• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TESIS SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA AHMAD FUADI

LITERATURE SOSIOLOGY AND EDUCATION VALUE

IN NEGERI LIMA MENARA

BY AHMAD FUADI

OLEH

RAHMAT

04.06.629.2011

PROGRAM PASCASARJANA

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(2)

i

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun dan Diajukan oleh

RAHMAT

NIM: 04.06.629.2011

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(3)

ii

KARYA AHMAD FUADI

Yang disusun dan diajukan oleh

RAHMAT NIM. 04. 06. 629. 2011

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum. Dr. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum.

Mengetahui,

Ketua Program Studi Direktur Program Pendidikan Bahasa dan Pascasarjana

Sastra Indonesia Unismuh Makassar

Dr. Abd. Rahman Rahim M. Hum. Prof. Dr. H.M. Ide Said D.M., M.Pd. NBM 951576 NBM 988463

(4)

iii

dan hidayah-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan pada Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Tesis ini berusaha menjelaskan dan mendeskripsikan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan pada Novel Negeri Lima Menara dengan menggunakan pendekatan Sosiologi Sastra.

Tesis dibuat guna memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar magister pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar. Tesis ini dapat diselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Abd. Rahman Rahim. M. Hum., Ketua Program Studi Bahasa Indonesia Program Pascasarjana sekaligus sebagai pembimbing I yang telah membantu proses perkuliahan serta memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran, ketulusan, ketelitian dan penuh harapan sehingga tesis ini dapat tersusun dengan lancar.

2. Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum., sebagai pembimbing II yang telah, bimbingan, masukan yang sangat berharga, serta memotivasi sampai ke lubuk hati yang paling dalam sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

3. Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M. Pd, Direktur PPs Unismuh yang telah memberikan izin penyusunan tesis ini.

(5)

iv

sehingga jenjang pendidikan magister ini dapat di tempuh dan diselesaikan dengan lancar.

6. Seluruh teman satu angkatan, staf TU Pascasarjana yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah Yang Maha Kaya membalas kebaikan Bapak Ibu.

Kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan tesis agar lebih baik dan bermanfaat. Semoga Allah selalu menyertai langkah kita, sekarang dan selamanya. Amin.

Makassar, Mei 2015

(6)

v

Dua Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. Tesis: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Penelitian ini menjelaskan dan mendeskripsikan: (1) pandangan pengarang terhadap Pondok Madani; (2) sosiologi sastra yang terungkap pada novel dan (3) nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara. Novel berlatar pendidikan di pondok ini cukup menarik untuk dikaji melalui pendekatan sosiologi sastra, yaitu tentang perjuangan enam anak laki-laki yang belajar di Pondok Madani dan berlomba-lomba melukis negeri impiannya di langit.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Data penelitian berupa dokumentasi berbentuk novel. Teknik cuplikan yang digunakan adalah purposive sampling, sampel mewakili informasinya. Teknik pengumpulan data mengkaji dokumen melalui content analisis. Uji validasi data menggunakan triangulasi data/sumber, triangulasi teori dan teori metode.

Teknik analisis yang digunakan adalah analisis data interaktif yang meliputi tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan simpulan.

Penelitian ini menyimpulkan (1) pandangan pengarang terhadap novel; (2) aspek sosiologi sastra pada novel meliputi: a. Sistem Religi yang berupa Sistem Kepercayaan, Sistem Nilai dan Pandangan Hidup dan Komunikasi Keagamaan; b. Sistem Kemasyarakat atau Organisasi Sosial yang meliputi Kekerabatan, Asosiasi atau Perkumpulan dan Sistem Pengetahuan; c. Bahasa yang meliputi bahasa Lisan yaitu Bahasa Minang, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Tertulis yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris; d. Kesenian meliputi kaligrafi Dan Bangunan; e. Sistem Mata Pencaharian berupa Guru dan Pegawai Pemda; f. Sistem Peralatan Hidup Atau Teknologi dan Perumahan meliputi Transportasi, Peralatan Komunikasi, Peralatan Konsumsi dalam Bentuk Wadah dan Pakaian dan Tempat Berlindung (3) nilai-nilai pendidikan yang terungkap adalah nilai vitalitas dan kehidupan, nilai spiritual atau keagamaan, nilai moral yang positif dan negatif dan nilai budaya.

(7)

vi

mentors Dr.Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. Thesis: Education Indonesian Studies Program Graduate Program in University of Muhammadiyah Makassar..

This study explains and describes (1) views of the author against Madani Cottage (2) the sociology of literature which was revealed at the novel and (3) educational value contained in the Negeri Lima Menara novels. Novel set in education at the cottage is quite interesting to examine through sociological approach to literature, which is about the struggle of six boys who studied in Pondok Madani and the country vying to paint his dream in the sky.

This study is a qualitative research, using qualitative descriptive methods. The research data in the form of a novel form of documentation. The technique used was footage of purposive sampling, the samples represent the information. Data collection techniques examine documents through content analysis. Test data validation using triangulation of data / sources, triangulation theory and the theory of the method. Analysis technique used is an interactive data analysis that includes three components, namely data reduction, data presentation, and conclusions.

This study concluded that (1) views of the author of the novel, (2) aspects of the sociology of literature in the novel include: a. Religions are systems of belief systems, value systems and views of Life and Religious Communication; b. Civic or social organization system which includes Kinship, Association or Society and Knowledge Systems; c. Oral language includes language that Minang Language, Arabic and English, Written namely Arabic and English; d. Art covers calligraphy And Building; e. Livelihood System of Teachers and Employees of Local Government; f. Life Or Equipment Systems Technology and Housing include Transportation, Communications Equipment, Appliances Consumption in the form of container and Clothing and Shelter (3) educational values expressed are the vitality and life, spiritual or religious values, moral values and positive and negative cultural values.

(8)

vii

HALAMAN PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK... v

ABSTRCT... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 6 C. Tujuan Penelitian ... 6 D Manfaat Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR ... 8

A. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Kajian Tentang Novel ... 8

a. Pengertian Novel ... 8

b. Jenis-Jenis Novel ... 13

c. Unsur-Unsur Novel ... 17

d. Novel sebagai Dokumen Sosial ... 27

(9)

viii

3. Hakikat Aspek Sosial Budaya... 53

4. Kajian Tentang Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel ... 83

a. Pengerian Nilai ... 83

b. Pengertian Pendidikan ... 85

c. Pengertian Nilai Pendidikan (Edukasi) dalam Novel... 86

B. Penelitian yang Relevan... 95

C. Kerangka Berfikir... 98

BAB III METODE PENELITIAN... 100

A. Waktu dan Tempat Penelitian... 100

B. Metode Penelitian... 101

C. Data dan Sumber Data... 101

D. Teknik Cuplikan (Sampling)... 102

E. Teknik Pengumpulan Data... 103

F. Uji Validitas Data... 104

G. Teknik Analisis Data... 105

H. Prosedur Penelitian... 109

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 113

A. Hasil Penelitian ... 113

1. Pandangan Pengarang terhadap Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi ... 113

(10)

ix

Lima Menara karya Ahmad Fuadi... 154

B. Pembahasan... 163

1. Pandangan Pengarang terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi... 163

2. Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi... 165

3. Nilai- nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara katya Ahmad Fuadi... 167

BAB V PENUTUP... 169

A. Simpulan... 169

B. Implikasi Hasil Penelitian... 171

C. Saran... 177

(11)
(12)

xi

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sastra merupakan sebuah karya seni. Sastra adalah hasil kegiatan kreativitas seorang sastrawan. Sebuah karya sastra mencerminkan berbagai masalah kehidupan manusia. Karya sastra dapat berinteraksi dengan lingkungan, sesama manusia dan dengan Tuhannya.

Menurut Nyoman Kutha Ratna (2010:307) bahwa imajinasi dalam karya sastra adalah imajinasi yang didasarkan atas kenyataan, imajinasi yang juga diimajinasikan orang lain. Karya sastra tidak hanya berupa imajinasi saja, melainkan berupa penghayatan dan perenungan secara sadar. Karya sastra hasil sebuah imajinasi yang didasari atas kesadaran yang menghasilkan kreativita sebagai karya seni. Karena sebagai hasil imajinasi, karya sastra menciptakan dunia sendiri. Meskipun kita juga menyadari tidak jarang karya sastra yang menyajikan sebuah konteks realitas sosial.

Karya sastra sebagai hasil imajinasi, tidak hanya berguna sebagai hiburan yang menyenangkan saja. Karya sastra juga berguna untuk menambah pengalaman bagi pembaca. Lukens (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010 : 3) mengatakan bahwa sastra memberikan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca pertama-tama adalah memberikan hiburan, hiburan yang menyenangkan. Sastra menampilkan cerita yang menarik, mengajak pembaca untuk memanjakan fantasi, membawa pembaca ke suatu alur kehidupan yang penuh daya

(14)

suspens, daya yang menarik hati pembaca untuk ingin tahu dan merasa terikat emosinya sehingga ikut larut dalam cerita, dan kesemuanya itu di kemas dalam bahasa yang menarik.

Meskipun sebuah karya imajinatif, karya sastra menampilkan suatu gambaran kehidupan. Kehidupan itu sendiri merupakan kejadian yang nyata dalam kehidupan sosial dan kultural (sosial and cultural facts). Kehidupan itu diwarnai oleh sikap, latar belakang dan keyakinan pengarang. Persoalan atau peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat akan terjadi sepanjang masa. Artinya terjadi pada masyarakat yang berbeda-beda menurut zaman. Bukan hanya sekarang, melainkan terjadi pada setiap zaman. Persoalan itu juga akan memengaruhi kreativitas pemikiran seorang pencipta karya sastra, sehingga memungkinkan muncul konflik atau ketegangan batin tersebut dalam bentuk karya sastra.

Luxemburg (1984: 23) memaparkan bahwa sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Selain itu, sastra juga menggambarkan suatu kebudayaan yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang diangkat untuk menjadi ciri yang ditonjolkan dalam karya tersebut. Di samping mengekspresikan dan mengemukakan persoalan hidup yang terjadi, pengarang juga mengajak pembaca untuk ikut memecahkan persoalan kehidupan. Karya satra tercipta karena adanya keinginan dari pengarang dalam mengungkapkan kreativitasnya yang dituangkan melalui pola berpikir, ide, gagasan, pesan dan prinsip yang berasal dari imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang serta menggunakan media bahasa sebagai penyampaianya. Pencipta sastra merupakan

(15)

warga masyarakat yang dengan sengaja atau tidak sengaja mencurahkan masalah kehidupan manusia dan masyarakat sebagai objek yang dituangkan sebuah karya sastra. Karya sastra juga dipengaruhi oleh letak geografis, adat istiadat yang menjadi objek kajian dan biasanya disesuaikan dengan zaman yang ada.

Burhan Nurgiyantoro (2010:14) mengemukakan sastra dewasa dibagi dalam tiga besar genre yaitu puisi, fiksi dan drama dengan masing-masing memiliki sub genre. Untuk kajian prosa atau fiksi di Indonesia dibagi menjadi tiga macam yaitu novel, cerpen dan roman. Novel merupakan karya rekaan yang menggambarkan kehidupan, adat-istiadat, aturan serta budaya dalam suatu masyarakat tertentu. Novel merupakan karya rekaan atau fiksi yang memberikan gambaran aspek-aspek kehidupan yang dikemas dalam gaya bahasa yang memikat. Kehidupan dalam sebuah novel digambarkan melalui tokoh, perwatakan, setting, alur dan unsur instrinsik lainnya. Dalam menyampaikan keanekaragaman kebudayaan dan suatu ajaran atau nilai didikan kepada para pembaca digambarkan dengan bahasa yang baik sehingga pembaca bisa memahami novel tersebut.

Rene Wellek dan Austin Warren (1993:316) menjelaskan bahwa sepanjang sejarah, orang telah tertarik dan mengganggap sastra lisan maupun cetakan bernilai positif. Novel merupakan karya sastra yang memberikan nilai positif bagi pembaca. Novel juga mengungkapkan kehidupan sosial untuk mempelajari manusia pada zamannya. Novel yang memiliki kualitas baik merupakan hasil rekaan dan polesan oleh penulisnya.

(16)

Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2009 dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengetahui sosiologi sastra dan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel tersebut. Novel Negeri Lima menara memunyai masalah-masalah kehidupan sosial budaya yang berasal dari daerah masing-masing oleh para tokoh. Novel Negeri Lima menara juga memiliki nilai positif yaitu penjelasan nilai keteladanan dalam sebuah lembaga pendidikan sehingga bisa dijadikan panutan bagi pembaca. Novel Negeri Lima menara karya Ahmad Fuadi dipilih karena memiliki beberapa kelebihan baik dari segi isi atau bahasanya dibandingkan novel yang lain.

Novel-novel lain yang memunyai masalah-masalah sosial yaitu novel Singkar karya Siti Aminah tahun 2008 dari Yogyakarta yang menceritakan tentang masalah politik, pergerakan mahasiswa dan masalah rumah tangga, Novel Para Priyayi karya Umar Kayam bercerita tentang seorang anak dari keluarga buruh tani yang oleh orang tua dan sanak saudaranya diharapkan dapat menjadi “sang pemula” untuk membangun dinasti keluarga priyayi kecil, Novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari yang menggambarkan keadaan social masyarakat Jawa Tengah, pada salah satu desa kecil bernama Desa Tanggir tahun70-an dan lain-lain.

Novel Negeri Lima menara karya Ahmad Fuadi menggambarkan tentang kisah seorang anak dari Kabupaten Agam, Bukit tinggi yang melanjutkan sekolah Pondok Madani di Jawa Timur. Keinginan masuk ke Pondok Madani ini atas permintaan ibunya. Yang menarik setelah masuk ke Pondok Madani, ia terkesan dengan mantra dari kiayinya yaitu man jadda wa jada, artinya bahwa siapa yang

(17)

bersungguh-sungguh akan berhasil, kedisiplinan yang kuat, persabatan yang tak pernah putus walau jarak memisahkan, dan cita-cita yang didasari dengan keyakinan yang kuat. Kisah ini diperankan oleh enam anak yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Latar pesantren yang kuat dengan kedisiplinan menjadi latar cerita yang memikat dan memberikan nilai lebih bagi pembaca. Hal ini mengajarkan tentang pergaulan yang kuat, mandiri, belajar keras dan sampai pada belajar menjadi seorang pemimpi yang sejati. Kelebihan lain adalah gaya bahasa yang lugas dan mudah dipahami serta pencitraan dalam novel Negeri Lima menara mudah diekspresikan dan diinterprestasikan.

Adapun alasan diangkatnya sosiologi sastra dan nilai-nilai pendidikan sebagai kajian karena novel Negeri Lima menara memiliki kelebihan tersendiri. Apalagi didukung masalah kehidupan sosial yang terjadi selama di dalam pesantren. Nilai pendidikan terlihat pada segala sesuatu yang terlihat melalui proses pendidikan. Baik bentuk pengalaman di menara, tatap muka di kelas dan hukuman yang dijatuhkan pada setiap anak yang melanggar peraturan.

(18)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah aspek sosial budaya yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi?

2. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi?

3. Bagaimanakah pandangan pengarang terhadap Pondok Madani dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan aspek sosial budaya yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan pengarang terhadap Pondok Madani dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.

(19)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Memberi sumbangan bagi penelitian sastra khususnya dalam pengkajian novel sebagai salah satu genre sastra.

b. Menambah wawasan tentang pengkajian nilai sosiologi sastra dan nilai pendidikan khususnya novel yang nantinya dapat diterapkan atau menjadi referensi untuk meneliti dan mengkaji novel yang lain.

c. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan penerapan dalam ranah ilmu sastra serta studi tentang karya sastra.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru

Hasil penelitian ini mendeskripsikan sosiologi sastra dan nilai-nilai pendidikan dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Guru dapat mengajarkan nilai-nilai tersebut dapat dijadikan teladan bagi siswa dalam menghadapi serta menyikapi setiap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan. b. Bagi Siswa

Menambah perbendaharaan tentang kajian terhadap novel terutama pengkajian nilai sosiologi sastra dan nilai pendidikan yang merupakan salah satu materi ajar pada Pembelajaran Sastra.

(20)

Membantu pembaca atau penikmat sastra dalam menginterpretasikan novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sehingga pemaknaan terhadap karya sastra akan lebih terarah.

(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Hakikat Novel

a. Pengertian Novel

Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang sekaligus disebut sebagai fiksi. Istilah novel berasal dari kata novella yang berasal dari bahasa Italia. Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 9), secara harafiah novella berarti sebagai sebuah barang baru yang kecil yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.

Abrams (1971: 110) menjelaskan bahwa:

“Novel is term novel is now applied to great variety of writings that havein common only the attribute of being extended works of prose fiction. As anextended narrative, the novel is distinguished from the short story and from thework of midlle length called the novelette. “

Abrams menjelaskan bahwa novel adalah istilah novel sekarang diterapkan untuk berbagai macam tulisan yang berbentuk suatu karangan yang berupa prosa fiksi. Karangan tersebut berupa cerita pendek dan prosa. Fiksi adalah cerita rekaan atau dibuat-buat, sedangkan yang termasuk fiksi adalah novel dan cerpen. Namun kadang kala fiksi juga sering digunakan sinonim dari novel.

Burhan Nurgiyantoro (2002: 9-10) memaparkan bahwa dewasa ini istilah novella atau novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia, novellet yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu

(22)

panjang namun juga tidak terlalu pendek. Meskipun dengan panjang yang cukupan tersebut.

Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Stamm dalam Journal of College & Character Volume X, NO. 7, November 2009:

The possibilities of using this novel in courses on student development to make the understanding of identity development become more alive than through the moreusual scholarly analyses. Given the emerging understanding of today’smillennium generation of college students, are particularly appropriate. Popculture has played an educative role in the lives of the Millennial Generation. Inthinking about novels as ethnographies of the college experience, both that offaculty as well as students, the possibilities are even more extensive, asexemplified by the previous illustrations. Comparison of academic novels fromdifferent time periods, for example, might serve to amplify other studies of thehistory and foundations of higher education. (Stamm, 2009: 2)

Berdasarkan pendapat di atas diharapkan novel mampu memberikan pencerahan dan penyadaran kepada pelajar agar mereka dapat hidup bermasyarakat dengan baik, saling menyadari perbedaan, dan lebih toleran kepada masyarakat luas. Novel memberikan pelajaran kehidupan bagi pelajar. Hal ini akan menjadi bekal bagi pelajar dalam memasuki kehidupan bermasyarakat nantinya.

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 37) dalam novel terdapat 3 hal, antara lain: (1) perubahan nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama tidak sampai mati.

Sejalan dengan pendapat di atas, Henry Guntur Tarigan (1993:165) menyimpulkan berbagai definisi novel yang telah dipaparkan oleh para ahli teorisastra, antara lain: (a) novel bergantung pada tokoh; (b) novel menyajikan lebih

(23)

dari satu impresi; (c) novel menyajikan lebih dari satu efek; dan (d) novel menyajikan lebih dari satu emosi.

Dengan kata lain, novel merupakan salah satu bentuk fiksi dalam bentuk prosa yang memiliki panjang cukupan dalam arti tidak terlalu panjang dan juga tidak terlalu pendek serta di dalamnya terkandung 3 hal yang berkaitan dengani sicerita novel, antara lain: (1) perubahan nasib tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama yang diceritakan tidak sampai mati. Secara garis besar, novel merupakan sebuah karangan yang memaparkan ide, gagasan atau khayalan dari penulisanya.

Hal tersebut sejalan dengan definisi novel yang terdapat di dalam The American College Dictionary (dalam Henry Guntur Tarigan,1993: 120) novel adalah (1) cabang dari sastra yang menyusun karya-karya narasi imajinatif, terutama dalam bentuk prosa; (2) karya-karya dari jenis ini, seperti novel/dongeng-dongeng; (3) sesuatu yang diadakan, dibuat-buat atau diimajinasikan, suatu cerita yang disusun.

Sementara itu menurut Orr dalam Journal of European Studies.Volume, 9No. 36 bahwa tujuan novel adalah penyadaran terhadap realitas.

Intended as an original contribution to the sociology of the novel. It is isconcerned with the destiny of the modern novel itself. This destiny would appearto the needful resuscitation of tragic realism after its demise with or around,Orwell. (Orr, 1977: 304-305).

Orr (1977 :304-305) pada pernyataan di atas mengatakan bahwa konstribusi asli untuk sosiologi pada novel. Hal ini berkaitan dengan novel modern tersebut.

(24)

Misalnya seperti hal yang diperlukan dalam peristiwa yang tragis, kematian atau kejadian yang terjadi di sekitar kita.

Selanjutnya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas, Brooks (dalamHenry Guntur Tarigan, 1993: 120) mendefinisikan fiksi sebagai sebuah bentuk penyajian atau cara seseorang memandang hidup ini.Jadi karya fiksi memang bukan nyata, tetapi karya sastra juga bukan kebohongan karena fiksi adalah suatu jenis karya sastra yang menekankan kekuatan kesastraannya pada dayamerupakan sebuah refleksi dari suatu hal yang dirasakan, dilihat, bahkan mungkin juga dialami oleh penulis.

Sedikit berbeda dengan beberapa pendapat di atas, Goldmann (dalamFaruk, 2010: 29) mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah dunia yang juga tergradasi. Nilai-nilai otentik yang dimaksud tersebut adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah novel yang dapat mengorganisasikan sebuah novel secara keseluruhan meskipun tidak tertuang secara eksplisit.

Atar Semi (1993: 32) juga memaparkan pendapat yang tidak jauh berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas. Dalam hal ini novel lebih mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan lebih halus. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa sebuah novel merupakan suatu hasil imajinasi penulis yang menggambarkan refleksi kehidupan tokoh dan segala masalah yang menyertainya secara utuh dengan berbagai

(25)

nilai yang turut membangun kelengkapan sebuah cerita. Nilai-nilai yang terkandung di dalam novel tersebut tidak dituangkan secara eksplisit oleh penulisnya dan nilai tersebut pada akhirnya dapat diambil oleh pembaca sebagai sebuah pelajaran yang mungkin bermanfaat untuk kehidupannya.

Novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur,yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menguntungkan. Unsur-unsur tersebut turut membangun sebuah novel yang kemudian membentuk sebuah totalitas tersebut. Secara tradisional, unsur-unsur pembangun novel dapat dibedakan menjadi dua bagian walaupun tidak sepenuhnya terpisah, unsur tersebut adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik (BurhanNurgiyantoro, 2002: 23).

Mengenai segi unsur dari dalam novel yang turut membangun jalinan keutuhan sebuah novel, Burhan Nurgiyantoro (2002: 4) memaparkan bahwa novel merupakan sebuah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia yang imajiner, dunia yang diharapakan menjadi model kehidupan yang nyata yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsik, seperti plot, setting, peristiwa, tokoh, tema, dan sudut pandang.

Dari berbagai teori di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah karya sastra yang berisi tentang rangkaian cerita yang memaparkan ide, gagasan, maupun khayalan penulisnya. Akan tetapi, novel tidak hanya khayalan semata, novel juga memaparkan tentang refleksi dari suatu hal yang dilihat, dirasa, bahkan mungkin juga dialami oleh penulisnya. Keterjalinan cerita dan kesempurnaan sebuah novel

(26)

dapat dilihat dari beberapa unsur yaitu unsur intrinsik yang terdiridari alur, penokohan, setting, tema, dan sudut pandang serta unsur ekstrinsik yang berupa latar belakang pengarang, amanat, dan berbagai unsur lain yang turut membangun sebuah novel hingga novel tersebut dapat dengan mudah dipahami oleh para penikmatnya.

b. Jenis-Jenis Novel

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 16), novel terdiri dari dua macam yaitu novel serius dan novel populer. Pembedaan novel tersebut sering mengalami kekaburan makna. Hal ini disebabkan karena pembedaan tersebut cenderung mengarah pada subjektifitas penikmat sastra. Para penikmat sastra beranggapan bahwa novel yang ditulis oleh beberapa penulis tertentu dan penerbit tertentu yang sering menerbitkan karya sastra yan cenderung “berat” kadar kesastraannya. Novel serius merupakan novel yang mengandung unsur sastra yang kental.Novel ini juga harus sanggup memberikan hal yang serba mungkin terjadi, dan itulah makna dari sastra yang sastra.

Pada umunya novel serius mengandung tujuan yang tersirat didalamnya untuk memberikan pengalaman yang berharga bagi pembaca, setidaknya novel tersebut mampu mengajak pembacanya untuk meresapi dan merenungkan masalah yang diangkat oleh sebuah novel (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 18-19). Dengan demikian, novel serius lebih mengarah pada suatu bentuk karya yang didalamnya terdapat sebuah pelajaran berharga yang dapat diambil oleh para penikmat sastra melalui pemahaman yang mendalam.

(27)

Burhan Nurgiyantoro (2002: 18) mendefinisikan novel popular sebagai novel yang popular pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Namun, novel popular hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak dapat memaksa pembacanya untuk membaca sekali lagi novel tersebut. Selain itu, novel popular juga cepat ditinggalkan oleh pembacanya setelah muncul novel yang lebih baru dan popular (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 16). Novel ini menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman namun hanya sampai pada tingkat permukaan saja, tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih mendalam atau dengan katalain tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Apabila hal tersebut terjadi dalam penulisan novel popular maka novel akan menjadi lebih berat, menjadi novel serius, dan bisa dimungkinkan akan ditinggalkan oleh pembacanya.

Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 2010: 31) membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimis mendalam petualangan tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis keduasang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia fantasi. Sedangkan dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang otentik.

Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2011: 126), yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural, mengungkapkan bahwa novel karya sastra yang berhasil merekonstruksi struktur

(28)

mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal, termasuk peristiwa-peristiwa historis (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 127).

Kita harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk memahaminya, khususnya novel. A. Teeuw (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 59-60) menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama eksterne strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang terikat oleh bahasa yang dipakainya; kedua interne strukturrelation, yaitu struktur dalam bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; dan ketiga model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun oleh pengarang, duniafantasi atau dunia imajinasi.

Wellek dan Warren (1993: 75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat dan filosofis. Untuk memahami sebuah novel, harus dilakukan pembedahan struktur yang dimiliki Kenney (1966:6-7) berpendapat,

“To analyze a literary work is to identify the sparate parts that make it up(this correspondsroughly to the notion of tearing it to pieces), to determinethe relationships among the parts, and to discover the relation of the parts,to the whole. The end of the analysis is always the understanding of theliterary work as a unified and complex whole”.

Dari pendapat Kenney (1966:6-7) dijelaskan bahwa menganalisis sebuah karya sastra dengan mengidentifikasi bagian-bagian karya yang membentuk, dengan menentukan hubungan antar bagian-bagian, dan menemukan antar bagian bagian

(29)

secara keseluruhan. Analisis akhir suatu pemahaman karya sastra sebagai satu kesatuan yang utuh dan kompleks.

Fiksi modern di bagi menjadi tiga golongan besar yaitu, bacaan hiburan, cerita dengan kecenderungan konvensional, dan fiksi modern dengan kecenderungan inkonvensional. Bacaan hiburan berfungsi sebagai sarana hiburan bagi pembacanya. Pembagian cerita dengan kecenderungan konvensional dan inkonvensional tersebut berkaitan dengan konvensi unsur-unsur intrinsik sastra. Konvensional merupakan cerita yang masih berpegang pada aturan atau konvensi sastra yang ada, sedangkan inkonvensional tidak berpegang dan bahkan menyimpang dari konvensi atau aturan sastra yang telah ada. Pembedaan tersebut sedikit berbeda dengan kategorisasi yang dilakukan oleh Goldmann.

Lubis (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993:165-166) mengkategorikan novel menjadi beberapa jenis, antara lain roman avontur, roman psikologis, romandetektif, roman sosial, roman politik, roman kolektif. Terdapat sedikit perbedaan dari pengkategorian di atas adalah pembagian yang ada dalam Ensiklopedia Indonesia (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 166), yaitu roman sosial, roman bersejarah, roman tendens, roman keluarga, roman psikologis.

Berdasar pada berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa secara garis besar novel terbagi menjadi dua, yaitu novel serius dan novel popular. Novel serius merupakan sebuah karya sastra yang memiliki kadar kesastraan yang tinggi dan membutuhkan suatu pemahaman yang lebih untuk dapat memahaminya. Novel serius cenderung mengangkat tema-tema yang lebih “berat”, seperti tema tentang politik,

(30)

pendidikan, psikologi, dan lai-lain.Novel popular merupakan sebuah karya sastra yang berfungsi sebagai sebuah sarana hiburan. Meskipun hanya sebagai sebuah sarana hiburan, novel popular tak lantas mengabaikan konvensi-konvensi sastra yang ada. Novel popular tetap mengindahkan konvensi sastra yang ada dan juga memiliki nilai estetis yang dapat dinikmati oleh pembacadan nilai pedagogis yang dapat dipetik oleh pembaca. Untuk memahaminya pun pembaca tidak membutuhkan pemikiran yang lebih.

c. Unsur-Unsur Novel

Jakob Sumarjo (1982:11) mencantumkan unsur-unsur fiksi (novel) sebagai berikut: (1) plot atau alur; (2) kerakter atau penokohan; (3) tema; (4) setting atau latar; (5) suasana; (6) gaya; dan (7) sudut pandang penceritaan. Berbeda dengan pendapat di atas, Zainuddin Fanani (2000 : 84) mendefinisikan bahwa unsur-unsur prosa dibagi menjadi: (1) Tema; (2)Penokohan; (3) Plot; dan (4) Setting.

Lebih lanjut lagi akan dipaparkan satu persatu struktur tersebut: 1. Plot

Plot sering juga disebut alur. Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan (Herman J. Waluyo, 2002: 8).

William Kenney (1966: 13-14) menyatakan:

“ plot reveals event to us, not only in their temporal, but also inrelationships. Plot makes us aware of events not merely as elements intemporal series, but also as anintricate pattern of cause and effect”. “Thestructure of plot to recognize this much, however.Is only a beginning. Wemust consider in more specific terms the form this

(31)

“arrangement” we callplot is likely to take. For, underlying the evident diversity of fiction, wemay discern certain recurring patterns”.

Berpijak dari pendapat William Kenney (1966: 13-14) dapat dijelaskan bahwa plot mengungkapkan suatu rencana, bukan hanya dalam duniawi penulis tetapi juga dalam hal hubungan antar jalinan cerita. Plot merupakan peristiwa yang tidak hanya sebagai elemen dalam seri temporal, tetapi juga sebagai pola sebab akibat.

Alur/ Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa alur merupakan unsur terpenting dalam sebuah ceri tadi antara berbagai unsur fiksi yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh, kejelasan alur sebuah cerita erat kaitannya dengan jalinan antar peristiwa yang disajikan oleh penulis sehingga dapat membantu mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan. Kejelasan alur berarti kejelasan cerita, kesederhanaan alur berarti kemudahan cerita untuk dimengerti (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 110).

Forster (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 113) mengemukakan bahwa alur atau plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Hal tersebut sejalan dengan Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 113) yang menyebutkan bahwa alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain.

Alur ada bermacam-macam, dilihat dari aspek urutan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi yang besagkutan atau lebih tepatnya urutan penceritaan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan, alur terbagi

(32)

menjadi:

1) Plot lurus/ progresif, alur/ plot sebuah novel dikatakan lurus atau progresif apabila peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa –peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa atau meyebabkan terjadinya peristiwa yang kemudian. Atau secara runtut cerita dimulai dari tahap awal, yaitu penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik, tengah/ konflik meningkat, klimaks, dan akhir/ penyelesaian (Burhan Nurgiyantoro, 2002:154).

2) Plot Sorot-balik/ Flash-back, Urutan kejadian yang disajikan dalam sebuah karya fiksi dengan alur regresif tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal melainkan mungkin cerita disuguhkan mulai dari tengah atau bahkan dari tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita disajikan. Karya sastra dengan jenis ini, langsung menyuguhkan konflik bahkan telah sampai pada konflik yang meruncing (Burhan Nurgiyantoro,2002:154). Dalam menyajikan sebuah alur cerita, penulis umumnya memiliki tahapan–tahapan atau urutan penceritaan yang berbeda-beda.

Berikut ini tahapan alur yang dijabarkan oleh Tasrif dalam Mochtar Lubis (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:149) yang membedakan tahapan plot menjadi lima bagian, antara lain:

1) Tahap situation (penyituasian), yaitu tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal. Tahap ini berfungsi sebagai landasan tumpu cerita yang akan dikisahkan;

(33)

2) Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik), pada tahap ini masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut konflik mulai dimunculkan;

3) Tahap rising action (tahap peningkatan konflik), konflik-konflik yang dimunculkan mulai berkembang atau dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa yang menjadi inti cerita mulai menegangkan;

4) Tahap climax (tahap klimaks), konflik dan atau pertentangan yang terjadi padapara tokoh mulai mencapai puncaknya; dan

5) Tahap denouement (tahap penyelesaian), pada tahap ini konflik utama yang telah mencapai klimaks mulai diberi jalan keluar begitu juga dengan konflik-konflik tambahan yang lain juga mulai diberi jalan keluar.

Dari berbagai teori di atas dapat disimpulkan bahwa alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang disajikan secara kronologis oleh pengarang mulai dari tahap awal atau tahap pengenalan tokoh, pemunculan konflik hingga konflik tersebut dapat diselesaikan.

2. Perwatakan atau Penokohan

Penokohan adalah pelukisan tokoh atau pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap dan tingkah lakunya dalam cerita (Zulfahnur, dkk., 1996: 29). Pengertian penokohan tersebut, menurut Panuti Sudjiman (dalam Zulfahnur, dkk., 1996: 29) merupakan individu rekaan berwujud atau binatang yang mengalami peristiwa atau lakuan dalam cerita. Manusia yang menjadi tokoh dalam certa fiksi dapat berkembang perwatakannya baik dari segi fisik maupun mentalnya.

(34)

Wellek danWarren (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993:133-134), menyatakan ada beberapa cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan rupa, watak, dan pribadi para tokoh, yaitu: (1) Physical description, yaitu melukiskan bentuk lahiriah tokoh yang dilakukan oleh pengarang; (2) Portroyal of througthstreem or of conscious though, yaitu pelukisan jalan pikiran pelakon atau tokoh atau apa yang terlintas dalam pikiran pengarangnya; (3) Reaction of events, yaitu pengarang melukiskan bagaimana reaksi tokoh atau lakon terhadap kejadian yang ada; (4) Direct author analisys, yaitu pengarang menganalisis watak tokoh atau lakon secara langsung; (5) Discussion of environment, yaitu pengarang melukiskan keadaan sekitar lakon atau tokoh. Misalnya, melukiskan keadaan kamar, sehingga pembaca akan memeroleh kesan secara jelas terhadap tokoh yang ada; (6) Reaction of others about character, yaitu pengarang melukiskan bagaimana pandangan-pandangan pelakon lain dalam suatu cerita terhadap pelakon utama; dan (7) Conversation of others about character, yaitu pelakon atau tokoh yang lain dalam suatu carita memperbincangkan keadaan pelakon utama dengan demikian maka secara tidak langsung pembaca mendapat kesan tentang segala sesuatu mengenai pelakon utama.

Herman J. Waluyo (2002: 16) mengklasifikasikan tokoh menjadi beberapa macam yaitu, pertama berdasar peranannya terhadap jalan cerita, terdapat tokoh-tokoh yaitu, tokoh-tokoh protagonis, yaitu tokoh-tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua tokoh protagonis utama yang dibantu oleh tokoh-tokoh lain yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita; tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita biasanya ada

(35)

seorang tokoh utama yang menentang cerita, dan beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita; dan tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu baik untuk tokoh protagonist maupun tokoh antagonis.

Kedua berdasarkan peranannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat tokoh-tokoh yaitu tokoh-tokoh sentral, tokoh-tokoh-tokoh-tokoh yang paling menentukan gerak lakon. Tokoh sentral merupakan bidang keladi dari pertikaian. Tokoh sentral adalah tokoh protagonis maupun antagonis; tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau tokoh penentang tokoh sentral. Bisa juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral. Dalam hal ini merupakan tokoh tritagonis; dan tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap dalam mata rangkai cerita.

Ketiga hubungan antar tokoh. Penokohan dan perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat karena kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama yaitu tokoh atau suatu peran. Penokohan yang baik adalah yang dapat menggambarkan tokoh-tokoh dan mengembangkan watak dari tokoh-tokoh tersebut yang mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat. Perkembangannya haruslah wajar dan dapat diterima berdasarkan hubungan kausalitas. Penggambaran perwatakan dari tokoh-tokoh cerita disebut sebagai penokohan.

Pengenalan tokoh dalam suatu cerita, menurut Jakob Sumardjo dan Saini K. M. (1994:65), ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk memahami karakter tokoh-tokoh dalam cerita, yaitu : (1) melalui apa yang diperbuatnya; (2)melalui

(36)

ucapan-ucapannya; (3) melalui gambaran fisik tokoh; (4) melalui pikiran pikirannya;(5) melalui penerangan langsung dari pengarang.

Watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi (watak dimensional),dan penggambaran itu berdasarkan keadaan fisik, psikis, dan sosial (fisiologis,psikologis, dan sosiologis) (Herman J. Waluyo, 2002 : 17). Yang termasuk dalam keadaan fisik tokoh adalah: umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmaniah, ciri khas yang menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukaan, tinggi/pendek, kurus/gemuk, suka senyum/cemberut, dan sebagainya. Keadaan psikis meliputi watak, kegemaran, mentalitas, standar moral, tempramen, ambisi, kompleks psikologi yang dialami, keadaan emosinya dan sebagainya. Keadaan sosiologis meliputi jabatan, pekerjaan, kelas sosial, ras, agama, ideologi, dan sebagainya.

Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah watak tokoh yang berupa perilaku, ucapan maupun kebiasaan. Hubungan antar tokoh dapat dilihat dari perwatakan atau penokohan yang digambarkan oleh pengarang. Dari penokohan tersebut akan tergambar tentang perilaku, cara bicara, dan sikap dari para tokoh yang kemudian dapat digunakan untuk menganalisis.

3. Tema

Tema/ theme, menurut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 67) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 67) yang juga menyatakan bahwa tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Lebih rinci lagi, Hartoko dan Rahmanto (dalam Burhan Nurgiyantoro,2002: 67) mendefinisikan tema

(37)

sebagai gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam sebuah teks sastra sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan perbedaan.

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Zulfahnur, dkk. (1996: 25) yang menyatakan bahwa tema adalah ide sentral yang mendasari sebuah cerita, tema mempunyai tiga fungsi, yaitu: sebagai pedoman bagi pengarang dalam menggarap cerita; sasaran atau tujuan penggarapan cerita:dan mengikat peristiwa-peristiwa cerita dalam satu alur. Tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan“tersembunyi” dibalik cerita yang mendukungnya. Oleh karena itu, untuk menemukan tema dari sebuah cerita, haruslah disimpulkan terlebih dahulu keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu dari sebuah cerita.

Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema dengan premis dari prosa tersebut yang berhubungan pula dengan nada dasar dari sebuah prosa dan sudut pandang yang dikemukakan oleh pengarangnya (Herman J. Waluyo, 2002: 24). Mengenai premis, ia juga mengemukakan bahwa premis dapat juga disebut sebagi landasan pokok yang menentukan arah tujuan lakon yang merupakan landasan bagi pola konstruksi lakon.

Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tema atau theme adalah ide pokok dari sebuah cerita yang mengandung makna dari sebuah cerita yang pada umunya tekandung secara tersirat, maka untuk menyimpulkan tema dari sebuah karya

(38)

fiksi haruslah menyimpulkannya secara keseluruhan terlebih duhulu, melalui tema pula sebuah cerita dikembangkan oleh penulisnya.

4. Setting atau Latar

Setting sering juga disebut latar cerita. Asul Wiyanto(2004: 28).berpendapat bahwa setting adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu adegan.Latar adalah situasi tempat, ruang dan waktu terjadinya cerita. Tercakup di dalamnya lingkungan geografis mulai dari rumah tangga, pekerjaan, benda-benda dan alat-alat yang berkaitan dengan tempat terjadinya peristiwa cerita waktu, suasana dan periode sejarah (Zulfahnur, dkk., 1996: 37).

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat yang diugkapkan oleh Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 216) landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yangdiceritakan.

Ada empat bagian penyusun setting menurut William Kenney(1966:40),yaitu: (1) the actual geographical location, including topographyscenery, eventhe details of a room’s interior; (2) the accupationsand modes of day-to-dayexistence of the characters; (3) the time inwhich the action takes plece,e.g,historical period, season of theyear; (4) the religious, moral, intellecctual, sosial,and emotional environment of the characters.

Mengacu dari pendapat William Kenney (1966 : 40) menjelaskan bagian penyususn setting adalah (1) lokasi geografis yang sebenarnya, termasuk rancangan bentuk dan desain interior; (2) model karakter pemain sesuai dengan musim dan

(39)

tahun; (4) karakter yang mencerminkan keagamaan, moral, lingkungan, sosial dan emosional.

Burhan Nurgiyantoro (2002: 227), menjelaskan unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu (1) latar tempat, yaitu mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat disebut pula sebagai latar fisik (physical setting); (2) latar waktu, yaitu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (3) latar sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, tradisi, cara berpikir dan bersikap, pandangan hidup, keyakinan, dan status sosial.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa setting atau latar adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu peristiwa yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat pada suatu tempat dalam karya fiksi.

d. Novel Sebagai Dokumen Sosial (Teeuw)

Karya sastra sebagai dokumen sosial, hal ini sesuai dengan konsekuensinya untuk pemakaian karya sastra, khususnya roman, untuk tujuan penelitian ilmu-ilmu sosial. Ada kalanya roman disebut sebagai dokumen sosial, walaupun sebutan ini dari segi tertentu ada benarnya. Namun roman tidak berarti dapat dipergunakan langsung sebagai dokumen seperti laporan wartawan, kumpulan data statistik dan lain-lainnya. Oleh karena itu tiap karya sastra ada keterpaduan antara mimesis dan kreasi, antara

(40)

kenyataan dan khayalan orangharus hati-hati dalam mengambil data faktual dari tulisan rekaan, walaupun tulisan itu sebenarnya sangat realis. Sebagai penyedia data.

dan fakta roman tidak dapat dipercaya karena tidak bisa diketahui di mana fakta berakhir dan rekaan dimulai. Penulis roman tidak dapat dan tidak perlu mempertanggungjawabkan takaran kenyataan dalam isifaktual karyanya.Dalam arti ini roman biasanya bukan dokumen sosial.Hanyatulisan rekaan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada data yangdiperoleh dari sumber yang jelas bersifat dokumen sosial.Novel merupakan karya rekaan. Karya rekaan memang merupakandokumen sosial, yang lebih dahulu disebut jalan ke emapat ke kebenaran: lewat sastra pembaca sering kali jauh lebih baik dari lewat tulisan sosiologi mana pun juga, dapat menghayati hakikat eksistensi manusia dengan segala permasalahannya (Teeuw, 1984:237).

Richard Hoggart dalam Teeuw (1984:237) menjelaskan bahwa sastra yangbaik menciptakan kembali rasa kehidupan, bobotnya dan susunannya. Menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayatinya, kehidupan emosi, kehidupan budi, individu maupun sosial, dunia yang syarat obyek. Hal ini diciptakannya bersama-sama dan secara saling keterjalinan, seperti terjadi dalam kehidupan yang kita hayati sendiri. Sastra baik menciptakan kembali kemendesakan hidup.Tetapi arti karya sastra semacam itu tidak bias ditangkap dengan metode dan teknik ilmu-ilmu sosial. Untuk itu diperlukan kepekaan kesastraan, kemahiran membaca, memahami dan menilai karya sastra sesuaidengan ciri khasnya sebagai rekaan, yang diciptakan oleh manusia dengan dengan daya cipta yang peka pula.

(41)

Hal ini diperkuat oleh Hoggart dalam Teeuw (1984:238) bahwa pemahaman puitik, metaforik, intuitif adalah wujud pengetahuan, walaupun tidak dapat diukur secara obyektif. Kesahihannya tergantung pada daya imajinasi pengarang (imajinasi terkandung pula didalamnya penembusan, kekompleksan, kejujuran) dan pada kemampuan kita sebagai pembaca untuk mengujinya dengan rasa pengalaman sendiri.

Permasalahan dalam novel yang terjadi di dalam masyarakat, ketika oleh pengarang melalui karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya, akan memberikan makna yang kompleks dan mengandung misi tertentu. Sehubungan dengan hal itu, novel dianggap sebagai sebuah dokumen sosiobudaya yang mengandung makna. Setiap makna yang terkandung pada sebuah novel tentunya dapat diperoleh dari kajian berbagai aspek dan unsur yang membangunnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah karya sastra dapat dikatakan sebagai dokumen sosial, jika karya sastra tersebut berdasarkan cerita rekaan yang datanya diambil dari kehidupan masyarakat yang sebenarnya. Hal ini sesuai dengan karya sastra berupa novel yang banyak mengisahkan tentang kehidupan manusia.

2. Kajian tentang Sosiologi Sastra

a. Pengertian Sastra

Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sehingga, berbatasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta; akar katasas-, dalam kata kerja

(42)

turunan berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra biasanya menujukkan alat, sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran, seperti silpasastra (buku arsitektur), kamasastra (buku petunjuk mengenai petunjuk seni cinta) (Teeuw, 1984 : 23).

Selanjutnya Teeuw (1984 :22) juga merumuskan nama sastra sebenarnya merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari nama yang digunakan dalam masyarakat bahasa asing, khususnya eropa. Dalam bahasa Inggris sastra dinamakan literature, dalam bahasa Jerman sastra dinamakan literature, dalam bahasa Perancis literature. Nama susastra digunakan yang kurang lebih berarti “tulisan yang indah” juga digunakan dalam masyarakat Eropa tersebut: letterkunde dalam bahasa Belanda, belles-letters dalam bahasa Perancis. Merujuk dari pendapat Teeuw di atas bahwa

dalam usahanya untuk merumuskan pengertian sastra memusatkan banyak perhatian pada pengertian tulisan dengan berbagai cirinya.

Rene Wellek dan Austin Waren memberikan pengertian sastra sebagai berikut:

“Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat social merupakan konvensi dannorma masyarakat. Lagi pula sastra menyajikankehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial,walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif kehidupanmanusia.”(Rene Wellek dan Austin Warren, 1993:109).

Berhubungan dengan istilah sastra, Atar Semi (1993:8) menjelaskan sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

(43)

Jakob Sumardjo dan Saini K. M. (1994:3) menjelaskan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Sastra juga dapat diartikan sebagai hasil kreativitas pengarang yang bersumber dari kehidupan manusia secara langsung atau melalui rekaannya dengan bahasa sebagai medianya. Sastra dianggap sebagai karya yang berpusatpada moral manusia (humanitat), yang di satu sisi terkait dengan sejarah dan padasisi lain pada filsafat (Darma dalam Retno Winarni, 2009:7).

Dari beberapa istilah sastra di atas yang dikemukakan oleh beberapa ahli memiliki persamaan bahwa sastra sama-sama menggunakan media atau perantara berupa bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi bagi masayarakat. Bahasa diciptakan oleh manusia berdasarkan tempat tinggalnya. Namun, kosa kata dalam bahasa merupakan kesepakatan antar masyarakat. Selain bahasa, persamaan lain adalah obyeknya adalah manusia. Ungkapan karya sastra manusia tersebut berupa kehidupan sehari-hari atau hasil imajinasi pengarang.

Sementara itu Sastra menurut Luxemburg (1984 : 5) merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan meyempurnakannya.

Merujuk dari pendapat di atas, sastra memang hidup dan berasal dari masyarakat. Masyarakat mampu menciptakan karya sastra merupakan masyarakat

(44)

yang memiliki daya kreatifitas yang tinggi. Hasil karya tersebut akan dinikmatioleh pembaca dan dijadikan pandahuan dalam kehidupan. Di mana karya sastra mempunyai ide, gagasan dan nilai-nilai kehidupan yang baik dan patut diikuti oleh masyarakat.

Secara intuitif, kita ketahui bahwa sastra termasuk dalam seni, tetapi juga lebih dari seni. Sastra selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik (seni) saja.Sastra selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi dan etika. Dengan demikian sastra cenderung menjadi lebih penting dan menarik perhatian pembaca dari pada bentuknya sebagai penjelmaan pengungkapan seni. Pembicaraan sastra lebih banyak berhubungan dengan kehidupan yang dipaparkan dalam karya sastra dari pada masalah estetikanya (Sastrowardoyo dalam Nani Tuloli, 2000:2).

Sementara itu Nani Tutoli (2000:2) mengatakan bahwa sastra merupakan ungkapan batin seseorang melalui bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imajinasi ini dapat merupakan titian terhadap kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, dapat pula imajinasimurni pengarang yang tidak berkaitan dengan kenyataan hidup (rekaan), atau dambaan intuisi pengarang dan dapat pula sebagai campuran semuanya itu.

Merujuk dari beberapa pendapat di atas, untuk memudahkan pengertian sastra, perlu dikembangkan beberapa pandangan sebagai berikut:

a. Dalam sastra ada penanganan bahan yang khusus, yang berlaku pada puisi dan prosa.Misalnya terdapat paralisme, kiasan, penggunaan bahasa yang

(45)

tidak gramatikal, peristiwaan dan sudut pandang yang bermacam-macam. Maka untuk mengerti sastra kitaharu kembali kepengetahuan tentang bahasa. b. Ada anggapan bahwa sastra cenderung sebagai fiksi. Fiksi onalitas ini dapat dikaji dalam sastra tulis maupun sastra lisan, juga terdapat pada semua ragam (puisi dan prosa)

c. Penggunaan tanda-tanda khusus dalam sastra, memungkinkan munculnya wawasan bersifat umum tentang keberadaan menusiasosial atau budaya dan intelektual.

d. Dengan memahami sastra sebagai sebagai karya fiksi, serta hubungan antara yang khusus dan umum, kita dapat menginterpretasikan sastra sesuai dengan wawasan kita. Dalamteks sastra, secara implisit terdapat banyak “tempat terbuka” bagi penafsiran dan pemahaman.

e. Penciptaan karya sastra berada pada ketegangan antara kreatikvitas dan konvensi. Karya sastra itu di satu pihak tergantung (terkait)dengan konvensi sastra, tetapi pada sisi lain dituntun keaslian dan kraatifitas peniptaan (Nani Tuloli, 2000:2-3)

Definisi-definisi sastra yang ada dijadikan patokan tentang pengertian sastra, umumnya masih bersifat parsial sehingga belum mampu memberikan gambaran pengertian sastra secara utuh. Keparsialan definisi tersebut oleh Luxemburg (1984:4)digolongkan menjadi empat bagian yang meliputi:

a. Definisi yang mencakup aspek terlalu banyak, sering dilupakan antara definisi deskriptif mengenai sastra itu apa. Dengan devinisi evaluative yang berkaitan dengan nilai yang menentukan suatu karya bernilai tinggi atau tidak.

b.Definisi yang merupakan definisi ontologism, yaitu definisi yang mengungkapkan hakikat sebuah karya sastra sambil melupakan bahwa hendaknya didefinisikan didalam situasi para pemakai atau pembaca sastra, norma dan deskripsi sering dicampur baurkan sehingga tidak disadari bahwa sementara karya untuk orang ini termasuk sastra sedang munurut orang lain bukan sastra.

c. Definisi yang terlalu dititik beratkan pada contoh sastra Barat. Khususnya sejak jaman Renaissance, tanpa memperhitungkan sastra di luar jaman tersebut. Padahal di luar kebudayaan sastra Eropa, banyak dijumpai sastra yang berbeda yang mempunyai kekhasan.

d. Definisi yang hanya berkecenderungan dengan jenis-jenis sastra tertentu sehingga tidak relevan apabila diterapkan pada semua jenis sastra.

(46)

Pengertian tentang sastra (Luxemburg, 1984: 3-4) juga berlaku pada zaman romantik. Beberapa pengertian sastra pada zaman romantik;

a. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di alam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra terutama merupakan sesuatu luapan emosi yang spontan.

b. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu pada yang lain, sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri. Dalil ini masih bergema di hampir setiap pendekatan terhadap sastra.

c. Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi itu pertama-tama dapat ditafsirkan sebagai suatu keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi.

d. Sastra menghindarkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan. Pertentangan-pertentangan tersebut aneka rupa bentuknya ada pertentangan antara yang di sadari dan yang tidak di sadari, antara pria dan wanita, antara roh dan benda, dan seterusnnya.

e. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan.

Berdasarkan pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa sastra adalah hasil kreatifittas masyarakat yang berupa ide, pengalaman, pemikiran dan perasaan melalui media bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imajinasi ini dapat berupa titian terhadap kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, dapat pula imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan dengan

(47)

kenyataan hidup (rekaan), atau dambaan intuisi pengarang dan dapat pula sebagai campuran semuanya itu.

b. Pengertian Sosiologi

Nyoman Kutha Ratna (2011:1) menjelaskan bahwa sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, soio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat , sifatnya umum, rasional dan empiris.

Soerjono Soekanto (2010: 4) merumuskan “secara etimologis sosiologi sastra berasal dari bahasa Latin socius yang berarti kawan dan logos dari kata Yunani yang berarti ilmu”. Lebih lanjut Soekanto menjelaskan:

Secara singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah keseluruhan masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang disekitar masyarakat itu. Sebagai ilmu sosial, sosiologi terutama menelaah gejala-gejala di masyarakat seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan kebudayaan serta perwujudannya. Selain itu sosiologi sastra juga mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala ab normal atau gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial. (Soerjono Soekanto, 1993: 395)

Swingewood (dalam Faruk, 2010: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dan masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial.

(48)

Berkaitan dengan pendapat di atas, Giddens dalam Faruk (2010:18)mengatakan bahwa :

“…The study of human sosial life, groups, dan societies.it is a dazzlingand compelling enterprise, having as its subject matter our own behavior assosial beings. The scope of sociology is extremely wide, ranging from the analysisof passing encounters between individuals in the street up to the investigation ofglobal sosial processes.”

Bertumpu pada penjelasan di atas bahwa Giddens dalam Faruk (2010:18) mengatakan studi tentang kehidupan manusia, kelompok dan masyarakat. Studi tersebut merupakan permasalahan manusia dalam kehidupan sosial. Ruang lingkup sosiologi sangat luas mulai dari individu sampai proses sosial dalam masyarakat.

Selanjutnya Pitirim Sorokin dalam Soerjono Soekanto (2010: 17) mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:

a. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masayarakat dengan politik dan lain sebagainya); b. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala

non sosial (misalnya gejala geografis, biologis dan sebagainya); c. Ciri-ciri umum semua jenis gejala – gejala sosial.

Abdul Syani (2007:5) mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempunyai obyek studi masyarakat. Sosiologi berkembang didalam masyarakat. Masyarakatlah yang menjadi obyek ilmu. Baik itu dilihat dari aspek sosial, aturan, adat-istiadat, kebudayaan dan sebagainya.

Sosiologi sebenarnya mempelajari manusia sebagaimana ditemukan dan dialami secara langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan (Faruk, 2010:17). Sebuah usaha untuk menemukan aturan, hukum dan pola-pola yang berulang dan

(49)

berlangsung dalam waktu relatif lama. Hal ini disebabkan obyek pengalaman dalam kehidupan sehari-hari berlangsung tak beraraturan. Pengalaman tersebut senantiasa berubah, hilang sesaat atau muncul kembali.

Michael Zeratta dalam Elizabeth dan Tom Burns (1973:11) mendefinisikan sosiologi dalam novel:

In the sociology of the novel, sociologi is dealing with an art. True,narrative fiction is contained within language and takes most of its owncharacter from it; the form and content of the novel derive more closelyfrom sosial phenomena than do those of other arts, except perhapscinema; novels often seem bound up with particular moments in thehistory of society; we are none the less concerned with a specific art.

Dalam sosiologi novel, ilmu sosiologi berhubungan dengan suatu seni. Adalah benar, fiksi naratif termasuk dalam bahasa dan membentuk karakternya sendiri paling banyak dari bahasa itu; bentuk dan isi novel mengambil lebih dekat fenomena social dibanding bentuk kesenian lain kecuali, film; novel seringkali terlihat berhubungan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah manusia.

Suatu paradigma sosiologi mempelajari apa yang disebut sebagai institusi-institusi sosial dan struktur sosial. Institusi sosial menurut Ritzer (dalam Faruk, 2010:19) adalah nilai-nilai dan norma-norma bersama yang diwujudkan dalam suatu kebudayaan atau sub kebudayaan. Atau dalam pengertian yang lain:

“aways of actingand thingking that the individuals find preestablished,…already made,…imposed more or less in him … and that willsurvive him”

Gambar

Gambar 2. Bagan Model Interatif Miles & Huberman ............................... 106
Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
Gambar 2. Bagian Model Interaktif Miles & Huberman (1992:20).

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang relevan adalah jika penelitian tersahulu mengkaji aspek motivasi dari novel Negeri 5

Tujuan penelitian adalah (1) mendeskripsikan struktur pembangun novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi, (2) memaparkan nilai edukatif yang terdapat dalam novel Ranah 3 Warna

Novel memiliki tempat penting dalam pendidikan bahasa dan mungkin menjadi cara yang paling tepat dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan (Sallabas, 2013: 361). Salah satu

NILAI EDUKATIF DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Septiasih Wahyuratri Suryaningtyas, NIM A 310 070 176, Jurusan Pendidikan Bahasa,

Skripsi ini berjudul “ Aspek Sosial dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi: Tinjauan Sosiologi ” ini ditulis untuk memenuhi sebagian prasyaratan guna

Aspek-aspek struktural tersebut secara padu membangun peristiwa-peristiwa dan makna cerita novel, (2) analisis sosiologi dapat diketahui bahwa dimensi sosial, kesenjangan

untuk mengidentifikasi nilai Pendidikan Akhlak apa saja yang ada dalam novel Negeri 5 Menara , terutama terkait dengan akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap manusia.. Adapun

Teknik analisis data yang dilakukan adalah membaca setiap halaman novel tersebut, menggarisbawahi kata atau kalimat yang menunjukkan tokoh dan watak tokoh,