang tahun 2015-2018 adalah melalui media radio dan stasiun televisi lokal dan media online seperti Youtube.

Perbedaan penelitian terdahulu kesembilan dengan penelitian penulis adalah terletak pada studi kasus yang berbeda yaitu penelitian terdahulu ini membahas tentang Organisasi Earth Hour Malang untuk mengkampanyekan gaya hidup hijau dan kepedulian terhadap lingkungan. Sedangkan persamaan penelitian terdahulu ini dengan penelitian penulis adalah terletak pada tujuan dan fokus penelitian yaitu untuk melihat strategi dari sebuah aksi juga dalam penggunaan konsep Global Civil Society dengan strategi Visibility dan Audibility.

Kesepuluh, Skripsi oleh Disty Adeana dengan judul Respon Penolakan Solidaritas Comfort Women Korea Selatan Terhadap Agreement on Comfort Women Tahun 201522. Skripsi ini membahas tentang respon penolakan solidaritas Comfort Women Korea Selatan terhadap Agreement on Comfort Women 2015.

Skripsi ini menggunakan konsep Transnational Civil Society dan konsep Non-

22 Disty Adeana, 2019, Respon Penolakan Solidaritas Comfort Women Korea Selatan Terhadap Agreement on Comfort Women Tahun 2015, Skripsi, Malang: Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang.

(23)

Violent Actions oleh Gene Sharp untuk menjelaskan solidaritas Comfort Women Korea Selatan dalam penolakan terhadap Agreement on Comfort Women 2015.

Comfort Women sebagai aktor sosial yang memperjuangkan hak korban Comfort Women melalui gerakan penuntutan pertanggung jawaban terhadap Jepang dengan aksi solidaritas yang cenderung menggunakan cara-cara damai dan non- kekerasan. Berbagai macam aktivitas solidaritas CW Korea Selatan sebagai upaya penuntutan penyelesaian dan pertanggung jawaban isu CW terhadap pemerintah Jepang yang sebelumnya dilakukan tidak kunjung menghasilkan resolusi yang signifikan. Bahkan pasca Agreement on Comfort Women disepakati, respon pihak solidaritas CW Korea Selatan menunjukkan respon negatif.

Upaya Comfort Women sebagai respon dalam penolakan kesepakatan Comfort Women 2015 adalah dengan metode-metode damai dan non-kekerasan sebagai Transnational Civil Society. Upaya penolakan yang dilakukan diantara nya adalah melalui Wednesday Demonstration, Kampanye Penolakan melalui Media Pemberitaan Kampanye 100 Milions Signatures, peletakan Comfort Women Statue atau patung Comfort Women kedua pada 30 Desember 2016 di depan Kantor Konsulat Jepang untuk Korea Selatan di Busan, Aksi Teatrikal Penghinaan terhadap Perdana Menteri Shinzo Abe dengan menggunakan topeng wajah Perdana Menteri Shinzo Abe dengan posisi berlutut didepan patung CW di Busan dan Aksi bakar diri.

Perbedaan penelitian terdahulu kesepuluh dengan penelitian penulis adalah terletak pada fokus pembahasan yang mana membahas tentang respon penolakan terhadap kesepakatan penuntutan isu Comfort Women dan konsep yang digunakan

(24)

juga berbeda. Sedangkan persamaan penelitian terdahulu ini dengan penelitian penulis adalah sama-sama membahas isu kekerasan seksual di Korea Selatan dan juga membahas mengenai strategi yang dilakukan sebuah gerakan untuk mencapai tujuan tertentu.

Tabel 1.1 Posisi Penelitian

No Judul dan Nama Peneliti

Jenis Penelitian dan Alat Analisa

Hasil

1 Skripsi: Peran Gerakan Women’s Forum Australia (WFA) Terhadap Sexual Harassment dan Sexual

Violence Pada Perempuan di Australia.

Oleh:

Isnawaty Endarsih.

Deskriptif.

Pendekatan:

Konsep Feminisme dan Konsep Pressure Group.

 Peran:

 Meregulasikan target program pendidikan anti kekerasan berbasis sekolah dan

masyarakat.

Dan sebagai kelompok penekan dengan pengajuan permasalahan

perempuan Australia kepada pemerintah federal. Berupa ACT Liberals Health Discussion Paper, ACT Children’s Plan, ACT Women’s Health Plan.

 Hasilnya: Pemerintah mengeluarkan The National Plan.

2 Skripsi: Peran Aksi Slutwalks Sebagai Bentuk Protes Terhadap

Deskriptif.

Pendekatan:

 Strategi:

 Strategi Visibility yaitu berdemonstrasi.

(25)

Sexual Violence di Kanada.

Oleh:

Aulia Magfiroh.

Konsep Global Civil Society.

 Strategi Audibility yaitu menyiarkan gerakan Slutwalk lewat radio-radio di Kanada

 Strategi Networking yaitu membangun koneksi dengan organisasi dan LSM.

 Hasil: penurunan angka kekerasan seksual tahun 2013- 2014

 Regulasi kebijakan terkait kekerasan seksual oleh Provinsi Ontario, Manitoba, dan Nova Scotia.

3 Skripsi: Gerakan Perlawanan Perempuan “The Gulab’s Gang”

Terhadap Ketidakadilan Perempuan.

Oleh:

Sekti Desy Handayani.

Eksplanatif.

Pendekatan:

Konsep New Social Movement dan Teori Feminisme Radikal.

 Dikategorikan sebagai feminisme radikal.

 Upaya dengan demonstrasi dan membantu

menyelesaikan kasus secara langsung.

 Perubahan sosial:

 Menyetarakan kemampuan yang dimiliki oleh

perempuan dan laki- laki.

 Menghukum setiap pelaku kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan dan pelecehan seksual.

 Menjalankan pendidikan pada perempuan usia dini.

(26)

4 Skripsi: Strategi Gerakan Slutwalk Dalam Memperluas Jaringan

Transnasional Untuk Membela Perempuan Dari Tindakan Pelecehan.

Oleh:

Firda Duana Monardi.

Deskriptif.

Pendekatan:

Konsep Gerakan Sosial Transnasional dan Teori

Mobilisasi Sumber Daya.

 Strategi penyebaran gerakan melalui media sosial dapat

membentuk jaringan transnasional dengan terhimpunnya berbagai macam dukungan dari berbagai negara.

 Gerakan offline juga terbentuk ditandai dengan masyarakat sipil dari berbagai negara turun ke jalan dan menyuarakan aksi penentangan terhadap tindakan pelecehan seksual terhadap perempuan.

 Kombinasi ruang

“real” dan “virtual”

telah memberikan konteks dan validasi dalam melakukan gerakan sosial.

5 Skripsi: Pengaruh Gerakan #MeToo Terhadap

Perubahan

Kebijakan Tentang Pelecehan Seksual Di Amerika Serikat Tahun 2017-2019.

Oleh: Fenni Ratna Dewi.

Deskriptif.

Pendekatan: Konsep Transnational Advocacy Network.

 Taktik:

 Information Politics dilakukan melalui aktivisme para aktor Gerakan #MeToo.

 Symbolic Politics yaitu penggunaan tagar

#MeToo sebagai klaim atas masalah pelecehan seksual dan

Penggunaan pin Time’s Up sebagai simbol solidaritas terhadap masalah pelecehan seksual.

(27)

 Leverage Politics

#MeToo penjatuhan hukuman untuk para pelaku pelecehan seksual dari

pekerjaannya melalui peningkatan tuduhan.

6 Skripsi: Pengaruh

#MeToo Sebagai Gerakan Sosial Dalam Membentuk Opini Publik Amerika Serikat.

Oleh: Maghfira Adzhani Diva.

Deskriptif.

Pendekatan: Teori Komunikasi Pertama Wilbur Schramm.

 Penyampaian pesan gerakan #MeToo melalui Twitter memiliki hambatan karena kurangnya penyebaran gerakan dan cara penyampaian yang dilakukan oleh Aktris Rose Mcgowan dan Alyssa Milano.

 Gerakan #MeToo berjalan baik dengan media sosial dengan mengambil

kesempatan momentum kasus Harvey Weinstein untuk menyampaikan pesannya.

7 Jurnal: Upaya Gerakan #MeToo Mengurangi Kekerasan Seksual Pada Perempuan di India Tahun 2018.

Oleh: Haldhianty Fitri Ramadhani, Sukma Sushanti, A.A Bagus Surya Widya Nugraha.

Kuasi-Kualitatif.

Pendekatan: Konsep Gerakan Sosial dan Feminisme Radikal.

 Upaya:

 Kampanye online melalui Twitter sehingga terjadi interaksi yang

melibatkan para aktor industri hiburan dan rakyat India.

 Menjalin kerjasama antara organisasi, pemerintahan, memprioritaskan

(28)

masalah kekerasan seksual.

 Menteri Maneka Gandhi membentuk komisi untuk mengadili kasus kekeraan seksual yang dilaporkan di media sosial.

 Jumlah laporan

kekerasan seksual dari 570 laporan menjadi 965 laporan dari tahun 2017 hingga 2018.

8 Gerakan Sosial Perempuan dalam Isu Kekerasan Seksual yang Terjadi di

Indonesia dan India Oleh:

Nony Natadia Ernel

Deskriptif.

Pendekatan:

konsep kekerasan seksual, pendekatan Fungsional

Struktural, konsep gerakan sosial menurut Molyneux

Strategi gerakan perempuan di Indonesia:

 Demo

 Pemanfaatan media sosial untuk kampanye secara virtual

Strategi gerakan perempuan di India:

 Ikut dalam sidak penyelesaian masalah kekerasan seksual 9 Jurnal: Strategi

Global Civil Society di Level Lokal: Kasus Earth Hour Malang Oleh:

Najamuddin Khairur Rijal dan Palupi Anggraheni

Deskriptif.

Pendekatan:

Konsep Global Civil Society

Strategi Earth Hour Malang Visibility:

 Street Campaign

 City Park Campaign

 Sambang Baby Tree

 Cafe Night Campaign

 School Campaign

 ZEDAR

 Namaste

 G-Velfest

 Tagar di Media Sosial Audibility:

 Media Radio

(29)

 Stasiun Televisi lokal

 Youtube

10 Skripsi: Respon Penolakan

Solidaritas Comfort Women Korea Selatan Terhadap Agreement on Comfort Women Tahun 2015 Oleh:

Disty Adeana

Deskriptif.

Pendekatan:

Konsep

Transnational Civil Society dan Konsep Non Violent Action

Respon dan upaya Solidaritas Comfort Women dalam menolak Agreement on Comfort Women 2015:

 Wednesday Demonstration ke- 1211 pada tahun 2015

 Peletakan Comfort Women Statue ke dua pada 2016

 Aksi Teatrikal Penghinaan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada 2017

 Aksi bakar diri oleh demonstran pada 2017

 Aksi Simbolik perobekan Kertas Kuning Agreement on Comfort Women 2015 pada 2018

11 Strategi Gerakan

#MeToo Dalam Melawan Tindakan Kekerasan Seksual Terhadap

Perempuan di Korea Selatan Oleh:

Eka Safitri Minabari

Deskriptif.

Pendekatan:

Konsep Global Civil Society dan Konsep Kekerasan Seksual.

Penulis akan fokus pada strategi Gerakan #MeToo terhadap isu kekerasan seksual pada perempuan di Korea Selatan serta melihat fenomena kekerasan seksual di Korea Selatan

(30)

1.5. Landasan Konseptual

1.5.1. Konsep Global Civil Society

Konsep Global Civil Society muncul pada abad 20 sekitar tahun 1990.

Global Civil Society sering dikaitkan dengan Non Governmental Organization (NGO), Transnational Advocacy Networks, Global Social Movements, a New Multilateralism. Konsep ini tidak dapat dipisahkan dari pengertian globalitas (kondisi menjadi global) secara umum karena konsep Global Civil Society merupakan kegiatan sipil yang memiliki ciri yaitu: (a) membahas isu-isu global; (b) melibatkan komunikasi lintas batas; (c) memiliki organisasi global; (d) bekerja pada premis solidaritas supraterritorial. Konsep ini memang punya empat ciri, tetapi untuk melihat kegiatan sipil yang termasuk Global Civil Society, maka salah satu ciri atau dua yang melekat pada kegiatan itu pun sudah bisa dikategorikan ke dalam konsep Global Civil Society. Contohnya adalah kelompok lokal yang berkampanye tentang masalah supraterritorial seperti perubahan iklim dapat dianggap sebagai bagian dari Global Civil Society meskipun mereka tidak punya organisasi lintas batas dan tidak punya jaringan komunikasi dengan kelompok-kelompok sipil di tempat lain di dunia.23

Menurut Jan Art Scholte dimana Global Civil Society adalah sebuah aktivitas sukarela dengan tujuan membentuk kebijakan, norma, ataupun struktur sosial yang lebih dalam. Global Civil Society juga merupakan sebuah komunitas

23 Jan Aart Scholte, Global Civil Society: Changing the World?, Centre for the Study of Globalisation and Regionalisation (CSGR), Working Paper No.31, Mei 1999, University of

Warwick, diakses dari

https://www.unicef.org/socialpolicy/files/Global_Civil_Society_Changing_the_World.pdf (14/6/2018) Hal. 7-10

(31)

yang memiliki orientasi sosial dan cenderung mengarah pada sebuah komunitas yang lebih dekat dengan gerakan-gerakan sosial. Masyarakat sipil global yang dimaksud juga merupakan masyarakat yang berada di luar pemerintah artinya adalah gerakan ini adalah gerakan yang tidak memiliki keberpihakan terhadap pihak pemerintah dalam satu negara. Tetapi dibentuk oleh masyarakat antar negara.24

Global Civil Society menurut Joan Keane adalah merujuk pada ruang sosial yang luas, saling terikat, dan terdiri dari institusi-institusi non pemerintah maupun individu-individu dalam suatu negara yang mengarahkan diri sendiri. Bentuk dari Global Civil Society adalah organisasi, inisiatif masyarakat dan bisnis, gerakan sosial, komunitas linguistik, dan identitas budaya yang memiliki tujuan sama dengan melakukan aktivitas sosial lintas batas, bisnis, dan politik di luar batas struktur pemerintahan. Artinya adalah masyarakat sipil global merupakan kumpulan dari berbagai bentuk masyarakat dalam melakukan gerakan sosial ataupun membentuk organisasi non pemerintah yang berada di luar lintas batas negara dan memiliki tujuan yang sama.25

Dua dimensi yang menjadi ciri khas Global Civil Society adalah Pertama, mereka berusaha untuk mengikuti proses yang sebenarnya terkait dengan perluasan ikatan sosial hingga ke seluruh tingkat dunia, dimediasi oleh internasionalisasi pasar ekonomi, transportasi, budaya, komunikasi, media transparan di seluruh dunia, dan internet. Kedua, kategori masyarakat sipil global juga berusaha untuk

24 Ibid.

25 Helmut Anheier, Marlies Glasius, dan Mary Kaldor, 2001, Global Civil Society? (ed), John Keane, diakses dari http://www.johnkeane.net/global-civil-society-2/ (14/6/2018) Hal. 23-24.

(32)

memberikan konten normatif dan kekuatan memobilisasi, tekad untuk mewujudkan prinsip pemerintahan demokratis dan cara hidup demokratis di seluruh dunia, dan untuk mengidentifikasi kriteria untuk mengevaluasi kejadian di masing-masing negara, dalam kecenderungan global, dari perspektif perdamaian, toleransi, otonomi dan kontrol masyarakat, dan dalam konfrontasi dengan pusat-pusat dunia baik formal maupun informal kekuasaan dan pemerintahan.26

Perkembangan Global Civil Society yang baik berpotensi mempengaruhi pemerintah dalam dua cara: yaitu meningkatkan respons politik dengan mengumpulkan dan mengekspresikan keinginan publik melalui bentuk asosiasi non pemerintah, dan melindungi kebebasan umum dengan membatasi kemampuan pemerintah untuk menciptakan aturan sewenang-wenang dengan kekerasan.

Global Civil Society disebutkan memiliki identitas yang tidak terpaku pada bentuk pengorganisasian baku dan lebih sering dilihat sebagai kelompok kepentingan dan gerakan sosial yang terkoneksi. Dari beberapa model yang berkembang pada Global Civil Society ini strategi yang digunakan pun berbeda- beda. Strategi yang digunakan menurut Marc Edelman dapat berupa gerakan nyata seperti Visibility dan Audibility sebagai gerakan nyata yang dapat dilihat dan didengar oleh target mereka dan biasanya dilakukan oleh individu-individu secara kolektif maupun LSM dan atau gabungan antara keduanya. Selanjutnya adalah Lobbying dan biasanya dilakukan oleh para profesional NGO ataupun kelompok kepentingan dengan pasar dan pemerintah dan yang terakhir adalah Networking

26 Dragica Vujadinović, 2009, Global Civil Society as Concept and Practice in the Processes of Globalization, Working Paper No.47, University of Belgrade, diakses dari http://www.hrfd.hr/documents/07-vujadinovic-pdf.pdf (18/10/2018)

(33)

dimana mereka memiliki koneksi dengan masyarakat sipil atau organisasi lainnya yang ditunjang dengan penggunaan media.27

Bentuk strategi Global Civil Society yaitu Visibility dan Audibility;

Lobbying; dan Networking. Visibility dan Audibility adalah strategi yang dapat dirasakan oleh masyarakat dimana Visibility merujuk pada tindakan yang bisa dilihat secara langsung seperti demonstrasi dan kampanye. Selain itu tindakan- tindakan yang dapat terlihat lainnya seperti pemuatan konten dalam bentuk poster, surat kabar maupun brosur dan Audibility adalah penyebaran melalui media-media seperti TV, Radio, platform Youtube dan podcast yang nantinya akan sampai dan dapat didengar oleh target juga masyarakat. Lobbying adalah tindakan mempengaruhi pemerintah untuk mengubah suatu kebijakan. Sedangkan Networking adalah ketika mereka memiliki koneksi dengan masyarakat sipil atau organisasi lainnya baik di dalam negara maupun di luar suatu negara. 28

Strategi dalam Global Civil Society yang peneliti gunakan untuk melihat strategi yang digunakan Gerakan #MeToo dalam penelitian ini diantaranya adalah strategi Visibility dan Audibility, Lobbying, dan Networking.

1.5.2. Konsep Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah tindakan yang meliputi pelecehan verbal hingga perkosaan dan berbagai jenis paksaan, mulai dari tekanan sosial dan intimidasi

27 Marc Edelman, Social Movements: Changing Paradigms and Forms of Politics. Annual Review of Anthropology, Vol, 30, (2001), New York: University of New York, diakses dari http://www.jstor.org/stable/3069218 (10/11/2018).

28 Ibid.

(34)

hingga kekuatan fisik. Beberapa tindakan yang dapat dikatakan sebagai tindakan kekerasan seksual adalah: (1) perkosaan dalam hubungan perkawinan atau kencan;

(2) pemerkosaan oleh orang asing atau kenalan; (3) pelecehan seksual di sekolah, tempat kerja dan lain-lain; (4) perbudakan seksual; pelecehan seksual terhadap orang cacat mental atau fisik; (5) pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak-anak; dan (6) bentuk kekerasan seksual ‘adat’ seperti kawin paksa.29

World Health Organization (WHO) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai: Setiap tindakan seksual, upaya untuk melakukan tindakan seksual, komentar atau pelecehan verbal seksual yang tidak diinginkan, atau tindakan pemaksaan seksual yang oleh siapa pun tanpa memandang hubungan, dan dalam pengaturan apa pun, bahkan tidak terbatas pada lingkungan rumah maupun kantor.

Paksaan dapat mencakup berbagai tindakan dengan menggunakan kekuatan, intimidasi psikologis, pemerasan atau ancaman berupa kerusakan fisik atau tidak mendapatkan pekerjaan atau kelas. Selain itu, kekerasan seksual juga dapat terjadi ketika seseorang tidak dapat memberikan persetujuan misalnya, ketika mabuk, dibius, tertidur atau cacat mental.

WHO mendefinisikan kekerasan seksual adalah tindakan yang dilakukan kepada seorang wanita, dimana: (a) Dipaksa secara fisik untuk melakukan hubungan seksual ketika dia tidak mau; (b) Melakukan hubungan seksual secara terpaksa karena dia takut akan apa yang pasangannya mungkin lakukan; dan (c)

29 Claudia Garcia Moreno, Alessandra Guedes, dan Wendy Knerr, 2012, Understanding and addressing violence against women, World Health Organization, diakses dari http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/77434/WHO_RHR_12.37_eng.pdf;jsessionid=FD F19B37C2E3B286BA8BDF106BF271C5?sequence=1 (18/10/2018)

(35)

Dipaksa melakukan tindakan seksual yang menurutnya dapat merendahkannya atau membuatnya malu.

Selain itu, hal yang paling erat kaitannya dan juga menjadi bagian daripada kekerasan seksual adalah pelecehan seksual. Pelecehan Seksual secara spesifik itu sendiri merupakan pendekatan seksual yang tidak diinginkan, gerakan, lelucon, perilaku, permintaan untuk melakukan hubungan seksual, sentuhan secara seksual, atau pemaksaan untuk melakukan sesuatu yang seksual. Terdapat dua bentuk pelecehan seksual yang umum terjadi yaitu bentuk Kompensasi dan bentuk pelecehan seksual Lingkungan yang tidak bersahabat.30

Perilaku Kompensasi adalah perilaku yang melibatkan tuntutan tersurat maupun tersirat untuk permintaan seksual yang di pertukarkan untuk beberapa keuntungan seperti promosi jabatan, kenaikan gaji, nilai bagus, atau penawaran perkerjaan. Selain itu ditukarkan untuk menghindari beberapa kerugian seperti penghentian pekerjaan, penurunan gaji, penggagalan nilai, atau penolakan kerja sama yang biasa terjadi di tempat kerja maupun sekolah. Menurut definisi, hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh seseorang dengan jabatan yang lebih tinggi atau bagi yang memiliki kekuasaan. Perilaku kompensasi mungkin tidak melibatkan ajakan langsung atau secara terang-terangan untuk melakukan hubungan seksual namun berbentuk proposisi seksual yang lebih miring atau ajakan untuk kencan atau sekedar bertemu dengan dalih membahas urusan profesional.

30 U.S Department of Education, September 2008, Sexual Harassment It’s Not Academic, diakses dari https://www2.ed.gov/about/offices/list/ocr/docs/ocrshpam.pdf (21/09/2020)

(36)

Perilaku pada lingkungan yang tidak bersahabat yaitu pelecehan seksual yang timbul secara terus-menerus yang menciptakan perlakuan intimidasi, permusuhan, dan serangan dalam lingkungan kerja, sekolah maupun di tempat umum. Perlakuan dapat dilakukan secara fisik, verbal maupun nonverbal. Sebagai contoh, perlakuan yang termasuk pelecehan seksual secara fisik adalah menyentuh, memeluk, maupun mencium orang tanpa persetujuan orang tersebut. Selain itu pelecehan seksual secara verbal adalah komentar seksual tentang pakaian, tubuh, atau hubungan seksual seseorang, termasuk pemaksaan untuk kencan, percakapan maupun lelucon yang bersifat seksual dan bahkan perlakuan menggoda yang sering disebut dengan ‘cat calling’ yang sering terjadi di tempat umum. Sedangkan pelecehan seksual nonverbal berupa muatan materi seksual eksplisit di tempat kerja dan penggunaan materi seksual di sekolah tanpa tujuan Pendidikan yang jelas.

Selain itu pengunggahan video atau konten seksual yang tanpa persetujuan orang yang terlibat di dalam video tersebut juga merupakan tindakan pelecehan seksual secara non verbal.

WHO menyatakan bahwa ada banyak alasan logis mengapa perempuan tidak melaporkan kekerasan seksual, termasuk: adanya sistem dukungan yang tidak memadai; malu; rasa takut resiko pembalasan; ketakutan atau risiko disalahkan;

ketakutan atau risiko tidak dipercayai; ketakutan atau risiko dianiaya dan / atau dikucilkan secara sosial.31

Di sini peneliti hanya ingin melihat permasalahan kekerasan seksual di Korea Selatan yang meliputi tindakan kekerasan seksual dalam hubungan

31 Claudia Garcia Moreno, Alessandra Guedes, dan Wendy Knerr, Op.Cit.

(37)

pernikahan atau kencan, kekerasan seksual oleh orang asing atau kenalan, dan kekerasan seksual yang terjadi di sekolah dan universitas, di tempat kerja, dan di tempat umum seperti pelecehan seksual non verbal yang marak terjadi di Korea Selatan yaitu penggunaan kamera-kamera tersembunyi di ruang ganti maupun toilet umum wanita yang kemudian akan disebar di situs porno. Selain itu juga penyebaran konten seksual oleh pasangan sebagai bentuk balas dendam di situs porno tanpa persetujuan dan sepengetahuan korban. Hal ini didasarkan pada laporan tahun 2016 bahwa sebanyak lebih dari 7000 perempuan Korea Selatan menemukan video yang membahayakan diri mereka di situs porno dan meningkat tujuh kali lipat dalam empat tahun.32 Sampai dengan bentuk kekerasan seksual secara verbal.

1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang secara istilah dapat diartikan sebagai penelitian yang diarahkan untuk memaparkan gejala atau fenomena, fakta atau kejadian secara sistematis dan akurat. Penelitian ini dirancang untuk memperoleh informasi tentang status atau gejala mengenai populasi atau daerah tertentu, atau memetakan fakta berdasarkan cara pandang (kerangka berpikir) tertentu pada saat penelitian dilakukan. Metode penelitian deskriptif biasanya digunakan untuk meneliti status sekelompok manusia

32 Derrick A Paulo, 2018, In South Korea, a Society Faces Up to an Epidemic of Sexual Harassment, Channel News Asia, diakses dari https://www.channelnewsasia.com/news/cnainsider/south-korea- sexual-harassment-revenge-porn-abuse-get-real-9987316 (05/12/2020)

(38)

atau objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa terkini. Adapun ruang lingkup penelitian deskriptif adalah studi kasus, survei, studi perkembangan, studi tindak lanjut, analisis dokumenter, analisis kecenderungan, studi korelasi, studi perbandingan, studi kemasyarakatan, studi waktu dan gerak, serta analisis kegiatan dan seterusnya.33

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah studi dokumentasi, yaitu dengan menelaah dokumen yang relevan dengan topik yang dikaji melalui buku, jurnal, artikel online, serta berbagai data baik cetak maupun elektronik yang dapat menunjang penelitian ini. Selain itu Teknik pengumpulan data juga diperoleh melalui fitur Ncapture lalu dikembangkan dalam Software Nvivo 12 Plus juga melakukan pengumpulan data dengan memanfaatkan situs Analisa data dalam media sosial Twitter yaitu UnionMetrics untuk mengumpulkan data mengenai perkembangan terbaru Gerakan #MeToo Korea Selatan dalam Media Sosial.

1.6.3. Teknik Analisa Data

Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif. Teknik Analisa data kualitatif punya tiga komponen utama menurut Miles, Huberman dan Saldaña. Komponen yang pertama yaitu Kondensasi Data yang mengacu pada pemilihan atau seleksi data. Dalam hal ini peneliti memfokuskan,

33 H. Abdullah K, 2018, Berbagai Metodologi dalam Penelitian, Gunadarma Ilmu, Hal. 1-3

Gambar

Tabel 1.1 Posisi Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Variabel terikat Kekerasan terhadap anak Perilaku orang tua terhadap anak usia 10-14 tahun yang meliputi perilaku kekerasan fisik, emosional, seksual maupun penelantaran

Komunikasi nonverbal acapkali dipergunakan untuk menggambarkan perasaan, emosi. Jika pesan verbal tidak menunjukkan kekuatan pesan maka dapat menerima tanda-tanda nonverbal

Manfaat keilmuan diharapkan dari hasil penelitian ini terutama menambah khazanah pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam hal kekerasan seksual secara fisik

Menurut naskah RUU tentang Penghapusan Kekerasan seksual, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya

Komnas Perempuan dalam MaPPI FHUI (30 Oktober 2018) (dokumen dari mappifhui.org, diakses pada tanggal 27 Februari 2020) mendeskripsikan kekerasan seksual sebagai

Perempuan korban kekerasan menderita secara fisik dan psikis memerlukan penanganan dan pemulihan agar mereka dapat hidup normal seperti semula, menurut Undang-Undang Nomor 23

Atas dasar pasal 72 UU tentang Perlindungan Anak jika terjadi tindakan kekerasan baik yang berupa kekerasan verbal, fisik, mental maupun pelecehan seksual terhadap anak

Melihat fenomena tersebut, terutama di kalangan perempuan, maka untuk mengetahui apakah ada pengaruh tingkat pendidikan ibu rumah tangga dan bagaimana mereka mengelola keuangan keluarga